BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sindroma

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sindroma kompartemen terjadi bila kompartemen terfiksir yang dibentuk dari elemen
miofasial atau tulang menjadi sesuatu yang dapat meningkatkan tekanan sehingga
menjadikan daerah tersebut iskemi dan terjadi disfungsi organ. Seperti yang terjadi di
ekstremitas, hal ini dapat juga terjadi di abdomen dan juga rongga intracranial.
Bagaimanapun, disfungsi organ yang disebabkan oleh hipertensi intra abdomen berhubungan
dengan sindrom kompartemen abdominal. Disfungsi tersebut dapat berupa insufisiensi
respirasi sekunder yang menekan volume tidal, menurunkan produksi urin karena kegagalan
perfusi ginjal atau disfungsi organ lain yang disebabkan peningkatan tekanan kompartemen
di abdomen.
Sindrom kompartemen abdominal terjadi berdasarkan peningkatan tekanan intra
abdominal, dengan konsekuensi patofisiologi terhadap seluruh organ. Setelah cedera,
sebagian besar kasus perut luka serius dengan perdarahan massif intra abdominal dan
retroperitoneal di rongga perut karena koagulopati, atau pada tamponade perdarahan non
bedah di perut, panggul atau ruang retroperitoneal, atau akumulasi koagulan darah,tetapi
juga dapat dalam kasus edema dan kebocoran dinding usus dari volume resusitasi massif dan
perfusi atau dalam kasus ketegangan penutupan dalam rongga abdomen. Gambaran klinis
ACS menurut Ivatury pada tahun 1997, dengan cirri distensi perut, hipoksia, dan
hipercapnia, dengan oliguria sampai anuria, saat ini disfungsi organ disesuaikan hanya
setelah melakukan dekompresi abdomen.
Sindroma kompartemen abdominal adalah manifestasi akhir dari IAH yang ditandai
dengan disfungsi kardiovaskular, paru, ginjal, splaknik dan intracranial. Sekarang penyebab
terbanyak adalah korban multiple trauma yang memerlukan intervensi bedah abdomen
segera, terutama pembedahan untuk damage control.
Tingkat morbiditas sindrom kompartemen abdominal berdasarkan dari efek terhadap
system seluruh organ. Oleh karena itu, sindrom kompartemen abdominal mempunyai tingkat
mortalitas yang tinggi meskipun dengan penangan yang cukup. Lebih lanjut lagi, sindrom
kompartemen abdominal
sering menjadi skuele cedera yang berat, yang secara tidak
langsung meningkatkan tingkat morbiditas dan mortalitas. Pada tahun 1900, Eddy dan
morris mencatat tingkat mortalitas ACS sebesar 68%.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindroma kompartemen didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi
peningkatan tekanan didalam suatu rongga anatomis tubuh yang mempengaruhi sirkulasi dan
mengancam fungsi dan kelangsungan hidup jaringan di sekitarnya. Sindroma kompartemen
abdominal (ACS) muncul bila disfungsi organ terjadi sebagai hasil dari hipertensi
intraabdominal lebih dari 20mmHg atau tekanan perfusi abdomen kurang dari 60 mmHg
dengan disertai onset satu atau lebih kegagalan system organ. Tekanan intra abdomen normal
antara 0 dan 5 mmHg, tapi pada pasien dewasa yang kritis normal IAP dapat mencapai
antara 5 dan 7 mmHg.
Hipertensi intra abdomen didefinisikan dengan menetap atau berulangnya tekanan
intra abdomen (IAP) lebih dari 12 mmHg atau tekanan perfusi abdomen (APP) kurang dari
60mmHg dimana tekanan perfusi abdomen (APP) = Tekanan arteri ratarata (MAP) – tekanan
intra abdomen (APP). Berbeda dengan dengan hipertensi intra abdomen (IAH), sindrom
kompartemen abdominal tidak diberi tingkatan tetapi lebih didasarkan sebagai fenomena “all
or none”.
2
2.2 Etiologi
Peningkatan
tekanan intra abdomen terjadi pada 4 hingga 15% pasien dengan
penanganan intensive bedah pada berbagai kondisi klinis termasuk pembedahan abdomen
yang lama , akumulasi ascites, trauma tumpul abdomen, rupture aneurisma aorta abdomen,
pancreatitis hemoragik, fraktur pelvis,ileus dan obstruksi usus, pneumoperitoneum dan syok
septic.
Table I. Etiologies of elevated intra-abdominal pressure
Acute:
Retroperitoneal
pancreatitis. pelvic or retroperitoneal bleeding, contained abdominal
Origin
Intraperioneal
aortic aneurysm rupture, aortic surgery, abscess, visceral edema
inraperitoneal bleeding, free abdominal aortic aneurysm rupture, acute
Origin
gastric dilatation, bowel obstruction, ileus, mesenteric venous
obstruction, pneumoperitoneum, abdominal packing, abscess, visceral
edema
Abdominal Wall burn eschar, repair of gastroschisis or omphalocele, reduction of large
hernias, military anti-shock garments, laparotomy closure under extreme
Chronic:
tension
central obesity, ascites, large abdominal tumors, chronic ambulatory
peritoneal dialysis, pregnancy
Reprinted with permission from: Saggi BH, Sugerman HJ, Ivatury RR, Bloomfield GL.
Abdominal compartment syndrome. J Trauma 1998; 45: 597–609
Penyebab peningkatan tekanan intra abdomen dapat dibedakan berdasarkan tipe ACS
yang disusun dalam table 1.
Table 2. Etiologi hipertensi intra abdomen
Waktu dan kategori
Etiologi
3
Primer akut
Intraperitoneal
Perdarahan intraperitoneal
Trauma tumpul hepar
Obstruksi bowel
Ileus
Dilatasi gaster akut
Pneumoperitoneum
Abdominal packing
Abses
Asites
Edema visceral
Mesenteric revascularization
Retroperitoneal
Trasplantasi ginjal
Pancreatitis
Perdarahan pelvis atau retroperitoneal
Rupture aneurisma aorta abdomen
Dinding abdomen
Abses
Hematom rectus sheath
Skar luka bakar
MAST trousers
Repair hernia
Repair gastroschisis atau ompalocele
Sekunder akut
Laparotomy closure under extreme tension
Luka bakar
Kronik
Trauma abdomen non signifikan
Obesitas
Asites
Kehamilan
Tumor abdomen
Dialysis peritoneal
2.3 Insiden dan faktor risiko
Insiden abdominal compartment syndrome belum jelas namun total populasi yang
didiagnosis dengan ACS semakin meningkat. Ini termasuk pasien-pasien dengan luka tusuk
4
dan luka tumpul terbuka, ruptur aneurysma aorta abdomen, perdarahan retroperitoneal,
pneumoperitoneum, neoplasma, pancreatitis, ascites yang masif, dan transplantasi hepar.
Resusitasi cairan yang masif, akumulasi darah dan pembekuan, edema usus, dan
penutupan secara paksa pada dinding abdomen yang tidak komplians adalah faktor-faktor
yang bisa menybabkan ACS. Tambahan pula, jaringan parut luka bakar di sekeliling
abdomen cenderung terjadinya kompresi dinding abdomen menyebabkan peningkatan pada
tekanan intra-abdominal.
Selain itu, faktor yang sering terjadinya ACS adalah pada pasien yangdalam proses
penyembuhan luka jaringan akibat laparotomi, terutama bila ada kasa atau pack yang intraabdominal. Dalam penelitian yang dijalankan telah didapatkansebanyak 14% dari 145 orang
pasien berisiko tinggi terkena ACS. Pasien yangmengalami ACS akibat dari ruptur
aneurysma aorta abdomen dilaporkan sebanyak 4%.
2.4 Klasifikasi
1. Akut primer ACS
Keadaan yang berhubungan dengan cedera atau penyakit di region pelvis-abdomen
yang sering memerlukan penanganan bedah atau intervensi radiologis
2. Sekunder ACS
ACS yang bukan berasal dari region pelvis-abdomen
3. Kronik
Keadaan dimana ACS kembali terjadi akibat tindakan bedah sebelumnya atau terapi
medis pada primer atau ACS sekunder.
2.5 Patofisiologi
Setiap kelainan yang meningkatkan tekanan dalam rongga perut dapat menimbulkan
hipertensi intra-abdomen. Dalam beberapa situasi, seperti pankreatitis akut atau pecahnya
aneurisma aorta abdominal. Obstruksi mekanis usus halus dan pembesaran abdomen bisa
menimbulkan hipertensi intra abdomen. Namun, trauma tumpul abdomen dengan
perdarahan intra-abdomen dari lienalis, hati, dan cedera mesenterika adalah penyebab
paling umum dari hipertensi intra-abdomen.pembedahan perut dengan tujuan untuk
mengendalikan pendarahan juga dapat meningkatkan tekanan dalam ruang peritoneal.
Distensi usus sebagai akibat dari syok hipovolemik dan perpindahan volume yang besar,
merupakan penyebab penting hipertensi intra-abdomen, dan selanjutnya mengakibatkan
ACS pada pasien trauma.
5
Pada kondisi syok, vasokonstriksi dimediasi oleh system syaraf simpatik
mengakibatkan kurangnya suplai darah ke kulit, otot, ginjal, dan saluran pencernaan, hal
ini bertujuan untuk menyuplai jantung dan otak. Redistribusi darah dari usus menghasilkan
hipoksia seluler di jaringan usus. Hipoksia ini berhubungan dengan 3 bagian penting dari
perkembangan kompensasi positif yang mencirikan pathogenesis hipertensi intraabdomendan perkembangannya menjadi ACS :
1.
Pelepasan sitokinin
2.
Pembentukan oksigen radikal bebas
3.
Penurunan produksi adenosine trifosfat pada sel
Sebagai respon terhadap jaringan yang mengalami hipoksia, maka sitokinin
dilepaskan.
Molekul-molekul
ini
meningkatkan
vasodilatasi
dan
meningkatkan
permeabilitas kapiler yang mengarah pada terjadinya edema. Setelah seluler mengalami
reperfusi, oksigen radikal bebas dihasilkan. Agen ini memiliki efek toksik pada membran
sel yang kondisinya diperparah oleh adanya sitokinin, yang merangsang pelepasan radikal
lebih banyak lagi. Selain itu, kurangnya penghantaran oksigen ke jaringan yang mengalami
keterbatasan produksi adenosine triphosphat dan penurunan persediaan dari adenosine
triphosphat ini tergantung pada aktivitas seluler. (Paula Richard, 2009)
Yang terkena dampak adalah pompa natrium-kalium. Efisien fungsi pompa sangat
penting untuk peraturan intraseluler elektrolit. Ketika pompa gagal, terjadi kebocoran
natrium ke dalam sel sehingga menarik air. Sel membengkak, selaput kehilangan integritas,
isi intraseluler keluar ke ekstraseluler dan mengakibatkan inflamasi (peradangan).
Inflamasi dengan cepat berubah menjadi edema, sebagai akibat dari kebocoran kapiler, dan
jaringan di usus semakin membengkak akibat dari semakin meningkatnya tekanan intraabdomen. Pada awal tekanan, perfusi usus terganggu, hipoksia seluler, kematian sel,
peradangan, edema terus berlanjut. (Pleva Mayzlík, J. 2004)
Jadi, pada hipertensi intra-abdomen dapat menyebabkan vasokonstriksi sehingga
terjadi peningkatan tekanan intra-abdomen. Apabila tekanan intra-abdomen terus
meningkat, dapat menyebabkan terjadinya penurunan perfusi jaringan dan akhirnya terjadi
edema yang juga dapat memperparah peningkatan tekanan intra-abdomen. Meningkatnya
tekanan intra-abdomen inilah yang akhirnya menyebabkan kompartement sindrom
abdominal.
6
Patofisiologi ACS
Patofisiologi dampak ACS pada berbagai system organ :
1).Disfungsi ginjal
Disfungsi ginjal merupakan dampak yang paling sering terjadi. Efek klasik IAH/ACS
pada system ginjal yaitu oliguria hingga menjadi anuria dengan IAP yang meningkat. IAP
15–20 mmHg dapat terjadi oliguria, sementara IAP lebih dari 30 mmHg dapat terjadi
anuria. Mekanisme terjadinya disfungsi ginjal terdapat banyak factor. ACS membuat
gangguan pada kardiovaskular dengan menurunkan curah jantung sehingga menurunkan
aliran arteri ginjal, meningkatkan resistensi vascular ginjal, menurunkan filtrasi glomerulus
dan kompresi vena ginjal.4
2). Disfungsi paru
Peningkatan IAP berdampak langsung pada fungsi paru. Komplians paru mengalami
resultan reduksi progresif pada kapasitas total paru, kapasitas residu fungsional dan volume
residu. Ini ditunjukkan secara klinis dengan elevasi hemidiafragma pada radiografi dada.
Perubahan ini ditunjukkan pada IAP diatas 15 mmHg. Terjadi kegagalan respirasi
selanjutnya akibat hipoventilasi dari hasil elevasi progresif IAP. Resistensi vascular paru
meningkat sebagai hasil dari pengurangan tekanan oksigen alveolus dan peningkatan
tekanan intra-torak. Pada akhirnya, disfungsi organ paru ditunjukkan dengan keadaan
hipoksia, hiperkapnia dan peningkatan tekanan ventilasi.9
3). Disfungsi jantung
7
Peningkatan IAP secara konsisten berkorelasi dengan penurunan curah jantung. Ini
ditinjukkan pada IAP diatas 20 mmHg. Penurunan jurah jantung merupakan hasil dari
penurunan alur balik vena jantung dari kompresi langsung pada vena cava dan vena porta.
Peningkatan tekanan intra-thorak juga membuat penurunan aliran vena cava superior dan
inferior. Resistensi maksimal aliran darah vena cava terjadi di hiatus cavum diafragma. Ini
berhubungan dengan gradient tekanan tiba-tiba antara abdomen dan rongga dada.
Peningkatan tekanan intra-thorak menyebabkan kompresi jantung dan pengurangan
volume akhir diastolik. Kenaikan resistensi vascular sistemik berasal dari efek gabungan
vasokonstriksi arteriolar dan IAP yang meningkat. Gangguan ini membuat stroke volume
berkurang dimana hanya satu-satunya yang dikompensasi dengan meningkatkan detak
jantung dan kontraktilitas. Kurva Starling kemudian bergeser ke bawah dan ke kanan dan
curah jantung secara progresif menurun dengan IAP yang meningkat. Kelainan ini terjadi
eksaserbasi bersamaan dengan hipovolemia. Perubahan hemodinamik signifikan
ditunjukkan pada IAP diatas 20 mmHg.
4). Disfungsi hepar
Penurunan aliran darah arteri hepatic, vena porta dan sirkulasi mikro berhubungan
dengan IAH. Ketika babi yang teranestesi IAP-nya meningkat hingga 20 mmHg, kebalikan
dari Q konstan dan tekanan arteri rata-rata, aliran arteri hepatic berkurang hingga 55%,
aliran vena porta menurun hingga 35% dan aliran sirkulasi mikro hepatic berkurang hingga
29% dibandingkan dengan control. Penurunan pada aliran sirkulasi mikro hepatik yang
sama juga terjadi pada pasien dengan kolesistektomi per laparoskopi. Pasien dengan
trauma kemungkinan meningkat resiko sekunder terhadap penurunan aliran darah portal
dan visceral yang terjadi selama syok.
4). Disfungsi Splaknik
Sama seperti dampak yang terjadi pada hati, ginjal dan vena cava inferior, efek
predominan dari peningkatan IAP juga mengurangi perfusi splaknik. Hipoperfusi splaknik
dapat terlihat pada IAP 15 mmHg dengan laporan kasus iskemia intestinal yang
memerlukan intervensi operatif setelah laparoskopik elektif mempertahankan 15 mmHg
8
pneumoperitonium. Bagaimanapun aliran darah arteri mesenterikum, mukosa usus, dan
vena porta telah menurun dengan peningkatan IAP. Ini dapat diukur pada pengaturan klinis
dengan tonometri gaster yang mengindikasikan penurunan perfusi pada perut.
Sebuah studi menunjukkan bahwa penurunan perfusi gaster disimpulkan dengan
penurunan pHi gaster yang berkurang lebih awal dari tanda-tanda ACS (oliguria, tekanan
puncak inspirasi meningkat). Penurunan perfusi gastrointestinal ini terjadi tidak bergantung
pada penurunan Q. IAP yang meningkat juga menunjukkan tekanan vena porta yang
meningkat. Ini kemungkinan salah satu factor kontribusi pada patofisiologi varises
esophagus pada pasien dengan gagal hati. Meningkatnya IAP hingga 10 mmHg
menghasilkan peningkatan tekanan varises, volume, radius dan ketegangan dinding.
Sebagai tambahan, penurunan perfusi splaknik dan cedera reperfusi ditunjukkan dengan
produksi sitokin dari usus. Ini berperan dalam perkembangan komplikasi septic dan atau
sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) dan kegagalan organ multipel.4
5). Disfungsi system saraf pusat
Meskipun ACS tidak menyebabkan kegagalan system saraf pusat, terdapat hubungan
erat antara IAH dan ICP yang meningkat dengan reduksi sekunder pada CPP yang
ditunjukkan pada dua hewan percobaan. Ini akibat mekanisme peningkatan tekanan
intrathora dimana dihasilkan dari IAH, elevasi media pada diafragma. Peningkatan tekanan
intra-thorak meningkatkan tekanan vena jugular dan ICP. Pasien dengan ACS secara klinis
dan ICP yang meningkat telah terkoreksi ICP dengan laparotomi dekompresi. Dengan
demikian pemantauan IAP disarankan pada pasien dengan neurotrauma dan cedera abdomen
atau curiga IAH dengan pemikiran untuk dekompresi pada peningkatan ICP
9
Gambar 2. Dampak IAH/ACS pada berbagai system organ.4
Cardiovascular effects are exacerbated in case of hypovolemia, hemorrhage,
ischemia,
and
ventilation
with
high
positive
end-expiratory
pressure
(PEEP).CAPD, continuous ambulatory peritoneal dialysis; FiO 2, fraction of
inspired oxygen; IL, interleukin; PaO2, arterial partial pressure of oxygen; TNFa, tumor necrosis factor-alpha.
2.6 Manifestasi Klinis
10
Gejala klinis ACS antara lain (Paula Richard MD, 2009) :
1. Distensi abdomen yang berat
2. Gagal napas yang ditandai dengan PCO2 yang meningkat, volume tidal yang
berkurang, tingginya tekanan puncak inspirasi.
3. Curah jantung yang menurun
4. Tekanan darah yang labil
5. PH rendah yang menetap
6. Oliguria yang tidak respon terhadap terapi konvensional
7. Tekanan intra abdomen yang meningkat (> 40 mm Hg)
Gejala klinis yang terjadi pada ACS dikenal dengan 5P (Irga, 2008), yaitu :
1. Pain (nyeri), nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena,
ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting.
Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada
anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari
biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik
dan sering.
2. Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut
3. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi)
4. Parastesia (rasa kesemutan)
5. Paralysis, merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang
berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom.
Sedangkan gejala yang khas pada kompartemen sindrom, yaitu:
1. Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olahraga. Biasanya setelah berlari
atau beraktivitas selama 20 menit.
2. Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat 15-30 menit
3. Terjadi kelemahan atau atrofi otot (Irga, 2008)
2.7 Cara pengukuran tekanan intra-abdominal
11
Pengukuran tekanan intra-abdominal dilakukan dengan pelbagai metode terutama
diluar dari laboratorium. Pengukuran ini dilakukan secara langsung dengan menggunakan
kateter intra-peritoneal yang dilakukan semasa berjalannya laparoskopi. Selain itu,
pengukuran tekanan intra-abdominal juga dilakukan dengancara transduksi dari tekanan vena
femoral, rectal, abdomen, dan keteter buli-buli.Metode-metode ini adalah yang sering
digunakan dalam pengukuran tekanan buli- buli dan tekanan abdomen.
Pada tahun 1984, Kron et al melaporkan bahwa tekanan intra-abdominal bisa diukur
pada posisi di samping tempat tidur dengan menggukan Foley kateter steril saline (50100cm) yang diinjeksi ke dalam Foley kateter yang terkeluar.Kemudiaan, posisikan tube
yang steril di bagian urin beg kateter yang di klam,distal dari bagian tempat aspirasi. Bagian
ujung dari beg drainase disambungkan dengan Foley kateter.
Klem dilepaskan untuk melancarkan aliran dari buli-bulidan dilakukan kembali.
Jarum gauge-16 digunakan untuk menyambungkanmanometer dan transducer dengan tempat
untuk aspirasi. Yang terakhir adalah bagian atas dari tulang simfisis pubis digunakan sebagai
titik kosong dengan posisi pasien supine.
Cara pengukuran di sebelah tempat tidur juga digunakan untuk mengukur tekanan
intra-abdominal dari sisa nasogastic tube yang ada. Metode ini berhasil dan berbeda tekanan
sebanyak 2.5 cmH2O dengan tekanan di kandung kemih. Denganteknik ini terbukti bahwa
cara pengukuran tekanan kandung kemih telah berkembang dalam praktek sehari-hari.
Gambar peralatan untuk mengukur Tekanan intra abdominal
12
Gambar peralatan untuk mengukur Tekanan intra abdominal
2.8 Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium :
a. Comprehensive metabolic panel (CMP)
b. Complete blood cell count (CBC)
c. Amylase and lipase assessment
d. Prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT) bila pasien
diberi heparin
e. Test untuk marker jantung
f. Urinalisis and urine drug screen
g. Pengukuran level serum laktat
h. Arterial blood gas (ABG): cara cepat untuk mengukur deficit pH, laktat dan
basa.
2. Radiografi :
a. Abdomen serial untuk melihat udara bebas atau obstruksi usus.
b. Radiografi polos abdomen sering tidak berguna dalam mengidentifikasi sindrom
kompartemen abdominal.
c. CT scan abdomen dapat memberikan banyak temuan. Pada tahun 1999
13
Pickhardt dkk menemukan gambaran dibawah ini pada pasien dengan sindrom
kompartemen abdominal :
1) Round-belly sign – distensi abdomen dengan rasio diameter abdomen
anteroposterior ke transversal meningkat. (ratio >0.80; P <0.001)
2) Kolaps vena kava
3) Penebalan dinding usus dengan enhancement
4) Hernia inguinal bilateral
5) USG Abdomen
6) Aneurisma aorta, bila besar dapat terdeteksi
7) Gas usus atau kegemukan mempersulit pemeriksaan
2.9 Penatalaksanaan
Tekanan Intra Abdomen dibagi atas:
1. Grade I
: IAP 12 – 15 mmHg
2. Grade II : IAP 16 – 20 mmHg
3. Grade III : IAP 21 – 25 mmHg
4. Grade IV : IAP > 25 mmHg
Studi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa penilaian klinis dan pemeriksaan klinis
adalah tidak akurat dalam memprediksi IAP pasien. Beberapa metode telah dikembangkan
untuk mengukur IAP, yakni dengan cara langsung (misalnya punksi abdomen saat dialisis
peritoneal atau laparoskopi) dan secara tidak langsung (misalnya pengukuran tekanan
intrabuli, tekanan gaster, colon, atau tekanan uterus). Dari beberapa metode ini, teknik
pengukuran tekanan intrabuli telah diterima secara luas di seluruh dunia oleh karena lebih
sederhana dan biaya lebih minimal. Dalam usaha untuk melakukan standardisasi dari
pengukuran IAP, makan hasil pengukuran IAP dinyatakan dalam mmHg dan diukur saat
ekspirasi akhir pada posisi supine setelah menjamin absennya kontraksi otot abdomen.
Nilai normal IAP adalah 5-7 mmHg. (Malbrain, 2006).
Teknik pengukuran intravesika merupakan cara tidak langsung yang cukup tepat
untuk mengukur tekanan intra abdomen. Perubahan tekanan intra peritoneal direfleksikan
pada tekanan intravesika. Validasi metode ini menunjukkan bahwa tekanan intra vesika
identik dengan tekanan intraperitoneal. (Iberti, 1997).
14
Penanganan harus berdasarkan pada pemeriksaan klinis dengan peningkatan IAP.
IAP kritis yang menimbulkan berbagai disfungsi organ bergantung pada keadaan
premorbid pasien. Pasien gemuk setiap saat meningkat IAP tetapi telah terkompensasi
dengan hal tersebut. Grade I IAH secara umum hanya memerlukan resusitasi volume
dengan pemantauan tekanan berkelanjutan. Beberapa pasien tidak membaik keadaannya.
Pasien dengan grade II harus ditangani berdasarkan gejalanya. Bila oliguria ringan dengan
kompresi jantung dan paru minimal, dapat diresusitasi lebih lanjut dan dilanjutkan dengan
memantau tekanan. Bila pasien mengalami cedera intra-kranial atau kompresi berat yang
lebih, operasi dekompresi harus dipikirkan. Grades III dan IV ditangani dengan operasi
dekompresi. Saat ini sebagian besar penulis menyetujui bahwa tekanan kritis untuk ACS
adalah antara 20 hingga 25 mmHg.
a. Sistem grade kompartemen abdominal
Tekanan buli-buliGrade (mmHg) Rekomendasi
I
10–15 Pertahankan normovolemia
II 16–25 Resusitasi Hipervolemik
III 26–35 Dekompresi
IV >35 Dekompresi dan re-eksplorasi
Pilihan terapi medis untuk mengurangi IAP :
1. Memperbaiki komplians dinding abdomen
- Sedasi dan analgesik
- Blokade neuromuskular
- Hindari ketinggian kepala tempat tidur > 30 degrees
2. Evakuasi isi intra-lumen
- Dekompresi nasogaster
- Dekompresi rektum
- Agent gastro-/colo-prokinetik
3. Evakuasi kumpulan cairan abdominal
- Parasentesis
- Drainase perkutan
4. Koreksi keseimbangan cairan positif
- Hindari resusitasi cairan berlebih
- Diuretik
- Koloid / cairan hipertonik
- Hemodialisis / ultrafiltrasi
5. Organ Pendukung
-
Pertahankan APP > 60 mmHg dengan vasopressor
-
Optimalkan ventilasi, alveolar recruitment
-
Gunakan tekanan jalan napas transmural (tm)
-
Pplattm = Pplat – IAP
15
-
Pikirkan untuk menggunakan volumetric preload indices
-
Jika menggunakan PAOP/CVP, gunakan tekanan transmural
-
PAOPtm = PAOP - 0.5 * IAP
-
CVPtm = CVP - 0.5 * IAP
Terdapat manajemen nonoperatif pada IAH/ACS yang terdiri dari lima intervensi
terapi, tiap terapi mengandung beberapa langkah tingkat terapi :
1. Evakuasi isi intralumen
2. Evakuasi space-occupying lesion intra-abdomen
3. Memperbaiki komplians dinding abdomen
4. Optimalkan kebutuhan cairan
5. Optimalkan perfusi jaringan regional dan sistemik
b. Manajemen pembedahan
Laparotomi dekompresi merupakan gold standard dalam penanganan pasien
dengan ACS. Pendekatan dekompresi abdomen sangat beragam. Temporary abdominal
closure (TAC) telah banyak digunakan sebagai mekanisme mengembalikan dampak
akibat peningkatan IAP. Beberapa penulis menganjurkan penggunaan TAC sebagai
profilaksis untuk mengurangi komplikasi post operasi dan mempermudah re-eksplorasi
yang telah direncanakan. Setelah laparotomi dekompresi, dilakukan temporer
abdominal closure yang dilanjutkan dengan permanen abdominal closure pada hari
berikutnya.
16
c. Temporary abdominal closure
Beberapa metode dari temporary abdominal closure dapat digunakan. Keputusan
pertama yang harus dibuat adalah apakah menutup fascia dengan bahan sintetis atau
membiarkannya terbuka. Fascia tidak boleh ditutup primer, ini berkaitan dengan
tingginya tingkat rekuren dari ACS. Jika fascia ditutup dengan bahan sintetis, berbagai
bahan (absorbable/nonabsorbable; porous/nonporous) bisa digunakan. Berbagai tipe
dari mesh dapat digunakan termasuk polyglycolic acid (Vicryl™), polypropylene
(Marlex™), atau polytetrafluoroethylene (PTFE). Bahan yang dapat diserap lebih
dipilih. Penutup dengan alat burr artificial (Velcro-like), kantung cairan intravena
(“Bogotá bag”), kantung kaset x-ray steril, dan kertas Silastic telah digunakan.
17
Gambar kantung cairan intravena (“Bogotá bag”)
Gambar Penutup dengan alat burr artificial (Velcro-like)
Gambar kertas Silastic
Jika fasia dibiarkan terbuka dan abdomen penuh, kulit bisa tertutup atau dibiarkan
terbuka. Kulit bisa ditutup menggunakan jahitan, penjepit kain, perban lateks Esmarch
18
atau mesh. Jika mesh dijahit ke kulit, akan ditutup dengan adesif drape yang steril dan
drape (Vi-drape™ or Steri Drape™). Menjahit bahan sintetis ke kulit bukan ke fasia,
mempersiapkan fasia untuk definitive closure berikutnya. Jika penutupan kulit saja
menyebabkan peningkatan IAP, kulit dibiarkan terbuka. Usus ditutupi dengan
nonadhesive, nonporous materi (seperti tas atau perekat usus terlipat menggantungkan
dirinya sendiri sehingga sisi perekat menempel pada dirinya sendiri).
Gambar adhesive drape
Tepi bahan nonadhesive, nonporous diselipkan di bawah tepi dinding abdomen
anterior untuk mencegah pengeluaran isi dari usus. Selanjutnya, handuk steril
ditempatkan, diikuti oleh tirai perekat (Vidrape ™ atau tirai Steri ™) yang menempel
pada dinding perut dan mencegah lebih lanjut pengeluaran isi, pengeringan dari usus,
dan cairan kerugian dari perut yang terbuka. Aplikasi langsung dari tirai perekat ke usus
meningkatkan risiko enterocutaneous fistula dan tidak disarankan.
Sebuah cairan irigasi urologis tas dijahit ke kulit dan saluran eksternal ditempatkan
untuk mengontrol dan kuantifikasidari kebocoran cairan atau perdarahan.
d. Permanent abdominal closure
Penutupan
perut
permanen
dilakukan
setelah
hipovolemia,
hipotermia,
coagulapathy, dan asidosis telah diperbaiki; yang biasanya tiga sampai empat hari
setelah dekompresi abdomen. Beberapa metode penutupan perut telah dideskripsikan.
Primer penutupan fasia dapat dilakukan atau cangkok kulit dapat ditempatkan diikuti
oleh dinding perut tertunda rekonstruksi. Setelah mobilisasi signifikan cairan,
dimungkinkan untuk menutup fasia tanpa ketegangan yang signifikan. Namun, sebuah
"pemisahan bagian" teknik mungkin diperlukan untuk reapproximate fasia.
19
Jika mesh ditempatkan sebagai perut sementara penutupan (sebaiknya bahan yang
diserap), jala dapat dibiarkan in situ selama dua minggu kemudian ditutup dengan kulit
ketebalan parsial grafts ke jaringan granulasi yang mendasarinya. Jala biasanya akan
dimasukkan ke dalam jaringan granulasi pada titik waktu ini. Jika fasia tidak ditutup
dan pasien yang tersisa dengan cacat dinding perut, dinding perut rekonstruksi dapat
dilakukan enam hingga dua belas bulan kemudian.
Berbagai metode rekonstruksi telah dijelaskan, termasuk medial bilateral
kemajuan abdominus rektus otot dan fasia dengan atau tanpa sayatan kulit-relaksasi.
Expanders jaringan subkutan diikuti oleh flaps kemajuan myocutaneous bilateral juga
telah digunakan. Garis tengah perut flap cacat mungkin memerlukan rekonstruksi atau
rekonstruksi dengan nonabsorbable mesh.
Pasien yang dirawat di ICU sebaiknya diskrining untuk melihat faktor resiko
terjadinya IAH/ACS dan dengan kegagalan organ yang baru atau progresif. Biladua atau
lebih faktor resiko dijumpai, pengukuran IAP harus dilakukan. Dan bila IAH
ditemukan, pengukuran IAP serial harus dilakukan pada pasien tersebut.
Pengukuran IAP terdiri dari berbagai teknik yaitu penempatan metal intraabdomen langsung (sudah lama ditinggalkan), tekanan vena kava inferior (beresiko
thrombosis dan infeksi), tekanan gaster (jarang digunakan tetapi berguna bila terdapat
trauma buli-buli dimana distensi buli merupakan kontraindikasi) dan tekanan buli-buli.
Gold standard pengukuran IAP adalah dengan tekanan buli-buli.
Untuk mengukur tekanan buli-buli, suntikkan 50-100 ml saline steril kedalam
Foley kateter melalui lubang aspirasi; klem silang selang steril dari drainkantong urin
letak distal dari lubang aspirasi; hubungkan ujung selang drainkantong urin ke Foley
kateter; lepaskan klem sesaat agar cairan dari buli keluar dan kemudian klem ulang; Yconnect transduser tekanan ke kantong drain melalui lubang aspirasi menggunakan
jarum G 16; pastikan IAP dari transduser menggunakan puncak dari tulang simfisis
pubis sebagai titik nol dalam posisitelentang. Manometer tangan yang dihubungkan ke
Foley kateter melalui kolom cairan di selang dapat digunakan untuk menentukan
tekanan sebagai ganti transduser.
20
21
22
23
24
2.10 Komplikasi
Jika kompartemen sindrom tidak mendapatkan penanganan dengan segera, akan
menimbulkan berbagai komplikasi antara lain (Irga, 2008) :
25
1. Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen
2.
Kontraktur volkman, merupakan kerusakan otot yang disebabkan oleh
terlambatnya penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul deformitas pada
tangan, jari, dan pergelangan tangan karena adanya trauma pada lengan bawah
3. Trauma vascular
4. Gagal ginjal akut
5. Sepsis
6. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
2.11 Prognosis
Tingkat kematian dengan kasus ACS dilaporkan 10-68% dari pasien yang
mengalaminya. Prosentase klien yang dapat bertahan hidup dengan kasus ACS sekitar
53%. Jika sudah diketahui ada tanda-tanda mengalami ACS, maka penatalaksanaan yang
harus dilakukan adalah dekompresi laparotomi.
BAB III
KESIMPULAN
Sindroma kompartemen didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi
peningkatan tekanan didalam suatu rongga anatomis tubuh yang mempengaruhi sirkulasi
dan mengancam fungsi dan kelangsungan hidup jaringan di sekitarnya. Sindroma
kompartemen abdominal (ACS) muncul bila disfungsi organ terjadi sebagai hasil dari
26
hipertensi intraabdominal lebih dari 20mmHg atau tekanan perfusi abdomen kurang dari
60 mmHg dengan disertai onset satu atau lebih kegagalan system organ. Tekanan intra
abdomen normal antara 0 dan 5 mmHg, tapi pada pasien dewasa yang kritis normal IAP
dapat mencapai antara 5 dan 7 mmHg.
Hipertensi intra-abdomen didefinisikan dengan menetap atau berulangnya tekanan
intra-abdomen (IAP) lebih dari 12 mmHg atau tekanan perfusi abdomen (APP) kurang dari
60 mmHg, dimana tekanan perfusi abdomen (APP) = tekanan arteri rata-rata (MAP) –
tekanan intra-abdomen (IAP).
Gejala klinis ACS antara lain :
- Distensi abdomen yang berat
- Gagal napas yang ditandai dengan PCO2 yang meningkat, volume tidal yang
berkurang, tingginya tekanan puncak inspirasi.
- Curah jantung yang menurun
- Tekanan darah yang labil
- pHi rendah yang menetap
- Oliguria yang tidak respon terhadap terapi konvensional
- Tekanan intra abdomen yang meningkat (> 40 mm Hg)
Penanganan harus berdasarkan pada pemeriksaan klinis dengan peningkatan IAP.
Grade I IAH secara umum hanya memerlukan resusitasi volume dengan pemantauan
tekanan berkelanjutan. Pasien dengan grade II harus ditangani berdasarkan gejalanya.
Grades III dan IV ditangani dengan operasi dekompresi. Sebab laparotomi dekompresi
merupakan gold standard dalam penanganan pasien dengan ACS.
Hasil dari IAH dilihat paling mudah dalam ginjal dan system pernapasan. Namun,
hampir setiap sistem organ dapat terpengaruh. Dalam trauma atau pasien lain beresiko
tinggi untuk mengembangkan ACS berdasarkan temuan perioperatif, pengobatan terbaik
adalah penggunaan TAC untuk mengurangi insiden (meski tidak secara utuh mencegah)
27
pengembangan ACS. Jika ACS terjadi, pengobatan dengan dekompresi akan mampu
memberikan terapi terbaik dengan resolusi kardiovaskular, paru, dan ginjal derangements,
meskipun derajat dapat ditetapkan untukkegagalan organ multiple berikutnya.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Paula, Richard MD. 2009. Abdominal Compartment Syndrome. Available at
www.emedicine.com/ 829008-overview.htm
2. Pleva, J. Šír, M. Mayzlík, J. 2004. Abdominal Compartment Syndrome in
Polytrauma. In: Biomed. Papers 148(1), 81–84 (2004). Available at
http://publib.upol.cz/~obd/fulltext/Biomed/2004/1/81.pdf
3. Stassen, N.A et al. 2002. Abdominal Compartment Syndrome. In: Scandinavian
Journal of Surgery 91: 104–108 (2002)
. Available at http://www. fimnet.fi/sjs/articles/SJS12002-104.pdf
4. Anjaria, J. D. J. Hoyt, D. B. 2007. Abdominal Compartment Syndrome. In: Trauma
Critical Care Volume 2, 34: 619-629. Available at
www.infofarma.com
5. Joseph E. Parrillo, J. E. Dellinger P. R. 2007. Abdominal Compartment Syndrome.
In: Critical care medicine: principles of diagnosis and management in the adult 3 rd
ed. Available at http://s21.ifile.it/29iq1g0/z531/18272807/209177___ccm3.rar
6. De Backer, Daniel. 1999. Abdominal Compartment Syndrome. Available at
www.pubmed.com
7. Angood, Peter D, et al. 2001. Abdominal Compartment Syndrome. In: Sabiston
Textbook of Surgery The Biological Basis of Modern Surgical Practice 16 th ed.
Available at
www.zd.pros.at
8. WSCAS. 2008. Abdominal Compartment Syndrome. Available at
www.wscas.org
9. Bailey, Jeffrey. 2000. Abdominal Compartment Syndrome. In: Critical Care 2000
4:23-29. Available at http://ccforum.com/content/4/1/023
10. Sugrue, M. 2005. Abdominal Compartment Syndrome. In: Current Opinion in
Critical Care 2005, 11:333—338. Available at
http://www.med.nyu.edu/resweb/anes/education/critical%20care/pdf/7.%20Trauma
%20and%20resusc/Abdominal%20Compartment%20Syndrome.pdf
11. Oldner, A. 2008. Abdominal Compartment Syndrome. Available at
http://www.sfai.se/files/ACS_Anders_Oldner.pdf
29
12. Borst,
M
J.
2009.
Abdominal
Compartment
Syndrome.
Available
at
http://www.panamtrauma.org/journal/Abdominal%20compartment
%20syndrome.pdf
30
Download