BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Mengakhiri pembahasan tentang konsep kenabian dalam perspektif perennialisme Frithjof Schuon ingin ditegaskan kembali beberapa poin penting untuk menjawab rumusan masalah pertama sebagaimana tersebut di bawah ini: 1. Kenabian adalah salah satu wujud misi dan sifat keilahian di dunia. Bentuk atau wujud kenabian beragam dan berjenjang, namun substansinya pada prinsipnya satu dan sama. Dimungkinkan dalam tiap tradisi agama-agama muncul bentuk-bentuk kenabian yang berbeda baik istilah maupun konsepnya dan itu semua disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakatnya. Apa yang dibutuhkan di tiap masa dan komunitas sangat mungkin berlainan dalam hal yang menjadi problem dan perhatian utamanya. 2. Aspek eksoterik kenabian menuntun pada ditemukannya beragam kepribadian nabi beserta klaim-klaim kebenaran dan kehadirannya. Sementara aspek esoterik kenabian merunut pada cara pandang perennialisme tidak hanya menekankan aspek ilahiah dan ketakterhinggaan (keajaiban) yang menyertainya, namun juga aspek kemanusiaan yang ditandai dengan keseimbangan (ekuilibrium) nilai-nilai dalam kehidupan di tengah manusia dan kefanaan di hadapan Yang Maha Esa. 248 249 Adapun persoalan kenabian dalam perennialisme Schuon hadir dan disimpulkan seperti yang terungkap di bawah ini: 1. Setiap bentuk adalah terbatas dan setiap kenabian di luarnya adalah suatu bentuk, sedangkan sifat kemutlakan yang dimilikinya hanya dalam esensi hakiki dan supraformalnya saja. Masing-masing nabi otentik untuk jamannya dan benar adanya serta tidak menghapus dan menggantikan yang lain, sejauh substansi kenabian yang ada itu sama. Akan tetapi di antara sekian banyak nabi, Schuon mendapati sosok kenabian yang ideal pada diri nabi Umat Islam yaitu Muhammad SAW yang dicirikan dengan keseimbangan nilai kemurahan hati, kedamaian, dan kekuatan. Selanjutnya juga antara nilai kemuliaan hati, kejujuran, dan ketenangan hati. 2. Seorang nabi adalah manusia primordial dan Schuon menyebutnya sebagai Ancient Man karena keterkaitannya dengan intelek Ilahi. Oleh karenanya Nabiyyul Ummi yang tidak membaca dan menulis segores huruf pun tetaplah nabi meski tidak dilarang memfungsikan penanya. Kitab suci juga bukan prasyarat untuk disebut nabi sebab telah ada banyak nabi terlahir dan terpilih untuk menunaikan tugasnya sebagai nabi tanpa daun lontar, buku, atau catatan satu pun. Para sahabat, agamawan, ulama’ dan pengikutnya-lah yang menjalankan tugas setelah ketiadaannya sebagai perekam dan pelestari wahyu yang diterima nabi. Nabi juga adalah manusia sempurna atau Whole Man, karena eksistensinya yang mewujudkan keutuhan kebajikan di dunia secara universal sesuai kehendak-Nya. 250 3. Schuon menegaskan dalam kaitannya dengan keberagaman wahyu dan nabi bahwa semua agama memiliki satu bentuk dan satu substansi. Adapun sifat mutlak dalam Islam sebagai contoh adalah sama seperti sifat dalam setiap agama, terletak pada dimensi dalamnya, dan bahwa relativitas dimensi luarnya harus menjadi jelas dalam hubungannya dengan tradisi-tradisi keagamaan besar lainnya, serta dengan nabi dan orang-orang suci mereka. Adapun terkait relevansi penelitian ini bagi kehidupan keberagamaan di Indonesia dapat disimpulkan hal-hal berikut: 1. Menghadapi fenomena seseorang yang mengaku menjadi utusan Tuhan di tanah air yang sempat beberapa kali muncul baik sebagai ratu adil maupun nabi, hal semacam itu akan teruji dari misi yang diembannya, jika dalam misi tersebut hanya meninggikan hal-hal yang sudah tinggi dan semakin merendahkan berbagai hal yang sudah rendah, maka tidaklah patut diapresiasi. Sedangkan jika mampu mentransendensikan hal-hal yang profan dan menemukan kesakralan dalam hal-hal keseharian patutlah mendapat penghormatan. 2. Mengedepankan aspek esoterik kenabian daripada aspek eksoteriknya merupakan cara yang bijak untuk mengurangi benturan antar komunitas keagamaan dengan masing-masing tokoh panutannya. 3. Yang perlu dikhawatirkan ke depan pada Bangsa Indonesia adalah respon umat atau pengikut yang membabi buta menjejaki jalan tanpa sikap kritis dan kedewasaan bertindak terutama dalam kehidupan keberagamaan. Selama tidak ada yang menjunjung sang nabi melebihi batas kemanusiaannya hal itu tidak 251 akan menjadi problem, namun manakala muncul individu-individu yang diagung-agungkan dan dipatuhi melebihi kepatuhan dan ketundukan pada Yang Ilahi, maka yang muncul adalah sebuah problem besar. B. Saran Cara pandang perennialisme Schuon ini diharapkan bisa meluas terutama diawali di tengah para cendekiawan agama dan ahli-ahli ilmu, untuk kemudian disokong dengan berbagai disiplin ilmu lain khususnya yang mengkaji ilmu-ilmu keagamaan dan filsafat agar semakin komprehensif dan mengurangi tingkat ketegangan yang sering muncul di antara para pengikut agama yang cenderung fanatik. Kedewasaan berpikir dan beragama menjadi penting untuk ditingkatkan agar tidak mudah mengikuti jejak-jejak sosok berkharisma dengan aneka janji dan ramalannya. Semoga Bangsa Indonesia tidak terlena dan bersiap diri dengan penuh kesadaran disertai pengetahuan yang terus diperdalam untuk menghadapi berbagai permasalahan hidup utamanya dalam keberagamaan.