Bab 2 - Widyatama Repository

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Good Corporate Governance
2.1.1
Definisi Good Corporate Governance
Ada banyak definisi untuk Good Corporate Governance. Menurut
Organization for economic cooperation and development ( OECD ) adalah:
“Corporate Governance is the system by which business corporation are directed
and controlled. The corporate governance structure specifies the distribution of
right and responsibilities among different participant in the corporation such as
the boards, manager, shareholders and other stakeholders and spells out the rules
and procedures for making decision on corporate affair”
Berdasarkan Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. Kep
117/M-MBU/2002, Corporate Governance adalah:
“Suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk
meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan
nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan
kepentingan stakeholders lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilainilai etika”
Adapun pengertian lain yang dikeluarkan oleh Komite Cadbury
mendefinisikan Corporate Governance sebagai:
“Corporate Governance adalah sistem yang mengarahkan dan mengendalikan
perusahaan dengan tujuan, agar mencapai keseimbangan antara kekuatan
kewenangan yang diperlukan oleh perusahaan, untuk menjamin kelangsungan
eksistensinya dan pertanggungjawaban kepada stakeholders. Hal ini berkaitan
dengan peraturan kewenangan pemilik, Direktur, manajer, pemegang saham, dan
sebagainya.
Menurut Price Waterhouse Coopers:
Corporate Governance terkait dengan pengambilan keputusan yang efektif.
Dibangun melalui kultur organisasi, nilai-niliai, sistem, berbagai proses,
kebijakan-kebijakan dan struktur organisasi, yang bertujuan untuk mencapai
54
bisnis yang menguntungkan, efisien, dan efektif dalam mengelola risiko dan
bertanggung jawab dengan memerhatikan kepentingan stakeholders.
Selain empat definisi di atas, terdapat definisi-definisi lain. Stijn Claessens
menyatakan bahwa, pengertian tentang Corporate Governance dapat dimasukkan
dalam dua kategori. Kategori pertama, lebih condong pada serangkaian pola
perilaku perusahaan yang diukur melalui kinerja, pertumbuhan, struktur
pembiayaan, perlakuan terhadap para pemegang saham, dan stakeholders.
Kategori kedua lebih melihat kepada kerangka normatif, yaitu segala ketentuan
hukum baik yang berasal dari sistem hukum, sistem peradilan, pasar keuangan
dan sebagainya yang mempengaruhi perilaku perusahaan.
Istilah Corporate Governance berbeda dengan Good Management.
Apabila manajemen diartikan sebagai pengelolaan yang baik maka GCG diartikan
sebagai cara pengelolaan yang melibatkan hubungan dengan berbagai pihak untuk
menentukan arah dan kinerja perusahaan (David Melvil, dalam Akuntansi 2000).
2.1.2
Sejarah Good Corporate Governance
Pertanggungjawaban pelaksanaan kepada pemilik telah lama di kenal
dalam agency theory atau stewardship, kemudian dikembangkan dalam teori
birokrasi Weber (dikutip oleh Media Akuntansi 2000). Dalam sejarah peradaban
dunia bisnis, GCG sudah dipraktekan di lingkungan perusahaan-perusahaan di
Amerika kurang lebih 200 tahun yang lalu. Pada masa itu, agar peusahaan
mempunyai kinerja yang baik serta memberikan keuntungan yang maksimal
kepada pemegang sahamnya maka perusahaan dikelola seperti halnya mengelola
suatu negara (little republic). Oleh karena itu, seringkali perusahaan disebut suatu
miniatur negara. Pola GCG kemudian diikuti oleh negara-negara di Eropa hingga
seluruh dunia (Yada Braguna 2000).
Tantangan
yang berkaitan dengan kepentingan para pemegang saham
adalah upaya untuk menyelesaikan agency problem antara direksi dan pemegang
saham. Permasalahan itu muncul karena prinsip dasar dari badan hukum
perusahaan. Hal ini sering memicu terjadinya konflik antara dewan direksi yang
secara tidak langsung menjadi agen bagi para pemegang saham dalam
menjalankan perusahaan, dengan para pemegang saham itu sendiri. Untuk
menyelesaikannya yaitu dengan prinsip akuntabilitas yang didasarkan pada sistem
internal checks and balances yang mencakup praktik audit yang sehat.
Akuntabilitas dapat dicapai melalui pengawasan efektif yang didasarkan pada
keseimbangan antara pemegang saham, komisaris dan direksi ( Indra Surya dan
Ivan Yustivandana 2006 ).
2.1.3
Prinsip-prinsip Good Corporate Governance
OECD, seperti yang dikutip oleh forum for Corporate Governance (FCGI)
menguraikan ada empat unsur penting dalam GCG adalah: fairness (keadilan),
transparency (transparansi), accountability (akuntabilitas) dan responsibility
(responsibilitas).
a. Fairness (Keadilan)
Keadilan dimaksudkan untuk menjamin perlindungan hak-hak pemegang
saham termasuk hak-hak pemegang saham minoritas dan para pemegang saham
asing serta menjamin terlaksananya komitmen dengan para investor.
Hak-hak pemegang saham utamanya adalah:
1) Hak untuk menghindari dan memberikan suara dalam suatu RUPS,
berdasarkan ketentuan, satu saham memberi kepada pemegangnya untuk
satu suara.
2) Hak untuk memperoleh informasi material mengenai perseroan secara
tepat waktu dan teratur agar memungkinkan bagi seseorang pemegang
saham untuk membuat suatu keputusan penanaman suatu modal
berdasarkan informasi yang dimilikinya mengenai perseroan.
3) Hak untuk menerima sebagian dari keuntungan perseroan yang
diperuntukan bagi pemegang saham, sebanding dengan jumlah saham
yang dimilikinya dalam perseroan, dalam bentuk deviden dan pembagian
keuntungan lainnya.
Keadilan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dapat dilaksanakan dengan:
a). Kesetaraan; b). Kesamaan dalam memperoleh informasi tentang perusahaan;
c). Pelarangan insider trading serta kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
Fairness ini berkaitan dengan kewajiban suatu perusahaan untuk menciptakan
kejelasan hak-hak pemegang saham, sistem hukum dan penegakan peraturan yang
melindungi hak-hak pemodal. Hal yang lebih ditekankan lagi dalam konteks
fairness ini adalah perlindungan yang adil dan wajar terhadap pemegang saham
minoritas dari praktik-praktik insider trading yang merugikan.
b. Transparancy (Transparansi)
Transparansi mewajibkan adanya suatu informasi yang terbuka, tepat waktu
serta jelas dan dapat diperbandingkan yang menyangkut keadaan keuangan,
pengelolaan perusahaan dan kepemilikan perusahaan. Hal-hal yang seharusnya
diungkapkan (tidak terbatas pada material).
1) Financial and operating result
Laporan keuangan yang sudah diaudit adalah sumber untuk memonitor
kinerja keuangan dan meletakan dasar bagi penilaian aset sekuritas.
Diskusi manajemen dan analisis operasi kadang juga menyertai laporan
keuangan, pengungkapan hal-hal di atas akan bermanfaat bagi investor.
2) Tujuan Perusahaan
Tujuan perusahaan harus disosialisasikan kepada lingkungan bisnis dan
masyarakat umum, informasi ini mungkin penting bagi investor dan
pengguna lainnya untuk mengevaluasi hubungan perusahaan dengan
komunitas tempat mereka beroperasi dan langkah-langkah yang akan
diambil perusahaan untuk mencapai tujuannya.
3) Kepemilikan Saham
Salah satu hak investor adalah mendapatkan informasi tentang struktur
kepemilikan perusahaan hingga hak-hak pemilik perusahaan. Maka
pengungkapan yang diperlukan adalah data pemegang saham mayoritas,
hak-hak voting khusus, persetujuan persetujuan pemegang saham lainnya.
4) Anggota Dewan Eksekutif dan gaji mereka
Pasar membutuhkan informasi ini untuk mengevaluasi kinerja dan
kualifikasi anggota dewan serta mengukur berapa besar potensi konflik
kepentingan akan mempengaruhi keputusan mereka. Pengungkapan gaji
dewan eksekutif adalah untuk mengukur biaya dan manfaat dari rencana
gaji tersebut serta kontribusi apa yang didapat dari tunjangan seperti stock
option bagi kinerja dewan.
5) Faktor-faktor risiko yang dapat diduga material
Informasi mengenai hal ini misalnya risiko yang timbul dari wilayah
geografis, ketergantungan atas komoditas tertentu, risiko tingkat suku
bunga, risiko transaksi derivatif dan transaksi off-balance dan risiko
kerusakan lingkungan hidup.
6) Isu-isu material yang berkenaan dengan kepegawaian dan pihak-pihak
yang berkepentingan lainnya.
Isu-isu material adalah isu-isu yang dapat mempengaruhi kinerja
perusahaan. Hal-hal yang dapat diungkapkan misalnya hubungan antara
karyawan manajemen dan hubungan dengan stakeholders.
7) Struktur pengendalian kebijakan
Perusahaan harus mengungkapkan bagaimana mereka mewujudkan good
corporate governance (GCG).Untuk mengukur hasil pencapaian GCG:
a) Setiap informasi yang diungkapkan haruslah disiapkan, diaudit terlebih
dahulu agar mempunyai standar kualitas yang tinggi.
b) Audit
tahunan harus
dilaksanakan
auditor
independen
untuk
memberikan informasi yang independen bagi pihak eksternal.
c) Jalur penyebaran informasi harus mencerminkan keadilan, ketepatan
waktu dan efisiensi biaya agar informasi relevan.
Transparansi ini berkaitan dengan kewajiban suatu perusahaan untuk
menyediakan informasi yang obyektif, akurat dan tepat waktu kepada
shareholders. Ini merupakan pengejawantahan sebuah sikap etis karena
dengan itu pihak-pihak yang berkepentingan seperti kreditor, pemasok
atau konsumen dapat mengetahui dengan lebih pasti risiko yang terjadi
ketika melaksanakan transaksi denngan perusahaan tersebut.
c. Accountability (Akuntabilitas)
Akuntabilitas dimaksudkan agar setiap langkah yang diambil manajemen
dalam mengelola perusahaan dapat dipertanggungjawabkan. Kerangka kerja GCG
memastikan sistem pengendalian strategis dan monitoring berjalan dengan baik
serta memastikan akuntabilitas dewan eksekutif pada perusahaan, pemegang
saham dan stakeholders. Dewan bertanggung jawab untuk memantau kinerja dan
penyampaian target return bagi pemegang saham, sembari juga mencegah
berlarutnya konflik kepentingan serta menjaga kompetisi yang fair dalam
perusahaan. Agar akuntabilitas ini efektif, dewan harus menjaga independensinya
dari manajemen. Tanggung jawab dewan lainnya adalah memastikan ditaatinya
hukum, pajak, etika, dan lain-lain.
Beberapa karakteristik accountability adalah:
1) Anggota dewan harus bertindak didasari informasi yang lengkap.
2) Bila keputusan dewan mempunyai pengaruh yang berbeda-beda di
antara pemegang saham, maka harus memuaskan keluhan pemegang
saham.
3) Dewan harus menjamin ketaatan atas hukum yang diterapkan dan
perlindungan terhadap kepentingan pemegang saham.
4) Dewan harus memenuhi beberapa fungsi:
a) Melakukan review atas strategi perusahaan, pelaksanaan rencana
utama, kebijakan risiko, anggaran tahunan dan rencana bisnis
pemantauan kinerja perusahaan dan mengawasi harta utama,
pembelanjaan dan akuisisi.
b) Menyeleksi, memberikan penghargaan, memantau hingga bila
dibutuhkan mengawasi succesion planning.
c) Melakukan review atas gaji eksekutif dan memastikan proses
pencalonan anggota dewan terbuka.
d) Memantau dan mengelola konflik kepentingan dari manajemen
dewan dan pemegang saham termasuk penyalahgunaan harta dan
penyalahgunaan hubungan transaksi dengan berbagai pihak.
e) Memastikan integritas dari sistem pelaporan akuntansi dan
finansial perusahaan, melakukan audit yang independen dan sistem
pengendalian yang tepat berada di tempatnya. Disisi lain sistem
pemantauan risiko, pengendali keuangan harus taat pada hukum.
f) Mengawasi proses transparansi dan komunikasi.
g) Dewan harus mampu menggunakan pertimbangan yang objektif.
Akuntabilitas ini berkaitan dengan kewajiban sebuah perusahaan untuk
menciptakan sistem yang kondusif bagi pengawasan efektif. Yaitu dengan
menyeimbangkan kekuasaan antara pemegang saham, komisaris, direksi dan
komisaris. Direksi hanya berwenang melaksanakan tugas-tugas oprasional seharihari, sementara komisaris bertugas sebagi representasi para pemegang saham yang
bertugas dalam bidang pengawasan, kedua tugas yang berbeda ini tidak bisa di
campur adukan.
I Ketut Mardjana (2002) menulis akuntabilitas merupakan salah satu pokok
untuk mengatasi agency problem yang timbul antara pemegang saham dengan
manajemen atau manajemen dengan stakeholders. Masing-masing organ
perusahaan sudah semestinya mengetahui dan menyadari sepenuhnya hak,
kewajiban, wewenang dan tanggung jawab masing-masing. Akuntabilitas
mencerminkan aplikasi sistem internal chek and balance yang mencakup praktikpratik audit yang sehat. Dengan demikian akuntabilitas akan tercapai dengan
terciptanya pengawasan yang efektif yang mendasarkan pada keseimbangan
kekuasaan antara pemegang saham, komisaris, dan direksi. Direksi bertanggung
jawab dalam pelaksanaan atas jalannya perusahaan. Dalam konteks ini hubungan
antara komisaris dan direksi secara implisit merupakan salah satu domain dari
corporate governance yang seharusnya ditegakan secara baik. Sementara itu
RUPS merupakan acuan dari kerja komisaris dan direksi. Dengan demikian, kunci
terciptanya GCG adalah berfungsinya organ-organ perusahaan. RUPS, komisaris
dan direksi secara efektif. Oleh karena itu sistem yang merupakan hubungan
struktural antara ketiga organ perusahaan tersebut perlu dilaksanakan sesuai
dengan fungsi masing-masing dan mengacu pada aturan perundangan yang ada
dan dengan tetap berlandaskan dengan norma-norma yang layak.
d. Responsibility ( Pertanggungjawaban )
Pertanggungjawaban dimaksudkan untuk memastikan dipatuhinya peraturan
serta ketentuan yang berlaku sebagai cerminan dipatuhinya nilai-nilai sosial.
Archie B. Carol dalam Zaim (2000) seperti yang dikutip oleh Yuda Braguna
(2000), mempertimbangan suatu konsep piramida tanggung jawab sosial
perusahaan. Piramida ini terdiri dari empat tanggung jawab perusahaan:
1) Tanggung jawab ekonomis. Ringkasnya perusahaan haruslah menghasilkan
laba.
2) Tanggung jawab legal. Ini berarti dalam mencapai tujuannya mencari laba,
sebuah perusahaan harus mentaati hukum. Upaya memperoleh laba yang
melanggar harus ditentang.
3) Tanggung jawab etis. Ini berarti perusahaan berkewajiban menjalankan hal
yang baik, benar dan adil. Norma-norma masyarakat perlu menjadi rujukan
bagi langkah bisnis perusahaan.
4) Tanggung jawab filantropis. Ini mensyaratkan perusahaan untuk memberi
kontribusi kepada publik. Tujuannya adalah meningkatkan kualitas kehidupan
semua.
Dan menurut Abitizal Bakrie, sebuah perusahaan harus memenuhi dan
mematuhi hukum dan undang-undang yang berlaku. Termasuk di dalamnya
pemeliharaan lingkungan hidup, hak-hak konsumen, ketenagakerjaan dan lainlain. Dalam konteks responsibility sebuah perusahaan tidak tegak secara terisolasi
dari berbagai kepentingan sosial budaya dan kepentingan politik kelompokkelompok lain (stakeholders) melainkan terintegrasi di dalamnya. Di sini sebuah
perusahaan tidak hanya harus bertanggung jawab terhadap mereka yang
berhubungan secara langsung tetapi juga terhadap mereka yang tidak
berhubungan secara langsung dengannya.
I Ketut Mardjono (2002) menulis responsibilitas mencakup hal-hal yang
terkait dengan pemenuhan kewajiban sosial perusahaan sebagai bagian dari
masyarakat antara lain melalui pengembangan masyarakat lingkungan (comunity
development).
Terkait
pula
dengan
prinsip
responsibilitas
adalah
pertanggungjawaban direksi atas aspek-aspek manajerial perusahaan seperti
sasaran dalam mencapai cost effiency. Peningkatan daya saing menggali setiap
potensi memperoleh data, dan sebagainya.
2.1.4
Tujuan Good Corporate Governance
Tujuan Good Corporate Governance adalah:
1) Melindungi kepentingan pemegang saham dan memperhatikan kepentingan
stakeholders lainnya.
2) Mengoptimalkan pemberdayaan sumber daya ekonomis dari sebuah usaha.
3) Memperbesar kemaslahatan secara nasional dari keberadaan sebuah usaha
yang dikelola secara baik. Pencapaian prestasi yang lebih baik dan
penghematan sumber daya dan modal secara ekonomis akan meningkatkan
produktivitas domestik ketika bersaing di pasar global.
2.1.5
Manfaat Good Corporate Governance
Ada dua hal mendasar perlunya perwujudan good corporate governance
(GCG) yaitu:
1) Tuntutan dunia usaha yang semakin kompetitif, juga tuntutan era perdagangan
bebas yang memperbolehkan setiap pelaku bisnis bebas melakukan
kegiatannya di negara manapun.
2) Tuntutan secara langsung dari lembaga donor agar perusahaan mewujudkan
GCG.
Ketika pasar lebih terbuka dan mendunia, serta bisnis menjadi lebih
kompleks, masyarakat di seluruh dunia menunjukan ketergantungan yang makin
besar atas sektor swasta sebagai motor pelaksana pertumbuhan ekonomi.
Perusahaan memobilisasi dan mengkombinasi antara kapital, bahan
mentah, buruh, keahlian manajemen, dan kepemilikan intelektual dari berbagai
macam sumber guna menghasilkan barang dan jasa yang memberi nilai guna bagi
anggota masyarakat. Dalam cara kerjanya, perusahaan menjual barang dan jasa,
menghasilkan kesempatan kerja dan pemasukan devisa, secara keseluruhan,
perusahaan memberi kontribusi besar kepada pertumbuhan dan perkembangan
ekonomi dimana sumbangan ini akan mengarah kepada standar hidup dan
turunnya angka kemiskinan. Dengan begitu, akhirnya sisitem politik yang lebih
stabil pun akan mungkin tercapai, pengelolaan perusahaan penting karena kualitas
pengelolaan perusahaan mengakibatkan pada:
1) Efisien yang digunakan suatu perusahaan untuk menghasilkan aset
2) Kemampuan perusahaan tersebut untuk modal berisiko kecil
3) Kemampuan perusahaan tersebut untuk memenuhi harapan masyarakat
4) Kinerja secara keseluruhan
Pengelolaan perusahaan yang efektif mempromosikan penggunaan sumber
daya secara efisien baik dalam perusahaan dan sistem ekonomi yang lebih besar
saat sistem pengelolaan perusahaan telah efektif, hutang dan modal ekuitas
(equity capital) harus mengalir pada perusahaan-perusahaan yang mampu
menginvestasikannya dengan cara yang paling efisien guna memproduksi barang
dan jasa yang paling di butuhkan dengan tingkat pengembalian yang tinggi.
Dengan
begitu
pengelolaan
yang
efektif
membantu
memproteksi
dan
menumbuhkan sumber daya yang langka serta membantu memastikan bahwa
kebutuhan masyarakat terpenuhi. Selain itu, pengelolaan yang efektif akan
memungkinkan penggantian atas pengelola yang tidak menggunakan sumber daya
yang langka secar efektif, atau yang inkompeten, atau yang paling ekstrim
melakukan tindakan korupsi.
Pengelolaan perusahaan yang efektif membantu perusahaan menarik
menarik penanaman modal berisiko kecil dengan cara memperbaiki kepercayaan
investor domestik dan internasional atas digunakannya aset seperti dalam
persetujuan apakah investasi itu dalam bentuk hutang atau penyertaan (equity).
Agar perusahaan memperoleh kesuksesan dalam persaingan pasar, pengelola
perusahaan harus mencari cara-cara inovatif dan efisien tanpa pandang bulu,
pengelola tersebut juga harus menghasilkan ide-ide baru untuk mengikuti
perubahan situasi. Adanya keharusan ini mensyaratkan agar pengelola memiliki
keleluasaan dalam mengambil kebijakan. Karena itu aturan dan prosedur untuk
memproteksi para penyedia modal sangatlah di perlukan. Aturan dan prosedur ini
meliputi pengawasan independen atas pengelolaan, transparansi dalam kinerja,
kepemilikan kontrol perusahaan dan keikutsertaan pemilik saham dalam sejumlah
keputusan penting, dengan kata lain pengelolaan perusahaan.
Saat
pengelolaan
memungkinkan
perusahaan
pengelolaan
efektif,
untuk
pengelolaan
melakukan
tersebut
kelalaian
akan
dan
mempertanggungjawabkannya dalam kapasitas mereka sebagai pengelola aset
perusahaan. Kelalaian dan pertanggungjawaban tersebut digabungkan dengan
penggunaan sumber daya yang efektif, kemudian akses atas modal berisiko, biaya
rendah dan meningkatnya tanggapan atas kebutuhan dan harapan masyarakat
dapat mengarah pada perbaikan kinerja perusahaan. Pengelolaan perusahaan yang
efektif makin tidak dapat memberikan jaminan bahwa kinerja perusahaan akan
lebih baik pada level firma individu karena banyak faktor berperan dalam kinerja
perusahaan tersebut. Namun, semua faktor di atas memungkinkan pengelola untuk
memfokuskan diri dalam perbaikan kinerja perusahaan dan di gantikan jika
mereka gagal melakukannya, bukti atas adanya kaitan antara pengelolaan dan
kinerja berbaur menjadi satu yaitu karena adanya kesulitan untuk tidak
mengaitkan pengelolaan dari semua faktor yang berpengaruh terhadap kinerja
perusahaan. Meskipun demikian, kaitan antara pengelolaan yang efektif dan
kinerja perusahaan memungkinkan timbulnya pikiran yang intuitif dan dapat di
pertimbangkan.
Manfaat langsung yang dapat dirasakan perusahaan dengan mewujudkan
prinsip GCG adalah meningkatnya produktivitas dan efisiensi usaha. Manfaat lain
adalah
meningkatnya
kemampuan
oprasional
perusahaan
dan
pertanggungjawaban kepada publik. Selain itu juga akan memperkecil praktik
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta konflik kepentingan.
Secara mikro, GCG bagi perusahaan-perusahaan ujungnya adalah
efektivitas dan efisiensi. Sedangkan secara makro, GCG mendorong perusahaan
untuk turut serta membantu perbaikan ekonomi negara dan masyarakat. Dapat
dirangkum manfaat GCG adalah:
1) Entitas bisnis akan menjadi lebih efisien
2) Meningkatnya kepercayaan publik
3) Menjadi going concern perusahaan
4) Dapat mengukur target kinerja manajemen perusahaan
5) Meningkatnya produktivitas
6) Mengurangi distorsi (management risk).
2.1.6
Pihak yang Berperan dalam Good Corporate Governance
Upaya melakukanGCG dapat di lakukan jika masing-masing pihak dalam
perusahaan menyadari perannya untuk mewujudkan Good Corporate Governance
(GCG).
a. Shareholders
Pemegang saham yang memiliki kepentingan pengendalian dalam
perseroan harus menyadari tanggung jawabnya pada saat ia menggunakan
pengaruhnya atas manajemen perseroan, baik dengan mengunakan hak suara
mereka atau dengan cara lain, campur tangan dalam manajemen perseroan serta
pada akhirnya harus diselesaikan melalui proses hukum yang berlaku. Pemegang
saham minoritas juga mempunyai tanggung jawab serupa, yaitu mereka tidak
boleh menyalahgunakan hak mereka menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
b. Dewan Komisaris
Dewan Komisaris bertanggung jawab dan berwenang mengawasi tindakan
direksi, dan memberikan nasihat kepada direksi jika dipandang perlu oleh dewan
komisaris. Untuk membantu dewan komisaris dalam melaksanakan tugas tersebut,
dewan komisaris sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan oleh dewan
komisaris, dapat menggunakan jasa penasihat profesional yang mandiri dan atau
membentuk komite khusus. Setiap anggota dewan komisaris harus berwatak
amanah dan mempunyai pengalaman dan kecakapan yang diperlukan untuk
menjalankan tugasnya.
c. Direksi
Direksi bertugas untuk mengelola perseroan. Direksi wajib untuk
mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada pemegang saham
melalui RUPS. Untuk membantu pelaksanaan tugasnya, sesuai dengan prosedur
yang telah di tetapkannya, direksi dapat menggunakan jasa profesional yang
mandiri sebagai penasihat. Setiap anggota direksi haruslah orang yang berwatak
baik dan berpengalaman untuk jabatan yang didudukinya.
Direksi harus melaksanakan tugasnya dengan baik demi kepentingan
perseroan dan direksi harus memastikan agar perseroan melaksanakan tanggung
jawab sosialnya serta memperhatikan kepentingan dari berbagai pihak yang
berkepentingan (stakeholders).
d. Senior Manajemen
1) Akuntansi Manajemen
a) Merancang sistem informasi atas penilaian kinerja masa lalu dan
aktivitas masa depan yang di setujui dan direncanakan
b)
Merancang dan menerapkan sistem internal control yang berperan
sebagai dewan penjamin.
c) Menjamin bahwa pendelegasian kewenangan ditaati.
d) Mengawasi dan mengevaluasi biaya-biaya serta manfaat-manfaat
dari aktivitas utama.
2) Auditor Internal
a) Membantu dewan dalam menilai risiko utama dan memberi nasihat
pada pihak manajemen.
b)
Mengevaluasi sistem internal control dan bertanggung jawab
kepada komite audit.
c)
Menelaah peraturan corporate governance
e. Komite Audit
Komite Audit bertugas untuk memberikan pendapat profesional yang
independen kepada dewan komisaris terhadap laporan atau hal-hal yang
disampaikan oleh direksi kepada dewan komisaris yang antara lain meliputi:
a) Melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan
perusahaan seperti laporan keuangan, proyeksi dan informasi keuangan
lainnya.
b) Melakukan penelaahan atas ketaatan perusahaan terhadap peraturan
per undang-undangan lainnya yang berhubungan dengan kegiatan
perusahaan.
c) Melakukan penelaahan atas kecukupan pemerikasaan yang dilakukan
oleh akuntan publik untuk memastikan semua risiko yang penting telah
dipertimbangkan.
2.2
Konsep Penilaian Kinerja Perusahaan Berdasarkan Pendekatan
Balance Scorecard
Konsep Balanced Scorecard telah lama dikembangkan oleh Roberts S.
Kaplan dan David P. Norton yang ditujukan untuk melengkapi pengukuran
kinerja finansial dan sebagai alat yang cukup penting bagi organisasi perusahaan
untuk merefleksikan pemikiran baru dalam era persaingan dan efektivitas
organisasi (Rusdin,2000). Pembahasan mengenai konsep penilaian kinerja
berdasarkan pendekatan Balanced Scorecard mencakup : a). Pengertian Kinerja
perusahaan, b). Penilaian Kinerja perusahaan, c). Pengukuran Kinerja perusahaan
berdasarkan pendekatan Balanced Scorecard, d). Karakteristik Organisasi, e).
Manfaat BSC, dan f). Prinsip-prinsip BSC.
2.2.1
Pengertian Kinerja Perusahaan
Kinerja merupakan sesuatu yang dihasilkan atau kerja yang dicapai dari
suatu usaha (Purwadarminta, 1995). Sedangkan menurut Mangkunegara ( 2001 :
67 ) kinerja adalah :
“ Hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang
pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab
yang diberikan kepadanya. “
Selanjutnya, kinerja perusahaan merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh
suatu perusahaan dalam periode tertentu dengan mengacu pada standar yang
ditetapkan kinerja perusahaan hendaknya merupakan hasil yang dapat diukur dan
menggambarkan kondisi empirik suatu perusahaan dari berbagai ukuran yang
disepakati. Guna mengetahui tingkat kinerja suatu perusahaan dilakukan
serangkaian tindakan evaluasi pada intinya adalah penilaian atas hasil usaha yang
dilakukan selama periode waktu tertentu. Hasil usaha tersebut dapat berupa
barang atau jasa yang dapat menjadi atribut dari keberhasilan kerja perusahaan
(Rusdin,2000).
2.2.2
Penilaian Kinerja Perusahaan
Penilaian
kinerja perusahaan (companies performance
assesment)
mengandung makna proses atau penilaian mengenai pelaksanaan kemampuan
kerja suatu perusahaan (organisasi) berdasarkan waktu tertentu.
Penilaian Kinerja merupakan aktivitas yang penting bagi perusahaan
karena penilaian kinerja dapat menjadi penghubung antara maksud dan tujuan dari
pihak perusahaan dan karyawan ( Mulyadi : 2001 )
Tingkat kinerja yang dicapai dapat menunjukan keberhasilan seseorang
atau perusahaan dalam pencapaian tujuan sehingga dapat disimpulkan secara
umum tujuan perusahaan mengadakan pengukuran kinerja adalah:
1) Menetapkan
kontribusi
masing-masing
divisi
perusahaan
secara
keseluruhan atau kontribusi masing-masing sub divisi dari suatu divisi.
2) Memberikan dasar untuk mengevaluasi kualitas kerja masing-masing
manajer divisi (evaluasi manajerial).
3) Memotivasi para manajer divisi supaya konsisten dalam mengoperasikan
divisinya sehingga sesuai dengan tujuan pokok divisinya (evaluasi
manajerial).
4) Memberikan acuan kepada pihak eksternal dalam pengambilan keputusan
khusunya dalam hal menginvestasikan modalnya ke dalam perusahaan.
Dalam perkembangan penilaian kinerja perusahaan di pergunakan berbagi
rasio seperti: Return On Investment (ROI), Return On Asset (ROA), Return On
Equity (ROE) serta rasio-rasio lainnya yang menitikberatkan pada aspek
keuangan. Pada perkembangannya konsep pengukuran kinerja mencoba
mengukur secara lebih komperhensif seperti Economic Value Added (EVA).
Metode pengukuran ini memiliki kelebihan dibandingkan dengan metode
pengukuran berdasarka rasio karena EVA memperhitungkan biaya modal yang
menggambarkan aspirasi pemilik modal atas tingkat pengembalian dalam
penciptaan nilai tambah. Akan tetapi metode ini juga memiliki kelemahan karena
hanya menilai perusahaan dari aspek keuangan semata (Teuku Mirza,1997).
Mengatasi fenomena yang muncul dari metode-metode pengukuran yang
hanya mengukur kinerja perusahaan dari satu aspek, Kaplan dan Norton (1996)
mengukur kinerja perusahaan dengan mempertimbangkan empat aspek atau
perspektif yaitu : (1). Perspektif Keuangan, (2). Perspektif Pelanggan, (3).
Perspektif Proses Bisnis Internal, dan (4). Perspektif Pertumbuhan dan
Pembelajaran. Keempat perspektif tersebut merupakan uraian dan upaya
penerjemahan visi dan strategi perusahaan dalam terminologi operasional.
Gagasan untuk menyeimbangkan pengukuran aspek keuangan dan aspek
non
keuangan
melahirkan
konsep
Balanced
Scorecard.
Melalui
BSC
memungkinkan para manajer para manajer perusahaan mengukur bagaimana unit
bisnis
mereka
melakukan
penciptaan
nilai
saat
ini
dengan
tetap
mempertimbangkan kepentingan-kepentingan masa yang akan datang. BSC juga
memungkinkan perusahaan untuk mengukur apa yang telah diinvestasikan dalam
pengembangan sumber daya manusia, sistem dan prosedur demi perbaikan kinerja
di masa yang akan datang.
2.2.3
Penilaian Kinerja Perusahaan Berdasarkan
Pendekatan Balanced
Scorecard ( BSC )
Sejalan dengan perkembangan penilaian kinerja perusahaan Kaplan dan
Norton (1996) memperkenalkan konsep Balanced Scorecard sebagai suatu sistem
pengukuran kinerja yang menyeimbangkan alat ukur lama yang hanya berdimensi
pada profitabilitas dengan dimensi-dimensi kualitas. Dengan ini BSC diharapkan
dapat mengintegrasikan energi kemampuan dan pengetahuan organisasi yang
spesifik agar dapat mencapai tujuan strategis jangka panjang. Ancelle Hermawan
(1996) mengemukakan bahwa BSC memuat makna keseimbangan yaitu:
a) Keseimbangan antara pengukuran eksternal untuk pemegang saham
dan pelanggan dengan pengukuran internal dari proses bisnis internal.
Inovasi dan proses pembelajaran serta pertumbuhan.
b) Keseimbangan antara pengukuran hasil usaha masa lalu dengan
pengukuran yang mendorong kinerja masa mendatang.
c) Keseimbangan antara unsur objektivitas, yaitu pengukuran berupa
hasil kuantitatif yang di peroleh secara mudah dengan unsur
subjektivitas, yaitu pengukuran pemicu kinerja yang membutuhkan
pertimbangan.
Kaplan dan Norton (1996) menggaris bawahi tentang perlunya pengukuran
suatu bisnis dengan menggunakan BSC yaitu untuk memenuhi perubahan
kebutuhan pemakai, sehingga pelaporan bisnis harus:
a) Menyediakan informasi tentang rencana, peluang, risiko dan
ketidakpastian
b) Lebih memfokuskan pada faktor-faktor yang menciptakan nilai jangka
panjang, termasuk di dalamnya pengukuran non keuangan yang
mengindikasikan bagaimana prestasi yang dicapai dalam bisnis utama.
c) Memberikan informasi yang lebih baik kepada pihak eksternal melalui
informasi yang dilaporkan secara internal kepada manajemen senior
yang bermanfaat untuk mengelola bisnis.
Merujuk pada pentingnya Balanced Scorecard (BSC), maka pada tataran
konsep dan implementasi BSC dinilai memiliki keistimewaan di banding dengan
pengukuran kinerja sebelumnya (Rusdin,2000), yaitu:
a) BSC hadir untuk menunjang kebutuhan penilaian kinerja yang
komperhensif dan berimbang.
b) Pada penilaian kinerja berdasarkan pendekatan BSC data laporan
keuangan tetap dipertahankan dalam pengukuran kinerja. Tetapi untuk
memenuhi kebutuhan perkembangan di masa yang akan datang,
perusahaan perlu melakukan investasi pada pelanggan, pemasok,
karyawan, proses teknologi dan inovasi, sehingga informasi yang di
berikan oleh data-data keuangan tersebut yang hanya merupakan data
masa lalu dirasakan tidak mencukupi.
c) BSC memberikan tambahan dengan memberikan pengukuran terhadap
faktor-faktor pemicu kinerja masa yang akan datang.
d) BSC menekankan bahwa pengukuran keuangan dan non keuangan
harus merupakan bagian dari sistem informasi bagi seluruh pegawai
dari semua tingkatan dalam organisasi.
e) Tujuan dan pengukuran dalam BSC bukan hanya penggabungan dari
ukuran-ukuran keuangan dan non keuangan yang ada, melainkan
merupakan hasil dari suatu proses ”atas bawah” berdasarkan visi dan
strategi dari suatu unit usaha.
f) Penggunaan BSC memiliki inovatif yaitu sistem dan mekanismenya
memungkinkan terjadinya proses belajar dalam tingkatan eksekutif.
g) Dengan
BSC
manajemen
perusahaan
dapat
memonitor
dan
menyesuaikan implementasi dari strategi yang di tetapkan dan apabila
di perlukan, membuat perubahan fundamental dalam strategi itu
sendiri
h) BSC bukan hanya merupakan sistem pengukuran kinerja yang bersifat
operasional
atau
taktikal,
tetapi
perusahaan
yang
inovatif
menggunakan sebagai sistem manajemen strategik, yaitu untuk
mengelola strateginya dalam jangka panjang.
i) Tujuan BSC dijabarkan dari visi dan strategi perusahaan, sehingga
memungkinkan fleksibilitas.
Balanced Scorecard yang disusun dengan baik haruslah mencerminkan
hubungan sebab akibat yang diperoleh dari strategi yang ditetapkan yang
mencakup estimasi dari waktu, respon dan besarnya hubungan antar pengukuran
dalam BSC. Kadang-kadang perusahaan telah melakukan perbaikan dalam faktor
pemicu kinerja, tetapi gagal mencapai mencapai hasil yang diinginkan. Hal ini
memberikan indikasi bahwa teori yang mendasari strategi yang ditetapkan
mungkin tidak tepat, sehingga perlu strategi baru dengan mempelajari hubungan
antara pengukuran strategik dalam BSC.
Dengan demikian, BSC bukanlah merupakan sistem pengendalian sematamata, tetapi lebih merupakan sistem komunikasi, informasi dan pembelajaran bagi
perusahaan.
Pada pengimplementasian proses penerapan Balance Scorecard melalui
beberapa tahap berikut (Atkinson, Banker, Kaplan, dan Young dalam Amin
Widjaja Tunggal 2001).
a) Menjabarkan strategi dari suatu usaha ke dalam tujuan strategis yang
lebih spesifik oleh tim manajemen eksekutif senior.
b) Menetapkan tujuan keuangan perusahaan dengan mempertimbangkan
apakah perusahaan akan menekankan pertumbuhan pendapatan dan
pasar, profitabilitas atau menghasilkan arus kas.
c) Tim manajemen secara eksplisit menyatakan segmen pasar dan
pelanggan yang diputuskan untuk dilayani.
d) Mengidentifikasi tujuan dan pengukuran proses bisnis internal yang
tidak hanya menggunakan indikator ukuran keuangan seprti perbaikan
biaya, kualitas dan waktu siklus produksi dengan proses yang berjalan.
e) Mencari metode baru yang memberikan kinerja lebih baik.
f) Menetapkan tujuan proses pembelajaran dan pertumbuhan yang
mengungkapkan pemikiran untuk melakukan investasi yang berarti
dalam meningkatkan ketrampilan pegawai, sistem dan teknologi
informasi serta dalam meningkatkan prosedur organisasional.
g) Meramalkan target tahunan yang harus dicapai agar dapat mencapai
target jangka panjang. Dengan demikian anggaran perusahaan akan
mencerminkan rencana perusahaan yang sudah sesuai dengan strategi
perusahaan.
Dengan
demikian
melalui
pengukuran
kinerja
berdasarkan
BSC
perusahaan didorong untuk tidak hanya memberikan perhatian pada proses yang
ada, tetapi perusahaan berusaha mencari metode proses baru yang memberikan
kinerja lebih baik bagi pelanggan dan pemegang saham untuk srategi yang di
tetapkan. Keterkaitan terakhir adalah pada tujuan proses pembelajaran dan
pertumbuhan. Perusahaan yang mengungkapkan pemikiran untuk melakukan
investasi yang signifikan dalam meningkatkan ketrampilan pegawai dalam sistem
dan teknologi informasi serta dalam meningkatkan prosedur organisasional,
investasi tersebut akan menghasilkan inovasi utama dan perbaikan dalam proses
bisnis internal, pelanggan dan akhirnya pemegang saham.
Dalam
pengukuran
keberhasilan
kinerja
perusahaan
berdasarkan
pendekatan Balance Scorecard di bagi empat perspektif menjadi : 1). Perspektif
Keuangan, 2). Perspektif Pelanggan, 3) Perspektif Proses Bisnis Internal, dan 4).
Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran.
Lebih jelas perspektif-perspektif pengukuran kinerja tersebut diuraikan
sebagai berikut:
2.2.3.1 Perspektif Keuangan ( Financial Perspective )
Tujuan keuangan merupakan cerminan tujuan utama perusahaan secara
umum tujuan keuangan setiap perusahaan adalah memaksimalkan laba, akan
tetapi untuk mengukur keberhasilan masing-masing perusahaan tidak dapat di
gunakan standar yang sama. Tolok ukur yang digunakan tergantung pada posisi
perusahaan dalam siklus bisnis usaha, sebab pada siklus usaha yang berbeda
tujuan keuangan perusahaan bisa berbeda pola. Kaplan dan Norton yang di
alihbahasakan oleh Peter R. Yosi (1996:42) membagi siklus usaha ke dalam tiga
tahap yaitu:
1) Tahap Growth ( Pertumbuhan )
Tahap ini merupakan tahap awal dalam siklus hidup perusahaan. Dalam
tahap ini perusahaan memiliki barang atau jasa yang mempunyai pertumbuhan
potensi yag signifikan, namun dapat beroperasi dengan cash flow yang negatif dan
tingkat pengembangan investasi masih rendah. Oleh karena itu finansial yang
paling cocok untuk tahap ini adalah sebesar tingkat pertumbuhan pendapatan atau
penjualan.
2) Tahap Sustain ( Bertahan )
Pada tahap ini perusahaan berupaya untuk mempertahankan pangsa pasar
yang di milikinya, sehingga semua aktivitas ditujukan untuk menyempurnakan
kekurangan-kekurangan
yang
ada.
Investasi
yang
dilakukan
dengan
mengisyaratkan tingkat pengembangan yang terbaik, investasi yang dilakukan
pada umumnya untuk meningkatkan kapasitas dan penyempurnaan proses operasi
secara konsisten. Pada tahap ini sasaran keuangan lebih diarahkan pada besarnya
tingkat pengembalian atas investasi yang dilakukan, sehingga tolok ukur yang
umumnya dipakai besarnya pendapatan operasional (operating income), besarnya
laba kotor (gross profit), tingkat pengembalian investasi (ROI), tingkat
pengembalian modal (return of capital), atau besarnya nilai tambah ekonomis
(EVA).
3) Tahap Harvest
Tahap Harvest merupakan suatu tahap di mana perusahaan telah mencapai
titik jenuh atas barang atas jasa yang dihasilkan. Perhatian dipusatkan pada upaya
meningkatkan efisiensi untuk memaksimalkan arus kas sebagai hasil atas investasi
lebih jauh, sehingga pada tahap ini besarnya arus kas masuk dari kegiatan
operasional dan tingkat penurunan modal kerja (retuction rate in working capital )
dijadikan sebagai tolok ukur kinerja finansial perusahaan.
Sasaran tolok ukur keuangan memiliki peran ganda selain merupakan
target akhir bagi sasaran dan ukuran dalam perspektif lain dalam BSC juga
menggambarkan kinerja keuangan yang diharapkan dari perencanaan strategis
perusahaan. Tujuan keuangan yang digunakan sebagai fokus pada indikator dan
tujuan dalam semua scorecard pada perspektif lain. Pengukuran kinerja keuangan
menunjukan apakah strategi perusahaan, implementasi dan aktivitasnya
memberikan kontribusi terhadap perbaikan yang mendasar.
2.2.3.2 Perspektif Pelanggan (Customer Perspective)
Dalam perspektif pelanggan, manajer mengidentifikasikan segmen
pelanggan dan segmen pasar di mana perusahaan akan berkompetisi, serta ukuran
kinerja yang akan digunakan pada segmen tersebut. Berdasarkan pengetahuan
bahwa di satu pihak potential customer sangatlah beragam dan pihak lain
perusahaan pun memiliki keterbatasan yang dapat memusatkan seluruh potential
customernya, maka perusahaan membuat segmentasi pasar yang paling mungkin
untuk dilayani dengan cara yang terbaik berdasarkan kemampuan dan sumberdaya
yang ada.
Penetapan segmen pasar yang dijadikan sasaran dan identifikasi keinginan
dan kebutuhan pelanggan dalam segmen tersebut merupakan langkah awal dalam
penentuan seperangkat tolok ukur dalam mengukur kinerja dalam perspektif
pelanggan. Tolok ukur kinerja dalam perspektif ini di bagi dua kelompok.
Kelompok pertama disebut kelompok inti ( customer core measurement group )
dan kelompok yang ke dua disebut kelompok penunjang ( customer value
propotition ). Menurut Kaplan dan Norton yang dialihbahasakan ole Pete R. Yosi
(1996:60). Kelompok inti adalah:
a) Market Share, menggambarkan proporsi bisnis yang dijual oleh sebuah
unit bisnis dan perusahaan tetentu dalam bentuk jumlah pelanggan yang
dibelanjakan, atau volume satuan yang dijual.
b) Customer Retention, mengukur seberapa banyak perusahaan berhasil
mempertahankan pelanggan lama.
c) Customer Acuisition, mengukur keberhasilan unit bisnis dengan menarik
atau mendapatkan pelanggan atau bisnis baru.
d) Customer Satisfaction, mengukur dan memilki tingkat kepuasan pelanggan
dan seberapa jauh pelanggan merasa puas terhadap layanan perusahaan.
e) Customer Profitability, mengukur keuntungan bersih yang diprotes dari
pelanggan atau segmen tertentu setelah menghitung berbagai pengeluaran
yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan tersebut.
Agar tolok ukur kelompok inti tersebut dapat dilaksanakan maka
dilakukan penjabaran yang lebih lanjut di dalam tolok ukur kelompok kelompok
penunjang yang merupakan aktivitas-aktivitas penentu untuk memahami
penggerak ( driver ) pengukuran kelompok inti menurut Kaplan dan Norton yang
dialihbahasakan oleh Peter R. Yosi (1996:74) kelompok penunjang tersebut
adalah :
a) Atribut produk dan pelayanan ( product/service attributes ) yang terdiri
dari fungsi dan kualitas.
b) Atribut keuangan dengan pelanggan menyangkut kualitas pengalaman
pelayanan dan bagaimana perasaan pelanggan pada saat membeli barang /
jasa sebuah perusahaan.
c) Atribut Citra dan Reputasi ( image and reputation ) mencerminkan faktorfaktor yang di miliki pelanggan pada perusahaan yang bersangkutan.
2.2.3.3 Perspektif Proses Bisnis Internal.
Dalam
perspektif
proses
bisnis
internal,
manajer
berusaha
mengidentifikasi proses-proses penting bagi tercapainya tujuan perusahaan yang
ada dalam perspektif sebelumya. Perusahaan biasanya akan mengembangkan
sasaran yang ada dalam perspektif proses bisnis internal setelah perusahaan
terlebih dahulu menetapkan sasarannya dalam perspektif keuangan dan
pelanggan. Kaplan dan Norton yang dialihbahasakan oleh Peter R. Yosi (1996:83)
mengidentifikasikan proses internal bisnis terdiri dari tiga tahap yaitu:
1) Proses Inovasi
Proses inovasi terdiri dari dua komponen. Pertama adalah manajemen
menggunakan riset pasar untuk mengenali indikator pasar, sifat, pilihan
pelanggan, dan harga barang atau jasa sasaran. Sebagai tambahannya inovasi
meneliti keberadaan dan kesanggupan pelanggan, hal ini juga dapat meliputi
perspektif keseluruhan kesempatan dan pasar baru untuk barang dan jasa yang
dapat diberikan perusahaan tingkat keuntungan pelanggan dinilai untuk barang
dan jasa mendatangdan melalui inovasi, mendahului pesaing-pesaing dalam
menyampaikan keuntungan untuk market price.
2) Proses Operasi atau produksi
Proses produksi merupakan bagian dari penciptaan nilai dari sebuah
organisasi. Tahapnya dimulai dari order pelanggan sampai pada pengiriman
barang dan jasa pada pelanggan. Kegiatan operasi yang ada sekarang cenderung
pada proses yang sama, Sehingga tehnik manajemen ilmiah dapat segera
diterapkan untuk mengendalikan dan memperbaiki penerimaan order pelanggan
proses produkasi dan proses pendistribusian barang dan jasa, proses produksi
diukur dari kualitas produk dan besarnya biaya produksi termasuk fleksibilitas
proses produksi untuk menciptakan produk yang nilainya tinggi di mata
pelanggan.
3) Layanan Purna Jual
Pada tahapan layanan purna jual perusahaan berusaha memberikan manfaat
tambahan kepada para pelanggan yang telah membeli barang dan jasa dalam
bentuk berbagi layanan pasca transaksi. Perusahaan ingin mengukur apakah upaya
nya dalam pelayanan pasca transaksi ini telah memenuhi harapan pelanggannya,
tahap ini bisa diukur dari kualitas pelayanan terhadap pelanggan, biaya dan
kecepatan pelayanan terhadap pelanggan.
2.2.3.4 Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran (Learning and Growth
Perspective)
Perspektif ini memberikan infrastruktur untuk mendukung tiga perspektif
sebelumnya. Tolok ukur kinerja pada tahap ini di bagi menjadi tiga kelompok.
Kelompok pertama adalah kemampuan karyawan (employee capabilities). Tolok
ukur ini diarahkan untuk mencapai kepuasan karyawan, loyalitas karyawan, dan
produktivitas karyawan. Tolok ukur yang dapat digunakan adalah tingkat
kepuasan kerja para karyawan, besarnya pendapatan per karyawan atau nilai
tambah per karyawan.
Kelompok kedua adalah kemampuan sistem informasi (information
technology and system). Sistem informasi akan memberikan dukungan kepada
para pegawai untuk menyempurnakan proses pelaksanaan yang memerlukan
umpan balik yang cepat, tepat waktu, dan teliti mengenai barang dan jasa yang
diberikan. Tolok ukur kinerja ini dapat berupa tingkat ketersediaan informasi
misalnya ketersediaan umpan balik dan persentase karyawan yang dapat
mengakses informasi yang dibutuhkan untuk pelaksanaan tugas, tingkat ketetapan
informasi yang tersedia dan jangka waktu untuk memperoleh infomasi yang di
butuhkan.
Kelompok yang ketiga adalah motivasi, pemberdayaan dan keserasian
(motivation, empowerment, and allighment ) individu dalam perusahaan. Aspek
ini merupakan kondisi persyaratan yang diperlukan untuk pencapaian tujuan
perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Meskipun seorang karyawan memiliki
akses kepada informasi yang luas, hal itu tidak akan memberikan kontribusi bagi
keberhasilan perusahaan jika mereka tidak memotivasi untuk bertindak terbaik
untuk perusahaan. Bisa dilakukan dengan cara penciptaan iklim organisasi yang
memotivasi karyawan. Tolok ukur dalam kelompok ini adalah jumlah saran tiap
pegawai yang diajukan dan diwujudkan, jumlah saran yang diimplementasikan
dan realisasikan, jumlah saran yang berhasil guna serta banyaknya pegawai yang
mengetahui dan mengerti visi dan tujuan perusahaan.
2.2.4
Karakteristik Organisasi
Sebagian aplikasi awal Balanced Scorecard memang diperuntukan bagi
pasar tertentu, industri semi konduktor seperti advance micro devices (AMD) dan
analog devices, atau dalam suatu segmen industri komputer tertentu. Pada
kenyataanya sebagian besar perusahaan sedemikian beragamnya sehingga
membengun scorecard untuk tingkat korporasi menjadi pekerjaan yang amat sulit.
BSC memang sebaiknya di terapkan pada suatu Strategic Business Unit
(SBU). Sebuah SBU yang ideal untuk sebuah BSC melaksanakan berbagai
aktivitas di sepanjang rantai nilai : inovasi, operasi, pemasaran distribusi,
penjualan dan layanan SBU seperti mempunyai produk dan pelanggan, pemasaran
dan saluran distribusi serta fasilitas produksi sendiri, dan yang paling penting
strategi yang di rencanakan dengan baik.
Bila telah dikembangkan untuk sebuah SBU dapat menjadi dasar balance
scorecard berbagai unit departemental dan fungsional di dalam SBU tersebut.
Pernyataan misi dan strategi untuk berbagai departemen dan unit fungsi awal
dapat ditentukan di dalam kerangka kerja yang dibentuk oleh misi, strategi, dan
scorecard SBU. Para manajer departemen dan unit fungsional kemudian dapat
mengembangkan scorecard sendiri yang konsisten dan membantu terlaksananya
misi dan strategi SBU. Dengan cara ini scorecard SBU di sebar ke berbagai sentra
pertanggungjawaban di dalam SBU yang memungkinkan semua sentra
pertanggungjawaban tersebut bekerja secara terpadu untuk mencapai tujuan SBU.
Sebuah departemen yang ingin menerapkan BSC tergantung kepada
apakah unit tersebut sudah atau harus memiliki misi, strategi, pelanggan (internal
dan eksternal) dan proses internal yang memungkinkannya untuk mencapai misi
dan strateginya. Tetapi jika organisasi diterapkan terlalu luas misal: melampaui
unit bisnis strategis, maka mungkin timbul kesulitan dalam menetapkan suatu
strategi yang selaras dan terpadu, sebagai gantinya tujuan dan ukuran scorecard
akan menjadi suatu rata-rata atau campuran di strategi yang berbeda.
Selain berguna bagi perusahaan yang terdiri dari kumpulan SBU, BSC
juga berkembang bagi penerapan pada:
a) Perusahaan patungan (joint venture)
b) Departemen pendukung dalam perusahaan dan unit-unit bisnis
c) Organisasi non profit dan organisasi pemerintah.
Dalam kaitannya dengan pertanyaan atas struktur organisasi di mana
balanced scorecard dapat diaplikasikan, Norton dan Kaplan (1996:36)
menyatakan :
“Whiter a department of functional unit should be have a balance
scorecard is whether that organizational unit has (or should have) a
mission strategy, customer (internal or external) and interval process that
enable it to accomplish its mission and strategy if it does, the unit is a
valid candidate for a balance scorecard”.
Hingga kini penerapan balanced scorecard pada tingkat corporate masih
dalam pengembangan. Setidaknya kini dapat dilihat bahwa balanced scorecard
dapat memperjelas dua elemen strategi tingkat corporate yaitu:
1) Corporate Themes ( Tema perusahaan )
Yaitu nilai, kepercayaan dan tema-tema yang merefleksikan identitas
perusahaan yang harus di miliki oleh tiap-tiap SBU.
2) Corporate Role ( Peranan perusahaan )
Yaitu tindakan yang dimandatkan pada perusahaan sehingga
menciptakan sinergi pada tingkat SBU. Misalnya teknologi yang
digunakan bersama penjualan silang antar pelanggan bagi SBU-SBU
yang berbeda.
2.2.5
Manfaat Penerapan Balance Scorecard
Penerapan BSC memberikan manfaat sebagai berikut (Kaplan dan Norton,
1996 ) :
1. Memungkinkan perusahaan untuk terus memantau hasil-hasil dalam
bidang keuangan yang dicapainya, dengan tetap memantau hasil-hasil
dalam bidang keuangan yang dicapainya, dengan tetap memantau
perkembangan
dalam
membangun
keunggulan
kompetitif
dan
meningkatkan nilai aktiva tak berwujud yang dibutuhkan bagi masa depan
perusahaan.
2. Menjaga agar tidak timbul myopic suboptimization yang terjadi apabila
hanya digunakan tolok ukur tunggal dalam memotivasi dan mengevaluasi
kinerja unit bisnis.
3. Menjembatani pengembangan dan formulasi strategi dengan persiapannya.
4. Menumbuhkan kosensus dan kerjasama di antara para senior eksekutif dan
anggota organisasi yang lain baik secara vertikal maupun horizontal.
5. Menerjemahkan sebuah visi menjadi tema-tema kunci strategik yang
dikomunikasikan dan dilaksanakan oleh seluruh anggota organisasi.
6. Mengkomunikasikan strategi-strategi terbaru pada seluruh karyawan dan
kemudian menselaraskan tujuan-tujuan departemen, tim dan individu guna
mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan strategi.
7. Memberikan sarana penilaian yang lebih baik atas kemampuan manajerial,
usaha-usaha dan kualitas keputusan anggota organisasi.
8. Memberi umpan balik bagi perbaikan strategi.
Download