DISKURSUS STUDI HADIS DALAM WACANA

advertisement
AL-BANJARI, hlm. 178-203
Vol. 13, No. 2, Juli-Desember 2014
DISKURSUS STUDI HADIS
DALAM WACANA ISLAM KONTEMPORER
Dzikri Nirwana
Fakultas Ushuluddin IAIN AntasariBanjarmasin
E-mail: [email protected]
Abstract
In the Islamic discourse, the study of hadith is in demand today. This is
because the function of hadith is as a source of Islamic teachings which
is a necessity in human life in all circumstances and conditions.
Therefore, the proper method of understanding hadith through
comprehensive approach both textual and contextual is required. The
study of hadith also needs methodology enlightenment and paradigm
shift. In this case, modification and adaptation of information and
methodology elements by a discipline from other disciplines is a natural
thing. This integration of various diciplines is then known as
interdisciplinary and multidisciplinary approach. Interdisciplinary
approach in the study of hadith which use the traditional Islamic science
is also done by a number of contemporary scholars of hadith.
Kata kunci: Studi hadis, naqd al-hadits, fiqh al-hadits
Pendahuluan
Hadis, atau yang biasa dipertukarkan dengan terma sunnah, memiliki
definisi yang beragam. Bagi kalangan ahli usul fikih misalnya, hadis atau sunnah
adalah segala perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi Muhammad saw.
yang berhubungan dengan hukum, selain al-Qur‟an.1 Sementara dalam versi
ahli hadis, hadis mempunyai pengertian yang lebih luas mencakup segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw., baik berupa perkataan, perbuatan,
persetujuan, penampilan fisik dan budi pekerti, biografi, peperangan, hingga
gerak dan diam dalam kondisi jaga dan tidur, serta sesuatu yang disandarkan
kepada sahabat dan tabi‟în.2 Bertolak dari yang disebut terakhir ini, maka
1Lihat uraian Muhammad „Ajjāj al-Khathīb, Ushūl al-Hadīts; ‘Ulūmuh wa Mushthalahuh,
(Beirut: Dār al-Fikr,1989), h. 19.
2Nūr al-Dīn Lamahāt Mūjazah fī Manāhij al-Muhadditsīn al-‘Āmmah fī al-Riwāyah wa alTashnīf, (Damaskus: Dār al-Farfūr, 1999), h. 27.
Dzikri Nirwana
Diskursus Studi Hadis 179
wilayah studi hadis atau sunnah Nabi saw. mencakup seluruh aktivitas
kehidupan beliau.
Memang studi hadis termasuk salah satu bidang kajian keislaman yang
sangat penting dan sekaligus menantang. Sisi pentingnya terletak pada
kedudukan hadis sebagai salah satu sumber otoritatif ajaran Islam selain alQur‟an.3 Sementara di sisi lain, pengembangan pemikiran terhadap hadis nabi
ternyata jauh lebih kompleks dan berat ketimbang al-Qur‟an. Pemahaman
(baca: tafsir) terhadap al-Qur‟an dapat begitu terbuka luas tanpa harus merasa
khawatir terhadap berkurangnya otoritas al-Qur‟an sebagai pedoman hidup
umat Islam. Lain halnya dengan hadis, kebanyakan ulama lebih cenderung
untuk mengendalikan diri dan mengutamakan sikap reserve (segan) dalam
melakukan kajian ulang dan pengembangan pemahaman atau pemikiran
terhadap hadis. Padahal perubahan kehidupan masyarakat global menghendaki
perlunya pengkajian ulang terhadap hadis.4
Dalam hal ini, sikap keengganan ulama dalam pengkajian ulang hadis
antara lain disebabkan karena subjek studi yang sangat kompleks dan rumit.
Kompleksitas dan kerumitan itu bukan hanya terkait dengan sejarah hadis yang
masih banyak diselimuti misteri dan kontroversi, tetapi juga menyangkut
bidang kajian atau cabang-cabang ilmu hadis (‘ulūm al-hadīts) yang sangat
banyak. Menurut para ulama, jumlah disiplin ilmu-ilmu hadis itu bisa puluhan,
ratusan, atau bahkan tidak terhingga.5 Boleh jadi karena kompleksitas dan
kerumitan tadi, membuat studi hadis kurang banyak diminati sehingga ulama
yang benar-benar ahli di bidang hadis pun sangat minim.6
Sejauh ini, studi hadis di berbagai pusat studi Islam -termasuk IAIN-,
masih belum banyak beranjak dari kecenderungan klasik. Perkembangan
modern (pembaruan) dalam bidang ilmu hadis juga masih jarang dikaji. Dengan
3Otoritas
hadis sebagai sumber ajaran Islam didasarkan pada : (1) al-Qur‟an; (2) Hadis
Nabi saw; (3) Ijmak; dan (4) keimanan. Lihat „Ajjāj al-Khathīb, Ushūl al-Hadīts, h. 36-41.
4Lihat pengantar Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi; Metode dan Pendekatan, (Yogyakarta:
CESaD YPI al-Rahmah, 2001), h. xi.
5Menurut al-Hākim al-Naysābūrī (w. 405 H.) terdapat 52 cabang ilmu hadis.
Sedangkan menurut perhitungan Ibn al-Shalāh (w. 643 H.), ada sekitar 65 cabang ilmu hadis.
Di sisi lain, al-Hāzimī (w. 584 H.) menyebutkan bahwa disiplin ilmu hadis mencapai 100
cabang. Sementara al-Suyūthī (w. 911 H.) menyatakan bahwa cabang ilmu hadis tidak lagi
terhitung jumlahnya. Lihat misalnya Jalāl al-Dīn „Abd al-Rahmān ibn Abū Bakr al-Suyūthī,
Tadrīb al-Rāwī fī Syarh Taqrīb al-Nawāwī, (Kairo: Dār al-Hadīts, 2002 M.), h. 36.
6Saifuddin, Pengembangan Studi Hadis Melalui Pendekatan Interdisipliner, makalah
Workshop Keagamaan Ilmu-Ilmu Keushuluddinan tanggal 22 s.d. 25 Agustus 2005
(Banjarmasin: Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin, 2005), h. 1.
180 AL-BANJARI
Vol. 13, No. 2, Juli-Desember 2014
mengutip ungkapan Nashr Hāmid Abū Zayd, bahwa wacana agama
kontemporer terhadap ‘ulūm al-Qur’ān dan ‘ulūm al-hadīts, hanya sebatas
mengulang dan mengulang. Hal itu terjadi karena banyak ulama yang
mempunyai asumsi bahwa kedua jenis ilmu ini masuk dalam wilayah ilmu yang
sudah matang dan sudah selesai (nadhijat wa ihtaraqat), sehingga generasi
belakangan tidak lagi memiliki apa pun yang dapat disumbangkan pada apa
yang sudah dihasilkan oleh generasi sebelumnya.7 Padahal sebenarnya, masih
terbuka peluang untuk mengembangkan studi hadis lebih lanjut. Dengan
demikian, pendekatan dalam studi hadis dapat diupayakan agar rūh kandungan
hadis dapat teraktualisasikan dalam kehidupan sekarang, atau dengan kata lain,
hadis nabi akan terkesan dapat berinteraksi dalam segala waktu dan zaman.
Berbagai disiplin ilmu pengetahuan sangat diperlukan karena berperan
penting dalam memperoleh pemahaman hadis secara komprehensif. Hal
tersebut tidak saja dalam hubungannya dengan upaya pemahaman petunjuk
ajaran Islam menurut teks dan konteksnya, tetapi juga harus digunakan dalam
rangka dakwah dan tahap-tahap penerapan ajaran Islam. Oleh karena
pengetahuan selalu berkembang, maka kegiatan dakwah dan penerapan ajaran
Islam yang kontekstual menuntut penggunaan pendekatan yang sesuai dengan
perkembangan pengetahuan dan keadaan masyarakat. Ini berarti bahwa dalam
studi hadis diperlukan berbagai teori dari berbagai disiplin ilmu.8 Dalam
konteks integrasi ilmu inilah, tulisan ini secara spesifik akan membahas
diskursus ‘Ulūm al-Hadīts dalam wacana studi Islam.
Pembahasan
1. Studi Hadis dalam Lintasan Sejarah
Studi hadis, -seperti halnya bidang keilmuan Islam lainnya- semula
muncul dalam tahap pengenalan, kemudian mengalami perkembangan hingga
mencapai bentuk yang sempurna. Dalam hal ini, secara kronologis, Thahir alJawābī memotret tahap-tahap penting dalam perkembangan studi hadis, mulai
tahap persiapan (al-tamhīdiyyah), peletakan dasar-dasarnya (al-ta’sīsiyyah),
penyusunan kaidah-kaidah (al-taq‘īdiyyah), hingga tahap penerapan (al-
7Nashr Hāmid Abū Zayd, Mafhūm al-Nash; Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān, diterjemahkan
oleh Khairon Nahdliyyin dengan judul Tekstualitas al-Qur’an; Kritik terhadap Ulumul Qur’an,
(Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 3-4.
8Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi, h. xi.
Dzikri Nirwana
Diskursus Studi Hadis 181
tathbīqiyyah).9 Secara historis, „Ajjāj al-Khathīb juga telah memetakan periodesasi
perkembangan (al-tasalsul al-tārīkhī) studi hadis, yang dimulai sejak abad kedua
[fase al-Syafi‟ī (w. 204 H.)] sampai abad ketujuh hijriyah [fase Ibn Shalāh (w.
643 H.)],10 yang ditandai dengan kemunculan karya-karya mereka dalam kajian
ilmu hadis.
Pertama, pada abad pertengahan kedua hijrah, muncul karya al-Syāfi‟ī
dengan al-Risālah-nya, sebagai karya pertama dalam kajian usul fikih. Menurut
al-Khathīb, dalam karyanya itu al-Syāfi‟ī tidak hanya meletakkan dasar-dasar
kaidah ilmu usul fikih, namun juga kaidah ilmu hadis (ushūl al-hadīts). Hal ini
dapat dibuktikan dari bahasannya tentang kehujjahan hadis-hadis āhād, syarat
kesahihan hadis, keadilan para perawi, penolakan terhadap hadis-hadis mursal
dan munqathi’, periwayatan secara lafziah dan maknawiah, dan lain sebagainya.11
Kedua, seperempat abad kemudian, yaitu pada awal abad ketiga hijrah,
muncul dua karya „Alī ibn „Abd Allāh al-Madīnī (w. 234 H.) dengan Ushūl alSunnah dan Madzāhib al-Muhadditsīn [dua volume], namun sayangnya kedua
kitab tersebut menurut al-Khathīb tidak ada lagi sampai sekarang. Kemudian
seperempat abad pasca wafatnya Ibn al-Madīnī, muncul karya Muslim ibn alHajjāj al-Naysābūrī (w. 261 H.) dengan al-Jāmi’ al-Shahīh-nya yang memuat
bahasan ushūl al-hadīts dalam mukaddimah kitab tersebut yang sekalipun hanya
merupakan pengantar kitab al-Jāmi’-nya itu, namun dianggap sebagai madkhal
yang representatif dalam studi hadis.12 Kemudian pada akhir abad ketiga hijrah,
muncul Abū Bakr Ahmad ibn Hārūn ibn Rawj al-Bardījī (w. 301 H.) dengan
sejumlah karyanya dalam ilmu hadis, seperti Ma’rifah al-Muttashil min al-Hadīts
wa al-Mursal wa al-Maqthū’ wa Bayān al-Thuruq al-Shahīhah dan Ma’rifah Ushūl alHadīts, namun sayangnya kedua kitab tersebut menurut al-Khathīb juga tidak
sampai ke tangan umat Islam sekarang.
9Uraian
lebih detil tentang peta perkembangan studi hadis ini, lihat Muhammad
Thāhir al-Jawābī, Juhūd al-Muhadditsīn fī Naqd Matn al-Hadīts al-Nabawī al-Syarīf, (t.t.: Mu‟asasāt
„Abd al-Karīm ibn „Abd Allāh, t.th.), h. 94-132.
10„Ajjāj al-Khathīb, Ushūl al-Hadīts, h. 451-456.
11Muhammad ibn Idrīs al-Syāfi‟ī, al-Risālah, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.th.),
misalnya pada bāb khabr al-wāhid, h. 369-372.
12Lihat bahasan muqaddimah dalam Abū al-Husayn Muslim ibn al-Hajjāj al-Qusyayrī alNaysābūrī, al-Jāmi’ al-Shahīh, (Beirut: Dār al-Fikr, t.th.), vol.1, h. 6-23. Dalam muqaddimah
tersebut, Imam Muslim ada menjelaskan thabaqah (penggenerasian) para perawi yang diterima
maupun yang tidak diterima hadisnya, tambahan dari perawi tsiqah, penolakan riwayat dari
perawi yang lemah dan berdusta, signifikansi isnād, dan lain sebagainya, yang kemudian
ditutupnya dengan sahnya berhujjah dengan hadis mu’an’an.
182 AL-BANJARI
Vol. 13, No. 2, Juli-Desember 2014
Ketiga, pada abad keempat hijrah, muncul karya-karya besar yang
melingkupi seluruh bahasan ilmu hadis dan karya yang paling tertua pada abad
ini adalah karyanya Abū Muhammad al-Hasan ibn „Abd al-Rahman ibn Khallād
al-Rāmahurmūzī (w. 360 H.), yaitu al-Muhaddits al-Fāshil bayn al-Rāwī wa al-Wā’ī
yang dianggap sebagai kitab pertama yang melingkupi bahasan ilmu hadis. 13
Setelah beberapa tahun pasca al-Rāmahurmūzī, muncul karya Abū al-Fadhl
Shālih ibn Ahmad ibn Muhammad al-Tamīmī al-Hamdānī al-Simsār (w. 384
H.) dengan Sunan al-Tahdīts-nya, namun kitab ini juga tidak ada lagi sampai
sekarang. Kemudian pada akhir abad keempat dan awal abad kelima hijrah,
muncul karya Abū „Abd Allāh Muhammad ibn „Abd Allāh ibn Hamdawiyyah
al-Naysābūrī al-Hākim (w. 405 H.) dengan Ma’rifah ‘Ulūm al-Hadīts-nya yang
dalam kitab tersebut disebutkan sekitar lima puluh dua cabang ilmu hadis,
meskipun belum disusun secara sistematis.14 Kitab ini dianggap sebagai karya
tertua pada akhir abad keempat.
Keempat, sekitar setengah abad berikutnya, pada abad kelima, di wilayah
barat Islam, muncul Abū „Umar Yūsuf ibn „Abd Allāh ibn Muhammad ibn
„Abd al-Barr al-Namirī al-Qurthubī (w. 463 H.) yang banyak menyusun karya di
bidang hadis dan ilmu hadis, diantaranya yang terkait dengan tema bahasan
ilmu hadis adalah mukaddimah kitabnya yang berjudul al-Tamhīd limā fī alMuwaththa’ min al-Ma’ānī wa al-Asānīd. Pengantar kitabnya tersebut dianggap alKhatīb menghimpun banyak bahasan kaidah usul hadis. Sementara di wilayah
timur Islam muncul Abū Bakr Ahmad ibn „Alī ibn Tsabit al-Bughdādī, atau
yang dikenal dengan sebutan al-Khathīb al-Bughdādī (w. 473 H.) dengan
karyanya al-Kifāyah fī ‘Ilm al-Riwāyah yang dianggap sebagai kitab ilmu hadis yang
terlengkap saat itu karena memuat aturan-aturan periwayatan (qawānīn alriwāyah).15 Selain itu, karyanya yang lain seperti al-Jāmi’ li Akhlāq al-Rāwī wa
Ādāb al-Sāmi’, Syarf Ashhāb al-Hadīts, Taqyīd al-‘Ilm, dan lain sebagainya.
Kelima, pada abad keenam, pasca al-Khatīb al-Bughdādī, di wilayah
barat Islam, muncul Abū al-Fadhl „Iyādh ibn Mūsā ibn „Iyād al-Yahsūbī al13Abū Muhammad al-Hasan ibn „Abd al-Rahmān ibn Khallād al-Rāmahurmūzī, alMuhaddits al-Fāshil bayn al-Rāwī wa al-Wā’ī, (Beirut: Dār al-Fikr, 1984), misalnya tentang isnād,
hlm. 20.
14Abū „Abd Allāh Muhammad ibn „Abd Allāh al-Naysābūrī al-Hākim, Ma’rifah ‘Ulūm
al-Hadīts (Madinah: Maktabah „Ilmiyyah, 1977), misalnya bahasan tentang ilmu jarh dan ta’dīl, h.
52-58.
15Abū Bakr Ahmad ibn „Alī ibn Tsābit [al-Khathīb al-Bughdādī], al-Kifāyah fī ‘Ilm alRiwāyah, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1988), lihat misalnya tentang keadilan sahabat, h.
46-52.
Dzikri Nirwana
Diskursus Studi Hadis 183
Sababī (w. 544 H.) dengan karyanya al-Ilmā’ ilā Ma’rifah Ushūl al-Riwāyah wa
Taqyīd al-Simā’. Di abad ini juga muncul Abū Hafsh „Umar ibn „Abd al-Majīd
al-Yānashī (w. 580 H.) dengan karyanya Mā Lā Yasma’ al-Muhaddits Juhlah.
Keenam, pada abad ketujuh, banyak bermunculan karya-karya ilmu hadis
dan yang paling masyhur pada abad ini adalah karyanya Taqy al-Dīn Abū
„Umar wa „Utsmān ibn „Abd al-Rahmān al-Syahrazūrī atau yang dikenal dengan
sebutan Ibn al-Shalāh (w. 643 H.) yang berjudul ‘Ulūm al-Hadīts atau
Muqaddimah Ibn al-Shalāh. Dalam kitab ini disebutkan sekitar lima puluh lima
cabang ilmu hadis, lebih banyak dari kitab al-Hākim sebelumnya dan banyak
menghimpun pendapat-pendapat ulama klasik (al-mutaqaddimūn).16
Dari periodesasi perkembangan ilmu hadis klasik al-Khatīb tadi, dapat
diketahui bahwa karya al-Risālah al-Syāfi‟ī lah yang dianggap paling awal dalam
studi hadis meskipun belum terpisah dari studi lain yang disusunnya [usul
fikih]. Namun yang jelas, perodesasi perkembangan studi hadis, yang diajukan
al-Jawābī ataupun al-Khathīb tadi, baik dari sisi historis maupun metodologis,
nampaknya telah cukup baik memotret momen-momen penting yang terjadi
selama proses perkembangan studi hadis.
2. Kerangka Metodologi Studi Hadis; Tinjauan Teoritis
Dalam studi hadis, setidaknya terdapat dua bentuk kajian yang perlu
diketahui pengkaji hadis, yaitu naqd al-hadīts [kritik hadis] dan fiqh al-hadīts
[pemahaman hadis]. Studi yang pertama lebih menekankan pada aspek otoritas
dan validitas (kesahihan) hadis dilihat dari sisi kritik hadis, baik sanad maupun
matn-nya.17 Adapun studi yang kedua lebih menekankan upaya metodologis
terhadap pemahaman kontekstual hadis.18
Adapun dalam kajian kritik hadis, dikenal ada dua pola, yaitu kritik
intern (al-naqd al-dākhilî) dan kritik ekstern (al-naqd al-khārijī). Kritik ekstern
adalah kritik untuk mendapatkan keotentikan suatu sumber melalui aspek di
16Abū 'Umar wa 'Utsmān ibn 'Abd al-Rahmān ibn al-Shalāh, 'Ulūm al-Hadīts, (Beirut:
Dār al-Fikr, 1986), misalnya bahasan tentang hadis sahih, h. 41.
17Referensi yang dapat diakses untuk kajian ini dapat dilihat misalnya dalam
Muhammad Mushthafā al-A‟zhamī, Manhaj an-Naqd ‘ind al-Muhadditsīn, (Riyādh: Syirkah athThibā‟ah as-Su‟ūdiyyah, 1982); Nūr ad-Dīn „Itr, Manhaj an-Naqd fī ‘Ulūm al-Hadīts, (Damaskus:
Dār al-Fikr, 1997); Muhammad Thāhir al-Jawābī, Juhūd al-Muhadditsīn fī Naqd Matn al-Hadīts alNabawî al-Syarīf, (Tunisia: Mu‟assasah „Abd al-Karīm ibn „Abd Allāh, t.th.); dan M. Syuhudi
Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992).
18Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi, h. xii.
184 AL-BANJARI
Vol. 13, No. 2, Juli-Desember 2014
luar teks, yang dalam ilmu hadis disebut kritik sanad.19 Sementara kritik intern
merupakan kritik terhadap isi sumber atau teks sumber yang disebut kritik
matn.20 Dalam kajian sejarah, kritik sumber dokumen juga dilakukan dalam dua
aspek; pertama, eksternal, diarahkan untuk menentukan keotentikan dokumen;
1) apakah secara material fisik dokumen tersebut asli atau palsu; dan 2) siapa
yang menjadi sumber; kedua, internal, diarahkan untuk meneliti keabsahan isi
dokumen, dipercaya atau tidak, dapat diterima secara historis atau tidak, tujuan
penulisan dan lain sebagainya. Namun dalam kajian hadis, secara aplikatif, kritik
eksternal terhadap dokumen kitab hadis, tidak ditujukan untuk melihat keaslian
fisik dokumen kitab hadis, tetapi kepada sumber kitab hadis. Oleh karena
dalam kitab hadis tidak hanya melibatkan satu sumber saja -penyusun kitab
hadis (mukharrij)-, maka kajian terhadap sumber dokumen harus diarahkan
kepada semua orang yang terlibat dalam transmisi hadis [para perawi dalam
sanad hadis tersebut, mulai mukharrij sampai sahabat yang menerima hadis dari
Nabi saw.].
Dalam kajian kritik hadis ini, kemungkinan hasil penelitiannya dapat
dilihat dari dua sisi; yaitu kuantitas [jumlah] perawi hadis dan kualitas
[keandalan] sanad dan matn-nya.21 Dilihat dari sisi yang pertama, hadis yang
diteliti, jika memiliki jalur-jalur transmisi yang banyak tidak terhingga, maka
disebut mutawātir, yaitu yang diriwayatkan oleh orang banyak, yang menurut
ukuran rasio dan kebiasaan, mustahil para perawi yang jumlahnya banyak itu
bersepakat untuk berdusta.22 Kemudian jika hadis tersebut hanya memiliki
jalur-jalur transmisi yang terbatas jumlahnya, maka disebut āhād, yaitu yang
19Sanad
merupakan merupakan rangkaian para perawi yang meriwayatkan hadis.
Dalam hal ini, Syuhudi Ismail melalui disertasinya telah membuktikan bahwa kaedah kesahihan
sanad yang dipakai para ulama dalam meneliti keabsahan hadis ternyata memiliki tingkat akurasi
yang tinggi. Selanjutnya lihat M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad; Telaah Kritis dan
Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995).
20Matn merupakan redaksi atau materi dari hadis itu sendiri. Mengenai kaedah
kesahihan matn ini dapat dilihat misalnya dalam Shalah al-Dīn ibn Ahmad al-Adhlabī, Manhaj
Naqd al-Matn, (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1983).
21M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 31-32.
22Lihat misalnya Mahmūd al-Thahhān, Taysīr Mushthalah al-Hadīts, (Beirut: Dār alQur‟ān al-Karīm, 1979), cet.1, h. 19; al-Manhaj al-Hadīts fī Mushthalah al-Hadīts, (Riyādh:
Maktabah al-Ma‟ārif, 2004), cet.1, h. 10-11.
Dzikri Nirwana
Diskursus Studi Hadis 185
diriwayatkan oleh sejumlah orang [perawi] yang tidak mencapai tingkatan
mutawātir.23
Jika hadis tersebut ternyata berstatus mutawātir, maka berakhirlah
kegiatan kritik hadis. Artinya, kajian sanad dan matn-nya tidak perlu lagi
dilakukan, karena status ke-mutawātir-an hadis itu telah memberikan keyakinan
yang pasti, bahwa ia memang bersumber dari Nabi Muhammad saw. dan
kedudukannya sama dengan periwayatan al-Qur‟an. Sebaliknya, jika hadis
tersebut berstatus āhād, maka kegiatan penelitian akan berlanjut pada sisi yang
kedua, yaitu kajian terhadap keandalan sanad dan matn-nya. Keadaan sanad dan
matn hadis itu sendiri cukup bervariasi, mengingat kualitas kepribadian dan
kapasitas keilmuan perawi juga beragam.
Untuk mempermudah identifikasi, maka ulama memformulasikan
berbagai istilah untuk kualitas hadis yang standarisasinya sampai saat ini
mengacu pada tiga macam; shahīh, hasan, dan dha’īf. 24 Dalam hubungannya
dengan kajian sanad dan matn ini, harus dimaklumi bahwa kualitas hadis yang
diperoleh akan bervariasi. Misalnya hadis yang diteliti sanad-nya sahih, tetapi
matn-nya dha’īf, atau sanad-nya dha’īf, tetapi matn-nya sahih, atau sanad dan matnnya sama-sama sahih, atau sanad dan matn-nya sama-sama dha’īf. Variasi ini akan
bertambah lagi dengan adanya kategori hasan. Oleh karena itu, hadis yang sanadnya sahih dan matn lemah, atau sebaliknya, sanad-nya lemah dan matn-nya sahih,
tidak dapat dinyatakan sebagai hadis sahih.
Syuhudi Ismail (w. 1998 M.), dalam risetnya telah membuktikan secara
ilmiah, bahwa kaidah kesahihan sanad hadis yang diformulasi oleh ulama-ulama
hadis klasik ternyata memang memiliki tingkat akurasi tinggi. Dari tesis ini,
maka suatu hadis yang sanad-nya sahih, seharusnya matn-nya juga sahih. Namun
pada kenyataannya ada saja hadis yang sanad-nya sahih, tetapi matn-nya lemah.
Hal ini bukanlah disebabkan oleh kaidah kesahihan sanad yang kurang akurat,
tetapi karena ada kemungkinan faktor-faktor lain, di antaranya seperti;
23Lihat misalnya Shubhi al-Shalih, ‘Ulūm al-Hadīts wa Mushthalahuh, (Beirut: Dār al-„Ilm
li al-Malāyīn, 1988), h. 148; Sa‟d ibn „Abd Allāh al-Humayd, Syarh Nukhbah al-Fikar li al-Hāfizh
Ibn Hajr al-‘Asqalānī, (t.tp.: Dār „Ulūm al-Sunnah, t.th.), h. 15.
24Ibn Katsīr (w. 774 H.), menjelaskan bahwa tiga klasifikasi hadis; shahīh, hasan dan
dha’īf, berlaku mulai zaman al-Turmudzī, dan pada zaman sebelumnya, pembagian tersebut
hanya dua saja; sahih dan dha’īf. Dalam hal ini, al-Turmudzī mulai mempopulerkan istilah hasan
secara formal di kalangan ulama hadis. Selanjutnya lihat Abū al-Fidā‟ Ismā‟īl ibn „Umar ibn
Katsīr al-Quraysyī al-Dimasyqī, Ikhtishār ‘Ulūm al-Hadīts, pen-tahqīq Shalāh Muhammad ibn
Muhammad „Uwaydhah, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, 1989), cet.1, h. 30.
186 AL-BANJARI
Vol. 13, No. 2, Juli-Desember 2014
Pertama, karena kaidah kesahihan sanad tidak diterapkan secara
konsekuen, seperti terjadi kesalahan penilaian terhadap suatu riwayat, yang
mungkin disebabkan ketentuan penilaian keandalan perawi (al-jarh wa al-ta’dīl)
tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, atau mungkin terjadi kekeliruan
pribadi perawi yang dinilainya; atau terjadi kekeliruan penafsiran kata-kata atau
singkatannya, yang menghubungkan perawi dengan perawi terdekat
sebelumnya yang terdapat dalam sanad; kedua, karena terjadi perbedaan
pendapat tentang unsur-unsur kaidah kesahihan sanad hadis itu sendiri; ketiga,
karena terjadi perbedaan sikap ulama hadis dalam menilai kualitas perawi hadis
tertentu, sebab di antara mereka ada yang bersikap ketat (mutasyaddid), longgar
(mutasāhil) dan pertengahan (mutawassith); keempat, karena telah terjadi
periwayatan hadis secara makna; kelima, karena matn hadis yang bersangkutan
berkaitan dengan masalah nāsikh-mansūkh, atau ām-khāsh, atau mujmal-mufashshal;
dan keenam, karena kaidah kesahihan matn hadis yang digunakan masih belum
akurat.25
Dengan argumentasi ini, Syuhudi nampaknya juga sepakat bahwa
kesahihan sanad hadis sangat menentukan kesahihan matn-nya. Pendapat yang
senada juga dikemukakan oleh Nūr al-Dīn „Itr, bahwa kelemahan pada matn
hadis tidak akan terjadi jika sanad-nya sudah sahih,26 sebab dalam kaidah
kesahihan sanad itu, para perawinya dituntut untuk tsiqah, dalam arti memiliki
sifat ‘ādālah dan dhābth.27 Dengan dua sifat ini, seorang perawi seharusnya
25Lihat
uraian M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, h. 228-229; Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, h. 123-124.
26Lihat Nūr al-Dīn „Itr, Lamahāt Mūjazah fī Manāhij al-Muhadditsīn al-‘Āmmah fī alRiwāyah wa al-Tashnīf, (Damaskus: Dār al-Farfūr, 1999), h. 21-22.
27Dalam terminologi ilmu hadis, ‘adālah merupakan „tabiat atau sifat dasar yang ada
dalam diri seseorang, yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa berada dalam orbit
ketakwaan dan kehormatan (murū’ah)‟. Sejumlah ulama hadis, seperti al-Hākim (w. 405 H.), Ibn
al-Shalāh (w. 643 H.) dan al-Nawāwī (w. 676 H.), telah memberikan kriteria yang lebih rinci
atau kaidah minor bagi perawi yang ‘ādil tersebut. Lebih lanjut lihat misalnya uraian al-Khathīb,
Ushūl al-Hadīts, h. 231; „Itr, Manhaj al-Hadīts, h. 79. Sedangkan dhabth dalam terminologi ilmu
hadis, diartikan dengan „kondisi terjaga dan tidak pelupa, sejak menerima hadis (al-tahammul)
hingga ketika menyampaikannya (al-adā’) kepada orang lain‟. Dalam terma yang lebih rinci,
perawi yang dhābith adalah yang „mampu dengan mendengar pembicaraan sebagaimana
mestinya, memahami arti pembicaraan secara benar, kemudian menghafalnya dengan sungguhsungguh dan sempurna tanpa keraguan, sehingga mampu menyampaikannya kepada orang lain
dengan baik kapan saja dia menginginkannya‟. Selanjutnya lihat misalnya uraian „Abd alRahmān ibn Ibrāhīm al-Khumaysī, Mu’jam ‘Ulūm al-Hadīts al-Nabawī, (Jeddah: Dār al-Andalus
al-Khadhrā‟, 1419 H.), cet.1, h. 136; Muhammad Dhiyā‟ al-Rahmān al-A‟zhamī, Mu’jam
Dzikri Nirwana
Diskursus Studi Hadis 187
bersikap selektif terhadap hadis-hadis yang diterimanya, yang kemudian
diriwayatkannya kepada orang lain. Di samping ketiga kualitas tersebut, masih
ada lagi satu kemungkinan hasil kajian hadis, yaitu bahwa hadis yang diteliti
ternyata tidak memenuhi syarat untuk dinyatakan sebagai hadis. Tegasnya,
hadis yang diteliti itu adalah palsu (mawdhū’). Dengan demikian, studi hadis
dalam bentuk kritik hadis ini tidak terlepas dari empat kemungkinan; shahīh,
hasan, dha’īf, atau bahkan mawdhū’.
Dalam kerangka penelitian atau kritik hadis, ada setidaknya beberapa
tahapan operasional yang perlu dilakukan. Syuhudi Ismail, dalam risetnya telah
mensintesakan kerangka metodologis kritik hadis yang diformulasikan para
ulama dan kritikus hadis dalam sejumlah tahapan; 1) melakukan takhrīj
terhadap hadis yang akan diteliti dalam rangka konfirmasi letak riwayat tersebut
dalam sumber-sumber aslinya; 2) melakukan i’tibār terhadap sanad-sanad hadis
yang telah terakumulasi dari kegiatan takhrīj; 3) melakukan kritik sanad dan matn,
dengan menerapkan kaidah-kaidah kesahihan sanad dan matn hadis; 4)
mengambil simpulan (natījah) terhadap kegiatan penelitian sanad dan matn
tersebut.28
Untuk istilah takhrīj sendiri, menurut al-Khayr Ābādī dan al-Thahhān,
tidak ditemukan arti yang definitif dalam karya para ulama hadis klasik, 29
meskipun terma tersebut belakangan digunakan para peneliti hadis untuk
„menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis dari sumber-sumbernya
yang asli, yakni berbagai kitab yang di dalamnya dikemukakan hadis tersebut
secara lengkap dengan sanad-nya masing-masing; lalu untuk kegiatan penelitian,
dijelaskan kualitas hadis yang bersangkutan.30
Dari terma takhrīj tadi, ada beberapa point yang umumnya digunakan
dalam studi hadis; 1) menunjukkan letak hadis dalam sumber-sumber yang asli;
2) menerangkan rangkaian sanad; dan 3) menjelaskan nilai atau kualitas hadis
tersebut jika diperlukan. Definisi inilah yang juga menjadi acuan Dhiyā‟ alRahmān al-A‟zhamī ketika menjelaskan terma takhrīj. Bahkan menurut alMushthalahāt al-Hadīts wa Lathā’if al-Asānīd, (Riyādh: Maktabah Adhwā‟ al-Salaf, 1999), cet.1, h.
236; Shubhī al-Shālih, ‘Ulūm al-Hadīts, h. 128.
28Lihat uraian M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h.41-158; Kaedah
Kesahihan Sanad Hadis, h. 208-222.
29Uraian lebih lanjut mengenai istilah-istilah takhrīj yang digunakan ulama hadis klasik,
lihat Muhammad Abū al-Layts Syams al-Dīn al-Khayr Ābādī, Takhrīj al-Hadīts; Nasy’atuh wa
Manhajiyyatuh, (Malaysia: al-Jāmi‟ah al-Islāmiyyah al-Ālamiyyah, 1997), h. 7-8.
30Lihat Mahmud al-Thahhān, Ushūl al-Takhrīj wa Dirāsah al-Asānīd, (Riyādh: Maktabah
al-Ma'ārif, 1996), h. 10.
188 AL-BANJARI
Vol. 13, No. 2, Juli-Desember 2014
Khayr Ābādī, takhrīj dalam terma ini, merupakan gambaran taḥqīq sempurna
terhadap hadis, dan menjadi kajian hadis yang komprehensif dari segala
aspeknya, atau dengan ungkapan lain, yaitu „operasionalisasi holistik studi hadis‟
(tathbīq ‘amalī li kāffah ‘ulūm al-hadīts).31
Dalam konteks inilah, timbul kesan bahwa istilah takhrīj, dalam persepsi
sebagian pengkaji hadis, sama halnya dengan kegiatan penelitian atau kritik
hadis. Hal ini dikarenakan seorang peneliti, dituntut untuk mengkonfirmasi
hadis dari sumber-sumber aslinya, mengeksplorasi varian lafal hadis beserta
sanad-nya, menelisik pernyataan para ulama [kritikus] hadis terhadap para
perawinya, mengkaji sanad dan matn-nya, sampai pada satu kesimpulan yang
jelas terhadap [kualitas] hadis yang di-takhrīj.32 Persepsi ini berbeda dengan
Syuhudi Ismail, yang menganggap takhrīj, sebagai langkah awal dalam
melakukan penelitian hadis, karena hanya bersifat konfirmatif semata terhadap
sumber-sumber hadis,33 untuk kemudian dibuat sketsa grafis seluruh jalur
periwayatan, atau yang disebut ddengan i’tibār al-sanad .
Untuk praktek takhrīj hadis sendiri, ada sejumlah metode yang
dikemukakan oleh para ahli hadis. Dalam hal ini, Syuhudi Ismail
memetakannya dalam dua bentuk; a) takhrīj al-hadīts bi al-alfāzh (penelusuran
hadis berdasarkan lafal matn-nya); b) takhrīj al-hadīts bi al-mawdhū’ (penelusuran
hadis berdasarkan tema masalah yang dibahas dalam matn hadis tersebut).34
Kedua metode ini dapat merujuk kepada indeks hadis susunan orientalis A.J.
Wensinck (w. 1939 M.), yang telah diterjemahkan dalam versi Arab oleh
Muhammad „Abd al-Bāqī, yaitu al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāzh al-Hadīts alNabawī, untuk metode pertama [berdasarkan lafal] dan Miftāh Kunūz al-Sunnah
untuk metode kedua [berdasarkan tema].35
31Lihat uraian Dhiyā‟ al-Rahmān al-A‟zhamī, Mu’jam Mushthalahāt al-Hadīts, h. 83; alKhayr Ābādī, Takhrīj al-Hadīts, h. 8.
32al-Khayr Ābādī, Takhrīj al-Hadīts, h. 8.
33M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 44.
34M. Syuhudi Ismail, Cara Praktis Mencari Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 17.
35Menurut Syuhudi, bagi para peneliti hadis pemula, metode pertama lebih mudah dan
praktis, karena dengan hanya mengetahui salah satu kata dalam matn hadis, sudah dapat
ditelusuri dalam sumber-sumber aslinya. Meskipun demikian, cakupan al-Mu’jam al-Mufahras li
Alfāzh al-Hadīts al-Nabawī ini hanya terbatas pada kitab-kitab hadis standar yang sembilan (kutub
al-tis’ah), yaitu Shahīh al-Bukhārī, Shahīh Muslim, Sunan al-Turmudzī, Sunan Abū Dāwūd, Sunan alNasā'ī, Sunan Ibn Mājah, Sunan al-Dārimī, Muwaththa' Mālik dan Musnad Ahmad ibn Hanbal,
sehingga ketika hadis-hadis yang di-takhrīj misalnya, tidak termasuk dalam kitab-kitab tersebut,
maka harus menggunakan kamus hadis lainnya yang memuat hadis-hadis yang diteliti.
Sedangkan Miftāh Kunūz al-Sunnah, selain memuat kitab hadis sembilan, juga ada tambahan
Dzikri Nirwana
Diskursus Studi Hadis 189
Sedangkan dalam kajian pemahaman hadis, juga terdapat sejumlah
petunjuk dan ketentuan umum agar dapat menghasilkan pembacaan yang tepat
dan akurat terhadap substansi hadis. Dalam hal ini, Yūsuf al-Qardhawī
menawarkan beberapa alternatif metodologis dalam studi fiqh al-hadīts ini dalam
karyanya Kayf Nata’āmal ma’ al-Sunnah al-Nabawiyyah, dengan penjelasan
berikut.36
Pertama, memahami hadis sesuai dengan petunjuk al-Qur‟an (fahm alsunnah fī dhaw’ al-Qur’ān al-Karīm), sebab hadis secara fungsional merupakan
penjelasan dan tafsiran terhadap al-Qur‟an, baik dalam tataran teoritis maupun
praktisnya. Ini berarti bahwa kandungan al-Qur‟an sebagai sesuatu yang
dijelaskan dan kandungan hadis sebagai sesuatu yang menjelaskannya
semestinya selaras dan tidak mungkin bertentangan antara keduanya. Sekalipun
umpamanya ada pertentangan antara al-Qur‟an dan hadis, kemungkinannya
hanya dua; hadisnya yang tidak sahih, atau pemahaman terhadap hadis itu yang
tidak sahih.
Kedua, menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam satu tema (jam’ alahādits al-wāridah fī al-mawdhū’ al-wāhīd). Pemahaman hadis seperti ini persis
seperti tafsir mawdhū’ī dalam kajian ilmu al-Qur‟an. Penghimpunan hadis-hadis
dalam satu tema ini penting agar dapat diketahui mutasyābih dan muhkam-nya,
muthlaq dan muqayyad-nya, ‘ām dan khāsh-nya, sehingga maksud dan kandungan
hadis tersebut menjadi jelas karena satu hadis dengan hadis lainnya bisa saling
menjelaskan.
Ketiga, kompromisasi (al-jam’) atau pemakaian dalil yang lebih kuat (altarjīh) terhadap hadis-hadis yang secara sepintas bertentangan (al-jam’ aw al-tarjīh
bayn mukhtalaf al-hadīts). Dari dua cara ini, nampaknya al-Qardhāwī lebih
cenderung kepada al-jam’ sebagai metode yang diprioritaskan (al-jam’ muqaddam
‘alā al-tarjīh). Namun demikian, kompromisasi itu hanya berlaku pada hadishadis sahih yang tampak bertentangan. Sedangkan hadis-hadis yang tidak
diketahui asal-usulnya, atau hadis tersebut lemaha apalagi palsu, maka tidak
perlu dihiraukan, kecuali untuk menjelaskan kepalsuan dan kebatilannya.
Adapun tahap kedua yang ditawarkan oleh Yūsuf al-Qardhāwī naskh
dan al-tarjīh. Di kalangan ahli hadis terjadi perbedaan pendapat tentang adanya
naskh (penghapusan). Sebagian menyatakan tidak ada naskh, sedangkan yang
sejumlah kitab hadis lainnya, meskipun juga terbatas, yaitu Musnad Zayd ibn ‘Alī, Musnad Abū
Dāwūd al-Thayālīsī, Tabaqāt Ibn Sa’d, Sīrah Ibn Hisyām, dan Maghāzī al-Wāqidī.
36Lihat lebih lanjut Yūsuf al-Qardhawī, Kayf Nata’āmal ma’ al-Sunnah al-Nabawiyyah;
Ma’ālim wa Dhawabith, (USA: al-Ma‟had al-„Ālamī li al-Fikr al-Islāmī, 1992), h. 93-181.
190 AL-BANJARI
Vol. 13, No. 2, Juli-Desember 2014
lain menyatakan ada naskh dalam hadis Nabi. Dalam hal ini, apabila ada dua
hadis yang saling bertentangan tidak bisa digabungkan, sementara diketahui
mana hadis yang diucapkan lebih dahulu dan mana yang kemudian, maka hadis
yang datang lebih dahulu di-naskh (dihapus kandungannya) oleh hadis yang
datang kemudian. Hadis yang datang belakangan (nāsikh) yang diamalkan,
sementara hadis yang datangnya lebih awal (mansūkh) ditinggalkan.
Namun demikian, menurut al-Qardhāwī, kebanyakan hadis yang
diasumsikan mansūkh (dihapus), apabila diteliti lebih jauh, ternyata tidaklah
demikian. Sebab di antara hadis-hadis tersebut ada yang dimaksudkan sebagai
`azīmah (anjuran melakukan sesuatu walaupun berat), dan adapula yang
dimaksudkan sebagai rukhsah (peluang untuk memilih yang lebih ringan pada
suatu ketentuan). Karena itu, kedua-duanya mengandung kadar ketentuan yang
berbeda, sesuai dengan kedudukannya masing-masing. Demikian juga
adakalanya sebagian hadis bergantung pada situasi tertentu, sementara yang
sebagiannya lagi bergantung pada situasi lainnya. Jelas bahwa adanya perbedaan
situasi seperti itu, tidak berarti adanya penghapusan atau naskh.
Naskh, sebenarnya juga merupakan salah satu cara tarjīh, secara teoritis
menjadi kajian ilmu hadis, bahkan banyak pakar hadis yang telah menyusun
kitab-kitab tentang hadis-hadis yang nāsikh maupun mansūkh. Hanya saja
menurut al-Qardhāwī, hadis-hadis yang diklaim ulama telah mansūkh, bila
diteliti lebih lanjut tidaklah selalu menunjukkan ke-mansūkh-annya untuk kurun
waktu yang tidak terhingga, tetapi lebih merupakan hadis yang sebenarnya
berkait dengan peristiwa tertentu. Pendapat semacam ini telah disebut-sebut
baik dalam kawasan ilmu hadis maupun Ilmu usul fikih.
Sedangkan tarjīh menurut al-Qardhāwī merupakan tahapan
penyelesaian terhadap hadis-hadis yang tampaknya bertentangan, jika al-jam`
tidak bisa dilakukan. Tarjīh yang berarti memenangkan salah satu dari dua hadis
atau lebih yang tampak bertentangan, dengan berbagai alasan pen- tarjīh-an
yang telah ditentukan oleh para ulama. Adapun cara-cara atau langkah-langkah
tarjīh, al-Qardhāwī tidak menyebutkannya secara rinci. Dia hanya menyatakan
bahwa cara-cara itu dapat diketemukan dalam kitab Tadrīb al-Rāwī karya alSuyūthī (w. 911 H.), yang menyebutkan lebih dari 100 cara-cara tarjīh. Cara-cara
yang demikian, sebenarnya juga dapat diketemukan dalam kaedah ilmu usul
fikih maupun kaedah-kaedah dalam ilmu hadis. Sebagaimana dalam kasus
naskh, al-Qardhāwī juga tidak mengemukakan satu contoh pun tentang cara
tarjīh terhadap hadis-hadis yang tampak bertentangan (mukhtalif). Hal demikian
barangkali, menurutnya cara yang paling sah dalam menyelesaikan hadis-hadis
Dzikri Nirwana
Diskursus Studi Hadis 191
yang tampak bertentangan hanyalah dengan cara al-jam’ (penggabungan atau
pengkompromian).
Keempat, memahami hadis dengan pertimbangan latar belakang
kemunculan hadis, situasi dan kondisi ketika hadis diucapkan serta tujuantujuannya (fahm al-ahādits fī dhaw’ asbābihā wa mulābasatihā wa maqāshidihā). Kajian
seperti ini dianggap penting untuk menghasilkan pemahaman yang
komprehensif. Pendekatan seperti inilah yang disebut kontekstual dengan
memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang
melatarbelakangi (‘illah) munculnya hadis-hadis tersebut, atau dengan kata lain,
dengan memperhatikan dan mengkaji konteksnya.
Kelima, membedakan antara sarana yang berubah dan sasaran yang tetap
(al-tamyiz bayn al- wasīlah al-mutaghayyirah wa al-hadaf al-tsābit li al-hadīts). Dalam
hal ini, analisis konteks-redaksional akan memberikan perspektif baru tentang
semangat teks hadis secara keseluruhan yang pada gilirannya akan memberikan
pemahaman tentang maksud atau tujuan (madlūl / hadaf) yang terkandung
dalam sebuah hadis. Bahwa ketika disebutkan media (wasīlah) sebagai wadah
bagi terwujudnya tujuan adalah hal yang wajar. Dari sini, harus dilakukan
pemahaman yang bersifat filosofis, yakni menarik tujuan atau maksud sebuah
ucapan Rasulullah saw. Untuk itu maksud atau tujuan yang diinginkan dengan
media haruslah dibedakan dengan jelas. Ini disebabkan karena tujuan atau
maksud merupakan realitas yang bersifat statis dan universal. Tetapi media
senantiasa berkembang dan terus berkembang. Maka yang harus dijadikan
pegangan dalah tujuan dan maksud yang dikandung sebuah hadis, karena media
merupakan pendukung bagi tercapainya sebuah maksud.
Keenam, memilah ungkapan-ungkapan hadis yang bersifat denotatif dan
konotatif al-tafrīq bayn al-haqīqah wa al-majāz fi fahm al-hadīts). Hadis sebagai
sebuah pesan-pesan keagamaan disampaikan dalam sebuah bahasa yang
tentunya juga bersifat keagamaan. Salah satu ciri yang paling menonjol dalam
bahasa keagamaan adalah seringnya pemakaian bahasa metaforis. Hal ini
agaknya tidak dapat dihindari karena untuk membahasakan dan
mengekspresikan tentang Tuhan dan objek yang abstrak, manusia tak bisa tidak
mesti menggunakan ungkapan yang familiar dengan dunia indrawi, dengan
bahasa kiasan dan simbol-simbol.
Bahasa metaforis atau majaz dalam bahasa Arab dapat diungkapkan
sebagai kata yang dipakai bukan pada makna yang diperuntukkan baginya
(bukan makna aslinya) karena adanya hubungan yang diikuti dengan tandatanda yang mencegah penggunaan makna asli tersebut. Jadi, pengalihan makna
192 AL-BANJARI
Vol. 13, No. 2, Juli-Desember 2014
hakiki kepada majazi dilakukan karena adanya „alāqah (korelasi) dan qarīnah
(tanda-tanda) yang menghalangi pemakaian makna asli (hakiki) tersebut.
Pemakaian bahasa metaforis dalam hadis tidak hanya terbatas hadis yang
bersifat informatif, tetapi juga pada hadis-hadis yang mengandung muatan
hukum (hadis-hadis hukum). Tiba di sini memahami suatu perkataan sebagai
majaz, kadang kala menjadi suatu keharusan, sebab jika tidak demikian
seseorang dapat keliru menyimpulkan sebuah tujuan yang dimaksudkan hadis.
Ketujuh, membedakan hadis-hadis yang berbicara tentang alam gaib dan
alam nyata (al-tafriq bayn al-ghayb wa al-syahādah). Sebagaimana al-Qur‟an, hadis
pun juga banyak berbicara dalam persoalan-persoalan gaib seperti malaikat, jin,
syaitan, „arsh, kursi, qalam, dan lain sebagainya. Persoalan-persoalan tersebut
tidak bisa diukur dengan logika karena memang di luar jangkauan akal pikiran
dan indera manusia. Maka ketika hadis-hadis telah jelas kesahihannya, maka
sudah sewajibnya umat Islam mempercayai dan mengimaninya. Namun ada
saja mazhab teologi yang menolak keberadaan hadis-hadis tentang alam gaib
tersebut, seperti Muktazilah yang menolak misalnya hadis-hadis tentang azab
dan nikmat kubur. Padahal antara alam dunia dan alam akhirat tentunya
masing-masing aturan dan ketentuan (qānūn) tersendiri yang tidak mungkin
untuk diperbandingkan atau disamakan. Karena itulah menurut al-Qardhāwī,
kesalahan mendasar dari sikap penolakan Muktazilah terhadap hadis-hadis
tentang alam gaib ini adalah menyamakan keadaan alam gaib dengan alam
zahir, atau mengqiyaskan alam akhirat dengan alam dunia.
Kedelapan, memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadis (alta’kīd min madlūlāt alfāzh al-hadīts). Hadis yang diucapkan Nabi relevan dengan
ruang dan waktu, baik itu dari segi sosial budaya maupun alam lingkungan.
Dari sini, pemahaman sebuah kata pun haruslah dalam waktu dan ruang di
mana hadis itu diucapkan, meskipun kata itu dalam ruang dan waktu pembaca
atau penafsir sering dipakai dengan makna yang lebih luas. Artinya sebuah kata
tidak diberi muatan makna yang terlalu jauh melampaui masanya.
Dari sejumlah alternatif metodologis yang ditawarkan al-Qardhāwī,
jelaslah bahwa dalam memahami hadis, tentunya tidak hanya menggunakan
pendekatan tekstual, tetapi juga [dalam beberapa hal] mesti menggunakan
pendekatan kontekstual. Hal ini dapat dimaklumi karena dalam kaitannya
sebagai sumber pokok ajaran Islam, hadis pada umumnya lebih merupakan
penafsiran kontekstual dan situasional atas ayat-ayat al-Qur‟an dalam
merespons pertanyaan para sahabat Nabi saw. Dengan demikian, hadis
merupakan interpretasi Rasulullah saw. yang dimaksudkan untuk menjadi
Dzikri Nirwana
Diskursus Studi Hadis 193
pedoman bagi para sahabat dalam mengamalkan ayat-ayat al-Qur‟an. Karena
kondisi sahabat dan latar belakang kehidupannya berbeda, maka petunjukpetunjuk yang diberikan nabi berbeda pula. Pada sisi lain, para sahabat pun
memberikan interpretasi yang berbeda terhadap hadis nabi. Dari sini, maka
hadis pada umumnya bersifat temporal dan kontekstual.
Situasi sosial budaya dan alam lingkungan semakin lama semakin terus
berubah dan berkembang. Dengan semakin jauh terpisahnya hadis dari situasi
sosial yang melahirkannya, maka sebagian hadis nabi terasa tidak komunikatif
lagi dengan realitas kehidupan sosial saat ini. Karena itu pemahaman atas hadis
nabi merupakan hal yang mendesak, tentu dengan acuan yang dapat dijadikan
sebagai standarisasi dalam memahami hadis. Realitanya bahwa hadis nabi lebih
banyak dipahami secara tekstual, bahkan belakangan gejala ini muncul di
kalangan generasi muda Islam, tidak saja di Indonesia, tetapi juga di banyak
negeri Islam lainnya. Pendekatan ini, -terhadap sebahagian hadis merupakan
satu keharusan- tidak selamanya mampu memberikan jawaban terhadap
persoalan-persoalan yang muncul belakangan, bahkan malah menjadi sesuatu
yang kontradiktif sehingga memalingkan kepercayaan terhadap hadis nabi.
Dalam konteks ini kemudian Syuhudi Ismail berkesimpulan bahwa ada
kemungkinan sebuah hadis tertentu lebih tepat dipahami secara tersurat
(tekstual), sedang hadis lainnya lebih tepat dipahami secara tersirat
(kontekstual). Pemahaman dan penerapan hadis secara tekstual dilakukan bila
yang bersangkutan, setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan
dengannya, misalnya latar belakang terjadinya, tetap menuntut pemahaman
sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadis. Demikian pula halnya dengan
pemahaman dan penerapan hadis secara kontekstual, dilakukan bila “di balik”
teks suatu hadis terdapat petunjuk kuat yang mengharuskan hadis yang
bersangkutan dipahami dan diterapkan tidak sebagaimana maknanya yang
tersurat (tekstual).37 Dengan melihat bentuk matn hadis, dapat saja diketahui
bahwa hadis tersebut dapat berupa; jāmi’ al-kalim (ungkapan yang singkat
namun padat makna), tamtsīl (perumpamaan), ramzī (bahasa simbolik), bahasa
percakapan, ungkapan analogi (qiyāsī), dan lain-lain.
Untuk melihat sejauh mana keterkaitan hal-hal yang dilakukan Nabi
saw. dengan fungsi beliau ketika hal-hal itu dilakukan, menurut Syuhudi Ismail
dapat dikaji dengan melihat kandungan hadis itu sendiri. Hadis-hadis yang
37Lihat lebih lanjut uraian M. Syuhudi Ismail, Pemahaman Hadis Nabi Secara Tekstual &
Kontekstual; Telaah Ma’ani Hadis Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal & Lokal, [Pidato
Pengukuhan Guru Besar], (Makasar: IAIN Alaudin Ujung Pandang, 1994), h. 2-3.
194 AL-BANJARI
Vol. 13, No. 2, Juli-Desember 2014
berhubungan dengan fungsi Nabi sebagai Rasulullah dapat dilihat dari berbagai
penjelasan beliau tentang kandungan al-Qur‟an, pelaksanaan ibadah, dan
penetapan hukum halal-haramnya sesuatu. Untuk hadis yang dikemukakan
Nabi dalam kapasitasnya sebagai seorang rasul, ulama menyatakan kesepakatan
tentang wajib mematuhinya. Untuk hadis yang dikemukakan dalam kapasitas
Nabi saw. sebagai kepala negara dan pemimpin masyarakat seperti pengiriman
angkatan perang, kalangan ulama ada menyatakan bahwa hal itu tidak menjadi
ketentuan syariat yang bersifat umum.
Dari sinilah kemudian Mahmūd Syaltūt membagi hadis atau sunnah,
dalam dua klasifikasi; 1) sunnah tasyrī’iyyah, yaitu sunnah yang mengandung
unsur tasyrī’ [yang umat Islam diperintahkan untuk mengikuti dan
melaksanakannya], baik dalam bentuk qawliyyah, fi’liyyah, maupun taqrīriyyah; 2)
sunnah ghayr tasyrī’iyyah, yaitu sunnah yang tidak mengandung unsur tasyrī’ dan
taklīf, yang hanya berkaitan dengan urusan manusiawi, baik yang sifatnya
sebagai kebutuhan kemanusiaan, seperti makan dan minum; yang sifatnya
eksperimental dan kebiasaan pribadi atau sosial, seperti tentang pertanian dan
kedokteran; maupun yang sifatnya kecakapan pribadi sebagai wujud interaksi
dengan kondisi tertentu, seperti pembagian pasukan ke medan pertempuran,
dan hal-hal lain yang dasarnya kondisi dan keadaan tertentu.38
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Muh. Zuhri, bahwa dalam
melakukan pembacaan atau pemahaman ulang terhadap hadis secara
komprehensif, perlu dilihat dahulu kedudukan hadis terhadap al-Qur‟an. Posisi
hadis dalam hal ini untuk menjelaskan dan menjabarkan kandungan al-Qur‟an
yang masih global. Ketika al-Qur‟an memiliki muatan yang begitu kompleks,
maka hadis pun harus menyesuaikannya. Menurut Muh. Zuhri, hadis
38Menurut Syaltūt, sunnah tasyrī’iyyah ini terbagi lagi menjadi dua; pertama, yang sifatnya
universal dan eternal [tasyrī ‘ām], yang berlaku untuk seluruh manusia hingga hari kiamat.
Sunnah ini disampaikan Nabi Muhammad saw. dalam bentuk tabligh, dalam kapasitas beliau
sebagai Rasul, seperti penjelasan bentuk praktis ibadah yang diperintahkan al-Qur‟an, halalharam, masalah-masalah akidah, akhlak atau masalah-masalah lainnya yang relevan. Kedua, yang
sifatnya lokal-temporal, yang khusus bagi suatu kondisi atau keadaan tertentu [tasyrī khāsh].
Sunnah ini terbagi dalam dua bentuk; a) yang disampaikan Nabi saw. dalam kapasitasnya
sebagai seorang imam dan pemimpin umum kaum Muslimin, seperti mengirim pasukan
perang, dan hal-hal lain yang sifatnya merupakan imāmah dan keperluan umum demi
kemaslahatan umat; b) yang dilakukan Nabi Muhammad saw. sebagai tindakan pengadilan
(qadhā’). Sunnah model ini pun sama seperti model sebelumnya, bukan sebagai tasyrī’ umum.
Maka, seseorang tidak boleh mengerjakan sesuatu dengan alasan hal itu sebagai keputusan Nabi
saw. yang telah memberinya suatu hukum yang pasti. Selanjutnya lihat Mahmūd Syaltūt, alIslām; ‘Aqīdah wa Syarī’ah, (Kairo: Dār al-Syurūq, 2001), cet.18, h. 499-501.
Dzikri Nirwana
Diskursus Studi Hadis 195
setidaknya memiliki muatan-muatan berikut: pertama, informasi gaib dan akidah
(bersifat dogmatik); kedua, norma-norma ritual dan sosial; ketiga, perilaku
sebagai manusia biasa; dan keempat, gagasan menatap masa depan.
Dengan kerangka ini akan dapat dipilah teks hadis yang harus dipahami
apa adanya, dan teks hadis yang memberi keleluasaan dalam „berijtihad‟. Hadishadis yang bermuatan informasi gaib dan akidah yang bersifat dogmatik,
nampaknya tidak dapat memberi „banyak gerak‟ dalam berijtihad karena
kebenarannya tidak dapat diukur dengan penalaran kreatif. Hadis-hadis tentang
kiamat, malaikat, alam kubur, surga, neraka, tidak bisa dirasionalisasikan, harus
dipercaya atau ditolak. Hal inilah yang nampaknya menjadi dasar pertimbangan
mengapa dalam aspek gaib dan akidah diperlukan dalil yang mutawātir, karena ia
bersifat supra rasional dan universal, tidak terikat oleh waktu dan situasi. Begitu
pula hadis-hadis tentang ritual ibadah seperti salat, puasa dan haji, meskipun
dalam beberapa hal tidak seketat dogma akidah. Kendati peluang kritis
terhadap ajaran ritual itu sempit, tetapi aktualisasi ritual yang melibatkan urusan
duniawi, maka ada elemen-elemen hadis yang dapat dipertimbangkan.39
Berbeda dengan hadis yang memuat norma kemanusiaan, bahwa situasi
selalu mendorong munculnya sebuah norma. Perbedaan situasi akan
mempengaruhi norma. Hadis-hadis yang bermuatan hukum sosial lebih
memberi kelonggaran berkreasi karena ia berbicara tentang gejala sosial, yang
ukuran kebenarannya mudah diamati berdasarkan kebutuhan sosial itu sendiri.
Terlebih hadis-hadis yang berbicara dalam kapasitas Rasulullah sebagai manusia
biasa, lebih mudah lagi dilihat konteksnya kemudian dirasionalisasikan.
Kemudian sebagai pembawa agama, Rasulullah tentu memiliki obsesi agar
pengikutnya menjadi masyarakat teladan dengan ciri utama rajin, setia, rasional,
toleran, dan lainnya yang membawa kemajuan yang damai dan sejahtera. Hadis
yang berupa gagasan dan cita-cita diperkirakan memberi keleluasaan dalam
aktualisasi. Setidaknya, ajaran moralnya tidak ditawar.40
Dengan demikian, hadis-hadis yang berkaitan dengan politik, sosial,
ekonomi, dan budaya merupakan celah untuk dapat dilakukan kajian yang
mendalam sekaligus perlunya pembaruan penafsiran, pemahaman dan
pemaknaan yang tetap sesuai dengan ruh dan jiwa keislaman terhadap
khazanah literatur hadis, mengingat situasi dan pranata sosial, ekonomi, budaya
39Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadis; sebuah Tawaran Metodologis, (Yogyakarta: LESFI,
2003), h. 50-51.
40Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadis, h. 52.
196 AL-BANJARI
Vol. 13, No. 2, Juli-Desember 2014
dan politik antara era pembukuan hadis dan era global sekarang sungguh sangat
jauh berbeda.
3. Menggagas Studi Hadis dalam Wacana Integrasi Ilmu
Seperti yang diungkap sebelumnya, bahwa dalam hadis ditemukan
berbagai fakta historis mengenai bagaimana ajaran-ajaran Islam yang
diwahyukan oleh Allah swt., yang kemudian diterjemahkan dalam kehidupan
nyata oleh Nabi Muhammad saw. Sebagai suatu tindakan Nabi saw. yang
dimaksudkan untuk membumikan ajaran Islam dalam dunia nyata (rahmah li al‘ālamīn), maka hadis tidak bisa mengelak dari dinamika sosial yang terjadi.
Bahkan tidak jarang sebuah hadis menjadi ajang tarik menarik antara realitas
sosial saat itu dan norma ideal, yang biasanya berakhir dengan suatu kompromi
ajaran tertentu, meskipun semuanya masih dalam bingkai wahyu. Hampir
persoalan yang muncul dalam kehidupan Nabi saw. terungkap dalam hadis.
Sepeninggal Nabi saw. hadis tidak bertambah jumlahnya, sementara problem
yang dihadapi oleh umat Islam terus berkembang sesuai dengan perkembangan
zaman. Itulah sebabnya, dalam memahami hadis diperlukan metode
pemahaman yang tepat melalui pendekatan komprehensif, baik tekstual
maupun kontekstual dengan berbagai bentuknya.41
Oleh karena itu, studi hadis pun nampaknya perlu mendapatkan
pencerahan metodologi dan perubahan paradigma keilmuan. Hadis, yang
selama ini dipahami sebagai ucapan, perbuatan, dan ketentuan Nabi saw. adalah
bagian yang tidak terpisahkan, -meminjam istilah Fazlur Rahman-, a living
tradition (tradisi yang hidup atau al-Sunnah)42 di era kenabian selama kurang
lebih 23 tahun berubah menjadi a literary tradition (tradisi tertulis) pada abad ke2 dan ke-3 H. dalam kitab-kitab kumpulan hadis. Tanpa disadari umat Islam,
telah terjadi perubahan yang mendasar dari tradisi „lisan‟ yang hidup, longgar,
dan fleksibel menjadi tradisi „tertulis‟, beku, kaku atau baku.
Dalam sejarah pembukuan hadis yang bersifat „tertulis‟, sesungguhnya
umat Islam saat itu „dipaksa‟ oleh situasi yang mengitarinya, yaitu kelangkaan
sahabat, tabi‟in, dan tabi‟ al-tabi‟in yang mengetahui secara persis bagaimana
cara praktik hidup, ibadah, dan perilaku Nabi saw., dan maraknya hadis-hadis
palsu yang dibuat oleh generasi yang hidup setelah Nabi saw. Situasi seperti ini
41Said Agil Husein Munawwar, “Metode Pemahaman Hadis; Kemungkinan
Pendekatan Historis dan Antropologis” dalam Yunahar Ilyas dan M. Mas‟udi (ed.),
Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis, (Yogyakarta: LPPI, 1996), h. 174.
42Lihat uraiannya dalam Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, (Pakistan:
Islamic Research Institute, 1984).
Dzikri Nirwana
Diskursus Studi Hadis 197
membuat para ilmuan muslim berupaya keras untuk menyeleksi hadis-hadis
yang berasal dari Nabi dan yang bukan. Kemunculan ilmu-ilmu hadis, semisal
mushthalah al-hadīts, rijāl al-hadīts, al-jarh wa al-ta’dīl, dan lain-lainnya, merupakan
bentuk intervensi keilmuan para ilmuan hadis melalui metodologi yang
digunakan untuk menentukan hadis yang sahih dan yang tidak sahih, dan begitu
seterusnya. Dengan demikian, sebenarnya ada proses panjang yang bersifat
historis dalam era tadwīn yang seringkali dilupakan umat Islam disebabkan
karena maksud baik mereka untuk segera mengamalkan apa yang dibaca dan
didengar, sehingga kurang begitu peduli dengan proses dan asal usul
munculnya sebuah hadis.43 Oleh karena itu, pengkajian ulang terhadap ‘ulūm alhadīts menjadi sangat mungkin dilakukan selama hal itu terkait dengan produk
historis.
Tantangan kultural dan sosiologis yang tengah dihadapi oleh umat
Islam saat ini berbeda dengan tantangan yang pernah dihadapi oleh umat Islam
pada abad-abad yang silam, atau lebih ketika Ibn al-Shalāh (w. 643 H.), alZarkasyī (w. 794 H.), al-Suyūthī (w. 911 H.) menyusun karya-karya mereka
dalam studi hadis. Tantangan yang menghadang mereka pada saat itu adalah
bagaimana mempertahankan memori kultural bangsa, peradaban, dan
pemikirannya dalam menghadapi serbuan Pasukan Salib dari Barat. Karenanya,
karya-karya di bidang ilmu-ilmu al-Qur‟an dan ilmu-ilmu Hadis dicermati
sebagai upaya menghimpun aneka ragam tradisi ke dalam wilayah “teks”
keagamaan, dan sebagai upaya untuk mempermudah agar dapat dijangkau oleh
pembaca dan pencari ilmu. Langkah itu pada dasarnya merupakan respon
kultural terhadap situasi yang mengharuskan nalar Arab menarik diri ke dalam,
berlindung dalam wilayah ilmu “teks” dan berkonsentrasi pada kebudayaan dan
pemikiran sendiri untuk melindungi dan mempertahankan kebudayaan dari
kemusnahan dan kehancuran.44
Kini tantangan yang dihadapi oleh umat Islam di abad modern sudah
berubah. Karenanya, pendekatan yang terlalu terpusat pada “teks” (tekstual)
dalam memahami hadis tidak lagi memadai dan perlu diperkaya dengan
pendekatan kontekstual atau interdisipliner yang melibatkan seperangkat
disiplin ilmu lainnya, seperti ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Dalam hal ini,
peminjaman, modifikasi, maupun adaptasi unsur informasi dan unsur
metodologi oleh suatu disiplin ilmu dari disiplin ilmu yang lain merupakan hal
43M. Amin Abdullah, “al-Takwil al-„Ilmiy” dalam Islamic Studies di Perguruan Tinggi;
Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).
44Nashr Hāmid, Mafhūm al-Nashsh, h. 4-5.
198 AL-BANJARI
Vol. 13, No. 2, Juli-Desember 2014
yang wajar. Memang suatu disiplin ilmu memiliki otonomi di dalam dirinya.
Namun, karena gejala yang dideskripsikan dan dijelaskan olehnya merupakan
satu kesatuan yang kompleks, serta tingkat perkembangan dan kemampuan
disiplin ilmu itu bervariasi, maka disiplin ilmu itu tidak dapat melepaskan diri
dari bantuan dan kerja sama dengan disiplin ilmu lainnya. Apalagi, jika gejala
kehidupan itu akan dijelaskan secara komprehensif, maka terjadi adhesi, kohesi,
bahkan integrasi antar disiplin ilmu. Integrasi dari berbagai disiplin ilmu itu,
kemudian dikenal dengan pendekatan interdisipliner (antardisiplin) dan
multidisipliner (multi- disiplin). Pendekatan interdisipliner merupakan
penggabungan unsur informasi dan unsur metodologi dari dua atau lebih
disiplin ilmu dalam satu program atau kegiatan studi menurut disiplin ilmu
masing-masing, kemudian digabungkan secara eksternal sebagai satu kesatuan
penyelenggaraan studi.45
Kalangan ulama terdahulu telah menerapkan pendekatan interdisipliner
dalam memahami hadis, dengan menggunakan perangkat/ilmu keislaman yang
berkembang saat itu seperti ilmu fikih, usul fikih, kalam, tasawuf, bahasa Arab,
dan ilmu-ilmu lainnya. Pendekatan interdisipliner dalam studi hadis
menggunakan perangkat ilmu-ilmu keislaman tradisional juga dilakukan oleh
sejumlah ulama hadis kontemporer, semisal Muhammad al-Ghazālī dalam
karyanya yang monumental, al-Sunnah al-Nawabiyyah bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl alHadīts. Dalam karyanya itu, al-Ghazālī berusaha mempertemukan antara
disiplin hadis dan fikih dalam membahas sejumlah hadis-hadis tematis,
misalnya tentang perempuan, nyanyian, etika makan, minum dan berpakaian,
takdir dan fatalisme, serta masalah lainnya.46 Pendekatan yang ditawarkan oleh
al-Ghazālī ini tentunya menjadi menarik dan menantang, sehingga bukunya
memperoleh sambutan publik yang luar biasa.
Penutup
Sebagai catatan akhir dari tulisan ini, dapat dinyatakan bahwa
kemunculan sejumlah pemikir muslim kontemporer semisal Fazlur Rahman,
„Ābid al-Jābirī, Nashr Hāmid Abū Zayd, Mohammed Arkoun, Fatima Mernissi,
Riffat Hassan, dan tokoh-tokoh terkemuka lainnya, telah memberikan
45Saifuddin,
Pengembangan Studi Hadis, h. 4.
lebih lanjut dalam Muhammad al-Ghazālī, al-Sunnah an-Nabawiyyah bayn Ahl alFiqh wa Ahl al-Hadīts, (Kairo: Dār al-Syurūq, 1989). Buku aslinya ini telah diterjemahkan dalam
versi bahasa Indonesia oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Studi Kritis atas Hadis Nabi saw.;
antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, (Bandung: Mizan, 1996).
46Lihat
Dzikri Nirwana
Diskursus Studi Hadis 199
penyegaran dan sumbangan pemikiran orisinil (contribution of knowledge) terhadap
pengembangan studi Islam, dalam karya-karya mereka, baik dalam tataran
metodologi maupun materi keislaman, dan berdampak besar terhadap kajiankajian tafsir dan hadis yang selama ini melesu dan bahkan mengalami stagnasi
metodologis.
Di satu sisi, pemikiran-pemikiran para tokoh tersebut sudah selayaknya
diapresiasi sebagai dinamika yang memperkaya khazanah intelektual Islam
sebab bagaimanapun kemunculan pemikiran mereka merupakan respon positif
terhadap perkembangan dan tantangan zaman global yang semakin kompleks.
Berkat jasa mereka, studi Islam menjadi isu penting yang menjadi perhatian
dunia, terlebih bagi kalangan oreintalis Barat dan pemerhati serta pengkaji
Islam lainnya. Pengayaan metodologi, pengembangan wacana-wacana keilmuan
Islam yang lebih kontekstual, menjadi karakteristik pemikiran-pemikiran
tersebut. Kini, kajian-kajian tafsir maupun hadis sudah mulai bangun dari „tidur
panjangnya‟. Pemaknaan, penafsiran dan pemahaman terhadap teks-teks alQur‟an dan hadis yang semula terkesan kaku dan rigid menjadi lebih membumi
dan responsif terhadap tuntutan zaman.
Namun di sisi lain, pemikiran-pemikiran tersebut tentunya harus
dikritisi dan tidak mesti „ditelan seratus persen‟ sebab bagaimanapun ia
merupakan produk manusia yang tidak luput dari keterbatasan dan
ketidaksempurnaan. Jika ditelusuri sejarah perkembangan paradigma-paradigma
dalam ilmu sosial, sebagaimana dijelaskan George Ritzer,47 bahwa munculnya
setiap paradigma adalah karena kritik terhadap keterbatasan paradigma yang
telah ditawarkan dalam memahami realitas. Paradigma definisi sosial (social
definition paradigm), misalnya, adalah kritik atas paradigma fakta sosial (social fact
paradigm). Akhirnya, setiap paradigma memiliki keterbatasan, di samping
keunggulannya, dalam membatasi realitas, karena realitas keagamaan adalah
realitas yang kompleks. Kesimpulannya, Ritzer menyarankan paradigma
integratif, yaitu paradigma yang menggabungkan paradigma fakta sosial, definisi
sosial, dan perilaku sosial.
Sebenarnya, hal yang sama juga terjadi pada pendekatan-pendekatan
dalam kajian Islam, khususnya kajian tafsir dan hadis. Harus dibangun
anggapan bahwa tidak ada pendekatan tanpa keterbatasan, sebagaimana setiap
pendekatan juga memiliki keunggulan. Jika dilakukan over-view pendekatanpendekatan dalam mengkaji Islam, tentu akan sampai pada kesimpulan tidak
47Lihat
dalam karyanya George Ritzer, Sociology: A Multiple Paradigm Science, (Boston:
Allyn and Bacon, Inc., 1980).
200 AL-BANJARI
Vol. 13, No. 2, Juli-Desember 2014
ada pendekatan kajian Islam yang sempurna dan final, karena realitas Islam
yang begitu kompleks. Amin Abdullah, pernah menyatakan bahwa „finalitas‟
tidak memberikan kesempatan munculnya new possibilities yang barangkali lebih
kondusif untuk menjawab persoalan-persoalan sosial-keagamaan kontemporer.
Finalitas dan eksklusifitas sama sekali menepikan kenyataan bahwa
keberagamaan Islam sungguh bukanlah peristiwa yang „sekali jadi‟.
Keberagamaan adalah proses panjang (on going process of religiosity) menuju
kematangan dan kedewasaan sikap beragama.48
Oleh karena itu, kritik terhadap pengembangan metodologis dalam
studi hadis menjadi suatu keniscayaan. Dalam hal ini, sebagian besar tawaran
metodologis yang dikemukakan oleh para pemikir muslim kontemporer masih
berada dalam tataran „wacana‟ atau bersifat teoritis, belum banyak yang bersifat
aplikatif. Di sinilah sebenarnya permasalahan dekonstruksi atau rekonstruksi
pemahaman terhadap hadis dimulai. Inilah yang akan menjadi tantangan
terbesar bagi para generasi muslim untuk mengintegrasikan berbagai disiplin
ilmu dalam studi hadis. Namun demikian, tidak semua pendekatan keilmuan
tersebut dapat diaplikasikan secara meyakinkan dalam seluruh hadis yang ada,
tetapi untuk mencapai ke arah tersebut, masih memerlukan identifikasi,
klasifikasi, dan telaah ulang terhadap perkembangan pemikiran dan
pemahaman terhadap hadis [ ]
DAFTAR PUSTAKA
Al-A‟zhamī, Muhammad Dhiyā‟ al-Rahmān, Mu’jam Mushthalahāt al-Hadīts wa
Lathā’if al-Asānīd, (Riyādh: Maktabah Adhwā‟ al-Salaf, 1999).
Al-A‟zhamī, Muhammad Mushthafā, Manhaj an-Naqd ‘ind al-Muhadditsīn,
(Riyādh: Syirkah al-Thibā‟ah al-Su‟ūdiyyah, 1982)
Abū Zayd, Nashr Hāmid, Mafhūm al-Nash; Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān,
diterjemahkan oleh Khairon Nahdliyyin dengan judul Tekstualitas alQur’an; Kritik terhadap Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: LKiS, 2000).
Al-Adhlabī, Shalah al-Dīn ibn Ahmad, Manhaj Naqd al-Matn, (Beirut: Dār alĀfāq al-Jadīdah, 1983).
Ali, Nizar, Memahami Hadis Nabi; Metode dan Pendekatan, (Yogyakarta: CESaD
YPI al-Rahmah, 2001).
48M.
Amin Abdullah, “al-Takwil al-„Ilmiy” dalam Islamic Studies, h. 224.
Dzikri Nirwana
Diskursus Studi Hadis 201
Al-Bukhārī, Abū 'Abd Allāh Muhammad ibn Ismā'īl, Shahīh al-Bukhārī, (Beirut:
Dār al-Fikr, t.th.).
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, (Pakistan: Islamic Research
Institute, 1984).
Al-Ghazālī, Muhammad, al-Sunnah an-Nabawiyyah bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl alHadīts, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Studi
Kritis atas Hadis Nabi saw.; antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual,
(Bandung: Mizan, 1996).
Al-Hākim al-Naysābūrī, Abū „Abd Allāh Muhammad ibn „Abd Allāh, Ma’rifah
‘Ulūm al-Hadīts (Madinah: Maktabah „Ilmiyyah, 1977)
Hodgson, Marshall G.S., The Venture of Islam; Conscience and History in World
Civilization, (Chicago: The University of Chicago Press, 1974).
Al-Humayd, Sa‟d ibn „Abd Allāh, Syarh Nukhbah al-Fikar li al-Hāfizh Ibn Hajr al‘Asqalānī, (t.tp.: Dār „Ulūm al-Sunnah, t.th.).
Ibn al-Shalāh, Abū 'Umar wa 'Utsmān ibn 'Abd al-Rahmān, 'Ulūm al-Hadīts,
(Beirut: Dār al-Fikr, 1986)
Ibn Hajr al-'Asqalānī, Syihāb al-Dīn Abū al-Fadhl Ahmad, Fath al-Bāri Syarh
Shahîh al-Bukhārī, (Beirut: Dār al-Fikr, 1992).
Ibn Katsīr, Abū al-Fidā‟ Ismā‟īl ibn „Umar al-Quraysyī al-Dimasyqī, Ikhtishār
‘Ulūm al-Hadīts, pen-tahqīq Shalāh Muhammad ibn Muhammad
„Uwaydhah, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, 1989).
„Itr, Nūr ad-Dīn, Lamahāt Mūjazah fī Manāhij al-Muhadditsīn al-‘Āmmah fī alRiwāyah wa al-Tashnīf, (Damaskus: Dār al-Farfūr, 1999).
---------, Manhaj an-Naqd fī ‘Ulūm al-Hadīts, (Damaskus: Dār al-Fikr, 1997)
Al-Jawābī, Muhammad Thāhir, Juhūd al-Muhadditsīn fī Naqd Matn al-Hadīts alNabawî al-Syarīf, (Tunisia: Mu‟assasah „Abd al-Karīm ibn „Abd Allāh,
t.th.)
Al-Khathīb al-Bughdādī, Abū Bakr Ahmad ibn „Alī ibn Tsābit, al-Kifāyah fī ‘Ilm
al-Riwāyah, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1988)
Al-Khathīb, Muhammad „Ajjāj, Ushūl al-Hadīts; ‘Ulūmuh wa Mushthalahuh,
(Beirut: Dār al-Fikr,1989).
Al-Khayr Ābādī, Muhammad Abū al-Layts Syams al-Dīn, Takhrīj al-Hadīts;
Nasy’atuh wa Manhajiyyatuh, (Malaysia: al-Jāmi‟ah al-Islāmiyyah alĀlamiyyah, 1997).
Al-Khumaysī, Abd al-Rahmān ibn Ibrāhīm, Mu’jam ‘Ulūm al-Hadīts al-Nabawī,
(Jeddah: Dār al-Andalus al-Khadhrā‟, 1419 H.)
202 AL-BANJARI
Vol. 13, No. 2, Juli-Desember 2014
M. Amin, Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan IntegratifInterkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).
M. Syuhudi, Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995).
-----------, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992).
-----------, Pemahaman Hadis Nabi Secara Tekstual & Kontekstual; Telaah Ma’ani
Hadis Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal & Lokal, [Pidato
Pengukuhan Guru Besar], (Makasar: IAIN Alaudin Ujung Pandang,
1994).
Muslim, Abū al-Husayn ibn al-Hajjāj al-Qusyayrī al-Naysābūrī, al-Jāmi’ alShahīh, (Beirut: Dār al-Fikr, t.th.)
Al-Qardhawī, Yūsuf, Kayf Nata’āmal ma’ al-Sunnah al-Nabawiyyah; Ma’ālim wa
Dhawabith, (USA: al-Ma‟had al-„Ālamī li al-Fikr al-Islāmī, 1992).
Al-Rāmahurmūzī, Abū Muhammad al-Hasan ibn „Abd al-Rahmān ibn Khallād,
al-Muhaddits al-Fāshil bayn al-Rāwī wa al-Wā’ī, (Beirut: Dār al-Fikr, 1984)
Ritzer, George, Sociology: A Multiple Paradigm Science, (Boston: Allyn and Bacon,
Inc., 1980).
Sābiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, (Semarang: Toha Putra, t.th.), vol. 3, h. 315.
Said Agil, Husein Munawwar, “Metode Pemahaman Hadis; Kemungkinan
Pendekatan Historis dan Antropologis” dalam Yunahar Ilyas dan M.
Mas‟udi (ed.), Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis, (Yogyakarta: LPPI,
1996)..
Saifuddin, Pengembangan Studi Hadis Melalui Pendekatan Interdisipliner, makalah
Workshop Keagamaan Ilmu-Ilmu Keushuluddinan tanggal 22 s.d. 25
Agustus 2005 (Banjarmasin: Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari
Banjarmasin, 2005).
Al-Shalih, Shubhi, ‘Ulūm al-Hadīts wa Mushthalahuh, (Beirut: Dār al-„Ilm li alMalāyīn, 1988).
Al-Suyūthī, Jalāl al-Dīn „Abd al-Rahmān ibn Abū Bakr, Tadrīb al-Rāwī fī Syarh
Taqrīb al-Nawāwī, (Kairo: Dār al-Hadīts, 2002 M.).
Al-Syāfi‟ī, Muhammad ibn Idrīs, al-Risālah, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah,
t.th.)
Syaltūt, Mahmūd, al-Islām; ‘Aqīdah wa Syarī’ah, (Kairo: Dār al-Syurūq, 2001).
Al-Syawkānī, Muhammad ibn „Alī ibn Muhammad, Nayl al-Awthār, (Mesir:
Mushthafā al-Bābī al-Halabī, t.th.).
Al-Thahhān, Mahmūd, al-Manhaj al-Hadīts fī Mushthalah al-Hadīts, (Riyādh:
Maktabah al-Ma‟ārif, 2004).
Dzikri Nirwana
Diskursus Studi Hadis 203
-----------, Taysīr Mushthalah al-Hadīts, (Beirut: Dār al-Qur‟ān al-Karīm, 1979).
-----------, Ushūl al-Takhrīj wa Dirāsah al-Asānīd, (Riyādh: Maktabah al-Ma'ārif,
1996).
Zuhri, Muh., Telaah Matan Hadis; sebuah Tawaran Metodologis, (Yogyakarta:
LESFI, 2003).
Download