7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Massa Komunikasi massa dapat diartikan sebagai komunikasi yang menggunakan media massa, baik secara cetak atau elektronik yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang dilembagakan yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar dibanyak tempat, anonym, dan heterogen. Komunikasi massa berasal dari istilah bahasa Inggris, mass communication, sebagai kependekan dari mass media communication. Artinya, komunikasi yang menggunakan media massa atau komunikasi yang mass mediated. Istilah mass communication atau communications diartikan sebagai salurannya, yaitu media massa (mass media) sebagai kependekan dari media of mass communication. Massa mengandung pengertian orang banyak, mereka tidak harus berada di lokasi tertentu yang sama, mereka dapat tersebar atau terpencar di berbagai lokasi, yang dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan dapat memperoleh pesan-pesan komunikasi yang sama. 1 Sedangkan definisi komunikasi massa menurut Defleur dan Dennis adalah suatu proses yang komunikator-komunikator menggunakan media untuk menyebarkan pesan-pesan secara luas, dan secara terus-menerus 1 Dennis Mcquail,Teori Komunikasi Massa.Jakarta,Airlangga, 7 8 menciptakan makna-makna yang diharapakan dapat mempengaruhi khalayak yang besar dan berbeda-beda dengan melalui berbagai cara. Komunikasi massa merupakan suatu proses komunikasi yang berlangsung pada peringkat masyarakat luas, yang identifikasinya ditentukan oleh cirri khas institusionalnya, (gabungan antara tujuan, organisasi, dan kegiatan yang sebenarnya). Proses lain yang kedudukannya hampir sama dalam pengertian ruang lingkup dan keberadaannya yang muncul dimana-mana adalah pemerintahan, pendidikan dan agama. Masingmasing memiliki jaringan institusional sendiri yang kadang kala sangat banyak berkaitan dalam proses transmisi atau tukar-menukar informasi dan gagasan. Terlepas dari itu, dewasa ini komunikasi massa lebih banyak melibatkan orang untuk waktu yang lebih banyak, meskipun intensitasnya lebih rendah karena, komunikasi tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan masyarakat (bangsa) secara keseluruhan , maka komunikasi sangat dipengaruhi oleh kebudayaan dan peristiwa sejarah. Mempelajari komunikasi massa secara menyeluruh sama halnya dengan mempelajari masyarakat secara keseluruhan. Media massa dalam cakupan komunikasi massa itu adalah surat kabar, majalah, radio, televisi dan film. Jadi media massa moderen sebagai produk teknologi yang selalu berkembang menuju kesempurnaan. 9 2.1.1 Karateristik Komunikasi Massa Komunikasi massa mempelajari tentang media massa (pers, radio, film, tv). Isinya bersifat umum atau terbuka (bukan rahasia atau bukan maslah pribadi). Sehingga mencakup baik komunikasi dengan menggunakan media massa. Dengan kata lain komunikasi massa, menekankan pada isi atau pesan dengan menggunakan media. Jadi singkatnya komunikasi massa (mass communication) adalah proses komunikasi dengan menggunakan atau melalui media massa. Jantung dari komunikasi massa adalah media. Media adalah orang atau alat yang menyebarluaskan produk budaya atau pesan yang mempengaruhi dan mereferensikan budaya masyarakat. Karakteristik Komunikasi Massa adalah sebagai berikut : 1. Komunikator terlembagakan Ciri komunikasi massa yang pertama adalah komunikatornya. Apabila media komunikasi yang digunakan alaha TV, tentu akan lebih banyak orang yang terlibat, seperti juru kamera (lebih dari satu), juru lampu, pengarah acara, bagian make up, floor manager, dll. Peralatan yang digunakan akan lebih banyak dan dana yang dikeluarkan pun akan lebih besar. 2. Pesan Bersifat Umum Komunikasi massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditujukan untuk sekelompok orang tertentu. Oleh 10 karenanya, peran komunikasi massa bersifat umum. Pesan komunikasi massa dapat berupa fakta, peristiwa atau opini. 3. Komunikannya anonym dan heterogen Komunikan pada komunikasi massa bersifat anonym dan heterogen. Pada komunikasi antarpersona, komunikator akan mengenal komunikannya, mengetahui identitasnya, seperti nama, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal bahkan mungkin mengenal sikap dan perilakunya. Sedangkan dalam komunikasi massa, komunikator tidak mengenal komunikan (anonym) karena komunikasinya menggunakan media dan tidak tatap muka. 3. Media Massa menimbulkan keserempakan Kelebihan komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya, adalah jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang dicapainya relative banyak dan tidak terbatas. Bahkan lebih dari itu, komunikan yang banyak tersebut secara serempak oada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula. 4. Komunikasi mengutamakan isi ketimbang hubungan Dalam komunikasi antarpersona yang digunakan adalah unsur hubungan. Semakin saling mengenal atar pelaku komunikasi, maka komunikasinya semakin efektif. 11 5. Komunikasi massa bersifat satu arah Karena komunikasinya melalui media, maka komunikatornya dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif menyampaikan pesan, komunikan pun aktif menerima pesan, namun dianatar keduanya tidak dapat melakukan dialog sebagaimana halnya terjadi dalam komunikasi antar persona. Dengan kata lain komunikasi massa bersifat satu arah. 6. Stimulasi alat indera terbatas Ciri komunikasi massa lainnya yang dapat dianggap salah satu kelemahannya adalah stimulasi alat indera yang terbatas. Dalam komunikasi massa, stimulasi adalah alat inedera tergantung pada jenis media massa. 2.1.2 Proses Komunikasi Massa Komunikasi didefinisikan sebagai suatu proses, misalnya seorang komunikator menyampaikan pesan berupa lambing-lambang yang mengandung arti, lewat saluran tertentu kepada komunikan. Sebagai suatu proses, komunikasi tidak mempunyai titik awal dan akhir. Proses komunikasi berlangsung dalam keadaan dinamik, berkelanjutan, berubah-ubah, on going, tanpa starting point atau stopping point. 12 Proses komunikasi adalah proses pengoperan dan penerimaan dari lambing-lambang yang mengandung arti, proses komunikasi melalui media adalah proses pengoperan dari lambing-lambang dioperkan melalui saluran-saluran yang dikenal Sebagai pers, tv, radio, telepon, dan lain-lain. Komunikasi massa sebenarnya sama seperti bentuk komunikasi yang lainnya. Komunikasi massa juga memiliki unsurunsur seperti, sumber (orang), bidang pengalaman, pesan, saluran, gangguan dan hambatan, efek, konteks, maupun umpan balik. Proses komunikasi massa memiliki unsur yang istimewa yaitu penggunaan salurannya, media dengan massa yang merupakan saluran itu dipergunakan untuk mengirim pesan yang melintasi jarak jauh dengan majalah, surat kabar, rekaman-rekaman maupun televisi. Proses komunikasi massa dapat dbahas dengan model S-MC-R-E, atau dapat megikuti formula Harold .D Laswell , “ Who says what in Which Channel to Whom and With what effect?” Dalam pembahasan ini dititk beratkan pada bagaimana media komunikasi itu mencapai dan mempengaruhi khalayaknya. Model ini mengikuti formula C-R-E. pusat perhatian kita ditunjukkan pada arus komunikasi massa dimulai dari pesan-pesan yang disampaikan melalui media massa sampai pada tanggapan atau efek pesan dari anggota-anggota massa audience.2 2 Wiryanto, Teori Komunikasi massa.Jakarta:PT.Grasindo 2000 hlm 20 13 2.1.3 Fungsi Komunikasi Massa McQuail menyatakan bahwa fungsi komunikasi massa meliputi: 1. Informasi: a. Menyediakan informasi tentang peristiwa dan kondisi dalam masyarakat dan dunia. b. Menunjukkan hubungan kekuasaan. c. Memudahkan inovasi, adaptasi, dan kemajuan 2. Korelasi: a. Menjelaskan, menafsirkan, mengomentari makna peristiwa dan informasi. b. Menunjang otoritas dan norma-norma yang mapan. c. Melakukan sosialisasi. d. Mengkoordinasi beberapa kegiatan. Membentuk kesepakatan. e. Menentukan urutan prioritas dan memberikan status relatif. 3. Kesinambungan: a. Mengepresikan budaya dominan dan mengakui keberadaan kebudayaan khusus (subculture) serta perkembangan budaya baru. b. Meningkatkan dan melestarikan nilai-nilai. 14 4. Hiburan: a.Menyediakan hiburan, pengalihan perhatian, dan sarana relaksasi. b. Meredakan ketegangan sosial. 5. Mobilisasi: Mengkampanyekan tujuan masyarakat dalam bidang politik, perang, pembangunan ekonomi, pekerjaan, dan kadang kala juga dalam bidang agama. Schramm pada dasarnya tidak berbeda dengan Harold D. Laswell yang menyebutkan fungsi-fungsi komunikasi massa sebagai berikut : a. Surveillance of the environment Fungsinya sebagai pengamatan lingkungan, yang oleh Schramm disebut sebagai decoder yang menjalankan fungsi The Watcher. b. Correlation of the parts of society in responding to the environment Fungsinya menghubungkan bagian-bagian dari masyarakat esuai dengan lingkungan. Schramm menamakan fungsi ini sebagai interpreter yang melakukan the Forum. c. Transmission of the social heritage from one generation to the next. 15 Fungsinya penerusan atau pewarisan sosial dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Schramm menamakan fungsi ini sebagai encoder yang menjalankan fungsi the teacher.3 2.2. Media Massa Media massa adalah chanel,media,saluran,sarana,atau alat yang dipergunakan dalam proses komunikasi massa,yakni komunikasi yang diarahkan kepada orang banyak.Komunikasi massa sendiri merupakan kependekan dari komunikasi melalui media massa,adapun yang termasuk media massa terutama adalah surat kabar,majalah,radio,televisi,dan film juga internet. 2.2.1. Internet Sebagai Media Massa Jika diamati dari segi konten, internet tidak hanya berisi informasi, tetapi juga hiburan. Isi informasi yang disampaikan oleh internet tidak terbatas oleh ruang dan waktu seperti halnya pada koran atau televisi. Masyarakat yang mendapatkan informasi dari internet dapat memberikan feedback secara langsung. Saat ini pun kita mengenal istilah citizen journalism, yakni aktivitas jurnalistik yang dilakukan orang yang bukan seorang jurnalis. Citizen journalism saat ini bukan lagi fenomena baru karena dengan semakin 3 Wiryanto, Teori Komunikasi massa.Jakarta:PT.Grasindo.2000 hlm 10-11 16 pesatnya kemajuan teknologi, terutama internet, sudah semakin memudahkan setiap orang menjadi citizen journalist 2.3. Fungsi Sosial Media Massa Dasar pertimbangan dilakukannya reformasi hukum pers ada lima, yang dapat dilihat dibagian Konsiderans menimbang dalam undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers yakni; pertama, kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehinggga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 harus dijamin. Kedua, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai hati nurani dan hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan kehidupan bangsa. Ketiga, pers nasional sebagai wahan komunikasi massa, penyebar informasi dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan perannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dann perlindungan hukum,seta bebas dalam campur tangan dan paksaan dari manapun. Keempat, karena pers nasional ikut berperan menjaga ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 17 Kelima, karena UUP sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Selain kelima dasar pertimbangan diatas, dalam penjelasan umum UUP disebutkan enam pokok pikiran yang dirumuskan dalam membentuk UUP/40/1999, UUD 1945 maka perlu dibentuk UUP. Kedua, adanya keyakinan bahwa dalam kehidupan yang pertanggungjawaban kepada rakyat terjamin, sistem demokratis itu penyelenggaraan negara yang transparan berfungsi, serta keadilan dan kebenaran terwujud. Ketiga, dipahami bahwa pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan hak asasi manusia (HAM) yang dijamin dengan ketetapan (TAP) Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) No. XVII/MPR/1998 tentang HAM. Keempat, diyakini bahwa pers juga melaksanakan kontrol sosial yang sangat penting pula untuk mencegah terjadinya penyalah gunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), maupun penyelewangan dan penyimpangan lainnya. Kelima, dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang. Oleh karena itu dituntut pers profesional dan terbuka serta dikontrol oleh masyarakat. Keenam, untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, UUP itu sengaja tidak mengaturketentuan yang sudah diatur dalam peraturan prundang-undangan lainnya. Dasar hukum selain yang disebutkan diatas, dikenal pula Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang telah 18 disepakati dan ditanda tangani oleh 26 organisasi wartawan diseluruh indonesia.4 Sedangkan menurut Dennis McQuail ada 5 fungsi media dalam masyarakat : 1. Informasi: menyediakan informasi tentang peristiwa dan kondisi dalam masyarakat. 2. Korelasi: menjelaskan, menafsirkan, mengomentari makana peristiwa dan informasi. 3. Kesinambungan: mengekspresikan budaya dominan dan mengakui keberadaan kebudayaan khusus (subculture) serta perkembangan kebudayaan baru. 4. Hiburan: menyediakan hiburan, pengalihan perhatian, dan sarana relaksasi. 5. Mobilisasi: mengkampanyakan tujuan masyarakat dalambidang politik, perang, pembangunan ekonomi, pekerjaan, dan kadang kala juga dalam bidang agama.5 2.4. Berita Menurut Mitchel V. Chamley, berita adalah laporan tercepat dari suatu peristiwa atau kejadian yang faktual, penting, dan menarik bagi sebagian besar pembaca, serta menyangkut kepentingan mereka.6 4 R.A. Sastropoetro, Santoso.Komunikasi Internasiona:Bandung. hlm 157-158 Mcquail, Dennis, Teori Komunikasi Massa. Jakarta :erlangga1996. Hlm 72-73 6 M. Romli, Asep Syamsul, 2000 Jurnalistik Praktis Untuk Pemula.Bandung:PT. Remaja Rosdakarya.hlm 2 5 19 Seorang pembuat berita harus menjaga objektifitas dalam pemberitaannya. Artinya, penulis harus menyiarkan berita apa adanya. Jika materi berita itu berasal dari dua belah pihak yang berlawanan, harus dijaga keseimbangan informasi dari kedua belah pihak tersebut.7 Berita adalah apa yang membuat surat kabar dibeli orang yang menaikkan penilaian khalayak terhadap siaran berita. Dengan demikian, berita menurut Nimmo, adalah apa yang dikatakan, dilakuakan, dan dijual wartawan dalam kerangka pembatasan institusional, ekonomi, teknologi, sosial, dan psikologis. Berita bukanlah produk tetap, melainkan proses pembuatan.8 Setiap hari surat kabar memuat berbagai macam berita untuk memenuhi naluri ingi tahu dari para pembacanya. Pemenuhan naluri ingin tahu ini perlu bagi pembaca untuk membentunya mewujudkan falsafah hidup dan konsepsi kebahagiaannya. Semakin banyak berita yang dimuat suatu surat kabar yang perlu bagi seseorang, semakin berguna surat kabar tersebut bagi orang yang bersangkutan.9 Berita pada dasarnya dibentuk lewat proses aktif dari pembuat berita. Peristiwa yang kompleks dan tidak beraturan disederhanakan dan dibuat bermakna oleh pembuat berita. Semua proses tersebut melibatkan proses lewat skema interpretasi dari pembuat berita. 7 Totok ,Djuaroto, Manajemen Penerbitan Pers, Remaja Rosdakarya: Bandung 2000 hlm 48 Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media Remaja Rosdakarya, bandung, 1989 hlm 215 9 Hoeta ,Soehoet ,Dasar-dasar Jurnalistik.Jakarta :2003 hlm 23 8 20 Menurut Fishman dalam Eriyanto, peristiwa adalah sebuah fenomena yang diorganisasikan dalam pikiran, ucapan, dan tindakan. Karena itu peristiwa yang kompleks tersebut diinterpretasikan dalam skema pembuatan berita.10 Berita dalam pandangan Fishman, bukanlah refleksi atau distorsi dari realitas yang berada diluar sana. Tititk perhatian tentu saja bukan apakah berita merefleksikan realitas, atau apakah berita merupakan distorsi atas realitas. Apakah berita sesuai dengan kenyataan ataukah bias terhadap kenyataan yang digambarkannya. Kenapa? Karena tidak ada relitas dalam arti riil yang berada di luar diri wartawan. Kalaupun berita itu merefleksikan sesuatu maka refleksi itu adalah praktik pekerja dalam organisasi yang memproduksi berita. Berita adalah apa yang pembuat berita buat.11 Sebuah fakta atau kejadian tidak dapat begitu saja menjadi berita, melainkan memiliki ketentuan untuk menjadi berita yaitu, berita yang memiliki nilai berita, nlai berita menurut Baskette, sissors & Brooks, 1982, Dennis & Ismach, 1981 adalah : a. Prominence/importence : Pentingnya suatu berita diukur dari dampaknya; bagaimana dia mempengruhi anda. Korban yang meninggal lebih penting dari kerusakan benda. b. Human Interest : Sesuatu yang menarik perhatian orang seperti berita mengenai selebritis, gosip, politik, dan drama yang menceritakan kehidupan manusia. 10 11 Eriyanto, Opcit hlm 91 Ibid hlm 100 21 c. Conflict/controversy : Konflik biasanya lebih menarik dari pada keharmonisan. d. The Unusual : sesuatu yang tidak biasa atau unik umumnya menarik, misalnya berita mengenai wanita yang melahirkan anak kembar lima merupakan berita yang bernilai karena tidak biasa. e. Timelines : Berita adalah tepat waktu, artinya unsur kecepatan menyampaikan berita sesuai waktu atau aktual merupakan hal yang penting, melewati maka berita tersebut bisa disebut sebagai berita yang sudah basi atau kadaluarsa. f. Proximity : Kegiatan yang terjadi dekat kita dinilai mempunyai nilai berita yang lebih tinggi. Misalnya gempa bumi di jakarta dan menimbulkan korban jiwa jelas akan lebih berniali berita bagi publik indonesia ketimbang kasus “mad cow” di luar negeri, walaupun samasama menjadi bahan berita bagi media massa. 12 Nilai berita tersebut menyediakan standar dan ukuran bagi wartawan sebagai kriteria dalam praktik kerja jurnalistik. Pendek kata, nilai berita itu tidak hanya menjadi ukuran dan standar kerja, melainkan juga telah menjadi ideologi dari kerja sama wartawan, nilai berita memperkuat dan membenarkan wartawan kenapa peristiwa tersebut diliput sedangkan yang lain tidak.13 Ada semacam standar atau nilai yang dipakai oleh wartawan atau media untuk melihat realitas. Nilai atau ukuran tersebut tidaklah bersifat 12 Seto ,Indiwan. Dasar-dasar Jurnalistik : wacana jurnal ilmiah ilmu kmunikasi fakultas ilmu komnikasi universiatas Moestopo (beragama). 13 Ibid hlm 105 22 personal, tetapi dihayati secara bersama-sama oleh komunitas wartawan. Selain nilai berita, hal prinsip lain dalam proses produksi berita adalah apa yang disebut sebagai kategori berita. Secara umum, seperti dicatat Tuchman, wartawan memakai lima kategori berita :14 1. Hard news : berita mengenai peristiwa yang terjadi saat itu. Kategori berita ini sangat dibatasi oleh waktu dan aktualitas. Semakin cepat diberitakan akan semakin baik .bahkan ukuran keberhasilan dari kategori berita adalah dari sudut kecepatannya diberitakan. Kategori berita ini dipakai untuk melihat apakah informasi itu diberikan kepada khalayak dan sejauh mana informasi tersebut cepat diterima oleh khalayak. 2. Soft news : kategori berita ini berhubungan dengan kisah manusiawi (human interest). Kalau dalam hard news, peristiwa yang diberitakan adalah peristiwa yang terjadi saat itu dan dibatasi oleh waktu, maka soft news tidak demikian. Jenis berita ini dapat diberitakan kapan saja. Karena yang menjadi ukuran dalam kategori berita ini bukanlah informasi dan kecepatan ketika diterima oleh khalayak, melainkan apakah informasi yang disajikan kepada khalayak tersebut menyentuh emosi dan perasaan khalayak. 3. Spot news : kategori berita ini adalah sub klarifikasi dari berita yang berkategori hard news. Dalam spot news, peristiwa yang akan diliput tidak dapat direncanakan. 14 Ibid hlm 108 23 4. Developing news : jenis berita ini adalah sub klarifikasi lain dari hard news. Baik spot news maupun developing news umumnya berhubungan dengan peristiwa yang tidak terduga. Tetapi dalam developing news dimasukkan elemen lain, peristiwa yang diberitakan adalah bagian dari rangkaian berita yang akan diteruskan keesokan atau dalam berita selanjutnya. 5. Continuing news : kategori berita ini adalah subklarifikasi dari hard news. Dalam continuing news peristiwa-peristiwa bisa diprediksikan dan direncanakan. Perdebatan memeng terjadi antara satu pendapat dengan pendapat yang lain, tetapi tetap masuk dalam tema dan bidang yang sama. Menurut Tuchman, jenis berita tersebut dibedakan berdasarkan jenis peristiwanya. Wartawan memakai kategori berita tersebut untuk menggambarkan peristiwa yang akan digunakan sebagai berita.15 2.5. Efek Rumah Kaca Efek Rumah Kaca dapat diartikan sebagai fenomena gelombang pendek radiasi matahari menembus atmosfer dan berubah menjadi gelombang panjang ketika mencapai permukaan bumi,Efek Rumah Kaca itu sendiri terjadi karena naiknya konsentrasi gas CO2,berbagai jenis pembakaran gas di permukaan bumi yang melampaui kemampuan bumi 15 Ibid hlm 111. 24 untuk mengabsorpsinya merupakan penyebab terjadinya suhu panas yang ekstrim dan iklim yang ekstrim. 2.6. Teori Agenda Setting Dalam buku “Ilmu, Teori & Filsafat Komunikasi” karangan Prof. Drs. Onong Uchjana Effendy, M.A. dijelaskan teori agenda setting untuk pertama kali ditampilkan pertama kali oleh McCombs dan D.L. Shaw dalam Public Opinion Quarterly terbitan tahun 1972, berjudul “The Agenda- Setting Function of Mass Media”. Kedua pakar tersebut mengatakan bahwa “jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting”. 16 McCombs dan Shaw menemukan bahwa ada tingkat korelasiyang tinggi antara penekanan berita dan bagaimana berita itu dinilai tingkatannya oleh para pemilih pada pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 1968. disimpulkan bahwa meningkatnya nilai penting suatu topik pada media massa menyebabkan meningkatnya nilai penting topik tersebut pada khalayak. Study selanjutnya yang dilakuakan oleh McCombs dan Shaw menunjukkan bahwa meski suarat kabar dan televisi sama-sama mempengaruhi agenda politik pada khalayak, ternyata surat kabar pada umumnya lebih efektif dalam menata agenda ketimbang televisi.17 16 17 Uchjana, Onong, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi.Citra Aditya bakti:Bandung 2003 hlm 287 Jalaludin ,Rachmat, Psikologi Komunikasi.Remaja Rosdakarya .bandung:2001 hlm 229 25 Dalam hal ini internet memiliki karakteristik penyampaian berita yang cenderung sama dengan surat kabar. Informasi berupa gambar dan tulisan serta dapat dibaca berulang-ulang, maka teori agenda setting cukup tepat diterapkan dalam media massa internet. Tetapi David H. Heaver dalam karyanya yang berjudul “Media Agenda Setting And Media Manipulation” pada tahun 1981 mengatakan bahwa pers sebagai media komunikasi massa tidak merefleksikan kenyataan, melainkan menyaring dan membentuknya sebagai sebuah kaleidoskop yang menyaring dan membentuk cahaya (the press does not reflect reality, but rather filters and shapes it, much as a caleidoscope filters and shapes it).18 Dalam hubungannya dengan gerakan kampanye dan pemilihan presiden di Amerika Serikat pada tahun 1976 itu, berita surat kabar dan televisi tidak hanya sekedar merefleksikan hal-hal, peristiwa-peristiwa, dan argumen-ergumen yang di kampanyekan, melainkan menyeleksi dan membentuknya menjadi memiliki nilai berita (news value) dan hanya sedikit saja yang tidak bernilai berita. Dalam hal itu para calon dalam oemilihan umum beserta kualitas citranya dalam pemberitaan diberi penekanan sehingga lebih menonjol bagi para pemilih ketimbang mereka yang tidak diberi penekanan. 18 Uchjana, Onong, opcit hlm 287 26 Dalam kaitannya dengan agenda setting, Alexis S. Tan selanjutnya menyimpulkan bahwa media massa mempengaruhi kognisi politik dalam dua cara yaitu : 1> Media secara efektif menginformasikan peristiwa politik kepada khalayak. 2> Media mempengaruhi persepsi khalayak mengenai pentingnya masalah politik.19 2.7. Konstruksi Realitas Media Fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi. 20 Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektifitas wartawan. Relitas tercipta oleh konstruksi, sudut pandang tertentu dari wartawan. Di sini tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena relitas tersebut terbentuk oleh konstruksi dan pandangan tertentu. Realiatas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami olah wartawan yang mempunyai pandangan berbeda. Dalam konsepsi positivis diandaikan ada relitas yang bersifat “eksternal” yang ada dan hadir sebelum wartawan meliputnya. Jadi, ada relitas bersifat objektif, atau dengan kata lain wartawan mengangkat fakta apa adanya tanpa adanya pengaruh dan subjektifitasnya. Fakta atau realitas bukanlah sesuatu yang tinggal ambil, ada, dan menjadi bahan berita. Fakta 19 20 Ibid hlm 288 Erianto,Analisis Framing, konstruksi ideologi dan politik media.yogyakarta :2002 hlm 19 27 atau relitas pada dasarnya di konstruksi. Manusia membentuk dunianya sendiri, James Carey dalam bukunya “Communication as Culture” mengatakan relitas realitas bukanlah sesuatu yang terberi, seakan-akan ada, realitas sebaiknya diproduksi.21 Realitas dalam sebuah media tidak seperti yang kita bayangkan, penuh dengan kejujuran, fakta yang akurat dan apa adanya. Tetapi realitas tersebut telah dikonstruksi sedemikian rupa agar terlihat riil, dan tanpa kita sadari kita begitu mudah menerima realitas yang memang sengaja di produksi untuk kepentingan tertentu. Media massa merupakan lembaga penyebar informasi atas fakta yang ada di tengah masyarakat. Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonstruksi realitas. Isi media adalah hasil para pekerja mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya. 22 Disebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksi (constructed reality). Menurut Tuchman, pembuatan berita di media pada dasarnya tak lebih dari penyusunan realitas-reaitas hingga membentuk sebuah cerita.23 Isi medi pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Sedangkan bahasa bukan saja sebagai alat mempresentasikan realitas, namun juga menentukan relief seperti apa 21 Ibid hlm 20 Alex ,Sobur, Analisis Teks Media: suatu pengantar.PT Remaja Rosdakarya.bandung :2002 hlm 88 23 Ibid hlm 88 22 28 yang akan diciptakan oleh bahasa tentang relitas tersebut. Oleh karena itu sering kita jumpai isi berita yang buruk bisa dibungkus dengan bahasa yang manis sehingga tampak samar-samar dan menyenangkan. Akibatnya, media massa mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksinya. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan yang bias dan pemihakannya. Seperti yang dipandang Tong Bannett, media adalah agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas sesuai dengan keinginannya.24 Pandangan seperti ini menolak argumen yang menyatakan media seolah-olah media sebagai tempat saluran bebas. Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya menunjukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri. Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan. Apa yang tersaji dalam berita, dan kita baca tiap hari, adalah produk dari pembentukan realitas media. Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak. 25 Istilah konstruksi realitas menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Derger dan Thomas Luckmann, melalui bukunya “The Social Construction of Rality”. A Treatise in the Sociological of Knowledge. Dalam buku tersebut mereka menggambarkan proses sosial melalui 24 25 Eriyanto, Analisis Framing, Opcit 2002 hlm 23 Ibid hlm 23 29 tindakan dan interaksinya, dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Mereka berhasil menunjukkan bagaimana posisi-posisi teoritis Webber dan Durkheim dapat digabungkan menjadi suatu teori yang komprehensif tentang tindakan sosial tanpa kehilangan logika intinya. 26 Realitas sosial yang dimaksud oleh Berger dan Luckman ini terdiri dari realitas objektif, realitas simbolik dan realitas subjektif. Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar diri individu, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolik merupakan ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik ke dalam individu melalui proses internalisasi.27 Berger dan Luckmann menjelaskan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman “kenyataan” mengartikan realitas sebagai dan “pengetahuan”. Mereka kualitas yang terdapat di dalam realitas- realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung pada kehendak kita sendiri. Sementara, pengetahuan diartikan sebagai kepastian bahwa relitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik secara spesifik.28 26 Alex ,Sobur, opcit hlm 91 Burhan ,Bungun Imaji Media Massa. Konstruksi Dan Makna Realitas Sosial Iklan TV DalamMasyarakat Kapitalistik.Yogyakarta:2001 hlm 13 28 Alex, Sobur.Op Cit hlm 91 27 30 Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif, namun pada kenyataannya semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subjektif yang sama. Pada tingkatan generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolik yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupan.29 Menurut Berger dan Luckmann, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Konstruksi sosial dalam pandangan mereka, tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan. Jadi sebenarnya yang dimaksud oleh Berger dan Luckmann adalah terjadinya dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Dialektika ini terjadi melalui tiga tahap peristiwa : a. Eksternalisasi Usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar manusia. Ia akan selalu mencurahkan diri dimana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia 29 Ibid hlm 91 31 luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia, dengan kata lain, manusia menemukan dunianya sendiri dalam suatu dunia. b. Objektivitas Hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. c. Internalisasi Berlangsung di dalam kehidupan masyarakat secara simultan dengan cara membentuk pengetahuan masyarakat.30 Berger dan Luckmann seperti dikutip oleh Burhan Bugin, menyatakan bahwa pengetahuan dalam masyarakat yang dimaksud adalah realitas sosial masyarakat. Realitas sosial tersebut adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial.31 Menurut pandangan konstruksionis berita bukanlah representasi dari realitas. Berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaidah baku jurnalistik. Semua proses konstruksi (mulai dari memilih fakta, sumber, pemakaian kata, gambar, sampai penyuntingan) memeberi andil bagaimana realitas tersebut hadir di hadapan khalayak.32 Jika selama ini kita menilai bahwa berita adalah informasi sebagai representasi kenyataan, maka sekarang kita telah 30 Burhan, Bugin Op Cit hlm 6 Ibid .hlm 6 32 Eriyanto, Analisis Framing.2002 Op Cit hlm 26 31 32 mengetahui bahwa berita merupakan potret dari arena pertarungan dari berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Berita merupakan hasil konstruksi sosial dimana selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilainilai dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai.33 Pemaknaan seseorang atas realitas bisa berbeda dengan orang lain, yang tentunya menghasilkan realitas yang berbeda pula. Maka, tidak heran bila ada peristiwa yang sama disajikan secara berbeda oleh wartawan dalam beberapa media. Hal ini karena wartawan juga merupakan agen konstruksionis atau aktor pembentuk realitas. Wartawan bukanlah pemulung yang mengambil fakta begitu saja. Karena dalam kenyataannya, tidak ada realitas yang bersifat eksternal dan objektif, yang berada di luar diri wartawan. Realitas bukanlah sesuatu yang “berada di luar” yang objektif, yang benar, yang seakan-akan ada sebelum diliput oleh wartawan.34 Sebaliknya, realitas itu dibentuk dan diproduksi tergantung pada bagaimana proses konstruksi berlangsung. Realitas sebaliknya bersifat subjektif, tergantung dari cara pandang seorang wartawan terhadap suatu peristiwa. Media sesungguhnya memainkan peran khusus dalam mempengaruhi budaya tertentu melalui penyebaran informasi. Peran media sangat penting karena menampilkan sebuah cara dalam memandang realita. 33 34 Ibid hlm 25-26 Eriyanto Analisis Framing Op Cit hlm 30 33 Dengan demikian jelas bahwa media tidaklah bisa dianggap berwajah netral dalam memberikan jasa informasi dan hiburan kepada khalayak pembaca. Sejauh ini ada 3 macam konstruksivisne media, yaitu : 1. Konstruksivisme radikal Hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran manusia, kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan pengetahuan dan kenyataan sebagai hubungan suatu kriteria antara kebenaran. Pengetahuan bagi kaum konstruktivisme radikal tidak merefleksikan suatu realitas ontologi objektif, namun sebagai sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. 2. Realisme hipotesis Dalam pandangan realisme hipotesis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan hakiki. 3. Konstruktivisme biasa Mengambil semua konskuensi konstruktivisme dan memahami pengetahuan sebagai gambaran dari realitas itu. Kemudian pengetahuan dipandang individu sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari realitas objek dalam dirinya sendiri.35 Media massa, termasuk pers didalamnya merupakan cerminan realitas, karena pers pada dasarnya merupakan media massa yang menekankan fungsinya sebagai sarana informasi dan pemberitahuan. Isi pers 35 Paul, Suparno.Filasafat Konstuktivisme dalam Pendidikan.Yogyakarta.Kanisius:1997 hlm 27 34 yang utama adalah berita, dan berita adalah bagian dari realitas sosial yang dimuat oleh media, karena memiliki nilai yang layak untuk disebarkan kepada masyarakat. Media massa merupakan sarana manusia untuk memahami realitas, untuk itu media massa diharapkan senantiasa dituntut memberikan informasi yang sesuai dengan realitas dan kenyataan yang benar-benar terjadi dalam liputan dan pemberitaannya. Hal tersebut menjadi penting agar pemahaman realitas yang ada dalam benak masyarakat tidak menjadi bias dikarenakan informasi yang disebarkan oleh media massa tidak sesuai dengan realitas yang ada. Dalam dunia jurnalistik kebenaran tidak dapat ditentukan oleh satu pihak, melainkan harus dikonfirmasi menurut kebenaran pihak lain, sebagai salah satu syarat objektivitas berita atau yang lebih di kenal dengan sebutan cover both side, pemberitaan yang dilakukan dengan mencari informasi dari dua sisi yang berbeda. 2.8. Representasi Realitas Melalui Media Menurut Denzin dan Lincoln, representasi selalu merupakan interpretasi pribadi. Oleh karena itu, dalam merepresentasikan seseorang/kelompok tentunya sesuai dengan apa yang diinginkan peneliti untuk ditampilkan ke dalam teks. Seseorang/kelompok yang ingin 35 ditampilkan kedalam sebuah teks merupakan versi dari interpretasi peneliti.36 Menurut Stuart Hall (1997) : representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut “pengalaman berbagi”. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jka manusiamanusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kodekode kebudayaan yang sama, berbicara dalam bahasa yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama. Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa bekerja, kita bisa memakai tiga teori representasi yang dipakai usaha untuk menjawab pertanyaan : dari mana suatu makna berasal? Atau bagaimana kita membedakan antara makna yang sebenarnya dari sesuatu atau suatu imej dari sesuatu? Yang pertama adalah pendekatan reflektif. Di sini bahasa berfungsi sebagai cermin, yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Kedua adalah pendekatan intensional, dimana kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Sedangkan yang ketiga adalah pendekatan konstruksionis. Dalam pendekatan ini kita percaya bahwa kita mengkonstruksi makna lewat bahas yang kita pakai.37 36 K,Norman, Denzin dan Yvonna S. Lincoln .Handbook Of Qualitative ResearchCalifornia, 1994.hlm 503 37 Ibid 36 Konsep representasi sering digunakan untuk menjelaskan kaitan antara teks media (berita) dan realitas, dalam hal ini mengenai pemberitaan Efek rumah kaca. Menurut Noviani, representasi adalah sebuah tanda untuk sesuatu atau seseorang, sebuah tanda yang tidak sama sengan realitas yang dipresentasikan tapi dihubungkan dengan, dan mendasarkan pada relitas yang menjadi referensinya.38 Menurut pandangan konstruktivis, pemberitaan yang dilakukan media massa tidak dapat bebas dari subjektivitas seorang wartawan dan kepentingan media massa di dalam memaknai realitas, sehingga mempengaruhi representasi relaitas yang dihadirkan terhadap sebuah persoalan. Representasi sendiri menunjukkan pada bagaimana seseorang, suatu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan.39 Menurut Eriyanto, representasi penting dalam dua hal. Pertama apakah seseorang, suatu kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya. Kedua, representasi itu ditampilkan dengan kata, kalimat, aksentuasi, dan bantuan foto macam apa seseorang, kelompok atau gagasan tertentu ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak. 40 Persoalan utama dalam representasi adalah bagaimana pemberitaan ditampilkan. Menurut John Fiske, saat menampilkan objek peristiwa, gagasan, kelompok atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang dihadapi oleh wartawan, antara lain : 38 Ratna, Noviani . Jalan Tengah Memahami Iklan. pustaka pelajar :Yogyakarta 2002.hlm 61 Eriyanto, Op Cit hlm 113 40 Ibid hlm 113 39 37 1. adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas oleh wartawan media. 2. ketika memandang sesuatu sebagai realitas, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana realitas itu digambarkan. Disini kita menggunakan perangkat secara teknis. Dalam bahas tulis, alat teknis itu adalah kata, kalimat, atau proposisi, grafik dan sebagainya. 3. bagaimana peristiwa tersebut diorganisir kedalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana representasi dihubungkan dengan kelas sosial atau kepercayaan dominan.41 Dari pengertian diatas dikaitkan dengan judul, bagaimana media merepresentasikan isu Efek rumah kaca sebagai objek dalam sebuah pemberitaan. Seperti yang kita ketahui, media massa manapun di dalam pemberitaannya sangat dipengaruhi oleh kepentingan yang berada disekitar media media tersebut, serta selera media tersebut di dalam menilai sebuah persoalan, sehingga representasi pemberitaan mengenai issue Efek rumah kaca di media massa selalu berbeda antara satu media dengan media lainnya. Sebenarnya masalah representasi dan misinterpretasi pemberitaan merupakan peristiwa kebahasaan. Bagaimana seseorang ditampilkan dengan tidak baik, biasa terjadi pertama-tama dengan menggunakan bahasa.42 41 42 Ibid hlm 114 Ibid hlm 116 38 Melalui bahasalah berbagai tindak misinterpretasi ditampilkan oleh media massa dan dihadirkan dalam pemberitaan. Oleh karena itu, yang kita perlu kritisi disini adalah pemakaian bahasa yang perlu ditampilkan oleh media massa. Proses ini mau tidak mau sangat berhubungan dengan pemakaian bahasa dalam menuliskan realitas untuk dibaca oleh khalayak. Bahasa bukan hanya mencerminkan realitas, tetapi juga dapat menciptakan realitas.43 Jessica Murray, mengatakan bahwa bahasa adalah kesatuan konseptual yang kuat sebagai pengantar prasangka sosial dalam bahasa membentuk pikiran kita tentang suatu hal.44 Ketika bahasa digunakan oleh media massa maka ia memiliki tanggung jawab yang lebih besar karena ketersebaran yang luas dan kesengatannya yang rutin dalam menanamkan stereotype atau prasangka tertentu. Terdapat dua proses besar yang dilakukan media di dalam memaknai realitas, yaitu memilih fakta dan menulis fakta. Aspek memilih fakta tidak lepas dari bagaimana fakta itu dipahami oleh media. Proses pemilihan fakta hendaknya tidak dipahami sebagai bagian dari teknis jurnalistik, tetapi juga praktek representasi. Sedangkan “menulis fakta, proses ini tidak mau sangat berhubungan dengan pemakaian bahasa dalam menulis realita untuk dibaca oleh khalayak”.45 43 Ibid hlm 29 Idi ,Subandi, Ibrahim .Wanita dan Media : konstruksi ideology gender dalam ruang public OrdeBaru Remaja Rosdakarya, Bandung 1998 hlm 217 45 Eriyanto Op Cit hlm 116 44 39 Dalam representasi, sangat mungkin terjadi misrepresentasi; ketidak benaran penggambaran, kesalahan penggambaran. Seseorang, suatu kelompok, suatu pendapat, sebuah gagasan yang tidak ditampilkan sebagaimana mestinya atau adanya, tetapi digambarkan secara buruk. Paling tidak ada empat hal misrepresentasi yang mungkin terjadi dalam pemberitaan.46 1. Ekskomunikasi Berhubungan dengan bagaimana seseorang atau kelompok dikeluarkan dari pembicaraan publik. Disini mispresentasi terjadi karena seseorang atau suatu kelompok tidak diperkenankan untuk berbicara. Ia tidak dianggap, dianggap lain, bukan bagian dari kita. Karena tidak dianggap sebagai bagian dari partisipasi publik, maka penggambaran hanya terjadi pada pihak kita. Tidak ada kebutuhan untuk mendengarkan pihak lain. Dua konsekwensi dari ekskomunikasi; pertama, pihak lain ditampilkan melalui perspektifnya sendiri, dan akan dapat dilihat bagaiman media massa melakuka strategi wacana di dalam pemberitaannya. Kedua, yaitu terjadi penggambaran pihak lain dalam kerangka kepentingan pihak kita. 2. Eksklusi. Berhubungan dengan bagaimana seseorang dikucilkan dalam pembicaraan. Mereka dibicarakan dan diajak bicara, tetapi mereka 46 Ibid hlm 121 40 dipandang lain, mereka buruk dan mereka bukan kita. Di sini ada suatu sikap yang diwakili oleh wacana yang menyatakan bahwa kita baik, sementara mereka buruk. 3. Marjinalisasi Marjinalisasi adalah misrepresentasi yang berbeda dengan eksklusi dan pengucilan. Dalam marjinalisasi terjadi penggambaran buruk kepada pihak lain atau kelompok lain namun disini tidak terjadi pemilihan pihak kita dan pihak mereka. Terdapat empat praktik marjinalisasi oleh media yang berkaitan dengan penggunaan bahasa. Pertama, penghalusan makna (eufemisme), penghalusan bahasa dapat menjadi masalah ketika dipakai untuk menamai suatu realitas yang buruk, sehingga sebuah relitas yang buruk dapat berubah menjadi halus. Dan akibatnya khalayak tidak dapat melihat realitas yang sesungguhnya. Eufemisme banyak digunakan untuk menyebut tindakan kelompok dominan, dalam banyak hal sering kali menipu rakyat bawah. Misalnya pemindahan pedagang pasar oleh aparat sering dikatakan “relokasi”, padahal realitas sesungguhnya adalah meskipun benar ada pemindahan namun tempat yang baru jauh dari tengah kota dan konsumen. Kedua, pemakaian bahasa pengkasaran (disfemisme), yaitu penggunaan disfemisme mengakibatkan realitas menjadi kasar. Disfemisme sebaliknnya, biasa digunakan untuk menyebut tindakan masyarakat bawah. 41 Misalnya pemberitaan mengenai sengketa tanah petani. Media menyebut tindakan petani sebagai “penyerobot” atau “pencaplokan”. Yang akibatnya penyebutan itu akan menggambarkan tindakan petani yang kasar. Ketiga, labelisasi merupakan perangkat bahasa yang digunakan oleh mereka kelas atas untuk menundukkan lawan-lawan. Misalnya kasus sengketa tanah tadi, kalangan atas menyebut petani penggarap liar, penjarah, atau labelisasi yang dapat menguntungkan kepentingan mereka. Keempat, stereotype adalah praktik representasi yang menggambarkan sesuatu dengan penuh prasangka, konotasi yang negatif, dan bersifat subjektif 4. Delegitimasi Delegitimasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok dianggap tidak absah. Legitimasi berhubungan dengan pertanyaan apakah seseorang merasa absah, merasa benar dan mempunya dasar pembenaran tertentu ketika melakukan suatu tindakan. Praktik delegitimasi menekankan bahwa hanya kelompok sendiri yang benar sedangkan kelompok lain tidak benar, tidak layak, dan tidak absah. Dengan cara antara lain umumnya dilakukan dengan otoritas dari seseorang, apakah itu intelektual, ahli tertentu, atau pejabat. Otoritas itu menekankan bahwa hanya mereka yang layak berbicara. 42 2.9. Framing Media Massa Analisis framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaiman realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media. Pembingkaian tersebut tentu saja melalui proses konstruksi. Disini realitas sosial dimaknai dan dikonstruksi dengan makna tertentu. Peristiwa dipahami dengan bentukan tertentu. Hasilnya, pemberitaan media pada sisi tertentu atau wawancara dengan orang-orang tertentu. Dan juga dalam analisis framing, yang kita lakukan pertama adalah melihat bagaimana media mengkonstruksi realitas. Peristiwa dipahami bukan sesuatu yang taken for granted. Sebaliknya, wartawan dan medialah yang secara aktif membentuk realitas. Sebagai sebuah metode analisis teks, analisis framing mempunya karakteristik yang berbeda dibandingkan analisis isi kuantitatif, yang ditekankan adalah isi (content) dari suatu pesan atau teks komunikasi. Sementara dalam analisis framing, yang menjadi pusat perhatian adalah pembentukan pesan dari teks. Framing, terutama melihat bagaimana pesan atau peristiwa dikonstruksi oleh media. Bagaimana wartawan mengkonstruksi peristiwa dan menyajikannya kepada khalayak pembaca. Jadi, kalau ada realitas berupa berita mengenai issue pemanasan global, maka realitas tersebut haruslah dipahami sebagai hasil konstruksi. Realitas tercipta dalam konsepsi wartawan. Berbagai hal yang terjadi, fakta, orang, diabstraksikan menjadi peristiwa yang kemudian hadir dihadapan khalayak. Jadi, dalam penelitian framing, yang menjadi titik persoalan 43 adalah bagaimana realitas atau peristiwa dikonstruksi oleh media. Lebih spesifik, bagaiman media membingkai peristiwa dalam konstruksi tertentu. Sehingga yang menjadi titik perhatian bukan apakah media memberitakan negatif atau positif, melainkan bagaiman bingkai yang dikembangkan oleh media. 2.10. AnalisisFraming Analisisframing yang paling mendasar adalah realitas sosial yang kompleks, penuh dimensi dan tidak beraturan disajikan dalam berita sebagai sesuatu yang sederhana, beraturan, dan memenuhi logika tertentu. Framing menyadiakan alat bagaimana peristiwa dibentuk dan dikemas dalam kategori yang dikenal khalayak . karena media melihat peristiwa dari kaca mata tertentu maka, realitas setelah dilihat oleh khalayak adalah realitas yang sudah terbentuk oleh bingkai media. Tabel 2.10.1 AnalisisFraming Mendefinisikan realitas tertentu Melupakan definisi lain atas realitas Penonjolan aspek tertentu Pengaburan aspek lain Penyajian sisi tertentu Penghilangan sisi lain Pemilihan fakta tertentu Pengabaian fakta lain47 47 Eriyanto opcit hlm 141 44 Framing berkaitan dengan opini publik. Isu tertentu ketika dikemas dengan bingkai tertentu bisa mengakibatkan pemahaman khalayak yang berbeda atas suatu issue. Framing atau issue umumnya banyak dipakai dalam literatur gerakan sosial. Dalam suatu gerakan sosial, ada strategi bagaimana supaya khalayak mempunyai pandangan yang sama atas suatu issue. Hanya dengan itu, khalayak bisa digerakkan dan dimobilisasi. Sekarang ini, dengan semakin tingginya mobilitas serta aktifitas khalayak, pembaca media terkena apa yang disebut “headline syndrome”. Pembaca seperti ini adalah jenis pembaca yang lebih suka menelusuri juduljudul berita ketimbang membaca berita secara keseluruhan. Akibatnya jelas, pembaca menafsirkan berita hanya dengan membaca judul beritanya saja. 48 Persoalan akan timbul jika judul beri disajiakan secara sensasional dan tidak menggambarkan isi berita. Kalau ini terjadi, akan terbentuk penafsiran yang salah dari khalayak pembaca terhadap realitas yang diberitakan media. Framing menentukan bagaimana peristiwa didefinisikan. Framing juga menentukan apakah peristiwa dianggap sebagai masalah sosial (social problem) atau tidak. Ketika peristiwa dilihat sebagai masalah sosial dan didefinisikan sebagai masalah bersama, maka perhatian publik akan berubah menjadi lebih besar. Ini adalah mekanisme yang digunakan untuk mengarahkan perhatian khalayak bagaimana seharusnya peristiwa dilihat. Proses pendefinisian tersebut menunjukkan bahwa masalah yang muncul 48 Sobur opcit hlm 168 45 bukan masalah dalam bentuk objektif, namun sudah dikonstruksi sedemikian rupa melalui sebuah proses selektif yaitu pembentukan realitas. Melihat peristiwa dengan realitas tertentu, secara tidak langsung memberikan pembenaran dan legitimasi pada sisi tertentu dari peristiwa atau aktor tertentu yang terlibat dalam peristiwa.49 Khalayak mengetahui peristiwa sosial dari pemberitaan media, karena itu bagaimana media membingkai realitas tertentu berpengaruh pada bagaimana individu menafsirkan peristiwa tersebut. 2.11. Framing Menurut Robert N. Entman Robert N. Entman lebih lanjut mendefinisikan framing sebagai seleksi dari berbagai aspek realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu teks komunikasi. Dalam banyak hal itu berarti menyajikan secara khusus definisi terhadap masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral, dan tawaran penyelesaian sebagaimana masalah tiu digambarkan.50 Dari definisi Entman tersebut framing pada dasarnya merujuk pada pemberian definisi, penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan. Wartawan memutuskan apa yang akan ia beritakan, apa yang diliput, dan apa yang harus dibuang, apa yang ditonjolkan dan apa yang harus disembunyikan kepada khalayak. 49 50 Eriyanto, opcit hlm 148 Nugroho, Bimo,Eriyanto, Surdiasis, Frans.opcit hlm 20 46 Entman melihat framing dalam dua dimensi besar, yaitu seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas atas isu tersebut. Penonjolan adalah proses membuat informasi menjadi lebih bermakna, lebih menarik, berarti atau layak diingat oleh khalayak. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas. Dalam prakteknya, framing dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain, dan menonjolkan aspek dari isu tersebut dengan menggunakan berbagai strategi wacana. Penempatan yang mencolok (menempatkan di headline, depan atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dan lain-lain. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat khalayak. Tabel 2.11.1 Peringkat Analisis framing model Robert N. Entman Define problem Bagaimana suatu peristiwa atau isu (pendefinisian masalah) dilihat? Sebagai apa? Atau sebagai masalah apa? Diagnose cause Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh (memperkirakan masalah atau sumber apa? Apa yang dianggap sebagai 47 masalah) penyebab dari suatu masalah? Siapa (aktor) yang dianggap sebagai penyebab masalah? Make moral judgement Nilai moral apa yang disajikan untuk (membuat keputusan moral) menjelaskan masalah? Nilai moral apa yang dipakai untuk meligitimasi atau mendelegitimasikan suatu tindakan? Treatment recommendation Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk (menekankan penyelesaian) mengatasi masalah atau isu? Jalan apa yang ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasi masalah? Tabel 2.11.2 Dimensi Besar Analisis Framing Robert N. Entman Seleksi isu Aspek ini berhubungan dengan pemilihan fakta. Dari realitas yang kompleks dan beragam itu, aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan? Dari proses ini selalu terkandung di dalamnya ada bagian berita yang dimasukkan (included), tetapi ada juga berita yang dikeluarkan 48 (excluded). Tidak semua aspek atau bagian isu ditampilkan, wartawan memilih aspek tertentu dari suatu isu. Penonjolan aspek tertentu dari Aspek ini berhubungan dengan penulisan fakta. isu Ketika aspek tertentu dari suatu peristiwa atau isu tersebut telah dipilih, bagaimana aspek tersebut ditulis? Hal ini sangat berkaitan dengan pemakaian kata, kalimat, gambar, dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak.51 Konsepsi mengenai framing dari Entman menggambarkan secara luas bagaimana suatu peristiwa dimaknai dan ditandai oleh wartawan. Define problems (pendefinisian masalah) adalah elemen yang pertama kali dapat kita lihat mengenai framing. Elemen ini merupakan master frame atau bingkai yang paling utama. ia menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan. Perstiwa yang sama dapat dipahami secara berbeda dan bingkai yang berbeda akan menyebabkan realitas bentukan yang berbeda.52 Diagnose causes (memperkirakan penyebab masalah) merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa. Penyebab dalam hal ini bisa berarti apa (what), tetapi bisa juga berarti siapa (who). Bagaimana peristiwa dipahami tentu saja 51 52 McQuail, Dennis, Teori Komunikasi Massa, Erlangga.Jakarta:1996. Eriyanto, opcit hlm 189 49 menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah. Karena itu, masalah yang dipahami secara berbeda, secara tidak langsung penyebab masalahnya akan dipahami secara berbeda pula. Pendefinisian sumber masalah ini menyertakan secara lebih luas siapa yang dianggap sebagai pelaku dan siapa yang dianggap sebagai korban. Make moral judgement (membuat penilaian moral) adalah elemen framing yang dipakai untuk membenarkan atau memberi argumentasi pada pendefinisian maslah yang sudah dibuat. Ketika masalah sudah didefinisikan, penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut. Gagasan yang dikutip berhubungan dengan sesuatu yang familiar dan dikenal oleh khalayak. Elemen framing lain adalah treatment recommendation (menekankan penyelesaian). Elemen ini dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah. Penyelesaian itu tentu saja sangat tergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang akan ditonjolkan dan dihilangkan, dan hendak dibawa kemana berita tersebut kelak.