HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus avian influenza (AI) strain H5N1/Ngk/2003 secara intranasal dengan dosis 106,0 EID50/0,1 ml per ekor menunjukkan bahwa virus ini mengakibatkan mortalitas pada ayam broiler (Tabel 4). Seluruh ayam dalam kelompok pemberian 5% formula ekstrak dan divaksin (kelompok III) bertahan hidup sampai hari ke-7 pasca infeksi. Ayam pada kelompok ini dieutanasi kemudian dinekropsi untuk diambil sampel organ hati dan ginjal. Mortalitas terendah ditemukan pada kelompok perlakuan pemberian vaksin tanpa ekstrak (kelompok II) dengan jumlah kematian sebanyak satu ekor pada hari ke-7 pasca infeksi. Sementara itu, mortalitas tertinggi diamati pada tiga kelompok perlakuan, yakni kelompok yang tidak diberi formula ekstrak dan tidak divaksin; kelompok yang diberi 5% formula ekstrak tanpa divaksin; serta kelompok yang diberi 10% formula ekstrak dan tidak divaksin. Tabel 4 Data klinis ayam broiler perlakuan setelah uji tantang virus AI strain H5N1/Ngk/2003 dengan dosis 106,0 EID50/0,1 ml per ekor Kelompok I II III IV V VI VII VIII Perlakuan Kontrol negatif (tanpa ekstrak, tanpa vaksin) Kontrol positif (tanpa ekstrak, vaksin) 5% Formula, vaksin 7,5% Formula, vaksin 10% Formula, vaksin 5% Formula, tanpa vaksin 7,5% Formula, tanpa vaksin 10% Formula, tanpa vaksin Total Ayam Total ayam mati pada hari ke- setelah uji tantang virus AI Total ayam hidup pada hari ke-7 setelah uji tantang (%) 1 2 3 4 5 6 8 - - 3 4 1 - 0 (0) 8 - - - - - 1 7 (87,5) 8 - - - - - - 8 (100) 8 - - 1 - 1 - 6 (75) 8 - - 2 1 1 - 4 (50) 8 - - 4 3 1 - 0 (0) 8 - - 6 1 - - 1 (12,5) 8 - - 7 1 - - 0 (0) 17 Berdasarkan data jumlah kematian ayam, maka terlihat bahwa pemberian formula ekstrak sambiloto, adas, dan sirih merah serta vaksin mampu menekan jumlah kematian ayam yang diinfeksi virus AI. Di sisi lain, pemberian vaksin secara tunggal tanpa pemberian ekstrak cukup mampu melindungi ayam dari virus AI yang ditandai dengan tidak adanya kematian sampai hari ke-5 pasca infeksi. Sementara itu, tidak adanya kematian ayam pada kelompok pemberian 5% formula ekstrak yang divaksinasi kemungkinan disebabkan oleh adanya salah satu zat dalam ekstrak yang berperan sinergis dengan vaksin. Akan tetapi, jenis dan mekanisme zat tersebut belum diketahui secara pasti. Evaluasi Histopatologi Organ Hati Hasil pengamatan histopatologi organ hati menunjukkan bahwa kelompok pemberian 7,5% formula dan vaksin (kelompok IV) memiliki lesio paling ringan. Hampir 70% lesio yang terlihat berupa kongesti dengan rataan skor 1,60. Lesio kongesti yang mendominasi organ kelompok perlakuan no.IV ditandai dengan dilatasi vena-vena. Secara kuantitatif kelompok IV memiliki rataan skoring yang lebih rendah daripada kelompok kontrol positif. Hal tersebut berarti perubahan histopatologi pada kelompok IV lebih ringan daripada kelompok kontrol positif dan pemberian ekstrak formula 7,5% mempengaruhi respon ayam terhadap virus avian influenza (AI) H5N1. Analisis statistik Kruskal-Wallis menunjukkan adanya perbedaan gambaran histopatologi yang nyata antara kedelapan kelompok perlakuan. Sementara itu, uji lanjutan Dunn (Tabel 2) menunjukkan bahwa kelompok perlakuan IV tidak berbeda nyata dengan kontrol positif (tanpa ekstrak, vaksin). Lesio histopatologi pada kelompok pemberian 7,5% formula ekstrak dan vaksinasi dapat dilihat pada Gambar 4. Sementara itu, lesio histopatologi yang terlihat pada perlakuan tanpa ekstrak namun divaksinasi menunjukkan lesio hipertrofi seluruh endotel pembuluh darah vena, termasuk vena sentralis (Gambar 6). Hipertrofi tersebut adalah salah satu reaksi terhadap replikasi virus AI di endotel pembuluh darah. Cardona et al. (2009) menyebutkan bahwa infeksi endotel pembuluh darah merupakan tahap penting dalam patogenesis virus H5N1 HPAI. Infeksi endotel 18 pembuluh darah menganggu permeabilitas pembuluh darah serta mengakibatkan edema, hemoragi, dan nekrosis jaringan. Pemberian formula sebesar 7,5% menunjukkan konsentrasi optimum yang mampu meringankan lesio akibat infeksi virus AI. Hal ini diduga karena peran senyawa tanaman sambiloto (andrografolid) dan senyawa aktif sirih merah (piperin) sebagai hepatoprotektor (Srivastava & Akhila 2010; Mishra 2010). Chen et al. (2009) dan Astani et al. (2011) juga menyebutkan bahwa andrografolid dalam sambiloto berperan sebagai hepatoperotektor dan anetol dalam adas berperan sebagai antiviral. Tabel 5 Skor pengamatan organ hati Kelompok Perlakuan I II III IV V VI VII VIII Kontrol negatif (tanpa ekstrak, tanpa vaksin) Kontrol positif (tanpa ekstrak, vaksin) 5% Formula, vaksin 7,5% Formula, vaksin 10% Formula, vaksin 5% Formula, tanpa vaksin 7,5% Formula, tanpa vaksin 10% Formula, tanpa vaksin Skor Rataan 3,95d 1,80ab 2,45bc 1,60a 2,90bc 2,05ab 2,25ab 3,95d Akhir 4 1 2 1 3 2 2 4 Huruf superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) Sementara itu, perubahan histopatologi paling berat ditunjukkan pada kelompok perlakuan I (tanpa formula dan tanpa vaksin) dan VIII (10% formula tanpa vaksinasi). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kelompok perlakuan I dan VIII berbeda nyata dengan hampir seluruh kelompok perlakuan lainnya (Tabel 5). Tingkat keparahan lesio histopatologi yang tinggi pada kelompok perlakuan I disebabkan oleh tidak adanya perlindungan organ terhadap virus oleh vaksinasi maupun formula. Sementara itu, keparahan lesio histopatologi pada kelompok perlakuan VIII selain disebabkan oleh infeksi virus, juga adanya kemungkinan konsentrasi 10% formula ekstrak sebagai konsentrasi sediaan yang toksik bagi hati. Setiyono et al. (2008) telah membuktikan bahwa ketiga tanaman obat mampu menekan lesio akibat infeksi virus AI serta cenderung tidak berpotensi toksik bagi organ pada konsentrasi yang lebih rendah yakni 2,5%. 19 Lesio yang diamati pada kelompok perlakuan VIII didominasi oleh nekrosis hepatosit (Gambar 7). Nekrosis hepatosit merupakan proses kematian sel yang dicirikan dengan cytoplasmic swelling, kerusakan organel, dan gangguan membran plasma. Kematian sel dapat diakibatkan oleh infeksi mikroorganisme seperti virus serta hipoksia. Hepatosit dan tubulus proksimal ginjal sangat rentan terhadap keadaan hipoksia. Sel yang mengalami nekrosis biasanya menunjukkan perubahan pada inti sel dan fragmentasi sel. (Mc Gavin & Zachary 2007). Nekrosis hepatosit yang terlihat pada kelompok perlakuan 10% formula tanpa vaksin dicirikan dengan karyorrhexis dan influx eritrosit ke dalam sinusoid, sedangkan nekrosis hepatosit yang terlihat pada kelompok perlakuan tanpa pemberian ekstrak dan tanpa vaksin dicirikan dengan piknosis. Menurut Schmidt et al. (2003), perubahan histopatologi berupa nekrosis hepatosit ditemukan pada infeksi virus. Sementara itu Swayne dan Pantin-Jackwood (2008) menjelaskan bahwa infeksi virus AI pada ayam mengakibatkan nekrosis hepatosit. Gambar 5 Lesio histopatologi hati: kongesti (tanda panah) pada kelompok ayam yang diberi 7,5% formula ekstrak, divaksinasi, dan diinfeksi virus AI, HE, bar 50µm. Signifikasi lesio histopatologi pada kelompok perlakuan IV dan VIII menunjukkan peran vaksin dalam melindungi organ dari infeksi virus. Kayne dan Jepson (2004) menjelaskan bahwa vaksin bekerja dengan memanfaatkan spesifisitas dan karakteristik memori pada respon imun dapatan. Sistem imun 20 akan menghasilkan respon yang lebih cepat dan kuat terhadap infeksi antigen atau patogen pada infeksi yang kedua kali dan seterusnya. Antigen dalam vaksin dimodifikasi sehingga menjadi kurang berbahaya bagi hewan namun tetap mampu menginduksi sistem imun. Gambar 6 Lesio histopatologi hati: hipertrofi endotel vena sentralis (tanda panah kuning) dan kongesti (tanda panah hijau) pada kelompok ayam yang divaksinasi, diinfeksi virus AI, dan tidak diberi formula ekstrak, HE, bar 50µm. H H N Gambar 7 Lesio histopatologi hati: nekrosis hepatosit (N) dan hemoragi (H) pada kelompok ayam yang divaksinasi, diinfeksi virus AI, dan tidak diberi formula ekstrak, HE, bar 50µm. 21 Evaluasi Histopatologi Organ Ginjal Lesio histopatologi yang diamati pada organ ginjal akibat infeksi virus AI yakni berupa nekrosis tubuli dan hemoragi. Kelompok perlakuan tanpa pemberian formula ekstrak maupun vaksin (Kelompok I) menunjukkan gambaran histopatologis yang didominasi oleh nekrosis tubuli (Gambar 8) dan secara kuantitatif memiliki rataan skor paling tinggi dibandingkan kelompok perlakuan lainnya (Tabel 6). Hasil analisis statistik dengan uji Dunn pun menunjukkan bahwa kerlompok perlakuan I berbeda nyata dengan kelompok perlakuan lainnya. Nekrosis pada organ ginjal tersebut membuktikan bahwa infeksi virus AI menyebabkan kerusakan multi organ, termasuk ginjal. Kelompok perlakuan VIII, yakni pemberian 10% formula tanpa vaksin menunjukkan perubahan histopatologi paling ringan. Sebanyak 90% lesio didominasi oleh kongesti. Mc Gavin dan Zachary (2007) menjelaskan bahwa kongesti disebabkan oleh peningkatan volume dan tekanan darah pada suatu jaringan dan berkaitan dengan dilatasi kapiler serta dapat mengakibatkan ekstravasasi cairan. Tabel 6 Skor pengamatan organ ginjal Kelompok Perlakuan I II III IV V VI VII VIII Kontrol negatif (tanpa ekstrak, tanpa vaksin) Kontrol positif (tanpa ekstrak, vaksin) 5% Formula, vaksin 7,5% Formula, vaksin 10% Formula, vaksin 5% Formula, tanpa vaksin 7,5% Formula, tanpa vaksin 10% Formula, tanpa vaksin Skor Rataan Akhir 3,90c 4 1,35a 1 1,45a 1 1,20a 1 b 2,05 2 1,40a 1 1,30a 1 1,10a 1 Huruf superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) Lesio ringan yang didominasi oleh kongesti pada kelompok perlakuan VIII (Gambar 9) disebabkan oleh senyawa andrografolid dan anetol dalam formula yang berfungsi sebagai agen antiviral (Srivastava & Akhila 2010; Astani et al. 2011). Anetol sebagai golongan fenilpropanoid berinteraksi dengan partikel virus bebas sebelum virus tersebut melakukan attachment dengan sel inang (Astani et al. 2011). Calabrese et al. (2000) dalam penelitiannya menunjukkan peningkatan 22 limfosit CD4+ pada pasien positif HIV yang diberi 10 mg/kg BB andrografolid. Peningkatan CD4+ tersebut berkaitan dengan fungsi imunomodulator andrografolid. Komponen aktif tersebut mampu memodulasi respon imun bawaan (innate) dan dapatan (adaptive) melalui regulasi polarisasi fenotip makrofag serta produksi antigen-spesifik antibodi (Wang et al. 2010). Antibodi sangat spesifik untuk masing-masing permukaan antigen dan berperan penting dalam mengatasi infeksi virus pada keadaan akut serta mencegah re-infeksi. Pencegahan terhadap infeksi kembali akan efektif jika antibodi terlokalisasi pada situs masuknya virus ke dalam tubuh. Hal ini dikarenakan sejumlah besar virus mengekspresikan molekul pada reseptor permukaan untuk mengawali infeksi. Virus AI secara spesifik berikatan dengan sialic acid pada glikoprotein dan glikolipid membran sel. Jika antibodi terhadap virus dihasilkan, maka ia mampu menghadang infeksi dengan mencegah ikatan partikel virus pada sel inang. Sementara itu, antibodi humoral spesifik untuk molekul hemaglutinin dihasilkan selama infeksi virus AI. Antibodi ini memberikan perlindungan terhadap virus dan bersifat strain spesifik (Kindt et al. 2007). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kelompok perlakuan VIII tidak berbeda nyata dengan kelompok perlakuan II, III, IV, VI, dan VII (Tabel 3), meskipun secara kuantitatif memiliki rataan skor paling rendah. Lesio ringan pada perlakuan pemberian 10% formula ekstrak tanpa vaksinasi diduga akibat peran senyawa aktif dalam masing-masing ekstrak tanaman obat dalam melindungi ginjal dari infeksi virus. Chen (2009) serta Chao dan Lin (2010) menyatakan bahwa senyawa aktif andrografolid dalam sambiloto telah terbukti efektif sebagai antivirus pada infeksi AI H5N1. 23 H N Gambar 8 Lesio histopatologi ginjal: hemoragi (H), nekrosa tubuli (N) pada kelompok ayam yang diinfeksi virus AI tanpa pemberian ekstrak dan vaksinasi, HE, bar 50µm. Gambar 9 Lesio histopatologi ginjal: kongesti (tanda panah) pada kelompok ayam yang diberi 10% formula ekstrak, diinfeksi virus AI, dan tidak divaksinasi, HE, bar 50µm. Jika hasil pengamatan antara organ hati dan ginjal dihubungkan, maka lesio histopatologi paling ringan ditemukan pada perlakuan 7,5% formula dengan vaksinasi. Masing-masing diperoleh rataan skor sebesar 1,60 (hati) dan 1,20 24 (ginjal). Lesio yang mendominasi pada kedua organ yakni edema dan kongesti. Mc Gavin dan Zachary (2007) menyebutkan bahwa edema disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh darah, peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular, penurunan tekanan osmotik intravaskular, dan penurunan drainase limfatik. Peningkatan permeabilitas pembuluh darah dapat terjadi akibat kebocoran pembuluh darah yang berkaitan dengan inflamasi oleh infeksi virus maupun reaksi hipersensitivitas tipe I terhadap vaksin. Dominasi perubahan berupa kongesti menunjukkan bahwa pemberian 7,5% formula merupakan konsentrasi optimal yang mampu memberikan perlindungan terhadap infeksi virus AI H5N1. Hal ini berarti masing-masing komponen aktif mampu berkhasiat sebagai imunomodulator, antivirus, serta protektif terhadap organ, terutama hati.