BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Teori 2.1.1 Tingkat Pelayanan (Service Level) Service level merupakan istilah yang banyak digunakan dalam manajemen persediaan yang merupakan besar presentase dari permintaan pelanggan yang dapat terpenuhi dari persediaan. Maka 100% service level berarti semua permintaan pelanggan dapat dipenuhi dari persediaan, sehingga dengan demikian: Stock out = 100 – service level Ada beberapa cara untuk menjelaskan arti service level yaitu: 1. Service level adalah sebuah kemungkinan dimana suatu permintaan pelanggan dapat dipenuhi dari persediaan selama tenggang waktu pemesanan atau lead time dalam satu siklus pemesanan. 2. Service level adalah besar presentase permintaan yang dapat dipenuhi dari persediaan dalam periode waktu tertentu. 3. Service level adalah besar presentase dari waktu berapa lma inventory mempunyai persediaan. Pada setiap pembahasan akan selalu digunakan definisi pertama. Re-order point ditentukan berdasarkan kemungkinan laju perubahan permintaan pada saat pemesanan sedang berjalan. 17 http://digilib.mercubuana.ac.id/z Re-order point adalah posisi persediaan yang ditentukan sebagai batas untuk melakukan pemesanan ulang. Re-order point ditetapkan pada tingkat persediaan yang cukup tinggi untuk mengurangi resiko kemungkinan persediaan habis. (Saragih, 2013) 2.1.2 Ketersediaan Barang (On Shelf Availability In Retailing) On shelf Availability (OSA) merupakan ketersediaan barang pada rak di toko. OSA merupakan kkriteria bisnis yang penting pada pasar Fast Moving Customer Goods (FMCG) dan sector ritel. OSA juga merupakan hasil dari pelayanan pelanggan dari sebuah system rantai pasok yang baik dimana dengan kata lain jika sebuah produk tidak tersedia di rak maka barang tersebut tidak dapat dijual (Trautrims, 2009). Sebuah proses distribusi mempengaruhi kecukupan jumla barang yang tersedia di dalam sebuah toko, waktu yang dibutuhkan untuk mengirimkan barang dan menentukan kelengkapan ragam sebuah produk (Shipley dan Colin, 1992:44). Pelanggan akan memilih satu dari lima tindakan ketika menemukan keadaan stok habis / out of stock (OOS). Tindakan yang akan dilakukan adalah : a. Mencari pengganti dengan ukuran yang berbeda dalam merek yang sama. b. Mencari merek lain. c. Membeli di toko yang lain dengan merek yang sama. d. Menunda pembelian. e. Tidak membeli sama sekali 18 http://digilib.mercubuana.ac.id/z Setiap pemilihan tindakan tersebut akan memberikan dampak langsung terhadap penjualan dan keuntungan perusahaan, dengan demikian On-Shelf Availability menjadi hal yang sangat penting dengan memastikan bahwa sebuah produk mudah dicari dan mudah dipilih pada aktivitas pembelian oleh pelanggan. Konsumen dengan kategori tertentu akan beralih membeli sebuah produk dengan merek yang berbeda yaitu apabila barang tersebut tidak berasosiasi secara personl. Namun apabila ada asosiasi personal maka konsumen tetap tidak akan membeli merek lain. Konsumen dapat beralih membeli merek lain untuk sebuah buku tulis / kertas namun tidak demikian dengan produk obat (Daniel dan Gruen, 2003). Loyalitas terhadap sebuah toko menjadi sangat penting dan untuk meningkatkan efisiensi proses logistik banyak perusahaan yang mempersingkat rantai pasok dari distribusi terpusat menjadi distribusi primer dan sekunder yang terintegrasi sehingga dapat menurunkan waktu tunggu pengiriman barang. Ketersediaan barang merupakan nilai pelayanan pelanggan yang mempunyai “ nilai tukar” terhadap biaya yang timbul untuk mengirimkan sebuah barang dan biaya yang berhubungan dengan logistic (Trautrims, 2009). Ada tiga hal yang mempengaruhi konsumen dalam mengambil keputusan pada saat tidak menemukan sebuah produk di rak toko (Daniel dan Gruen, 2003) : Biaya yang ditimbulkan apabila tidak segera membeli barang tersebut. Biaya pengganti dengan menggunakan produk yang bukan pilihan utama. Biaya transaksional yang ditimbulkan atas waktu yang dibutuhkan untuk mencari barang dengan nominal yang tidak terlalu mahal. 19 http://digilib.mercubuana.ac.id/z Ketidak-tersediaan barang pada sebuah toko akan menimbulkan kepuasan konsumen yang rendah dan menambah kecenderungan konsumen untuk pindah ke toko lain. Pada toko-toko tertentu konsisten ketersediaan barang pada rak juga dapat diartikan sebagai factor penentu sebuah kualitas produk karena dengan tingkat OOS yang tinggi maka konsumen akan mempertimbangkan produk tersebut kurang menarik (Daniel dan Gruen, 2003). Dampak OSA yang konsisten mempunyai implikasi terhadap manajerial. Tidak konsisten dalam OSA akan memberikan kesan negative terhadap konsumen. Hal tersebut juga akan mempengaruhi pilihan pembelian konsumen terhadap produk tertentu. 2.1.3 Kepuasan Pelanggan Dari keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan pada akhirnya akan bermuara pada nilai yang akan diberikan oleh konsumen mengenai kepuasan yang dirasakan. Kepuasan merupakan tingkat perasaan dimana seseorang menyatakan hasil perbandingan atas kinerja produk (jasa) yang diterima dan yang diharapkan. (Saragih, 2013) Jadi dengan kata lain konsumen adalah seseorang yang secara berkelanjutan dan berulang kali datang ke suatu tempat yang sama untuk memuaskan keinginannya dengan memiliki suatu produk atau mendapatkan jasa dan membayar produk atau jasa tersebut. (Saragih, 2013) 2.1.4 CPFR Collaborative Planning, Forecasting and Replenishment (CPFR) merupakan suatu business practice yang mengkombinasikan intelijensi beberapa mitra dagang dalam perencanaan dan pemenuhan permintaan pelanggan. CPFR 20 http://digilib.mercubuana.ac.id/z menghubungkan best practices penjualan dan pemasaran, seperti kategori manajemen ke perencanaan dan eksekusi supply chain untuk meningkatkan ketersediaan sembari mengurangi biaya inventory, transportasi, dan logistic. Sejak Asosiasi VICS (Voluntary Interindustry Commerce Standards) mempublikasikan pedoman untuk CPFR pada tahun 1998, lebih dari 300 perusahaan telah mengimplementasikan proses ini. Sejumlah studi kasus proyek CPFR mendokumentasikan persentase peningkatan barang dari 2-8% untuk produk di toko, disertai pengurangan persediaan 10-40% di seluruh rantai pasok. Pengalaman yang diperoleh dari penerapan pilot dan produksi CPFR selama enam tahun terakhir telah menghasilkan banyak wawasan. Sebuah komite gabungan dari VICS dan the Efficient Consumer Response (ECR) organisasi merevisi sedikit panduan pada tahun 2001 untuk memasukkan persyaratan global, yang disetujui oleh Global Commerce Initiative (GCI). Pada tahun 2004, komite VICS CPFR mengembangkan revisi utama model CPFR untuk mengintegrasikan inovasi dan pengatasi. a) Model CPFR Model referensi CPFR menyediakan kerangka kerja umum untuk aspek kolaboratif dalam perencanaan, peramalan dan proses pengisian ulang. Gambar 2.1 menggambarkan kerangka kerja ini, yang dapat diterapkan pada banyak industri. Pembeli dan penjual, sebagai Peserta Kolaborasi, bekerja sama untuk memenuhi permintaan pelanggan akhir, yang berada di pusat model. Di industri ritel, ritel biasanya mengisi peran pembeli, produsen mengisi peran penjual, dan konsumen adalah konsumen akhir. Di segmen industri lainnya, 21 http://digilib.mercubuana.ac.id/z seperti teknologi tinggi, Peserta Kolaborasi mungkin berbeda. Sisa dokumen ini menyajikan CPFR dalam konteks industri ritel. b) Tugas - Tugas Dalam CPFR Gambar 2.1 Tugas Manufactur dan Ritel Dalam Strategi & Perencanaan, Collaboration Arrangement adalah proses penetapan tujuan bisnis untuk hubungan, menentukan lingkup kolaborasi dan menetapkan peran, tanggung jawab, pos pemeriksaan dan prosedur eskalasi. Joint Business Plan kemudian mengidentifikasi kejadian signifikan yang mempengaruhi penawaran dan permintaan pada periode perencanaan, seperti promosi, perubahan kebijakan inventori, pembukaan toko / penutupan, dan perkenalan produk. 22 http://digilib.mercubuana.ac.id/z Permintaan & Manajemen Pasokan dipecah menjadi Peramalan Penjualan, yang memproyeksikan permintaan konsumen pada titik penjualan, dan Perencanaan / Peramalan Order, yang menentukan persyaratan pemesanan dan pengiriman produk masa depan berdasarkan perkiraan penjualan, posisi persediaan, waktu pengiriman transit, dan faktor lainnya. Eksekusi terdiri dari Order Generation, yang memproyeksikan perkiraan permintaan perusahaan, dan Order Pemenuhan, proses memproduksi, pengiriman, pengiriman, dan stok untuk pembelian konsumen. Tugas Analisis meliputi Exception Management, pemantauan aktif perencanaan dan operasi untuk kondisi di luar batas, dan Penilaian Kinerja, perhitungan metrik utama untuk mengevaluasi pencapaian sasaran bisnis, mengungkap tren atau mengembangkan strategi alternatif. Untuk setiap Tugas Kolaborasi dalam model, ada Tugas Enterprise yang sesuai yang dilakukan oleh personel di Ritel dan Manufaktur. Tugas Enterprise ini, seperti tercantum dalam Tabel 1, menghubungkan Tugas Kolaborasi bisnis-tobisnis ke keseluruhan operasi perusahaan. Table 2.1 Tugas Enterprise Ritel dan Manufactur yang Mendukung Kolaborasi 23 http://digilib.mercubuana.ac.id/z Misalnya, tim penjualan manufaktur melakukan perencanaan akun strategis secara periodik. Ritel melakukan tinjauan manajemen vendor. Bila hubungan perdagangan melibatkan CPFR, tim yang bertanggung jawab atas proses perusahaan ini berkumpul untuk menghasilkan Collaboration Arrangement. c) Implikasi Organisasi CPFR menetapkan pedoman bagi perusahaan untuk mengintegrasikan proses perencanaan mereka melintasi batas perusahaan. Namun, program business-to-business harus didasarkan pada proses kolaborasi yang lebih mendasar dalam setiap perusahaan. Bagi beberapa perusahaan, mencapai kolaborasi internal dapat menimbulkan tantangan yang lebih besar daripada bekerja dengan pelanggan atau pemasok. 24 http://digilib.mercubuana.ac.id/z Gambar 2.2 mengilustrasikan peran organisasi yang mengelola aktivitas CPFR di setiap sisi hubungan perdagangan. Sumber daya yang bertanggung jawab untuk perencanaan barang dagangan mengembangkan rencana kategori, yang oleh produsen perencanaan permintaan produsen sesuai dengan perkiraan mereka. Perwakilan penjualan dan pembeli menegosiasikan kesepakatan dan acara promosi lainnya. Pengisian personil menentukan jumlah pesanan toko dan / atau DC, dan petugas layanan pelanggan manufaktur dan logistik memobilisasi sumber daya untuk memenuhinya. Dalam banyak kasus, diskusi dan transaksi bisnis ini dilakukan secara independen, tanpa koordinasi antar organisasi perusahaan. Gambar 2.2 Conventional Organizational Roles Kolaborasi business-to- business yang efektif menuntut reorientasi sumber daya - dari silo fungsional hingga fokus interdisipliner. Untuk akun utama, banyak produsen membentuk tim lintas-fungsional. Logistik, perencanaan, dan sumber keuangan saling terkait dengan tenaga penjualan untuk memberikan satu wajah kepada pelanggan. Untuk akun yang lebih kecil, tim lintas fungsi ditugaskan ke 25 http://digilib.mercubuana.ac.id/z geografi atau saluran. Gambar 2. menggambarkan struktur organisasi kolaboratif yang diinginkan. Gambar 2.3 Struktur Organisasi Kolaborasi Ritel menghadapi tantangan organisasi yang lebih besar lagi. Biasanya tidak praktis untuk merencanakan, membeli dan melengkapi personil untuk mengatur kembali pemasok, namun kadang-kadang dapat menciptakan tim kategori lintas fungsi. Perubahan terbesar mungkin terjadi dalam organisasi pengisian ulang itu sendiri: fungsi pengisian toko dan DC harus mengatur distribusi dengan hati-hati untuk mengurangi saldo persediaan di luar saham dan rantai persediaan, sehingga beberapa peritel menggabungkan toko mereka dan tim pengisian ulang DC untuk mengurangi terputusnya hubungan. 26 http://digilib.mercubuana.ac.id/z 2.2 Penelitian Terdahulu Tabel 2.2 Daftar Penelitian Terdahulu 27 http://digilib.mercubuana.ac.id/z 2.3 Kerangka Pemikiran Gambar 2.4 Diagram Alir Konsep Penelitian 28 http://digilib.mercubuana.ac.id/z Kerangka pemikiran dari penelitian ini berawal dari kondisi awal dimana nilai OSA di ritel dan Service Level dari Supplier ke ritel masih di bawah target. Kemudian tindakan yang dilakukan oleh Supplier dan Ritel sebagai usaha untuk memperbaikinya adalah dengan melakukan kolaborasi yang dimulai dengan pilot project. Lalu penulis melakukan analisa terhadap perilaku kolaborasi dan hasil kerjanya untuk mendapatkan penemuan yang dapat meningkatkan kinerja kolaborasi tersebut. Setelah melakukan analisa, penulis memberikan rekomendasi untuk pengembangan kolaborasi sehingga dapat diperoleh nilai OSA dan Service Level yang stabil sesuai dengan nilai yang ditargetkan. 29 http://digilib.mercubuana.ac.id/z