Perilaku Moral Remaja Oleh : Anglia Febrina Proses

advertisement
Perilaku Moral Remaja
Oleh : Anglia Febrina
Proses-Proses Dasar
Pandangan behavioral menekankan perilaku moral dari remaja. Proses-proses
yang sudah biasa kita kenal seperti penguatan, hukuman, imitasi, telah
digunakan untuk menjelaskan begaimana dan mengapa remaja mempelajari
perilaku moral tertentu dan mengapa perilaku mereka berbeda dari perilaku
orang lain (Grusec, 2005). Kesimpulan umum yang dapat diambil berlaku sama
seperti halnya yang berlaku untuk bidang lain dari perilaku sosial. Apabila remaja
memperoleh penguatan positif ketika menampilkan perilaku yang konsisten
dengan peraturan dan konvensi sosial, mereka cenderung akan mengulang
perilaku tersebut di masa yang akan datang. Ketika dihadapkan dengan modelmodel yang berprilaku moral, mereka cenderung akan mengadopsi perilaku
moral
dari
model-model
tersebut.
Ketika
para
remaja
dihukum
karena
menampilkan perilaku yang tidak bermoral atau tidak dapat diterima, perilaku
tersebut mungkin dapat dihilangkan, namun memiliki efek samping terhadap
kehidupan emosi remaja.
Terhadap kesimpulan yang bersifat umum ini, kami dapat menambahkan
beberapa sifat. Efektivitas dari penguatan dan hukuman yang diberikan dalam
membentuk perilaku moral tergantung pada konsistensi dan jadwal dari
pemberian penguatan dan hukuman tersebut. Efektivitas pemberian model
tergantung dari karakteristik model (kuat, hangat, unik, dan seterusnya) serta
kehadiran proses- proses kognitif, seperti kode-kode simbolik dan perumpamaan
yang diberikan, yang digunakan untuk mempertahankan perilaku yang ditiru.
Disamping menekankan pada peran dan pengaruh-pengaruh lingkungan dan
kesenjangan yang terdapat di antara pemikiran moral dan tindakan moral, para
behavioris juga menekankan bahwa perilaku moral itu bersifat situasional.
Dengan
perkataan
lain,
menurut
para
behavioris,
remaja
tidak
selalu
memperlihatkan perilaku moral yang konsisten di berbagai situasi sosial
(Eisenberg, 2004). Dalam sebuah penyelidikan klasik mengenai perilaku moral,
salah satu penyelidikan paling luas yang pernah dilakukan, Hugh Hartshorne dan
Mark May (1928- 1930) mengamati perilaku moral dari 11.000 anak-anak dan
remaja yang diberi peluang untuk berbohong dan mencuri di berbagai situasi
seperti dirumah, disekolah, situasi sosial dan atletik. Sulit untuk menemukan
anak atau remaja yang sepenuhnya jujur atau sepenuhnya tidak jujur. Yang
terlihat jelas adalah tampilnya perilaku moral yang terkait dengan situasi yang
spesifik. Remaja memiliki kecenderungan lebih besar untuk mencuri apabila
kawan-kawannya memaksa mereka untuk melakukan hal itu dan kemungkinan
untuk ketahuan itu kecil. Analisis lain memperlihatkan bahwa beberapa remaja
memiliki kecenderungan lebih besar untuk berbohong dan mencuri dibandingkan
beberapa remaja lainnya, dimana hal ini mengindikasikan bahwa beberapa
remaja memperlihatkan perilaku moral yang lebih konsisten dibandingkan
beberapa remaja lainnya (Burton, 1984).
Teori Kognisi Mengenai Perkembangan Moral
Teori Kognisi Sosial Mengenai Perkembangan Moral (Social Cognitive Theory Of
Moral Develoment) menekankan adanya pembedaan antara kompetensi moral
remaja, kemampuan untuk menghasilkan perlaku moral dan performa moral,
penampilan perilaku-perilaku moral disituasi khusus (Mischel & Mischel, 1975).
Kompetensi atau kemahiran terutama bertumbuh dari proses-proses kognitifsensoris. Kompetensi dapat meliputi hal-hal yang mampu dilakukan oleh remaja,
keterampilan yang dimiliki, kesadaran remaja mengenai peraturan-peraturan
moral, kemampuan kognitif mereka untuk menyusun perilakunya. Sebaliknya,
performa atau perilaku moral remaja ditentukan oleh motivasi, imbalan, dan
insentif-insentif yang diterapkan ketika mereka menampilkan suatu perilaku
moral tertentu.
Albert Bandura (1991- 2002) juga berpendapat bahwa perkembangan moral
paling baik dipahami apabila kita mempertimbangkan kombinasi dari faktorfaktor
sosial
dan
kognitif,
khususnya
yang
melibatkan
kontrol-diri.
Ia
menyatakan bahwa ketika mengembangkan “diri moral (moral self), individu
mengadopsi standar mengenai benar dan salah yang dapat berfungsi sebagai
pedoman dan larangan dalam berprilaku. Dalam proses regulasi diri ini,
seseorang dapat memonitor perilakunya dan kondisi-kondisi yang menyertainya,
menilai kaitan antara perilaku tersebut dengan standar-standar moral, serta
meregulasi
tindakan-tindakannya
berdasarkan
pertimbangan
mengenai
konsekuensinya bagi diri sendiri. Mereka melakukan berbagai hal yang dapat
memberikan kepuasan dan meningkatkan harga drinya. Mereka menahan diri
untuk bertindak dalam cara-cara yang menentang standar- standar moralnya
karena tindakan semacam itu dapat mengakibatkan perasaan bersalah. Sanksi
yang dikenakan terhadap diri sendiri dapat menjaga agar mereka tetap menaati
standar-standar internal” (Bandura, 2002, hal. 102). Dengan demikian, menurut
Bandura, regulasi diri memiliki peran yang lebih besar bagi perkembangan moral
yang positif dibandingkan penalaran abstrak.
Tidak mengherankan apabila para ahli teori kognisi sosial mengkritik Kohlberg
yang sangat menekankan penalaran abstrak dan kurang menekankan perilaku
moral dan pengaruh- pengaruh situasional terhadap moralitas. Meskipun
Kohlberg berpendapat bahwa penilaian mpral memiliki pengaruh yang penting
bagi perilaku moral, seperti para ahli teori kognisi sosial lainnya. Kohlberg
menekankan bahwa interpretasi individu mengenai aspek-aspek moral dan
faktual dari suatu situasi dapat menggiring keputusan moral yang dibuat
(Kohlberg & Candee, 1979). Sebagai contoh, Kohlberg menyebutkan bahwa
faktor-faktor “moral- ekstra”, seperti hasrat untuk menghindari rasa malu, dapat
menyebabkan
anak-anak
gagal
untuk
melakukan
hal-hal
yang
menurut
keyakinan mereka benar secara moral. Singkatnya, menurut ahli teori kognisi
sosial maupun Kohlberg, tindakan moral dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
kompleks.
Secara keseluruhan, teman-teman tersebut memperlihatkan adanya perpaduan
antara pemikiran moral dan perilaku moral. Meskipun demikian, sebuah
penelitian
yang
melibatkan
para
mahasiswa
kampus
menemukan bahwa
individu-individu penalaran moral yang mengandung prinsip-prinsip yang tinggi
dan kekuatan- ego yang tinggi memiliki kecenderungan lebih kecil untuk
mencontek dalam situasi yang memungkinkan, dibandingkan dengan mereka
yang memiliki prinsip dan kekuatan ego yang rendah (Hess, Lonky, & Roodin,
1985).
Perilaku
moral
melibatkan
aspek-aspek
negatif
dari
perilaku
mencontek,
berbohong, dan mencuri, contohnya maupun aspek-aspek positif dari perilaku
seperti mempertimbangkan kepentingan orang lain dan alasan yang layak.
Perilaku Prososial
Banyak tindakan prososial melibatkan altruisme (altruism), suatu minat untuk
menolong orang lain dan tidak memikirkan diri sendiri. Altruisme dijumpai di
berbagai penjuru dunia dn merupakan suatu prinsip pedoman dalam agama
Kristen, Budha, Hindu, Islam dan Yahudi. Meskipun remaja sering kali dinyatakan
sebagai sosok yang egosentrik dan memikirkan diri sendiri, remaja juga banyak
menampilkan tindakan yang bersifat altruistik (Eisenberg & Morris, 2004;
Eisenberg & Wang, 2003; Puka, 2004). Sebagai contoh, dalam kehidupan seharihari kita dapat melihat seorang remaja yang berkerja keras namun rela
menyisihkan satu dolar untuk kotak sumbangan gereja setiap minggunya;
kegiatan-kegiatan seperti mencuci mobil, penjualan roti bakar, dan acara konser
yang disponsori oleh remaja, yang bertujuan untuk menggalang dana bagi
orang-orang miskin dan membantu anak-anak yang mengalami keterbelakangan
mental serta remaja yang memelihara dan merawat seekor kucing yang terluka.
Karakteristik lingkungan yang lebih banyak mendorong altruisme pada remaja
umumnya diwarnai oleh adanya emosi yang empatik atau simpatik terhadap
individu yang membutuhkan atau terdapat ikatan yang karib antara dermawan
dengan orang yang menerima bantuan (Clark dkk., 1987). Perilaku prososial
lebih banyak dilakukan pada masa remaja dibandingkan di masa kanak-kanak,
meskipun contoh-contoh mengenai sikap perhatian dan mengayomi seseorang
dalam kondisi stres sudah berlangsung sejak dimasa prasekolah (Eisenberg &
Fabes, 1998; Eisenberg, Fabes, & Spinrad, 2006; Eisenberg &Morris, 2004).
Adakah perbedaan gender dalam perilaku sosial di masa remaja? Remaja
perempuan cenderung memandang dirinya sebagai sosok yang prososial,
empatik, dan lebih banyak terlibat dalam perilaku prososial dibandingkan remaja
laki-laki
(Eisenberg,
2006;
Eisenberg
&
Morris,
2004).
sebagai
contoh,
rangkuman penelitian menemukan bahwa di masa kanak-kanak dan remaja,
perempuan lebih banyak terlibat dalam perilaku prososial (Eisenberg & Fabes,
1998). Perbedaan gender terbesar terletak dalam hal jenis dan perilaku
konsiderasi, di mana kesediaan berbagi (sharing) memperlihatkan perbedaan
yang lebih kecil.
Memaafkan (forgiveness) adalah salah satu aspek perilaku prososial yang terjadi
apabila seseorang
yang terluka membebaskan orang yang melukai dari beban
kemungkinan
untuk
memperoleh
hukuman.
Dalam
sebuah
penyelidikan,
individu- individu yang berasal dari kelas empat hingga mahasiswa dan dewasa,
diminta untuk menjawab pertanyaan mengenai memaafkan (Enright, Santos, &
Al- Mabuk, 1989). Remaja secara khusus banyak dipengaruhi oleh tekanan
kelompok untuk hal-hal yang menyangkut kesediaan memaafkan orang lain.
Perasaan Moral
Empati
perasaan-perasaan positif, seperti empati, berkontribusi terhadap perkembangan
moral remaja. Perasaan
empati (emphaty) berarti bereaksi terhadap perasaan
orang lain yang disertai dengan respons emosional yang serupa dengan perasaan
orang lain. Meskipun empati dialami sebagai kondisi emosional, perasaan empati
memilki komponen kognitif, kemampuan untuk memahami kondisi psikologis
dalam diri seseorang, atau yang biasa disebut sebagai pengambilan perspektif.
Sekitar usia 10 hingga 12 tahun, individu mengembangkan empati bagi orang
lain yang hidup dalam lingkungan yang kurang menguntungkan (Damon, 1988).
Kepeduliaan anak-anak tidak lagi terbatas pada perasaan dari orang-orang
khusus di situasi- situasi yang langsung teramati oleh mereka. Lebih dari itu,
anak-anak usia 10 hingga 12 tahun memperluas kepedulian mereka terhadap
masalah-masalah umum yang dialami oleh orang-orang yang hidup dalam
lingkungan yang kurang beruntung seperti orang-orang miskin, cacat, terkucil
secara sosial, dan seterusnya. Kepekaan yang baru ini dapat menggiring anakanak yang lebih besar untuk bertindak secara altruistik, dan selanjutnya
memberikan rasa kemanusiaan bagi perkembangan ideologi dan politik remaja.
Meskipun setiap remaja mempu berespon dengan empati, tidak setiap orang
mampu. Perilaku empatis remaja juga cukup bervariasi. Sebagai contoh, pada
anak-anak dan remaja yang lebih besar, disfungsi dalam empati dapat mengarah
perilaku antisosial. Beberapa remaja yang melakukan kejahatan terlihat kurang
mempu memahami
penderitaan
yang
dialami
korbannya,
ketika
ditanyai
mengenai penderitaan seorang wanita buta yang diakibatkan oleh perilakunya,
mengatakan, “kenapa aku mesti peduli? Aku bukan dia” (Damon, 1988)
Perspektif Kontemporer
Banyak ahli perkembangan berpendapat bahwa perasaan-perasaan positif seperti
empati, simpati, kekaguman, dan harga diri, maupun perasaan-perasaan negatif
seperti kemarahan, kekejaman, perasaan malu, perasaan bersalah, dapat
berkontribusi bagi perkembangan moral remaja (Damon, 1998, 1995; Eisenberg
& Fabes, 1998). Ketika dialami secara kuat, emosi-emosi ini mempengaruhi
remaja untuk bertindak menurut standar-standar benar dan salah. Emosi-emosi
seperti empati, perasaan malu, perasaan bersalah, dan kecemasan yang muncul
karena norma-normanya, sudah dialami sejak awal perkembangan dan terus
mengalami perubahan sepanjang masa kanak-kanak dan remaja. Emosi-emosi
ini memberikan landasan yang alamiah bagi pemerolehan nilai-nilai moral
remaja,
mengarahkan
para
remaja
pada
peristiwa-peristiwa
moral
dan
memotivasi mereka untuk memberikan atensi terhadap peristiwa-peristiwa
semacam itu. Meskipun demikian, agar dapat membangun kesadaran moral
remaja, emosi-emosi moral itu tidak berkerja dalam kehampaan. Emosi-emosi
moral itu sendiri juga tidak memberikan “substansi” dari regulasi moral aturan,
nilai, dan standar perilaku yang dibutuhkan para remaja untuk memahami dan
bertindak. Emosi-emosi moral saling bertumpang tindih dengan aspek-aspek
kognitif dan sosial dari perkembangan remaja.
Referensi : Referensi : Santrock J.W, 2007. Remaja Edisi 11 Jilid 1, Erlangga :
Jakarta.
Download