bab 2 2 tinjauan pustaka - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB 2
2
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Anestesi Spinal
Sejak anestesi spinal / Sub-arachnoid block (SAB) diperkenalkan oleh August
Bier (1898) pada praktis klinis, tehnik ini telah digunakan dengan luas untuk
menyediakan anestesi, terutama untuk operasi pada daerah bawah umbilicus.
Kelebihan utama tehnik ini adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yang
minimal, memiliki efek minimal pada biokimia darah, menjaga level optimal dari
analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta
membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia yang minimal.1
Anestesi spinal merupakan tehnik
anestesi yang aman, ekonomis dan dapat
dipercaya serta sering di pergunakan pada
tindakan anestesi sehari-hari. Anestesi
spinal
disertai
dengan
beberapa
komplikasi yang sering timbul, salah satu
komplikasi yang dapat timbul adalah
postdural puncture headache (PDPH).
Dimana
menurut
berbagai
peneliti,
insidensi terjadinya Post Dural Puncture
Headache berkisar antara 0% - 46%.2,3
Angka yang tertinggi dijumpai pada
penusukan
lumbal
diagnostic
dengan
Gambar 1. Jenis Tipe Jarum
5
Universitas Sumatera Utara
menggunakan jarum spinal tipe Quincke dengan ukuran 20G atau 22G.2
Tiap robekan pada dura dapat mengakibatkan terjadinya PDPH. Hal ini bisa
disebabkan oleh tindakan diagnostic lumbal puncture, tindakan myelogram, anestesi
spinal atau “wet tap” epidural bila jarum epidural menembus ruang epidural dan
memasuki ruang sub-arakhnoid.
Banyak faktor yang diduga mempengaruhi insidensi dan keparahan PDPH
termasuk umur, jenis kelamin, dan ras pasien, tehnik SAB, jumlah tusukan yang
dilakukan, besar jarum dan desain ujung jarum.16 Salah satu faktor terpenting dan
paling memegang peranan adalah desain dan besar jarum.
Ada beberapa tipe jarum yang saat ini digunakan untuk tindakan punksi dura.
Seara umum tipe jarum ini dibedakan menjadi dua tipe, yakni tipe cutting (quincke)
dan non-cutting / atraumatic (whitacre, sprotte, atraucan).
Jarum dengan ujung Quincke memotong serat dura dan bisa menyebabkan
robekan dura yang menetap, sementara ujung jarum spinal non-cutting atau seperti
pencil-point (Whitacre, Sprotte) dapat mendorong serat dura sehingga dapat kembali
ke tempat semula dan mengurangi hilangnya CSF setelah tusukan dura dan
mengurangi insidensi PDPH. Oleh karena itu, banyak variasi dalam insidensi PDPH
yang bisa timbul dengan desain jarum spinal yang berbeda.
Dengan mengurangi besar dari jarum spinal telah memberikan dampak yang
signifikan terhadap insidensi dari PDPH. Insidensinya adalah 40% pada jarum 22G,
25% pada jarum 25G, 2-12% pada jarum 26G Quincke, 1-6% pada jarum 27G
Quincke dan <2% pada jarum 29G.17
Dari penelitian Hwang dkk, membandingkan insidensi PDPH dengan jarum
25G Whitacre dengan jarum 25G dan 26G Quincke tidak menunjukkan adanya
perbedaan yang bermakna secara statistik.13
6
Universitas Sumatera Utara
Dari penelitian Lynch dkk, menggunakan jarum spinal 27G Quincke dan 27G
Whitacre pada pasien-pasien ortopedik dengan spinal anestesi, menunjukkan tidak
ada perbedaan yang bermakna antara kedua tipe jarum dengan 27G Quincke 1.1%
dan 27G Whitacre 0.5% dan tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap kegagalan
tindakan anestesi dengan 27G Quincke 8.5% dan 27G Whitacre 5.5%.14
Ripul dkk, membandingkan insidensi PDPH antara jarum 25G Quincke
dengan 25G Whitacre pada pasien-pasien obstetrik. Mereka menemukan bahwa ada
perbedaan yang bermakna terhadap kejadian insidensi PDPH antara jarum 25G
Quincke (9%) dan 25G Whitacre (1%).12
Dari penelitian Irawan dkk, di RS. Hasan Sadikin Bandung, meneliti insidensi
PDPH pada pasien paska seksio caesarea dengan 3 jarum spinal, yakni 25G Quincke,
27G Quincke dan 27G pencil point, didapat hasil insidensi PDPH 68.2%, 31.8% dan
0%.(15) Shah dkk (2002), meneliti insidensi PDPH dengan tiga jarum yang serupa,
yakni 25G dan 27G Quincke serta 27G Whitacre, didapatkan hasil insidensi PDPH
20%, 12.5% dan 4.5%.1
Ada kecenderungan dengan pemakaian gauge/ukuran jarum lebih kecil (29G)
disertai dengan insidensi kegagalan tehnik yang lebih besar.12,16
Sebuah pengertian klasik mengenai dura mater spinal adalah serat kolagen
yang tersusun teratur dan berjalan searah longitudinal. Hal ini didukung oleh
penelitian histologis dari dura mater. Secara klinis dianjurkan untuk melakukan
tindakan anestesi spinal bila dengan menggunakan jarum cutting secara paralel dan
tidak memotong jalur serat dura longitudinal ini, dengan harapan akan memotong
serat lebih sedikit. Akan tetapi dari penelitian mikroskop cahaya dan elektron
menemukan pembantahan terhadap pendekatan klasik duramater manusia ini.
Penelitian ini menemukan bahwa dura mater terdiri dari berbagai lapis serat, dimana
tiap lapisan serat tidak memberikan orientasi arah yang spesifik. Sehingga penusukan
jarum spinal dengan posisi sejajar searah longitudinal masih perlu dilakukan
7
Universitas Sumatera Utara
penelitian lebih lanjut, walaupun ada penelitian yang menunjukkan adanya penurunan
insidensi PDPH berdasarkan posisi bevel saat penusukan.17
Ada beberapa penelitian yang meneliti mengenai hubungan banyaknya usaha
tusukan spinal dengan insidensi PDPH yang menyertainya. Sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Singh dkk (2009) dengan menggunakan jarum 23G Quincke
membandingkan banyaknya tusukan dengan insidensi PDPH. Dari hasil penelitian
tersebut didapat ada hubungan yang signifikan terhadap banyaknya usaha tusukan
dengan tingginya insidensi.18 Dari beberapa penelitian lain yang meneliti hubungan
banyaknya tusukan spinal dengan insidensi PDPH pada jarum-jarum yang lebih kecil
26G dan 27G tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara
banyaknya tusukan dengan tingginya insidensi PDPH, seperti yang dikemukakan oleh
Kang SB dkk (1992).19 Pada penelitian ini, peneliti meneliti insidensi PDPH antara
dua tipe jarum ukuran 27G, sehingga peneliti mengesampingkan faktor banyaknya
tusukan untuk mempengaruhi tingginya insidensi terjadinya PDPH.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan jarum 27 G Spinocan sebagai tipe
jarum Quincke dan jarum 27 G Pencan sebagai tipe jarum Whitacre. Kedua tipe
jarum ini berasal dari perusahaan yang sama guna membantu homogenitas jarum.
2.2
2.2.1
Post Dural Puncture Headache
Defenisi PDPH
Sudah lebih dari seratus tahun sejak dr.Bier mengalami dan menulis laporan
kasus pertama terhadap post dural puncture headache. Deskripsi dr.Bier terhadap
sakit kepala postural berat ini masih lazim dipakai sampai saat ini. Sebuah nyeri yang
biasanya sangat berat, tumpul, bilateral, biasanya pada daerah frontal, retroorbital dan
occipital yang menjalar ke leher, dimana biasanya diperberat bila posisi tegak lurus
dan berkurang pada posisi supine. Nyeri kepala bisa berdenyut atau konstan dan bisa
disertai dengan fotofobia, mual, muntah, gangguan pendengaran atau penglihatan.7,8,9
8
Universitas Sumatera Utara
Onset nyeri kepala akibat PDPH ini bisa terjadi pada 12 sampai 72 jam
setelah prosedur; akan tetapi, juga bisa ditemukan segera setelah tindakan. Pasienpasien yang mengalami post dural puncture heachache tidak boleh diabaikan. Bila
tidak ditangani nyeri bisa berlangsung sampai berminggu-minggu, dan pada kasuskasus yang sangat jarang, bisa diperlukan tindakan operasi untuk mengatasinya.
Post Dural Puncture Headache (PDPH) merupakan komplikasi dari tusukan
pada duramater (salah satu meningens yang mengelilingi otak dan spinal cord).
PDPH sering terjadi pada anestesi spinal dan lumbal, dan juga epidural anestesi.
PDPH bisa timbul dalam hitungan jam sampai hari setelah tusukan dan memberikan
tanda dan gejala seperti pusing dan mual dan menjadi makin berat bila pasien
mengambil posisi tegak lurus. Jadi PDPH bisa disimpulkan sebagai sakit kepala berat
yang bisa disertai mual atau muntah setelah tusukan spinal dengan ciri khas
memberat bila berubah posisi duduk atau tegak lurus dan menghilang atau berkurang
bila posisi tidur datar.
Dari pernyataan di atas, diambil criteria Post Dural Puncture Headache:1
1. Timbul setelah mobilisasi
2. Diperberat dengan perubahan posisi duduk atau berdiri dan batuk, bersin
3. Berkurang atau hilang dengan posisi tidur terlentang
4. Nyeri sering terlokalisir pada occipital, frontal atau menyeluruh
2.2.2
Klasifikasi PDPH
Nyeri sakit kepala PDPH menurut Crocker (1976) dikelompokkan menjadi 4
skala yakni:1
1. Nyeri kepala ringan yang memungkinkan periode lama untuk duduk /
berdiri dan tanpa ada gejala tambahan lain.
9
Universitas Sumatera Utara
2. Sakit kepala sedang, yang membuat pasien tidak dapat bertahan berada
pada posisi tegak lurus selama lebih dari setengah jam. Biasanya di sertai
dengan mual, muntah dan gangguan pendengaran dan penglihatan.
3. Sakit kepala berat yang timbul segera ketika beranjak dari tempat tidur,
berkurang bila berbaring terlentang di tempat tidur. Sering disertai dengan
mual, muntah, gangguan penglihatan dan pendengaran.
4. Nyeri kepala sangat berat yang timbul bahkan ketika penderita sedang
berbaring terlentang di tempat tidur dan bertambah makin berat bila duduk
atau berdiri, untuk makan tidak mungkin dilakukan karena mual dan
muntah.
Keluhan PDPH ini diduga merupakan akibat dari hilangnya cairan
cerebrospinal ke dalam ruang epidural. Berkurangnya tekanan hidrostatik pada ruang
subaraknoid akan menyebabkan regangan terhadap meningens sehingga terjadi tanda
dan gejala penyerta. Hal ini disebabkan hilangnya CSF lebih cepat dari produksinya
sehingga terjadi traksi terhadap struktur-struktur yang menyangga otak, terutama dura
dan tentorium. Peningkatan traksi pada pembuluh darah juga menambah nyeri kepala.
Traksi pada syaraf kranial dapat menyebabkan diplopia (biasanya pada syaraf kranial
keenam) dan tinnitus.
Jan dkk, membagi tingkat keparahan dari PDPH dengan skala manalog
nuremik verbal 0 sampai 10 (0=tanpa nyeri dan 10=nyeri yang paling tak
tertahankan). Untuk mempermudah, Shaik dkk (2008), membagi skala 0 – 10 ini
menjadi 3 tingkat, yakni ringan, sedang dan berat, sesuai dengan yang tertera pada
tabel 2.2-1.20
10
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2-1. Klasifikasi PDPH
Ringan
Tidak ada gangguan dalam aktivitas
Tidak dibutuhkan penanganan
Sedang
Terjadi gangguan dalam aktivitas
Dibutuhkan analgesia secara regular
Berat
Hanya dapat berbaring di tempat tidur
Anoreksia
2.2.3
Patofisiologi PDPH
2.2.3.1 Anatomi dura mater spinal
Dura mater spinal adalah sebuah tuba yang menjalar dari foramen magnum
menuju segmen kedua dari sakrum. Ia terdiri dari spinal cord dan akar-akar nervus
yang menembusnya. Dura mater itu sendiri merupakan jaringan konektif yang padat
yang terdiri dari serat kolagen dan elastis. Deskripsi klasik dari duramater spinal
adalah serat kolagen yang menjalar dengan arah longitudinal. Hal ini telah didukung
oleh penelitian histologis terhadap dura mater. Pengajaran klinis berdasarkan hal ini
merekomendasikan agar jarum cutting spinal diorientasikan paralel dibandingkan
dengan arah memotong serat-serat longitudinal ini. Akan tetapi, dari studi
miskroskopik electron dan cahaya telah melawan teori klasik terhadap anatomi dura
mater ini. Studi ini menunjukkan bahwa dura mater terdiri dari serat kolagen yang
tersusun berlapis-lapis, dimana tiap lapis terdiri dari serat kolagen dan elastis yang
11
Universitas Sumatera Utara
tidak menunjukkan orientasi yang spesifik. Pada permukaan luar atau permukaan
epidural memang teratur dengan arah longitudinal, tetapi pola ini tidak berulang pada
lapis-lapis berikutnya. Dari penilaian lebar terhadap ketebalan dura menunjukkan
bahwa dura posterior bervariasi dalam ketebalan sepanjang spinal, baik dalam
individu maupun antar individu. Perforasi dura pada area yang tebal akan
menyebabkan kebocoran CSF yang lebih sedikit dibanding perforasi pada area yang
tipis, dan hal ini dapat menjelaskan kejadian yang tidak terduga pada akibat perforasi
dura.17
Gambar 2. Spinal cord dan nerve roots
12
Universitas Sumatera Utara
2.2.3.2 Cairan Cerebrospinal
Produksi CSF terjadi terutama pada pleksus koroid, tetapi ada beberapa bukti
yang menunjukkan adanya produksi ekstrakoroidal. Sekitar 500 cc dari CSF
diproduksi perhari (0.35 cc/min). volume CSF pada orang dewasa adalah sekitar 150
cc, dimana setengahnya berada di dalam kavitas kranial. Tekanan CSF pada region
lumbal pada posisi horizontal adalah 5-15 cmH2O. diperkirakan pada posisi berdiri
akan meningkat sampai 40 cmH2O. Tekanan CSF pada anak-anak akan meningkat
sesuai umur.17
2.2.4
Terapi PDPH
Ada beberapa terapi yang sering dipakai untuk penanganan PDPH, baik
invasif maupun non-invasif, yang tersedia bagi tim anestesi. Walaupun tidak
semuanya didukung oleh evidence based yang lengkap, tetapi kebanyakan telah
diterima dengan baik oleh berbagai kalangan anestesiolog. Terapi non-invasif
meliputi tirah baring, status hidrasi, posisi, ikatan abdominal, analgesia, dan obat-obat
farmakologis lain seperti kaffein intravena, theophylline, dsb. Terapi invasif meliputi
Epidural Blood Patch dan Epidural Dextran.17
Terapi konservatif meliputi posisi berbaring, analgesia, stagen abdomen,
pemberian cairan infus atau oral, dan kaffein. Menjaga pasien tetap supine akan
mengurangi tekanan hidrostatik yang mendorong cairan keluar dari lubang dura dan
meminimalkan nyeri kepala. Medikasi analgesia bisa berkisar dari asetaminofen
sampai NSAID. Hidrasi dan kaffein bekerja menstimulasi produksi CSF. Kaffein
membantu dengan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah intrakranial.17,21
Salah satu yang menjadi faktor penentu terjadinya PDPH adalah status hidrasi
pasien, dimana konsep hidrasi pada PDPH masih banyak salah dimengerti. Tujuan
dari hidrasi adalah untuk memastikan kecepatan produksi CSF optimal, dimana
13
Universitas Sumatera Utara
pasien dalam keadaan dehidrasi akan menyebabkan produksi CSF yang berkurang.
Sehingga, bila seseorang sudah terehidrasi dengan baik, dan kecepatan produksi CSF
normal, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa overhidrasi akan membantu
meningkatkan kecepatan produksi CSF. Oleh karena itu tidak diperlukan pemberian
cairan berlebihan pada pasien yang telah terehidrasi dengan baik, dan penting untuk
memastikan bahwa pasien dalam kondisi terhidrasi baik sebelum dilakukan tindakan
anestesi spinal. Pada penelitian ini, kami memastikan pasien dalam keadaan terhidrasi
baik dengan melakukan terlebih dahulu Tilt Test.22
Tilt test itu sendiri adalah tes kecukupan cairan/hidrasi pada pasien, dengan
memperhitungkan faktor posisi dan gravitasi, dilakukan dengan mengukur tekanan
darah pasien saat terlentang mendatar dan kemudian mengukur tekanan darah pasien
setelah diposisikan tidur terlentang dalam posisi head up dengan sudut 40
– 50
selama 10 menit. Bila terjadi perbedaan MAP lebih dari 10, maka dinyatakan Tilt
Test positif dan pasien masih belum terhidrasi dengan cukup.
Epidural blood patch merupakan penanganan yang sangat efektif terhadap
PDPH. Dengan melakukan injeksi 15-20 cc darah autologous ke ruang epidural pada,
satu interspace dibawahnya atau pada tempat tusukan dura. Hal ini dipercaya akan
menghentikan kebocoran yang terjadi pada CSF oleh karena efek massa atau
koagulasi. Efeknya bisa terjadi segera atau beberapa jam setelah tindakan ketika
produksi CSF secara perlahan akan meningkatkan tekanan intrakranial yang
dibutuhkan. Sebanyak 90% pasien akan memberikan respon terhadap tindakan blood
patch
ini.17,21
14
Universitas Sumatera Utara
SPINAL
Jarum Spinal 27G
Quincke
Jarum Spinal 27G
Whitacre
Dura Mengalami Robekan
CSF Mengalami Kebocoran
Isi Cranial tertarik pada
posisi tegak lurus
PDPH
Nyeri kepala berat dan
tumpul yang bertambah
bila posisi tegak lurus
dan hilang bila posisi
supine
Gambar 3. Kerangka Konsep
15
Universitas Sumatera Utara
Download