BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Penelitian Terdahulu Dalam hal ini peneliti menyantumkan penelitian sebelumnya sebagai bahan untuk penelitian terdahulu yang relevan : a. Penelitian yang dilakukan oleh Rima Hardiyanti dari Universitas Hasanuddin dengan judul Komunitas Jilbab Kontemporer “Hijabers” di Kota Makassar (2012). Pada penelitian tersebut dijelaskan mengenai fakta sosial yang dibentuk Komunitas HMM yakni identitas sosial yang nampak dalam masyarakat menurut pandangan dan pengalaman informan. Yaitu identitas sosial yang bersifat eksklusif, dan identitas kedua yang bersifat konsumtif dan komersial. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui identitas apa saja yang dimunculkan berdasarkan pengalaman dan penalaran para anggota komunitas “Hijabers”. Selain itu tujuan lainnya adalah untuk mengetahuiapa saja yang dimunculkan oleh Komunitas Hijabers Moeslem Makassar berdasarkan pengalaman dan penalaran para anggota. Teori penelitian yang digunakan oleh penelitian sebelumnya salah satunya adalah Stratifikasi sosial dan gaya hidup adalah merupakan suatu sistem dimana kelompok manusia terbagi dalam lapisan-lapisan sesuai dengan kekuasaan, kepemilikan dan pretise relatif suatu kelompok. (James M. Henslin, 2007) http://digilib.mercubuana.ac.id/ Penelitian ini sudah cukup baik namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu didalam penelitian ini tidak ada proses dan arah kesadaran pada konversi identitas, padahal jika dikaji lebih mendalam akan lebih menarik. b. Penelitian yang dilakukan oleh Qoidud Duwal dengan judul Konsep Jilbab dalam Hukum Islam (Study Pemikiran KH. Husein Muhammad (2009)). Penelitian ini berisi tentang Pemikiran Husein Muhammad mengenai konsep jilbab terlihat berbeda dengan mayoritas pandangan Ulama-Ulama klasik. Husein berkesimpulan jilbab hanyalah sebuah tradisi Arab, dimana fungsi jilbab hanyalah sebagai pembeda status sosial masyarakat bukan sebagai status agama. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemikiran KH. Husein Muhammad tentang konsep Jilbab dalam Hukum Islam. Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan Penelitian Pustaka (Library Research) yaitu penelitian yang sumber datanya diperoleh dari penelitian dan menelaah buku-buku, majalah, artikel, jurnal, media online, dan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu jilbab, baik melalui sumber data primer maupun sumber data sekunder. Sifat penelitian ini bersifat deskriptif analitik, yaitu untuk mengetahui permasalahan secara teliti, gamblang dan terfokus. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah pemikiran Husein Muhammad mengenai konsep jilbab terlihat berbeda dengan mayoritas pandangan ulama-ulama klasik lainnya. Husein beranggapan jilbab adalah merupakan tradisi Arab dimana fungsi jilbab hanyalah sebagai pembeda status sosial masyarakat, bukan sebagai status agama. Yaitu kelas perempuan merdeka dengan kelas perempuan budak. c. Penelitian yang dilakukan oleh Aryani Nurofifah, dengan judul Jilbab Sebagai Fenomena Agama dan Budaya (Interpretasi Terhadap Alasan Mahasiswi Fakultas Adab http://digilib.mercubuana.ac.id/ dan Ilmu Budaya Univ Islam Negri Sunan Kalijaga Yogyakarta Dalam Memilih Model Jilbab (2013)). Penelitian ini berisi tentang Fenomena munculnya beragam model jilbab yang dipakai oleh mahasiswi tersebut banyak dipengaruhi oleh perkembangan pasar. Selain itu peran media massa secara tidak langsung mempengaruhi mahasiswi untuk mengikuti trend jilbab saat ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ragam model berjilbab yang dipilih oleh Mahasiswi Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga Yogyakarta, serta untuk mengetahui alasana mahasiswi tersebut memilih model jilbab. Teori dalam penelitian ini menggunakan teori Postmoderisme yaitu gerakan kebudayaan yang pada umunya dicirika oeh penentangan terhadap totalitarianisme dan universalisme, serta kecenderungannya kearah keanekaragaman, kearah melimpah ruah dan tumpang tindihnya berbagai citraan dan gaya. Dan metode yang digunakan adalah kualitatif yaitu penelitian yang bertujuan memahami realitas sosial yaitu melihat dunia dari apa adanya, bukan dunia yang seharusnya. d. Penelitian yang dilakukan oleh Dadi Ahmadi dan Nova Yohana, dengan judul Konstruksi Jilbab Sebagai Simbol Keislaman (2005). Penelitian ini membahas tentang Motivasi mahasiswa berjilbab memakai gaya jilbab yang variatif terdiri dari gaya jilbab “lebar”, jilbab “gaul”, dan jilbab “semi” dapat dilihat dari alasan-alasan yang mendorong mereka untuk berjilbab dengan gaya berbeda. Berbagai alasan tersebut dibuat dalam tiga kategori motif, yaitu motif teologis yang menunjukkan berjilbab atas alasan agama, motif psikologis yang menunjukan berjilbab atas alasan kenyamanan, dan motif modis yang menunjukkan berjilbab atas alasan trend mode atau sekedar gaya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaiman konstruksi realitas jilbab sebagai simbol keislaman terkait dengan motivasi mahasiswa Universitas Islam Bandung memakai jlbab dan perilaku mahasiswi berjilbab sebagai manifestasi identitas http://digilib.mercubuana.ac.id/ diri seorang muslim. Teori yang digunakan adalah Fenomenologi yaitu studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Sedangkan metode yang digunakan adalah perspektif subjektif yaitu menangani hal-hal yang bersifat khusus, bukan hanya perilaku terbuka, tetapi juga prose yang tak terucapkan dengan sampel kecil atau purposif, memahami peristiwa yang mempunyai makna historis, menekankan perbedaan individu, mengembangkan hipotesis (teori) yang terikat dengan konteks dan waktu, membuat penelitian etis atau estetis atas fenomena (komunikasi) spesifik. http://digilib.mercubuana.ac.id/ http://digilib.mercubuana.ac.id/ http://digilib.mercubuana.ac.id/ http://digilib.mercubuana.ac.id/ http://digilib.mercubuana.ac.id/ 2.1.2 Kajian Teoritis 2.1.2.1. Komunikasi Artifaktual Seperti halnya komunikasi pada umumnya, seseorang dapat berkomunikasi melalui tanda-tanda penampilan serta melalui objek-objek lain (artifak) yang mengelilinginya. Studi mengenai komunikasi nonverbal (artifaktual) relatif masih baru. Studi ini berakar dari studi komunikasi antar budaya melalui karya Edward T. Hall (1959): The Silent Language. Menurut Hall, budaya menggambarkan bagaimana cara dan langkah manusia untuk memahami dan mengorganisir dunianya. Dunia itu terbentuk oleh sekelompok orang yang melintasi hubungan antarmanusia dan bahkan generasi. Budayalah yang mempengaruhi sensori manusia ketika memproses kehidupannya. Proses itu bahkan menyusup sampai ke pusat sistem syaraf. Budaya selalu memiliki dua manifestasi, yakni manifestasi material dan simbol-simbol yang mewarnai bahasa, adat kebiasaan, sejarah, organisasi sosial, termasuk pengetahuan, dan manifestasi kedua, budaya diharapkan sebagai identitas kelompok. (“Pentingnya Komunikasi Artifaktual Dalam Keberhasilan Modifikasi Komunikasi Antar Manusia”, Bekti Istiyanto, 2008) Asante dan Gundykust (dalam Liliweri, 1994)) mengemukakan bahwa pemaknaan pesan nonverbal maupun fungsi nonverbal memiliki perbedaan dalam cara dan isi kajiannya. Pemaknaan (meanings) merujuk pada cara interpretasi suatu pesan, sedangkan fungsi (functions) merujuk pada tujuan dan hasil suatu interaksi. Setiap penjelasan terhadap makna dan fungsi komunikasi nonverbal harus menggunakan sistem. Hal ini disebabkan karena pandangan terhadap perilaku nonverbal melibatkan penjelasan dari beberapa kerangka teoretis, seperti teori sistem, interaksi simbolik dan kognisi. a. Sistem Komunikasi Artifaktual http://digilib.mercubuana.ac.id/ Petunjuk artifaktual meliputi segala macam penampilan (appearance) sejak potongan tubuh, kosmetik yang dipakai, baju, tas, pangkat, badge, dan atribut-atribut lainnya. Randal P. Harrison menyebutkan Artifactual Codes ini seperti manipulation of dress, kosmetik (make-up), perlengkapan, obyek seni, simbol status, arsitektur, dan sebagainya. Karen Dion, Ellen Berscheid, dan Elaine Walster di tahun 1972 meneliti apakah penampilan menarik atau tidak menarik menimbulkan asumsi-asumsi tertentu? Apakah orang yang cantik cenderung dianggap berperilaku baik atas dasar kemungkinan sukses dalam hidupnya? Mereka memperlihatkan tiga buah foto kepada para mahasiswa undergraduate. Foto yang pertama menunjukkan orang yang cantik, kedua yaitu ratarata, dan ketiga yaitu berwajah jelek. Mahasiswa diharuskan memberikan penilaian tentang kepribadian orang dalam foto itu dengan mengisi angket ukuran kepribadian. Kemudian mereka harus memperkirakan kemungkinan perkawinannya dan keberhasilan dalam kariernya. Subjek-subjek eksperimen terbukti menilai orang cantik lebih bahagia dalam pernikahannya, dan lebih mungkin berhasil memperoleh pekerjaan yang baik, ketimbang rekan-rekannya yang berwajah jelek (Rakhmat, 2007: 88). Penampilan fisik seseorang dapat mempengaruhi reaksi dari orang-orang lainnya. Orang yang gemuk berharap langsing, dan juga orang yang kurus berharap gemuk. Warna kulit, warna rambut, panjang rambut, penampilan secara umum, riasan wajah, dan perhiasan juga akan mempengaruhi orang lain. Pakaian, kadang-kadang membuat orang dapat berkomunikasi, mengenal status ekonomi, pekerjaan serta nilai sama baiknya dengan citra diri. Sehingga penampilan fisik dapat mewarnai persepsi orang terhadap pesan dari seseorang (Anderson, 1990 dalam Faturakhman, 2000:32). b. Pakaian Sebagai Komunikasi Secara etimologis, fashion berasal dari bahasa Latin factio, yang artinya membuat atau melakukan dan dari kata inilah diperoleh fraksi, yang memiliki arti politis, http://digilib.mercubuana.ac.id/ facere yang artinya membuat atau melakukan. Karena itu, arti asli fashion mengacu pada kegiatan. Fashion merupakan sesuatu yang dilakukan seseorang, tak seperti dewasa ini yang memaknai fashion sebagai sesuatu yang dikenakan seseorang. Setiap hari manusia memutuskan tentang peran dan status sosial orang yang mereka jumpai berdasarkan apa yang mereka kenakan, manusia memperlakukan pakaian yang dikenakan sebagai, meminjam istilah Marx (1954:79), hieroglif social, yang menyembunyikan atau bahkan mengomunikasikan posisi sosial pemakainya. Hingga saat ini fashion sering disalah artikan oleh banyak orang. Mereka seringkali menyamakan fashion dengan dandanan, gaya, maupun busana. Untuk mengantisipasi hal tersebut, ada perbedaan yang dipegang oleh para ahli untuk menentukan mana yang fashion dan yang mana anti-fashion. Perbedaan seperti itu bisa membantu memperjelas mengenai apa yang dimaksud dengan fashion, sebagai kebalikan dari busana atau gaya, dengan menemukan apa yang dimaksudkan orang dengan yang bukan fashion. Versi Flugel atas distingsi antara tipetipe pakaian yang “tetap” dan “ modis atau fashionable” dan seperti juga Simmel dikaitkan dengan perbedaan-perbedaan tertentu dalam organisasi sosial (dalam Barnard, 1996). Menurut Flugel, perbedaan di antara kedua tipe pakaian ini lebih jelas bila dipahami dalam artian relasi oposisinya dengan ruang dan waktu. Ini jauh lebih rumit dan sulit ketimbang kedengarannya. Jadi bisa dikatakan, meski semua pakaian adalah dandanan namun tidak semua dandanan itu fashionable. Bisa juga dikatakan bahwa meski semua pakaian adalah dandanan, namun tidak semua fashion itu pakaian karena alasan tertentu. Dapat dikatakan pula, meski semua fashion itu dandanan, tak semua fashion itu pakaian. Beberapa fashion itu memberi tato atau menunjukkan pertentangan. Begitu halnya meski semua butir busana itu akan tampil dalam gaya busana tertentu, tak setiap gaya akan menjadi fashion, begitu gaya itu berlalu kemudian menjadi ketinggalan jaman alias tidak fashion lagi. Akhirnya bisa dikatakan, meski semua fashion bergaya, http://digilib.mercubuana.ac.id/ namun tak semua fashion itu merupakan butir dari busana. Seperti sudah dikemukakan, beberapa fashion terkait dengan perubahan warna dan bentuk tubuh. Busana, pakaian, kostum, dan dandanan adalah bentuk komunikasi artifaktual (artifactual communication). Komunikasi artifaktual biasanya didefinisikan sebagai komunikasi yang berlangsung melalui pakaian dan penataan berbagai artefak, misalnya pakaian, dandanan, barang perhiasan, kancing baju, atau furniture di rumah dan penataannya, ataupun dekorasi suatu ruangan. Karena fashion, pakaian atau busana menyampaikan pesan-pesan nonverbal itu termasuk komunikasi nonverbal. (“Pentingnya Komunikasi Artifaktual Dalam Keberhasilan Modifikasi Komunikasi Antar Manusia”, Bekti Istiyanto, 2008) Pakaian merupakan berkomunikasi melalui ‘ bahasa pemakaian diam' (silent simbol-simbol language) verbal yang maupun nonverbal. Goffman menyebut simbol-simbol semacam itu sebagai `sign-vehicles' atau 'cues' yang menyeleksi status yang akan diterapkan kepada seseorang dan menyatakan tentang cara-cara orang lain memperlakukan mereka. Jalan pintas visual terhadap persepsi seseorang akan membuat kita mampu mengkategorikan seorang individu dan menyiapkan suatu perangkat untuk dipergunakan dalam melakukan interaksi berikutnya. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk memahami makna dari simbolsimbol yang disampaikan oleh pakaian agar seseorang mampu menunjukkan dirinya sedemikian rupa sehingga impresi (kesan) yang diinginkan dapat diperoleh. Dalam kehidupan masyarakat urban masa kini yang bergerak dengan cepat sebagian besar http://digilib.mercubuana.ac.id/ kontak antar manusia bersifat sementara, dan tidak bersifat pribadi (impersonal). Dalam situasi seperti itu seringkali kesan pertama merupakan satu-satunya hal yang terbentuk. Untuk keperluan praktis lainnya pakaian menjadi bagian yang intim dan tak terpisahkan dari ruang pandang (perceptual field) tempat orang tersebut berada. Pakaian yang dikenakan oleh seseorang bisa menyampaikan isyarat tentang diri, peran, dan status si pemakai, serta membantu memberikan pernyataan tentang keadaan seperti apa orang tersebut dipandang. Banyak teori yang menjelaskan tentang perilaku pakaian secara umum; dan salah satu teori yang dipergunakan untuk mengkaji simbolisme pada pakaian dan untuk memahami aspek-aspek komunikatif dari pakaian ialah "Teori Interaksi Simbolik". Pada dasarnya Teori Interaksi Simbolik menyatakan bahwa manusia hidup atau berada di dalam suatu lingkungan simbolik maupun fisik dan perilaku manusia tersebut dirangsang oleh tindakan-tindakan yang juga bersifat simbolik dan fisik (Horn & Gurel, 1981:160). Dengan demikian seluruh simbol tersebut diperoleh melalui komuniaksi (interaksi) dengan orang lain. Interaksi yang menjadikan suatu masyarakat menjadi berfungsi tergantung kepada sejumlah besar jejaring (networks) simbol. Simbol - simbol tersebut memiliki makna yang umum atau makna yang dipahami bersama oleh suatu budaya. Meskipun sebagian besar simbol tersebut dikomunikasikan secara verbal tetapi beberapa di antaranya disalurkan melalui penglihatan, seperti gestur, gerak (motion), dan objek. Pakaian dan hiasan tubuh lainnya merupakan objek yang dipergunakan secara simbolik oleh manuisa dalam berinteraksi dengan manusia lainnya. Penampilan seseorang menyampaikan makna simbolik kepada orang lain yang melihatnya. http://digilib.mercubuana.ac.id/ Pakaian merupakan salah satu bentuk daya tarik fisik yang melekat pada tubuh seseorang. Jenis pakaian yang dipakai (mode mutakhir atau tidak mutakhir), warna, jenis bahan, kecocokan pada pemakainya, dan lain-lain. K. Gibbins (dalam Mayers, 1982) mengungkapkan bahwa ada hubungan antara warna dengan pakaian. Daya tarik seseorang dapat ditentukan oleh bentuk dan warna pakaian. Kesan pertama terhadap seseorang antara lain ditentukan oleh pakaiannya. Pakaian mempunyai banyak fungsi bagi mereka yang memandangnya. Orang bisa menerka ekspresi emosi dan perasaan melalui pakaian. Warna-warna terang melambangkan bahwa anda seorang yang kuat. Sementara kelabu dan gelap melambangkan suasana hati yang murung dan duka,mungkin juga tenang dan pribadi yang tertutup. Pakaian yang pendek (pada wanita), rok ketat dan berbelah belakang, slack yang sesak, menunjukkan kesan daya tarik seksual yang tinggi. Ternyata pakaian yang kita gunakan mempunyai dampak besar terhadap pribadi anda. Contohnya, pakaian seragam bernilai sangat kaya. Para pekerja bengkel memakai seragam biru kehitam-hitaman lambang pekerja keras. Pakaian pun berkaitan dengan umur pemakainya. Orang muda tidak suka berpakaian sama dengan orang tua. Orang muda lebih senang berpakaian norak, ramai, terang, dan riang. Orangtua memakai warna krem atau kelabu. Pakaian menunjukkan derajat sosial dan ekonomi pemakainya. Pakaian menunjukkan asal dan tingkat budayanya. Barbara dan Gene mengemukakan bahwa sejarah perkembangan celana (apakah panjang atau pendek) merupakan pakaian resmi pria. Sedangkan blus dan rok atau bawahan merupakan pakaian resmi wanita. Perbedaan jenis kelamin ditunjukkan oleh model pakaian yang dipakai. Rok yang dipakai wanita bersumber dari pakaian tradisional wanita barat yang mengutamakan kain lebar dan tebal. Fungsinya ganda, yaitu dapat melindungi keamanan pemakainya dari gangguan alam maupun binatang serangga. Fungsi ini merupakan simbol sayap ayam yang melindungi anak-anaknya. Para wanita http://digilib.mercubuana.ac.id/ akhirnya merampas pakaian yang seharusnya menjadi tanda kelaki-lakian yaitu celana panjang. Alasannya adalah menjaga kesopanan, dapat bergerak secara lebih luwes dan bebas. John Molly meneliti sejumlah sampel dan melaporkan bahwa sebagian kecil pekerja wanita sukses berhasil karena cara mereka berpakaian berbeda dengan pekerja wanita lainnya. Mereka kebetulan berpakaian pria (celana panjang) sehingga lebih dinamis dan bebas bergerak. Dalam masyarakat Indonesia pakaian-pakaian tertentu hanya boleh dikenakan oleh masyarakat yang tergolong masyarakat atas, menengah maupun bawah. Perbedaan tersebut tidak hanya pada model tetapi juga pada warna, bentuk, jenis bahan pakaian, sampai pada konteks atau waktu pakaian tersebut dipakai. Dari pakaian pun seseorang bisa mengenal asal etnik orang lain. Dalam organisasi formal seorang direktur utama selalu mengenakan dasi. Pakaian sebagai media komunikasi memiliki tiga fungsi, yakni penyampaian emosi, perilaku, dan perbedaan. Pertama, pakaian adalah sebuah simbol dan mengomunikasikan informasi perasaan, misalnya pakaian hari minggu, pakaian malam, dan sebagainya. Kedua, pakaian memiliki dampak pada perilaku pemakainya. Ketika seorang wanita muda memakai pakaian ketat dan pendek maka ini akan mengubah perilakunya. Ketiga, fungsi pakaian adalah untuk membedakan setiap individu ketika mereka berada dalam kelompok yang berbeda. (“Pentingnya Komunikasi Artifaktual Dalam Keberhasilan Modifikasi Komunikasi Antar Manusia”, Bekti Istiyanto, 2008) 2.1.2.2 Interaksi Simbolik Sejarah Teori Interaksionisme Simbolik tidak bisa dilepaskan dari pemikiran George Herbert Mead (1863-1931). Mead membuat pemikiran orisinal yaitu “The Theoretical Perspective” yang merupakan cikal bakal “Teori Interaksi Simbolik”. Dikarenakan Mead tinggal di Chicago selama lebih kurang 37 tahun, maka perspektifnya seringkali disebut sebagai Mahzab Chicago. http://digilib.mercubuana.ac.id/ Dalam terminologi yang dipikirkan Mead, setiap isyarat non verbal dan pesan verbal yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti yang sangat penting. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang diberikan oleh orang lain, demikian pula perilaku orang tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, maka kita dapat mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan oleh orang lain. Sesuai dengan pemikiran-pemikiran Mead, definisi singkat dari tiga ide dasar dari interaksi simbolik adalah : a. Mind (pikiran) - kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain. b. Self (diri pribadi) - kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya. c. Society (masyarakat) - hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya. Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik antara lain: http://digilib.mercubuana.ac.id/ 1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia, Tema ini berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara bersama dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut : Manusia, bertindak, terhadap, manusia, lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka, Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia, Makna dimodifikasi melalui proses interpretif . 2. Pentingnya konsep mengenai diri (self concept) Tema ini berfokus pada pengembangan konsep diri melaluiindividu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya dengan cara antara lain : Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui nteraksi dengan orang lain, Konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku Mead seringkali menyatakan hal ini sebagai : ”The particular kind of role thinking – imagining how we look to another person” or ”ability to see ourselves in the reflection of another glass”. 3. Hubungan antara individu dengan masyarakat. Tema ini berfokus pada dengan hubungan antara kebebasan individu dan masyarakat, dimana norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah :Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial, Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial http://digilib.mercubuana.ac.id/ 2.1.2.3 Teori Fenomenologi Sosial Fenomenologi secara etimologi berasal dari kata “phenomenon” yang berarti realitas yang tampak, dan “logos” yang berarti ilmu. Sehingga secara terminology, fenomenologi adalah ilmu berorientasi untuk dapat mendapatkan penjelasan tentang realitas yang tampak (Soerdjono Soekanto, 1993). Fenomena yang tampak adalah refleksi dari realitas yang tidak berdiri sendiri karena ia memiliki makna yang memerlukan penafsiran lebih lanjut. Fenomenologi menerobos fenomena untuk dapat mengetahui makna (hakikat) terdalam dari fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh-tokoh fenomenologi: Edmund Husserl Alfred Schutz Peter L. Berger Ahli teori sosiologi-fenomenologi yang paling menonjol adalah Alfred Schutz, seorang murid Husserl yang berimigrasi ke Amerika Serikat setelah munculnya fascism di Eropa, melanjutkan karirnya sebagai bankir dan guru penggal-waktu (part-time). Dia muncul di bawah pengaruh filsafat pragmatis dan interaksionisme-simbol; barngkali cara terbaik untuk mendekati karyanya adalah melihatnya sebagai bentuk interaksionisme yang lebih sistematik dan tajam. Akan tetapi, dalam karya klasiknya yang berjudul The Phenomenology of the Social World, bagaimanapun, dia tertarik dengan penggabungan http://digilib.mercubuana.ac.id/ pandangan fenomenologi dengan sosiologi melalui suatu kritik sosiologi terhadap karya Weber. (Muhammad Zeitlin, 1998) Dia mengatakan bahwa reduksi fenomenologis, pengesampingan pengetahuan kita tentang dunia, meninggalkan kita dengan apa yang ia sebut sebagai suatu “aruspengalaman” (stream of experience). Sebutan fenomenologis berarti studi tentang cara dimana fenomena hal-hal yang kita sadari muncul kepada kita, dan cara yang paling mendasar dari pemunculannya adalah sebagai suatu aliran pengalaman-pengalaman inderawi yang berkesinambungan yang kita terima melalui panca indera kita.( Muhammad Zeitlin, 1998) Fenomenologi tertarik dengan pengidentifikasian masalah ini dari dunia pengalaman inderawi yang bermakna, suatu hal yang semula yang terjadi di dalam kesadaran individual kita secara terpisah dan kemudian secara kolektif, di dalam interaksi antara kesadaran-kesadaran. Bagian ini adalah suatu bagian dimana kesadaran bertindak (acts) atas data inderawi yang masih mentah, untuk menciptakan makna, didalam cara yang sama sehingga kita bisa melihat sesuatu yang bersifat mendua dari jarak itu, tanpa masuk lebih dekat, mengidentifikasikannya melalui suatu proses dengan menghubungkannya dengan latar belakangnya. (Soerdjono Sukanto, 1993: 69). Hal ini mengantarkan kita kepada salah satu perbedaan yang jelas antara fenomenologi dan bentuk lain dari teori tindakan: “tindakan” sejauh ini mengacu pada tindakan manusi dalam berhubungan satu denan yang lain dan lingkungannya. Bagi fenomenologi juga sama halnya, bahkan tindakan terutama ditujukan kepada proses internal dari kesadaran (manusia), baik individualataupun kolektif. Sekali tindakan itu ditransformasikan ke dalam fikiran kita, ia menjadi sulit untuk keluar lagi dan ini http://digilib.mercubuana.ac.id/ mempunyai konsekuensinya pada usaha untuk memperluas sosiologi-fenomenologis menjadi sebuah teori tentang masyarakat seperti juga tentang pribadi. Menurut Schutz, cara kita mengkonstruksikan makna diluar dari arus utama pengalaman ialah melalui proses tipikasi. Dalam hal ini termsuk membentuk penggolongan atau klasifikasi dari pengalaman dengan melihat keserupaannya. Jadi dalam arus pengalaman saya, saya melihat bahwa objek-objek tertentu pada umumnya memiliki ciri-ciri khusus, bahwa mereka bergerak dari tempat ke tempat, sementara lingkungan sendiri mungkin tetap diam. (Muhammad Zeitlin, 1998:129-130) Jadi, kita menentukan apa yang Schutz sebutkan sebagai “hubungan-hubungan makna” (meanings contexs), serangkaian kriteria yang dengannya kita mengorgnisir pengalaman inderawi kita ke dalam suatu dunia yang bermakna. Hubungan-hubungan makna iorganisir secara bersama-sama, juga melalui proses tipikasi, ke dalam apa yag Schutz namakan “kumpulan pengetahuan” (stock of knowledge). Kalau kita tetap pada tingkat kumpulan pengetahuan umum (commomsense knowledge), kita diarahkan kepada studi-studi yang berlingkup kecil, mengenai situasisituasi tertentu, yang merupakan jenis karya empiris. Dimana interaksionisme simboliklah yang lebih unggul. Secara umum karya Schutz telah digunakan untuk memberikan konsep-konsep kepekaan yang lebih lanjut, sering secara implicit. Saya kira tiada satupun studi empiris yang menggunakannya secara sistematik kecuali melalui pengembangan etnometodologi. Namun demikian, Peter Berger telah mencoba secara sistematis untuk mengembangkan fenomenologi menjadi suatu teori mengenai masyarakat. (George Ritzer, 2007: 346) Sosiologi-fenomenologi memiliki kemampuan tertentu untuk bersifat sangat menarik dan sekaligus membosankan. Khususmya di dalam fungsionalisme structural, ia http://digilib.mercubuana.ac.id/ merupakan suatu perubahan yang menyegarkan, yang bergerak dari kategori-kategori teoritis yang sangat abstrak, yang sedikit sekali keitannya dengan dunia sosial yang kita alami, dan langsung masuk ke dalam kehidupan sehari-hari. Implikasi dari teori interaksi simbolik dapat dijelaskan dari beberapa teori atau ilmu dan metodologi berikut ini, antara lain: Teori sosiologikal modern (Modern Sociological Theory) menurut Francis Abraham (1982) dalam Soeprapto (2007), dimana teori ini menjabarkan interaksi simbolik sebagai perspektif yang bersifat sosial- psikologis. Teori sosiologikal modern menekankan pada struktur sosial,bentuk konkret dari perilaku individu, bersifat dugaan, pembentukan sifat-sifat batin, dan menekankan pada interaksi simbolik yang memfokuskan diri pada hakekat interaksi. Teori sosiologikal modern juga mengamati pola-pola yang dinamis dari suatu tindakan yang dilakukan oleh hubungan sosial, dan menjadikan interaksi itu sebagai unit utama analisis, serta meletakkan sikap-sikap dari individu yang diamati sebagai latar belakang analisis. Perspektif interaksional (Interactionist perspective) merupakan salah satu implikasi lain dari interaksi simbolik, dimana dalam mempelajari interaksi sosial yang ada perlu digunakan pendekatan tertentu, yang lebih kita kenal sebagai perspektif interaksional (Hendariningrum. 2009). Perspektif ini menekankan pada pendekatan untuk mempelajari lebih jauh dari interaksi sosial masyarakat, dan mengacu dari penggunaan simbol- simbol yang pada akhirnya akan dimaknai secara kesepakan bersama oleh masyarakat dalam interaksi sosial mereka. Konsep definisi situasi (the definition of the situation) merupakanimplikasi dari konsep interaksi simbolik mengenai interaksi sosial yang dikemukakan oleh William Isac Thomas (1968) dalam Hendariningrum (2009). http://digilib.mercubuana.ac.id/ Konsep definisi situasi merupakan perbaikan dari pandangan yang mengatakan bahwa interaksi manusia merupakan pemberian tanggapan (response) terhadap rangsangan (stimulus) secara langsung. Konsep definisi situasi mengganggap bahwa setiap individu dalam memberikan suatu reaksi terhadap rangsangan dari luar, maka perilaku dari individu tersebut didahului dari suatu tahap pertimbangan-pertimbangan tertentu, dimana rangsangan dari luar tidak ”langsung ditelan mentah-mentah”, tetapi perlu dilakukan proses selektif atau proses penafsiran situasi yang pada akhirnya individu tersebut akan memberi makna terhadap rangsangan yang diterimanya. Konstruksi sosial (Social construction) merupakan implikasi berikutnya dari interaksi simbolik yang merupakan buah karya Alfred Schutz, Peter Berger, dan Thomas Luckmann, dimana konstruksi sosial melihat individu yang melakukan proses komunikasi untuk menafsirkan peristiwa dan membagi penafsiran-penafsiran tersebut dengan orang lain, dan realitas dibangun secara sosial melalui komunikasi (LittleJohn. 2005: 308). Teori peran (Role Theory) merupakan implikasi selanjutnya dari interaksi simbolik menurut pandangan Mead (West-Turner 2008: 105). dimana, salah satu aktivitas paling penting yang dilakukan manusia setelah proses pemikiran (thought) adalah pengambilan peran (role taking). Teori peran menekankan pada kemampuan individu secara simbolik dalam menempatkan diri diantara individu lainnya ditengah interaksi sosial masyarakat. Teori diri (Self theory) dalam sudut pandang konsep diri, merupakanbentuk kepedulian dari Ron Harrě, dimana diri dikonstruksikan oleh sebuah teori pribadi (diri). Artinya, individu dalam belajar untuk memahami diri dengan menggunakan sebuah teori yang mendefinisikannya, sehingga pemikiran seseorang http://digilib.mercubuana.ac.id/ tentang diri sebagai person merupakan sebuah konsep yang diturunkan dari gagasan-gagasan tentang person hood yang diungkapkan melalui proses komunikasi (LittleJohn. 2005: 311). 2.1.2.4 Konversi Identitas Konversi seringkali didefinisikan sebagai sebuah perubahan yang radikal, tapi para ahli mempunyai berbagai pendapat tentang jenis perubahannya. Pendekatan pertama terhadap konversi yakni pendekatan psikologi sosial (personalitas) dan pendekatan yang kedua adalah pendekatan pandangan dunia. Konversi dari sudut pandang psikologi sosial merupakan perubahan organisasional diantaranya pada aspek afiliasi, kepercayaan, sikap dan antusiasme. Pendekatan psikologi sosial terhadap konversi sebagaimana dikemukakan oleh Heirich (1977:653) menyatakan konversi identitas berfokus pada tekanan psikologis, sosialisasi dan berbagai bentuk pengaruh lingkungan sosial seperti adanya faktor frustrasi, perubahan organisasi afiliasi, faktor kehilangan, perubahan kepercayaan, perubahan identitas, dan perubahan sikap. Pendekatan psikologi sosial menekankan pada aspek perubahan self yang dapat dobservasi. Pelaku konversi telah mengalami transformasi pada tataran logika dan keyakinan, nilai yang berguna untuk melakukan interpretasi terhadap semua aspek perjalanan hidupnya dari masa lalu, sekarang dan masa depan serta dunia sosial pada umumnya.tingkatan perubahan identitas para pelaku konversi dapat diamati dari pengalaman personal individu dalam melakukan konversi.tindakan individu melakukan proses konversi memperlihatkan perubahan sebagai alat manipulasi terhadap realitas yang berguna untuk berbagai alasan. Perubahan self dalam pendekatan ini harus dilihat dari faktor-faktor eksternal (sosial) untuk menjelaskan berbagai tahapan transformasi yang dialami oleh individu. Pendekatan pandangan dunia terhadap konversi menekankan perubahan “taken for granted” motives (landasan kesadaran dan bertindak yang bersifat taken for granted). http://digilib.mercubuana.ac.id/ Pendekatan ini disebut juga sebagai pendekatan pandangan dunia. World view menurut Luckmann (1967:53) adalah “...an encompassing system of meaning in wich socially relevant categories of time, space, causality and purpose are superordinated to more specific interpretative schemes in wch reality is segmented and the segments related to each ather. It’s logic and taxonomy are taken for granted”. Mengacu pada pendapat Lucmann pandangan dunia menghubungkan berbagai aspek realtas sehari-hari. Schutz menyatakan bahwa motif merupakan hal penting dalam tindakan manusia. Pentingnya motif untuk meninjau self dan konversi terdapat dalam pernyataan Schutz (1964:12-13): “ The because motives are grouped into systems under the caption of (social) personality-self is in the form of principles, maxims, habits, also tasks, affects for understanding many acts in sufficient to find typical motives of typicle actors wich explain the act as typical one arising of typical situation”. Motif adalah basis pandangan dunia. Motif merupakan elemen-elemen yang terisolasi satu sama lain melainkan terintegrasi dalam sistem yang besar dan konsisten (Schutz, 1964:16). Implikasinya untuk memahami transformasi identitas seseorang harus mengalami perubahan motif. William James (dalam Ramayulis 2002:70), menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa terjadinya konversi identitas karena: a) Adanya suatu tenaga jiwa yang menguasai pusat kebiasaan seseorang sehingga pada dirinya muncul persepsi baru, dalam bentuk suatu ide yang bersemi secara mantap. b) Konversi identitas dapat terjadi oleh karena suatu krisis ataupun secara mendadak (tanpa suatu proses). Berdasarkan kesimpulan ini William James, Starbuck (dalam Ramayulis 2007:7071), membagi konversi identitas menjadi 2 tipe : http://digilib.mercubuana.ac.id/ 1. Tipe Volational (Perubahan bertahap) Perubahan identitas tipe ini terjadi secara berproses sedikit demi sedikit sehingga kemudian menjadi seperangkat aspek dan kebiasaan rohaniah yang baru. Konversi yang demikian itu sebagian besar terjadi sebagai suatu proses perjuangan batin yang ingin menjauhkan diri dari dosa karena ingin mendatangkan suatu kebenaran. 2. Tipe Self-Surrender (Perubahan Drastis) Konversi tipe ini adalah konversi yang terjadi secara mendadak. Seseorang tanpa mengalami suatu proses tertentu tiba-tiba berubah pendiriannya terhadap suatu agama yang dianutnya. Perubahan inipun dapat terjadi dari kondisi yang tidak taat menjadi lebih taat, dari tidak percaya kepada suatu kepercayaan kemudian menjadi percaya dan sebagainya. Pada konversi tipe kedua ini menurut William James adanya pengaruh petunjuk dari Yang Maha Kuasa terhadap seseorang, karena gejala konversi ini terjadi dengan sendirinya pada diri seseorang sehingga ia menerima kondisi yang baru dengan penyerahan jiwa sepenuh-penuhnya. Faktor – faktor tersebut apabila mempengaruhi seseorang atau kelompok hingga menimbulkan semacam gejala tekanan batin, maka akan terdorong untuk mencari jalan keluar yaitu ketenangan batin. Dalam kondisi jiwa yang demikian, secara psikologi kehidupan batin seseorang itu menjadi kosong dan tak berdaya sehingga mencari perlindungan kekuatan lain yang mampu memberinya kehidupan jiwa yang tenang dan tentram. (Jalaluddin, 2008: 314-317) Menurut Abdalla, konversi internal terjadi dalam satu agama, dalam artian pola pikir dan pandang seseorang berubah, ada yang dihilangkan dan tidak menutup kemungkinan banyak yang ditambahkan (ibadah, tetapi konsep ketuhanan tetap sama). http://digilib.mercubuana.ac.id/ Sedangkan dalam konversi eksternal pindah keyakinan kekonsep yang benar-benar berbeda dengan konsep keyakinan sebelumnya. Para ahli ilmu pendidikan berpendapat bahwa konvesi agama dipengaruhi oleh kondisi pendidikan. Berdirinya sekolah –sekolah yang bernaung di bawah yayasan agama tentunya mempunyai tujuan keagamaan pula. Menurut Zakiyah Daradjat, Faktor-Faktor yang mempengaruhi konversi identitas adalah (Zakiyah Daradjat 1991:159 - 164): a) Pertentangan batin ( konflik jiwa ) dan ketegangan perasaan orang – orang yang gelisah, yang di dalam dirinya bertarung berbagai persoalan, yang kadang – kadang dia merasa tidak berdaya menghadapi persoalan atau problem itu mudah mengalami konversi identitas, di antaranya ketegangan batin itu ialah tidak mampunya mematuhi nilai–nilai moral dan agama dalam hidupnya. b) Pengaruh hubungan dengan tradisi agama. Aktifitas lembaga keagamaan mempunyai pengaruh besar terutama aktifitas – aktifitas sosialnya. Kebiasaan – kebiasaan yang dialami waktu kecil, melalui bimbingan lembaga – lembaga kagamaan itu, termasuk salah satu faktor penting yang memudahkan terjadinya konversi agama jika pada umur dewasanya ia kemudian menjadi acuh tak acuh pada agama dan mengalami konflik jiwa ketegangan batin yang tidak teratasi. c) Ajakan atau seruan dan sugesti. Peristiwa konversi identitas terjadi karena sugesti dan bujukan dari luar jika orang yang mengalami konversi itu dapat merasakan kelegaan dan ketentraman batin dalam keyakinan atau penampilan baru, maka lama – kelamaan akan masuklah keyakinan itu ke dalam pribadinya. http://digilib.mercubuana.ac.id/ d) Faktor – faktor emosi. Dalam penelitian George.A. Coe bahwa konversi identitas lebih banyak terjadi pada orang yang dikuasai oleh emosinya. Orang – orang yang emosional (lebih sensitif atau banyak dikuasai oleh emosinya) mudah kena sugesti apabila ia mengalami kegelisahan. Menurut G. Stanlay Hall, usia remaja terkenal dengan umur kegoncangan emosi. Menurut Starburk, bahwa umur yang menonjol bagi konversi identitas pada laki – laki adalah 16 tahun 4 bulan dan bagi wanita 14 tahun 8 bulan. Apabila kita kembali kepada kenyataan dalam hidup, tidak sedikit peristiwa konversi yang terjadi pada usia di atas 40 atau 50 tahun atau lebih. e) Kemauan. Kemauan juga merupakan peranan penting dalam konversi identitas. Terbukti bahwa peristiwa konversi itu terjadi sebagai hasil dari perjuangan batin yang ingin mengalami konversi. Hal ini dapat di ikuti dari riwayat hidup Imam Al Ghazali yang mengalami sendiri bahwa pekerjaan dan buku – buku yang dulu di karangnya bukanlah dari keyakinan, tapi datang dari keinginan untuk mencari nama dan pangkat. (zakiah daradjat: 1970: 159-164). Menurut M.T.L Penido berpendapat, bahwa konversi identitas mengandung unsur: a) Unsur dari dalam diri (endogenos origin), yaitu proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang atau kelompok. Konversi yang terjadi dalam batin ini membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan suatu transformasi disebabkan oleh krisis yang terjadi dari pribadi. Proses ini terjadi menurut gejala psikologis yang bereaksi dalam bentuk hancurnya struktur psikologis yang lama dan seioring dengan proses tersebut muncul pula struktur psikologis baru yang dipilih. b) Unsur dari luar (exogenous origin), yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri atau kelompok, sehingga mampu menguasai kesadaran orang atau kelompok yang http://digilib.mercubuana.ac.id/ bersangkutan. Kekuatan yang datang dari luar ini kemudian menekan pengaruhnya terhadap kesadaran, mungkin berupa tekanan batin, sehingga memerlukan penyelesaian oleh yang bersangkutan. Dr. Zakiah Daradjat. Memberikan pendapatnya yang berdasarkan proses kejiwaan yang terjadi melalui 5 tahap, yaitu: 1) Masa tenang Disaat ini kondisi jiwa seseorang berada dalam keadaan tenang, karena masalah agama belum mempengaruhi sikapnya. Dimana segala sikap, tingkah laku, dan sifatsifatnya acuh tak acuh menentang agama. 2) Masa ketidaktenangan Tahap ini berlangsung jika masalah agama telah mempengaruhi batinnya. Dikarenakan suatu krisis, musibah ataupun perasaan berdosa yang dialaminya. Hal ini menimbulkan keguncangan dalam kehidupan batinnya, sehingga mengakibatkan kegoncangan yang berkecamuk dalam bentuk rasa gelisah, panik, putus asa dan bimbang. konflik jiwa yang berat itu menyebabkan orang lebih sensitif (mudah perasa, cepat tersinggung dan mudah kena sugesti). Pada tahap ini terjadi proses pemilihan terhadap kepercayaan baru untuk mengatasi konflik batinnya. 3) Masa konversi Masa ini terjadi setelah konflik batin mengalami keredaan, karena kemantapan batin dalam menentukan keputusan untuk memilih yang dianggap serasi ataupun timbulnya rasa pasrah sehingga terciptalah ketenangan dalam bentuk kesediaan menerima kondisi yang dialami sebagai petunjuk illahi. 4) Masa tenang dan tentram http://digilib.mercubuana.ac.id/ Masa tenang dan tentram ditimbulkan oleh kepuasaan terhadap keputusan yang diambil. Ia timbul karena telah mampu membawa suasana batin menjadi mantap sebagai pernyataan menerima konsep baru. 5) Masa ekspresi konversi Pengungkapan konversi agama dalam tindak tanduk, kelakuan, sikap dan perkataan, dan seluruh jalan hidupnya berubah mengikuti aturan-aturan yang diajarkan oleh agama. Itulah yang akan membawa tetap dan mantapnya perubahan keyakinan tersebut. Menurut Wasyim (dalam Sudarno, 2000) secara garis besar membagi proses konversi agama menjadi tiga, yaitu: 1. Masa Gelisah (unsert), kegelisahan atau ketidaktenangan karena adanya gap antara seseorang yang beragama dengan Tuhan yang di sembah. Ditandai dengan adanya konflik dan perjuangan mental aktif. 2. Adanya rasa pasrah 3. Pertumbuhan secara perkembangan yang logis, yakni tampak adanya realisasi dan ekspresi konversi yang dialami dalam hidupnya. Proses terjadinya konversi agama, dalam masyarakat mengambil beberapa macam bentuk: a) Perubahan yang drastis. Adalah proses konversi agama dari tidak taat menjadi taat, yang jangka waktunya cepat, karena ada masalah-masalah yang tidak bisa dipecahkan oleh individu, yang disebabkan oleh tidak adanya pengalaman individu sebelumnya. b) Pengaruh Lingkungan. Pengaruh lingkungan mempengaruhi sikap dan cara pandang terhadap keyakinan suatu agama. http://digilib.mercubuana.ac.id/ c) Pengaruh idealisme yang dicari. Proses ini, biasanya memakan waktu lama. Individu selalu merasa dalam keyakinn yang meragukan. Tetapi jika, ada bukti yang bisa meyakinkannya, maka, dia akan yakin sepenuhnya. 2.2 Kerangka Pemikiran Penelitian ini berusaha untuk menjabarkan tentang konversi identitas yang dilakukan oleh perempuan berjilbab di Jakarta terkait dengan proses dan arah konversi sebagai perspektif fenomenologis, yakni proses individu sebelum memakai jilbab hingga berjilbab serta proses setelah memakai jilbab hingga jilbab tersebut ditanggalkan. Pada dasarnya seperti yang dijelaskan Schutz (dalam Cresswell,1998:53) bahwa fenomenologi mengkaji bagaimana anggota masyarakat menggambarkan dunia sehariharinya, terutama bagaimana individu dengan kesadarannya membangun makna dari hasil interaksi dengan individdu yang lainnya. Dengan demikian, kehidupan sehari-hari sebagai wadah kehidupan sosial yang sarat dengan kesadaran intersubyektif (makna timbal balik yang dihasilkan dalam interaksi sosial). Kesadaran ini mengacu pada teori Max Weber mengenai tindakan sosial. Apa yang dimaksud Weber tentang tindakan sosial adalah apabila tindakan atau perilaku seseorang dilakukan dengan pertimbangan perilaku orang lain, atau setidaknya punya makna subyektif bagi pelakunya. Tindakan yang diorientasikan pada benda fisik belum dapat dikatakan tindakan sosial, tetapi tindakan ketika diorientasikan pada orang dan mendapatkan makna subjektif pada saat itulah terbentuk tindakan sosial. Motif adalah keadaan dalam pribadi orang yang mendorong individu untuk melakukan aktifitas-aktifitas tertentu guna mencapai suatu tujuan (Suryabrata, 1993:70). Jadi motif bukanlah suatu hal yang dapat diamati, tapi dapat disimpulkan adanya suatu kekuatan dari dalam diri orang itu. Kekuatan pendorong inilah yang disebut dengan http://digilib.mercubuana.ac.id/ motif. (Konstruksi Jilbab Sebagai Simbol KeIslaman, Dady Ahmadi dan Nova Yohana, 2005) Pendasaran Schutz terhadap motif-motif itu dalam memahami tindakan orang lain berangkat dari asumsi, pertama, bahwa tidaklah mungkin bagi kita untuk secara mutlak memahami motif yang lain dalam kehidupan keseharian, motif-motif itu setidaknya dapat memberikan peluang akan pemahaman yang lain. Kedua, dengan adanya pemahaman ini akan memungkinkan kita untuk meningkatkan pemahaman terhadap makna tindakan orang lain. (http://tsanincenter.blogspot.com ) http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bagan Kerangka Pemikiran Tindakan Sosial (Max Weber) Teori Fenomenologi (Alfred Schutz) : KONVERSI Interaksi Simbolik (Mead & Blumer) : ‐Kesadaran IDENTITAS ‐ Interaksi ‐Intersubjektivitas ‐Motif PENGGUNA JILBAB ‐Simbol DI JAKARTA ‐Makna ‐Konsep Diri Perempuan Berjilbab Perempuan tidak berjilbab Proses Konversi http://digilib.mercubuana.ac.id/