BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Amanat hak atas pendidikan bagi penyandang ketunaan ditetapkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 32 disebutkan bahwa: “Pendidikan khusus (pendidikan luar biasa) merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosioinal, mental, sosial” (UU Sisdiknas, 2003: 21). Ketetapan dalam Undang-undang tersebut bagi anak penyandang kelainan sangat berarti karena memberi landasan yang kuat bahwa anak berkelainan perlu memperoleh kesempatan yang sama sebagaimana yang diberikan kepada anak normal lainnya dalam hal pendidikan dan pengajaran. Memberikan kesempatan yang sama kepada anak berkelainan untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran, berarti memperkecil kesenjangan angka partisipasi pendidikan anak normal dengan anak berkelainan. Untuk bisa memberikan layanan pendidikan yang relevan dengan kebutuhannya, guru perlu memahami sosok anak berkelainan, jenis dan karakteristik, etiologi penyebab kelainan, dampak psikologis serta prinsip-prinsip layanan pendidikan anak berkelainan. Hal ini dimaksudkan agar guru memiliki wawasan yang tepat tentang keberadaan anak berkelainan, dalam hal ini anak tunarungu sebagai sosok individu masih berpotensi dapat terlayani secara maksimal. Anak tunarungu secara medis dikatakan, jika dalam mekanisme pendengaran karena suatu atau lain sebab, terdapat satu atau lebih organ mengalami gangguan. Akibatnya organ tersebut tidak mampu menjelaskan fungsinya untuk menghantarkan dan mempersepsi rangsang suara yang ditangkap. Secara pedagogis, seorang anak dapat diketegorikan berkelainan indra pendengaran atau tunarungu, jika dampak dari disfungsinya organ-organ yang berfungsi sebagai penghantar dan persepsi pendengaran mengakibatkan ia tidak mampu mengikuti program pendidikan anak normal sehingga memerlukan layanan pendidikan khusus untuk meniti tugas perkembangannya (Efendi, 2006: 6). 1 2 Perkembangan anak tunarungu salah satunya adalah perkembangan dalam mengikuti pelajaran matematika yang diselenggarakan sekolah yang diharapkan anak tunarungu tidak ketinggalan dengan anak normal pada umumnya, sehingga anak tunarungu dapat menyelesaikan program pendidikan yang telah direncanakan. Pelaksanaan proses belajar mengajar yang fungsional dan efektif merupakan salah satu aspek dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Dalam pelaksanaan tersebut, terjadi interaksi antara guru dalam keberadaannya untuk mengajar dan siswa dalam keberadaannya untuk belajar. Mengajar dalam hal ini, tentulah dengan menggunakan media tertentu sebagai salah satu komponen dalam mencapai tujuan pembelajaran, yang dalam pelaksanaannya tidaklah terlepas dari jenis pendekatan yang dilaksanakan. Oleh karena itu, peranan yang sangat menentukan dari penggunaan suatu media pengajaran yang disertai jenis pendekatan tertentu, memerlukan media pengajaran yang serasi dan jenis pendekatan yang tepat. Karakteristik pembelajaran matematika tidak terlepas dari tujuan pendidikan matematika secara umum, yaitu memberikan kesempatan dan pengalaman kepada siswa untuk meningkatkan kompetensinya sehingga siswa dapat menghargai matematika, mempunyai keyakinan akan kemampuan matematikanya, mampu memecahkan masalah, mampu menggunakan matematika sebagai alat komunikasi, dan belajar bernalar atau berargumentasi. Sehingga dalam proses belajar mengajar perlu disadari bahwa selain pembelajaran harus berawal dari apa yang diketahui siswa dan menarik bagi siswa, pembelajaran matematika perlu menekankan pada pemahaman konsep. Untuk itu pembelajaran hendaknya juga menitikberatkan pada peningkatan pemahaman terhadap berbagai masalah yang berkaitan dengan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari suatu materi pelajaran. Menurut buku standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan: memahami 3 konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efesien, dan tepat dalam pemecahan masalah. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan dan masalah. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Berkaitan dengan pembelajaran matematika, agar pembelajaran tersebut lebih terarah, terstruktur dan terpadu, maka peranan guru sangat penting. Seorang guru harus memperhatikan cara penyampaian materi pelajaran matematika agar materi yang disampaikannya mudah diterima dan benar-benar tertanam pada benak siswa. Berbagai media pengajaran atau pendekatan pengajaran matematika, baik yang merupakan penemuan baru maupun yang merupakan perkembangan dari media-media yang telah ada, hendaknya dapat meningkatkan kinerja akademik siswa. Anak tunarungu dalam belajar banyak mengalami kesulitan bila dibanding anak normal pada umumnya, baik yang berkaitan dengan tambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Untuk mempermudah belajar matematika bagi anak tunarungu maka diperlukan strategi guru dalam mengajar agar anak tunarungu tidak ketinggalan dan bahkan memiliki kemampuan berhitung yang lebih baik dibandingkan dengan anak normal pada umummya. Jhonson yang dikutip Wijaya dan Rusyan (2002:8) menjelaskan bahwa “kemampuan merupakan perilaku rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan.” Menurut Depdiknas (2007: 1) berhitung merupakan bagian dari matematika diperlukan untuk menumbuhkembangkan keterampilan berhitung yang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama konsep bilangan 4 yang merupakan juga dasar bagi perkembangan kemampuan matematika bagi siswa kelas dasar di SLB. Adanya hambatan di atas, maka dibutuhkan berbagai upaya dengan memanfaakan berbagai alternatif model pembelajaran yang tepat. Salah satu yang dapat diterapkan bagi anak tunarungu adalah melalui media realia. Media pembelajaran yang dipilih diharapkan mempertimbangkan kemudahan bagi siswa dalam menangkap materi yang disampaikan oleh guru sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan sesuai dengan kaidah yang berlaku. Hal tersebut hendaknya melibatkan dunia nyata sebagai suatu konteks belajar bagi siswa. Dengan demikian, penyajian suatu masalah yang autentik dan bermakna akan dapat memberikan kemudahan kepada siswa untuk melakukan penyelidikan dan penemuan. Terutama untuk guru mata pelajaran matematika diharapkan lebih mempertimbangkan hal-hal berikut ini: pengetahuan awal siswa, karakteristik penyampaian materi, sarana dan prasarana yang akan digunakan dalam pembelajaran tersebut. Media pembelajaran realia merupakan salah satu media pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan prestasi belajar matematika siswa tunarungu. Kemungkinan-kemungkinan tersebut didasarkan pada sifat atau karakteristik media realia itu sendiri. Media realia menampakkan wujudnya dalam bentuk belajar yang menekankan pada kehidupan yang nyata. Media realia bertitik tolak pada kehidupan sehari-hari. Situasi semacam ini sangat diperlukan karena anak tunarungu sering merasa lebih mudah belajar berdasarkan pada situasi yang konkret dari pada yang abstrak terutama dalam bidang-bidang akademik, sehingga dapat membantu siswa dalam mencapai tujuan pembelajarannya. Aisyah (2007: 7-14) mengemukakan bahwa pendekatan matematika realistik (Realistic Mathematics Education) memandang matematika sebagai kegiatan manusia dan harus dikaitkan dengan realitas yaitu matematika harus dekat dan relevan dengan kehidupan siswa sehari-hari. Pembelajaran matematika realistik adalah pembelajaran matematika yang berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematize of everyday experience) dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari (everydaying mathematics), sehingga 5 siswa belajar dengan bermakna (Susianto, 2007: 2) Melalui penggunaan media realia siswa dapat menerapkan pembelajaran matematika dalam kehidupan seharihari dan pembelajaran lebih bermakna sehingga hasil belajar matematika siswatunarungu dapat meningkat. Berbagai paparan di atas menjadi latar belakang penulisan PTK yang dilakukan oleh penulis dengan judul “Peningkatan Kemampuan Menghitung Luas Dua Bangun Datar Sederhana Melalui Penggunaan Media Realia Dalam Pembelajaran Matematika Bagi Siswa Tunarungu Kelas VI SLB ABC Giri Wiyata Darma Wonogiri Tahun Pelajaran 20014/2015.” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis paparkan di atas, rumusan masalah dalam skripsi ini adalah: “Apakah penggunaan media realia dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan kemampuan menghitung luas dua bangun datar sederhana bagi siswa tunarungu kelas VI SLB ABC Giri Wiyata Dharma Wonogiri tahun pelajaran 20014/2015?.” C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan menghitung luas dua bangun datar sederhana melalui penggunaan media realia dalam pembelajaran matematika bagi siswa tunarungu kelas VI SLB ABC Giri Wiyata Dharma Wonogiri tahun pelajaran 20014/2015. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi Siswa a. Siswa menjadi memiliki minat dan motivasi untuk belajar matematika karena siswa mendapat kemudahan dalam memahami materi yang bersifat abstrak dan di berikan gambaran yang lebih realistik. 6 b. Siswa akan mendapatkan sajian materi yang mudah diterima dan mudah diingat. 2. Bagi Guru a. Guru dapat memilih media pembelajaran yang tepat bagi mata pelajaran matematika. b. Sebagai dorongan untuk meningkatkan keterampilan dalam memilih dan mengkreasikan media pembelajaran yang tepat dan dapat memperbaiki sistem pembelajaran sehingga dapat memberikan layanan yang terbaik bagi siswa. 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori Tentang Anak Tunarungu 1. Pengertian Anak Tunarungu Pengertian tunarungu menurut Purwanto (1998: 56) adalah istilah umum yang menyatakan ketidakmampuan mendengar yang rentangnya mulai dari ringan hingga berat, meliputi tuli dan susah mendengar (heard of hearing). Menurut Somantri (2005: 94), “tunarungu adalah mereka yang kehilangan pendengaran baik sebagian (hard of hearing) maupun seluruhnya (deaf) yang menyebabkan pendengarannya tidak memiliki nilai fungsional di dalam kehidupan sehari-hari “ Pendapat lain yaitu oleh Suparno (2001: 9) yang mendefinisikan “secara paedagogis tunarungu dapat diartikan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan seseorang dalam mendapatkan informasi secara lisan, sehingga membutuhkan bimbingan dan pelayanan khusus dalam belajarnya di sekolah.” Pengertian itu lebih menekankan pada upaya pengembangan potensi penyandang tunarungu secara optimal dan bertanggungjawab dalam hidupnya sehari hari. Pengertian anak tunarungu menurut Efendi (2006:57) sebagai berikut: Anak tunarungu adalah anak yang dalam proses mendengar terdapat satu atau lebih organ telinga mengalami gangguan atau kerusakan disebabkan penyakit, kecelakaan, atau sebab lain yang tidak diketahui sehingga organ tersebut tidak dapat menjalakan fungsinya dengan baik. Santoso (2010: 129) memberikan pengertian: Anak tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran permanan maupun temporer (tidak permanen). Menurut Geniofam (2010:20) menyatakan bahwa: “penderita tunarungu adalah mereka yang memiliki hambatan perkembangan indra pendengar”. Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya. 6 8 Ditambahkan lagi bahwa anak tunarungu adalah yang kehilangan pendengaran baik sebagian (hard of hearing) maupun seluruhnya (deaf) yang menyebabkan pendengaran tidak memiliki nilai fungsional dalam kehidupan sehari-hari sehingga pengalaman dari alam sekitar diperoleh dari indera penglihatan (Sumantri, 1996:74). Kesimpulan dari beberapa pengertian di atas, bahwa anak tunarungu kehilangan sebagian pendengaran atau seluruh pendengarannya sehingga mengalami kesulitan dalam berkomunikasi yang akhirnya mengakibatkan hambatan dalam perkembangannya, pendengaran tidak memiliki nilai fungsional dalam kehidupan sehari-hari sehingga pengalaman dari alam sekitar diperoleh dari indera penglihatan, sehingga anak tunarungu memerlukan bantuan atau pendidikan secara khusus. 2. Klasifikasi Tunarungu Menurut Herawati (2007: 56) tunarungu dapat diklasifikasikan berdasarkan empat hal yaitu tingkat kehilangan pendengaran secara anatomis, serta etiologi. a. Berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran dapat diklasifikasikan menjadi: 1) Tunarungu ringan (mild hearing loss) Siswa yang tergolong tunarungu ringan mengalami kehilangan pendengaran antara 27-40 dB. Ia sulit mendengar suara yang jauh sehingga membutuhkan tempat duduk yang letaknya strategis. 2) Tunarungu sedang (moderate hearing loss) Siswa yang tergolong tunarungu sedang mengalami kehilangan antara 41-55 dB. Ia dapat mengerti percakapan dari jarak 3-5 feet secara berhadapan (face to fase). 3) Tunarungu agak berat (moderately severe hearing loss) Siswa yang tergolong tunarungu agak berat mengalami kehilangan pendengaran antara 56-70 dB. Ia hanya dapat mendengar suara dari jarak dekat sehingga ia perlu menggunakan hearing aid. 9 4) Tunarungu berat (severe hearing loss ) Siswa yang tergolong tunarungu berat mengalami kehilangan pendengaran antara 71-90 dB, sehingga ia hanya dapat mendengar suarasuara yang keras dari jarak dekat. 5) Tunarungu berat (severe hearing loss) Siswa yang tergolong tunarungu berat sekali mengalami kehilangan pendengaran lebih dari 90 dB. Ia lebih menyadari suara melalui getaran (vibrations) dari pada melalui pola suara. b. Berdasarkan saat terjadinya, ketunarunguan diklasifikasikan menjadi dua yaitu : 1) Ketunurunguan prabahasa (prelingual deafness), yaitu kehilangan pendengaran yang terjadi sebelum kemampuan bicara dan bahasa berkembang. 2) Ketunarunguan pascabahasa (post lingual deafness), yaitu kehilangan pendengaran yang terjadi beberapa tahun setelah kemampuan bicara dan bahasa berkembang. c. Berdasarkan letak gangguan pendengaran secara anatomis,diklasifikasikan menjadi : 1) Tunarungu tipe konduktif, yaitu kehilangan pendengaran yang disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada telinga bagian luar dan tengah yang berfungsi sebagai alat konduksi atau penghantar getaran suara menuju telinga bagian dalam. 2) Tunarungu tipe sensorineural, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada telinga dalam serta saraf pendengaran (nervus chochlearis). 3) Tunarungu tipe campuran yang merupakan gabungan tipe konduktif dan sensorieural, artinya kerusakan terjadi pada telinga luar/tengah dengan telinga dalam/saraf pendengaran. 10 d. Berdasarkan etiologi atau asal usulnya ketunarunguan diklasifikasikan sebagai berikut : 1) Tunarungu endogen, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh faktor genetik (keturunan). 2) Tunarungu eksogen, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh faktor nongenetik (bukan turunan). Menurut Santoso (2010: 129), tunarungu diklasifikasikan berdasarkan tingkat pendengaran sangat ringan (27-40 dB), gangguan pendengaran ringan (41-55 dB), gangguan pendengaran sedang (56-70 dB), gangguan pendengaran berat (71-90 dB), dan gangguan pendengaran ekstrem/tuli (di atas 91 dB). Anak tunarungu wicara terdiri dari beberapa klasifikasi menurut tingkat ketunaan yang dimiliki anak tersebut. Menurut Boothroyd yang dikutip Winarsih, dkk. (2010: 7) klasifikasi ketunarunguan didasarkan pada : Kelompok I : Kehilangan 15-30 dB, mild hearing losses atau ketunarunguan ringan; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia normal. Kelompok II : Kehilangan 31-60 dB, moderate hearing losses atau ketunarunguan atau ketunarunguan sedang; daya tangkap terhadap suara percakapan manusia hanya sebagaian. Kelompok III : Kehilangan 61-90 dB: severe hearing losses atau ketunarunguan berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada. Kelompok IV : Kehilangan 91-120 dB: profound hearing losses atau ketunarunguan sangat berat; daya tangkap terhadap suara percakapan manusia tidak ada sama sekali. Kelompok V : Kehilangan lebih dari 120 dB : total hearing losses atau ketunarunguan total; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali. Klasifikasi ketunarunguan berdasarkan atas tingkat gangguan pendengaran, waktu terjadinya ketunarunguan dan tempat terjadinya kerusakan pendengaran sehingga menunjukkan bahwa semakin besar jumlah kehilangan pendengaran maka semakin parah atau semakin buruk kemampuan berbicara dan makin sulit berkomunikasi. 11 Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi, ketunarunguan dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori (Somad dan Tarsidi, 2008: 2), yaitu: a. Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB (desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan. b. Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB. Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan tanpa memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid). c. Ketunarunguan berat (severe hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB. Mereka sedikit memahami percakapan pembicara bila memperhatikan wajah pembicara dengan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak mungkin dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar. d. Ketunarunguan parah (profound hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB atau lebih keras. Percakapan normal tidak mungkin baginya, ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu, sangat bergantung pada komunikasi visual Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa secara fisiologi anak yang tersebut di atas mengalami gangguan pada indera pendengaran yang bervariasi antara 27 dB – 40 dB dikatakan sangat ringan, 41 dB – 55 dB dikatakan ringan, 56 dB – 70 dB dikatakan sedang, 71dB – 90 dB dikatakan berat, dan 91 ke atas dikatakan tuli. Gangguan ini diterjemahkan sebagai organ yang tidak normal atau tidak lengkap, bisa juga organnya normal atau lengkap namun mengalami kerusakan sehingga sebagai akibat berikutnya perkembangannya terganggu. 12 3. Penyebab Ketunarunguan Secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar pada umumnya, sebab orang akan mengetahui bahwa anak menyandang ketunarunguan pada saat berbicara, mereka berbicara tanpa suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau bahkan tidak berbicara sama sekali, mereka hanya berisyarat Menurut Somantri (2005: 99) ada beberpa sebab ketunarunguan, antara lain pada saat sebelum dilahirkan (prenatal), saat dilahirkan(natal) dan setelah dilahirkan (post natal) yang dapat dijelaskansebagai berikut : a. Pada saat sebelum dilahirkan (prenatal) 1) Salah satu atau kedua orang tua anak menderita tunarungu atau mempunyai gen sel pembawa sifat abnormal, misalnya dominasi genes, recesive gen. 2) Karena penyakit, sewaktu ibu mengandung terserang suatu penyakit, terutama penyakit-penyakit yang diderita pada saat kehamilan tri semester pertama yaitu pada saat pembentukan ruang telinga, penyakit itu ialah rubella moribili. 3) Karena keracunan obat-obatan pada suatu kehamilan, ibu meminum obat-obatan terlalu banyak, ibu seorang pecandu alkohol, atau ibu tidak menghendaki kehadiran anaknya sehingga ia meminum obat penggugur kandungan, hal ini dapat menyebabkan ketunarunguan pada anak yang dilahirkan. b. Pada saat kelahiran (pre natal) 1) Sewaktu melahirkan ibu mengalami kesulitan sehingga persalinan dibantu dengan penyedotan (tang). 2) Premutaritas, yakni bayi yang lahir sebelum waktunya. c. Pada saat setelah kelahiran (post natal) 1) Ketulian yang terjadi karena infeksi, misalnya infeksi pada otak (meningitis) atau infeksi umum seperti difteri,morbili. 2) Pemakaian obat-obatan ototoksi pada anak-anak. 13 3) Karena kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan alat pendengaran bagian dalam, misalnya jatuh. Menurut Somad dan Hernawati (2004: 33) penyebab ketunarunguan dapat dikelompokkan sebagai berikut: a. Faktor dari dalam diri anak. 1) Salah satu orang tua atau keluarga yang mengalami kelainan tunarungu. 2) Kerusakan plasenta yang mempengaruhi perkembangan janin karena keracunan pada saat ibu mengandung. 3) Penyakit Rubella yang menyerang janin ibu pada masa kandungan tiga bulan pertama. b. Faktor dari luar diri anak. 1) Faktor dari kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan alat pendengaran telinga bagian dalam, tengah maupun luar. 2) Meningitis atau radang selaput otak. 3) Otitis media, adalah radang pada telinga bagian tengah, sehingga menimbulkan nanah. 4) Terjadinya infeksi pada saat anak dilahirkan. Menurut Gnana (2009: 3), gangguan pendengaran sensorineural pada anak tunarungu dapat disebabkan oleh: 1) injury; 2) excessive noise exposure; 3) viral infections (such as measler or mumps; 4) ototixic drugs (medications that damage hearing); 5) meningitis; 6) diabetes; 7) stroke; 8) high fever; 9) meniere’s disease; 10) acoustic tumors; and 11) heredity. Artinya: 1) cidera; 2) paparan kebisingan yang berlebihan; 3) infeksi virus (seperti campak atau gondok); 4) ototodic obat (obat-obatan yang merusak pendengaran); 5) radang selaput; 6) diabetes; 7) pukulan; 8) demam tinggi; 9) meniere penyakit; 10) akustik tumor; dan 11) keturunan. Menurut Moores yang dikutip Efendi (2006: 32) adalah sebagai berikut: a) Ketunarunguan sebelum lahir (prenatal). 1) Hereditas atau keturunan. 14 2) Cacar jerman atau rubella. 3) Taxoemia. b) Ketunarunguan saat lahir (neo natal) 1) Lahir prematur. 2) Rhesus faktor. 3) Tang verlossing. c) Ketunarunguan setelah lahir (post natal). 1) Penyakit meningitis. 2) Infeksi. 3) Otitis media kronis. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab ketunarunguan antara lain sebelum lahir salah satunya faktor genetik, saat lahir salah satunya adalah prematur, dan setelah kelahiran salah satunya adalah faktor trauma fisik. Selain itu faktor dari dalam anak dan faktor dari luar diri anak menjadi faktor juga dapat menjadi penyebab ketunarunguan. 4. Karakteristik Anak Tunarungu Ketidakmampuan anak tunarungu dalam berbicara, muncul pendapat umum yang berkembang, bahwa anak tunarungu ialah anak yang hanya tidak mampu mendengar sehingga tidak dapat berkomunikasi secara lisan dengan orang dengar. Karena pendapat itulah ketunarunguan dianggap ketunaan yang paling ringan dan kurang mengundang simpati, dibanding dengan ketunaan yang berat dan dapat mengakibatkan keterasingan dalam kehidupan seharihari. Menurut Somantri (2005: 97) karakteristik anak tunarungu dalam atau rata-rata, akan tetapi karena perkembangan intelegansi sangat dipengaruhi oleh perkembangan bahasa, maka anak tunarungu akan menampakan intelegensi yang rendah disebabkan oleh kesulitan memahami bahasa. Anak tunarungu akan mempunyai prestasi lebih rendah jika dibandingkan dengan anak normal atau mendengar untuk materi pelajaran yang diverbalisasikan misalnya dalam 15 perumusan pengertian, menarik kesimpulan dan meramalkan kejadian.Aspek intelegensi yang bersumber pada penglihatan dan yang berupa motorik tidak banyak mengalami hambatan, bahkan dapat berkembang dengan cepat. Menurut Sadjaah, dkk (2005: 103-114) karakteristik anak tunarungu adalah sebagai berikut : a. Mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa/bicaranya sebagai akibat kerusakan alat pendengaran. b. Sulit memahami kata-kata abstrak. c. Sulit menguasai irama dan gaya bahasa. d. Memiliki intelegensi yang lebih rendah dibandingkan anak normal pendengaranya. e. Perkembangan motorik anak tunarungu umumnya berkembang baik. f. Cenderung menarik diri dari lingkungannya. Menurut Suparno (2001: 14-16), karakteristik anak tunarungu dalam segi bahasa dan bicara adalah sebagai berikut : a. Anak tunarungu miskin kosakata. b. Anak tunarungu mengalami kesulitan dalam kesulitan dalam mengartikan ungkapan bahasa yang mengandung arti kiasan dan kata-kata abstrak c. Anak tunarungu kurangmengusi irama. d. Anak tunarungu sulit memahami kalimat-kalimat yang kompleks atau kalimat-kalimat yang panjang serta bentuk-bentuk kiasan. Menurut Cruickshank yang dikutip Efendi (2006:79), “anak tunarungu seringkali memperlihatkan keterlambatan dalam belajar dan kadang-kadang tampak terbelakang.” Kondisi anak tunarungu tidak hanya disebabkan oleh derajat gangguan pendengaran yang dialami oleh anak, melainkan juga tergantung kepada potensi kecerdaan yang dimilikinya; rangsangan mental serta dorongan dan lingkungan sekitar dapat memberikan kesempatan bagi anak tuanrungu untuk mengembangkan kecerdasannya. Karakteristik dari segi bahasa dan bicara, kemampuan berbicara dan bahasa anak tunarungu berbeda dengan anak yang mendengar, hal ini disebabkan perkembangan bahasa erat kaitannya dengan kemampuan mendengar. Perkembangan bahasa dan bicara pada anak tunarungu sampai masa meraban tidak mengalami hambatan karena meraban merupakan 16 kegiatan alami pernafasan dan pita suara. Pada akhir masa meraban mulai terjadi perbedaan perkembangan bahasa antara anak tunarungu dan anak-anak normal. Anak-anak pada umumnya merasakan adanya kenikmatan dalam meraban karena dapat mendengarkan adanya suara yang keluar dari mulutnya, sedangkan pada anak tunarungu hal-hal tersebut tidak dapat dilakukan karena adanya hambatan pendengaran. Perkembangan bahasa anak tunarungu umumnya terhenti pada tahap meraban. Setelah masa meraban, pola perkembangan bahasa anak tunarungu adalah masa meniru. Pada masa meniru anak tunarungu terbatas pada peniruan yang sifatnya visual yaitu gerak dan isyarat. Perkembangan bicara selanjutnya pada anak tunarungu memerlukan pembinaan secara khusus dan intensif, sesuai dengan taraf ketunarunguan dan kemampuan-kemampuan yang lain. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu memiliki keterbatasan dalam hal perkembangan bahasa dan bicaranya, kesulitan memahami kata atau kalimat abstrak namun dari sega intelegensi adalah sama dengan anak normal pada umumnya. Anak tunarungu mengalami masalah pada hal yang bersifat abstrak, sehingga perlu adanya pembelajaran yang sesuai agar anak mudah menangkap materi yang disampaikan oleh guru disekolah. 5. Dampak Anak Tunarungu Akibat ketunarunguan akan memberikan dampak terhadap perkembangan penyandang tunarungu. Menurut Alimin (2012: 99-102), tunarungu akan memberikan dampak pada: ”a) Dampak Tunarungu terhadap Perkembangan Motorik; b) Dampak Tunarungu terhadap Perkembangan Perseptual; c) Dampak Tunarungu terhadap Perkembangan Fungsi Kognitif”. a. Dampak Tunarungu terhadap Perkembangan Motorik Anak tunarungu yang tidak memiliki kecacatan lain dapat mencapai tugas-tugas perkembangan motorik (early major motor milestones), seperti duduk, merangkak, berdiri dengan tanpa bantuan, dan 17 berjalan sama seperti yang terjadi pada anak yang mendengar. Anak tunarungu memiliki kesulitan dalam hal kesimbangan dan koordinasi gerak umum, dalam menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan kecepatan serta gerakan-gerakan yang kompleks (Ittyerah & Sharma dalam Alimin, 2012: 9). Jika dibandingkan dengan anak-anak yang mendengar, anak tunarungu pada usia 6-10 tidak begitu terampil dalam melakukan gerakan koordinasi dinamik, seperti misalnya berjalan mundur-maju pada papan yang sempit, loncat dan lompat. Anak tunarungu juga tidak begitu terampil dalam koordinsi visual motorik seperti dalam merenda tali sepatu pada papan yang diberi lubang. b. Dampak Tunarungu terhadap Perkembangan Perseptual Anak tunarungu merupakan contoh ideal untuk mengetes hipotesis tentang kompensasi sensori (sensory-compensation), idenya adalah bahwa kehilangan salah satu pengindaraan dapat dikompensasikan kepada pengindaraan lain yang masih ada dengan cara meningkatkan sensori yang masih ada. Penelitian Savelsberg (1991) yang dikutip dalam Alimin (2012: 100), menunjukkan bahwa ketika tersedia isyarat penglihatan dan pendengaran, anak yang mendengar memberi respon lebih cepat dan lebih akurat dari pada anak tunarungu. Diduga karena signal auditori menyediakan informasi tambahan yang tidak terdapat secara visual. Secara khusus terdapat sebuah bukti bahwa anak tunarungu yang belajar isyarat ternyata dapat meningkatkan kemampuan visual. Bellugi (1990) yang dikutip Alimin (2012: 100), menemukan bahwa anak tunarungu yang diperkenalkan kepada isyarat, lebih baik dalam mengenal apa yang sedang dihadapai di bawah pencahayaan dan kondisi orientasi ruang yang berbeda-beda, dibandingkan dengan tunarungu yang tidak diperkenalkan kepada isyarat. Kompensasi perseptual tidak terjasi secara otomatis, tetapi harus melalui latihan-latihan yang intensif. Tampaknya tidak ada bukti yang dapat dijadikan alasan untuk menerima hipotesis kompensasi sensoris (sensory compensation- 18 hypotesis). Akan tetapi terdapat bukti yang cukup untuk menjelaskan bahwa ketunarunguan dapat mempengaruhi persepsi, sebagai konsekuensi dari tidak bisa mendengar dan hasil belajar bahasa isyarat sebagai hasil belajar bahasa yang bersifat visual-spatial (Alimin, 2012: 101). c. Dampak Tunarungu terhadap Perkembangan Fungsi Kognitif Anak tunarungu tidak memiliki bahasa. Akan tetapi, tidak ada pandangan teoritis yang mensyaratkan bahwa bahasa adalah bahas lisan. Saat ini sudah diterima secara luar bahwa bahasa isyarat adalah bahasanya orang-orang tunarungu. Oleh karena itu meskipun orang-orang tunarungu tidak bisa berbahasa secara lisan, mereka dapat menggunakan bahasa isyarat yang ekuivalen dengan bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang mendengar (Alimin, 2012:102). Seorang tunarungu yang dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat tidak bisa dikatakan bahwa mereka tidak memiliki bahasa. Berdasarkan alasan ini, penelitian tentang perkembangan kognitif pada anak tunarungu menjadi tidak akan memuaskan dengan cara menghubungkan antara bahasa dan kognisi. Effendi (2006: 72), menjelaskan bahwa ketunarunguan terjadi hambatan pada anak dalam pendidikannya, yaitu: ”Pertama, konsekuensi akibat gangguan pendengaran atau tunarugu tersebut bahwa penderitaannya akan mengalami kesulitan dalam menerima segala macam rangsang atau peristiwa bunyi yang ada di sekitrnya. Kedua, akibat kesulitan menerima rangsang bunyi, konsekuensinya penderita tunarungu akan mengalami kesulitan pula dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang terdapat di sekitarnya.” Uraian di atas menunjukkan kehilangan pendengaran bagi seseorang sama halnya mereka telah kehilangan sesuatu yang berarti, sebab pendengaran merupakan kunci utama pembuka tabir untuk dapat meniti tugas perkembanganya secara optimal. Atas dasar itulah anak tunarugu yang belum terdidik dengan baik, tampak pada dirinya seperti terbelakang, walaupun hal itu sebenarnya masih semu, serta tampak tidak komunikatif. Dampak paling besar pada ketunarunguan adalah terjadinya kemiskinan bahasa (Uden, dan Meadow dalam Bunawan dan Yuwati, 2000). 19 Kenyataan bahwa kebanyakan orang beranggapan bahwa ketunarunguan hanya mengakibatkan tidak berkembangnya kemampuan berbicara. Padahal lebih dari itu, dampak ketunarunguan adalah kemiskinan dalam penguasaan bahasa secara keseluruhan. Artinya tanpa pendidikan khusus, mereka tidak akan mengenal lambang bahasa atau nama guna mewakili suatu benda, kegiatan, peristiwa, dan perasaan serta tidak akan memahami aturan/sistem bahasa yang berlaku dan digunakan dalam lingkungannya. Penguasaan bahasa pada anak mendengar terjadi secara wajar, yakni di lingkungan keluarga selama usia balita. Pada usia empat tahun, mereka pada umumnya sudah memasuki tahap purna bahasa (postlingual) yaitu mengenal dan memahami lambang bahasa serta tanpa disadari sudah mampu menerapkan aturan bahasa yang digunakan di lingkungannya. Anak tunarungu, pada umumnya baru akan memasuki tahap purna bahasa pada usia 12 tahun. Itupun hanya akan terjadi bila anak dan orangtua mereka mengikuti program bimbingan dan intervensi dini (paling lambat sejak anak berusia 1,5 tahun, dengan intelegensi normal serta tidak mempunyai kecacatan lain) yang ditangani secara profesional oleh ahli yang bersangkutan. Proses pendidikan di semua lembaga pendidikan, termasuk SLB tunarungu bertopang pada kemampuan berbahasa peserta didiknya. Dapat dikatakan bahwa dalam segala kegiatan pembelajaran, kegiatan berbahasa memegang peran baik dalam bentuk lisan, tulisan maupun isyarat. Apabila anak mengerjakan tugas yang menuntut daya logika dan abstraksi yang lebih tinggi, maka diharapkan keterampilan berbahasa akan membawa anak didik belajar berfikir runtut dan logis. Pakar pendidikan anak tunarungu Daniel Ling dalam Sadjaah (2003: 2) mengemukakan bahwa “Ketunarunguan memberikan dampak inti yang diderita oleh yang bersangkutan yaitu gangguan/hambatan perkembangan bahasa”. Artinya dampak inti yang diderita menimbulkan atau mengait pada dampak lain yang mengganggu kehidupannya Keterlambatan dan kemiskinan perkembangan kemampuan berbahasa anak tunarungu sebagai akibat dari ketunaanya, seyogyanya menjadi acuan 20 bagi para pendidik dan pengambil kebijakan, karena di situlah terletak kebutuhan pendidikan khusus mereka. Selanjutnya, segala upaya pengembangan pendidikan anak tunarungu sejak usia dini, sudah sepatutnya dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan khusus tersebut. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dampak anak tunarungu antara lain dampak terhadap perkembangan motorik, dampak terhadap perkembangan perseptual, dampak terhadap perkembangan fungsi kognitif. Tunarungu mengakibatkan terjadi hambatan pada anak dalam pendidikannya, yaitu konsekuensi akibat gangguan pendengaran atau tunarugu, kesulitan menerima rangsang bunyi. Ketunarunguan juga memberikan dampak oleh yang bersangkutan yaitu gangguan/hambatan dalam berhitung. B. Kajian Teori tentang Matematika 1. Pengertian Matematika Salah satu ilmu dasar, matematika berkembang sangat pesat. Oleh sebab itu konsep-konsep dasar matematika harus dikuasai anak didik sejak dini, yang akhirnya nanti akan terampil dan dapat menerapkan dalam kehidupan seharihari. Istilah matematika berasal dari Yunani Mathematikos, berasal secara ilmu pasti atau metheis berarti ajaran pengetahuan atau ilmu pengetahuan (Ensiklopedia Indonesia). Menurut Maryana dan Soedarinah (2001: 65), matematika adalah “pengetahuan yang bersifat hirarkis, artinya tersusun dalam urutan tertentu, bermula dari urutan sederhana kemudian menuju ke hal yang rumit, bermula dari hal yang konkret menuju ke hal yang abstrak.” Menurut Purwoto (1998:14), “Matematika adalah pengetahuan tentang pola keteraturan, pengetahuan tentang struktur yang terorganisasikan mulai dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan ke unsur-unsur yang didefinisikan ke aksioma dan postulat dan akhirnya ke dalil.” 21 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan matematika adalah ilmu tentang bilangan-bilangan yang bersifat hirarkis, bermula dari urutan sederhana kemudian menuju ke hal yang rumit, dari yang konkrit menuju ke hal yang abstrak untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Matematika yang dimaksud dalam penelitian ini adalah matematika yang dipelajari di Sekolah Luar Biasa (SLB) yang terdiri dari bagian-bagian matematika yang dipilih guna mengembangkan kemampuan-kemampuan dan membentuk pribadi siswa serta berpadu kepada perkembangan IPTEK. 2. Tujuan Pelajaran Matematika Dalam perumusan tujuan pelajaran matmetika di Sekolah Luar Biasa (SLB) adalah untuk mengembangkan keterampilan berhitung, mengembangkan kemampuan siswa yang dapat dialih-gunakan, memberikan bekal kemampuan dasar matematika, serta membentuk sikap, logis, kritis, cermat, kreatif dan disiplin (Depdiknas, 2001: 44). Uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa tujuan pelajaran matematika adalah untuk mempersiapkan siswa supaya dapat menghadapi hidup dan kehidupan yang cenderung selalu berubah dan berkembang. Dengan cara bertindak atas dasar pemikiran yang rasional, logis, kritis, cermat, kreatif dan disiplin. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Matematika Tinggi atau rendahnya prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor termaksud akan selalu ada sepanjang proses belajar mengajar. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar sebagai berikut: “a. Faktor dari luar, meliputi: lingkungan dan instrumental; b. Faktor dari dalam, meliputi: fisiologis, psikologis, kecerdasan, motivasi, dan kemampuan kognitif” (Purwanto, 2002: 107). Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: 22 a. Faktor dari luar 1) Faktor lingkungan Lingkungan yang berujud alam dan sosial. Lingkungan alam seperti keadaan udara, suhu, kelembaban. Belajar dengan udara yang segar, akan lebih baik hasilnya, bila dibandingkan dengan keadaan udara yang panas dan pengap. Lingkungan sosial merupakan hubungan antara individu dengan keluarga, maupun lingkungan masyarakat. 2) Faktor instrumental Faktor instrumental adalah faktor yang keberadaannya dan penggunaannya sudah direncanakan, sesuai dengan hasil belajar yang diharapkan. Seperti: gedung, perlengkapan belajar dan administrasi kelas atau sekolah. Faktor ini diharapkan dapat membawa hasil belajar yang baik. b. Faktor dari dalam 3) Faktor fisiologi Kondisi fisiologi pada umumnya, seperti kesehatan jasmani akan berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Jasmani yang sehat, segar, akan mudah menerima informasi dari guru. Lain halnya bagi siswa yang tidak sehat jasmaninya, maka hasil belajarnya juga kurang baik. 4) Faktor psikologis Setiap manusia pada dasarnya memiliki kondisi psikologis yang berbeda-beda, karena perbedaan itu juga mempengaruhi hasil belajar. Faktor psikologis yang dianggap berpengaruh terhadap hasil belajar adalah: a) Bakat Bakat merupakan faktor yang besar pengaruhnya terhadap hasil belajar seseorang. Apabila seseorang belajar pada bidang yang sesuai dengan bakatnya, maka kemungkinan berhasilnya akan lebih besar. 23 b) Minat Kalau seseorang tidak berminat mempelajari sesuatu, tidak dapat diharapkan akan berhasil dengan baik, sebaliknya bila seseorang berminat untuk mempelajari sesuatu, maka hasilnya akan lebih baik. c) Kecerdasan Kecerdasan besar peranannya dalam menentukan berhasil tidaknya seseorang mempelajari sesuatu. Orang yang cerdas pada umumnya lebih mampu belajar, daripada orang yang kurang cerdas. Kecerdasan seseorang biasanya dapat diukur dengan menggunakan alat tertentu, sedangkan hasil pengukuran dinyatakan dengan angka yang menunjukkan perbandingan kecerdasan, yang terkenal dengan sebutan Inteligence Quotient (IQ). Dengan memahami taraf IQ setiap siswa, maka seorang guru dapat memperkirakan tindakan yang harus diberikan kepada siswa secara tepat. d) Motivasi Motivasi adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi belajar adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar. Oleh karena itu, meningkatkan motivasi belajar siswa menjadi bagian yang amat penting, dalam rangka mencapai hasil belajar yang maksimal. e) Kemampuan kognitif Tujuan belajar meliputi tiga aspek, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Namun pada umumnya pengukuran kognitif lebih diutamakan dalam rangka menentukan keberhasilan belajar di sekolah. Karena itu, kemampuan kognitif merupakan faktor penting dalam belajar siswa. Menurut Lerner yang dikutip Abdurrahman (2003: 259), ada beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar matematika, yaitu: a) adanya gangguan dalam hubungan keruangan, b) abnormalitas persepsi visual, c) asosiasi visual-motor, d) perserverasi, e) kesulitan mengenal dan memahami simbul, f) gangguan penghayatan tubuh, g) kesulitan dalam bahasa dan membaca, dan h) performance IQ jauh lebih rendah daripada skor verbal IQ. 24 a. Adanya gangguan dalam hubungan keruangan Konsep hubungan keruangan seperti atas-bawah, puncak-dasar, jauhdekat, tinggi-rendah, depan-belakang, dan awal-akhir umumnya telah dikuasai oleh anak pada saat mereka belum masuk SD. Anak-anak memperoleh pemahaman tentang berbagai konsep hubungan keruangan tersebut dari pengalaman mereka dalam berkomunikasi dengan lingkungan sosial mereka atau melalui berbagai permainan. Anak berkesulitan belajar sering mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan lingkungan sosial juga sering tidak mendukung terselenggarakannya suatu situasi dan kondusif bagi terjalinnya komunikasi antar mereka. Adanya kondisi intrinsik yang diduga karena disfungsi otak dan kondisi ekstrinsik berupa lingkungan sosial yang tidak menunjang terselenggaranya komunikasi dapat menyebabkan anak mengalami gangguan dalam memahami konsep-konsep hubungan keruangan yang mengakibatkan anak tidak mampu merasakan jarak antara angka-angka pada garis bilangan atau penggaris, dan mungkin anak juga tidak tahu bahwa angka 3 lebih dekat ke angka 4 daripada ke angka 6. b. Abnormalitas persepsi visual Anak berkesulitan belajar matematika sering mengalami kesulitan untuk melihat berbagai objek dalam hubungannya dengan kelompok. Anak yang memiliki abnormalitas persepsi visual juga sering tidak mampu membedakan bentuk-bentuk geometri. Suatu bentuk bujur dangkar mungkin dilihat oleh anak sebagai empat garis yang tidak saling terkait, mungkin sebagai segi enam, dan bahkan mungkin tampak sebagai lingkaran. Adanya abnormalitas persepsi visual semacam ini tentu saja dapat menimbulkan kesulitan dalam belajar matematika, terutama dalam memahami berbagai simbol. c. Asosiasi visual-motor Anak berkesulitan belajar matematika sering tidak dapat mengitung benda-benda secara berurutan sambil menyebutkan bilangannya “satu, dua, tiga, empat, lima”. Anak mungkin baru memegang benda yang ketiga tetapi 25 telah mengucapkan “lima”, atau sebaliknya, telah menyentuh benda kelima tetapi baru mengucapkan ”tiga”. Anak-anak semacam ini dapat memberikan kesan mereka hanya menghafal bilangan tanpa memahami maknanya. d. Perserverasi Anak yang perhatiannya melekat pada suatu objek saja dalam jangka waktu yang relatif lama. Gangguan perhatian semacam itu disebut perverasi (Abdurrahman, 2003: 261). Anak demikian mungkin mulanya dapat mengerjakan tugas dengan baik, tetapi lama-kelamaan perhatiannya melekat pada suatu objek tertentu. e. Kesulitan mengenal dan memahami simbul Anak berkesulitan belajar matematika sering mengalami kesulitan dalam mengenal dan menggunakan simbol-simbol matematika seperti +, -, =, >, <, dan sebagainya. Kesulitan semacam ini dapat disebabkan oleh adanya gangguan memori tetapi juga dapat disebabkan oleh adanya gangguan persepsi visual. f. Gangguan penghayatan tubuh Anak sulit memahami hubungan bagian-bagian dari tubuhnya sendiri. Jika anak diminta untuk menggambar tubuh orang misalnya, mereka akan menggambarkan dengan bagian-bagian tubuh yang tidak lengkap atau menempatkan bagian tubuh pada posisi yang salah. Misalnya, leher tidak tampak, tangan diletakkan di kepala, dan sebagianya. g. Kesulitan dalam bahasa dan membaca Kesulitan dalam bahasa dapat berpengaruh terhadap kemampuan anak di bidang matematika. Soal matematika yang berbentuk cerita menuntut kemampuan membaca untuk memecahkannya. Oleh karena itu, anak yang mengalami kesulitan membaca akan mengalami kesulitan pula dalam memecahkan soal matematika yang berbentuk cerita tertulis. h. Performance IQ jauh lebih rendah daripada skor verbal IQ. Anak berkesulitan belajar matematika memiliki skor PIQ (Performance Intelligence Quotient) yang jauh lebih rendah daripada skor VIQ (Verbal Intelligence Quotient). Rendahnya skor PIQ pada anak 26 berkesulitan belajar matematika tampaknya terkait dengan kesulitan memahami konsep keruangan, gangguan pesepsi visual, dan adanya gangguan asosiasi visual-motor. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar matematika di atas dapat disimpulkan bahwa umumnya anak mengalami kesulitan dalam belajar konsep-konsep bilangan dan tidak semua siswa memperlihatkan kateristisrik yang sama, setiap siswa memiliki karakter yang berbeda. Karakter tersebut dapat berupa adanya gangguan dalam hubungan keruangan, abnormalitas persepsi visual, asosiasi visual-motor, perserverasi, kesulitan mengenal dan memahami simbul, gangguan penghayatan tubuh, kesulitan dalam bahasa dan membaca, dan performance IQ jauh lebih rendah daripada skor verbal IQ. 4. Perlunya siswa belajar Matematika Mengacu kurikulum yang digunakan SLB menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) (2006: 101), tujuan diberikannya mata pelajaran matematika adalah sebagai berikut: a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan dalam pemecahan masalah mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat. b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. d. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan dan masalah. e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan. 27 5. Pembelajaran Matematika Pembelajaran merupakan proses belajar yang dilakukan individu untuk mencapai suatu. Pengajaran adalah proses, perbuatan, cara mengajarkan. Pengajaran adalah proses penyampaian (Suprijono, 2010: 12). Pengertian ini secara implisit dalam pengajaran terdapat kegiatan memilih, menetapkan, mengembangkan metode untuk mencapai hasil pengajaran yang di inginkan. Pemilihan, penetapan dan pengembangan metodeini di dasarkan pada kondisi pengajaran yang ada. Menurut Polloway dan Patton (Mumpuniarti, 2007: 35) pembelajaran dapat didefinisikan berbagai cara yang meliputi: The development of awareness and insight, artinya pengembangan tentang kesadaran dan pemahaman serta observable changes in behavior resulting from interaction with the environment, yang artinya pengubahan secara nyata pada tingkah laku yang dihasilkan dari interaksi dengan lingkungan. Pembelajaran menandaskan suatu usaha untuk mengupayakan individu melakukan proses perubahan, pengembangan dan peningkatan. Dimyati dan Mudjiono (2006: 159) program pembelajaran berisi urutan perilaku yang dikehendaki, penguatan, waktu mempelajari perilaku dan evaluasi. Pembelajaran sebagai berorientasi kepada hasil, dan hasil itu berupa perilaku hasil belajar yang meliputi kapabilitas keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai. Berdasarkan pengertian di atas penulis berpendapat bahwa pembelajaran matematika anak tunarungu dimaksudkan terjadi perubahan dalam pengetahuan, ketrampilan, sikap, tingkah laku setelah mengikuti proses pembelajaran. Perubahan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah anak mampu menghitung luas dua bangun datar sederhana dengan konsep yang betul. Pelajaran matematika selama ini dianggap sebagai mata pelajaran yang paling sulit diantara pelajaran yang lainya. Anggapan tersebut muncul di kalangan para guru dan para siswa, bahkan orang tua di rumah sering mengeluh manakala putra putrinya menghadapi masalah dalam menyelesaikan soal 28 matematika. Untuk itu para guru berusaha menggunakan beberapa metode dalam mengajar matematika dan memanfaat beberapa media pembelajaran yang dianggap tepat sesuai dengan materi pembelajaran matematika agar lebih menarik minat siswa. Salah satu media yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika adalah media realia. C. Kajian tentang Kemampuan Berhitung Luas Bangun Datar 1. Pengertian Kemampuan Menghitung Istilah kemampuan memiliki banyak makna, menurut Poerwadarminta (2001:628), kemampuan mempunyai arti kesanggupan, kecakapan, kekuatan dalam melakukan suatu tindakan atau kegiatan. Jhonson yang dikutip Wijaya dan Rusyan (2002:8) menjelaskan bahwa “kemampuan merupakan perilaku rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan.” Berdasarkan kedua pendapat tersebut, kemampuan dapat disimpulkan menjadi satu pengertian. Kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, kekuatan dalam melakukan suatu tindakan atau kegiatan untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan (rasional). Berhitung adalah mengerjakan hitungan (menjumlahkan, mengurangi, dsb) (http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php). Menurut Depdiknas (2007: 1) berhitung merupakan bagian dari matematika diperlukan untuk menumbuhkembangkan keterampilan berhitung yang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama konsep bilangan yang merupakan juga dasar bagi perkembangan kemampuan matematika bagi siswa SLB. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan berhitung adalah bagian dari matematika atau mengerjakan hitungan misalnya menjumlahkan, mengurangi, dan membilang yang diperlukan anak untuk menumbuhkembangkan keterampilan berhitung dan diperlukan dalam kehidupan seharihari. Pengertian kemampuan berhitung adalah kesanggupan, kecakapan, 29 kekuatan dalam melakukan hitungan untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan (rasional). 2. Pengertian Bangun Datar Menurut Ian (2010: 3), pengertian bangun datar dapat didefinisikan sebagai bangun yang rata yang mempunyai dua dimensi yaitu panjang dan lebar, tetapi mempunyai tinggi atau tebal. Berdasarkan pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa bangun datar merupakan bangun dua dimensi yang hanya memiliki panjang dan lebar, yang dibatasi oleh garis lurus dan atau lengkung (Iskandar dan Rohmat, 1996: 44). Berdasarkan pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa bangun datar merupakan bangun dua dimensi yang hanya memiliki panjang dan lebar yang dibatasi oleh garis lurus atau lengkung. 3. Macam Bangun Datar dan Sifatnya Bangun datar terdiri dari segitiga, persegi, persegi panjang, jajaran genjang, belah ketupat, layang-layang, trapesium dan lingkaran. Menurut Novianto (2012: 12) bahwa bangun datar terdiri dari : a. Segitiga Segitiga adalah bangungeometri yang dibuat dari tiga sisiyang berupa garis luru lurusdan tiga sudut. Sifat-sifatnya jumlah sudut pada segitiga besarnya 180. Jenis-jenis segitiga : 1) Segitiga sama sisi 2) Sigitigasama kaki 3) Segitiga siku-siku b. Persegi Persegi adalah bangun datar dua dimensi yang dibentuk oleh empat buah rusuk yang sama panjang dan memiliki empat buan sudut siku-siku. Mempunyai sifat : 1) Mempunyai 4 titik susut. 30 2). Mempunyai 4 sudut siku-siku 2) Mempunyai 2 diagonal yang sama panjang 3) Mempunyai 4 simetri lipat 4) Mempunyai 4 simetri putar c. Persegi panjang Persegi panjang adalah bangundatardua dimensi yang dibentuk oleh dua pasang rusuk yang masing-masing sama panjang dan sejajar dengan pasangannya, dan memiliki empat buah sudut siku-siku. Menpunyai sifat : 1) Sisi yang berhadapan sama panjang dan sejajar 2) Sisi-sisi persegipanjang saling tegak lurus 3) Mempunyai 4 sudut siku-siku 4) Mempunyai 2diagonal yang sama panjang 5) Mempunyai 2 simetri lipat 6) Mempunyai 2 simetri putar. d. Jajaran genjang Jajaran genjang adalah bangun datar dua dimensi yang dibentuk oleh dua pasang rusuk yang masing-masing sama panjang dan sejajar dengan pasangannya, dan memiliki dua pasang sudut bukan siku-siku yang masingmasing sama besar dengan susut di hadapannya. Mempunyai sifat : 1) Tidak mempunyai simetri lipatdan simetri putar 2) Sisi yang berhadapan sejajar dan sama panjang. 3) Dua sisi lainya tidak saling tegak lurus. 4) Mempunyai 4 sudut,2 sudut berpasangan dan berhadapan 5) Sudut yang saling berdekatan besarnya 180 6) Mempunyai 2 diagonal yang tidak sama panjang. e. Belah ketupat Belah ketupat adalah bangun datar dua dimensi yang dibentuk oleh empat rusuk yang sama panjangdan memiliki dua pasang sudut siku-siku yang masing-masing sama besar dengan sudut dihadapannya. 31 Mempunyai sifat : 1) Mempunyai 2 simetri lipat 2) Mempunyai 2 simetri putar 3) Mempunyai 4 titik sudut 4) Sudut yang berhadapan besarnya sama. 5) Sisinya tidak tegak lurus 6) Mempunyai 2 diagonal yang berbeda panjangnya. f. Layang-layang Layang-layang adalah bangun geometri berbentuk segi empat yang terbentuk dari dua segitiga samakaki yang alasnya berhimpitan. Mempunyai sifat : 1) Mempunyai 1 simetri lipat, tidak mempunyai simetri putar. 2) Mempunyai 4 sisi sepasang-sepasang yang sama panjang. 3) Mempunyai 4 buah sudut. 4) Sepasang sudut yang berhadapan sama besar. 5) Mempunyai 2 diagonal bebeda dan tegak lurus. g. Trapesium Trapesium adalah bangun segiempat dengan sepasang sisi berhadapan sejajar. Mempunyai sifat : Tiap pasang sudut yang ssinya sejajar adalah 180 Jenis-jenis trapesium : 1) Trapesium sembarang, mempunyai sisi-sisi yang berbeda 2) Trapesium siku-siku, mempunyai sudut siku-siku 3) Trapesium sama kaki, mempunyai sepasang kaki sama panjang h. Lingkaran Lingkaran merupakan kurva tertutup sederhana beraturan. Mempunyai sifat : 1) Jumlah derajat lingkaran sebesar 360. 2) Lingkaran mempunyai 1 titik pusat. 32 3) Mempunyai simetri lipat dan simetri putar yang jumlahnya tidak terhingga. D. Kajian Teori tentang Media Pembelajaran 1. Pengertian Media Pembelajaran Kata media berasal dari bahasa latin medium yang secara harafiah berarti “ tengah, “perantara “. Dalam bahasa Arab media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Menurut Gerlach dan Ely yang dikutip Hartini (2009: 4) bahwa media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, ketrampilan, atau sikap. Dalam pengertian ini guru, buku teks dan lingkungan sekolah merupakan media. Secara lebih khusus proses pembelajaran cenderung diartikan alat-alat grafis, fotografis atau elektronis untuk menangkap, memproses dan menyusun kembali informasi dan menyusun kembali informasi visual atau verbal. Media merupakan wahana penyalur informasi belajar atau penyalur pesan. Telah banyak pakar dan juga organisasi (lembaga) yang mendefinisikan media ini, beberapa definisi tentang media pembelajaran ini adalah sebagai berikut: media pembelajaran atau media pendidikan adalah seluruh alat dan bahan yang dapat dipakai untuk media pendidikan seperti radio, televisi, buku, koran, majalah dan sebagainya, ahli lain menyampaikan bahwa media adalah teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Menurut NEA yang dikutip Surtikanti (2009: 4), mengemukakan media merupakan sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun audio visual, termasuk teknologi perangkat kerasnya. Media adalah alat bantu untuk memberikan perangsang bagi peserta didik supaya terjadi proses belajar. Lain lagi dengan yang menyatakan bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk menyalurkan pesan yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan peserta didik untuk belajar. 33 Pengertian media menurut Anitah (2010: 4) adalah sebagai berikut: “kata media berasal dari bahasa Latin medium adalah sesuatu yang terletak di tengah (antara dua kutub atau antara dua pihak); atau suatu alat.” Menurut Association for Educational Communications Technology (AECT) di Amerika yang dikutip oleh Arsyad (2002: 3) media pendidikan ialah segala bentuk saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan/informasi. Sementara itu Gagne (dalam Sadiman, dkk, 2009: 6): “media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar.” Berbagai pendapat di atas, jelaslah bahwa pada dasarnya semua pendapat tersebut memosisikan media sebagai suatu alat atau sejenisnya yang dapat dipergunakan sebagai pembawa pesan dalam suatu kegiatan pembelajaran. Pesan yang dimaksud adalah materi pelajaran. Keberadaan media dimaksudkan agar pesan dapat lebih mudah dipahami dan dimengerti oleh peserta didik. Bila media adalah sumber belajar, secara luas dapat diartikan bahwa manusia, benda, ataupun peristiwa yang memungkinkan anak didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan dapat disebut sebagai media. 2. Ciri-ciri Media Pembelajaran Gerlach dan Ely dalam Surtikanti (2009: 5-6) mengemukakan tiga ciri media yang merupakan petunjuk mengapa media yang mungkin guru tidak mampu atau kurang efesien melakukannya . a. Ciri Fiksatif (Fixative Properti) Ciri ini menggambarkan kemampuan media merekam, menyimpan, melestarikan dan merekonstrusi suatu peristiwa atau obyek. Suatu peristiwa atau obyek dapat diurut dan disusun kembali dengan media seperti fotografi, vidio tape, audio tape, disket computer dan film. Suatu obyek yang telah diambil gambarnya (direkam) dengan kamera atau vidio kamera dengan mudah dapat direproduksi dengan mudah kapan saja diperlukan. Dengan ciri fiksatif ini, media memungkinkan suatu rekaman kejadian atau objekyang terjadi pafa satu waktu tertentu ditranformasikan tanpa mengenal waktu. 34 Ciri ini amat penting bagi guru karena kejadian-kejadian atau obyek yang telah direkam atau disimpan dengan format media yang ada dapat digunakan setiap saat. Peristiwa yang kejadinnya hanya sekali (dalam satu dekade atau satu abad) dapat diabadikan dan disusun kembali untuk keperluan pengajaran. Prosedur laboratorium yang rumit dapat direkam dan diatur untuk kemudian direproduksi beberapa kalipun pada saat diprlukan. Demikian pula kegiatan siswa dapat direkam untuk kemudian dianalisis dan dikritik oleh siswa sejawat baik secara perorangan maupun secara kelompok. b. Ciri manipulatif (manipulative property) Tranformasi suatu kejadian atau obyek dimungkinkan karena media memiliki ciri manipulatif. Kejadian yang memakan waktu berharihari dapat disajikan kepada siswa dalam waktu dua atau tiga menit dengan tehnika pengambilan gambar time lapse recording. Misalnya, bagaimana proses larva menjadi kepompong kemudian menjadi kupu-kupu dapat dipercepat dengan teknik rekaman fotografi tersebut. Di samping dapat dipercaya, suatu kejadian dapt pula diperlambat pada saat menayangkan kembali hasil suatu rekaman vidio. Misalnya proses loncat gajah atau reaksi kimia dapat diamati melalui bantuan kemampuan manipulatif dari media. Demikian pula, suatu aksi gerakan dapat direkam dengan menggunakan foto kamera untuk foto. Pada rekaman gambar hidup (vidio, motion film) kejadian dapat diputar mundur. Media (rekaman vidio atau audio) dapat diedit sehingga guru dapat menampilkan bagian-bagian penting/utama dari ceramah, pidato, atau urutan suatu kejadian dengan memotong bagian-bagian yang tidak diperlukan. Kemampuan media dari ciri manipulatif memerlukan perhatian sungguh-sungguh oleh karena apabila terjadi kesalahan dalam pengaturan kenmbali urutan kejadian atau pemotongan bagian-bagian yang salah, maka akan terjadi pula kesalahan penafsiran yang tentu saja akan membingungkan dan bahkan menyesatkan sehingga dapat mengubah sikap mereka ke arah yang tidak diinginkan. 35 c. Ciri Distributif (Distributive Property ) Ciri distributif dari media memungkinkan suatu obyek atau kejadian ditranspormasikan melalui ruang, dan secara bersamaan kejadian tersebut disajikan kepada sejumlah besar siswa dengan stimulus pengalaman yang relative sama mengenai kejadian itu. Dewasa ini, distribusi media tidak hanya satu kelasatau beberapa kelas pada sekolahsekolah didalam suatu wilyah. Tertentu, tetapi juga media itu misalnya rekaman vidio, augio, flashdisk computer dapat disebar keseluruh penjuru tempat yang diinginkan kapan saja. Sekali informasi direkam dalam format media apa saja, ia dapat direproduksi seberapa kalipun dan siap digunakn secara bersamaan di berbgai tempat atau digunakan secara berulang-ulang disuatu tempat. Konsistensi yang telah direkam akan terjamin sama atau hampir sama dengan aslinya. 3. Fungsi Media Pembelajaran Dalam suatu proses belajar mengajar, dua unsur yang amat penting adalah metode mengajar dan media pembelajaran. Kedua aspek ini saling berkaitan. Pemilihan alah satu metode mengajar tertentu akan mempengaruhi jenis media pembelajaran yang sesuai, meskipun masih ada berbagai aspek lain yang harus diperhatikan dalam memilih media antara lain tujuan pembelajaran, jenis tugas dan respon yang diharapkan siswa kuasai setelah pembelajaran berlangsung dan konteks pembelajaran termasuk karakteristik siswa. Fungsi utama pembelajaran adalah sebagai alat bantu mengajar yang turut mempengaruhi iklim, kondisi dan lingkungan belajar yang diciptakn oleh guru. Menurut Levie & Lentz yang dikutif Surtikanti (2009: 7-8 ) ada empat fungsi media pembelajaran khususnya media visual, yaitu : a. Fungsi atensi Fungsi atensi media visual merupakan inti, yaitu menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkosentrasi kepada isi pelajaran yang 36 berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan atau menyertai teks materi pelajaran. Seringkali pada awal pelajaran siswa tidak tertarik dengan materi pelajaran atau mata pelajaran itu merupakan salah satu pelajaran yang tidak disenangi oleh mereka sehingga mereka tidak memperhatikan. Media gambar khususnya gambar yang diproyeksikan melalui overhead projektor dapat menenangkan dan mengarahkan perhatian mereka kepada pelajaran. Dengan demikian kemungkinan untuk memperoleh dan mengingat isi pelajaran semakin besar. b. Fungsi afektif Media visual dapat terlihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika belajar (membaca) teks yang bergambar. Gambar atau lambang visual dapat menggugah emosi dan sikap siswa, misalnya informasi yang menyangkut masalah sosial atau ras. c. Fungsi kognitif Media visual terlihat dari temuan-temuan penelitian yang mengungkapkan bahwa lambang visual atau gambar memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami dan mengingat infosmasi atau pesan yang tekandung dalam gambar. d. Fungsi kompensatoris Media pembelajaran terlihat ari hasil penelitian bahwa media visual yang memberikan konteks untuk memahami teks membantu siswa yang lemah dalam membaca untuk mengorganisasikan informasi dalam teks dan mengingatnya kembali. Dengan kata lain, media pembelajaran berfungsi untuk mengakomodasi siswa yang lemah dan lambat menerima dan memahami isi pelajaran yang disajikan dengan teks atau disajikan secara verbal. Pembelajaran adalah proses komunikasi interaksi antara guru dan siswa. Proses komunikasi terdapat tiga bagian yang tidak dapat dilepaskan satu sama lain yaitu pembawa pesan, penyampai pesan dan penerima pesan. Hamalik (2000: 19), menyebutkan banyak manfaat yang diperoleh jika menggunakan 37 media dalam kegiatan belajar mengajar, namun secara umum media pembelajaran memiliki fungsi seperti berikut: a. Memperjelas penyajian pesan agar tidak bersifat verbalistik, artinya hanya berbentuk kata-kata tertulis atau lisan. b. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera, misalnya objek yang besar diganti gambar, objek yang terlalu kecil bisa diganti dengan proyektor mikro, film bingkai, gambar, sedang gerak yang lambat atau cepat bisa dibantu dengan time-lapse atau high-speed photography, tentang kejadian masa lalu dapat ditampilkan kembali lewat rekaman film, video, film bingkai, foto, kemudian objek yang terlalu kompleks bisa dibantu dengan modul, diagram, terakhir konsep yang sangat luas seperti gunung berapi, gempa bumi, iklim dan divisualisasikan dalam bentuk film, film bingkai, gambar dan lain sebagianya. c. Menggunakan media pembelajaran secara tepat dan bervariasi akan dapat diatasi sikap pasif anak didik atau siswa. Dalam situasi demikian media pembelajaran dapat menimbulkan kegairahan belajar dan memungkinkan terjadinya interaksi secara langsung antara anak didik dengan lingkungannya serta memungkinkan anak didik belajar sendiri menurut kemampuan dan minatnya. Menurut Sudjana dan Rifai (2001: 2-3) media dapat mempertinggi proses belajar siswa dalam gilirannya dapat mempertinggi hasil belajar yang dicapai. Ada beberapa alasan di antaranya yang berkenaan dengan manfaat media pengajaran dalam proses belajar siswa antara lain: a. Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar. b. Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh siswa, dan memungkinkan siswa menguasai materi lebih baik. c. Metode mengajar akan lebih bervariasi. d. Siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktifitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemontrasikan dan sebagainya. Berdasarkan kenyataan yang demikian maka penggunaan media pembelajaran diharapkan dapat membantu memecahkan masalah-masalah yang ada, sehubungan media pembelajaran memiliki kemampuan memberi perangsang yang sama, pengalaman yang sama, kemudian terakhir memberi persepsi yang sama pula. 38 4. Pengertian Media dalam Matematika Media pembelajaran matematika adalah sarana dalam menyajikan, mempelajari, memahami, dan mempermudah dalam mempelajari matematika. Matematika bersifat abstrak, bagi siswa SD apalagi siswa tunarungu berfikir secara abstrak mungkin hal yang sulit. Oleh karena itu, diperlukan alat yang dapat membantu siswa membayangkan hal yang bersifat abstrak melalui benda konkret. Media pembelajaran matematika bisa berupa alat peraga/model, lembar kerja siswa, tayangan, software, dan sebagainya. Media pembelajaran tidak selalu berbentuk alat peraga. Papan tulis bisa menjadi media pembelajaran utama untuk menjelaskan beberapa pokok bahasan. Agar media pembelajaran menjadi efektif dan efisien serta dapat digunakan dalam jangka panjang, dibutuhkan beberapa pertimbangan dalam membuatnya yaitu sebagai berikut: a. local material (bahan-bahan mudah didapat). b. proses pembuatan hendaknya menggunakan alat yang tepat agar hasilnya akurat. c. mudah untuk dibuat oleh sendiri. d. efisien dalam menggunakan bahan. e. terdapat petunjuk penggunaan. f. mudah digunakan, baik oleh siswa, guru dan orang lain yang membutuhkan. g. dapat membantu memahami materi. h. tidak berbahaya. i. tampilannya menarik. j. tahan lama. k. bernilai jual (Sudjana dan Rifai, 2001: 5-6) Adanya pertimbangan dalam pembuatan media pembelajaran di atas, diharapkan dapat dijadikan prinsip-prinsip sebagai pedoman pembuatan berbagai jenis media pembelajaran seperti: gambar, bagan, diagram, poster, ilustrasi, dan lain-lain. 39 E. Kajian Teori Tentang Media Realia 1. Pengertian Media Realia Media realia adalah benda nyata yang digunakan sebagai bahan atau sumber belajar. Pemanfaatan media realia tidak harus dihadirkan secara nyata dalam ruang kelas, melainkan dapat juga dengan cara mengajak siswa melihat langsung (observasi) benda nyata tersebut ke lokasinya. Menurut Surtikanti (2009: 18) media realita adalah merupakan alat bantu visual dalam pendidikan yang berfungsi memberikan pengalaman langsung (direct experience) kepada siswa. Realia ini merupakan model dan obyek nyatadari suatu benda seperti mata uang, tumbuhan, binatang, dan sebagainya. Realia dapat digunakan dalam kegiatan belajar dalam bentuk sebagaimana adanya, tidak perlu dimodifikasi, tidak ada pengubahan kecuali dipindahkan dari kondisi lingkungan aslinya. Ciri media realia yang asli adalah benda yang masih dalam keadaan utuh, dapat dioperasikan, hidup, dalam ukuran yang sebenarnya, dan dapat dikenali sebagai wujud aslinya. Media realia sangat bermanfaat terutama bagi siswa yang tidak memiliki pengalaman terhadap benda tertentu. Misalnya untuk mempelajari binatang langka, siswa diajak melihat badak yang ada di kebun binatang. Selain observasi dalam kondisi aslinya, penggunaan media realia juga dapat dimodifikasi. Modifikasi media realia bisa berupa: potongan benda (cutaways), benda contoh (specimen), dan pameran (exhibid). Cara potongan (cutaways) adalah benda sebenarnya tidak digunakan secara utuh atau menyeluruh, tetapi hanya diambil sebagian saja yangdianggap penting dan dapat mewakili aslinya. Misalnya binatang langka hanya diambil bagian kepalanya saja. Benda contoh (specimen) adalah benda asli tanpa dikurangi sedikitpun yang dipakai sebagai contoh untuk mewakili karakter darisebuah benda dalam jenis atau kelompok tertentu. Misalnya beberapa ekor ikan hias dari jenis tertentu, yang dimasukkan dalam sebuah toples berisi air untuk diamati di dalam kelas. Pameran (exhibit) menampilkan benda benda tertentu yang 40 dirancang seolah olah berada dalam lingkungan atau situasi aslinya. Misalnya senjata senjata kuno yang masih asli ditata dan dipajang seolah olah mengambarkan situasi perang pada jaman dulu. Dalam memahami karakteristik media realia dalam pembelajaaran matematika, harus juga dipahami mengenai makna dari pembelajaran matematika tersebut. Pembelajaran matematika merupakan upaya penataan lingkungan agar proses belajar atau pembentukan pengetahuan dan pemahaman matematika oleh siswa berkembang secara optimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 2. Kegunaan Media dalam Pembelajaran Menurut Sadiman, dkk. (2003: 16-17) secara umum media pendidikan dalam proses belajar mengajar mempunyai kegunaan sebagai berikut : a. Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistik b. Mengatasi keterbatasan ruang,waktu dan daya indera seperti misalnya: 1) Obyek yang terlalu besar bisa digantikan dengan realita gambar, film bingkai,film,atau model. 2) Obyek yang kecil,dibantu dengan projector mikro.film bingkai, film atau gambar. 3) Gerak yang terlalu lambat atau cepat dapat dibantu dengan time lapse atau high speed photography. 4) Kejadian atau peristiwa yang terjadi dimasa lalu bisa ditampilkan lagi lewat rekaman film, vidio, film bingkai, foto maupun secara verbal. 5) Obyek yang terlalu kompleks dapat disajikan dengan model, diagram danlain-lain. 6) Konsep yang terlalu luas dapat divisualisasikan dalam bentuk film, film bingkai,gambar dan lain-lain. c. Dengan menggunakan media pendidikan secara tepat dan bervareasi dapat diatasi sikap positif anak didik. Dalam hal ini pendidikan berguna untuk : 1) Menimbulkan kegairahan belajar. 2) Memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik dengan lingkungan dan kenyataan. 41 3) Memungkinkan anak didik belajar sendiri-sendiri menurut kemampuan dan minatnya d. Dengan sifat yang unik pada tiap siswa ditambah lagi dengan lingkungan dan pengalaman yang berbeda, sedangkan kurikulum dan materi pendidikan ditentukan sama untuk setiap siswa, maka guru akan banyak mengalami kesulitan bilamana kesemuanya itu harsu diatasi sendiri. Apabila ada latar belakang lingkungan guru dengan siswa yang berbeda. Apalagi ada latar belakang lingkungan guru dengan siswa yang berdeda. Masalah ini dapat diatasi dengan media pendidikan yaitu dengan kemampuannya dalam : 1) Memberikan perangsang yang sama 2) Mempersamakan pengalaman 3) Menimbulkan persepsi yang sama. 3. Tujuan Media Pembelajaran Menurut Sudrajat (2008: 21), media pembelajaran memiliki beberapa tujuan, diantaranya: a. Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh para peserta didik. b. Media pembelajaran dapat melampaui batasan ruang kelas. c. Media pembelajaran memungkinkan adanya interaksi langsung antara peserta didik dengan lingkungannya. d. Media menghasilkan keseragaman pengamatan. e. Media dapat menanamkan konsep dasar yang benar, konkrit, dan realistis. f. Media membangkitkan keinginan dan minat baru. g. Media membangkitkan motivasi dan merangsang anak untuk belajar. h. Media memberikan pengalaman yang integral/menyeluruh dari yang konkrit sampai dengan abstrak . Tujuan media pembelajaran adalah membuat proses pembelajaran berjalan lebih menarik, membantu penyampaian pengajar kepada pembelajar lebih mudah. Dalam hal lain, media pembelajaran memiliki tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan kegunaan pembelajaran. Tujuan dari media 42 tersebut akan terasa apabila diletakkan pada posisi yang tepat. Penggunaan media pembelajaran sebagai alat bantu tidak boleh sembarangan, seorang pengajar harus memperhatikan dan mempertimbangkan apakah media yang akan digunakan sesuai dengan tujuan pengajaran atau tidak. Beberapa tujuan media pembelajaran dalam proses belajar siswa, yaitu: a. Pembelajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar. b. Bahan pembelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh siswa dan memungkinkannya menguasai dan mencapai tujuan pembelajaran. c. Metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan dan guru tidak kehabisan tenaga, apalagi bila guru mengajar pada setiap jam pelajaran. d. Siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru, mendemontrasikan, memerankan dan lain-lain. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan media pembelajaran adalah untuk membantu proses pembelajaran dan meningkatkan motivasi belajar siswa. D. Kerangka berpikir Tunarungu mengalami kekurangan atau kehilangan mendengar karena tidak berfungsinya indra pendengaran, sehingga anak mengalami kesulitan untuk menangkap informasi secara verbal karena bersifat abstrak. Kondisi tunarungu yang kesulitan dalam memahami sesuatu yang abstrak dan sulitnya memahami kalimat sehingga mengalami kesulitan dalam memecahkan persoalan. Konsep yang diterima cenderung verbal, interaksi belajar didominasi oleh guru, siswa menjadi pasif, tidak berani bertanya maupun menyampaikan pendapat, maka pembelajaran seprti itu ditakutkan akan memunculkan kebosanan dan interaksi siswa tidak maksimal. Hal itu mengakibatkan hasil belajar siswa rendah di bawah KKM. 43 Menengok dari permasalahan itu siswa tunarungu kelas VI semester II tahun 2014/2015 mata pelajaran matematika pada materi penghitungan luas dua bangun datar sederhana kurang berhasil. Melalui metode realia, siswa diajak mengamati dan mengukur suatu benda secara bergantian, sehingga siswa bisa membayangkan dan mengamati secara nyata dan lebih jelas untuk dipahami. Diharapkan melalui penerapan metode realia dapat meningkatkan kemampuan berhitung luas dua bangun datar sederhana bagi siswa tunarungu kelas VI SLB Giri Wiyata Dharma Wonogiri. Berikut ini kerangka berpikir dalam bentuk bagan. Pembelajaran matematika materi penghitungan luas dua bangun datar sederhana siswa tunarungu kelas VI SLB GWD Wonogiri Kondisi awal Guru sebelum menggunakan media realia Kemampuan berhitung dua luas bangun datar sederhana rendah Tindakan Kondisi akhir Guru menggunakan metode realia Kemampuan berhitung dua luas bangun datar sederhana meningkat Bagan 2.1. Kerangka Berfikir 44 E. Hipotesis Menurut Arikunto (2010: 109) mengatakan hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian yang perlu dibuktikan kebenarannya. Menurut Nasution (2000: 45) definisi hipotesis ialah “dugaan mengenai apa saja yang sedang diamati dalam usaha untuk memahaminya”. Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hipotesis adalah kesimpulan awal dari sebuah penelitian, yang belum teruji kebenarannya (perkiraan), dan untuk membuktikan kebenarannya maka dilakukanlah penelitian. Berdasarkan kajian teori yang dikemukakan, rumusan hipoteses yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Penggunaan media realia dalam pembelajaran maatematika dapat meningkatkan kemampuan berhitung dua luas bangun datar sederhana pada siswa tunarungu kelas VI SLB Giri Wiyata Dharma Wonogiri Tahun Pelajaran 2014/2015”. 45 BAB III METODE PENELITIAN A. Setting Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di kelas VI SLB Giri Wiyata Dharma Wonogiri pada pembelajaran matematika semester II tahun pelajaran 2014/2015, dengan alasan bahwa hasil belajar matematika siswa tunarungu kelas dasar VI masih rendah. 2. Jadwal Penelitian Tabel 3.1. Jadwal Kegiatan Penelitian Kegiatan Bulan ........ Tahun 2015 April Mei Juni Juli Maret 1. Persiapan a. Studi eksploratif b. Perumusan masalah c. Konsultasi proposal d. Penyusunan instrumen 2. Tahap Pelaksanaan a. Perencanaan tindakan b. Implementasi tindakan 3. Analisis a. Klasifikasi data b. Analisis data c. Interpretrasi data d. Perumusan hasil penelitian 4. Tahap Penyusunan Laporan a. Penyusunan laporan b. Ujian 45 Agst 46 B. Subjek Penelitian Dalam penelitian tindakan kelas ini yang menjadi subjek penelitian adalah siswa kelas VI SLB Giri Wiyata Dharma Wonogiri tahun pelajaran 2014/2015 yang berjumlah 3 siswa, terdiri dari 2 siswa laki-laki dan 1 siswa perempuan. Tabel 3.2. Daftar Siswa Tunarungu Kelas VI SLB Giri Wiyata Dharma Wonogiri sebagai Subyek Penelitian. No. Inisial Siswa Jenis Kelamin 1 YL P 2 DD L 3 BY L C. Sumber Data Data penelitian berupa data kuantitatif yaitu nilai kemampuan berhitung luas bangun datar sederhana dalam bentuk angka. Nilai kemampuan berhitung sebelum diberi tindakan dan nilai kemampuan berhitung yang diperoleh siswa pada siklus I dan siklus II setelah dalam pembelajaran melalui penggunaan media realia. Sumber data penelitian tindakan kelas ini berasal dari siswa tunarungu kelas VI SLB ABC Giri Wiyata Dharma Wonogiri sebagai subjek penelitian. Data penelitian berupa kemampuan awal tentang berhitung luas bangun datar sederhana dari hasil tes setelah proses pembelajaran menggunakan media realia. Data kualitatif berupa data aktivitas siswa selama proses pembelajaran melalui penggunaan media relia. Data kualitatif menunjukkan sejauh mana aktivitas siswa mengikuti proses pembelajaran dengan kriteria penilaian: sangat baik, baik, sedang, kurang, dan sangat kurang. D. Teknik Pengumpulan Data Berorientasi pada judul penelitian maka metode yang akan penulis gunakan adalah metode observasi, dokumentasi, dan tes. 47 1. Dokumentasi a. Pengertian Dokumentasi Dokumentasi memiliki beberapa pengertian yang berbeda antara satu dengan yang lain, yang pada dasarnya memiliki prinsip yang sama. Dari beberapa literatur diperoleh penjelasan sebagai berikut: Menurut Arikunto (2006: 200) “dokumentasi yaitu data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, notulen, legger, agenda, dsb”. Menurut Margono (2009: 161), “dokumentasi adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku pentang pendapat, teori, dalil, atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.” Berdasarkan kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa dokumentasi adalah cara pengumpulan data mengenai hal-hal atau variabel melalui peninggalan tertulis seperti arsip-arsip dan termasuk juga bukubuku tentang pendapat, teori, dalil, catatan, notuler, legger, agenda, atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian b. Dokumentasi yang digunakan Dalam penelitian ini, metode dokumentasi digunakan untuk memperoleh data tentang kemampuan awal menghitung luas dua bangun datar sederhana yang diambil dari nilai ulangan harian siswa tunarungu kelas VI SLB Giri Wiyata Dharma Wonogiri. 2. Tes a. Pengertian Tes Untuk mengetahui kemampuan berhitung diperlukan tes, agar peneliti dapat pengetahui hasil belajar yang diperoleh siswa pada siklus I dan siklus II setelah dalam pembelajaran melalui permainan dengan media gambar. “Tes adalah sekumpulan pertanyaan yang harus dijawab dan/atau tugas yang harus dikerjakan” (Azwar, 2001: 2). Menurut Arikunto (2006:138) tes adalah “Serentetan pertanyaan atau latihan atau alat lain 48 yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki individu atau kelompok”. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tes adalah suatu alat yang dipergunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat, berujud pertanyaan yang harus dijawab oleh siswa baik secara individu atau kelompok. b. Macam-macam Tes Tes terdiri dari bermacam-macam, antara lain sebagai berikut: 1) Tes benar salah, 2) Tes pilihan ganda, 3) Tes menjodohkan, 4) Tes isian atau melengkapi, 5) Tes jawaban singkat (Arikunto, 2006: 139). c. Tes yang Digunakan Bentuk tes yang dipakai adalah tes objektif. Tes objektif adalah tes yang hanya satu jawaban dapat dianggap benar. Tes yang digunakan adalah tes objektif isian yang terdiri dari 20 item pertanyaan. Skor penilaian jawaban betul mendapat nilai 5 dan jawaban salah mendapat nilai 0. 3. Observasi a. Pengertian Observasi Observasi memiliki beberapa pengertian yang berbeda antara satu dengan yang lain, yang pada dasarnya memiliki prinsip yang sama. “Metode observasi adalah metode pengumpulan data dengan pengamatan secara langsung mengenal fenomena-fenomena dan gejala psikis maupun psikologi dengan pencatatan. Format yang disusun berisi item-item tentang kejadian atau tingkah laku yang digambarkan akan terjadi” (Arikunto, 2006: 229). Menurut Supardi (2008: 127), “observasi adalah kegiatan pengamatan (pengambilan data) untuk memotret seberapa jauh efek tindakan telah mencapai sasaran.” Kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa observasi adalah kegiatan pengamatan (pengambilan data) secara langsung mengenal fenomena-fenomena dan gejala psikis maupun psikologi dengan pencatatan untuk memotret seberapa jauh efek tindakan telah mencapai sasaran. 49 b. Macam-macam Observasi Observasi dilakukan untuk mengamati secara langsung proses dan dampak pembelajaran untuk menata langkah-langkah perbaikan agar lebih efektif dan efisien. Dalam melakukan observasi proses, menurut Winarni (2009: 84-85) ada 4 metode yaitu: 1) observasi terbuka, 2) observasi terfokus, 3) observasi terstruktur, dan 4) observasi sistematik. 2) Observasi Terbuka Pengamat tidak menggunakan lembar observasi, melainkan hanya menggunakan kertas kosong merekam pelajaran yang diamati. 3) Observasi Terfokus Ditujukan untuk mengamati aspek-aspek tertentu dari pembelajaran. Misalnya: yang diamati kesempatan bagi siswa untuk berpartisipasi. 4) Observasi Terstruktur Observasi menggunakan instrumen yang terstruktur dan siap pakai, sehingga pengamat hanya tinggal membubuhkan tanda (√) pada tempat yang disediakan. 5) Observasi Sistematik Observasi sistematik lebih rinci dalam kategori yang diamati. Misalnya dalam pemberian penguatan, data dikategorikan menjadi penguatan verbal dan nonverbal. c. Observasi yang Digunakan Dalam penelitian in digunakan observasi terstruktur, dimana observasi menggunakan instrumen yang terstruktur dan siap pakai, sehingga pengamat hanya tinggal membubuhkan tanda ( ) pada tempat yang disediakan pada lembar pengamatan aktivitas guru dan aktivitas siswa dalam pembelajaran menghitung luas dua bangun datar sederhana menggunakan media realia. Alasan digunakan observasi terstruktur adalah untuk mempermudah observer melakukan pengamatan dan observasi tertruktur sesuai dengan masalah yang diteliti. 50 E. Validitas Data Menurut Arikunto (2006: 168), validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkatan kevalidan atau kesahihan sebuah instrumen. Suatu instrumen dinyatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat. Pada dasarnya, estimasi validitas dilakukan dengan menggunakan teknik analisis korelasional. Namun tidak semua pendekatan validitas memerlukan analisis statistik. Tipe validitas yang berbeda menghendaki cara analisis yang brbeda pula. Tipe validitas terbagi atas Validitas Isi (content), Validitas Konstruk (construct), dan Validitas Berdasar Kriteria (criterion related). Validitas berdasar kriteria terbagi lagi atas tipe Validitas Konkuren (concurrent) dan Validitas Prediktif (predictive) (Azwar, 2001: 175). Adapun validitas instrumen dalam penelitian ini menggunakan content validity yaitu validitas isi. Validitas isi menunjukkan sejauh mana item-item dalam tes mencakup keseluruhan kawasan isi yang hendak diukur oleh tes itu. Pengertian mencakup keseluruhan kawasan isi tidak saja berarti tes itu harus komprehensif akan tetapi isinya harus pula tetap relevan dan tidak keluar dari batasan tujuan pengukuran (Azwar, 2001: 175). Pengujian validitasi isi tidak melalui analisis statistik tetapi menggunakan analisis rasional. Salah satu cara yang praktis untuk melihat apakah validitas isi telah terpenuhi adalah dengan melihat apakah item-item dalam tes telah ditulis sesuai dengan batasan domain ukur yang telah ditetapkan semula dan memeriksa apakah masing-masing item telah sesuai dengan indikator soal yang hendak diungkapnya. Untuk uji validasi ini menggunakan uji validitas isi meliputi logical validity berdasarkan kisi-kisi dan face validity dari ahli bahasa, ahli materi, dan ahli pengukuran. F. Analisis Data Data berupa hasil tes diklasifisikan sebagai data kuantitatif. Data tersebut dianalisis secara desktiprif komparatif, yakni dengan membandingkan nilai tes antarsiklus dan kemampuan awal menghitung luas dua bangun datar sederhana 51 sebelum diberi tindakan, yang dianalisis adalah nilai tes siswa sebelum menggunakan media realia; dan nilai tes siswa setelah menggunakan media realia; sebanyak dua siklus. Data yang berupa nilai tes antarsiklus tersebut dibandingkan hingga hasilnya dapat mencapai batas ketercapaian atau indikator keberhasilan yang telah ditetapkan. Hasil penelitian menunjukkan kesenangan siswa terhadap pelajaran berhitung luas bangun datar sederhana, dari hasil peningkatan kemampuan berhitung luas bangun datar sederhana melalui penggunaan media relia siswa termotivasi dan memiliki semangat untuk belajar berhitung. G. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian tindakan kelas ini terdiri dari 2 siklus. Tiap siklus dilaksanakan sesuai dengan perubahan yang ingin dicapai, seperti yang telah didesain dalam variabel yang diteliti. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan model yang dilakukan oleh Kemmis dan Mc Taggart yang merupakan pengembangan dari model Kurt Lewin. Suharsimi Arikunto (2007: 16) mengemukakan model yang didasarkan atas konsep pokok bahwa penelitian tindakan terdiri dari empat komponen pokok yang juga menunjukkan langkah, yaitu: 1. Perencanaan atau planning Menggambarkan secara rinci hal-hal yang perlu dilakukan sebelum pelaksanaan tindakan (penyiapan perangkat pembelajaran, skenario pembelajaran melalui media realia, observasi, dan evaluasi). 2. Tindakan atau acting Berisi uraian tahapan-tahapan tindakan yang akan dilakukan oleh peneliti maupun siswa dalam pembelajaran. 3. Pengamatan atau observing Dilakukan dengan mengamati proses pembelajaran (aktivitas guru dan siswa). Observasi diarahkan pada poin-poin dalam pedoman yang telah disiapkan peneliti. 52 4. Refleksi atau reflecting Dilakukan dengan cara menganalisis hasil pekerjaan siswa dan hasil observasi. Berdasarkan hasil analisis akan diperoleh kesimpulan bagian fase mana yang perlu diperbaiki atau disempurnakan dan fase mana yang telah memenuhi target. Kualitas proses pembelajaran dinyatakan mengalami perbaikan apabila capaian pada indikator keberhasilan yang telah ditetapkan sesuai target atau bahkan melebihnya. Langkah-langkah tindakan kelas tersebut di atas dapat diilustrasikan dalam bagan 3.1 berikut: Perencanaan Refleksi SIKLUS I Pelaksanaan Pengamatan Perencanaan Refleksi SIKLUS II Pelaksanaan Pengamatan ? Bagan 3.1. Alur Penelitian Tindakan Kelas (Arikunto, 2007: 16) Model Kurt Lewin yang terdiri dari empat komponen yang dikembangkan oleh Kemmis dan Mc Taggart. Kedua ahli ini memandang komponen sebagai langkah dalam siklus, sehingga mereka menyatukan dua komponen yang kedua dan ketiga, yaitu tindakan dan pengamatan sebagai suatu kesatuan. Hasil dari pengamatan ini kemudian dijadikan dasar sebagai langkah berikutnya, yaitu 53 refleksi kemudian disusun sebuah modifikasi yang diaktualisasikan dalam bentuk rangkaian tindakan dan pengamatan lagi, begitu seharusnya. Prosedur penelitian tindakan kelas ini terdiri dari 2 siklus. Tiap siklus dilaksanakan sesuai dengan perubahan yang ingin dicapai. Untuk mengetahui kemampuan menghitung luas dua bangun datar sederhana dilakukan tes. Hasil sebagai dasar untuk menentukan tindakan yang tepat dalam rangka meningkatkan kemampuan menghitung luas dua bangun datar sederhana. Tabel 3.3. Prosedur Penelitian Siklus I 1. 2. 3 4 5 6 Siklus II 7 8 9 10 Kesimpulan Persiapan Diskripsi awal Kemampuan menghitung luas dua bangun datar sederhana rendah Penyusunan Rencana a. Merencanakan pembelajaran melalui Tindakan media realia b. Menentukan pokok bahasan. c. Mengembangkan skenario pembelajaran. d. Menyiapkan sumber belajar. e. Mengembangkan faktor evaluasi. f. Mengembangkan faktor observasi. Pelaksanaan Tindakan Menerapkan tindakan mengacu pada skenario pembelajaran. Pengamatan Melakukan observasi dengan memakai format observasi. Evaluasi / Refleksi a. Melakukan evaluasi tindakan yang telah dilakukan. b. Melakukan pertemuan untuk membahas hasil evaluasi tentang skenario pembelajaran. c. Memperbaiki pelaksanaan tindakan sesuai hasil evaluasi, untuk digunakan siklus berikutnya. d. Evaluasi tindakan I. Perencanaan dan a. Atas dasar hasil siklus I, dilakukan penyempurnaan penyempurnaan tindakan. tindakan b. Pengamatan program tindakan II Tindakan Pelaksanaan program tindakan II Pengamatan Pengumpulan data tindakan II Evaluasi / Refleksi Evaluasi tindakan II (berdasarkan indikator pencapaian ) 54 H. Indikator Kinerja Indikator pencapaian dalam penelitian tindakan ditetapkan apabila kemampuan menghitung luas dua bangun datar sederhana mata pelajaran matematika secara individu minimal mendapat nilai 60 (KKM) dinyatakan telah mencapai ketuntasan belajar dan secara klasikal dari 3 siswa mendapat nilai 60 atau lebih. Penetapan indikator pencapaian ini disesuaikan dengan kondisi sekolah, seperti batas minimal nilai yang dicapai dan ketuntasan belajar bergantung pada guru kelas yang secara empiris tahu betul keadaan murid-murid di kelasnya (sesuai dengan KTSP).