BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

advertisement
7
BAB II
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Konsep dan Perkembangan Marketing
2.1.1
Konsep Marketing (Pemasaran)
Menurut Kotler (2005, p10) definisi pemasaran dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu definisi pemasaran secara sosial dan secara manajerial. Definisi pemasaran secara
sosial adalah proses sosial yang dengan proses itu individu dan kelompok tersebut
mendapatkan apa yang dibutuhkan dan diinginkan dengan menciptakan, menawarkan
dan secara bebas mempertukarkan produk dan jasa yang bernilai dengan pihak lain.
Definisi pemasaran secara manajerial sering digambarkan sebagai ‘seni menjual produk’,
yang tidak menjadikan kuantitas penjualan sebagai bagian terpenting dari proses
pemasaran dan menganggap bahwa kuantitas penjualan tersebut hanya sebagai hasil
akhir yang akan didapat di masa depan.
Pemasaran adalah proses perencanaan dan pelaksanaan konsepsi, penetapan
harga, promosi dan distribusi ide, barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang
memuaskan tujuan individu dan organisasi. Tujuan organisasi dalam konsep pemasaran
lebih kepada mendapatkan kepuasan konsumen daripada memaksimalisasi keuntungan
perusahaan (Aaker, 2004, p3).
Menurut Komaruddin (2003, p6), marketing adalah suatu sistem keseluruhan
yang meliputi kegiatan-kegiatan bisnis yang saling mempengaruhi yang ditujukan untuk
membuat rencana, menetapkan harga, mempromosikan dan mendistribusikan produk
agar dapat memuaskan kebutuhan untuk mencapai pasar target sehingga dapat meraih
sasaran-sasaran organisasi.
Dalam bukunya, Anoraga (2009, p215) menyebutkan American Marketing
Association
(AMA)
mendefinisikan
marketing
sebagai
proses
perencanaan
dan
pelaksanaan rencana penetapan harga, promosi dan distribusi dari ide-ide, barang-
8
barang dan jasa-jasa untuk menciptakan pertukaran yang memuaskan tujuan-tujuan
individual dan organisasional.
2.1.2
Perkembangan Marketing
Konsep marketing telah berkembang seiring dengan berkembangnya jaman.
Komaruddin (2003, p21-23) menyebutkan terdapat lima buah konsep yang dapat
menjadi pilihan alternatif dalam kegiatan marketing, yaitu:
1. Konsep Produksi
Konsep ini menyatakan bahwa konsumen akan menyukai barang atau jasa yang
tersedia di banyak tempat dan murah harganya. Manajer organisasi yang
berfokus pada produksi akan memfokuskan perhatiannya pada upaya agar dapat
mencapai efisiensi produksi yang tinggi dan distribusi yang luas.
2. Konsep Produk
Konsep produk beranggapan bahwa para konsumen akan menyukai barang atau
jasa yang menawarkan kualitas, performa dan pelengkap inovatif yang terbaik.
Para manajer yang berfokus pada produk akan memusatkan perhatian mereka
pada upaya untuk memproduksi barang atau jasa yang unggul dan secara terusmenerus akan menyempurnakannya. Konsep produk dilandasi oleh asumsi
bahwa konsumen menghargai barang atau jasa yang diproduksi dengan baik.
3. Konsep Penjualan
Konsep penjualan berasumsi bahwa para konsumen pada dasarnya enggan dan
malas untuk membeli barang atau jasa, mereka harus diberikan motivasi yang
kuat ke arah itu. Oleh sebab itulah perusahaan harus berupaya dalam kegiatan
penjualan dan melakukan promosi yang agresif dan gencar.
4. Konsep Pemasaran
Konsep pemasaran merupakan konsep yang berbeda dengan konsep produksi,
produk dan penjualan. Konsep ini berpendapat bahwa kunci untuk meraih
sasaran perusahaan agar menjadi lebih efektif daripada para pesaing adalah jika
perusahaan itu mengintegrasikan kebutuhan dan keinginan pasar yang akan
9
menjadi target marketing. Konsep pemasaran fokus kepada gagasan untuk
memuaskan kebutuhan konsumen melalui produk dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan penciptaan, pengiriman dan pengkonsumsian produk
tersebut.
5. Konsep Pemasaran Berwawasan Masyarakat
Konsep
pemasaran
berwawasan
masyarakat
beranggapan
bahwa
tugas
organisasi adalah menentukan kebutuhan, keinginan dan kepentingan pasarsasaran, dan memberikan kepuasan yang diharapkan dengan cara lebih efektif
dan efisien daripada pesaing dengan mempertahankan dan meningkatkan
kesejahteraan konsumen dan masyarakat. Konsep ini berbeda dengan konsepkonsep
sebelumnya,
karena
mengajak
para
manajer
marketing
untuk
memperhatikan pertimbangan-pertimbangan sosial dan etika dalam praktek
marketing. Para manajer marketing diharapkan mampu menyeimbangkan tiga
buah faktor yang seringkali menimbulkan konflik. Ketiga faktor itu meliputi: laba
perusahaan, pemuasan keinginan para konsumen dan kepentingan publik.
2.1.3
Kegiatan Marketing
Setiap organisasi berupaya untuk memadukan kegiatan-kegiatan marketing
dengan cara sinergis. Kegiatan marketing itu menurut Komaruddin (2003, p24-26)
meliputi :
1. Perencanaan Produk
Perencanaan produk (product planning) meliputi pembuatan keputusan yang
menyinggung produk atau jasa yang akan ditawarkan kepada konsumen.
Keputusan itu diantaranya mencakup pemecahan masalah-masalah seperti
produk atau jasa apakah yang akan dijual, variasi produk, atribut produk, merek
dan kemasan produk yang akan dijual perusahaan.
10
2. Penetapan Harga
Penetapan harga (pricing) meliputi kebijaksanaan manajemen untuk menentukan
jumlah uang yang akan dibebankan kepada para konsumen dan perantara bagi
produk yang dihasilkan.
3. Distribusi Fisik
Fungsi distribusi fisik (physical distribution) yaitu untuk menggerakkan produk
dari produsen kepada konsumen dengan menggunakan sarana transportasi,
pergudangan dan penyimpanan, lokasi dan pemrosesan pesanan untuk
membantu Sistem Informasi Manajemen, seperti penerimaan pesanan masuk,
penerjemahannya ke dalam dokumen-dokumen pesanan dan menghimpunnya
hingga menjadi sebuah daftar yang mudah dibaca.
4. Saluran Distribusi
Saluran distribusi (channels of distribution) perlu ditentukan oleh seorang
manajer marketing. Saluran distribusi ini merupakan jalan yang dipergunakan
agar kepemilikan atas produk beralih dari produsen ke konsumen. Produk seperti
pasokan dan perlengkapan restoran siap saji, ditransfer secara langsung dari
pabrik kepada pengecer atau bahkan ke toko (outlet) sendiri.
5. Periklanan
Periklanan
(advertising)
merupakan
alat
yang
digunakan
untuk
mengkomunikasikan suatu misi kepada konsumen atau masyarakat luas. Sarana
yang digunakan seperti surat kabar, majalah, radio, televisi dan sebagainya.
6. Penjualan Pribadi
Penjualan secara pribadi (personal selling) merupakan alat komunikasi lain
dengan para konsumen yang dilakukan dengan cara berinteraksi secara langsung
antara penjual dan konsumen. Para manajer penjualan merencanakan,
mengarahkan dan mengawasi upaya para penjual individual.
11
7. Promosi Penjualan
Promosi penjualan (sales promotion) mencakup semua metode berkomunikasi
dengan para konsumen kecuali periklanan, penjualan pribadi, publisitas dan
hubungan masyarakat. Beberapa jenis promosi penjualan antara lain meliputi
demonstrasi di dalam toko, pajangan, pameran dan pertunjukan, kontes dan
hadiah.
2.1.4
Marketing Mix Strategy (Strategi Bauran Pemasaran)
Marketing mix meliputi sejumlah kegiatan terkendali yang dapat dimanfaatkan
oleh organisasi agar dapat mempengaruhi tanggapan para konsumen terhadap pangsa
pasar tertentu yang menjadi tujuan organisasi itu (Komaruddin, 2003, p99).
Pengertian marketing mix menurut Nirwana (2006, p50) adalah serangkaian
variabel marketing yang telah dimiliki oleh perusahaan yang dapat dikatakan sebagai alat
pemasaran yang dikendalikan oleh perusahaan (controlable factor) untuk melayani target
market.
Bauran pemasaran atau marketing mix adalah seperangkat alat pemasaran yang
digunakan perusahaan untuk mencapai tujuan pemasarannya dalam pasar sasaran yang
mudah dibidik (Kotler, 2003, p15). Marketing mix menciptakan seperangkat alat untuk
membangun posisi yang kuat dalam pasar sasaran. Marketing mix diklasifikasi oleh
McCarthy (Kotler, 2005, p19) menjadi empat kelompok yang dikenal dengan 4 P, yaitu
product, price, place dan promotion.
Menurut Palmer (2004), dalam jasa, marketing mix ditambahkan 3 elemen yaitu
elemen people, process dan physical evidence, sehingga dapat disebut dengan marketing
mix strategy 7 P.
2.1.4.1 Product (Produk)
Produk adalah semua yang dapat ditawarkan kepada pasar untuk diperhatikan,
dimiliki, digunakan atau dikonsumsi yang dapat memuaskan keinginan atau kebutuhan
pemakainya. Produk tidak hanya terdiri dari barang yang berwujud, tapi definisi produk
12
yang lebih luas meliputi objek fisik, jasa, kegiatan, orang, tempat, organisasi, ide atau
campuran dari hal-hal tersebut (Kotler & Armstrong, 2003, p337).
Menurut Copley (2004) sebagaimana dikutip oleh Tony Kent, Reva Berman
Brown (2006, p199-211), produk atau jasa dipasarkan melalui fitur-fitur, kualitas,
manfaat dan kuantitasnya.
Produk adalah sesuatu yang dapat dijual. Produk lebih dari sekumpulan
sederhana fitur yang nyata, produk adalah sekumpulan manfaat yang dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan konsumen (Jonathan Ivy, 2008, p288-299).
Palmer (2004, p8) mendefinisikan produk sebagai keseluruhan konsep objek atau
proses yang memberikan sejumlah nilai manfaat kepada konsumen. Pembahasan tentang
produk berarti yang menjadi fokus utamanya adalah kualitas. Pemasar harus dapat
mengembangkan value tambahan dari produknya selain dari fitur utamanya agar dapat
dibedakan dari produk pesaing.
2.1.4.1.1 Tingkatan Produk
Dalam merencanakan produk, perlu dipikirkan terlebih dahulu tingkatan dari
produk tersebut. Menurut Kotler & Armstrong (2001, p268), produk dapat dibagi menjadi
tiga tingkatan :
1. Produk Inti (Core Product), adalah tingkat paling dasar yang terdiri dari
manfaat inti untuk pemecahan masalah yang dicari konsumen ketika mereka
membeli produk atau jasa. Langkah pertama pemasar dalam merancang
produk adalah mendefinisikan manfaat inti yang akan disediakan produk ke
konsumen.
2. Produk Aktual (Actual Product), adalah produk yang berada disekitar produk
inti. Produk aktual mungkin mempunyai lima karakteristik, yaitu tingkat
kualitas, fitur, rancangan, nama merek, dan kemasan.
3. Produk Tambahan, yaitu adalah produk yang berada di sekitar produk inti
dan produk aktual dengan menawarkan jasa dan manfaat tambahan bagi
konsumen.
13
Pemasangan
Pengemasan
Pengiriman
dan kredit
Sifat
Nama
merek
Manfaat atau
Jasa inti
Jasa
Purna jual
Rancangan
Tingkat Mutu
Garansi
Gambar 2.1
Tiga Tingkatan Produk
Sumber : Kotler & Armstrong (2001)
Komaruddin (2003, p106-107) menggolongkan produk menjadi beberapa jenis :
1. Convenience Goods
Merupakan produk konsumsi harian yang banyak dibeli konsumen tanpa
banyak upaya untuk membandingkan dengan produk lain yang serupa. Ciri
produk ini adalah harganya yang murah dan habis sekali pakai. Produk ini
sebaiknya tersedia dalam jumlah besar dan terdapat di tempat-tempat yang
mudah dicapai konsumen seperti di toko-toko eceran. Contoh produk ini
yaitu shampoo, sabun dan pensil.
2. Shopping Goods
Merupakan produk yang dibeli konsumen setelah melalui pemikiran atau
pertimbangan yang matang. Produk ini tidak dibeli setiap hari, namun karena
pentingnya, seringkali konsumen sanggup menempuh perjalanan jauh untuk
14
memperolehnya. Konsumen shopping goods pada umumnya tidak memiliki
loyalitas
merek,
karena
tujuan
mereka
berbelanja
adalah
untuk
membanding-bandingkan mutu, model dan harga dari berbagai penawaran,
sehingga mereka dapat memperoleh produk yang sesuai dengan keinginan.
Contoh produk ini yaitu perhiasan atau barang-barang antik.
3. Specialty Goods
Merupakan produk yang memiliki tanda-tanda dan identitas istimewa yang
dibeli oleh kelompok konsumen khusus. Pembelian produk khusus tidak
dilakukan dengan cara membanding-bandingkan dengan produk lainnya,
karena konsumen telah mengetahui produk yang dibutuhkannya. Produk ini
dijual di toko-toko khusus (specialty store). Contoh produk ini yaitu mobil
mewah.
4. Unsought Goods
Merupakan jenis produk yang tidak dicari oleh konsumen, dan seperti halnya
convenience goods, konsumen hanya mempunyai upaya yang sedikit untuk
memperoleh produk ini. Contoh produk ini yaitu keranda, peti mati, batu
nisan dan kain kafan.
2.1.4.1.2 Product Life Cycle (Daur Hidup Produk)
Setiap produk bergerak di pasar melalui suatu daur kehidupan. Tahapan-tahapan
dalam daur kehidupan produk tersebut mempunyai implikasi bagi pembuatan keputusan
marketing. Menurut Komaruddin (2003, p114-117) tahapan daur hidup produk meliputi :
1. Tahapan Pengenalan Produk (Introduction)
Tahapan pengenalan produk merupakan periode pertama bagi perusahaan
untuk menghadirkan produk di pasar. Tahapan ini secara relatif bergerak
dengan lamban dan dengan laba yang kecil, bahkan mungkin merugi. Hal ini
disebabkan oleh kenyataan bahwa umumnya biaya untuk memulainya sangat
besar, sedangkan dengan penjualan yang belum seberapa tidak mampu
menciptakan skala ekonomi yang mencukupi. Pada tahap ini upaya
15
manajemen
untuk
menciptakan
program-program
marketing
yang
memungkinkan produk itu dapat bertahan dan mendapatkan pembeli dan
pertambahan laba sangat dibutuhkan.
2. Tahapan Pertumbuhan Pasar (Growth)
Setelah perusahaan dapat melewati tahap pengenalan produk, tahap
selanjutnya adalah tahap pertumbuhan. Pada tahap ini digambarkan jumlah
penjualan cenderung meningkat dengan cepat. Pada tahapan ini perusahaan
mulai dapat menikmati sejumlah laba.
3. Tahapan Kematangan Pasar (Mature)
Tahapan kematangan memiliki ciri, yaitu produk yang dipasarkan menjadi
terkenal, penjualan terus menerus meningkat, namun perusahaan bergerak
dengan tingkat pertumbuhan yang menurun. Oleh sebab persaingan semakin
keras, maka perusahaan harus memutuskan apakah manajemen akan
menurunkan harga atau menaikkan upaya promosi.
4. Tahapan Pasar Jenuh (Saturated)
Pada tahapan ini tampak bahwa puncak pasar telah tercapai dan gejalagejala penurunan mulai terlihat dengan jelas. Hanya terdapat sedikit
pelanggan baru yang membeli produk. Pengulangan pesanan nyaris tidak
muncul di pasar. Penurunan totalitas penjualan tidak dapat dihindarkan
kecuali produk dapat diperbaiki atau pemanfaatan baru ditemukan atau
dikembangkan.
5. Tahapan Penurunan Pasar (Decline)
Tahapan penurunan pasar merupakan tahapan terakhir dalam daur
kehidupan produk. Selama tahapan akhir ini penjualan akan semakin cepat
merosot. Produk baru menggantikan penjualan produk lama.
2.1.4.2 Price (Harga)
Harga sebagai salah satu elemen penting dari bauran pemasaran memiliki
peranan yang sangat penting untuk menentukan strategi pemasaran. Harga menjadi
16
elemen yang sangat sensitif untuk ditentukan, karena semua perusahaan yang
menghasilkan produk atau jasa harus menetapkan harga terhadap produk dan jasa
mereka.
Menurut Kotler (2002, p195), harga adalah nilai yang dipertukarkan konsumen
untuk suatu manfaat atas pengkonsumsian, penggunaan atau kepemilikan barang dan
jasa.
Harga adalah sejumlah uang yang dibebankan atas suatu produk atau jasa, atau
jumlah dari nilai yang ditukar konsumen atas manfaat-manfaat karena memiliki atau
menggunakan produk atau jasa tersebut (Kotler & Armstrong, 2001, p439).
2.1.4.2.1 Menetapkan Harga
Keputusan penetapan harga sebuah perusahaan dipengaruhi baik oleh faktorfaktor internal perusahaan maupun faktor-faktor eksternal lingkungannya.
Faktor-faktor internal yang mempengaruhi keputusan penetapan harga meliputi:
1. Tujuan Pemasaran Perusahaan
Sebelum
menetapkan
harga,
perusahaan
seharusnya
menentukan
strateginya atas produk tersebut. Pada saat yang sama, perusahaan mungkin
akan mencoba tujuan-tujuan tambahan seperti ’maksimisasi keuntungan masa
sekarang’ atau ’kepemimpinan mutu produk’. Semakin jelas tujuan suatu
perusahaan, semakin mudah perusahaan tersebut menetapkan harganya.
2. Strategi Bauran Pemasaran
Harga adalah salah satu alat bauran pemasaran yang digunakan perusahaan
untuk mencapai tujuan pemasarannya. Biaya menjadi dasar bagi harga yang
dapat ditetapkan perusahaan terhadap produknya. Perusahaan ingin menetapkan
harga yang dapat menutupi semua biaya untuk produksi, distribusi dan penjualan
produk, dan memberikan laba yang wajar bagi usaha dan risikonya. Biaya
perusahaan mungkin merupakan elemen penting dalam strategi penetapan
harga. Banyak perusahaan berusaha untuk menjadi ’produsen berbiaya-rendah’
17
dalam industrinya. Perusahaan dengan biaya rendah dapat menetapkan harga
yang lebih rendah sehingga menghasilkan penjualan dan laba yang lebih besar.
Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi keputusan penetapan harga
meliputi:
1. Pasar dan Permintaan
Adalah bagaimana seorang pemasar menyesuaikan harga pada jenis-jenis
pasar yang berbeda, yaitu pasar persaingan sempurna, persaingan monopolistik,
persaingan oligopolistik dan monopoli murni.
Selain itu, pemasar dapat menetapkan harga yang berorientasi pada
konsumen, yaitu mencakup pemahaman mengenai berapa besar nilai yang
ditempatkan konsumen atas manfaat yang mereka terima dari produk tersebut
dan penetapan harga yang sesuai dengan nilai tersebut.
Disamping hal-hal diatas, pemasar perlu mengetahui mengenai elastisitas harga,
yaitu seberapa responsif permintaan terhadap suatu perubahan harga. Pengukuran
Harga
elastisitas harga dapat dilihat melalui kurva permintaan seperti pada Gambar 2.2.
P2
P’2
P1
P’1
Q2
Q1
Q’2
Q’1
Kuantitas permintaan per periode
Kuantitas permintaan per periode
A. Permintaan inelastis
B. Permintaan elastis
Gambar 2.2
Kurva Permintaan
Sumber : Kotler & Armstrong, 2001
18
2. Biaya, Harga dan Penawaran Pesaing
Seorang
konsumen
yang
cenderung
membeli
sebuah
produk
akan
mengevaluasi harga produk dengan nilai dibandingkan dengan harganya, serta
nilai dari produk pesaing. Selain itu, strategi penetapan harga mungkin
mempengaruhi sifat persaingan yang dihadapi. Jika perusahaan mengikuti
strategi harga tinggi, laba tinggi mungkin akan mengundang persaingan. Namun,
strategi harga rendah, laba rendah mungkin akan menghentikan persaingan atau
membuat pesaing keluar dari pasar.
3. Faktor-faktor Eksternal Lainnya
Faktor eksternal lainnya yang mempengaruhi keputusan penetapan harga
perusahaan adalah keadaan ekonomi. Keadaan ekonomi dapat memiliki dampak
yang besar terhadap strategi penetapan harga perusahaan. Faktor-faktor
ekonomi seperti booming atau resesi, inflasi dan tingkat bunga mempengaruhi
keputusan penetapan harga karena dapat mempengaruhi baik biaya produksi
maupun persepsi konsumen terhadap harga dan nilai produk.
(Kotler & Armstrong, 2001)
Tujuan penetapan harga menurut Kismono (2001, p347), yaitu:
1. Mempertahankan Kelangsungan Hidup Perusahaan
Perusahaan menetapkan harga dengan mempertimbangkan biaya yang telah
dikeluarkan
dan
laba
yang
diinginkan.
Dari
laba
tersebut
perusahaan
mendapatkan dana yang dapat dipergunakan untuk berjalannya perusahaan.
Kelangsungan hidup hanyalah tujuan jangka pendek, dalam jangka panjang
perusahaan harus belajar meningkatkan nilainya.
2. Mengejar Keuntungan
Perusahaan dapat menetapkan harga yang bersaing agar bisa mendapatkan
keuntungan yang optimal bagi produknya. Banyak perusahaan memperkirakan
19
permintaan dan biaya yang berkaitan dengan berbagai alternatif harga dan
memilih harga yang dihasilkan laba sekarang.
3. Merebut Pangsa Pasar
Perusahaan dapat menetapkan harga yang rendah sehingga dapat menarik
lebih banyak konsumen dan dapat merebut pangsa pasar pesaing.
4. Mendapatkan Return On Investment (ROI)
Agar perusahaan dapat cepat menutup biaya investasi, harga dapat
ditetapkan tinggi.
5. Mendapatkan Penjualan Maksimum
Beberapa perusahaan ingin memaksimalkan unit penjualan. Mereka percaya
bahwa volume penjualan yang lebih tinggi akan menghasilkan biaya per unit
yang lebih rendah dan laba jangka panjang yang lebih tinggi.
2.1.4.3 Place (Tempat atau Distribusi)
Menurut Komaruddin (2003, p172) saluran distribusi adalah suatu gabungan
lembaga sebagai tempat yang dilalui oleh penjual dalam proses pemilikan ketika penjual
itu menjajakan produk-produknya hingga tiba di tangan pemakai atau konsumen akhir.
Menurut Copley (2004) sebagaimana dikutip oleh Tony Kent, Reva Berman
Brown (2006, pp. 199-211), tempat atau lokasi adalah dimana produk atau jasa tersedia
untuk konsumen, termasuk saluran distribusi.
Menurut Palmer (2004, p9), place dalam jasa merupakan gabungan antara lokasi
dan keputusan atas saluran distribusi, dalam hal ini berhubungan dengan bagaimana
cara penyampaian jasa kepada konsumen dan dimana lokasi yang strategis.
Penempatan produk dalam organisasi dalam ritel atau grosir harus sesuai dengan
yang diharapkan oleh konsumen yang menjadi target perusahaan. Perusahaan juga
harus memastikan bahwa saluran distribusi dan perantara mampu mewakili dan menjual
produk secara efektif dan efisien (Wickham & O'Donohue, 2009, p77).
20
Menurut Lisdayanti, Annisa (2008) pengukuran terhadap variabel place atau
tempat adalah :
1. Ketepatan Lokasi
Pemilihan lokasi yang strategis sangat penting, karena bisnis lebih
banyak membutuhkan perhatian banyak konsumen sebelum mereka
memutuskan
untuk
membeli.
Lokasi
bisnis
yang
dekat
dengan
keramaian, seperti perkantoran, mal, pasar dan sekolah, akan memiliki
peluang pemasaran yang lebih potensial.
2. Kemudahan Mencapai Lokasi
Keberadaan lokasi yang strategis dimana konsumen dapat mencapainya
dengan mudah.
3. Ketersediaan Sarana Transportasi Umum
Kemudahan aksesibilitas dan ketersediaan jaringan transportasi umum
yang dapat digunakan konsumen untuk mencapai lokasi.
2.1.4.3.1 Jenis-Jenis Saluran Pemasaran
Jenis saluran pemasaran menurut Kotler (2000, p563) berdasarkan karakteristik
produk terbagi 5, yaitu :
1. Saluran pemasaran langsung, digunakan jika karakteristik produk mudah
rusak.
2. Saluran pemasaran yang meminimumkan jarak pengiriman dan jumlah
penanganan dalam perpindahan produk dari produsen ke kosumen,
digunakan jika produk berukuran besar.
3. Saluran pemasaran yang dijual langsung oleh wiraniaga perusahaan,
digunakan untuk produk yang diproduksi khusus sesuai pesanan.
4. Saluran pemasaran jasa pemasangan dan pemeliharaan, digunakan
untuk produk yang membutuhkan jasa pemasangan dan pemeliharaan,
biasanya dipelihara dan dijual oleh perusahaan atau penyalur resmi yang
eksekutif.
21
5. Saluran pemasaran langsung melalui wiraniaga perusahaan dan tidak
melalui perantara, digunakan untuk produk dengan harga yang mahal.
2.1.4.4 Promotion (Promosi)
Menurut
Kotler
&
Armstrong
(2001),
promosi
merupakan
aktivitas
mengkomunikasikan keunggulan produk serta membujuk konsumen sasaran untuk
membelinya.
Menurut Copley (2004) sebagaimana dikutip oleh Tony Kent, Reva Berman
Brown (2006, p199-211), komunikasi kepada pasar dapat dicapai dengan melakukan
personal
selling
(penjualan
pribadi),
advertising
(periklanan),
direct
marketing
(pemasaran langsung), public relations (hubungan masyarakat), sales promotion
(promosi penjualan) dan sponsorship (sponsor).
Promosi adalah upaya marketing yang berfungsi untuk memberikan informasi
atau meyakinkan para konsumen aktual atau potensial mengenai kegunaan suatu produk
atau jasa tertentu dengan tujuan untuk mendorong konsumen baik melanjutkan atau
memulai pembelian produk atau jasa perusahaan pada harga tertentu (Komaruddin,
2003, p188).
2.1.4.4.1 Penggolongan Metode Promosi
1. Iklan (Advertising)
Periklanan merupakan salah satu alat marketing yang bertugas untuk
memberikan informasi kepada kelompok orang dan meninggikan nilai produk
atau jasa yang diiklankan.
Fungsi iklan adalah untuk memberikan informasi dan meninggikan nilai
komoditi yang diiklankannya. Berdasarkan fungsinya tersebut, iklan dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu:
•
Iklan Informatif, yaitu iklan yang digunakan untuk memperkenalkan
produk, jasa atau ide, mengumumkan peristiwa atau penjualan, atau
mengingatkan kepada konsumen mengenai produk, jasa atau ide yang
telah ada.
22
•
Iklan Persuasif, yaitu iklan yang digunakan untuk meyakinkan konsumen
sehingga mereka lebih menyukai produk, jasa atau ide yang diiklankan
dibandngkan dengan pilihan lainnya.
2. Penjualan Pribadi (Personal Selling)
Penjualan pribadi dinyatakan sebagai proses penyajian komersial secara lisan
selama pembeli atau penjual dalam situasi wawancara. Dalam bahasa
percakapan sehari-hari penjualan pribadi merupakan kegiatan yang mengacu
pada penjualan face-to-face.
3. Promosi Penjualan (Sales Promotion)
Promosi penjualan terdiri dari insentif jangka pendek untuk mendorong
pembelanjaan atau penjualan produk atau jasa. Promosi penjualan
menekankan alasan mengapa konsumen harus membeli produk saat itu juga.
Sebelum perusahaan melakukan promosi penjualan, perusahaan terlebih
dahulu harus menetapkan tujuan promosi penjualan tersebut. Perusahaan
dapat menggunakan promosi konsumen untuk meningkatkan penjualan
jangka-pendek atau untuk membangun pangsa pasar jangka-panjang.
Tujuannya adalah untuk menarik konsumen agar mau mencoba produk baru,
memancing konsumen agar meninggalkan produk pesaing, untuk membuat
konsumen meninggalkan produk yang sudah matang, atau menahan dan
memberi penghargaan pada konsumen yang loyal (Kotler dan Armstrong,
2001).
4. Publisitas (Publicity)
Publisitas merupakan setiap kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan
atau merebut perhatian umum terhadap suatu produk atau jasa, orang, ide
atau hal lainnya. Publisitas merupakan suatu tindakan yang memperoleh
perhatian umum.
23
5. Hubungan Masyarakat (Public Relations)
Hubungan masyarakat didefinisikan sebagai fungsi manajemen yang
mengevaluasi sikap publik, mengidentifikasi kebijakan dan prosedur dari
individu
atau
organisasi
dengan
minat
publik,
dan
rencana
dan
melaknasakan suatu program tindakan untuk mendapatkan pengertian dan
penerimaan publik tersebut.
(Komaruddin, 2003, p192-200)
2.1.4.5 People (Manusia)
Mark Wickham & Wayne O'Donohue (2009, p77) mengartikan people sebagai
penyediaan yang menghubungkan manusia, jika diperlukan, antara target konsumen
dengan produk yang ditawarkan oleh sebuah perusahaan.
Rambat Lupiyoadi dan Ahmad Hamdani (2006, p81), ‘orang’ berfungsi sebagai
penyedia jasa yang sangat mempengaruhi kualitas jasa yang diberikan. Untuk mencapai
kualitas yang baik diperlukan pelatihan staf sehingga karyawan mampu memberikan
kepuasan kepada konsumen.
Definisi manusia dalam pemasaran menurut Yazid (2001, p9) adalah pelaku yang
menyajikan jasa yang dapat mempengaruhi persepsi konsumen.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa manusia adalah orangorang didalam perusahaan yang memiliki tugas penting dalam penyajian jasa dan
berinteraksi langsung terhadap konsumen.
Keberadaan variabel people atau petugas penyedia jasa terkait dengan
keberadaan jasa, karena orang atau petugas terkait sebagai pemberi jasa. Artinya, jasa
merupakan produk yang dihasilkan oleh pegawai atau orang yang memberikan jasa.
Beberapa unsur yang harus dilibatkan dalam meningkatkan peran pegawai atau
partisipan, yaitu:
1. Pegawai
Pegawai atau orang yang terlibat dalam pemberian jasa merupakan faktor intern
yang memiliki peran cukup besar dalam mewujudkan jasa yang dikehendaki oleh
24
konsumen. Maka untuk dapat lebih meningkatkan peran serta pegawai, dapat
dilakukan beberapa cara antara lain melalui proses rekrutmen yang tepat,
menempatkan pegawai sesuai dengan bidang yang dikuasainya, melaksanakan
training atau pelatihan, pemberian motivasi, reward atau penghargaan lainnya jika
berprestasi.
2. Konsumen
Konsumen atau customer merupakan para pengguna jasa. Tetapi meski demikian
peran serta konsumen dalam mewujudkan jasa juga cukup besar. Maka pihak
manajemen tentu akan memberikan kesempatan pada para konsumen berkaitan
dengan proses pewujudan jasa. Peran serta dimaksud dapat dalam bentuk
keterlibatan konsumen pada kegiatan pelatihan, pengenalan pada perusahaan,
melibatkan konsumen dalam kegiatan komunikasi terutama berkaitan dengan
keluhan konsumen.
3. Komunikasi
Komunikasi dapat merupakan sarana yang paling tepat dalam menjalin hubungan,
baik intern maupun ekstern manajemen. Antara penyedia jasa dan pegawai, antara
pegawai dan konsumen, bahkan antara penyedia jasa dan konsumen, diharapkan
terjalin komunikasi yang baik.
(Nirwana, 2006, p54-55)
2.1.4.5.1 Pengukuran People
Pengukur variabel people atau manusia adalah :
1. Kemampuan SDM
Dalam meningkatkan kemampuan SDM diperlukan peran pemimpin perusahaan.
Hal yang perlu dilakukan pengusaha untuk meningkatkan kemampuan SDMnya
dengan
secara
intensif
melakukan
pelatihan
yang
mengembangkan kemampuan dan keterampilan karyawan.
dirancang
untuk
25
2. Kehadiran SDM
Perusahaan perlu menerapkan manajemen absensi dalam sistem SDM, karena
salah satu cara untuk mengukur produktivitas karyawan adalah dengan melihat
tingkat kehadiran karyawan dengan jadwal kerja yang sudah ditentukan.
3. Keterampilan Administrasi
Keterampilan administrasi dapat diartikan sebagai keterampilan yang berkaitan
dengan
perencanaan
pengoranisasian
penyusunan,
kepegawaian
dan
pengawasan secara menyeluruh.
(Lisdayanti, Annisa, 2008)
2.1.4.6 Process
Variabel proses merupakan kegiatan atau aktivitas yang dilakukan berkaitan
dengan perwujudan jasa. Semua kegiatan yang berkaitan dengan jasa tidak dapat
dipisahkan dengan adanya proses. Proses merupakan variabel yang penting dalam
perusahaan, karena berkaitan erat aktivitas penyampaian jasa dan pemenuhan janji yang
telah diberikan oleh perusahaan (Nirwana, 2006, p52-53).
Dalam bukunya Nirwana menyebutkan, menurut Lovelock, aktivitas proses dapat
melibatkan unsur prosedur, tugas, rencana kerja, mekanisme dan juga aktivitas.
Menurut Rambat Lupiyoadi dan Ahmad Hamdani (2006, p81), proses dalam
pemasaran jasa terkait dengan kualitas jasa yang diberikan, terutama dalam hal sistem
penyampaian jasa. Kemampuan membangun proses yang menghasilkan pengurangan
biaya, peningkatan produktivitas dan kemudahan distribusi.
Proses adalah penyediaan sistem yang terstruktur dan sekumpulan proses yang
mengatur agar perusahaan dan target konsumennya dapat berinteraksi dan menjalankan
perannya dengan efektif dalam transaksi pasar (Mark Wickham & Wayne O'Donohue,
2009, p77).
26
Proses dapat dibedakan dalam dua cara, yaitu :
1.
Kompleksitas, berhubungan dengan langkah-langkah dan tahapan proses.
2.
Keragaman, berhubungan dengan adanya perubahan dalam langkahlangkah atau tahapan proses. Yang termasuk ke dalam proses, antara lain
Standar Operasi Prosedur (SOP) yang rinci, deskripsi pekerjaan, prosedur
pelatihan, standar kinerja untuk fasilitas, proses, peralatan dan pekerjaan
yang menciptakan pelayanan kepada konsumen (Isnaini, 2006).
2.1.4.7 Physical Evidence (Sarana Fisik)
Menurut Mark Wickham & Wayne O'Donohue (2009, p77) tidak ada atribut fisik
untuk layanan. Perusahaan cenderung mengandalkan pada isyarat seperti penyediaan
bahan kemasan, situs web, dokumen, brosur, perabotan, signage, seragam, kartu nama,
garansi dan lainnya untuk menunjukkan sifat produk.
Menurut Palmer (2004, p10), physical evidence merupakan lingkungan fisik
tempat produk atau jasa diciptakan dan langsung berinteraksi dengan konsumen.
Physical evidence terbagi menjadi dua :
•
Essential Evidence : Merupakan keputusan-keputusan yang dibuat oleh pemberi
produk atau jasa mengenai desain dan layout gedung, ruang dan lain-lain.
•
Peripheral Evidence : Merupakan nilai tambah yang bila berdiri sendiri tidak akan
berarti apa-apa. Nilai tambah ini hanya berfungsi sebagai pelengkap saja,
meskipun demikian, perannya sangat penting dalam produksi jasa.
2.1.5
Service Marketing (Pemasaran Jasa)
Menurut Arief (2007, p114), pemasaran jasa tidak sama dengan pemasaran
produk. Pertama, pemasaran jasa lebih bersifat intangible dan immaterial karena
produknya tidak kasat mata dan tidak dapat diraba. Kedua, produksi jasa dilakukan saat
konsumen berhadapan dengan petugas, sehingga pengawasan kualitas dapat segera
dilakukan. Hal ini lebih sulit dilakukan daripada pengawasan produk fisik. Ketiga, interaksi
antara konsumen dan petugas penting untuk dapat mewujudkan produk yang dibentuk.
27
Philip Kotler (2000) di dalam buku Arief (2007, p111) mengatakan bahwa
kesuksesan suatu industri jasa tergantung kepada sejauh mana perusahaan mampu
mengelola ketiga macam aspek secara sukses, ketiga aspek itu adalah :
1. Janji perusahaan mengenai jasa yang akan disampaikan kepada
konsumen.
2. Kemampuan perusahaan untuk membuat karyawan mampu memenuhi
janji tersebut.
3. Kemampuan karyawan untuk menyampaikan janji tersebut kepada
konsumen.
Dalam buku Fandy Tjiptono (2008, p143-144), Gronroos menjelaskan bahwa
pemasaran jasa tidak hanya membutuhkan pemasaran eksternal, tetapi juga pemasaran
internal dan pemasaran interaktif. Pemasaran eksternal menggambarkan aktivitas normal
yang dilakukan oleh perusahaan dalam mempersiapkan jasa, menetapkan harga,
melakukan distribusi dan mempromosikan jasa. Apabila dilakukan dengan baik, maka
konsumen akan terikat dengan perusahaan, sehingga laba jangka panjang bisa terjamin.
Pemasaran internal menggambarkan tugas yang diemban perusahaan dalam
rangka melatih dan memotivasi para karyawan (sebagai aset utama perusahaan dan
ujung tombak pelayanan) agar dapat melayani para konsumen dengan baik. Yang tidak
kalah penting adalah memberikan penghargaan dan pengakuan yang pantas bagi
karyawan yang memiliki kinerja yang baik. Hal ini penting karena dapat membangkitkan
motivasi, moral kerja, rasa bangga, loyalitas dan rasa memiliki karyawan di dalam
organisasi, yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi besar bagi perusahaan.
Pemasaran interaktif menggambarkan interaksi antara konsumen dan karyawan.
Perusahaan tentu mengharapkan memiliki karyawan yang loyal dan bermotivasi tinggi
sehingga dapat memberikan total quality service kepada setiap konsumen. Apabila hal ini
terealisasi,
maka
konsumen
yang
merasa
puas
akan
menjalin
berkesinambungan dengan karyawan dan perusahaan bersangkutan.
hubungan
28
Perusahaan
Pemasaran Eksternal
Pemasaran Internal
Karyawan
Pelanggan
Pemasaran Interaktif
Gambar 2.3
Tiga Jenis Pemasaran dalam Dunia Jasa
Sumber : Tjiptono (2008)
2.1.5.1 Strategi Service Marketing
Secara garis besar, strategi service marketing yang pokok berkaitan dengan tiga
hal berikut ini :
1. Melakukan Diferensiasi Kompetitif
Perusahaan jasa dapat mendiferensiasikan dirinya melalui citra di mata konsumen,
misalnya melalui simbol-simbol dan merek yang digunakan. Selain itu perusahaan
dapat melakukan diferensiasi kompetitif dalam penyampaian jasa melalui 3 aspek
yang juga dikenal sebagai 3 P dalam pemasaran jasa, yaitu melalui :
•
People (Manusia)
Perusahaan jasa dapat membedakan dirinya dengan cara merekrut dan melatih
karyawan yang lebih mampu dan lebih dapat diandalkan dalam berhubungan
dengan konsumen, daripada karyawan pesaingnya.
•
Physical Evidence (Sarana Fisik)
Perusahaan jasa dapat mengembangkan sarana fisik yang lebih atraktif.
•
Process (Proses)
Perusahaan jasa dapat merancang proses penyampaian jasa yang superior.
29
2. Mengelola Kualitas Jasa
Cara lain untuk melakukan diferensiasi adalah secara konsisten memberikan kualitas
yang lebih baik daripada pesaing. Hal ini dapat tercapai dengan memenuhi atau
bahkan melampaui kualitas jasa yang diharapkan oleh pelanggan. Kualitas jasa
sendiri dipengaruhi oleh dua variabel, yaitu jasa yang dirasakan (perceived service)
dan jasa yang diharapkan (expected service). Bila jasa yang dirasakan lebih kecil
daripada yang diharapkan, maka konsumen menjadi tidak tertarik lagi pada penyedia
jasa yang bersangkutan. Sedangkan bila yang terjadi adalah sebaliknya (perceived
lebih besar daripada expected), maka terdapat kemungkinan konsumen akan
menggunakan penyedia jasa itu lagi.
3. Mengelola Produktivitas
Ada beberapa pendekatan yang dapat diterapkan untuk meningkatkan produktivitas
jasa, antara lain:
•
Penyedia jasa bekerja lebih keras atau dengan lebih cekatan daripada biasanya
•
Merancang jasa yang efektif
•
Melakukan standarisasi produksi (sales target)
(Tjiptono, 2008)
2.1.6
Service (Pelayanan)
Pelayanan konsumen adalah elemen lain dari strategi produk. Perusahaan harus
merancang produk dan jasa pendukungnya untuk memenuhi kebutuhan konsumen
secara menguntungkan karena barang yang ditawarkan perusahaan ke pasar seringkali
mungkin terdiri dari barang berwujud yang menyertakan jasa atau pelayanan (Kotler &
Armstrong, 2001, p347).
Menurut Gerson (2004, p4), mutu dan pelayanan adalah sarana untuk mencapai
kepuasan. Tujuan secara keseluruhan bisnis bukan untuk menghasilkan produk atau jasa
yang bermutu, atau memberikan pelayanan yang prima. Tapi tujuan utamanya adalah
menghasilkan konsumen yang setia.
30
Nirwana (2006, p15) mengartikan pelayanan atau jasa sebagai suatu aktivitas
atau kinerja yang bersifat tidak nyata yang ditawarkan untuk memenuhi harapan
konsumen. Jasa adalah suatu produk yang sifatnya tidak dapat dipegang secara fisik.
Keberadaan jasa lebih merupakan bentuk manfaat yang dapat dirasakan oleh orang yang
menggunakan jasa tersebut.
2.1.6.1
Kesenjangan dalam Pelayanan
Sebelum konsumen membeli suatu jasa, mereka memiliki harapan mengenai
kualitas pelayanan yang didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan pribadi, pengalaman
sebelumnya, rekomendasi dari mulut ke mulut dan iklan. Setelah membeli dan
menggunakan jasa tersebut, konsumen membandingkan kualitas yang diharapkan
dengan apa yang benar-benar mereka terima. Kinerja yang mengejutkan dan
menyenangkan konsumen yang melebihi apa yang mereka inginkan, akan dipandang
memiliki kualitas yang lebih tinggi. Namun apabila kualitas berada dibawah tingkat yang
diharapkan konsumen, perbedaan atau kesenjangan kualitas akan muncul, yaitu
perbedaan antara kinerja pelayanan dan harapan-harapan konsumen. Kesenjangan
pelayanan adalah hal yang penting, karena hal itulah yang merupakan penilaian
konsumen secara keseluruhan terhadap apa yang diharapkan dibandingkan dengan apa
yang
diterima.
Tujuan
utama
dalam
meningkatkan
kualitas
pelayanan
adalah
memperkecil kesenjangan ini sedapat mungkin. Berikut adalah jenis-jenis kesenjangan
yang dapat timbul dalam kualitas pelayanan:
1. Kesenjangan Pengetahuan
Perbedaan antara apa yang diyakini perusahaan akan diharapkan konsumen dan
kebutuhan dan harapan konsumen yang sesungguhnya.
2. Kesenjangan Standar
Perbedaan antara persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dan standar
kualitas yang ditetapkan untuk penyerahan pelayanan.
31
3. Kesenjangan Penyerahan
Perbedaan antara standar penyerahan yang ditentukan dan kinerja perusahaan
yang sesungguhnya.
4. Kesenjangan Komunikasi Internal
Perbedaan antara apa yang dianggap oleh iklan dan tenaga penjual perusahaan
tersebut sebagai fitur produk, kinerja dan tingkat kualitas pelayanan dan apa
yang benar-benar dapat diserahkan oleh perusahaan.
5. Kesenjangan Persepsi
Perbedaan persepsi antara apa yang benar-benar diserahkan dan apa yang
dianggap konsumen telah mereka terima (karena mereka tidak dapat menilai
kualitas pelayanan secara akurat).
6. Kesenjangan Intepretasi
Perbedaan antara apa yang sesungguhnya dijanjikan perusahaan dalam upayaupaya komunikasinya dan apa yang konsumen pikir telah dijanjikan dalam
komunikasi tersebut.
7. Kesenjangan Jasa
Perbedaan antara apa yang diharapkan konsumen akan mereka terima dan
persepsi mereka terhadap pelayanan yang benar-benar diserahkan.
(Lovelock & Wright, 2005, p96-98)
2.1.6.2 Karakteristik Service
Menurut
Kotler
&
Armstrong
(2001,
p376),
perusahaan
harus
mempertimbangkan empat karakteristik jasa tertentu ketika merancang program
pemasaran, antara lain :
1. Jasa Tidak Berwujud (Intangibility)
Jasa tidak bisa dilihat, dicicipi, dirasakan, didengar atau dibaui sebelum
dibeli. Untuk mengurangi ketidakpastian konsumen mencari ’tanda’ dari
kualitas jasa pelayanan. Mereka mengambil kesimpulan mengenai kualitas
dari tempat, orang, harga, peralatan dan konsumsi yang dapat mereka lihat.
32
Oleh karena itu, tugas penyedia jasa adalah membuat jasa dapat berwujud
dalam satu atau beberapa cara.
2. Ketidakterpisahan Jasa (Inseparability)
Jasa tidak dapat dipisahkan dari penyedianya, apakah penyedia tadi adalah
orang atau mesin. Bila karyawan jasa menyediakan jasa, maka karyawan itu
merupakan bagian dari jasa. Karena konsumen turut hadir saat jasa itu
diproduksi sebagai coproducer, interaksi penyedia jasa maupun konsumen
akan mempengaruhi hasil jasa.
3. Keragaman Jasa (Service Variability)
Kualitas jasa bergantung pada siapa yang menyediakan jasa, waktu, tempat
dan bagaimana cara mereka disediakan. Ada tiga faktor yang menyebabkan
variabilitas kualitas jasa, yaitu kerjasama atau partisipasi konsumen selama
penyampaian jasa, moral atau motivasi karyawan dalam melayani konsumen
dan beban kerja perusahaan.
4. Tidak Tahan Lamanya Jasa (Perishability)
Jasa tidak dapat disimpan untuk penjualan atau pemakaian yang akan
datang. Tidak tahan lamanya jasa bukanlah masalah apabila permintaan
selalu ada. Tapi ketika permintaan berfluktuasi, perusahaan jasa sering kali
mengalami masalah sulit. Oleh karena itu, perusahaan jasa sering kali
merancang strategi agar lebih baik lagi dalam menyesuaikan permintaan
dengan penawaran.
2.1.7
Service Quality (Kualitas Pelayanan)
Menurut Kotler (2002, p67), mutu atau kualitas adalah keseluruhan ciri serta sifat
dari suatu produk yang berpengaruh pada kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan
yang dinyatakan atau tersirat.
Usmara (2008, p140) menyatakan bahwa kualitas pelayanan digambarkan
sebagai suatu sikap dari hasil perbandingan pengharapan kualitas jasa konsumen dengan
33
kinerja perusahaan yang dirasakan konsumen. Sikap mempengaruhi keputusan untuk
membeli karena adanya pengharapan atau ekspektasi konsumen. Selanjutnya konsumen
membentuk suatu perilaku tentang pemberi jasa berdasarkan pengharapan mereka
sebelumnya mengenai informasi perusahaan dan perilaku ini mempengaruhi keinginan
mereka untuk membeli.
Kontak utama antara restoran dan konsumen diciptakan oleh staf pelayanan dan
untuk itulah, kinerja mereka akan berdampak pada kesenangan para tamu (Edwards and
Gustafsson, 2008).
Menurut Wyckof dalam Tjiptono (2005, p260), kualitas pelayanan adalah tingkat
keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk
memenuhi keinginan konsumen. Dengan kata lain, terdapat dua faktor utama yang
mempengaruhi kualitas pelayanan, yaitu expected service dan perceived service. Jika
pelayanan yang diterima dan dirasakan (perceived) sesuai dengan yang diharapkan
(expected), maka kualitas pelayanan dipersepsikan baik. Jika pelayanan yang diterima
melampaui harapan konsumen, maka kualitas pelayanan dipersepsikan sebagai kualitas
ideal dan begitu juga sebaliknya, jika pelayanan yang diterima lebih rendah dari yang
diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan buruk. Dengan demikian baik atau
tidaknya kualitas pelayanan tergantung pada penyedia pelayanan dalam memenuhi
harapan konsumen.
Service quality berhubungan dengan seberapa baik pelayanan inti dilakukan oleh
satu pasangan dalam suatu hubungan yang ditampilkan dan dibandingkan dengan
harapan, yaitu seberapa baik layanan seharusnya diberikan (Jane Roberts and Bill
Merrilees, 2007, p410–417).
Gronroos dalam Chiu et al. (2010, p112) mengindikasikan bahwa kualitas
pelayanan yang dirasakan berbeda antara ‘kualitas yang diharapkan’ dan ‘kualitas yang
telah dialami’. Secara khusus, kualitas pelayanan yang diharapkan mengacu pada
harapan konsumen, sedangkan kualitas yang telah dialami merujuk kepada hasil dari
serangkaian keputusan dan kegiatan internal, dengan kata lain, pandangan dan penilaian
34
konsumen memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kualitas pelayanan yang mereka
rasakan.
2.1.7.1
Model Pengukuran Kualitas Pelayanan
Menurut Arief Muhtosim (2005, p129) langkah pertama yang dilakukan dalam
mengukur kualitas adalah menentukan apa yang akan diukur. Model pengukuran
terhadap kualitas yang paling banyak digunakan adalah lima dimensi pengukuran dari
kualitas jasa, yaitu tangible (bukti fisik), reliability (keandalan), responsive (daya
tanggap), assurance (jaminan) dan emphaty (empati):
Tangible (Bukti fisik), pengukuran meliputi :
1.
-
Pernyataan tentang peralatan modern yang memadai
-
Pernyataan mengenai fasilitas fisik yang bagus, bersih dan memadai
-
Pernyataan tentang fasilitas fisik yang menunjang kegiatan bisnis
-
Pernyataan tentang karyawan yang rapi dan sopan
Reliability (Keandalan), pengukuran meliputi :
2.
-
Pernyataan tentang ketepatan jasa yang diberikan
-
Pernyataan tentang waktu pelayanan
-
Pernyataan tentang ketepatan waktu pelayanan
-
Pernyataan tentang kesungguhan dalam melayani konsumen
-
Pernyataan tentang dapat dipercaya atau tidaknya dalam melayani
konsumen
-
Pernyataan tentang administrasi yang akurat
Responsive (Daya tanggap), pengukuran meliputi :
3.
-
Pernyataan tentang kecepatan pelayanan
-
Pernyataan tentang ketepatan pelayanan
-
Pernyataan tentang sikap untuk membantu konsumen
-
Pernyataan tentang penyediaan waktu untuk melayani konsumen
35
Assurance (Jaminan), pengukuran meliputi :
4.
-
Pernyataan tentang pengetahuan yang dimiliki karyawan
-
Pernyataan tentang perasaan aman dan nyaman konsumen ketika
berhubungan dengan karyawan
-
Pernyataan tentang sikap sopan karyawan terhadap konsumen
-
Pernyataan tentang kualitas pekerjaan karyawan
Emphaty (Empati), pengukuran meliputi :
5.
-
Pernyataan tentang pelayanan kepada konsumen secara individual
-
Pernyataan
tentang
perhatian
karyawan
secara
pribadi
kepada
konsumen
-
Pernyataan tentang penyediaan karyawan yang dapat bertindak sebagai
penasihat pribadi
-
Pernyataan tentang kebutuhan konsumen
-
Pernyataan tentang mengutamakan kepentingan konsumen
Sikap dimensi kualitas pelayanan dapat diukur melalui harapan dan kinerja.
Harapan dipengaruhi oleh kebutuhan personal, komunikasi lisan dan pengalaman masa
lalu. Sedangkan persepsi kinerja dipengaruhi oleh sifat-sifat proses pemberian pelayanan.
Menurut Parasuraman, Berry dan Zeithaml, dalam Tjiptono (2004, p70)
menerangkan lima konsep service quality, yaitu:
1. Tangible (Bukti Fisik)
Karena suatu service tidak dapat dilihat, tidak dapat dicium dan tidak
bisa diraba, maka aspek tangible menjadi sangat penting sebagai ukuran
pelayanan. Pada saat yang bersamaan aspek tangible ini juga
merupakan salah satu sumber yang mempengaruhi harapan konsumen.
Karena tangible yang baik, maka harapan konsumen menjadi lebih
tinggi.
36
2. Reliability (Keandalan)
Reliability yaitu dimensi yang mengukur keandalan dari sisi perusahaan
dalam memberikannya kepada konsumen. Terdapat dua aspek dari
dimensi ini, yaitu:
•
Kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan seperti
yang dijanjikan
•
Seberapa jauh suatu perusahaan mampu memberikan pelayanan
yang akurat atau tidak ada error
3. Responsiveness (Ketanggapan)
Responsiveness adalah dimensi kualitas pelayanan yang paling dinamis.
Harapan konsumen terhadap kecepatan pelayanan hampir dapat
dipastikan dapat berubah dengan kecenderungan naik dari waku ke
waktu. Pelayanan yang responsif atau yang tanggap, salah satunya
kesigapan dan ketulusan dalam menjawab pertanyaan atau permintaan
konsumen.
4. Assurance (Jaminan)
Yaitu
dimensi
kualitas
yang
berhubungan
dengan
kemampuan
perusahaan dan perilaku karyawan dalam menanamkan rasa percaya
dan keyakinan kepada para konsumennya.
5. Emphaty (Empati)
Dimensi empati adalah dimensi yang memberikan peluang besar untuk
memberikan pelayanan yang tidak diharapkan konsumen diberikan oleh
penyedia jasa. Empati meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan
komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan
konsumen.
37
2.1.7.2
Mengelola Kualitas Pelayanan
Salah satu cara utama yang dilakukan oleh perusahaan dalam membedakan
dirinya adalah dengan menyampaikan kualitas yang lebih tinggi secara konsisten lebih
dari yang dilakukan pesaing. Membuat konsumen tetap bertahan mungkin merupakan
ukuran terbaik untuk kualitas, yaitu tergantung pada seberapa konsisten perusahaan
menyampaikan nilai kepada mereka.
Menurut Kotler & Armstrong (2001), langkah pertama untuk mengelola kualitas
pelayanan adalah memberdayakan karyawan jasa di lini depan – untuk memberi mereka
wewenang, tanggung jawab, serta insentif yang mereka butuhkan untuk mengenali,
mempedulikan dan mengurus kebutuhan konsumen.
Kedua adalah menetapkan standar kualitas pelayanan yang tinggi. Seperti
layaknya perusahaan yang ternama, mereka tidak puas hanya dengan menetapkan
pelayanan yang ’baik’, tetapi juga mereka bertujuan untuk memberikan pelayanan yang
100% tanpa kesalahan.
Ketiga adalah dengan mengamati kinerja pelayanan dari dekat – baik kinerja
perusahaan sendiri ataupun kinerja pesaing. Metode yang dapat digunakan adalah
seperti berbelanja untuk melakukan perbandingan, survei pelanggan dan formulir saran
serta keluhan.
2.1.7.3 Konsep Pelayanan Berkualitas
Albrcht dalam Yamit (2004, p23-24) mengemukakan bahwa terdapat dua konsep
yang dapat digunakan untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Dua konsep
tersebut adalah :
1. Service Triangle adalah suatu model interaktif manajemen pelayanan yang
menghubungkan antara perusahaan dengan konsumennya. Model tersebut terdiri
dari tiga elemen dengan konsumen sebagai titik fokus, yaitu:
•
Service Strategy, adalah strategi untuk memberikan pelayanan kepada
konsumen dengan kualitas sebaik mungkin sesuai standar yang telah
ditetapkan perusahaan. Standar pelayanan ditetapkan sesuai keinginan dan
38
harapan konsumen sehingga tidak terjadi kesenjangan antara pelayanan yang
diberikan
dengan
harapan
konsumen.
Strategi
pelayanan
harus
juga
dirumuskan dan diimplementasikan seefektif mungkin, sehingga mampu
menciptakan pelayanan yang diberikan kepada konsumen tampil berbeda
dengan para pesaingnya. Untuk merumuskan dan mengimplementasikan
strategi pelayanan yang efektif, perusahaan harus fokus pada kepuasan
konsumen sehingga perusahaan mampu membuat konsumen melakukan
pembelian ulang bahkan mampu meraih konsumen baru.
•
Service People atau sumber daya manusia yang memberikan pelayanan, orang
yang berinteraksi secara langsung maupun yang tidak berinteraksi secara
langsung dengan konsumen harus memberikan pelayanan kepada konsumen
secara tulus (emphaty), responsif, ramah, fokus dan menyadari bahwa
kepuasan konsumen adalah segalanya. Untuk itu perusahaan harus pula
memperhatikan kebutuhan karyawannya dengan cara menciptakan lingkungan
kerja yang kondusif, rasa aman dalam bekerja, penghasilan yang wajar dan
sistem penilaian kerja yang mampu menumbuhkan motivasi. Tidak ada
gunanya jika perusahaan membuat strategi pelayanan dan menerapkannya
secara baik untuk memuaskan konsumennya, sementara pada saat yang sama
perusahaan gagal memberikan kepuasan kepada karyawannya, demikian pula
sebaliknya.
•
Service System atau sistem pelayanan adalah prosedur pelayanan kepada
konsumen yang melibatkan seluruh aktivitas fisik termasuk sumber daya
manusia yang dimiliki perusahaan. Sistem pelayanan harus dibuat secara
sederhana, tidak berbelit-belit dan sesuai standar yang telah ditetapkan
perusahaan. Untuk itu perusahaan harus mampu mendesain ulang sistem
pelayanannya, jika pelayanan yang diberikan tidak memuaskan konsumen.
39
2. Total Quality Service adalah kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan
berkualitas kepada orang yang berkepentingan dengan pelayanan (stakeholders),
yaitu konsumen, pegawai dan pemilik. Pelayanan mutu terpadu ini memiliki lima
elemen penting yang saling terkait, yaitu :
Market and customer research adalah penelitian untuk mengetahui struktur
•
pasar, segmen pasar, demografis, analisis pasar potensial, analisis kekuatan
pasar, mengetahui harapan dan keinginan konsumen atas pelayanan yang
diberikan.
Strategy formulation adalah petunjuk arah dalam memberikan pelayanan
•
berkualitas kepada konsumen sehingga perusahaan dapat mempertahankan
konsumen bahkan dapat meraih konsumen baru.
Education, training and communication adalah tindakan untuk meningkatkan
•
kualitas
sumber
daya
manusia
agar
mampu
memberikan
pelayanan
berkualitas, mampu memahami keinginan dan harapan konsumen.
Asessment, measurement, and feedback adalah penilaian dan pengukuran
•
kinerja yang telah dicapai oleh karyawan atas pelayanan yang telah diberikan
kepada konsumen. Penilaian ini menjadi dasar informasi baik kepada karyawan
mengenai proses pelayanan apa, kapan dan dimana yang perlu diperbaiki.
Meningkatkan Service Quality
2.1.7.4
Menurut Parasuraman, Zeithaml, Berry (1985) dalam Yamit (2005, p32), terdapat
beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan, yaitu :
1. Reliability
-
Pengaturan fasilitas
-
Sistem dan prosedur yang dilaksanakan taat azas
-
Meningkatkan efektivitas jadwal kerja
-
Meningkatkan koordinasi antar bagian
40
2. Responsiveness
-
Mempercepat pelayanan
-
Pelatihan karyawan
-
Komputerisasi dokumen
-
Penyederhanaan sistem dan prosedur
-
Penyederhanaan birokrasi
-
Mengurangi pemutusan keputusan
3. Competence
-
Meningkatkan profesionalisme karyawan
-
Meningkatkan mutu administrasi
4. Credibility
-
Meningkatkan sikap dan mental karyawan
-
Meningkatkan kejujuran karyawan
-
Menghilangkan kolusi
5. Tangibles
-
Perluasan kapasitas
-
Penataan fasilitas
-
Meningkatkan infrastruktur
-
Menambah peralatan
-
Menyempurnakan fasilitas komunikasi
-
Perbaikan sarana dan prasarana
6. Understanding the customer
-
Sistem dan prosedur pelayanan yang menghargai konsumen
-
Berfokus pada konsumen
7. Communication
-
Memperjelas pihak yang bertanggung jawab dalam setiap kegiatan
-
Meningkatkan efektivitas komunikasi dengan klien
-
Membuat SIM yang terintegrasi
41
2.1.8
Product Quality (Kualitas Produk)
Menurut Kotler & Armstrong (2006, p299), kualitas produk adalah kemampuan
suatu produk untuk melaksanakan fungsinya, meliputi daya tahan, keandalan, ketepatan,
kemudahan operasi dan perbaikan, serta atribut bernilai lainnya.
Kotler (2005, p94) menjelaskan salah satu nilai utama yang diharapkan oleh
konsumen dari pemasok adalah mutu produk dan jasa yang tinggi. Dari pernyataan ini
dapat disimpulkan bahwa kualitas dari suatu produk atau jasa sangat berpengaruh
terhadap konsumen.
Esti Susanti (2003, p143) menyatakan bahwa kualitas adalah persepsi konsumen,
yang artinya adalah konsumen menilai baik buruknya kualitas suatu produk berdasarkan
persepsinya. Suatu produk diartikan berkualitas jika memenuhi kebutuhan dan keinginan
konsumen. Kualitas ditentukan oleh konsumen dan pengalaman terhadap produk.
Definisi kualitas (Didit, 2009) yaitu :
1. Zeithalm : Kualitas produk didefinisikan sebagai evaluasi menyeluruh
konsumen terhadap keunggulan kinerja produk.
2. Scherkenbach : Kualitas ditentukan oleh konsumen; konsumen menginginkan
produk dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan harapannya pada suatu
tingkat harga tertentu yang menunjukkan nilai produk tersebut.
Menurut Brunsø et al. (2005) sebagaimana dikutip oleh Joel Espejel, Carmina
Fandos and Carlos Flavia´n (2007, p. 681-701), kualitas makanan dapat dibagi menjadi
empat jenis :
1. Kualitas yang berorientasi pada produk, mencakup semua aspek dari
produk fisik yang bersama-sama memberikan deskripsi yang tepat dari
produk makanan tertentu.
2. Kualitas yang berorientasi pada proses, meliputi cara produk pangan
yang
didasarkan
pada
aspek-aspek
yang
memberikan
informasi
mengenai prosedur yang digunakan dalam pembuatan produk. Aspekaspek tidak selalu memiliki efek pada fisik produk.
42
3. Pengendalian mutu mendefinisikan suatu produk harus memenuhi
standar mutu agar disetujui untuk masuk kelas kualitas tertentu.
4. Kualitas berorientasi pada konsumen, adalah persepsi kualitas subjektif
dari sudut pandang pengguna akhir atau pengecer.
2.1.8.1
Manfaat Pengukuran Product Quality
Brunso et al., (2005) dalam Mohd Rizaimy Shaharudin, Anita Abu Hassan, Suhardi
Wan Mansor, Shamsul Jamel Elias, Etty Harniza Harun, Nurazila Abdul Aziz (2010, p 165175) menyatakan bahwa kualitas produk dapat dianalisis dengan konsep dari dua
perspektif yang berbeda, yaitu tujuan kualitas dan persepsi kualitas. Tujuan untuk
mengukur kualitas ditentukan oleh atribut intrinsik dan ekstrinsik. Intrinsik atau atribut
inti mengacu pada sesuatu yang berkaitan dengan fisik produk (warna, penampilan dan
sebagainya), sedangkan persepsi kualitas atau atribut ekstrinsik hadir dalam bentuk nonfisik namun terkait dengan produk (nama merek, stempel kualitas, informasi produk dan
sebagainya).
Product Quality
Intrinsic Attributes
Brand
Loyalty
Product Quality
Extrinsic Attributes
Gambar 2.4
Pengukuran Product Quality
Sumber : Mohd Rizaimy Shaharudin (2010)
2.1.8.2 Dimensi Product Quality
Garwin (1984) yang dikutip oleh Mohd Rizaimy Shaharudin, et al. (2010, P170182), menyebutkan bahwa terdapat 8 dimensi dari kualitas, yaitu performance, features,
reliability, conformance, durability, serviceability, aesthetics dan perceived quality.
43
Menurut Durianto, et al. (2004, p38), produsen dalam memasarkan produk harus
berpikir melalui tahapan dimensi, yaitu :
•
Kinerja, adalah dimensi paling dasar dan berhubungan dengan fungsi utama
suatu produk. Konsumen akan kecewa jika harapan mereka akan dimensi ini
tidak terpenuhi.
•
Keandalan, adalah hal yang berkaitan dengan probabilitas atau kemungkinan
suatu produk berhasil menjalankan fungsinya setiap kali digunakan dalam
periode waktu tertentu.
•
Fitur, dapat dikatakan sebagai aspek sekunder. Karena perkembangan fitur ini
hampir tidak terbatas sejalan dengan perkembangan teknologi, maka fitur
menjadi target para produsen untuk berinovasi dalam rangka memuaskan
konsumen.
•
Keawetan, adalah dimensi kualitas produk keempat yang menunjukkan suatu
pengukuran terhadap siklus produk, baik secara teknis maupun waktu. Produk
dapat disebut awet apabila dapat bertahan setelah berulang kali digunakan atau
sudah lama sekali digunakan.
•
Konsistensi, dimensi ini menunjukkan seberapa jauh suatu produk dapat
menyamai standar atau spesifikasi tertentu.
•
Desain, adalah dimensi yang unik dan banyak menawarkan aspek emosional
dalam mempengaruhi kepuasan konsumen.
Sedangkan David Garvin (dalam Zulian Yamit, 2004, p10), mengembangkan
dimensi kualitas kedalam delapan dimensi yang dapat digunakan sebagai dasar
perencanaan bagi perusahaan manufaktur ataupun jasa. Kedelapan dimensi tersebut
adalah :
1. Performance (Kinerja), yaitu kesesuaian produk dengan fungsi utama produk itu
sendiri atau karakteristik operasi dari suatu produk.
44
2. Feature (Fitur), yaitu ciri khas suatu produk yang membedakan dari produk lain yang
merupakan karakteristik pelengkap dan mampu menimbulkan kesan yang baik bagi
konsumen.
3. Reliability (Keandalan), yaitu kepercayaan konsumen terhadap produk karena
keandalannya atau karena kemungkinan kerusakan yang rendah.
4. Conformance (Kesesuaian), yaitu kesesuaian produk dengan syarat atau ukuran
tertentu atau sejauh mana karakteristik desain dan operasi memenuhi standar yang
telah ditetapkan.
5. Durability (Daya Tahan), yaitu tingkat ketahanan atau seberapa lama produk dapat
terus digunakan.
6. Servicability, yaitu meliputi kecepatan, kompetensi, kenyamanan, kemudahan dalam
pemeliharaan dan penanganan keluhan yang memuaskan.
7. Aesthetics (Estetika), yaitu keindahan menyangkut corak, rasa dan daya tarik produk.
8. Perceived Quality (Kualitas yang Dirasakan), yaitu fanatisme konsumen yang
menyangkut
citra
dan
reputasi
produk
serta
tanggung
jawab
perusahaan
terhadapnya.
2.1.9
Product and Brand Management
Ulrich dan Eppinger (2001, p2) mendefinisikan produk merupakan sesuatu yang
dijual oleh perusahaan kepada pembeli. Sedangkan product development didefinisikan
sebagai aktivitas yang dimulai dari analisis persepsi dan peluang pasar, kemudian diakhiri
dengan tahap produksi, penjualan dan pengiriman produk. Product development
merupakan aktivitas yang membutuhkan kontribusi dari hampir semua fungsi yang ada di
perusahaan, namun terdapat tiga fungsi yang paling penting bagi proyek product
development, yaitu:
1. Marketing (Pemasaran)
Fungsi pemasaran menjembatani interaksi antara perusahaan dengan
konsumen. Fungsi lainnya adalah memfasilitasi proses identifikasi
45
peluang produk, pendefinisian segmen pasar dan identifikasi kebutuhan
konsumen.
Bagian
pemasaran
juga
secara
khusus
merancang
komunikasi antara perusahaan dengan konsumen, menetapkan target
harga dan merancang peluncuran serta promosi produk.
2. Design (Perancangan)
Fungsi perancangan memainkan peranan penting dalam mendefinisikan
bentuk fisik produk agar dapat memenuhi kebutuhan konsumen.
3. Manufaktur
Fungsi manufaktur terutama bertanggung jawab untuk merancang dan
mengoperasikan sistem produksi produk. Secara luas, fungsi manufaktur
seringkali mencakup pembelian, distribusi dan instalasi. Kumpulan
aktivitas-aktivitas ini disebut juga sebagai rantai pemasok (supply chain).
Product development dibagi menjadi empat tipe, yaitu :
1. Platform produk baru, tipe ini melibatkan usaha pengembangan utama
untuk merancang suatu keluarga produk baru berdasarkan platform yang
baru dan umum. Keluarga produk baru akan memasuki kategori pasar
dan produk yang sudah dikenal.
2. Turunan dari platform produk yang telah ada, tipe ini memperpanjang
platform produk agar lebih baik dalam memasuki pasar yang telah
dikenal dengan satu atau lebih produk baru.
3. Peningkatan perbaikan untuk produk yang telah ada, tipe ini hanya
melibatkan penambahan atau modifikasi beberapa detail produk dari
produk yang telah ada dalam rangka menjaga lini produk yang ada
pesaingnya.
4. Pada dasarnya produk baru, tipe ini melibatkan produk yang sangat
berbeda atau teknologi produksi dan memungkinkan membantu untuk
46
memasuki pasar yang belum dikenal dan baru. Tipe ini umumnya
melibatkan banyak resiko.
(Ulrich dan Eppinger, 2001, p36)
Ulrich dan Eppinger (2001, p6) menyebutkan terdapat tantangan bagi
perusahaan dalam mengembangkan produknya, yaitu :
1. Trade-Offs,
yaitu
suatu
aspek
dimana
perusahaan
mengetahui,
memahami dan mengendalikan pertentangan (trade-offs) bahwa produk
dapat dibuat lebih baik, tetapi tindakan tersebut akan meningkatkan
biaya manufaktur.
2. Dinamika, yaitu aspek dimana perusahaan harus mengambil keputusan
dalam lingkungan yang secara konstan berubah.
3. Detail, yaitu aspek dimana perusahaan dihadapkan pada pilihan-pilihan
detail dalam proses pengembangan produk, keputusan ini penting
karena mempunyai implikasi ekonomi yang cukup besar.
4. Tekanan Waktu, yaitu aspek dimana perusahaan harus menentukan
keputusan yang tepat dalam proses pengembangan produk dengan
informasi yang tidak lengkap dan waktu yang terbatas.
5. Faktor Ekonomi, yaitu aspek dimana perusahaan diharuskan untuk
mengembangkan produk dengan lebih menarik bagi konsumen namun
tidak membutuhkan investasi yang besar.
Brand management adalah daerah peningkatan penting bagi pemasar saat ini,
khususnya bagi organisasi yang mencoba untuk mengkomunikasikan pesan yang rumit
dan tidak berwujud sebagai bagian dari strategi manajemen merek (Davis, 2000;
Goodchild & Callow, 2001 dalam Maznah Wan Omar, Mohd Noor Mohd Ali, 2010, p2532).
47
Strategi brand management melibatkan perencanaan dan implementasi aktivitas
pemasaran untuk membangun, mengukur dan mengatur brand equity. Strategi proses
brand management memiliki empat langkah utama, yaitu:
1. Mengidentifikasi dan menentukan brand positioning
2. Merencanakan dan mengimplementasi rencana pemasaran brand
3. Mengukur dan mengintepretasikan brand performance
4. Menumbuhkan dan mempertahankan brand equity
(Keller, 2003, p38)
2.1.10 Brand (Merek)
Brand dapat diartikan sebagai nama, tanda, simbol, desain atau kombinasi
antaranya yang berfungsi untuk mengidentifikasikan barang atau jasa dari suatu
produsen, untuk membedakan produk mereka dalam pasar yang penuh persaingan
(Keller, K.L, 2003, p3).
Menurut Komaruddin (2003, p133), brand adalah suatu lambang yang digunakan
untuk mengidentifikasi suatu produk dalam perdagangan sehingga lambang itu dapat
membedakannya dari produk serupa dari pesaingnya.
Fungsi brand sebagai pembeda suatu produk dengan produk lainnya adalah hal
yang sangat penting. Semakin sering ataupun semakin unik suatu brand, maka secara
tidak langsung akan mudah bagi customer untuk mengingatnya. Brand bisa menjadi
mindset bagi seseorang jika seseorang itu telah mengalami komunikasi (proses
pengiriman pesan) dan pengalaman terhadap brand tersebut berdasarkan pengalaman
emosional ataupun telah mengalami fungsi dari produk suatu brand tersebut (Keller, K.L.,
2003, p4).
Salah satu fungsi utama brand adalah untuk mengidentifikasikan sebuah produk
atau jasa, sehingga apabila identifikasi konsumen terhadap suatu brand kurang jelas,
maka akan menyebabkan konsumen tidak dapat menangkap nilai dan tujuan yang ingin
48
disampaikan oleh brand tersebut (Andry Kusnadi, Ryan Sastradihardja, Frida Findriani,
Timotheus Lesmana Wanadjaja, 2008, p135-157).
Menurut Widjaja (2005, p48), terdapat 15 keunggulan pemasaran dari merek
yang kuat, yaitu:
1. Memperbaiki persepsi kinerja produk
2. Loyalitas yang lebih tinggi
3. Kurang rentang terhadap tindakan pemasaran kompetitif
4. Margin yang lebih besar
5. Kurang rentang terhadap krisis pemasaran
6. Tanggapan konsumen yang lebih inelastic terhadap kenaikan harga
7. Tanggapan konsumen yang lebih elastic terhadap penurunan harga
8. Kerjasama perdagangan dan dukungan yang lebih tinggi
9. Meningkatkan efektivitas komunikasi pemasaran
10. Kemungkinan peluang licensing atau waralaba
11. Peluang perluasan merek tambahan
12. Mendorong motivasi internal dalam rangka memenuhi janji
13. Powerful brand sama dengan powerful company
14. Jika perusahaan melakukan kesalahan dapat “dimaafkan” oleh konsumen
15. Digunakan konsumen untuk menentukan keputusan
Komaruddin (2003, p133) menyatakan bahwa tujuan pemasangan merek akan
tampak dari fungsi merek yang meliputi dua buah fungsi utama:
1.
Fungsi Pencitraan
Merek digunakan untuk meraih citra merek (brand image). Yang dimaksud
dengan citra merek adalah lukisan, bayangan, kesan, penampakan secara
simbolis atau tanggapan tentang merek suatu produk atau jasa.
49
2.
Fungsi Identifikasi
Merek digunakan untuk mengidentifikasi penawaran di pasar dan sekaligus
membedakannya dari para pesaing.
2.1.10.1 Jenis utama Brand
Secara garis besar terdapat empat jenis brand yang utama, yaitu:
1.
Merek Keluarga
Merek keluarga (family brands) adalah merek yang dipergunakan oleh
lebih banyak dari satu produk. Merek keluarga berguna untuk mengurangi
biaya iklan dan biaya promosi lainnya. Walaupun demikian merek keluarga
memiliki kekurangan, yaitu jika salah satu produk tidak memuaskan
konsumen, maka merek seperti itu akan memperburuk reputasi produk
lainnya dalam keluarga produk itu.
2.
Merek Individual
Merek individual (individual brands) adalah merek yang digunakan hanya
untuk produk tunggal.
3.
Merek Distributor
Merek distributor (distributor’s brands) merupakan merek yang digunakan
sendiri oleh pengecer atau pemborong. Nama merek ini digunakan oleh
toko eceran. Umumnya mengacu pada ‘label sendiri’ yang harganya
ditentukan secara kompetitif dan bertujuan untuk memperkuat loyalitas
toko, bukan loyalitas merek.
4.
Merek Pabrikan
Merek pabrikan (manufacturer’s brands) adalah merek-merek yang dimiliki
oleh para pemilik pabrik. Melalui merek pabrikan suatu perusahaan
mungkin akan berada pada kedudukan yang dapat menarik perantara yang
baik, memperoleh dukungan marketing agresif, dan dapat memperoleh
50
kesempatan
untuk
mengadakan
negosiasi
mengenai
syarat-syarat
penjualan.
(Komaruddin, 2003, p134-135)
2.1.10.2 Manfaat Brand
Manfaat brand bagi konsumen diutarakan oleh Tjiptono (2005, p21), yaitu :
1.
Kemudahan dalam mengidentifikasikan produk yang dibutuhkan atau dicari
oleh konsumen dan dapat memberikan makna bagi produk
2.
Penghematan waktu dan energi melalui pembelian ulang dan loyalitas
3.
Memberikan jaminan bagi konsumen bahwa mereka bisa mendapatkan
kualitas yang sama sekalipun pembelian dilakukan pada waktu dan tempat
berbeda
4.
Kepuasan terwujud melalui familiaritas dan intimasi dengan merek yang
telah digunakan atau dikonsumsi
5.
Kepuasan terkait dengan daya tarik merek logo dan komunikasinya
Menurut Kotler (2002, p464) merek dapat memberikan beberapa manfaat bagi
penjual, yaitu :
1.
Merek memudahkan penjual memproses pesanan dan menelusuri masalah
2.
Nama merek dan tanda merek penjualan memberikan perlindungan hukum
atau ciri-ciri produk yang unik
3.
Merek memberikan kesempatan kepada penjual untuk menarik konsumen
yang setia dan menguntungkan. Kesetiaan merek memberikan penjual
perlindungan dari persaingan serta pengendalian yang lebih besar dalam
perencanaan program pemasarannya
4.
Merek membantu penjual melakukan segmentasi pasar
5.
Merek yang kuat membantu membangun citra perusahaan, memudahkan
perusahaan meluncurkan merek-merek baru yang mudah diterima oleh
para distributor dan konsumen
51
2.1.10.3 Strategi Brand
Menurut Kotler (2000) ada lima pilihan strategi merek yang dapat digunakan oleh
perusahaan, yaitu :
1.
Line Extension (Perluasan Lini)
Perluasan lini dilakukan jika perusahaan memperkenalkan unit produk
tambahan dalam kategori produk yang sama dengan merek yang sama.
2.
Brand Extension (Perluasan Merek)
Suatu strategi yang dilakukan perusahaan untuk meluncurkan suatu
produk dalam kategori baru dengan menggunakan merek yang sudah ada.
3.
Multi Brand (Multi-Merek)
Suatu strategi perusahaan untuk memperkenalkan merek tambahan dalam
kategori produk yang sama.
4.
New Brand (Merek Baru)
Strategi perusahaan meluncurkan produk dalam suatu kategori baru, tetapi
perusahaan tidak mungkin menggunakan merek yang sudah ada lalu
menggunakan merek baru.
5.
Co-Brand (Merek Bersama)
Dua atau lebih merek yang terkenal dikombinasikan dalam satu tawaran.
Tabel 2.1
Brand Strategy
Existing Product
New Product
Existing Brand
Line Extension
Brand Extension
New Brand
Multi Brand
New Brand
Sumber : Kotler, 2000
52
2.1.10.4 Brand Equity (Ekuitas Merek)
Konsep brand equity mencerminkan pentingnya suatu brand dalam strategi
marketing. Brand equity mencerminkan semua atribut yang menempel dari brand
tersebut dan dapat dikaitkan dengan fakta bahwa perbedaan biaya pengeluaran
marketing dari suatu produk atau jasa dapat disebabkan oleh nama brand itu sendiri
(Angeline, Irma Patrisia, Putri Ramadhyta, Bun Sucento, 2008, p22-43).
Branding memiliki sejarah panjang dan percobaan manajemen merek telah ada
selama beberapa dekade, namun brand equity sebagai pusat konsep bisnis untuk banyak
organisasi baru benar-benar muncul dalam 20 tahun terakhir. Sebagian besar
kepentingan yang ada awalnya didorong oleh merger dan akuisisi pada tahun 1980-an,
dimana menjadi jelas bahwa harga yang dibayar untuk pembelian banyak perusahaan
sebagian besar mencerminkan nilai merek mereka. Implikasi yang jelas dari transaksi ini
adalah bahwa merek adalah salah satu aset intangible yang paling penting dalam suatu
perusahaan.
Sebagai hasil dari kesadaran tersebut, banyak industri yang mengusulkan suatu
model branding dan brand equity dalam beberapa tahun terakhir. Model ini membagi
brand equity menjadi beberapa bagian dasar: kekuatan merek tambah terletak di pikiran
konsumen dan apa yang mereka alami, pelajari dan rasakan tentang merek sejalannya
waktu; brand equity dapat dianggap sebagai ‘nilai tambah’ dibantu dengan produk dalam
pikiran, kata-kata dan tindakan konsumen. Ada berbagai cara yang berbeda untuk
menciptakan ‘nilai tambah’ dari suatu merek, dan juga terdapat berbagai cara berbeda
untuk menyatakan nilai dari suatu merek dan untuk memanfaatkannya menjadi
keuntungan (misalnya, dalam menciptakan pendapatan yang lebih besar dan / atau biaya
yang lebih rendah) (Robert P. Leone et al., 2006, p125-138).
Ekuitas merek didefinisikan sebagai seperangkat aset dan kewajiban terkait
dengan merek yang menambah atau mengurangi dari nilai suatu produk atau jasa
kepada perusahaan dan / atau pelanggan (Aaker, 2004).
53
Myers (2003) mengatakan bahwa brand yang menguasai pangsa pasar yang
lebih bias memiliki brand equity yang lebih tinggi. Sedangkan brand yang memiliki brand
equity yang lebih tinggi akan mendapatkan preferensi yang lebih besar. Aaker (1991)
dalam Myers (2003) menggunakan awareness, associations, perceived quality, loyalty
dan proprietary assets seperti paten dan trade mark sebagai 5 komponen kunci dari
brand equity.
2.1.10.4.1 Pengukuran Brand Equity
Menurut Aaker dalam Durianto, Sugiharto, Sitinjak (2004, p4), ekuitas merek
dapat dikelompokkan ke dalam 5 elemen :
1.
Brand Awareness (Kesadaran Merek)
Menunjukkan kesanggupan seorang konsumen untuk mengenali atau
mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori
produk tertentu.
2.
Brand Association (Asosiasi-asosiasi Merek)
Mencerminkan pencitraan suatu merek terhadap suatu kesan tertentu
dalam kaitannya dengan kebiasaan, gaya hidup, manfaat, atribut produk,
geografis, harga, pesaing dan lain-lain.
3.
Perceived Quality (Persepsi Kualitas)
Mencerminkan persepsi konsumen terhadap keseluruhan kualitas /
keunggulan suatu produk atau jasa layanan dengan maksud yang
diharapkan.
4.
Brand Loyalty
Mencerminkan tingkat keterikatan konsumen dengan suatu merek produk.
5.
Other Proprietary Brand Assets (Aset-aset Merek Lainnya)
Seperti hak paten, rahasia teknologi, rahasia bisnis, akses khusus terhadap
pemasok ataupun pasar dan lain-lain.
54
2.1.11 Brand Awareness
Menurut Rangkuti (2004, p243) brand awareness merupakan kemampuan
seorang konsumen untuk mengingat suatu merek tertentu atau iklan tertentu secara
spontan atau setelah dirangsang dengan kata-kata kunci.
Brand awareness terdiri dari brand recognition dan brand recall performance.
Brand recognition terkait pada kemampuan konsumen dalam menanggapi suatu brand
ketika diberikan petunjuk. Sedangkan brand recall berkaitan dengan kemampuan
konsumen untuk mengingat kembali suatu brand ketika diberikan petunjuk berupa
kategori produk, kebutuhan yang perlu dipenuhi oleh suatu kategori produk atau situasi
pembelian atau pemakaian. Istilah brand awareness mengacu pada kesanggupan
seorang konsumen untuk mengenali dan mengingat kembali suatu brand yang merujuk
pada suatu produk tertentu (Keller, K.L , 2003, p67).
Chiu, Kevin Kuan-Shun., Ru-Jen Lin, Maxwell K Hsu, Li-Hua Huang (2010, p112)
mendefinisikan brand awareness sebagai tingkat dasar pengetahuan merek yang
melibatkan pengakuan merek dan dapat dianggap sebagai kemampuan konsumen untuk
mengenali sebuah merek dalam suatu kelompok produk atau jasa dalam rincian yang
memadai untuk melakukan pembelian.
Durianto,
et al (2004, p54) mendefinisikan brand awareness sebagai
kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali, mengingat kembali suatu merek
sebagai bagian dari suatu kategori produk tertentu.
Berdasarkan Customer Based Brand Equity, proses membangun brand yang kuat
terdiri dari empat tahap :
1.
Proses mengidentifikasikan suatu brand tertentu dalam pikiran konsumen
guna membedakan dengan produk lainnya (brand identity)
2.
Perlahan membangun arti dari brand tersebut yang berhubungan dengan
hal tangible dan intangible dari brand tersebut (brand meaning)
3.
Mengetahui bagaimana reaksi seseorang terhadap identifikasi brand
tersebut (brand responses)
55
4.
Proses membangun hubungan yang baik atau loyalitas terhadap brand
tersebut atas dasar reaksi / respon seseorang (brand relationship)
(Keller, K.L., 2003, p75)
Brand awareness yang kuat memudahkan produk untuk dapat dipilih dan
digunakan oleh konsumen, oleh karena itu salah satu strategi yang efektif untuk
meningkatkan jumlah produk adalah dengan membangun brand awareness. Ada
beberapa cara untuk mencapai brand awareness, antara lain :
1. Menggunakan pesan yang mudah diingat dan unik, serta memiliki hubungan
antara brand dengan kategori produk
2. Dengan menggunakan slogan atau jingle yang mudah di ingat dan menarik
3. Menggunakan simbol yang berhubungan dengan brand dan kategori produk
4. Melakukan pengulangan untuk membantu konsumen untuk membangun
ingatan tentang brand tersebut
(Andry Kusnadi, et al., 2008, p135-157)
2.1.11.1 Tingkatan Brand Awareness
Menurut David Aaker yang dikutip oleh Durianto. et al (2004, p57-59), peran
brand awareness dalam keseluruhan ekuitas merek bergantung pada sejauh mana
tingkatan awareness yang dicapai oleh suatu merek. Adapun tingkatan dalam brand
awareness adalah sebagai berikut:
1. Top of Mind (Puncak Pikiran)
Yang dimaksud dengan top of mind adalah merek yang pertama kali diingat oleh
responden atau pertama kali disebut ketika responden ditanya mengenai suatu
produk tertentu. Top of mind menggunakan single respond question
yang
artinya responden hanya boleh memberikan satu jawaban untuk pertanyaan
mengenai hal ini.
56
2. Brand Recall (Pengingatan Kembali Merek)
Yang dimaksud dengan brand recall adalah pengingat kembali merek yang
dicerminkan dengan merek lain yang diingat oleh responden setelah responden
menyebutkan merek yang pertama. Brand recall menggunakan multi respond
questions yang artinya memberikan jawaban tanpa dibantu.
3. Brand Recognition (Pengenalan Merek)
Yang dimaksud dengan brand recognition adalah pengenalan merek yaitu tingkat
kesadaran responden terhadap suatu merek diukur dengan diberikan bantuan
seperti ciri-ciri suatu produk.
4. Unaware of Brand (Tidak Menyadari Merek)
Merupakan tingkat yang paling rendah dari piramida brand awareness dimana
konsumen tidak menyadari akan adanya suatu merek.
Tingkatan brand awareness secara berurutan dapat digambarkan sebagai suatu
piramida seperti berikut :
Top of Mind
Brand Recall
Brand Recognition
Unaware of Brand
Gambar 2.5
Piramida Awareness
Sumber : Durianto, et al (2004, p55)
57
2.1.11.2 Mencapai Brand Awareness
Pencapaian brand awareness dapat ditempuh dengan beberapa cara berikut
(Durianto, Sugiarto dan Tony Sitinjak, 2004, p57) :
1. Pesan yang disampaikan harus mudah diingat dan tampil beda. Memakai slogan
atau jingle lagu yang menarik sehingga konsumen dapat lebih mudah
mengingatnya.
2. Melakukan pengulangan untuk pengingatan karena membentuk ingatan lebih
sulit dibandingkan membentuk pengenalan.
3. Perluas nama merek dapat digunakan agar merek semakin banyak diingat
konsumen.
4. Memperbanyak promosi baik media cetak maupun elektronik.
5. Menjadi sponsor suatu acara yang mendatangkan banyak penonton.
2.1.11.3 Fungsi Brand Awareness
Rossiter and Percy (1987) dalam Emma Macdonald and Byron Sharp (2003)
menyebutkan fungsi dari brand awareness adalah sebagai alat dari proses komunikasi.
Brand awareness sangat penting karena mendahului semua langkah lain dalam proses
komunikasi. Tanpa brand awareness, tidak ada efek komunikasi lain yang akan terjadi.
Agar konsumen membeli suatu produk atau jasa, pertama-tama mereka harus dibuat
menyadari merek yang ada. Brand attitude tidak dapat terbentuk, dan keinginan
konsumen untuk membeli suatu produk tidak dapat tercipta kecuali brand awareness
sudah terjadi.
Aaker (1991) dalam Dr. H. Anil Degermen Erenkol dan Adnan Duygun (2010)
menyatakan bahwa brand awareness adalah langkah awal dalam komunikasi dengan
konsumen. Brand awareness adalah dokumen yang terdiri dari fenomena dan emosi dari
konsumen tentang merek yang terletak dalam pikiran mereka. Tanpa brand awareness,
seluruh upaya komunikasi lainnya akan terlihat tidak meyakinkan, terlebih lagi upaya ini
akan berubah menjadi suatu usaha yang tidak perlu dan memakan biaya yang besar.
Namun jika brand awareness terjamin, asosiasi merek baru dapat direalisasikan.
58
Dr. H. Anil Degermen Erenkol dan Adnan Duygun (2010) juga menyebutkan
salah satu keunggulan kompetitif brand awareness adalah perasaan familiar yang
dirasakan konsumen terhadap merek dan apresiasi konsumen terhadapnya. Konsmen
menghargai dan percaya terhadap merek yang mereka kenal.
2.1.12 Brand Loyalty (Loyalitas Merek)
Dalam pemasaran, brand loyalty terdiri dari komitmen konsumen terhadap suatu
merek melalui membeli kembali produk atau jasa merek tersebut, atau perilaku positif
lainnya seperti melakukan word of mouth. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan
pembelian kembali sangat tergantung pada kepercayaan dan kinerja kualitas produk atau
jasa (Chaudhuri and Holbrook, 2001).
Menurut Chaudri & Holbrook (2002) dalam Dr. H. Anil Degermen Erenkol dan
Adnan Duygun (2010) brand loyalty adalah dimensi yang paling mendasar dari brand
equity. Brand loyalty dapat mengurangi ketidakpastian dan menjadikan konsumen hemat
biaya atas pencarian dan pertukaran merek lainnya. Itulah sebabnya, konsumen dengan
brand loyalty memiliki peran penting dalam keberhasilan dan profitabilitas dalam jangka
panjang.
Brand loyalty merupakan suatu ukuran keterkaitan konsumen kepada suatu
merek. Ukuran ini mampu memberikan gambaran mengenai mungkin atau tidaknya
seorang konsumen beralih ke merek produk lain, terutama jika pada merek tersebut
didapati adanya perubahan, baik menyangkut harga ataupun atribut lain (Darmadi
Durianto, 2003, p62).
Menurut pendapat Hess (2005), konsumen yang loyal terhadap suatu merek,
bertujuan untuk menambah kemungkinan mereka untuk menang dari segi kegunaan
ataupun biaya (mengurangi risiko, meningkatkan efektifitas proses informasi, menambah
keuntungan yang bersifat tangible), atau sebagai arti mereka menikmati keuntungan
yang berhubungan dengan hubungan koneksi (afiliasi, asosiasi, kesesuaian nilai).
59
Sedangkan menurut Freddy Rangkuti (2004) brand loyalty merupakan kumpulan
persepsi yang positif di benak konsumen mengenai suatu brand. Jadi konsep brand
loyalty sangat berbeda dengan customer loyalty. Brand loyalty lebih bersifat intangible
dan menetap di benak konsumen. Setiap konsumen memiliki persepsi yang berbeda
terhadap suatu brand, sehingga upaya membangun brand loyalty yang kuat tidak cukup
dengan melakukan kegiatan komunikasi, memasang iklan serta merubah logo, melainkan
jauh daripada itu yaitu dengan cara membuat total experience kepada target konsumen.
2.1.12.1 Fungsi Brand Loyalty
Menurut Darmadi Durianto (2003, p.72) dengan pengelolaan dan pemanfaatan
yang benar, brand loyalty dapat menjadi aset strategis bagi perusahaan. Berikut adalah
beberapa potensi yang dapat diberikan oleh brand loyalty kepada perusahaan :
1. Mengurangi Biaya Pemasaran (Reduced Marketing Costs), adanya brand
loyalty berkaitan dengan biaya pemasaran. Biaya pemasaran akan lebih
murah terutama dalam mempertahankan konsumen dibandingkan dengan
upaya untuk mendapatkan konsumen baru. Jadi biaya pemasaran akan
menurun jika brand loyalty meningkat.
2. Meningkatkan Perdagangan (Trade Leverage), loyalitas yang kuat terhadap
suatu merek akan meningkatkan perdagangan dan memperkuat keyakinan
perantara pemasaran. Semakin biasa konsumen membeli suatu produk,
maka semakin tinggi frekuensi pembelian konsumen tersebut, yang pada
akhirnya dapat meningkatkan penjualan.
3. Menarik Minat Pelanggan Baru (Attracting New Customers), banyaknya
jumlah konsumen yang merasa puas dan suka pada merek tertentu, maka
akan menimbulkan perasaan yakin atau percaya pada calon konsumen lain
untuk mengkonsumsi merek tersebut. Disamping itu, konsumen yang puas
umumnya akan merekomendasikan merek yang pernah atau sedang
dikonsumsi kepada teman / kerabat dekatnya, sehingga akan menarik
konsumen baru.
60
4. Memberi Waktu Untuk Merespon Ancaman Persaingan (Provide Time To
Respond To Competitive Threats), brand loyalty akan memberikan waktu
pada perusahaan untuk merespon gerakan pesaing. Jika salah satu pesaing
mengembangkan produk baru dan unggul, maka konsumen yang loyal akan
memberikan waktu pada perusahaan untuk memperbaharui produk yang
dihasilkan dengan cara menyesuaikan atau mengadakan inovasi untuk dapat
mengungguli produk baru pesaing.
2.1.12.2 Pengukuran Brand Loyalty
Menurut Aaker (1991) dalam Dr. H. Anil Degermen Erenkol dan Adnan
Duygun (2010), loyalitas merek dapat diukur melalui beberapa keuntungan, yaitu dengan
adanya pembelian berulang (repeated purchase) dan rekomendasi (reccomendation)
merek kepada teman atau kerabatnya.
•
Repeated Purchase : loyalitas terhadap merek adalah perilaku yang
mengutamakan
sebuah
merek
dengan
melakukan
pembelian
berulang.
•
Reccomendation : loyalitas terhadap merek adalah perilaku niat
untuk membeli sebuah produk dan mendorong orang lain untuk
melakukan hal yang sama.
Menurut Durianto, et al. (2004, p132-134), pengukuran brand loyalty dapat
dilakukan melalui tahap-tahap berikut:
1. Pengukuran Perilaku (Behavior Measures)
Pengukuran Perilaku (Behavior Measures) adalah suatu cara langsung untuk
menetapkan loyalitas, terutama untuk perilaku kebiasaan (habitual behavior)
yaitu dengan memperhitungkan pola pembelian yang aktual. Berikut
disajikan beberapa pengukuran yang dapat digunakan:
61
-
Tingkat Pembelian Ulang (Repurchase Rates), yaitu tingkat presentase
konsumen yang membeli merek yang sama pada kesempatan membeli jenis
produk tersebut.
-
Presentase Pembelian (Percent of Purchase), yaitu tingkat presentase
konsumen untuk setiap merek yang dibeli dari beberapa pembelian terakhir.
-
Jumlah Merek Yang Dibeli (Number of Brands Purchase), yaitu tingkat
presentase konsumen dari suatu produk untuk hanya membeli satu merek,
dua merek, tiga merek dan seterusnya.
2. Pengukuran Switching Cost
Pengukuran terhadap variabel ini dapat mengindikasikan loyalitas pelanggan
terhadap suatu merek. Pada umumnya jika biaya untuk berganti merek
sangat mahal, konsumen akan enggan untuk berganti merek sehingga laju
penyusutan dari kelompok konsumen dari waktu ke waktu akan rendah.
3. Pengukuran Kepuasan (Measuring Satisfaction)
Pengukuran terhadap kepuasan maupun ketidakpuasan konsumen suatu
merek merupakan indikator penting dari brand loyalty. Bila ketidakpuasan
konsumen terhadap suatu merek rendah, maka pada umumnya tidak cukup
alasan bagi konsumen untuk beralih mengkonsumsi merek lain, kecuali
apabila ada faktor-faktor penarik yang sangat kuat. Dengan demikian, sangat
perlu bagi perusahaan untuk mengeksplor informasi dari konsumen yang
memindahkan pembeliannya ke merek lain dalam kaitannya dengan
permasalahan yang dihadapi oleh konsumen ataupun alasan yang terkait
dengan ketergesaan mereka memindahkan pilihannya.
4. Pengukuran Kesukaan terhadap Merek (Measuring Liking the Brand)
Kesukaan terhadap merek, kepercayaan, perasaan hormat atau bersahabat
dengan
suatu
merek
membangkitkan
kehangatan
dalam
perasaan
konsumen. Akan sulit bagi merek lain untuk dapat menarik konsumen yang
sudah mencintai merek hingga pada tahapan ini.
62
Konsumen dapat saja sekedar suka pada suatu merek dengan alasan
yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya melalui persepsi dan kepercayaan
mereka yang terkait dengan kemauan untuk membayar dengan harga yang
lebih mahal untuk memperoleh merek tersebut.
5. Pengukuran Komitmen
Merek dengan brand equity yang tinggi akan memiliki sejumlah besar
konsumen yang setia dengan segala bentuk komitmennya. Salah satu
indikator kunci adalah jumlah interaksi dan komunikasi yang berkaitan
dengan produk tersebut. Kesukaan konsumen terhadap suatu merek akan
mendorong mereka untuk membicarakan merek tersebut kepada pihak lain,
baik dalam taraf sekedar menceritakan mengenai alasan pembelian mereka
terhadap merek tersebut atau bahkan tiba pada taraf merekomendasikannya
kepada orang lain untuk mengkonsumsi merek tersebut. Indikator lain
adalah sejauh mana tingkat kepentingan merek tersebut bagi seseorang
berkenaan dengan aktivitas dan kepribadian mereka, misalnya manfaat atau
kelebihan yang dimiliki dalam kaitannya dengan penggunaannya.
2.1.12.3 Tingkatan Brand Loyalty
Menurut Durianto et al. (2001) dalam Johannes Marthin, Hatane Semuel (2007,
p90-102) beberapa tingkatan brand loyalty adalah:
1. Switcher (Konsumen yang suka berpindah-pindah)
Konsumen yang berada pada tingkat switcher loyalty adalah konsumen yang
berada pada tingkat paling dasar dari piramida brand loyalty pada umumnya.
Konsumen dengan switcher loyalty memiliki perilaku sering berpindah-pindah
merek, sama sekali tidak loyal atau tidak tertarik pada merek-merek yang
dikonsumsi. Ciri yang paling nampak dari jenis konsumen ini adalah membeli
suatu produk karena harga yang murah atau karena faktor insentif lain.
2. Habitual Buyer (Konsumen yang membeli karena kebiasaan)
63
Habitual behavior merupakan aktivitas rutin konsumen dalam membeli suatu
merek produk, meliputi proses pengambilan keputusan pembelian dan
kesukaan terhadap merek produk tersebut. Konsumen yang berada dalam
tingkatan habitual buyer dapat dikategorikan sebagai konsumen yang puas
dengan merek produk yang dikonsumsi atau setidaknya konsumen tidak
mengalami ketidakpuasan dalam mengkonsumsi merek tersebut.
3. Satisfied Buyer (Konsumen yang puas dengan pembelian yang dilakukan)
Pada tingkatan satisfied buyer, konsumen suatu merek masuk dalam
kategori puas bila konsumen mengkonsumsi merek tersebut, meskipun
demikian mungkin saja konsumen memindahkan pembelian ke merek lain
dengan menanggung switching cost (biaya peralihan) yang terkait dengan
waktu, uang atau risiko kinerja yang melekat dengan tindakan konsumen
beralih merek.
4. Liking of The Brand (Menyukai merek)
Konsumen yang masuk dalam kategori liking of the brand merupakan
konsumen yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut. Pada tingkatan
ini dijumpai perasaan emosional yang terkait pada merek. Rasa suka
konsumen bisa saja didasari oleh asosiasi yang terkait dengan simbol,
rangkaian pengalaman dalam penggunaan sebelumnya, baik yang dialami
pribadi maupun oleh kerabat ataupun disebabkan oleh perceived quality
yang tinggi. Meskipun demikian, sering kali rasa suka ini merupakan suatu
perasaan yang sulit diidentifikasi dan ditelusuri dengan cermat untuk
dikategorikan ke dalam sesuatu yang spesifik.
5. Committed buyer (Konsumen yang komit terhadap merek produk yang dibeli)
Commitment yaitu kepercayaan bahwa produk yang dikonsumsi mampu
melahirkan komunikasi dan interaksi di antara konsumen yang ada (Aaker,
1991, Herizon & Maylina, 2003). Pada tahapan loyalitas committed buyer
konsumen merupakan pelanggan setia (loyal). Konsumen memiliki suatu
64
kebanggaan sebagai pengguna suatu merek dan bahkan merek tersebut
menjadi sangat penting bagi konsumen dipandang dari segi fungsi maupun
sebagai suatu ekspresi mengenai siapa sebenarnya diri konsumen. Pada
tingkatan ini, salah satu aktualisasi loyalitas konsumen ditunjukkan oleh
tindakan merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut kepada
pihak lain.
Tiap tingkatan brand loyalty mewakili tantangan pemasaran yang berbeda dan juga
mewakili tipe asset yang berbeda dalam pengelolaan dan eksploitasinya. Tingkatan
(hirarki) brand loyalty yang disebutkan di atas, yaitu mulai dari switcher (tingkat yang
paling rendah-dengan porsi yang paling besar), habitual buyer, satisfied buyer, liking of
the brand, hingga committed buyer (tingkat paling tinggi-dengan porsi yang paling kecil)
adalah sangat sesuai bagi merek yang belum memiliki brand equity yang kuat (lihat
Gambar 3A). Sebaliknya bagi merek dengan brand equity yang kuat, maka tingkatan atau
hirarki brand loyalty dimulai dari switcher (tingkat yang paling rendah-dengan porsi yang
paling kecil), habitual buyer, satisfied buyer, liking of the brand, hingga committed buyer
(tingkat paling tinggi-dengan porsi yang paling besar) (lihat Gambar 3B).
(A)
65
(B)
Gambar 2.6
Hirarki Brand Loyalty dengan Brand Equity Lemah (A) Hirarki Brand Loyalty
dengan Brand Equity Kuat (B)
Sumber : Durianto et al. (2001, p.130)
2.1.13 Hubungan Antar Variabel
Hubungan yang ada antar variabel yang diteliti dapat dijabarkan seperti berikut
ini:
•
Hubungan Product Quality dengan Brand Awareness
Menurut Aaker (1996, p90) dalam Rangkuti (2002), brand awareness artinya
adalah kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali
bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa jika suatu perusahaan
memberikan kualitas produk yang baik kepada konsumen, maka konsumen akan
mengingat dan menyadari kehadiran produk dari merek tersebut ketika akan melakukan
pembelian ulang.
•
Hubungan Service Quality dengan Brand Awareness
Konsumen menilai tingkat kepuasan atau ketidakpuasan mereka setelah
menggunakan jasa dan menggunakan informasi ini untuk memperbaharui persepsi
mereka tentang kualitas jasa / pelayanan. Sikap terhadap kualitas tidak bergantung pada
pengalaman. Orang sering mendasarkan penilaian tentang kualitas jasa pada informasi
dari mulut ke mulut atau dari iklan perusahaan (Lovelock, 2005).
66
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa dengan memberikan service
quality yang baik dan sesuai pengharapan konsumen, konsumen secara disengaja
maupun tidak akan menyebarkan penilaiannya kepada kerabat atau orang lain (word of
mouth), dan dengan word of mouth tersebut akan tercipta brand awareness konsumen.
•
Hubungan Product Quality dengan Brand Loyalty
Menurut Kotler & Armstrong (2010) dalam Mohd Rizaimy Shaharudin, et al.
(2010, p165-175), sebuah produk yang berkualitas baik akan memberi kesenangan
kepada konsumen. Pada akhirnya, konsumen yang merasa senang akan tetap loyal dan
akan berbicara baik tentang perusahaan dan produknya kepada orang lain. Studi
menunjukkan terdapat perbedaan besar dalam loyalitas konsumen yang kurang puas,
agak puas dan puas terhadap kualitas produk. Bahkan kepuasan konsumen yang sedikit
menurun dapat mengakibatkan sebuah penurunan besar dalam loyalitas.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kuat
antara product quality yang dirasakan konsumen dengan loyalitas konsumen terhadap
merek. Dengan memberikan product quality yang baik dan sesuai dengan harapan
konsumen, perusahaan dapat menciptakan brand loyalty.
•
Hubungan Service Quality dengan Brand Loyalty
Menurut Rangkuti (2003) kualitas jasa dipengaruhi oleh dua variabel, yaitu jasa
yang dirasakan (perceived service) dan jasa yang diharapkan (expected service). Bila
jasa yang dirasakan lebih kecil daripada yang diharapkan, para konsumen menjadi tidak
tertarik pada penyedia jasa yang bersangkutan. Sedangkan bila sebaliknya jasa yang
dirasakan lebih besar daripada yang diharapkan, ada kemungkinan para konsumen akan
menggunakan penyedia jasa itu lagi.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa jika service quality yang
diberikan kepada konsumen sesuai atau bahkan lebih dari pengharapannya, maka
konsumen akan merasa puas dan terdapat kemungkinan bagi konsumen untuk
melakukan pembelian ulang. Sedangkan pembelian ulang adalah salah satu indikator dari
67
brand loyalty. Dengan kata lain, dengan menjaga service quality superior kepada
konsumen, kedepannya akan menghasilkan brand loyalty perusahaan.
•
Hubungan Brand Awareness dengan Brand Loyalty
Mohd Rizaimy Shaharudin, et al. (2010, p165-175) menyatakan bahwa dalam
meningkatkan brand loyalty yang berbasis konsumen, disarankan bahwa perusahaan
perlu menciptakan brand awareness, reputasi, image, brand extension, inovasi dan
perceived quality dari produk yang diciptakannya.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menciptakan brand
loyalty yang kuat, terdapat beberapa aspek yang perlu ditingkatkan perusahaan, salah
satunya adalah dengan menciptakan brand awareness dari suatu produk.
2.2
Kerangka Pemikiran
Dari hubungan dan teori yang telah dijabarkan di atas, maka Penulis menarik
kesimpulan dari hubungan-hubungan tersebut dalam sebuah kerangka pemikiran seperti
di bawah ini :
Product Quality (X1) :
1. Performance
2. Durability
3. Conformance to
Specifications
4. Features
5. Reliability
6. Aesthetics
7. Perceived Quality
ε1
ρyx1
ρzx1
Brand Awareness (Y) :
1. Top of Mind
2. Brand Recall
3. Brand Recognition
Service Quality (X2) :
1. Tangible
2. Reliability
3. Responsiveness
4. Assurance
5. Emphaty
ρzy
ρzx2
ρyx2
Gambar 2.7
Kerangka Pemikiran
ε2
Brand Loyalty (Z) :
1. Repurchase
2. Recommendation
68
2.3
Hipotesis
Berdasarkan permasalahan yang ada di bab 1 dan kerangka pemikiran tersebut
diatas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaruh Product Quality, Service Quality terhadap Brand
Awareness Aussy Burger?
•
Hipotesis pengujian secara simultan antara X1, X2 dan Y
Ho : Variabel product quality dan service quality tidak berkontribusi
secara simultan dan signifikan terhadap variabel brand awareness Aussy
Burger.
Ha : Variabel product quality dan service quality berkontribusi secara
simultan dan signifikan terhadap variabel brand awareness Aussy Burger.
•
Hipotesis pengujian secara individual antara X1 dan Y
Ho : Variabel product quality tidak berkontribusi secara signifikan
terhadap variabel brand awareness Aussy Burger.
Ha : Variabel product quality berkontribusi secara signifikan terhadap
variabel brand awareness Aussy Burger.
•
Hipotesis pengujian secara individual antara X2 dan Y
Ho : Variabel service quality tidak berkontribusi secara signifikan
terhadap variabel brand awareness Aussy Burger.
Ha : Variabel service quality berkontribusi secara signifikan terhadap
variabel brand awareness Aussy Burger.
2. Bagaimanakah pengaruh Product Quality, Service Quality dan Brand
Awareness terhadap Brand Loyalty Aussy Burger?
•
Hipotesis pengujian secara simultan antara X1, X2, Y dan Z
Ho : Variabel product quality, service quality dan brand awareness tidak
berkontribusi secara simultan dan signifikan terhadap variabel brand
loyalty Aussy Burger.
69
Ha : Variabel product quality, service quality dan
brand awareness
berkontribusi secara simultan dan signifikan terhadap variabel brand
loyalty Aussy Burger.
•
Hipotesis pengujian secara individual antara X1 dan Z
Ho : Variabel product quality tidak berkontribusi secara signifikan
terhadap variabel brand loyalty Aussy Burger.
Ha : Variabel product quality berkontribusi secara signifikan terhadap
variabel brand loyalty Aussy Burger.
•
Hipotesis pengujian secara individual antara X2 dan Z
Ho : Variabel service quality tidak berkontribusi secara signifikan
terhadap variabel brand loyalty Aussy Burger.
Ha : Variabel service quality berkontribusi secara signifikan terhadap
variabel brand loyalty Aussy Burger.
•
Hipotesis pengujian secara individual antara Y dan Z
Ho : Variabel brand awareness tidak berkontribusi secara signifikan
terhadap variabel brand loyalty Aussy Burger.
Ha : Variabel brand awareness berkontribusi secara signifikan terhadap
variabel brand loyalty Aussy Burger.
Download