BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEFINISI SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK SOPK adalah suatu sindroma, kumpulan dari gejala disfungsi ovarium, dengan tampilan utama hiperandrogenisme dan morfologi ovarium yang polikistik. manifestasi klinis dari kelainan ini dapat berupa : menstruasi yang ireguler, tanda -tanda kelebihan kadar androgen beserta obesitas, dan dihubungkan dengan DM tipe 2.10,11,12 Sejak pengamatan awal oleh Stein dan Leventhal pada tahun 1935, ternyata sindroma ovarium polikistik (SOPK), telah berkembang menjadi suatu endokrinopati multisistim. Jika melihat dari gejala dan tandanya, yaitu hirsutisme, infertilitas pada wanita dengan siklus anovulatorik dan gangguan menstruasi, maka SOPK merupakan suatu gangguan endokrin yang paling banyak dijumpai pada wanita terutama usia subur.10,11 2.2. ETIOLOGI SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK Etiologi dari SOPK sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. dasar genetik dan multifaktor diduga sebagai penyebab kelainan ini. Model pasti hubungan genetik atau familial dari SOPK masih belum jelas. SOPK diketahui sebagai kelainan yang bersifat familial yang mana saudara kandung penderita SOPK mempunyai risiko mengalami kelainan ini sebesar 50%. Prevalensi risiko penderita SOPK meningkat sebesar 32% - 66% 32 Universitas Sumatera Utara antara saudara kandung, dan 24% - 52% antara ibu dengan anak. Penelitian klinis dan in vitro sel teka ovarium menemukan disregulasi gen CYP11a pada pasien dengan SOPK. Gen ini mengkode enzim yang membelah rantai sisi struktur bangun kolesterol, yaitu enzim yang berperan dalam biosintesis hormon steroid. Data-data biokimiawi mengimplikasikan bahwa penyebab dasar kelainan biosintesis androgen dan atau gangguan metabolismenya sebagai etiologi dari SOPK.10,13 Patofisiologi yang pasti dari SOPK adalah kompleks dan kebanyakan masih tidak jelas, akan tetapi suatu ketidakseimbangan hormonal yang mendasarinya yang diakibatkan oleh kombinasi peningkatan androgen dan/atau insulin. Faktor genetik dan lingkungan terhadap gangguan hormonal bergabung dengan faktor-faktor lain termasuk obesitas, disfungsi ovarium, dan abnormalitas hipofisis berkontribusi terhadap etiologi SOPK.14 Gambar 2.1. Ringkasan etiologi dan gambaran klinis SOPK.15,16 33 Universitas Sumatera Utara 2.3. GAMBARAN KLINIS SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK Menurut kriteria Rotterdam 2003, sebagai standar baku emas diagnosis SOPK, 2 dari 3 hal berikut ini harus terpenuhi untuk menegakkan diagnosis SOPK : 1)Oligo/anovulasi yang secara klinis didiagnosis sebagai oligo/amenore (siklus menstruasi > 35 hari dan atau < 10 x dalam setahun); 2)Hiperandrogenisme baik secara klinis maupun biokimiawi serta 3) Morfologi ovarium yang polikistik (≥ 12 folikel pada masing -masing ovarium dengan ukuran diameter tiap folikel 2 – 9 mm dan atau volume ovarium > 10 ml. Satu ovarium yang polikistik mencukupi dalam penegakan diagnosis). Pada tahun 2006, Androgen Excess Society ( AES ) dan SOPK Society membentuk satuan kerja yang juga mengeluarkan definisi dari SOPK akan tetapi secara umum kriteria dari ketiganya mempunyai kemiripan, dengan kriteria Rotterdam 2003 sebagai standar baku emas saat ini.10,17,18 Tabel 2.1. Definisi dari sindroma ovarium polikistik menurut beberapa konsensus. ESHRE = European Society of Human Reproduction and Embriology; ASRM = American Society of Reproductive Medicine; NIH = US.National Institutes of Health; AE & PCOS Society = Androgen Excess Society & Polycystic Ovarian Syndrome Society.10,17,18 34 Universitas Sumatera Utara NIH (1990) Harus mencakup kedua kriteria dibawah ini : 1. Oligo-ovulasi 2.Hiperandrogenism ESHRE / ASRM, Rotterdam (2003) Mencakup setidaknya 2 dari 3 kriteria dibawah ini : 1. Oligo atau anovulasi 2. Gejala klinis dan atau laboratoris kelebihan androgen 3. Ovarium yang polikistik (dengan mengenyampingkan kelainan lain yang terkait ) AE &PCOS Society (2009) Harus mencakup kriteria dibawah ini 1.Hiperandrogenisme (hirsutisme dan atau hiperandrogenemia ) 2.Disfungsi ovarium ( oligo ovulasi dan atau ovarium polikistik ) 3.Dengan mengenyampingkan kelainan lain yang terkait 1. Oligoovulasi atau anovulasi Siklus menstruasi normal mencerminkan fungsi ovulasi yang normal. Sekitar 60-85% pasien SOPK memiliki gangguan menstruasi dan jenis yang paling sering adalah oligomenore dan amenore. Pemeriksaan awal pada perempuan dengan gejala ini adalah kadar FSH dan E2 serum untuk mengeksklusi hipogonadisme hipogonadotropik (gangguan sentral) dan premature ovarian failure. SOPK termasuk pada kategori anovulasi normogonadotropik normoestrogenik (kelas 2 WHO). Meskipun demikian, kadar LH serum pasien SOPK seringkali meningkat.2,19,20 2. Hiperandrogenisme Hiperandrogenisme pada Kriteria Rotterdam 2003 mencakup tanda-tanda klinis dan atau biokimiawi.2,19,20,21 35 Universitas Sumatera Utara a) Hiperandrogenisme klinis Mencakup hirsutisme, akne, alopesia androgenic, dan tanda-tanda lainnya. Hirsutisme adalah tanda kelebihan androgen yang paling jelas dan merupakan gejala yang penting pada SOPK. Penilaian hirsutisme dilakukan dengan menggunakan skor Ferriman-Galwey yang dimodifikasi.2,19,20,21,22 Gambar 2.2. Skor Ferriman-Galwey yang dimodifikasi (mFG) untuk penilaian hirsutisme. Setiap area diberikan skor 0-4 dan penilaian 9 area tersebut dijumlahkan. Skor≤15:hirsutis me ringan, skor 16-25: hirsutisme sedang, dan skor≥25: hirsutisme berat.21 b) Hiperandrogenisme biokimiawi Tanda biokimiawi hiperandrogenisme adalah peningkatan androgen di sirkulasi. Androgen yang terpenting yang biasanya digunakan untuk diagnosis adalah testosteron. Androgen lain yang meningkat mencakup 36 Universitas Sumatera Utara androstenedion, DHEA, dan DHEA-S. Di antara androgen tersebut, yang lebih sensitive untuk mendiagnosis hiperandrogenisme adalah testosterone bebas (free T) atau free androgen index (FAI). Pemeriksaan total T tidak sensitive untuk menilai kelebihan androgen karena sebagian T akan diubah menjadi DHT yang lebih poten.2,19,20 3. Gambaran ovarium polikistik Definisi gambaran ovarium polikistik criteria Rotterdam 2003 adalah adanya 12 folikel atau lebih yang memiliki diameter 2-9 mm pada masingmasing ovarium dan/atau peningkatan volum ovarium (>10mL). distribusi folikel dan peningkatan ekogenitas stroma tidak termasuk dalam criteria penilaian ini.2,19,20 Gambar 2.3. Gambaran Ovarium Polikistik pada ultrasonografi.19 Dewaily dkk (2010) menemukan bahwa gambaran ovarium polikistik sendiri merupakan tanda dari hiperandrogenisme. Selain itu, ditemukan bahwa kadar AMH serum juga berhubungan dengan jumlah folikel dan secara tidak langsung juga merupakan tanda dari hiperandrogenisme. Sehingga dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk 37 Universitas Sumatera Utara mendiagnosis SOPK, awalnya harus ditemukan oligo-ovulasi dan hiperandrogenisme.19,20 Wijeyaratne et al menyatakan bahwa Prevalensi SOPK pada ras kaukasia, kulit hitam, dan hispanik di AS berturut-turut adalah 3,4% ; 4,7%; dan 13%. Sementara di benua Asia, prevalensi dijumpai sebesar 2% di Cina, dan 6,3% di Asia selatan. Variasi etnis berhubungan dengan prevalensi SOPK, terutama terkait keadaan hiperandrogenisme dan resistensi insulin. Kemungkinan hubungan SOPK dengan variasi etnis adalah karena pengaruh genetika dengan etnis-etnis tertentu yang mempunyai kecenderungan gangguan metabolisme dan obesitas, yang mana hal tersebut kebanyakan dipengaruhi lingkungan dan budaya.23 2.4. RESISTENSI INSULIN PADA SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK Awalnya pada tahun 1921, Achard dan Thiers menemukan adanya diabetes pada wanita yang berjenggot atau berkumis, mereka menyebutnya sebagai "diabetes in bearded women" yang kemudian dikenal sebagai Achard and Thiers syndrome. Pada tahun 1980, Burghen et al melaporkan bahwa perempuan dengan gangguan hiperandrogenisme dan SOPK mempunyai kadar insulin basal dan insulin setelah stimulasi glukosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yang mempunyai berat badan sama. Saat ini diketahui bahwa wanita dengan SOPK menunjukkan derajat resistensi insulin yang lebih parah serta hiperinsulinemia yang terkompensasi dibandingkan dengan wanita tanpa SOPK.24 Resistensi insulin didefinisikan 38 Universitas Sumatera Utara sebagai ketidakmampuan insulin untuk menjalankan fungsi fisiologisnya. Manifestasinya bisa bersifat perifer (pada jaringan) atau sentral (pada liver) akibat berkurangnya kemampuan insulin untuk menurunkan kadar glukosa plasma. Resistensi insulin menyebabkan hiperinsulinemia yang akan menyebabkan metabolisme androgen yang abnormal, mengganggu pertumbuhan folikel dan merubah respons gonadotropin.25 Prevalensi resistensi insulin pada wanita dengan SOPK diperkirakan antara 50% dan 75%, dan lebih banyak pada penderita SOPK yang obese dibandingkan dengan normal.19 Di Jakarta, Wiweko dan Mulya mendapatkan 75% wanita dengan SOPK mengalami resistensi insulin, sementara di Medan, Setiawan mendapatkan proporsi pasien SOPK dengan resistensi insulin sebesar 17,1%.25,26 Dunaif menyatakan bahwa mekanisme berkurangnya sensitivitas insulin ini disebabkan oleh abnormalitas setelah terjadinya ikatan insulin terhadap reseptornya pada saat transduksi reseptor insulin. Wanita dengan SOPK, baik yang kurus maupun obesitas, dijumpai lebih resisten terhadap insulin dibandingkan dengan kontrol wanita bukan penderita SOPK.24 39 Universitas Sumatera Utara Gambar 2.4. Mekanisme resistensi insulin19. Dalam fibroblast, otot, dan adiposit 50% pasien SOPK ada penurunan autofosforilasi residu tirosin dari reseptor insulin dan peningkatan fosforilasi residu serin dari reseptor insulin. Fosforilasi residu serin atau treonin dari reseptor insulin akan menurunkan transduksi signal, dan ini menjadi mekanisme molekular dari resistensi insulin pada pasien SOPK.27 40 Universitas Sumatera Utara Gambar 2.5. Hubungan Resistensi insulin dengan hiperandrogenemia19 Selain mekanisme di atas resistensi insulin juga mengakibatkan peningkatan androgen pada pasien SOPK dimana peningkatan androgen ini akan mengakibatkan perubahan profil lipid dengan patofisiologi yang telah dijelaskan di atas. Ada beberapa mekanisme mengapa resistensi insulin menyebabkan androgenemia yaitu: hiperinsulinemia kompensasi akibat resistensi insulin akan menurunkan sintesis hepatik SHBG sehingga androgen bebas meningkat dalam darah; insulin yang berlebihan dapat berikatan dengan reseptor IGF-1 dalam ovarium, menyebabkan peningkatan produksi androgen oleh sel-sel teka; fosforilasi residu serin enzim P450c17 41 Universitas Sumatera Utara adrenal dan ovarium pada pasien SOPK meningkatkan aktifitas enzim 17,20 lyase yang akan memproduksi hiperandrogenisme.27 Berbagai cara telah dipakai untuk menilai keadaan resistensi insulin antara lain uji toleransi glukosa oral (UTGO), uji toleransi insulin, infus glukosa secara berkesinambungan, klem euglikemik.19,25 Selain itu, rasio glukosa puasa dan insulin puasa (G:I ratio) telah digunakan secara luas sebagai indeks sensitivitas insulin pada wanita SOPK dimana rasio kurang dari 4,5 memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang sesuai untuk resistensi insulin. Homeostatic model assessment of insulin resistance (HOMA-IR) merupakan pengukuran lain sensitivitas insulin yang umum digunakan pada studi epidemiologi yang besar. HOMA-IR dihitung dengan membagi kadar glukosa puasa (mg/dl) dan insulin (µU/mL) dengan konstanta: [glukosa (mg/dl)] [insulin (µU/mL)] /405, atau [glukosa (mmol/L)][insulin (µU/mL)] /22,5. Resistensi insulin pada pengukuran dengan HOMA-IR ditandai dengan nilai lebih dari 3,2-3,9. Quantitative insulin sensitivity check index (QUICKI) merupakan metode pengukuran sensitivitas insulin yang lain. Perhitungan dari metode QUICKI yaitu kebalikan dari jumlah kadar glukosa puasa dan insulin, melalui logaritma: (1/[log(glukosa)+log(insulin)]; resistensi insulin ditandai dengan nilai lebih dari 0,33. HOMA-IR dan QUICKI dapat digunakan pada pasien dengan euglikemik dan hiperglikemik.19 Penelitian oleh Muharam pada tahun 2000 di Jakarta tentang nisbah gula darah puasa (Gp) dan insulin puasa (Ip) pada ovarium polikistik menyimpulkan bahwa titik 42 Universitas Sumatera Utara potong nisbah Gp/Ip <10,1 untuk menyatakan adanya resistensi insulin dengan sensitivitas 90,2%, spesifisitas 90,9%.25 2,5. RISIKO KEGUGURAN PADA SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK Beberapa komplikasi kehamilan yang berhubungan dengan diagnosis maternal sindroma ovarium polikistik telah dijelaskan. Hal ini termasuk peningkatan prevalensi dari abortus spontan, diabetes gestasional, toksemia preeklampsia, kehamilan yang menginduksi hipertensi, dan bayi lahir kecil usia kehamilan. Peningkatan risiko abortus spontan pada trimester pertama pada wanita dengan SOPK, berkisar dari 25% hingga 73%, dimana relatif tinggi.28,29,30 Penelitian oleh Glueck dkk di Ohio menunjukkan bahwa wanita dengan SOPK memiliki angka kejadian keguguran pada trimester pertama yang tinggi yaitu 44%. Spekulasi yang menyebabkan angka keguguran yang tinggi ini termasuk hipofibrinolisis dengan peningkatan PAI-Fx, peningkatan testosterone, androtenedione, atau DHEAS, dan kadar progesterone yang rendah.3,4 Penelitian oleh Velazquez dkk menunjukkan bahwa pasien dengan SOPK mengalami peningkatan aktivitas plasminogen activator inhibitor (PAIFx; merupakan inhibitor yang paling potensial dari fibrinolisis), yang menyebabkan hipofibrinolisis dan peningkatan risiko keguguran.31,32 Pada SOPK, hipofibrinolisis diperantarai oleh aktivitas plasminogen activator inhibitor activity (PAI-Fx) yang tinggi, determinan utama 43 Universitas Sumatera Utara hipofibrinolisis, merupakan penyebab independen keguguran. PAI-Fx tinggi dapat menyebabkan gangguan plasenta yang terjadi pada preeclampsia dan keguguran berulang. Hipofibrinolisis juga dihubungkan dengan retardasi perkembangan intrauterine, solusio plasenta, dan abortus.3,4 Selain itu, trombofilia juga merupakan faktor risiko abortus yang penting pada beberapa pasien dengan SOPK. Menurut penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa faktor V leiden berhubungan trombofilia, heterozigot mutasi faktor protrombin, dan homozigot mutasi gen methylene tetrahydrofolate reductase (MTHFR) yang merupakan penyebab lain keguguran pada pasien dengan SOPK. Defisiensi beberapa protein termasuk protein C, protein S, dan antitrombin III, juga berhubungan dengan komplikasi kehamilan termasuk keguguran.4,31 Trombofilia merupakan gangguan multigenetik akibat kelainan koagulasi yang didapat (antibodi antiphospholipid) atau kelainan koagulasi yang diturunkan (defisiensi antitrombin protein antikoagulan alami, protein C atau protein S, faktor V leiden, dan prothrombin G20210A), atau kelainan metabolic hiperhomosisteinemia. Pada wanita dengan keguguran berulang, skrining menyebutkan adanya peningkatan insidensi SOPK. Oleh karena itu, peningkatan angka kejadian kematian janin bukan hanya karakteristik wanita dengan keguguran berulaang dengan trombofilia, tetapi juga pada wanita dengan SOPK. Hal ini dipostulasikan bahwa pasien dengan familial trombofilia, mungkin dipengaruhi oleh kelainan endokrin dari SOPK, juga dihubungkan dengan kegagalan transfer embrio dan keguguran. Trombofilia 44 Universitas Sumatera Utara dapat menyebabkan kegagalan implantasi pada fertilisasi invitro (IVF). Gangguan preklinik setelah IVF menyebabkan kelainan pada reseptivitas uterus dan/atau kualitas embrio.4,31 Pada penelitian Kazerooni,dkk di Iran menjelaskan bahwa pasien dengan SOPK yang mengalami keguguran berulang menunjukkan adanya peningkatan kadar serum testosterone, DHEAS, Homosistein, insulin, dan PAI-Fx, dan penurunan sensitivitas insulin. Selain itu,dari penelitian ini juga menunjukkan adanya mutasi proporsi APCR dan faktor V leiden yang lebih tinggi pada pasien dengan SOPK yang mengalami keguguran berulang.31 2.6. RISIKO KARDIOVASKULAR PADA SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK Ada beberapa pendapat kontroversial mengenai apakah penyakit kardiovaskular meningkat pada SOPK. Namun, ada persetujuan umum bahwa ada hubungan peningkatan faktor risiko kardiovaskular dengan SOPK. Wanita dengan SOPK, bahkan dengan usia muda, memiliki faktor risiko kardiovaskular, seperti resistensi insulin, hipertensi, gangguan kapasitas fungsional kardiopulmonal, disfungsi autonom dan inflamasi kronik tingkat rendah. Faktor risko ini meningkat dengan obesitas. Penelitian pada wanita dengan SOPK, mengindikasikan peningkatan risiko sindrom metabolik dibandingkan dengan kontrol yang sehat, disebabkan adanya resistensi insulin pada kebanyakan wanita dengan SOPK. Beberapa studi saat ini mengindikasikan bahwa insidensi sindrom metabolik pada wanita 45 Universitas Sumatera Utara usia reproduksi dengan SOPK berkisar 43% hingga 47%. Adanya sindrom metabolik dapat meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular, dimana sangat jelas bahwa obesitas meningkatkan risiko sindrom metabolik pada SOPK. Dahlgren dkk. memprediksi risiko relative infark miokard 7,4 pada kelompok wanita kecil dengan bukti histopatologi ovarium polikistik (PCO) dibandingkan dengan kontrol yang didasarkan pada usia.16,33,34 Gambar 2.6. Diagram skematik yang menunjukkan hubungan antara SOPK, Obesitas, dan gambaran kardiovaskular pada wanita dengan SOPK.33 46 Universitas Sumatera Utara Gambar 2.7. Skema hipotesa pathogenesis penyakit kardiovaskular pada SOPK. Gambar ini meringkas jalur potensial dimana faktor risiko kardiovaskular dihubungkan dengan SOPK.34 SOPK dipengaruhi oleh resistensi insulin genetik, resistensi insulin lingkungan (terkait obesitas), seperti kelainan metabolik pada kebanyakan kasus. Wanita dengan SOPK juga memiliki bukti penyakit kardiovaskular subklinis dan tampak memilki peningkatan risiko kejadian kardiovaskular dan kematian, khususnya ketika dikombinasikan dengan faktor risiko yang lain, seperti obesitas dan hipertensi. Sebagian besar wanita dengan SOPK dipengaruhi oleh sindrom metabolik, dan diabetes, merupakan faktor risiko kardiovaskular utama, dimana terjadi peningkatan empat kali lipat pada SOPK. Gambaran yang lain berhubungan dengan sindrom metabolik terjadi 47 Universitas Sumatera Utara pada SOPK, termasuk keadaan proinflamasi dan protrombotik, dimana keduanya memiliki hubungan dengan penyakit kardiovaskular. Mekanisme dasar peningkatan risiko kardiometabolik pada SOPK masih belum jelas, walaupun resistensi insulin merupakan suatu kandidat, penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan SOPK baik obesitas dan normal, baik hiperinsulinemia dan beberapa dengan kadar insulin yang tidak meningkat, memiliki peningkatan risiko kardiovaskular. Hiperandrogenisme (dengan resistensi insulin) juga berhubungan dengan peningkatan metabolik dan morbiditas kardiovaskular pada SOPK. Peningkatan kadar testosterone telah menunjukkan adanya faktor risiko independent untuk infark miokard dan aterosklerosis koroner. Ada beberapa laporan peningkatan penanda inflamasi pada SOPK, termasuk C-reactive protein (CRP) dan disfungsi endotel, kekakuan arteri, aterosklerosis awal sebagai indikator kerusakan kardiovaskular. Sejumlah wanita SOPK merupakan obesitas atau mengalami kelebihan berat badan yang dapat meningkatkan risiko kardiovaskular secara langsung maupun tidak langsung, dengan meningkatkan resistensi insulin, hiperandrogenisme, dislipidemia, dan aktivasi potensial sistem hemostatik.33,34,35,36 Penelitian lebih jauh diperlukan, tetapi penggunaan pil kontrasepsi juga membuat wanita dengan SOPK pada peningkatan risiko perkembangan masalah kardiovaskular yaitu melalui peningkatan risiko kejadian thrombosis arteri, disfungsi arteri, dan resistensi insulin, dimana meningkatkan risiko diabetes tipe 2. Secara potensial gangguan hemostasis juga menyebabkan 48 Universitas Sumatera Utara kelainan kardiometabolik pada SOPK. Walaupun tidak ada studi epidemiologis yang menunjukkan ada bukti peningkatan klinis peningkatan risiko trombotik vena, studi epidemiologis pada SOPK terbatas. Hal ini ditemukan bahwa 29% wanita SOPK memiliki riwayat keluarga positif thrombosis vena dibandingkan 8% kontrol, tetapi penelitian lebih jauh diperlukan bahwa insidensi penyakit kardiovaskular meningkat pada pasien SOPK dibandingkan kontrol. Sistem hemostasis juga secara integral berhubungan dengan dinding endotel dan pembuluh darah. Disfungsi endotel dan kelainan dinding pembuluh darah fungsional dan struktural terlihat pada SOPK juga berhubungan secara patofisiologi untuk mengganggu hemostasis pada SOPK. Pada akhirnya, peranan patofisiologis potensial bahwa faktor hemostatik berperan pada gambaran kardiometabolik mungkin dapat menjadi pengukuran terapeutik pada SOPK. Hal ini penting khususnya karena wanita menjadi obesitas, hidup lebih panjang, dan memiliki tingkat diabetes dan karena banyak wanita meninggal berhubungan dengan penyakit kardiovaskular.16,33,34,37,38,39,40 2.7. FIBRINOGEN Fibrinogen merupakan protein plasma utama (konsentrasi normal 200 – 400 mg/dl), yang disintesa di hepatosit. Fibrinogen terdiri dari masingmasing dua dari tiga rantai polipeptida berbeda (Aα, Bβ, dan γ) dihubungkan dengan jembatan disulfide. Pemecahan rantai Aα dan Bβ thrombin untuk melepaskan masing-masing fibrinopeptida A dan B, dari ujung amino. 49 Universitas Sumatera Utara Setelah fibrinopeptida dilepaskan, monomer fibrin yang dihasilkan mengalami polimerisasi untuk membentuk bekuan fibrin yang larut. Fibrinogen juga menunjukkan heterogenitas karena pembelahan dalam sirkulasi, pada carboxyl termini dari rantai polipeptida, yang menimbulkan serangkaian molekul dengan berbagai ukuran. Fibrinogen dan fibrin dapat mengalami degradasi menjadi fragmen yang lebih kecil secara progresif oleh enzim proteolitik, termasuk plasmin dan neutrofil elastase. Fibrinogen merupakan fase akut reaktan dan kadarnya dapat meningkat sehubungan dengan berbagai variabel fisiologis dan kondisi inflamasi.41,42 Tabel 2.2. Faktor fisiologis, Patologis, dan Gaya hidup yang mempengaruhi kadar fibrinogen42 Peningkatan Fibrinogen Peningkatan usia dan jenis kelamin perempuan Musim Kehamilan dan kontrasepsi oral Wanita post menopause Reaksi fase akut Merokok Latihan Keganasan 50 Universitas Sumatera Utara Penurunan Fibrinogen Afibrinogenemia, hifofibrinogenemia Penyakit dekompensasi hati Hepatitis viral DIC Hemodilusi Variasi dari fibrinogen harus diperhitungkan ketika fibrinogen dianggap sebagai faktor risiko untuk penyakit jantung iskemik. Polimorfisme promoter gen beta fibrinogen telah dihubungkan dengan peningkatan kadar fibrinogen. Karier alel-A (sekitar 20% dari populasi) memiliki 7-10% kadar fibrinogen yang lebih tinggi dibandingkan genotip GG. Penurunan kadar fibrinogen terjadi sebagai hasil defek gen yang diturunkan, menghasilkan protein fibrinogen yang abnormal, menurun, atau tidak ada, atau sebagai akibat dari penyakit liver atau gangguan koagulasi.41,42 Dahulu, pemeriksaan fibrinogen diperlukan dalam pemeriksaan keadaan hemoragik atau dalam pemeriksaan laboratorium pada gangguan hemoragik. Beberapa senter menggunakan pemeriksaan fibrinogen bersamaan dengan prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (APTT), sebagai bagian dari skrining hemostatik umum. Pada situasi ini, kadar fibrinogen menggantikan pengunaan waktu pembekuan thrombin, 51 Universitas Sumatera Utara tetapi informasi yang tersedia berbeda tergantung pada tipe pemeriksaan yang digunakan.41,42,43 Kondisi yang jarang afibrinogenemia congenital, hipofibrinogenemia, dan disfibrinogenemia disebabkan oleh defek gen, menyebabkan penurunan sintesa fibrinogen dan pelepasan dan/atau spesies molekul yang abnormal. Pada afibrinogenemia, ada penurunan sintesa fibrinogen di hepar dengan fibrinogen plasma yang sangat rendah atau tidak terdeteksi, menyebabkan suatu keadaan diathesis hemoragik, dengan waktu pembekuan yang panjang dan fungsi trombosit yang abnormal. Pada hipofibrinogenemia, kadar fibrinogen di sirkulasi menunjukkan penurunan ringan hingga sedang, dan pasien mengalami asimptomatik atau memiliki masalah hemoragik. Disfibrinogenemia dikarakteristikkan dengan fungsi fibrinogen yang abnormal. Kira-kira 250 pasien dengan disfibrinogenemia telah dilaporkan pada literatur, 55% asimptomatik, 25% memiliki tendensi hemoragik, dan 20% memiliki trombofilia.42 Tabel 2.3. Kegunaan Klinis Pemeriksaan Fibrinogen42 52 Universitas Sumatera Utara Peningkatan kadar fibrinogen juga relevan secara klinis. Fibrinogen merupakan protein plasma utama dan, oleh karena itu, peningkatan kecil pada kadar fibrinogen akan menyebabkan dampak signifikan pada viskositas plasma, dan reologi darah. Peningkatan viskositas plasma (seperti pada sindrom hiperviskositas) telah dihubungkan dengan peningkatan risiko tromboembolisme. Pada saat ini, sejumlah studi prospektif yang besar telah menunjukkan bahwa kadar fibrinogen merupakan prediktor variasi kejadian kardiovaskular, termasuk stroke, infark miokard, iskemia pada tungkai dan reoklusi arteri pasca pembedahan.41,42 Hubungan statistik ini tetap signifikan terlepas dari tipe pemeriksaan fibrinogen yang dikerjakan, meskipun sebagian penulis telah menduga bahwa pemeriksaan imunologi mungkin lebih baik dalam memprediksi penyakit kardiovaskular dibandingkan pemeriksaan fungsional.41,42,43 Gambar 2.8. Pemecahan thrombin dari fibrinogen dan polimerisasi monomer fibrin menjadi fibrin. Suatu skema pemecahan thrombin dari fibrinogen, diikuti oleh polimerisasi monomer fibrin menjadi bentuk fibrin.43 53 Universitas Sumatera Utara Gambar 2.9. Bekuan darah fibrin. Bagian dari bekuan darah yang ditampilkan (sel darah merah (merah), serat fibrin (biru), agregasi trombosit (ungu))43 2.7.1 FIBRINOGEN SEBAGAI FAKTOR HEMOSTASIS Pada pembuluh darah yang rusak, kaskade koagulasi secara cepat diaktifasi untuk menghasilkan trombin dan akhirnya untuk membentuk solid fibrin dari solublefibrinogen, memperkuat plak trombosit primer.Koagulasi dimulai dengan dua mekanisme yang berbeda, yaitu proses aktifasi kontak dan kerja dari tissue factor. Aktivasi kontak mengawali suatu rangkaian dari reaksi-reaksi yang melibatkan faktor XII, faktor XI, faktor IX, faktor VIII,prekalikrein, High Molecular Weight Kininogen (HMWK), dan platelet factor 3 (PF-3). Reaksi-reaksi ini berperan untuk pembentukan suatu enzim yang mengaktifasi faktorX, dimana reaksi-reaksi tersebut dinamakan jalur instrinsik (intrinsic pathway). Sedangkan koagulasi yang dimulai dengan tissue factor, dimana suatu interaksi antara tissue factor ini dengan faktor VII, akan menghasilkan suatu enzim yang juga mengaktifasi faktor X. Ini 54 Universitas Sumatera Utara dinamakan jalur ekstrinsik ( extrinsic pathway). Langkah selanjutnya dalam proses koagulasi melibatkan faktor X dan V, PF-3, protrombin,dan fibrinogen. Reaksi-reaksi ini dinamakan jalur bersama (common pathway).Jalur ekstrinsik dimulai dengan pemaparan darah ke jaringan yang luka. Disebut ekstrinsik karena tromboplastin jaringan (tissue factor) berasal dari luar darah. Pemeriksaan Protrombin Time (PT) digunakan untuk skrining jalur ini. Apabila darah diambil secara hati-hati sehingga tidak terkontaminasi cairan jaringan, darah tersebut masih membeku didalam tabung gelas. Jalur ini disebut jalur intrinsik, karena substansi yang diperlukan untuk pembekuan ada dalam darah. Jalur intrinsik dicetuskan oleh kontak faktor XII dengan permukaan asing. Partial thromboplastin time (PTT) dan activated PTT (aPTT) adalah monitor yang baik untuk jalur ini. Kedua jalur akhirnya sama sama mengaktifasi faktor X, dan disebut jalur bersama.43,44 55 Universitas Sumatera Utara Gambar 2.10. Alur Koagulasi dan Fibrinolisis Normal45 Faktor-faktor pembekuan darah adalah glikoprotein, yang kebanyakan diproduksi dihepar dan disekresi ke sirkulasi darah. Tabel berikut ini menunjukan daftar faktor-faktor pembekuan darah yang dinyatakan dalam angka Romawi, serta sinonim dan beberapa sifat-sifatnya.44 56 Universitas Sumatera Utara Tabel 2.4. Daftar faktor-faktor pembekuan darah yang dinyatakan dalam angka Romawi, serta sinonim dan beberapa sifat-sifatnya44 2.7.2 FIBRINOGEN DAN SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK Wanita dengan SOPK dikarakteristikkan dengan adanya beberapa kelainan metabolik yang dapat berkembang menjadi aterosklerosis. Predisposisi untuk perkembangan menjadi aterosklerosis pada wanita dengan SOPK usia pertengahan telah diteliti oleh Talbott,dkk. Mereka mengukur ketebalan dinding carotid intima-media (CIMT) dengan ultrasonografi B-mode. Pada usia berkisar 30-44 tahun peneliti tidak menemukan perbedaan pada CIMT carotid antara kasus SOPK dan control. Pada usia ≥45 tahun, subjek dengan SOPK mengalami IMT lebih besar dari kontrol. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan pada ketebalan dinding carotid intima-media. Protein fase akut seperti C-reactive 57 Universitas Sumatera Utara protein (CRP) dan fibrinogen merupakan penanda yang mungkin berguna pada fase subklinis dari atherosklerosis. Protein fase akut dihasilkan oleh hepatosit oleh karena adanya stimulasi sitokin (terutama IL-6). Peningkatan bukti bahwa aterosklerosis merupakan proses inflamasi kronik dan karena adanya fakta ini penanda respon inflamasi seperti CRP dan fibrinogen mungkin berguna dalam penilaian risiko penyakit kardiovaskular.8,46,47 Peningkatan fibrinogen yang terjadi pada sindroma ovarium polikistik saat ini masih kontroversial diduga ada beberapa faktor yang mempengaruhinya salah satunya yaitu respon inflamasi. Sindroma ovarium polikistik saat ini diduga melibatkan proses inflamasi, oleh karena itu, fibrinogen yang terutama dihasilkan oleh hepatosit di hepar akan mengalami peningkatan sebagai respon terhadap sitokin sebagai mediator inflamasi, dan peningkatan kadar fibrinogen ini berhubungan dengan peningkatan risiko kejadian penyakit kardiovaskular.5 Fibrinogen merupakan faktor risiko kejadian atherosklerosis, dan hal ini akan meningkatkan risiko kejadian penyakit kardiovaskular. Fibrinogen dapat memediasi efek proatherogenik dengan meningkatkan viskositas plasma, mendorong agregasi trombosit dan dengan merangsang otot polos proliferasi . Fibrinogen mempengaruhi agregasi trombosit melalui reaksinya dengan reseptor trombosit (glikoprotein kompleks IIb / IIIa). Ini adalah kunci dari reaksi pembentukan thrombus. Fibrinogen juga diketahui berhubungan dengan resistensi insulin dan peningkatannya telah diteliti terutama pada pasien dengan SOPK. Suatu meta-analisis dari enam studi epidemiologi menunjukkan hubungan 58 Universitas Sumatera Utara peningkatan fibrinogen dengan infark miokard akut dan stroke . Di antara studi tersebut termasuk dalam meta-analisis ini, pasien wanita dievaluasi, yang dilaporkan adanya hubungan fibrinogen secara signifikan dengan penyakit jantung koroner, tetapi tidak dengan stroke.8,46 Gambar 2.11. Hubungan dan interaksi antara fungsi endotel, aktivasi platelet dan agregasi, inflamasi, koagulasi, dan fibrinolisis pada SOPK. Beberapa penelitian telah menunjukkan peningkatan jumlah platelet dan fungsi abnormal, inhibisi fungsi endothel, dan inhibisi fibrinolisis pada SOPK, yaitu dengan adanya prothrombotic phenotype.16 59 Universitas Sumatera Utara 2.8. D-DIMER D-dimer adalah produk akhir degenerasi cross-linked fibrin oleh aktivitas kerja plasmin dalam sistem fibrinolitik. Sejak 1990, tes D-dimer digunakan untuk pemeriksaan trombosis. Hasil pemeriksaan yang positif menunjukkan adanya trombus, namun tidak dapat menunjukkan lokasi kelainan dan menyingkirkan etiologi-etiologi potensial lain.48 Dalam proses pembentukan bekuan normal, bekuan fibrin terbentuk pada tahap terakhir proses koagulasi. Fibrin dihasilkan oleh aktivitas trombin yang memecah fibrinogen menjadi fibrin monomer. Fibrinogen adalah glikoprotein dengan formula Aα, Bβ, γ. Terdiri dari 3 pasang rantai polipeptida yang tidak identik dan saling beranyaman yaitu 2 rantai Aα, 2 Bβ, dan 2γ. Molekul fibrinogen adalah dimer yang diikat oleh ikatan disulfida pada bagian terminal end. Pasangan rantai Aα dan Bβ memiliki fibinopolipeptida berukuran kecil pada bagian terminal yang disebut sebagai fibrinopolipeptida A dan B.44,48 Proses perubahan fibrinogen menjadi fibrin terdiri dari 3 tahap yaitu tahap enzimatik, polimerisasi dan stabilisasi. Pada tahap enzimatik, 2 molekul fibrinopeptida A dan 2 molekul fibrinopeptida B dipecah dan fibrinogen diubah oleh trombin menjadi monomer fibrin yang larut. Tahap polimerisasi, fibrinopolipeptida A dilepas yang akan menimbulkan agregasi side to side disusul dengan pelepasan fibrinopeptida B yang mengadakan kontak dengan unit-unit monomer dengan lebih kuat dan membentuk bekuan yang tidak stabil. Tahap selanjutnya adalah stabilisasi dimana ada penambahan 60 Universitas Sumatera Utara trombin, faktor XIIIa dan ion kalsium (Ca2+) sehingga terbentuk unsoluble fibrin yang stabil.44,48 Trombin menyebabkan aktivasi faktor XIII menjadi XIIIa yang berperan sebagai transamidinase. Faktor XIIIa menyebabkan ikatan silang (crosslinked) fibrin monomer yang saling berdekatan dengan membentuk ikatan kovalen yang stabil (fibrin Mesh). Rantai α dan γ berperan dalam pembentukan unsoluble fibrin yang stabil.44,48 Plasminogen yang secara normal terdapat dalam plasma akan diserap oleh fibrin. Saat di dalam fibrin, plasminogen diubah oleh tissue-plasminogen activator (tPA) menjadi plasmin. Plasmin merupakan enzim fibrinolitik utama yang berfungsi memecah fibrinogen dan fibrin yang menghasilkan bermacam-macam produk degenerasi fibrinogen (Fibrin Degradation Product / FDP). Jika plasmin melisiskan unsoluble fibrin, maka akan meningkatkan jumlah produk degradasi fibrin yang terlarut. Fibrin degradation product (FDP) yang dihasilkan berupa fragmen X, Y, D dan E. Dua fragmen D dan satu fragmen E akan berikatan dengan kuat membentuk D-dimer.44,48 61 Universitas Sumatera Utara Gambar 2.12. Skema Pembentukan D-dimer49 Pemeriksaan D-dimer bermanfaat untuk mengetahui pembentukan bekuan darah yang abnormal atau adanya kejadian trombotik (indirek) dan untuk mengetahui adanya lisis bekuan atau proses fibrinolitik (direk). Hasil pemeriksaan kadar D-dimer memiliki nilai sensitifitas dan nilai ramal negatif yang tinggi untuk dua keadaan tersebut.48,49,50 Indikasi pemeriksaan D-dimer yaitu disseminated intravascular coagulation (DIC), deep vein thrombosis (DVT), pulmonary embolism (PE), venous dan arterial thrombosis (VT dan AT), terapi antikoagulan dan trombolitik serta sebagai parameter tambahan pada penyakit jantung koroner. Peningkatan kadar D-dimer dapat mengindikasikan adanya proses pembekuan darah yang abnormal, namun kadarnya dapat juga meningkat dari keadaan seperti pembedahan, perdarahan, trauma kehamilan, keganasan, atau gangguan pembekuan darah abnormal pada arteri.48,50 62 Universitas Sumatera Utara Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa D-dimer berhubungan dengan SOPK. Pada penelitian oleh Levent et al. (2009) dijumpai bahwa pasien dengan SOPK memiliki kadar plasma D-dimer yang lebih tinggi. Ddimer yang merupakan turunan dari degradasi cross-linked fibrin polymer merupakan penanda spesifik peningkatan aktivitas prokoagulasi,sama halnya dengan fibrinolisis. Hasilnya, peningkatan kadar plasma D-dimer yang tinggi mengindikasikan koagulasi darah yang berlebihan dan sangat aktif.6 Namun pada penelitian oleh Kelly et al. (2002) dijumpai rerata kadar D-dimer pada kelompok SOPK lebih rendah dibandingkan dengan non SOPK. Oleh karena itu, sampai saat ini penelitian mengenai kadar D-dimer pada penderita SOPK masih relatif sedikit, sehingga bukti peningkatan atau penurunan D-dimer masih diperdebatkan.51 63 Universitas Sumatera Utara 2.9. KERANGKA TEORI S I Fibrinogen ↑↑ N Thrombin D Atherosklerosis R O M A Fibrin Monomer ↑↑ Hiperkoagulasi Risiko Kardiovaskular Aktivitas Koagulasi ↑↑ O V A Hipofibrinolisis R I U M Luaran Kehamilan Risiko Abortus Fibrin Degradation Products (FDP) P O L D-Dimer Plasmin I K I t-PA, u-PA S T I K Plasminogen Activation Inhibitor (PAI-1) ↑↑ Plasminogen 64 Universitas Sumatera Utara 2.10. KERANGKA KONSEP PENELITIAN - Keganasan - DIC Kontrasepsi oral - Afibrinogenemia Kebiasaan Merokok - Kehamilan Hepatitis viral Konsumsi Vitamin Pemakaian antikoagulan KADAR FIBRINOGEN SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK KADAR DDIMER - DIC - Trauma DVT - Sepsis berat Kehamilan - Hematoma Adanya keganasan Sedang menjalani terapi trombolitik Trombosis arteri Variabel Independen Variabel Dependen Variabel perancu (Confounding Factor) 65 Universitas Sumatera Utara