Membuka Ruang Partisipasi Bagi Kelompok Anak dan Kaum Muda

advertisement
Membuka Ruang Partisipasi
Bagi Kelompok Anak dan Kaum Muda
Dalam Proses Pembangunan Perdamaian di Aceh
53
IV. PERENCANAAN SKENARIO MASA DEPAN ANEUK DAN PEMUDA
ATJEH TAHUN 2018 OLEH KELOMPOK ANAK DAN KAUM MUDA
A. MENGAPA DI ACEH?
Transisi merupakan sebuah perjalanan menghidupi kekinian dan
menyambut masa depan tetapi dengan membawa masa lalu. Berdasarkan
ontologis-politis, transisi adalah perjuangan menyambut harapan akan
tatanan sosial yang lebih demokratis dan humanistik seiring dengan
upaya menegasikan kembalinya otoritarianisme. Pada titik ini diperlukan
redefinisi peran negara sebagai institusi tatanan politik menuju demokrasi
dan berkeadilan (Eddie Riyadi Terre , 2003: 3). Titik awal masa transisi
di Aceh ditandai dengan dihasilkan MoU antara GAM dengan pemerintah
Republik Indonesia. MoU menjadi landasan etik dan legal sebagai wujud
dari itikad baik kedua belah pihak untuk mengakhiri konflik yang telah
berlangsung lebih dari 30 tahun. MoU Helsinski menjadi modalitas awal
untuk mengantarkan rakyat Aceh menuju terciptanya perdamaian dan
demokratisasi. Artinya momentum ini sangat krusial karena mengarahkan
pada situasi yang paradoksal, Aceh pada arah yang benar atau yang
salah. Dengan kata lain, Aceh memasuki masa transisi yang genting dan
penting.
Menurut pandangan Tony Addison (2009:112), pada umumnya,
masyarakat yang tengah menjalani masa transisi menghadapi beraneka
ragam tujuan. Tony Addison mengidentifikasi terdapat 5 (lima) tujuan
yang diharapkan terjadi, yakni:
1. Keadilan Transisi (Transitional Justice)
Meminta pertanggungjawaban pelaku pelanggaran hak asasi
manusia dan pengakuan korban melalui tuntutan pidana,
pengakuan kebenaran, dan reformasi institusional;
2. Keadilan Distributif (Distributive Justice)
Pada tingkat minimal menghapus kemiskinan yang absolut.
Masyarakat dapat menetapkan pada diri mereka sendiri tujuan
yang lebih luas dalam mengupayakan pengurangan ketidakadilan;
3. Kemakmuran (Prosperity)
Peningkatan tingkat pengeluaran dan pendapatan masyarakat
(pertumbuhan ekonomi), skala tersebut bergantung pada seberapa
jauh dampak ekonomi dari masa otoriterianisme dan/atau masa
konflik;
54
Membuka Ruang Partisipasi
Bagi Kelompok Anak dan Kaum Muda
Dalam Proses Pembangunan Perdamaian di Aceh
4. Partisipasi (Participation)
Gejala yang paling sering terlihat terjadinya demokratisasi dan
kembalinya demokratisasi setelah era politik yang otoriter;
5. Perdamaian (Peace)
Berakhirnya eskalasi kekerasan atau menurunnya intensitas
kekerasan sangat bergantung pada asal muasal (sumber konflik)
dan cara penanganannya.
Masa transisi Aceh mendapatkan pengakuan secara yuridis dengan
ditetapkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh. Pasal 229 yang menjadi landasan hukum pembentukan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh menandai Aceh dalam situasi transisi.
UU ini merupakan hasil elaborasi lebih lanjut beberapa substansi Perjanjian
Helsinki (MoU). Beberapa hal yang diatur dalam MoU Helsinki relevan
apabila dikerangkai melalui keadilan transisi berdasarkan pandangan
Ross Clarke, Galuh Wandita, & Samsidar (2008: 14) terkait dengan halhal sebagai berikut:
1.Amnesti;
2. Demobilisasi/Pelucutan Senjata;
3.Reintegrasi;
4. Pengadilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi;
5. Penegakan Hukum.
Dalam konteks ini, secara definitif demokratisasi merupakan suatu masa
transisi suatu rezim politik dari suatu rezim yang autoritarian menuju
sistem pemerintahan yang demokratis atau transisi dari sistem politik
semi autoritarian menuju sistem yang politik yang demokratis (http://
en.wikipedia.org/wiki/Democratization). Laurenz Ennser (2007) membagi
tahap masa transisi pada menjadi 3 tahap yakni liberalisasi – demokratisasi
– konsolidasi. Bahkan menurutnya ketiga tahap ini sebagai hukum besi
demokratisasi (iron law of democratization).
Terkait dengan proses demokratisasi, Samuel P. Huntington (1995)
menyatakan bahwa transisi demokrasi yang terjadi pada suatu rezim
dapat menuju pada 3 kondisi, yaitu : (i) berakhirnya sebuah rezim otoriter;
(ii) dibangunnya sebuah rezim demokratis; dan (iii) pengkonsolidasian
rezim demokratis. Pandangan serupa juga diberikan oleh Alfred Stepan
(1993) yang menyebutkan transisi demokrasi dari rezim otoriter terdapat
3 model, yakni: (i) penjajahan dari luar dan peperangan internal; (ii)
tranformasi internal dari elit rezim otoriter menuju rezim demokratis; dan
(iii) kekuatan internal kelompok oposisi yang menumbangkan kekuasaan
otoriter yang berkuasa.
Membuka Ruang Partisipasi
Bagi Kelompok Anak dan Kaum Muda
Dalam Proses Pembangunan Perdamaian di Aceh
55
Selanjutnya untuk memperkuat pandapatnya, Alfred Stepan mengutip
pandangan Vladimir Gelman yang membagi transisi demokrasi terbagi
menjadi 5 tahap, yakni: berakhirnya rezim masa lalu – pergantian –
ketidakpastian – pembangunan rezim baru – institusionalisasi rezim baru.
Berdasarkan perspektif keadilan transisional tersebut di atas, situasi Aceh
pasca MoU Helsinki dapat dikategorikan sebagai masa transisi di mana
masyarakat Aceh secara kolektif terlepas dari masa konflik bersenjata
dan pemerintahan militeristik, melalui penetapan status Daerah Operasi
Militer (DOM), menuju kedamaian dan pemerintahan yang demokratis
dengan pemberian otonomi khusus. Tujuan ini diharapkan dapat
terwujud melalui pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi di Aceh
sebagaimana dimandatkan dalam MoU dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh.
Situasi di Aceh yang tengah menuju transisi dapat dikerangkai dengan
pandangan Ruti G. Teitel (2003) mengenai keadilan transisional. Ruti
G. Teitel menyatakan bahwa keadilan transisional (transitional justice)
merupakan suatu konsep keadilan yang diletakkan pada suatu perubahan
politik yang ditandai dengan tanggapan hukum untuk mengkonfrontasikan
tindakan salah yang telah dilakukan oleh rezim yang represif.
Sedangkan menurut Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa
keadilan transisional sebagai:
Suatu rentang waktu yang penuh dengan penuh proses dan mekanisme
yang terkait dengan upaya masyarakat untuk berdamai dengan
warisan skala besar pelanggaran masa lalu dalam rangka memastikan
terdapatnya akuntabilitas, melayani keadilan, dan mencapai
rekonsiliasi. Hal ini dapat mencakup peradilan dan mekanisme nonyudisial dengan tingkat yang berbeda, keterlibatan internasional
serta penuntutan individu, reparasi, pencarian kebenaran, reformasi
kelembagaan, pemeriksaan dan pemecatan, atau kombinasi
daripadanya.
Dengan demikian, melekat pada definisi transisi adalah mekanisme
dan proses-proses yang hanya bersifat sementara, dirancang untuk
menyediakan jembatan dari masa kini ke masa depan - dari perang untuk
perdamaian, dari pelanggaran hak menuju perlindungan hak asasi manusia,
dari kediktatoran ke demokrasi. Artinya tujuan keadilan transisional adalah
mempromosikan perdamaian, mencapai rekonsiliasi, penguatan aturan
hukum, dan meningkatkan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Di samping itu, keadilan transisional bertujuan memulihkan kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara; memperbaiki hubungan
antara individu-individu, antara negara-negara di kawasan atau dengan
56
Membuka Ruang Partisipasi
Bagi Kelompok Anak dan Kaum Muda
Dalam Proses Pembangunan Perdamaian di Aceh
masyarakat internasional. atau bahkan mencoba untuk menutup sebuah
bagian di masa lalu (Alison Smith, 2010: 34). Dalam penanganan pasca
konflik, kendati anak-anak dan kaum muda merupakan kelompok yang
paling terkena dampak sosial, ekonomi, politik, serta psikologis konflik
dan warisan pelanggaran HAM masa lalu. Mekanisme keadilan transisional,
termasuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, reformasi kelembagaan dan
reparasi, secara historis masih terbatas dalam memberikan perhatian
pada pengalaman anak-anak dan kaum muda [International Center for
Transitional Justice (ICTJ), 2009].
Seharusnya kelompok anak dan kaum muda tidak hanya memiliki hak
untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan dalam prosedur
administrasi serta peradilan yang mempengaruhi mereka, tetapi juga
mereka diberikan fasilitas untuk mengekspresikan pandangan dan
pengalaman unik mereka sehingga dapat berkontribusi bagi upaya prosesproses rekonstruksi nasional. Sementara itu, ukuran pasti dampak dari
penggunaan proses dan mekanisme keadilan transisional pada kehidupan
anak-anak juga sering kali belum tersedia. Pada wilayah ini, apabila
penggunaan mekanisme keadilan transisional tanpa melibatkan anakanak maka negara tidak hanya gagal mematuhi Konvensi Hak Anak (KHA)
tetapi juga berkompromi atas hasil dari proses yang tidak melibatkan
anak-anak dan kaum muda (Graça Machel, 2010: x).
Sering kali keadilan transisional hanya difokuskan terutama pada
pelanggaran hak sipil dan politik seperti pembunuhan, penghilangan,
penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, penahanan dan ancaman
lain terhadap keamanan pribadi. Padahal sebenarnya, konflik bersenjata
dan kekerasan politik membahayakan dan mengancam penikmatan semua
hak-hak anak. Dalam konteks ini, KHA telah menempatkan hak ekonomi,
sosial serta budaya, termasuk hak setiap anak atas standar hidup yang
memadai secara fisik, mental, spiritual, moral, dan pengembangan sosial,
setara dengan hak sipil dan hak politik. Selama konflik bersenjata, jutaan
anak-anak memang menjadi korban pelanggaran hak sipil dan politik,
namun demikian, jumlah anak yang harus mengalami berpindah-pindah
tempat tinggal karena harus mengungsi, kelaparan, penyakit, dan
kurangnya pendidikan di negara-negara yang terkena dampak perang jauh
lebih besar. Dalam analisis mengenai dampak konflik bersenjata terhadap
anak-anak negara-negara Afrika ditemukan bahwa jumlah terbesar
anak-anak yang kehilangan nyawa justru akibat terjadinya pelanggaran
hak ekonomi, sosial, dan budaya. Kematian anak-anak disebabkan oleh
kurangnya akses perawatan kesehatan, gizi, air bersih, dan fasilitas sanitasi,
perumahan yang layak, serta ketidakadilan ekonomi dan kekerasan
struktural. Lebih jauh, konflik bersenjata juga memiliki dampak serius
terhadap anak-anak yang selamat dari kekerasan konflik, mereka tumbuh
Membuka Ruang Partisipasi
Bagi Kelompok Anak dan Kaum Muda
Dalam Proses Pembangunan Perdamaian di Aceh
57
dan berkembang dalam kemiskinan, menderita kekurangan gizi, dan
kurangnya akses pendidikan dan perawatan kesehatan. Oleh karenanya,
selama upaya rekonstruksi pasca-konflik semestinya perlindungan dan
pemenuhan hak-hak anak tidak hanya difokuskan pada perlindungan
hak diranah hak sipil dan politik semata, akan tetapi juga ditujukan bagi
pembangunan kembali akses-akses perawatan kesehatan, perlindungan
sistem pendidikan, reformasi kelembagaan, termasuk sektor keamanan
dan keadilan (Saudamini Siegrist, 2010: 6).
Keadilan transisional dan proses pembangunan perdamaian memberikan
suatu rentang mekanisme untuk mempertemukan kejahatan masa lalu
dan membuka jalan bagi pembangunan masyarakat yang damai dan
berkeadilan. Dalam hal ini, Jonathan Sisson dari KOFF-Swisspeace,
sebagaimana dikutip oleh Sylvia Servaes dan Nicole Birtsch (2008:3)
memaparkan kerangka kerja konseptual dari keadilan transisional yang
menempatkan korban dan pelaku sebagai pusatnya. Menurutnya, setiap
mekanisme keadilan transisional mengambil tekanan yang berbeda
berdasarkan pada 2 kategori, yaitu:
1. Mekanisme yang ditujukan bagi korban dengan penekanan pada
hak untuk mengetahui (right to know) dan hak mendapatkan
reparasi (right to reparation); dan
2. Mekanisme yang difokuskan pada pelaku dengan kewajiban
memberikan hak atas keadilan (right to justice), misal melalui
pengadilan, dan jaminan tidak berulang kembali (guarantee of non
recurrence).
Kedua mekanisme yang diungkapkan oleh Jonathan Sisson secara
visualisasi dapat dilihat pada ragaan di bawah ini.
58
Membuka Ruang Partisipasi
Bagi Kelompok Anak dan Kaum Muda
Dalam Proses Pembangunan Perdamaian di Aceh
Rekonsiliasi
Negara berdasarkan
hukum
Hak atas
pemulihan
Hak untuk
mengetahui
•Rehabilitasi,
•Komisi Kebenaran
Kompensasi,
•Komisi Penyelidikan
Restitusi
•Dokumentasi
•Permintaan maaf
•Materi-materi
aparat
Pendidikan
•Memperingati
Korban
•Ekshumasi
kembali
Jaminan tidak
Pelaku
Hak atas pemulihan
berulang kembali
•Pengadilan
•Pelucutan senjata,
Internasional
Demobilisasi,
•Pengadilan
Reintegrasi
campuran dan
•Reformasi
domestik
Institusional
•Perlindungan
•Lustrasi
saksi
Tidak memberikan
Impunitas
Transformasi Konflik
Gambar 16: Skema Keadilan Transisional menurut Jonathan Sisson
(Sumber: Sylvia Servaes dan Nicole Birtsch, 2008)
Proses politik dan hukum mekanisme keadilan transisional di atas tentu
berdampak pada setiap individu masyarakat, termasuk kelompok anak,
utamanya apabila mereka menjadi korban pelanggaran HAM di masa
lalu Namun demikian, setiap terjadi proses pemeliharaan perdamaian,
rekonsiliasi, dan restrukturisasi dalam rentang masa transisi di suatu
negara, negara justru mengabaikan kebutuhan spesifik anak-anak dan
tidak mendorong anak-anak untuk terlibat dalam proses-proses tersebut.
Oleh karenanya, partisipasi korban di dalam proses transisi tersebut
menjadi niscaya (conditio sina quanon), mengingat setiap anak memiliki
pengalaman dan penerimaan yang berbeda akibat konflik bersenjata.
Meskipun demikian, setiap terjadi proses pemeliharaan perdamaian,
rekonsiliasi, dan restrukturisasi dalam rentang masa transisi di suatu
negara, negara justru mengabaikan kebutuhan spesifik anak-anak dan
tidak mendorong anak-anak untuk terlibat dalam proses-proses tersebut
(Rachel Harvey, tanpa tahun: 65-66).
Membuka Ruang Partisipasi
Bagi Kelompok Anak dan Kaum Muda
Dalam Proses Pembangunan Perdamaian di Aceh
59
Satu pertanyaan yang bersifat mendasar adalah mengapa isu yang
difokuskan pada hak-hak anak dalam proses keadilan transisional begitu
terbatas. Padahal anak-anak lebih menderita dampak dari kejahatan
atau pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Dalam konteks ini,
apakah anak-anak secara khusus ditargetkan atau tidak sebagai elemen
masyarakat yang berhak memperoleh keadilan. Apakah anak-anak
memiliki hak untuk berpartisipasi terkait dengan proses dan mekanisme
keadilan transisional yang tengah dibangun yang mempengaruhi
kehidupan mereka? Apakah anak-anak juga berhak untuk mendapatkan
ganti rugi untuk kesalahan yang dilakukan terhadap mereka? Pertanyaan
mendasar ini sudah semestinya mendapatkan jawaban karena anakanak sesungguhnya merupakan elemen masyarakat yang juga berhak
mendapatkan akses mengawal proses transisi sesuai dengan kepentingan
terbaiknya. Oleh karena itu, mereka memiliki penting peran dalam proses
ini. Pertanyaan tentang mengapa keadilan transisional harus memiliki
dimensi khusus bagi anak-anak karena salah satu tujuan keadilan
transisional adalah membuat negara sebagai tempat yang lebih baik
untuk generasi mendatang.
Terkait dengan hal tersebut pada titik ini perspektif hak anak perlu dijalin
dalam proses dan mekanisme pencarian bentuk keadilan transisional
untuk memastikan bahwa proses pencarian bentuk keadilan transisional
memberikan fokus pada hak-hak dan isu-isu anak-anak. Untuk tujuan
ini, ada kebutuhan yang jelas untuk konsultasi dengan anak-anak dan
pemangku kepentingan lain untuk menentukan tujuan dan aspirasi
mereka dan untuk memastikan bahwa proses dan mekanisme yang ada
responsif terhadap anak-anak (Alison Smith, 2010: 46-47).
Tujuan keadilan transisional, seperti yang diungkapkan dalam laporan
Sekretaris Jenderal PBB, adalah untuk memungkinkan masyarakat yang
telah terkoyak oleh kekejaman pelanggaran HAM masa lalu memulihkan
kemanusiaan mereka dan memberdayakan individu baik sebagai korban,
saksi dan pelaku, dan dapat menceritakan pengalaman mereka serta setuju
pada ukuran keadilan untuk menginformasikan masa depan mereka. Pada
akhirnya, keadilan transisional berupaya untuk mengakhiri berulangnya
kembali pelanggaran HAM di masa yang akan datang dan mewujudkan
masyarakat yang aman, adil, dan damai. Artinya keadilan transisional
mengacu pada sejumlah mekanisme atau proses yang dipergunakan
untuk memastikan adanya tanggung jawab, memberikan keadilan, dan
mewujudkan rekonsiliasi, khususnya ketika terjadinya kekerasan secara
masif dan penyalahgunaan kekuasaan yang meluas di masa lalu. Melekat
pada definisi ini transisional sifatnya sementara yang dirancang untuk
menjembatani masa lalu dan masa kini, dari perang menjadi damai, dari
pelanggaran HAM menuju perlindungan terhadap HAM, dari pemerintahan
yang diktator menjadi demokratis.
60
Membuka Ruang Partisipasi
Bagi Kelompok Anak dan Kaum Muda
Dalam Proses Pembangunan Perdamaian di Aceh
Dalam konteks ini, terdapat konsensus bahwa keadilan transisional penting
bagi kelompok anak karena mereka adalah anggota penting masyarakat.
Setiap anak akan mengalami transisi menjadi orang-orang dewasa di
masa depan nanti dan sudah dipastikan mereka yang akan mewarisi hasil
transisi tersebut. Selain itu, secara demografis di banyak negara, anakanak dan kaum muda jauh melebihi jumlah orang dewasa, maka dari itu
mereka juga sudah dipastikan membutuhkan keadilan transisional agar
pada suatu saat nanti anak-anak dan kaum muda menikmati tatanan
yang damai, melindungi HAM, dan demokratis. Sudah dipastikan apapun
kebijakan yang diambil oleh para politisi berdampak pada anak-anak
karena mereka secara psikologis menggantungkan kehidupannya pada
orang-orang dewasa di sekitarnya. Dengan demikian, apabila kebijakan
yang ditetapkan menutup akses bagi orang dewasa yang dilekati identitas
tertentu tempat anak-anak bergantung untuk menikmati hak asasinya
maka dampaknya akan dirasakan oleh anak-anak. Artinya setiap terjadi
pelanggaran HAM akibat ditetapkannya suatu kebijakan maka sudah
dapat dipastikan terjadi pula pelanggaran hak asasi anak.
Pendekatan keadilan transisional perlu disesuaikan untuk memenuhi
situasi tertentu tetapi ini tidak berarti bahwa keadilan transisional sama
untuk semua. Terdapat prinsip-prinsip dasar yang mengatur bagaimana
keadilan itu harus diberikan, termasuk prinsip-prinsip yang berkaitan
dengan keterlibatan dan partisipasi kelompok anak dan kaum muda
selama masa transisi. Kelompok anak merupakan bagian dari komponen
konstituen transisi keadilan sehingga para pembuat kebijakan dan para
pembuat keputusan perlu merenungkan bagaimana mekanisme baru
atau yang ada dapat secara efektif dan aman melibatkan kelompok anak
dan kaum muda berdasarkan kepentingan terbaik mereka. Untuk itu,
merancang mekanisme dan proses keadilan transisional berperspektif
hak anak adalah salah satu cara utama yang digunakan untuk memenuhi
harapan, aspirasi, dan hak-hak mereka selama dan setelah transisi. Oleh
karenanya apabila perspektif anak-anak tidak diintegrasikan dalam proses
dan mekanisme keadilan transisional maka kebutuhan anak-anak yang
bersifat khusus dapat terkesampingkan (Alison Smith, 2010: 34-47).
Membuka Ruang Partisipasi
Bagi Kelompok Anak dan Kaum Muda
Dalam Proses Pembangunan Perdamaian di Aceh
61
Masa transisi di Aceh merupakan konteks kehidupan seluruh anak-anak
Aceh. Artinya situasi politik tersebut menjadi pengalaman anak-anak
yang akan membentuk karakter mereka di masa yang akan datang.
Studi pendekatan ekologi dan pengaruhnya terhadap anak dilakukan oleh
Bronfenbrener dan Garbarino. Hasil studi Bronfenbrenner dan Garbarino
mengungkapkan bahwa pendekatan yang melihat lingkungan-lingkungan
dengan aktor dan relasi antar aktor tersebut berpengaruh terhadap
kehidupan anak-anak (Vachel W. Miller dan Friedrich W. Affolter, 2002).
Melihat keterkaitan antara anak dengan lingkungan sekitar sesuai dengan
pendekatan ekologis di atas maka dalam rangka menjamin perdamaian
yang berkelanjutan, terciptanya keamanan, dan pembangunan suatu
negara maka keterlibatan anak-anak dalam proses pembangunan
perdamaian signifikan dilakukan. Mengingat keterlibatan tersebut terkait
dengan permasalahan korban, kesaksian, dan pelaku kekerasan dan
pelanggaran HAM di masa lalu. Oleh karena itu, program kemanusiaan
dan pembangunan, proses perdamaian, perjanjian perdamaian, dan
proses pemeliharaan perdamaian harus menjadikan anak-anak sebagai
titik perhatian serta lebih ditujukan bagi perlindungan dan pemenuhan
hak-hak anak sebagaimana dimandatkan oleh KHA (Rachel Harvey, tanpa
tahun: 65).
Di Aceh dalam mewujudkan keadilan transisional, mekanisme yang dipilih
melalui pembentukan 2 mekanisme yaitu: (i) pembentukan KKR dan
(ii) pengadilan HAM. Pembentukan KKR Aceh merupakan mandat MoU
Helsinki sebagaimana tercantum pada angka 2.3 yaitu:
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh
Komisi kebenaran dan rekonsiliasi Indonesia dengan tugas
merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.
Mandat MoU pembentukan KKR tersebut kemudian diatur lebih lanjut
melalui UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 229
ayat (2) menetapkan bahwa:
KKR Aceh merupakan bagian tak terpisahkan dengan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional.
Selain memandatkan pembentukan KKR Aceh, MoU Helsinski juga
memandatkan dibentuknya Pengadilan HAM. Mandat ini kemudian kembali
dipertegas melalui UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
pada Pasal 228. Meskipun demikian, proses keadilan transisional sebagai
upaya rekonsiliasi dan pemeliharaan perdamaian yang berkelanjutan di
Aceh seperti halnya dengan upaya serupa di belahan dunia yang lain
keterlibatan anak dalam proses tersebut masih sangat terbatas. Melihat
62
Membuka Ruang Partisipasi
Bagi Kelompok Anak dan Kaum Muda
Dalam Proses Pembangunan Perdamaian di Aceh
masih minimalnya keterlibatan anak dalam proses dan mekanisme
keadilan transisional maka upaya untuk menyediakan ruang serta akses
partisipasi bagi kelompok anak dan kaum muda untuk menyuarakan
aspirasi politiknya sudah seharusnya diakomodasi.
Skenario Masa Depan Aneuk dan Pemuda Atjeh Tahun 2018 yang dibuat
oleh kelompok anak dan kaum muda untuk mengkonstruksikan masa
depan Aceh pada 2018 dapat diletakkan sebagai bagian integral proses
transisi Aceh menuju perdamaian yang berkelanjutan, berkeadilan, dan
demokratis. Dalam hal ini skenario yang dihasilkan dapat digunakan untuk
pengembangan kebijakan dan transformasi konflik di berbagai tingkat
baik negara, pemerintah, daerah, dan masyarakat sipil.
Perencanaan skenario termasuk sebagai bagian dari 5 elemen inti sistem
transformasi konflik menurut pembagian yang diungkapkan oleh Oliver
Wils, et. al. (2006: 31) dari Berghof Foundation for Peace. Menurut
pandangan mereka 5 elemen inti sistem transformasi konflik terdiri dari:
1. Sistem analisis konflik dan pemantauan konflik (systemic conflict
analysis and conflict monitoring) ;
2. Intervensi sistemik perencanaan strategis (strategic planning of
systemic interventions);
3. Perjanjian dengan pemangku kepentingan kunci (engagement
with key stakeholders);
4. Mobilisasi pelaku perubahan perdamaian (mobilisation of agents of
peaceful change);
5. Menciptakan dalam imajinasi solusi yang berkelanjutan (creativity
in the imagination of sustainable solutions).
Oliver Wils, et. al. (2006: 31) selanjutnya mengatakan bahwa 2 elemen
pertama yakni, (i) analisis konflik sistemik dan pemantauan konflik;
dan (ii) intervensi sistemik perencanaan strategis terkait dengan aspek
metodologis analisis serta perencanaan intervensi. Sementara 3 elemen
inti yang lainnya diarahkan bagi semua intervensi pihak ketiga, yakni:
1. Proses dan dimensi hubungan: bagaimana dan atas dasar apa kita
bekerja dengan aktor konflik ? (Keterlibatan dengan pemangku
kepentingan kunci);
2. Kelompok sasaran tindakan kita (mobilisasi agen perubahan
perdamaian);
3. Pengelolaan konstruktif substantif permasalahan dan permasalahan
itu sendiri (kreativitas dalam imajinasi solusi yang berkelanjutan).
Membuka Ruang Partisipasi
Bagi Kelompok Anak dan Kaum Muda
Dalam Proses Pembangunan Perdamaian di Aceh
63
Perencanaan skenario merupakan strategi dasar dari perencanaan
strategis. Perencanaan skenario terkait dengan analisis konflik sistematik
yang menyediakan proyeksi untuk membangun masa depan dengan
perspektif yang beragam. Hasil dari perencanaan skenario potensial
untuk didialogkan dengan para pemangku kepentingan. Langkah-langkah
strategis diperlukan untuk mengupayankan skenario yang diinginkan
dapat direalisasikan. Di samping itu, perencanaan skenario dapat
dipergunakan sebagai piranti untuk melakukan analisis kontekstualitas
transformasi konflik sebagaimana diungkapkan oleh Simon Fisher & Lada
Zimina (2009:21).
Kotak 11: Lima elemen utama transformasi konflik sistemik
Lima Elemen Utama Transformasi Konflik yang Sistemik
Analisis Konflik
Sistemik dan
Pemantauan Konflik
Perencanaan
Strategis dari
Intervensi Sistemik
Kreativitas Dalam
Membangun Imajinasi
Suatu Solusi yang
Berkelanjutan
Pelibatan Pemangku
Kepentingan Kunci
Mobilisasi Agen
Perubahahan
Perdamaian
Sumber: Oliver Wils, et. al. (2006)
B. MENGAPA OLEH KELOMPOK ANAK DAN KAUM MUDA?
Pasca konflik, perhatian utama cenderung hanya tertuju pada siapa yang
disebut sebagai korban generasi pertama yang telah menjadi korban
selama hidup mereka. Namun demikian anak-anak dan cucu-cucu
mereka akan selalu membawa konsekuensi dari apa yang terjadi dan
yang mungkin mereka rasakan manakala mereka menjadi seperti korban
karena harus merasakan luka yang mendalam dan duka cita. Generasi
kedua, terutama, cenderung akan membawa jejak pengalaman masa
lalu menuju masa kedewasaan. Hal ini merupakan warisan permasalahan
yang dapat mengancam masa depan suatu masyarakat (David Bloomfield,
Teresa Barnes, & Luc Huyse, 2003: 55). Dengan demikian,dalam konteks
pengembangan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai salah model
mekanisme keadilan transisi juga harus melibatkan anak dalam proses
64
Membuka Ruang Partisipasi
Bagi Kelompok Anak dan Kaum Muda
Dalam Proses Pembangunan Perdamaian di Aceh
Download