bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan
banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Orang
yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa dada
tertekan, dan batuk, khususnya pada malam hari atau dini hari. Gejala ini biasanya
berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, yang
sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap
berbagai rangsangan (Lenfant dan Khaltaev, 2002).
Prevalensi penyakit asma terus meningkat, baik di negara maju maupun di
negara yang sedang berkembang. Estimasi jumlah pasien asma mencapai 300 juta
diseluruh dunia, terutama anak-anak (Anonim, 2014). Global Initiative for Asthma
merupakan standar diagnosis dan penatalaksanaan asma di Indonesia. Hal ini
menurut Kepmenkes RI Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008. Prevalensi asma di
DIY mencapai 25000 pasien (Anonim, 2012). Prevalensi ini terus meningkat
setiap tahunnya.
Global Initiative for Asthma membagi asma menjadi 3 derajat penyakit yaitu:
Asma Episodik Jarang (asma ringan); Asma Episodik Sering (asma sedang);
Asma berat (Anonim, 2004). Pembagian klasifikasi asma ini berdasarkan
parameter klinis, kebutuhan obat dan faal paru.
1
Ada pun klasifikasi asma adalah sebagai berikut : 1) Asma ringan merupakan
suatu kondisi asma dengan frekuensi serang yang sangat jarang timbul atau
<1x/bulan dengan intensitas serangan yang ringan sehingga tidak memerlukan
obat pengendali. 2) Asma episodik sering (asma sedang) merupakan kondisi asma
yang cukup sering timbul > 1x/bulan, cukup mengganggu aktivitas dan
memerlukan obat anti inflamasi. 3) Asma persisten (asma berat) merupakan
kondisi asma yang sangat sering timbul, hampir sepanjang tahun, sangat
mengganggu aktivitas, dan memerlukan pengobatan anti asma (Anonim, 2014).
Asma menimpa anak laki-laki dalam jumlah dua kali lebih banyak dibanding
dengan anak perempuan (Anonim, 2014). Sekitar 50% anak-anak penderita asma
yang ringan, akan membaik kondisinya dan sembuh dalam pertumbuhan mereka
menjadi dewasa, sedangkan pada anak dengan asma berat harus hidup bersama
penyakit ini yang akan banyak mempengaruhi atau mengganggu pendidikan
mereka (Lenfant & Khaltaev, 2002). Penyakit asma yang terdeteksi lebih dini dan
mendapatkan pengobatan serta perawatan yang lebih cepat akan mampu
menghindari dan mengurangi serangan asma.
Tatalaksana asma dibagi menjadi 2 kelompok yaitu tatalaksana pada saat
serangan asma (eksaserbasi akut) atau aspek akut dan tatalaksana jangka panjang
(aspek kronis), sedangkan pada asma berat, selain penanganan saat serangan,
diperlukan obat pengendali (controller) yang diberikan sebagai pencegahan
terhadap serangan asma (Anonim, 2004). Obat pereda beta agonis atau teofilin
(hirupan dan oral), jika perlu dapat diberikan pada anak asma ringan, dengan
pemberian lebih dari 3 dosis perminggu. Anak asma berat selain diberikan beta 2
2
agonis, juga diberikan obat pengendali steroid dosis rendah dengan lama
pengobatan 6-8 minggu (Anonim, 2002)
Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan
parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kebanyakan obat asma dihirup
menggunakan berbagai bentuk inhaler atau nebulizers. Kelebihan dari pemberian
medikasi langsung ke jalan nafas (inhalasi) menurut PDPI, yaitu ; (1) Lebih
efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan nafas. (2) Efek sistemik
minimal atau dihindarkan. (3) Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui
inhalasi, karena tidak terabsorpsi pada pemberian oral (anti kolinergik dan
kromolin). Waktu kerja bronkodilator lebih cepat bila diberikan secara inhalasi
daripada oral.
Dampak negatif dari obat inhalasi anti asma (IAD) dalam rongga mulut
tercermin dari meningkatnya insidensi karies terhadap anak dengan asma
dibanding anak dalam kondisi sehat selain itu juga meningkatnya kondisi erosi
gigi dan penyakit periodontal serta menimbulkan sensasi kering didalam rongga
mulut. Penggunaan obat inhalasi anti asma dalam jangka waktu panjang dapat
menyebabkan inflamasi pada kelenjar parotis, sehingga laju alir saliva menurun
(Botelho dkk., 2011). Bila jumlah saliva menurun dapat meningkatkan frekuensi
karies gigi, parotitis atau peradangan kelenjar parotis, dan kandidiasis (Roeslan,
2002), serta berkurangnya biosintesis komponen biologis aktif seperti protein
total, amilase, hexosamine, lisozim, sekretori IgA dan peroksidase saliva, yang
mewakili komponen penting antibakteri (Ryberg, 1991).
3
Saliva diproduksi oleh 2 kelenjar saliva utama : kelenjar parotis yang
memproduksi lebih banyak serous saliva, dan kelenjar saliva submandibular yang
memproduksi lebih banyak musin lengket pada saliva. Ada ratusan kelenjar saliva
minor pada ukosa rongga mulut yang perperan dalam melubrikasi rongga mulut
saat bicara dan meningkatkan produksi immunoglobulin A (IgA) dalam saliva,
yang berfungsi sebagai sistem imun. Kelenjar saliva minor memproduksi kira-kira
10% saliva dan 25% IgA (Sonesson, dkk.,2011; Navazesh, dkk., 2000).
Imunitas lokal dan antibodi berperan penting terhadap sistem pertahanan
terhadap infeksi yang terjadi dalam rongga mulut. Sekretori Imunoglobuli A
(sIgA) merupakan salah satu antibodi yang terdapat dalam saliva. Antibodi sIgA
dapat membantu imunitas rongga mulut dalam mencegah perlekatan mikrobial,
menetralisir enzim, toksin, dan virus atau menimbulkan sinergi dengan faktor lain
seperti lisozim dan laktoferin. Konsentrasi sIgA berkorelasi langsung dan positif
dengan keparahan inflamasi jaringan periodontal (Chawda dkk., 2011). Sekretori
Imunoglobulin A (sIgA) saliva merupakan mekanisme pertahanan pertama pada
saluran nafas atas (hidung, faring, laring) dan bawah (trakea, bronki kartilago, dan
membran bronkiolus) dari serangan partikel-partikel kecil dan antigen terhadap
saluran nafas bagian distal dan alveoli paru (Pilette dkk, 2004)
Individu dengan karies gigi mempunyai saliva yang lebih banyak
mengandung sIgA spesifik terhadap S. Mutans tetapi aviditasnya lebih rendah
daripada individu peka karies. SIgA mampu mencegah perlekatan S. Sanguis pada
sel epitel, mencegah pembentukan plak gigi karena dapat menghambat
pembentukan glukan ikatan α(1
3) dari sukrosa oleh S. Mutans. Oleh karena
4
itu, sIgA juga dianggap dapat mencegah karies gigi, sedangkan dalam keadaan
gingivitis atau kelainan periodontal kadar IgA di dalam cairan celah gusi kadarnya
meningkat (Roeslan, 2002)
Kadar sIgA dalam sekresi saliva yang tidak dirangsang sekitar 20 mg dLˉ¹.
Bila diasumsikan sekresi saliva 1 L per hari, diperkirakan sekitar 200 mg sIgA
akan disekresikan ke dalam rongga mulut setiap harinya. Klasifikasi kadar sIgA
saliva pada anak berdasarkan penelitian Rashkova dkk (2009) yaitu ; (1) sIgA
rendah ( hingga 100 µg/mL). (2) sIgA medium ( 100-300 µg/mL). (3) sIgA tinggi
( >300 µg/mL).
Kadar sIgA akan meningkat bila terjadi stimulasi lokal oleh antigen.
Akumulasi sIgA disebabkan flora mikrobial normal atau antigen dari makanan
dalam keadaan normal (Roeslan, 2002). Sekretori Imunoglobulin A (sIgA) dapat
menurun disebabkan oleh berbagai faktor seperti faktor lingkungan dan gaya
hidup, defisiensi nutrisi, obat-obatan, virus, atau kerusakan fungsi imun. Pasien
dengan defisiensi sIgA dalam saliva ataupun plasma darah dapat mengakibatkan
meningkatnya infeksi pada permukaan mukosa, infeksi terhadap jaringan keras,
alergi makanan, enteropatis, IBD, dan gangguan autoimun (Anonim, 2014).
Antibodi sekretori IgA mencegah perlekatan dan penetrasi antigen serta
secara teoritis sIgA dengan kadar tinggi dapat mencegah absorpsi alergi,
sementara kadar rendah sIgA atau defisiensi IgA dihubungkan dengan
meningkatnya resiko alergi dan hiperreaktivitas bronkial (Payette & Weiss, 1977;
Ludvikson dkk., 2005).
5
Sekretori Imunoglobulin A (sIgA) saliva berkontribusi dalam perawatan
toleransi
mukosa
pada
kondisi
homeostatik
dengan
mencegah
respon
hiperinflamasi saat serangan asma terjadi (Pilette dkk, 2004). Selain itu, sekretori
Imunoglobulin A (sIgA) merupakan stimulus yang poten bagi eusinofil (salah satu
sel radang mediator asma). Sekretori Imunoglobulin A (sIgA) menghambat
aktivasi CD28 yang diakibatkan karena pelepasan interferon γ oleh eusinofil.
Eosinofil dan basofil juga mengalami degranulasi karena aktivasi sIgA, sehingga
sIgA dapat mencegah meningkatnya hiperreaktivitas bronkial (Pilette dkk, 2004)
Fungsi efektor sIgA sangat tergantung dari keberadaan faktor inflamatori
lokal. Adanya eosinofil dan neutrofil sebagai mediator penting pada kasus asma
yang parah malah menyebabkan sIgA semakin memperburuk inflamasi dibanding
meningkatkan toleransi (Monteiro dkk, 1993;Monteiro, 2010). Atas pertimbangan
hal itu, penulis tertarik untuk meneliti kadar sIgA saliva pada anak dengan asma
ringan dan asma berat dan menilai perbedaannya.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian tersebut diatas, timbul permasalahan:
1. Bagaimanakah kadar sIgA saliva pada anak asma ringan dan asma berat?
2. Apakah terdapat perbedaan kadar sIgA saliva pada anak asma ringan dan
asma berat?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
6
1. Mengetahui kadar sIgA saliva pada anak asma ringan dan asma berat;
2. Mengetahui perbedaan kadar sIgA pada anak asma ringan dan asma berat.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat :
1.
Bagi bidang IKGA : Memberikan informasi khususnya di bidang Ilmu
Kedokteran Gigi Anak tentang hubungan antara kadar sIgA saliva pada
anak-anak penderita asma, serta memberikan informasi kepada dokter gigi
anak mengenai dampak rongga mulut pada penderita asma, sehingga
dokter gigi anak dapat memberikan upaya peningkatan sIgA agar masalah
dalam rongga mulut anak asma dapat teratasi.
2. Bagi ilmu pengetahuan : Sebagai bahan penelitian lebih lanjut terutama
mengenai sIgA sebagai komponen sistem imun dan hubungannya pada
anak-anak penderita asma.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan:
Thomas dkk (2010) meneliti tentang asma dan pengaruhnya terhadap
kesehatan rongga mulut seperti karies gigi, erosi gigi, penyakit periodontal dan
perubahan mukosa mulut. Brigic dkk (2015) meneliti tentang dampak negatif
penggunaan obat inhalasi anti asma terhadap kesehatan rongga mulut dan
peningkatan insidensi karies dilihat dari peningkatan koloni Streptococcus
mutans, dan defisit sIgA. Anouk dkk (2013) meneliti tentang keberadaan alergen
7
spesifik IgA dan peranan sel mukosa dendritik dalam proses penyakit alergi
saluran nafas. Hal yang diteliti termasuk IgE, sel Th2, Th17 untuk asma yang
parah, IgA dan molekul IgG4. Sejauh pengetahuan penulis masih banyak konflik
tentang penelitian terhadap kadar sIgA saliva pada anak penderita asma
Berdasarkan uraian diatas, peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian tentang
penilaian kadar sIgA saliva pada anak-anak penderita asma dengan klasifikasi
asma ringan dan asma berat.
8
Download