BAB II Tinjauan Pustaka

advertisement
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Deforestasi
2.1.1 Definisi deforestasi
Pulau Jawa merupakan suatu pulau dengan populasi penduduk terbanyak di
dunia. Pada tahun 2000, luas hutan di Jawa mencapai 2 juta ha, tetapi pada tahun
2005 mengalami pengurangan luasan menjadi 1,2 juta ha. Banyak lahan hutan
yang dikonversi untuk perluasan lahan pertanian seperti untuk sawah, pertanian
dataran tinggi, dan pemukiman. Deforestasi tertinggi terjadi di Jawa Timur,
diikuti oleh Jawa Barat dan Banten, Jawa Tengah, dan Jogyakarta (Prasetyo et al.
2009).
Secara umum para ahli kehutanan di dalam negeri dan di luar negeri
menganggap bahwa kondisi kehutanan di Indonesia, termasuk di Jawa akhir-akhir
tahun 2001 cukup serius. Luas hutan telah menurun drastis, dan ancaman
kerusakan tidak berkurang sebagai akibat
maraknya penebangan yang tidak
terkendali termasuk penebangan tanpa izin, perambahan, pencurian kayu,
penanaman hutan yang tidak berjalan, dan lain-lain yang secara keseluruhan
disinyalir merupakan ancaman terhadap kelestarian hutan.
Menurut Djajapertjunda (2003), timbulnya ancaman deforestasi tersebut
tidak dapat dipisahkan dari kejadian-kejadian yang terjadi di kawasan Indonesia
lainnya. Disebut-sebut bahwa kejadian perusakan hutan tersebut telah timbul
karena (i) menurunnya kesadaran hukum masyarakat, (ii) adanya kesimpangsiuran
dan tumpang tindih peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang mengatur
sistem pengurusan hutan, (iii) kurangnya pasokan bahan baku industri kayu hulu,
(iv) belum tuntasnya pengaturan pelaksanaan otonomi daerah.
Beberapa organisasi dunia mendefinisikan tentang deforestasi dari sudut
pandang masing-masing (Hidayat 2008). Deforestasi menurut FAO didefinisikan
sebagai konversi lahan hutan untuk penggunaan lahan lain atau pengurangan yang
tajam dari tutupan hutan di bawah ukuran 10%. Disamping itu, deforestasi
menekan kehilangan permanen tutupan hutan dalam jangka panjang. Kehilangan
seperti itu dapat disebabkan melalui pengaruh manusia yang berlanjut atau
4
gangguan alam. Deforestasi juga termasuk area lahan kehutanan yang dikonversi
untuk lahan pertanian, penggembalaan, transmigrasi, dan sebagainya.
Hidayat (2008) mendefinisikan deforestasi sebagai konversi lahan hutan
untuk kepentingan pengguna lahan pertanian. Deforestasi mencakup lahan hutan
yang dipakai untuk infrastruktur seperti bangunan, pertambangan, tempat
pemukiman, lahan penggembalaan, ladang berpindah, dan sebagainya.
Menurut Rakhmawati (2003), di lingkungan Perhutani deforestasi pada
dasarnya disebabkan oleh 2 faktor, yaitu faktor internal (dari dalam Perhutani) dan
faktor eksternal (dari luar Perhutani). Faktor internal meliputi: keterbatasan
personil pengawasan dan pengamanan hutan (kualitas dan kuantitas), keterbatasan
sarana dan prasarana pengawasan dan pengamanan hutan, wilayah hutan yang
luas, serta pola pengamanan yang berbeda-beda. Sedangkan faktor eksternal
meliputi: sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan yang masih rendah, kebutuhan
kayu yang semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan industri, dan adanya
sindikat pencurian kayu.
2.1.2 Faktor penyebab deforestasi
Deforestasi merupakan kejadian hasil alam dan buatan manusia. Deforestasi
hasil alam misalnya akibat dari letusan gunung berapi, tsunami, badai, banjir, dan
sebagainya yang merupakan akibat dari fenomena alam. Penyebab deforestasi
antara lain konversi areal hutan dan pemanfaatan hutan yang tidak mengindahkan
kaidah-kaidah pengelolaan hutan lestari. Tingginya tingkat deforestasi disebabkan
oleh rendahnya kesadaran dan tanggung jawab pengusaha hutan dalam
melaksanakan kegiatannya, lemahnya pengawasan dan pemantauan oleh
pemerintah, rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam
dan sekitar hutan, sempitnya peluang kerja pada sektor lain, dan tidak jelasnya
hak-hak properti dan tata batas kawasan hutan. Tidak jelasnya status merupakan
contoh lemahnya hak properti yang ditengarai menjadi salah satu penyebab
deforestasi (Adnan et al. 2008).
Menurut Rakhmawati (2003), menyatakan bahwa sebab-sebab timbulnya
perusakan kawasan hutan pada umumnya disebabkan oleh keadaan sosial
ekonomi masyarakat di sekitar hutan, kurangnya wibawa aparatur yang diserahi
5
tanggung jawab untuk mengelola kehutanan dan kurang mantapnya peranan
perundang-undangan mengenai hutan, kurangnya pengetahuan masyarakat akan
fungsi hutan dan bahaya yang dapat timbul karena terjadinya perusakan hutan,
keadaan batas hutan yang rusak atau hilang dan vegetasi yang punah merupakan
dorongan yang kuat pula terhadap adanya penggarapan tanah hutan.
Menurut Hidayat (2008), pengelolaan hutan yang salah merupakan
penyebab utama deforestasi selama rezim Soeharto. Ada tiga faktor yang berperan
dalam deforestasi. Pertama, tingkah laku politisi dan sikap dari pengambil
keputusan di dalam pemerintahan Soeharto, dengan dukungan dari sistem
internasional, yaitu membentuk dan mendorong faktor yang beragam yang
memberi kontribusi atas deforestasi di hutan tropis. Kedua, kelengahan dalam
pengawasan diantara aparat kehutanan baik di pusat dan daerah di dalam
menerapkan prinsip pengelolaan hutan yang lestari. Ketiga, kurangnya penegakan
hukum dan pemberian sanksi tegas bagi pengusaha swasta, baik domestik maupun
transnasional yang melanggar peraturan industri kehutanan.
2.2
Reforestasi
Menurut Santoso (2008), kegiatan reforestasi merupakan kegiatan
rehabilitasi hutan dan lahan yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh dan
terkoordinasi dengan melibatkan seluruh potensi sumberdaya yang ada baik
pemerintah,
swasta,
masyarakat
dalam
perencanaan,
pelaksanaan
dan
pengendalian sehingga mampu menjadi penggerak perekonomian wilayah.
Disamping itu, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan juga menciptakan lapangan
usaha masyarakat terutama untuk pengelolaan lahan, penyediaan bibit,
penanaman, pemeliharaan, dan lain-lain.
Reforestasi juga merupakan kegiatan reboisasi yang meliputi kegiatan
penanaman ataupun permudaan pohon-pohon serta jenis tanaman lainnya di areal
hutan negara dan areal lain yang berdasarkan rencana tata guna lahan yang
diperuntukkan hutan. Dengan kata lain, kegiatan tersebut untuk membangun hutan
baru pada kawasan hutan bekas tebang habis, tebang pilih atau di tanah kosong
yang hanya ditumbuhi alang-alang.
6
Kegiatan reforestasi dapat disinergikan dengan pelestarian air melalui
langkah-langkah:
a. Menjaga Daerah Aliran Sungai agar dapat tetap berfungsi secara
hidroekologis yang optimal dengan cara reforestasi, bangunan sipil teknis dan
membentuk masyarakat yang cinta pada pelestarian alam,
b. Memanfaatkan air secara bijaksana baik untuk masyarakat perkotaan, industri
maupun pedesaan (pertanian),
c. Menghindari aktivitas yang dapat mencemari air.
2.3
Penginderaan Jauh (Remote Sensing)
2.3.1 Pengertian penginderaan jauh
Penginderaan jauh merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh
informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang
diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau
fenomena yang dikaji. Penginderaan jauh meliputi dua proses utama yaitu
pengumpulan data dan analisis data (Lillesand & Kiefer 1990). Tujuan utama dari
penginderaan jauh adalah mengumpulkan data dan informasi tentang sumberdaya
alam dan lingkungan (Lo 1995).
Elemen proses pengumpulan data meliputi: a) sumber energi, b) perjalanan
energi melalui atmosfer, c) interaksi antara energi dengan kenampakkan di muka
bumi, d) sensor wahana pesawat terbang dan/atau satelit, dan e) hasil
pembentukkan data dalam bentuk piktoral dan/atau bentuk numerik. Berarti
proses penginderaan jauh menggunakan sensor untuk merekam berbagai variasi
pancaran dan pantulan gelombang energi elektromagnetik oleh kenampakkan di
muka bumi.
Proses analisis data meliputi pengujian data dengan menggunakan alat
interpretasi dan alat pengamatan untuk menganalisis
data piktoral dan/atau
komputer untuk menganalisis data sensor numerik. Data rujukan tentang
sumberdaya yang dipelajari (seperti peta tanah, data statistik tanaman, atau data
uji medan) digunakan dimana dan kapan saja bila tersedia untuk membantu
didalam analisis data. Dengan bantuan rujukan data analisis mengambil informasi
tentang jenis, bentang lokasi, dan kondisi berbagai sumberdaya yang dikumpulkan
7
oleh sensor. Informasi ini kemudian disajikan, biasanya dalam bentuk peta, tabel,
dan suatu bahasan tertulis atau laporan. Akhirnya, informasi tersebut
diperuntukkan bagi para pengguna yang memanfaatkannya untuk proses
pengambilan keputusan.
2.3.2 Keunggulan penginderaan jauh
Prahasta (2005) menyatakan bahwa penginderaan jauh merupakan metode
pengambilan data spasial yang paling sering digunakan. Hal ini dikarenakan
penginderaan jauh memiliki keunggulan diantaranya:
1. Hasil yang didapat akan memiliki cakupan wilayah studi yang sangat
bervariasi mulai dari skala kecil hingga yang luas,
2. Dapat memberikan gambaran unsur-unsur spasial yang komprehensif dengan
bentuk-bentuk geometri relatif dan hubungan ketetanggaan yang benar,
3. Periode pengukuran relatif singkat dan dapat diulang kembali dengan cepat
dan konsisten,
4. Skala akurasi data spasial yang diperoleh dapat bervariasi dari yang kecil
hingga yang besar,
5. Kecenderungan dalam mendapatkan data yang paling baru,
6. Biaya survey keseluruhan terhitung relatif murah.
2.3.3 Analisis citra digital
Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), penganalisisan data Landsat dengan
menggunakan komputer dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Pemulihan citra (Image restoration)
Pemulihan citra ditujukan untuk memperbaiki citra kedalam bentuk yang
lebih mirip dengan pandangan aslinya. Perbaikan ini meliputi koreksi radiometrik
dan geometrik yang ada pada citra asli.
2. Penajaman citra (Image enhancement)
Proses penajaman citra dilakukan untuk menguatkan tampilan kontras
antara objek pada sebuah citra. Kegiatan ini dilakukan sebelum data citra
digunakan dalam analisis visual, dimana teknik penajaman dapat diterapkan untuk
menguatkan kontras diantara penampakkan dalam adegan. Pada berbagai terapan,
8
langkah ini dapat meningkatkan jumlah informasi yang dapat diinterpretasikan
secara visual dari data citra.
3. Klasifikasi citra (Image classification)
Teknik kuantitatif digunakan untuk menginterpretasi data citra digital secara
otomatis. Dalam proses ini, setiap piksel yang diamati dievaluasi dan selanjutnya
diklasifikasi dalam kelas-kelas yang diinginkan atau sama dengan keadaan
pengamatan dilapangan. Klasifikasi citra dibagi kedalam dua pendekatan yaitu
klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tak terbimbing
(unsupervised classification).
Pada klasifikasi terbimbing proses pengklasifikasian dilakukan dengan
prosedur pengenalan pola spektral dengan memilih kelompok atau kelas-kelas
informasi yang diinginkan dan selanjutnya memilih contoh-contoh kelas (training
area) yang mewakili setiap kelompok, kemudian dilakukan perhitungan statistik
terhadap contok-contoh kelas yang digunakan sebagai dasar klasifikasi. Apabila
kelas yang dipilih oleh analisis dapat dipisahkan spektral dan bila daerah yang
dipilih benar-benar mewakili seluruh rangkaian data, proses klasifikasi yang
dilakukan biasanya akan berhasil. Sedangkan klasifikasi tak terbimbing
merupakan proses pengklasifikasian dimulai dengan pemeriksaan seluruh piksel
dan membagi kedalam kelas-kelas berdasarkan pada pengelompokkan nilai-nilai
citra seperti apa adanya. Hasil dari pengklasifikasian ini disebut kelas-kelas
spektral. Kelas-kelas spektral tersebut kemudian dibandingkan dengan kelas-kelas
referensi untuk menentukan identitas dan nilai informasi kelas spektral tersebut.
2.3.4 Aplikasi penginderaan jauh untuk studi perubahan penutupan lahan
Istilah penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di
permukaan bumi. Informasi penutupan lahan dapat dikenali secara langsung
dengan menggunakan penginderaan jauh yang tepat (Lillesand & Kiefer 1990).
Penutupan lahan merupakan status lahan secara fisik, yang dapat berubah karena
adanya intervensi manusia, gangguan alam, dan suksesi tumbuhan secara alami
(Yatap 2008). Menurut Lo (1995) bahwa penutupan lahan menggambarkan
konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan. Konstruksi
tersebut seluruhnya tampak secara langsung dari citra penginderaan jauh. Secara
9
umum terdapat tiga kelas data yang mencakup penutupan lahan adalah: (1)
struktur fisik yang dibangun oleh manusia, (2) fenomena biotik vegetasi alami,
tanaman pertanian dan kehidupan binatang, dan (3) tipe-tipe pembangunan.
Suatu faktor penting untuk menentukan kesuksesan pemetaan penggunaan
lahan dan penutupan lahan terletak pada pemilihan skema klasifikasi yang tepat
dirancang untuk suatu tujuan yang dimaksud. Skema klasifikasi yang baik harus
sederhana dalam penggunaan dan tidak ambisius dalam menjelaskan setiap
kategori penutupan dan penggunaan lahan. Tingkat kecermatan hasil peta
berhubungan erat dengan skema klasifikasi yang mempertimbangkan skala peta
akhir (Waluyo 2009).
Badan Survey Geologi Amerika Serikat telah menyusun sistem klasifikasi
penggunaan lahan dan penutupan lahan untuk digunakan dalam data penginderaan
jauh (Lillesand & Kiefer 1990). Sistem klasifikasi penggunaan lahan dan
penutupan lahan menurut USGS disusun berdasarkan kriteria berikut: (1) tingkat
ketelitian interpretasi minimum dengan menggunakan penginderaan jauh tidak
kurang dari 85%, (2) ketelitian interpretasi untuk beberapa kategori harus kurang
lebih sama, (3) hasil yang dapat diulang harus dapat diperoleh dari penafsir yang
satu ke yang lain dan dari satu saat penginderaan ke saat yang lain, (4) sistem
klasifikasi harus dapat diterapkan untuk daerah yang luas, (5) kategori harus
memungkinkan penggunaan lahan ditafsir dari tipe penutup lahannya, (6) sistem
klasifikasi harus dapat digunakan dengan data penginderaan jauh yang diperoleh
pada waktu yang berbeda, (7) kategori harus dapat dirinci kedalam sub kategori
yang lebih rinci yang dapat diperoleh dari citra skala besar atau survey lapangan,
(8) pengelompokkan kategori harus dapat dilakukan, (9) harus dapat
memungkinkan untuk dapat membandingkan dengan data penggunaan dan
penutupan lahan pada masa akan datang, dan (10) lahan multiguna harus dapat
dikenali bila mungkin.
Terapan interpretasi citra Landsat telah dilakukan di dalam berbagai disiplin
ilmu seperti pertanian, botani, kartografi, teknik sipil, pamantauan lingkungan,
kehutanan, geografi, geologi, geofisika, analisis sumberdaya lahan, perencanaan
tata guna lahan, oseanografi, dan analisis sumberdaya air (Lillesand & Kiefer
1990).
10
Penggunaan citra Landsat untuk pemetaan penggunaan lahan khususnya
telah populer di negara-negara berkembang untuk mempercepat perolehan data
yang diperlukan untuk meng-update data lama. Ketersediaan data citra satelit
dalam bentuk berbeda telah menarik melimpahnya aplikasi untuk pemetaan
penggunaan lahan dan penutupan lahan medan. Keuntungan data satelit adalah
dalam jumlah besar. Untuk tujuan pemetaan penggunaan lahan, liputan luas dan
berulang dihasilkan oleh wahana satelit khususnya penting melihat biaya efektif
pengumpulan dan kemudahan meng-update data penggunaan lahan (Lo 1995).
Pengetahuan tentang penggunaan lahan dan penutupan lahan penting untuk
berbagai kegiatan perencanaan dan pengelolaan yang berhubungan dengan
permukaan bumi. Istilah penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan
yang ada di permukaan bumi. Istilah penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan
manusia pada bidang lahan tertentu. Untuk studi aspek sosial ekonomi dalam
perencanaan penggunaan lahan (persyaratan sekolah, dinas kekotaan, pajak
pendapatan, dll.), perlu untuk mengetahui bahwa penggunaan lahan tersebut untuk
tempat tinggal satu keluarga. Untuk studi hidrologi tentang karakteristik aliran
permukaan, penting untuk mengetahui jumlah dan tagihan atap, permukaan yang
diperkeras, rumput, dan pepohonan yang ada pada sebidang lahan tersebut.
Dengan demikian pengetahuan tentang penggunaan lahan dan penutup lahan
menjadi hal yang penting untuk perencanaan lahan dan kegiatan pengolahan
lahan (Lillesand & Kiefer 1990).
Survey geologi Amerika Serikat telah menyususn sistem klasifikasi
penggunaan lahan dan penutup lahan untuk digunakan dengan data penginderaan
jauh yang dilaporkan dalam USGS Professional Paper 964 (5). Hasil sistem
klasifikasi penggunaan lahan dan penutup lahan USGS untuk digunakan dengan
data penginderaan jauh ditunjukkan pada Tabel 1.
11
Tabel 1 Sistem klasifikasi penggunaan lahan dan penutup lahan untuk digunakan
dengan data penginderaan jauh
Tingkat I
1. Perkotaan atau lahan bangunan
2. Lahan pertanian
3. Lahan peternakan
4. Lahan hutan
5. Air
6. Lahan basah
7. Lahan gundul
8. Padang lumut
9. Es atau salju abadi
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
1.6
1.7
2.1
2.2
2.3
2.4
3.1
3.2
3.3
4.1
4.2
4.3
5.1
5.2
5.3
5.4
6.1
6.2
7.1
7.2
7.3
7.4
7.5
7.6
7.7
8.1
8.2
8.3
8.4
8.5
9.1
9.2
Tingkat II
Pemukiman
Perdagangan dan jasa
Industri
Transportasi, komunikasi dan umum
Kompleks industri dan perdagangan
Kekotaan campuran atau lahan bangunan
Kekotaan atau lahan bangunan lainnya
Tanaman semusim dan padang rumput
Daerah buah-buahan, jeruk, anggur, dan
labu bibit dan tanaman hias
Tempat penggembalaan terkurung
Lahan pertanian lainnya
Lahan tanaman obat
Lahan peternakan semak dan belukar
Lahan peternakan campuran
Lahan hutan gugur dan semusim
Lahan hutan yang selalu hijau
Lahan hutan campuran
Sungai dan kanal
Danau
Waduk
Teluk dan muara
Lahan hutan basah
Lahan basah bukan hutan
Dataran garam kering
Gisik
Daerah berpasir selain gisik
Batuan singkapan gundul
Tambang terbuka, pertambangan, dan
tambang kerikil
Daerah peralihan
Lahan gundul campuran
Padang lumut semak dan belukar
Padang lumut tanaman obat
Padang lumut lahan gundul
Padang lumut basah
Padang lumut campuran
Lapangan salju abadi
Glasier
Download