I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM), peningkatan angka nominal indeks pembangunan manusia, dan pencapaian sasaran Millennium Development Goals (MDGs) tahun 2015 telah menjadi komitmen Indonesia dalam pembangunan di segala bidang. Indeks pembangunan manusia merupakan proksi kinerja pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development), sedangkan MDGs merupakan sasaran pembangunan manusia hingga tahun 2015. Tujuan MDGs terdiri dari, yaitu: (1) mengurangi kemiskinan dan kelaparan (reducing poverty and hunger), (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua (achieving universal primary education), (3) mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender, khususnya di pendidikan (promoting gender equality, especially in education) serta pemberdayaan perempuan (empowering women), (4) menurunkan angka kematian balita (reducing child mortality), (5) meningkatkan kesehatan ibu (improving maternal health), (6) mencegah HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya (combating HIV/AIDS, malaria, and other diseases), (7) menjamin lingkungan berkelanjutan (ensuring environmental sustainability), dan (8) memperkuat kemitraan global antara negara kaya dan negara miskin (strengthening partnership between rich and poor countries) (United Nations Development Programme, 2003). UNDP menguraikan MDGs ke dalam target spesifik tahun 2015, yaitu: (1) menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah US$1 (Purchacing Power Pariety atau PPP) per hari menjadi setengahnya dalam kurun 2 waktu tahun 1990 sampai dengan tahun 2015, (2) menjamin seluruh anak laki-laki dan perempuan untuk menyelesaikan pendidikan dasar, (3) mengeleminasi perbedaan gender di semua jenjang pendidikan, (4) mengurangi kematian anak balita sebesar dua per tiganya dalam kurun waktu tahun 1990 sampai dengan tahun 2015, (5) mengurangi rasio kematian ibu melahirkan sebesar tiga per empatnya dalam kurun waktu tahun 1990 sampai dengan tahun 2015, (6) menghentikan dan mulai membalikkan penyebaran HIV/AIDS dan kejadian malaria dan penyakit utama lainnya, (7) mengurangi setengah proporsi dari penduduk tanpa akses air minum yang baik, dan (8) menaruh perhatian lebih besar kepada kebutuhan khusus negara negara sedang berkembang yang terisolir dan pulau-pulau kecil (Todaro and Smith, 2006). Berdasarkan cara pengukuran indeks pembangunan manusia yang dilakukan di seluruh dunia, maka indeks pembangunan manusia Indonesia diukur dengan rumus tertentu yang terdiri atas tiga dimensi pokok pembangunan manusia di Indonesia, yaitu: (1) hidup layak yang diukur dari Indeks Hidup Layak (IHL), (2) hidup panjang yang diukur dari Indeks Hidup Panjang (IHP), dan (3) hidup mudah yang diukur dari Indeks Pendidikan (IP). Masing masing komponen diberi bobot satu per tiga. Meskipun pembobotan indeks hidup panjang, indeks pendidikan, indeks hidup layak dihitung berdasarkan persamaan identitas, tetapi memberikan hasil yang hampir sama dengan analisis multivarians, dimana masing masing bernilai 0.34, 0.34, dan 0.32 (Biswas and Caliendo, 2001). Berdasarkan laporan United Nations Development Programme (UNDP) tanggal 5 Oktober 2009 bahwa indeks pembangunan manusia untuk Indonesia berada pada peringkat ke 111 dari 182 negara. Jika dibandingkan dengan negara- 3 negara tetangga sesama anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), maka peringkat indeks pembangunan manusia Indonesia masih jauh, khususnya dari Singapura yang berada pada peringkat 23 dan Malaysia berada pada peringkat 66. Pemerintah Indonesia sepertinya masih belum menemukan formula yang tepat untuk mencapainya. Oleh sebab itu nilai nominal indeks pembangunan manusia Indonesia masih tertinggal di belakang dari sasaran MDGs. Misalnya Pemerintah Jawa Barat masih belum menemukan bagaimana cara mencapai indeks pembangunan manusia menjadi sebesar 80, yang notabene menjadi nilai paling rendah dari kelompok negara maju dengan nilai indeks pembangunan manusia antara 80 dan 100.1 Secara logika angka nominal indeks pembangunan manusia Indonesia akan meningkat apabila indeks pembangunan manusia seluruh provinsi di Indonesia meningkat, padahal angka nominal indeks pembangunan manusia akan meningkat apabila meningkatnya indeks-indeks komponen pembentuknya, yaitu: indeks hidup layak yang unsur utamanya adalah pendapatan per kapita berdasarkan kemampuan daya beli, indeks hidup panjang yang unsurnya adalah Angka Harapan Hidup (AHH), dan Indeks Pendidikan yang unsurnya adalah Angka Melek Huruf (AMH) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS). Sementara itu, upaya meningkatkan ketiga indeks tersebut secara ekonomi dapat dilakukan dengan meningkatkan investasi di provinsi yang bersangkutan, baik investasi dalam bentuk sumber daya modal maupun investasi dalam bentuk sumber daya manusia. Melalui investasi sumber daya modal dan sumber daya manusia akan terjadi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia secara timbal balik. - ------------------------------------------------------Harian Kompas, 16 Desember 2010: Pencapaian Indeks Pembangunan Manusia Diundur Jadi 2022 1 4 Pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan pembangunan manusia dan sebaliknya pembangunan manusia pada gilirannya juga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Ranis and Steward,2002; Ranis, 2004). Kebijakan fiskal menjadi salah satu instrumen investasi dari Pemerintah yang disalurkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kebijakan ini di bawah pengelolaan dan kendali aparatur Pemerintah dengan harapan akan lebih mudah dan cepat dilaksanakan, serta dengan sasaran yang dapat diarahkan langsung menyentuh komponen pembentuk indeks pembangunan manusia tersebut. Bersamaan dengan itu, melalui pertumbuhan ekonomi akan menyediakan fiskal bagi belanja Pemerintah yang bersumber dari pajak yang dibayarkan oleh dunia usaha dan masyarakat. Kontribusi masyarakat dan dunia usaha tidak hanya sebagai pembayar pajak dan retribusi yang pada akhirnya menjadi pendapatan negara dan daerah, namun mereka juga berkonstribusi langsung dalam peningkatan indeks pembangunan manusia melalui pengeluaran konsumsi dan investasi, terutama melalui konsumsi rumah tangga untuk kebutuhan pendidikan dan kesehatan. 1.2. Perumusan Masalah Indeks pembangunan manusia memberikan makna yang penting dalam pembangunan suatu negara. Makna dari angka nominal indeks pembangunan manusia adalah untuk menggambarkan pencapaian pembangunan manusia, yang biasanya dibagi menjadi tiga kelompok pencapaian, yaitu: (1) kelompok indeks pembangunan manusia bernilai nominal lebih kecil dari 50 dengan predikat tingkat pembangunan manusia rendah, (2) kelompok indeks pembangunan 5 manusia yang memiliki nilai indeks pembangunan manusia di antara 50 dan 80 dengan predikat tingkat pembangunan manusia sedang, dan (3) indeks pembangunan manusia bernilai 80 dan 100 dengan predikat tingkat pembangunan manusia tinggi (Badan Pusat Statistik, 2008). Peringkat indeks pembangunan manusia menggambarkan tentang perbandingan pencapaian indeks pembangunan manusia antar negara, antar daerah antar wilayah yang diukur. Peringkat satu merupakan peringkat yang tertinggi dalam pencapaian pembangunan manusia. Setiap negara atau daerah tentunya ingin mencapai peringkat yang lebih baik dari waktu ke waktu, sehingga kenaikan nilai nominal indeks pembangunan manusia saja menjadi kurang berarti jika tidak diikuti dengan kenaikan peringkat indeks pembangunan manusia. Kondisi ini menstimulasi pihak-pihak yang berkepentingan untuk menaikkan nilai nominal indeks pembangunan manusia masing-masing, sehingga pada saatnya nanti disparitas nilai nominal satu sama lainnya akan semakin menyempit dan kesejahteraan rakyat semakin merata. Mengikuti laporan UNDP dari tahun 1995 hingga tahun 2009, maka setiap negara yang diukur indeks pembangunan manusianya secara berkelanjutan memiliki angka nominal indeks pembangunan manusia dengan kecendrungan meningkat. Sebagai contoh Norwegia sebagai pemegang peringkat tertinggi dalam laporan UNDP tahun 2009 selama tahun 1980 hingga 2007, sedangkan Nigeria berada pada peringkat terendah, yaitu diurutan 182 dalam laporan UNDP tahun 2009. Di sisi lain Indonesia berada pada peringkat 111 dalam laporan UNDP tahun 2009 memiliki kecendrungan yang meningkat pula dari tahun ke tahun. Selama ini indeks pembangunan manusia yang terus meningkat tidak disertai 6 dengan konvergensi pencapaian indeks pembangunan manusia antar negara, sehingga disparitas indeks pembangunan manusia antar negara belum teratasi. Untuk melihat disparitas indeks pembangunan manusia ketiga negara tersebut disajikan pada Gambar 1. Sumber: United Nations Development Programme, 2009. Gambar 1. Disparitas Indeks Pembangunan Manusia Indonesia, dan Nigeria Tahun 1980-2007 di Norwegia, Grafik di atas menunjukkan bahwa ketiga negara memiliki indeks pembangunan manusia yang cendrung meningkat, namun disparitas antar negara masih relatif dalam. Hal ini juga menunjukan bagaimana perbedaan kedalaman disparitas pembangunan manusia di ketiga negara tersebut. Bagi Indonesia, perlu diakui jika relatif sangat jauh untuk mengejar ketertinggalan indeks pembangunan manusia Norwegia. Pada Gambar 2 menampilkan kecendrungan indeks pembangunan manusia Norwegia, Indonesia, dan Nigeria dengan menggunakan persamaan linier sederhana. Tahun 1980 sebagai tahun dasar bagi jangka waktu (angka nol). 7 Berdasarkan regresi sederhana dengan menggunakan bantuan Microsoft Office Excel, maka persamaan linier indeks pembangunan manusia masing-masing negara adalah sebagai berikut: Norwegia : Y = 1.1095X + 89.432 sehingga X = 0.9013Y - 89.432 Indonesia : Y = 3.1321X + 51.218 sehingga X = 0.3192Y - 51.218 Nigeria : Y = 2,51X + 15.26 sehingga X = 0.3984Y-15.26 Sumber: United Nations Development Programme, 2009 (diolah). Gambar 2. Grafik Linier Indeks Pembangunan Manusia di Norwegia, Indonesia, dan Nigeria Y adalah besaran nilai indeks pembangunan manusia dan X adalah jangka waktu (tahun), maka secara sederhana dapat dihitung waktu yang harus ditunggu Indonesia untuk mencapai nilai nominal indeks pembangunan manusia Indonesia sama dengan nilai nominal indeks pembangunan manusia Norwegia adalah sekitar 19 tahun. Sedangkan nilai nominal indeks pembangunan manusia Nigeria berada di bawah indeks pembangunan manusia Indonesia, yaitu sekitar 58 tahun. Namun, 8 pada kenyataannya, pencapaian angka nominal indeks pembangunan manusia suatu negara tidak sesederhana persamaan linier tersebut, karena berkaitan dengan banyak faktor yang menjadi variabel peubahnya, yang terdiri atas variabel di bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, dan keamanan. Indeks pembangunan manusia Indonesia merupakan rata-rata dari akumulasi indeks pembangunan manusia yang terjadi di 33 provinsi. Pada tahun 2008, indeks pembangunan manusia di 33 provinsi menunjukan selang antara indeks pembangunan manusia tertinggi di Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebesar 77.03 dan indeks pembangunan manusia terendah di Papua sebesar 64, sedangkan yang berada di peringkat moderat, yaitu peringkat 17, adalah Daerah Istimewa Aceh sebesar 70.76. Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah). Gambar 3. Indeks Pembangunan Manusia Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Daerah Istimewa Aceh, dan Papua Tahun 2005-2008 9 Indeks pembangunan manusia provinsi Daerah Khusus Ibukota, Daerah Istimewa Aceh, dan Papua dapat dijadikan sebagai contoh disparitas capaian indeks pembangunan manusia antar daerah di Indonesia. Indeks pembangunan manusia tertinggi pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2008 berada di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Indeks pembangunan manusia moderat diwakili Daerah Istimewa Aceh, sedangkan indeks pembangunan manusia terendah dimiliki oleh Provinsi Papua. Kecendrungan indeks pembangunan manusia dan disparitas tiga provinsi tersebut dijelaskan secara grafis dalam Gambar 3. Lebih jauh bahwa disparitas indeks pembangunan manusia tersebut mengandung arti pula disparitas sebagian hingga keseluruhan dari variabel pembentuk indeks pembangunan manusia, seperti angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan pendapatan per kapita yang didekati dengan daya beli. Disparitas pembangunan sosial ekonomi antara provinsi/kabupaten/kota maju dan provinsi/kabupaten/kota tertinggal di Indonesia, menunjukan jurang kemiskinan yang dalam di provinsi/kabupaten/kota yang tertinggal tersebut. Membiarkan hal ini terus berlangsung telah melanggar amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial antar penduduk dan antar daerah di Indonesia, yang pada akhirnya dapat menimbulkan disintegritas bangsa. Oleh sebab itu disparitas indeks pembangunan manusia dapat menjadi disintegritas bangsa apabila tidak diantisipasi dengan baik. Laporan pencapaian pembangunan manusia Indonesia tahun 2007 menjelaskan bahwa upaya yang dilakukan Pemerintah terhadap pencapaian MDGs sudah dalam jalur yang benar. Namun menurut Alisyahbana, Menteri - ------------------------------------------------------Harian Kompas, 4 Agustus 2010. 7(1-3): Wajah Muram MDGs di Indonesia 2 10 Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas pada tanggal 20 April tahun 2010, capaian MDGs berpotensi gagal dicapai pada tahun 2015.2 Begitu juga dengan Susilo pada Harian Kompas tanggal 4 Agustus tahun 2010 yang mengutip progress report MDGs di kawasan Asia dan Pasifik, dimana Indonesia masih masuk kategori negara yang lamban langkahnya dalam mencapai MDGs pada tahun 2015. Agar hal ini tidak terjadi maka diperlukan penguatan komitmen Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah (political will), dan peran pemuka masyarakat dalam mempercepat pencapaian MDGs tersebut. 3 Sumber potensi kegagalan yang disebutkan oleh Alisyahbana sama dengan sumber kelambanan yang disebutkan oleh Susilo, yaitu merujuk kepada masih tingginya angka kematian ibu (AKI) melahirkan, belum teratasinya laju penularan HIV/AIDS, makin meluasnya laju deforestrasi, rendahnya tingkat pemenuhan air minum dan sanitasi yang buruk, serta beban utang luar negeri yang terus menggunung (United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific, 2010). Ditambahkan oleh Wakil Presiden, Budiono, bahwa penyebab lambannya kemajuan pencapaian MDGs adalah dukungan fiskal dari negara maju dan alokasi dana dalam negeri yang kurang memadai untuk melanjutkan MDGs tahun 2015. Komitmen negara maju seperti yang dicetuskan pada pertemuan di Montereym, Meksiko pada tahun 2002 dan di Gleneagles, Skotlandia pada tahun 2005 telah memudar akibat krisis global tahun 2008. Komitmen semula dari negara maju menyisihkan 0.7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), namun pada kenyataannya mereka hanya merealisasikan 0.31 persen PDB-nya guna membantu negara miskin dalam mencapai MDGs. 4 - ------------------------------------------------------Harian Kompas, 21 April 2010. 3(3-4): Tujuan Milenium Berpotensi Gagal Harian Bisnis Indonesia, 4 Agustus 2010. 2 (3-6) : Wapres Tagih Komitmen Negara Maju Soal MDGs. 3 4 11 Susilo juga menyebut penyebab utama potensi kegagalan atau kelambanan pelaksanaan anggaran Pemerintah adalah karena pencapaian MDGs dan penanggulangan kemiskinan tidak dijadikan indikator keberhasilannya. Selama ini indikator-indikator yang dipakai untuk penyusunan APBN dan APBD hanya indikator-indikator makroekonomi tanpa menyertakan indikator target MDGs dan indeks pembangunan manusia. Semestinya harus ada perubahan mendasar dalam menilai keberhasilan pembiayaan negara bukan hanya pada tingkat penyerapan anggaran tetapi juga pada dampak penggunaan anggaran terhadap pencapaian target MDGs dan indikator indeks pembangunan manusia yang terukur. Sama dengan fenomena pencapaian agregat MDGs tingkat nasional, pencapaian MDGs provinsi-provinsi di Indonesia dikhawatirkan tidak tercapai. Untuk sebagai contoh, berikut adalah data pencapaian tiga provinsi di Indonesia menyangkut indeks pembangunan manusia dan variabel-variabel turunannya pada tahun 2008 dan tahun 2009. Tabel 1. Indeks Pembangunan Manusia dan Variabel Turunannya Tahun 2008-2009 No. 1. 2. 3. Provinsi (ranking) Angka Harapan Hidup (Tahun) Angka Melek Huruf (Persen) Rata-Rata Lama Sekolah (Tahun) Indeks Pembangunan Manusia Pengeluaran per Kapita (Rp. 1 000*) 2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009 Daerah Khusus Ibukota (1) Daerah Istimewa Aceh (17) 73.90 73.05 98.76 98.94 10.80 10.9 625.70 627.46 77.03 77.36 68.50 68.60 96.20 96.39 8.50 8.63 605.56 610.27 70.76 71.31 Papua (33) 68.10 68.35 75.41 75.58 6.52 6.57 599.65 603.88 64.53 64.53 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010. Keterangan: *) Pengeluaran riil per kapita disesuaikan (Purchacing Power Pariety atau PPP). Betapapun Indonesia dinyatakan sudah berada pada jalur pencapaian MDGs, menurut Palupi (2010), walaupun telah terjadi peningkatkan anggaran untuk penanggulangan kemiskinan sebesar 300 persen lebih, yaitu dari Rp. 23 12 `triliun pada tahun 2005 menjadi Rp. 70 triliun pada tahun 2008, namun angka kemiskinan hanya berkurang 1 persen. Hal ini karena program penanggulangan kemiskinan sama sekali tidak efektif, dan karena itu data capaian target MDGs terkait pengurangan kemiskinan diragukan.5 Landasan hukum, konsensus dan komitmen Indonesia sesungguhnya sudah sangat kuat dalam pembangunan yang berpusat pada manusia yang didekati dengan peningkatan indeks pembangunan manusia. Salah satunya adalah digunakannya indikator indeks pembangunan manusia untuk dasar mengukur besaran anggaran transfer pusat ke daerah melalui dana alokasi umum (DAU). Kebijakan yang sudah baik ini, dari sisi anggaran pendapatan daerah, seharusnya diikuti dengan memberikan landasan yang kuat dari sisi belanja daerah, yaitu dengan menunjukkan sektor apa yang paling tepat sebagai dasar kebijakan fiskal untuk percepatan pembangunan daerah. Dengan kata lain, setidaknya ada landasan ilmiah mengapa sektor pendidikan dan atau sektor kesehatan yang dijadikan prioritas pembangunan manusia di Indonesia selama ini. Fakta di lapangan menunjukan bahwa kebijakan fiskal yang menjadi kewenangan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, yang dikaitkan dengan upaya peningkatan angka nominal indeks pembangunan manusia, dilakukan lebih bersifat coba-coba karena tidak adaa model ekonominya, sehingga tidak mampu meramalkan kombinasi besaran dan jangka waktu dalam mencapai sasaran pembangunan manusia yang ditetapkan dalam MDGs. Sejauh ini, kebijakan fiskal oleh Pemerintah atau Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota kebanyakan adalah dengan memperbesar anggaran sektor pendidikan dan atau sektor kesehatan. Pilihan memperbesar anggaran sektor pendidikan berdasarkan - ------------------------------------------------------Harian Kompas, 5 Agustus 2010. 6(3-6): MDGs, Proyek Menjinakkan Nurani ?. 5 13 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang mengamanatkan pengalokasiannya minimal 20 persen dari total anggaran. Sedangkan pilihan memperbesar sektor kesehatan tentunya didasarkan asumsi bahwa sektor kesehatan mengandung komponen angka harapan hidup yang menjadi pembentuk persamaan identitas indeks pembangunan manusia. Pilihan-pilihan tersebut masih menyimpan pertanyaan mengenai ketepatan jumlah alokasi fiskal, ketepatan pemilihan sektor, dan jawaban tentang pertanyaan kapan target MDGs dapat tercapai, karena selama ini belum ada model yang menempatkan komponen-komponen indeks pembangunan manusia sebagai variabel endogen dan menjadi bagian dari model ekonometrika. Jika model ekonometrika indeks pembangunan manusia sudah terbangun secara terintegrasi, maka berbagai permasalahan di atas dapat dengan lebih mudah diselesaikan. Berdasarkan uraian di atas dan uraian pada latar belakang, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana model ekonometrika mampu menjelaskan kaitan komponenkomponen perekonomian makro (APBD, pasar barang dan pasar tenaga kerja) dengan komponen-komponen indeks pembangunan manusia (angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan pendapatan per kapita), serta bagaimana dampak kebijakan fiskal terhadap indeks pembangunan manusia di Indonesia? 2. Bagaimana stategi kebijakan fiskal yang efektif dalam rangka mengurangi pengangguran dan kemiskinan, serta mendukung pemerataan pembangunan antar provinsi di Indonesia? 14 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini diharapkan akan mampu mengurai permasalahan tersebut di atas dan menemukan solusi terbaik sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu: 1. Membangun model mengintegrasikan makro komponen ekonometrika perekonomian yang diperluas makro dan dengan indeks pembangunan manusia. 2. Mempelajari dampak kebijakan fiskal sektor pendidikan dan sektor kesehatan, serta sektor lainnya terhadap perekonomian makro dan indeks pembangunan manusia. 3. Meramalkan indeks pembangunan manusia dalam kerangka pencapaian MDGs di Indonesia tahun 2015. 1.4. Kegunaan Penelitian Hasil identifikasi hubungan kausalitas perekonomian makro dengan indeks pembangunan manusia serta dampak kebijakan fiskal sektor pendidikan dan sektor kesehatan terhadap indeks pembangunan manusia dapat digunakan untuk: 1. Bahan masukan dalam rangka pembangunan yang berpusat pada manusia (people centred development) di Indonesia. 2. Salah satu sumber informasi untuk perumusan alternatif kebijakan dalam rangka mencapai sasaran MDGs di Indonesia. 3. Sebagai referensi penelitian lebih lanjut dengan tema yang sama. 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup penelitian ini berkaitan dengan dampak kebijakan fiskal, khususnya sektor pendidikan dan sektor kesehatan, terhadap indeks pembangunan 15 manusia di Indonesia pada tahun 2015. Penelitian ini memiliki berbagai keterbatasan: 1. Alokasi belanja sektor pendidikan, sektor kesehatan, dan sektor lainnya tidak semata-mata tergantung pada pertimbangan ekonomi (pertumbuhan dan pemerataan), tetapi juga tergantung pada politik anggaran Pemerintah setempat. Namun dalam penelitian ini diasumsikan bahwa politik anggaran Pemerintah setempat sudah mempertimbangkan aspek ekonomi tersebut. 2. Belanja sektor, termasuk sektor pendidikan dan sektor kesehatan, meliputi belanja sektor yang tertampung dalam anggaran pendapatan dan belanja provinsi maupun kabupaten/kota di provinsi masing-masing, tidak termasuk belanja sektor yang berasal dari dana dekonsentrasi maupun dana pembantuan, serta tidak diurai lebih lanjut berdasarkan jenis pengeluaran maupun jenis kegiatan. 3. Disesuaikan dengan ketersediaan data dan waktu penelitian, maka hanya sasaran kunci dari MDGs yang dijadikan variabel endogen dalam model yang dibangun (angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan daya beli sebagai proksi pendapatan riil per kapita), serta hanya meliputi 21 provinsi dengan jenis data cross section dan time series selama tahun 2004 sampai dengan hingga tahun 2008.