Suar Suroso: MEMISAHKAN PANCASILA DARI SUKARNO Pada pertengahan tahun enampuluhan,, Pancasila sudah cukup populer dalam masyarakat Indonesia Mereka yang semula menentang Pancasila sebagai dasar negara, yaitu kalangan Islam yang menginginkan Islam sebagai dasar negara dan kaum sosial demokrat (PSI) yang menentang Pancasila sebagai dasar negara dalam sidang-sidang Konstituante tahun 1956-1959, juga tampil “membela” Pancasila untuk mendukung lahirnya kekuasaan orde baru. Jika Pancasila sebagaimana yang diajukan Bung Karno secara konsekwen dilaksanakan, sistim, kediktatoran tidak bisa bertahan. Maka penguasa orde baru berusaha menafsirkan sendiri Pancasila. Tapi jika Pancasila masih terpadu dengan Sukarno, terbatas kemungkinan menafsirkannya sendiri. Karena itu, memisahkan Pancasila dari Sukarno mempunyai arti strategis untuk bisa memberi tafsiran baru atas Pancasila, untuk bisa mengebirinya, “ambil kulit, ganti isi”. Secara sistimatik sudah berlangsung usaha memisahkan Pancasila dari Sukarno. Untuk itu, Prof. Nugroho Notosusanto menggunakan semantik dan sillogisme. Dengan semantik, Nugroho Notosusanto nampaknya seakan-akan mau eksak mempersoalkan Pancasila, Yang dipersoalkannya bukan sembarang Pancasila. Tapi Pancasila Undang-Undang Dasar negara 1945. Pancasila Dasar negara. Untuk memastikan siapa pencetus Pancasila, maka Nugroho secara “ilmiah” dan “historis” menyusut konseptor Dasar negara. Dengan demikian, Pancasila. Yang dipersoalkan telah dipindah menjadi mempersoalkan dasar negara, liwat masalah Pancasila dasar negara. Maka yang dikaji bukan lagi penggali Pancasila, tapi penggali dasar negara.. Mengenai dasar negara Republik Indonesia, Prof. Supomo dan Mr. Muhammad Yamin telah mengajukan konsep-konsepnya dalam sidang-sidang Panitia Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia, lebih dahulu dari Sukarno. Setelah mereka, baru Sukarno mengajukan konsepnya – Pancasila – sebagai dasar negara Republik Indonesia.. Dalam buku “Sejarah Nasional Indonesia”, dicantumkan bahwa nama Pancasila yang diajukan Bung Karno itu pun adalah “atas petunjuk seorang teman ahli bahasa” (Nugroho Notosusanto: SEJARAH NASIONAL INDONESIA, jilid ke VI, halaman 18) Memang benar, bahwa Pancasila adalah dasar negara Republik Indonesia. Dan juga benar, bahwa Supomo dan Muh.Yamin sudah mengajukan konsepnya mengenai dasar negara. Juga benar, bahwa pedato Muh. Yamin mengandung materi Pancasila sebagaimana setiap pedato yang mengungkap peri keadilan sosial dan kedaulatan rakyat mengandung materi Pancasila. Dan benar pula bahwa Sukarno dalam sidang-sidang yang sama, mengajukan konsepsnya mengenai dasar negara, yaitu Pancasila, dan bahwa dinyatakannya sendiri, bahwa nama Pancasila yang diajukannya adalah atas nasehat seorang teman ahli bahasa. Dengan menggunakan kebenaran-kebenaran itu, Nugroho menyimpuilkan, bahwa Sukarno bukan satu-satunya pencetus dasar negara – Pancasila --, bahwa “yang dianggap pertama kali merumuskan materi Pancasila yalah Mr Muh.Yamin” (Idem). Inilah kesimpulan berkat metodologi sillogisme tulen ! Salah satu varian dari sillogisme yang tidak ilmiah dan menyesatkan. Metode ini merangkai-rangkai dan menggunakan kebenaran-kebenaran yang sepotong-sepotong, untuk sampai pada kesimpulan yang cocok dengan selera si penyimpul. Bukankah yang dipersoalkan adalah masalah pencetus Pancasila ? Masalah isi dan dan penjelasan isi Pancasila ? Bukankah Muh.Yamin dan Supomo tidak mengajukan Pancasila ? Tak bisa lain, orang pertama yang yang megedepankan Pancasila sebagai dasar negara adalah Sukarno. Dan jika mau yang otoentik, patokan asli untuk menginterpretasi Pancasila, hanya dapat dipelajari dalam pedato Bung Karno 1 Juni 1945, yang secara orisinal mencetuskan rumusan dan penjelasan isi Pancasila. Cara Nugroho mencari pencetus Pancasila liwat mengusut materi Pancasila, bisa dikembangkan tak habis-habisnya, sebagaimana halnya tak habis-habisnya varian penjabaran konsepsi keadilan sosial dan kedaulatan rakyat. Sejalan dengan cara ini.dengan mengakui ilmu klenik “kasunyatan” (suatu ilmu kebatinan) sebagai ilmu, Soeharto, dalam kedudukan sebagai Presiden Republik, Indonesia, menerangkan bahwa semenjak kedatangan agama Hindu, nenek moyang kita hidup bergotongroyong. Semenjak itu, nenek moyang kita telah meninggali butir-butir daripada Pancasila” Dan dengan menerangkan arti filsafat aksara Jawa “ha-na-ca-ra-ka” dengan ilmu klenik “kasunyatan”, dinyatakan: “.....kan hebat.....di sinilah sebenarnya kalau kita mau menggunakan warisan nenek moyang kita meninggalkan mutiara-mutiara daripada Pancasila tadi”. Jadi, Pancasila adalah warisan nenek moyang kita. Tafsiran demikian tentang Pancasila, katanya adalah “demi kembali kepada kemurnian Pancasila” (Presiden Soeharto: Sambutan pada Berbuka Puasa di depan Pengurus Komite Nasional Pemuda Indonesia, 19-7-1982). Seiring dengan ini, Sayidiman Suryohadiprojo berpendapat, bahwa “nilai-nilai Pancasila terkandung dalam kehidupan bangsa kita sejak dahulu kala, meskipun baru sejak tahun 1945 diberi nama Pancasila. Ini berarti, ketika Sriwijaya dan Majapahit unggul, bangsa kita dijiwai oleh nilai-nilai yang kemudian dinamakan Pancasila” (Sayidiman Suryohadiprojo: “Daya Saing Dalam Masyarakat Pancasila”, Hafrian KOMPAS, 23 dan 24-4-1984). Tak usah jadi ahli sejarah, sedikit saja membaca sejarah dengan teliti, akan mengetahui, bahwa di zaman pra-sejarah, dan dalam pemerintahan Majapahit yang otoriter, sebutir pun tidak ada sila dari Pancasila. Majapahit adalah negara feodal teokrasi otoriter. Dalam negara ini, yang berkuasa adalah raja, bukan rakyat. Jadi tak ada demokrasi sebagaimana sila ke-empat Pancasila Sesuai dengan kebudayaan Hindu, di zaman Majapahit, rakyat dibagi atas 4 kasta: Brahmana, Kesatriya, Waisya dan Sudra. Di luar ini ada lagi tiga tiga golongan rakyat Candala, Mleca dan Puca. Ketiga golongan ini oleh kasta Brahmana dianggap golongan haram dan najis Pekerjaan golongan ini hanyalah menggotong dan membakar mayat. Untuk pakaian, mereka hanya diperbolehkan menggunakan bahan bungkusan mayat. Mereka hanya diperbolehkan tinggal di luar kota. Jadi di zaman Majapahit tidak ada peri kemanusiaan, tidak ada keadilan sosial, tidak ada kedaulatan rakyat sebagaimana sila-sila Pancasila. Karena itu adalah tidak beralasan untuk menyatakan Pancasila adalah warisan Majapahit, atau butir-butir Pancasil;a sudah ada di zaman pra-sejarah (Wangsawidjaja: “Pantjasila Bukan Warisan Majapahit”, Harian SINAR HARAPAN, 27-12-1984) Usaha memisahklan Pancasila dari Sukarno mendapat tentangan orang banyak. Mulai dari orang awam sejarah, sampai Drs. Nalenan dari Lembaga Penelitian Sejarah Nasional Universitas 17 Agustus 1945, B.M.Diah, bahkan Ruslan Abdulgani membantah pandangan pemalsuan sejarah ini dengan menggunakan kesaksian-kesaksian Hatta, Dr,Radjiman Wediodiningrat Ketua Sidang, di mana Bung Karno berpedato 1 Juni 1945. (Ruslan Abdulgani: PENGEMBANGAN PANCASILA DI INDONESIA, halaman 9s/d11, Idayu Press, Jakarta, 1977). Ini dibenarkan oleh kenyataan ucapan Bung Karno sendiri sebagai berikut: “Dasar-dasar Negara telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma ? Bukan ! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar- Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Indria. Apa yang lima bilangtannya ? (Seseoraqng yang hadir: Pendawa Lima). Pendawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, intenasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan lima pula bilngannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi – saya namakan dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa – namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar dan di atasa kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia kekal abadi (Sukarno: LAHIRNJA PANTJASILA, ;pedato 1 Juni 1945). Dikutip dari: buku S.Suroso: BUNG KARNO, MARXISME & PANCASILA, Pustaka Pena, Jakarta, hal. 11 s/d 15. Penerbit