BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Teori Portofolio Menurut Manurung (2012), portofolio dilandasi dengan suatu konsep dimana pemilik dana melakukan investasi pada lebih dari satu instrumen investasi, atau pada lebih dari satu instrumen yang sejenis (misalnya dua atau lebih saham, dua atau lebih properti, dan sebagainya). Pembentukan portofolio memiliki maksud dan tujuan tertentu, namun biasanya tujuan utamanya adalah untuk melakukan diversifikasi atas risiko, sehingga mengurangi risiko yang dihadapi oleh investor. Teori portofolio pertama kali dikembangkan oleh Markowitz pada tahun 1952 dengan memperkenalkan konsep tingkat pengembalian dan risiko. Dalam teorinya, investor rasional akan selalu memilih tingkat pengembalian yang setinggi-tingginya dengan risiko yang serendahrendahnya, dimana tingkat pengembalian yang diharapkan di masa mendatang diukur berdasarkan tingkat pengembalian yang telah terjadi melalui data historis dan ketidakpastian atas tercapainya tingkat pengembalian yang diharapkan tersebut merupakan risiko. Teori ini menjadi fondasi dari berbagai 9 10 teori keuangan serta digunakan oleh banyak manajer investasi untuk mengelola dana dan terutama, untuk melakukan diversifikasi risiko. Markowitz merumuskan tingkat pengembalian dan risiko portofolio sebagai berikut: Berdasarkan persamaan di atas, dapat dilihat bahwa tingkat pengembalian portofolio yang dilambangkan dengan merupakan rata-rata pengembalian (mean) dari masing-masing instrumen yang disertakan di dalam portofolio tersebut; sedangkan risiko portofolio diperoleh berdasarkan varians (variance) statistik yang digabungkan dengan kovarians antar instrumen yang satu dengan yang lain. Oleh karenanya, teori Markowitz juga dikenal dengan sebutan mean-variance portfolio theory. Secara teoritis, seluruh aset dan kombinasinya dengan tingkat risiko yang berbeda-beda dapat dipetakan dalam sebuah diagram antara tingkat pengembalian – tingkat risiko. Diagram tersebut tidak hanya mencerminkan berbagai jenis aset berisiko yang dapat dipilih oleh investor, namun juga melambangkan berbagai komposisi persentase konstituennya. 11 Apabila dipetakan ke dalam sebuah diagram, akan terbentuk pemetaan (sebagai contoh) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1. Ti ng kat Pe ng em bal ian B E F A C D Risiko Gambar 2.1. Tingkat Pengembalian dan Risiko yang Mungkin Ditawarkan oleh Berbagai Kombinasi Aset dan Portofolio Sebagaimana disinggung sebelumnya, bahwa seorang investor rasional akan lebih memilih tingkat pengembalian yang lebih tinggi dengan tingkat risiko yang lebih rendah; maka yang akan dipilih oleh seorang investor rasional untuk kombinasi aset yang ditunjukkan pada Gambar 2.1. adalah titik-titik yang menawarkan: tingkat pengembalian lebih tinggi untuk risiko yang sama (kombinasi pada titik B lebih diminati daripada A; begitu pula kombinasi pada titik E lebih diminati daripada D), atau 12 risiko lebih rendah untuk tingkat pengembalian yang sama (kombinasi pada titik C lebih diminati daripada A; begitu pula kombinasi pada titik E lebih diminati daripada F). Dengan demikian, akan tampak jelas bahwa seorang investor tidak akan memilih komposisi yang berada di wilayah interior (bagian yang diarsir berwarna abu-abu pada Gambar 2.1.). Perhatikan bahwa dari pembahasan di atas terdapat dua titik yang secara teoritis akan lebih diminati oleh para investor karena pada kedua titik tersebut tidak ada titik lain dengan tingkat pengembalian lebih tinggi untuk risiko yang sama maupun titik lain dengan risiko lebih rendah untuk tingkat pengembalian yang sama, yaitu: Kombinasi C yang merupakan portofolio dengan tingkat risiko terendah, atau disebut juga global minimum variance portfolio. Kombinasi B yang melambangkan portofolio dengan tingkat pengembalian tertinggi (biasanya berupa sebuah sekuritas). Apabila kedua titik (B dan C) tersebut dihubungkan, maka akan terbentuk sebuah “kumpulan” investasi berupa kurva antara investasi dengan risiko terendah dan tingkat pengembalian tertinggi. Kumpulan investasi tersebut disebut sebagai efficient frontier sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.2. di bawah ini. Tingkat Pengembalian 13 B C Risiko Gambar 2.2. Kombinasi Aset dan Portofolio dalam Efficient Frontier Pada perkembangan selanjutnya, William F. Sharpe mengembangkan teori portofolio Markowitz dengan memperkenalkan teori harga aset yang dikenal secara luas dengan Capital Asset Pricing Model (CAPM) di tahun 1964. Teori tersebut memiliki beberapa asumsi yang kerap diperdebatkan oleh para peneliti, meski demikian teori tersebut tetap digunakan secara luas, terutama dalam melakukan valuasi harga aset. Bentuk dari model CAPM adalah sebagai berikut: Variabel yang mempengaruhi tingkat pengembalian berdasarkan persamaan tersebut adalah tingkat pengembalian bebas risiko (risk-free rate), tingkat pengembalian pasar (market return), dan koefisien beta. Beta sendiri merupakan konstanta yang mengukur perubahan yang diharapkan terhadap 14 tingkat pengembalian (return) instrumen tingkat pengembalian pasar apabila terjadi perubahan pada . Contohnya, apabila suatu saham memiliki beta sebesar 3, maka return saham tersebut diharapkan akan naik/turun sebesar 3% ketika return pasar naik/turun sebesar 1%. Teori CAPM sendiri sebenarnya merupakan bentuk dari singleindex model karena dalam bentuk persamaannya, tingkat pengembalian suatu sekuritas hanya ditentukan oleh satu buah indeks saja, yaitu koefisien beta. Menurut CAPM, risiko yang relevan dari suatu investasi berkaitan dengan bagaimana investasi tersebut memberikan kontribusi terhadap risiko portofolio pasar. Dengan demikian, terdapat dua kategori risiko dari sebuah investasi menurut teori ini, yakni: Risiko sistematik, yaitu komponen yang mengukur kontribusi investasi terhadap risiko pasar. Koefisien beta mengukur besarnya jenis risiko ini karena koefisien tersebut mengestimasi besaran tingkat pengembalian suatu instrumen yang berubah-ubah sesuai tingkat pengembalian pasar. Risiko non-sistematik, yaitu komponen risiko yang tidak berkontribusi terhadap risiko pasar, sehingga dapat terdiversifikasi ketika suatu investasi dikombinasikan dengan investasi lainnya. Manurung (1996a) melakukan penelitian atas validitas model CAPM terhadap Bursa Efek Indonesia (BEI) dan menemukan bahwa distribusi saham yang terdaftar di bursa tidak normal sehingga menggunakan 15 metode analisis non-parametrik dalam rangka menguji model CAPM. Hasil penelitiannya mendapati bahwa regresi cross-sectional untuk BEI tidak konsisten dengan CAPM, yang dikarenakan hubungan negatif yang signifikan antara rata-rata return dan estimasi beta. 2.2. Portofolio Optimum Menurut Elton-Gruber (2011), pembentukan portofolio optimum dapat difasilitasi dengan mudah apabila terdapat sebuah angka yang mengukur seberapa besar “keinginan” untuk menyertakan sebuah saham ke dalam portofolio optimum. Dengan mengacu kepada single-index model yang menggambarkan pergerakan saham secara bersamaan terhadap pasar (yang dilambangkan dengan koefisien beta) maka seharusnya terdapat angka yang mengukur besaran “keinginan” tersebut. Dalam bukunya, Elton-Gruber mendefinisikan besaran tersebut melalui rasio tingkat pengembalian berlebih terhadap koefisien beta (excess return over beta ratio atau rasio ERB). Tingkat pengembalian berlebih (excess return) adalah selisih antara tingkat pengembalian yang diharapkan atas sebuah saham terhadap tingkat bunga bebas risiko. Rasio ERB mengukur tingkat pengembalian tambahan (yang melebihi tingkat pengembalian yang ditawarkan oleh investasi bebas risiko) suatu sekuritas per unit risiko yang 16 tidak terdiversifikasi (risiko sistematik yang dilambangkan dengan koefisien beta). Secara matematis, rumusan Elton-Gruber tersebut dilambangkan dengan persamaan sebagai berikut: dimana: ERB = rasio excess return over beta = tingkat pengembalian saham = tingkat bunga bebas risiko = koefisien yang menunjukkan perubahan yang diharapkan atas tingkat pengembalian saham setiap terjadi perubahan 1% pada tingkat pengembalian pasar (IHSG). Apabila berbagai aset diperingkat berdasarkan rasio ERB (dari yang tertinggi hingga terendah), maka peringkat tersebut melambangkan seberapa besar “preferensi” masing-masing investor dalam menyertakan aset tersebut ke dalam portofolio investasinya. Dengan kata lain, jika suatu aset dengan rasio ERB tertentu disertakan ke dalam portofolio, maka aset-aset lain dengan rasio yang lebih tinggi juga akan turut disertakan, dan sebaliknya. Banyaknya aset yang dipilih bergantung kepada suatu “batasan” unik dimana aset-aset dengan rasio ERB diatas batas tersebut akan diterima dan aset-aset dibawah batas tersebut akan dikeluarkan. Batasan tersebut disebut sebagai cutoff rate ( ). 17 Dalam teorinya, perhitungan rumus dari cutoff rate diperoleh dari penurunan rumus atas perhitungan alokasi aset untuk membentuk efficient frontier. Oleh karenanya, hasil perhitungan daripada besaran alokasi aset menurut teori Elton-Gruber seharusnya tidak terlalu jauh berbeda dengan yang dihasilkan oleh perhitungan menurut teori Markowitz. Hanya saja, cara perhitungannya lebih sederhana sehingga dapat diaplikasikan untuk memilih diantara aset-aset yang banyak jumlahnya. Selain itu, adanya piranti lunak seperti Microsoft Excel akan lebih mempermudah pengaplikasian pembentukan portofolio optimum menurut Elton-Gruber tersebut. 2.3. Inflasi Inflasi didefinisikan sebagai kenaikan atas tingkat harga secara berkelanjutan (Colander, 2010). Meski inflasi belum terjadi pada suatu negara, kekhawatiran akan terjadinya inflasi akan mempengaruhi kebijakan makroekonomi yang ditempuh, misalnya dengan mencegah pemerintah untuk menurunkan tingkat bunga. Tingkat harga yang digunakan sebagai acuan dalam menentukan besarnya tingkat inflasi cukup beragam, namun yang sering digunakan adalah indeks harga konsumen (Consumer Price Index / CPI), yaitu indeks yang mengukur berbagai harga dari sekumpulan barangbarang konsumsi, yang telah ditetapkan dan tidak boleh berubah-ubah, dan 18 masing-masing komponen (barang konsumsi) diberi penimbang sesuai pengeluaran konsumen secara rata-rata. Pengaruh inflasi terhadap return saham telah diteliti oleh berbagai peneliti terdahulu. Nelson (1976) melakukan penelitian yang dipublikasikan di dalam Journal of Finance mengenai inflasi dan return saham untuk periode Januari 1953 hingga Juni 1974; hasilnya mendapati bahwa inflasi memiliki hubungan negatif dengan tingkat pengembalian saham. Jaffe dan Mandelker (1976) melakukan penelitian serupa namun dengan periode yang berbeda, yaitu untuk periode Januari 1953 sampai Desember 1971. Mereka juga berkesimpulan bahwa inflasi memiliki hubungan negatif dan signifikan terhadap return saham; namun inflasi dengan selisih (“lag”) 1 periode, 2 periode, dan 3 periode (lag-1, lag-2, dan lag-3) memberikan hasil yang bervariasi dan tidak signifikan. Penelitian yang lebih terkini dilakukan oleh Mauliano (2010) yang mengkaji pengaruh inflasi terhadap pergerakan IHSG dengan menggunakan data saham pada periode Januari 2004 hingga Mei 2009. Penelitian tersebut mendapati bahwa inflasi tidak memiliki hubungan negatif, namun signifikan terhadap pergerakan IHSG, meskipun pengaruhnya hanya sekitar 2,88%. Danaparamita (2011) melakukan penelitian serupa dengan periode pengumpulan data yang lebih lama, yaitu mulai Januari 2002 hingga Desember 2010 dengan menggunakan analisis VAR (Vector Autoregression). Danaparamita berkesimpulan bahwa nilai lag-1 dan lag-2 inflasi tidak 19 memiliki pengaruh yang signifikan terhadap IHSG; sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Jaffe dan Mandelker pada tahun 1976. 2.4. Tingkat Bunga Tingkat bunga merupakan sebuah tingkat pengembalian aset yang mempunyai risiko mendekati nol (Manurung dan Saragih, 2004). Biasanya tingkat bunga digunakan sebagai patokan menentukan risk-free rate dalam berbagai perhitungan. Investor dapat menggunakan tingkat bunga sebagai patokan untuk perbandingan bila ingin melakukan investasi. Umumnya, tingkat bunga memiliki hubungan negatif dengan bursa saham (Pasaribu, Tobing, dan Manurung, 2009). Tingkat bunga telah diyakini sebagai salah satu variabel yang mempengaruhi pergerakan saham maupun indeks saham dan telah dilakukan berbagai pengujian sebelumnya. Dayananda dan Ko (1994) melakukan penelitian mengenai pengaruh variabel makroekonomi terhadap tingkat pengembalian saham, dimana salah satu variabel yang diuji adalah tingkat bunga. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat bunga memiliki hubungan negatif, meskipun tidak signifikan baik dengan menggunakan data bulanan maupun triwulanan. Pasaribu, Tobing, dan Manurung (2009) juga melakukan penelitian serupa dan mendapati bahwa sebagian besar faktor domestik (salah 20 satunya adalah tingkat bunga) tidak berpengaruh terhadap pergerakan IHSG. Kesimpulan yang sama juga dicapai oleh Raharjo (2010) dalam penelitiannya mengenai pengaruh inflasi, nilai kurs Rupiah, dan tingkat suku bunga terhadap harga saham di BEI; tingkat suku bunga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap return saham pada periode 2007 hingga 2009. 2.5. Jumlah Uang Beredar (M2) Jumlah uang beredar ditentukan oleh Bank Sentral dalam rangka melangsungkan kebijakan moneter; jumlah uang yang diminta (money demand) ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain tingkat harga rata-rata dalam perekonomian. Jumlah uang yang diminta oleh masyarakat untuk melakukan transaksi bergantung pada tingkat harga barang dan jasa yang tersedia. Semakin tinggi tingkat harga, maka semakin besar jumlah uang yang diminta. Penjelasan yang menggambarkan bagaimana tingkat harga ditentukan dan berubah seiring dengan perubahan jumlah uang beredar ada di dalam teori kuantitas uang (quantity theory of money). Berdasarkan teori ini, jumlah uang yang beredar dalam suatu perekonomian menentukan nilai uang, sementara pertumbuhan jumlah uang beredar merupakan sebab utama terjadinya inflasi. Hal ini juga berlaku terhadap tingkat harga saham, dimana 21 kenaikan harga saham akan meningkatkan permintaan atas uang sehingga menyebabkan naiknya jumlah uang yang beredar, begitu pula sebaliknya. Sprinkel (1964) menyatakan bahwa ada hubungan positif antara pertumbuhan uang beredar dengan harga saham tapi waktunya tidak selalu konsisten dan kelihatannya menjadi lebih pendek. Rozeff (1974) melakukan penelitian yang relatif sama dan hasil analisa regresinya menyimpulkan adanya hubungan yang lemah. Manurung dan Saragih (2004) meneliti pengaruh variabel makroekonomi terhadap saham farmasi namun mendapati bahwa variabel perubahan uang beredar tidak signifikan dalam mempengaruhi tingkat pengembalian saham farmasi. 2.6. Nilai Tukar (Kurs) Sebagaimana dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kurs merupakan nilai mata uang suatu negara yang dinyatakan dengan nilai mata uang negara yang lain. Kurs biasanya dijadikan ukuran untuk mengetahui kondisi perekonomian suatu negara. Pertumbuhan nilai mata uang yang stabil menunjukkan bahwa negara tersebut memiliki kondisi ekonomi yang relatif baik atau stabil (Salvator, 1997:10). Tidak stabilnya nilai tukar suatu negara akan berdampak pada arus modal, laju investasi, dan perdagangan internasional. Indonesia, sebagai negara pengekspor dan 22 pengimpor berbagai komoditi, tentunya akan sangat menjaga kestabilan nilai tukarnya. Hermanto (1998) menyatakan bahwa nilai kurs mempengaruhi tingkat pengembalian saham dan volatilitas pasar. Manurung dan Saragih (2004) mendapati adanya hubungan negatif antara variabel kurs dengan tingkat pengembalian saham meskipun tidak signifikan. Pasaribu, Tobing, dan Manurung (2009), dengan periode penelitian 2000-2008, berakhir pada kesimpulan bahwa nilai tukar tidak berpengaruh terhadap pergerakan IHSG secara keseluruhan; hasil serupa juga diperoleh oleh Mauliano (2010) dengan periode penelitian 2004 hingga 2009. 2.7. Harga Minyak Mentah Dunia Salah satu faktor luar negeri yang cukup memegang peranan penting dalam pergerakan bursa Indonesia adalah harga komoditi, yang biasanya diproksi oleh harga minyak mentah dunia. Naik-turunnya harga minyak mentah dunia merupakan suatu indikasi yang mempengaruhi pasar modal suatu negara. Hal ini dikarenakan, secara tidak langsung, kenaikan harga minyak mentah dunia akan berimbas pada kegiatan ekspor dan impor. 23 Witjaksono (2010) menyimpulkan dari penelitiannya bahwa harga minyak mentah dunia memiliki pengaruh positif terhadap pergerakan IHSG dengan menggunakan data bulanan selama periode 2000-2009. Pasaribu, Tobing, dan Manurung (2009) juga melakukan penelitian serupa dengan menggunakan harga minyak mentah dunia sebagai salah satu variabelnya dan mendapati bahwa variabel tersebut memiliki pengaruh positif dan cukup signifikan terhadap pergerakan IHSG selama periode 2000-2008. Mauliano (2010) menyetujui hasil tersebut serta memberikan kuantifikasi pengaruh harga minyak mentah dunia sebesar 12,32% terhadap pergerakan IHSG dengan menggunakan data bulanan Januari 2004 hingga Mei 2009. 2.8. Bursa Saham Regional Pasar modal di Indonesia tidak terlepas dari kegiatan investor asing yang menanamkan modalnya di Indonesia. Pengaruh globalisasi tersebut terbuka bagi investor asing di seluruh dunia, namun diyakini akan lebih terasa pengaruhnya dengan keberadaan para investor dalam kawasan yang sama (berdekatan). Oleh karenanya, perubahan di satu bursa akan ditransmisikan ke bursa negara lain, dimana bursa yang lebih besar akan mempengaruhi bursa yang lebih kecil. Achsani (2000) menyatakan bahwa syok yang terjadi di bursa Amerika Serikat akan kurang direspon oleh bursa regional Asia, namun 24 syok yang dialami oleh bursa Singapura, Korea Selatan, atau Hong Kong akan langsung ditransmisikan ke hampir semua bursa saham di Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Adapun beberapa bursa saham regional yang cukup besar di kawasan Asia Pasifik dan diyakini memiliki pengaruh terhadap pergerakan IHSG adalah bursa Singapura (indeks Straits Times), Hong Kong (indeks Hang Seng), Jepang (Nikkei-225), dan Korea Selatan (KOSPI – Korea Composite Stock Price Index). 2.8.1. Indeks Straits Times Berdasarkan situs perusahaan indeks FTSE (Financial Times and Stock Exchange: www.ftse.com), indeks Straits Times (STI) merupakan indeks patokan yang diakui secara global sebagai barometer pasar saham di Singapura. Sejak tahun 1966, indeks tersebut melacak kinerja 30 saham perusahaan teratas yang terdaftar di Bursa Efek Singapura, yang diberikan peringkat berdasarkan kapitalisasi pasarnya. STI mengadopsi metodologi internasional FTSE dalam menghitung indeks dan dirancang agar dapat diperdagangkan guna memenuhi kebutuhan investor domestik maupun internasional. 25 Fitur-fitur dari indeks STI adalah sebagai berikut: STI dirancang untuk menciptakan produk-produk terstruktur, indeks pelacak dana dan ETF (exchange-traded funds), atau untuk digunakan sebagai tolok ukur kinerja saham. Indeks tersebut telah disaring berdasarkan likuiditas guna memastikan bahwa indeks tersebut dapat diperdagangkan secara relatif mudah. Informasi mengenai STI didistribusikan dengan basis streaming intra-detik, memberikan informasi tercepat dan paling up-to-date atas pasar Singapura bagi para investor. Indeks Straits Times sering digunakan sebagai variabel yang diduga memiliki pengaruh terhadap pergerakan IHSG. Hal ini cukup meyakinkan karena letak negara Singapura yang sangat dekat dengan Indonesia, apalagi Singapura merupakan salah satu negara maju di kawasan Asia Tenggara. Mauliano (2010) menyatakan bahwa STI tidak memiliki pengaruh terhadap pergerakan IHSG, akan tetapi Muzammil (2011) menemukan pengaruh negatif namun signifikan atas pergerakan STI terhadap IHSG, baik secara parsial maupun simultan, dalam periode penelitian Januari 2006 hingga Desember 2009. 26 2.8.2. Indeks Hang Seng Menurut situs bursa efek Hong Kong (www.hkex.com), indeks Hang Seng (HSI) merupakan indeks kapitalisasi pasar tertimbang yang mengikuti pergerakan 40 atau lebih perusahaan teratas yang terdaftar dan diperdagangkan di bursa efek Hong Kong. Indeks tersebut mencakup lebih dari 65% total kapitalisasi pasar dalam bursa efek. Indeks ini dikelola dan dipublikasikan oleh Hang Seng Indexes Company Ltd., yang merupakan anak perusahaan dari Hang Seng Bank di Hong Kong sejak tahun 1969. Saham-saham pembentuk HSI dipilih secara ketat berdasarkan analisa terinci, dan didukung oleh konsultasi eksternal secara ekstensif. Agar memenuhi syarat untuk disertakan ke dalam HSI, sebuah perusahaan harus: berada di antara perusahaan-perusahaan teratas yang membentuk 90% dari total nilai pasar seluruh saham yang terdaftar di bursa efek Hong Kong (nilai pasar diperoleh berdasarkan nilai rata-rata selama 12 bulan terakhir). berada di antara perusahaan-perusahaan teratas yang membentuk 90% dari total turnover seluruh saham yang terdaftar di bursa efek Hong Kong (turnover dihitung secara agregat dan dinilai 27 secara individual dalam sub-periode 8 triwulan selama 24 bulan terakhir), dan memiliki sejarah terdaftar (listed) minimal 24 bulan di bursa efek Hong Kong. Hong Kong telah menjadi salah satu negara maju dalam bidang industri dan perdagangan di kawasan Asia; dan dengan demikian indeks Hang Seng menjadi salah satu pertimbangan sebagai indeks terbesar yang mempengaruhi bursa-bursa lain dalam kawasan yang sama. Pasaribu, Tobing, dan Manurung (2009) menyimpulkan adanya pengaruh yang sangat signifikan atas HSI terhadap pergerakan IHSG. Mereka juga menemukan bahwa pola pergerakan IHSG relatif sama dengan pola pergerakan HSI pada periode Januari 2005 hingga Desember 2008. 2.8.3. Nikkei-225 Berdasarkan situs indeks Nikkei (indexes.nikkei.co.jp), indeks Nikkei-225 memetakan perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa efek Tokyo (Tokyo Stock Exchange – TSE), yangmana merupakan indeks Asia tertua dan terkemuka di dunia. Perusahaan 28 media Nihon Keizai Shimbun (Nikkei) telah ditugaskan secara resmi untuk menghitung indeks ini sejak tahun 1971. Sekarang ini, indeks Nikkei-225 digunakan sebagai indikator utama perekonomian Jepang, mirip dengan Dow Jones Industrial Average (DJIA) di Amerika Serikat. Namun, tidak seperti DJIA, Nikkei-225 dirancang untuk merefleksikan keseluruhan pasar, bukan rata-rata tertimbang berdasarkan industri. Komponen indeks Nikkei-225 ditinjau setiap tahun pada bulan September; perubahan apapun, jika diperlukan, akan dipublikasikan pada bulan Oktober dan penyesuaian akan dilakukan terhadap indeks. Sebagai indeks tertua di kawasan Asia, Nikkei-225 juga diyakini memiliki pengaruh terhadap pergerakan IHSG. Hal ini juga ditambah dengan posisi Jepang sebagai negara industri maju dengan produk domestik bruto (PDB) tertinggi ketiga di dunia (data IMF tahun 2011). Penelitian-penelitian sebelumnya telah sering menggunakan indeks Nikkei-225 sebagai salah satu faktor luar negeri yang mempengaruhi IHSG. Witjaksono (2010) menemukan adanya pengaruh positif yang signifikan antara kedua variabel (Nikkei-225 dan IHSG), namun hasil tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian Mauliano (2010), yang tidak menemukan pengaruh antara pergerakan Nikkei-225 dan IHSG. 29 2.8.4. KOSPI Menurut situs bursa efek Korea Selatan (eng.krx.co.kr), KOSPI adalah indeks dari seluruh saham biasa yang diperdagangkan di bursa efek Korea Selatan. Indeks ini mewakili pasar saham di Korea Selatan, seperti DJIA atau S&P 500 di Amerika Serikat. KOSPI diperkenalkan pada tahun 1983 dengan base value sebesar 100, terhitung mulai 4 Januari 1980, dan dihitung berdasarkan kapitalisasi pasar. Pada tahun 2007, volume transaksi harian KOSPI mencapai ratusan juta lembar saham (atau trilyunan Won). KOSPI diupdate dalam situs KRX setiap 10 detik dan tersedia dalam publikasi statistik KRX (“KRX Review”) dengan basis harian, bulanan, maupun tahunan. Sebagai tambahan, indeks historis juga tersedia bagi investor hingga tertanggal 4 Januari 1975. Indeks KOSPI juga merupakan salah satu indeks dengan nilai transaksi yang besar setiap harinya di kawasan Asia. Indeks ini juga diyakini sebagai indeks regional yang akan berpengaruh terhadap pergerakan IHSG. Penelitian terdahulu mengungkapkan adanya pengaruh yang cukup signifikan dari pergerakan KOSPI terhadap IHSG, seperti yang pernah dilakukan oleh Mauliano (2010), dimana KOSPI memberikan pengaruh sebesar 4,90%; dan juga 30 Susetyo (2010), dimana KOSPI memiliki pengaruh tidak hanya terhadap pergerakan IHSG namun juga terhadap pergerakan indeks LQ45. 2.9. Indeks Dow Jones Seperti yang dicantumkan dalam situs S&P Dow Jones Indices (www.djindexes.com), Indeks Dow Jones, atau yang lebih dikenal dengan Dow Jones Industrial Average (DJIA), merupakan ukuran rata-rata tertimbang atas harga 30 saham perusahaan “blue-chip” yang diperdagangkan di bursa efek New York dan Nasdaq. DJIA mencakup seluruh industri, dengan pengecualian bidang transportasi dan utilitas (karena dihitung dalam indeks lain, yaitu Dow Jones Transportation Average dan Dow Jones Utility Average). Seleksi saham-saham konstituen tidak sepenuhnya berdasarkan ukuran-ukuran kuantitatif; biasanya suatu saham ditambahkan ke dalam DJIA hanya jika perusahaan penerbit memiliki reputasi yang sangat baik, menunjukkan pertumbuhan berkelanjutan, dan menarik minat banyak investor. DJIA adalah salah satu dari tiga indikator utama pergerakan pasar saham Amerika Serikat dan juga salah satu indikator ekonomi dunia yang paling banyak dipantau oleh para investor. 31 Sebagai salah satu indikator ekonomi dunia, terdapat suatu kemungkinan yang cukup besar bahwa DJIA akan mempengaruhi pergerakan bursa saham di Indonesia. M. Samsul (2008) menyatakan bahwa pergerakan bursa saham di negara manapun akan dipengaruhi oleh indeks-indeks pasar dunia, terutama negara yang telah maju. Penyebabnya antara lain adalah globalisasi perdagangan dan aliran informasi, serta regulasi pasar modal yang membuka peluang bagi investor asing untuk menanamkan modalnya di negara lain. Mauliano (2010) mendapati pengaruh yang cukup besar antara DJIA dengan IHSG; dari seluruh variabel yang diteliti, DJIA merupakan variabel dengan pengaruh tertinggi kedua, dengan pengaruh sebesar 23,58%. Witjaksono (2010) juga menemukan pengaruh positif dan signifikan dari indeks Dow Jones terhadap pergerakan IHSG. 2.10. Indeks LQ45 Berdasarkan JSX (Jakarta Stock Exchange) Fact Book 2007, indeks LQ45 diciptakan untuk menyediakan informasi kepada pasar melalui sebuah indeks yang mewakili 45 perusahaan paling likuid yang terdaftar pada Bursa Efek Jakarta. Hingga saat ini, indeks LQ45 mencakup setidaknya 70% kapitalisasi pasar dan nilai transaksi di pasar reguler. Indeks ini dinyatakan dalam Rupiah (“IDR”) dan dipublikasikan sepanjang jam perdagangan aktif 32 JSX. Indeks LQ45 terdiri dari 45 saham biasa yang telah lulus penyaringan dari aspek likuiditas serta besaran kapitalisasi pasar. Berikut merupakan langkah-langkah dalam memilih saham untuk disertakan ke dalam indeks LQ45: 1. Saham-saham kandidat harus telah terdaftar di bursa efek Jakarta selama setidaknya 3 bulan. 2. Saham-saham tersebut diberikan peringkat berdasarkan rata-rata nilai transaksi mereka di pasar reguler dalam 12 bulan terakhir. 60 saham dengan rata-rata nilai transaksi tertinggi menjadi dasar patokan indeks LQ45 akan dibentuk. 3. Dari keenam puluh saham tersebut, 45 saham dipilih secara tertimbang berdasarkan nilai transaksi, kapitalisasi pasar, jumlah hari perdagangan aktif, dan frekuensi transaksi dalam pasar reguler selama 12 bulan terakhir. 4. Saham-saham tersebut harus yang disertakan di dalam perhitungan IHSG. 5. Perusahaan penerbit saham harus memiliki kondisi keuangan yang baik, prospek pertumbuhan yang menjanjikan, dan frekuensi transaksi perdagangan yang tinggi dalam pasar reguler. Setiap 6 bulan sekali, JSX akan mengevaluasi pergerakan daripada sahamsaham LQ45 tersebut. Apabila terdapat saham yang tidak memenuhi kriteria yang telah ditetapkan, maka saham tersebut akan digantikan pada periode 33 selanjutnya. Pergantian saham konstituen indeks LQ45 ditinjau setiap bulan Februari dan Agustus, dengan pemberitahuan setidaknya 3 hari kerja sebelum tanggal efektif. Guna menjamin kualitas indeks, JSX menyelenggarakan sesi konsultasi dan diskusi dengan para pakar dari dunia praktisi, akademisi, profesional dalam bidang pasar modal (anggota Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan / BAPEPAM-LK), serta lembaga independen dari waktu ke waktu. 2.11. Penelitian Sebelumnya Dalam penelitian-penelitian sebelumnya, sebagian besar hanya berfokus tentang pembentukan portofolio saham dengan menggunakan metode Markowitz, seperti yang pernah dilakukan oleh Manurung (1997), Manurung dan Berlian (2004), serta Puspitasari dan Pramesti (2011). Metode Elton-Gruber yang dinamakan Simple Criteria for Optimal Portfolio Selection (SCFOPS) untuk membentuk portofolio sebenarnya pernah dilakukan oleh Bawazer dan Sitanggang (1994) dan Sukarno (2007), akan tetapi dalam penelitian tersebut mereka tidak menganalisa pengaruh berbagai variabel makro terhadap pergerakan portofolio yang telah dibentuk. Penelitian terdahulu juga banyak yang berkisar tentang pengaruh variabel makro terhadap IHSG selama periode tertentu dan kebanyakan 34 menggunakan analisa statistik yang tidak terlampau jauh berbeda. Contohnya antara lain adalah penelitian-penelitian yang pernah dilakukan oleh Manurung (1996b), Pasaribu, Tobing, dan Manurung (2009), Mauliano (2010), dan Witjaksono (2010). Akan tetapi, penelitian-penelitian terdahulu belum menganalisa pengaruh variabel-variabel makro terhadap portofolio optimum (menurut metode Elton-Gruber), yang secara tidak langsung mencerminkan saham-saham yang menarik untuk dipilih oleh investor. Pengaruh tersebut diharapkan akan lebih menyesuaikan terhadap saham-saham yang dipilih oleh para investor, meskipun pemilihan tersebut juga akan dipengaruhi oleh berbagai analisis fundamental dan preferensi masing-masing investor. Kedua tabel berikut ini merangkum penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, beserta metode yang digunakan, dan kesimpulan yang diperoleh dari hasil pembahasan penelitian: Tabel 2.1. Penelitian-penelitian Terdahulu mengenai Pembentukan Portofolio Investasi Penulis Periode Metode yang (tahun) penelitian Digunakan Bawazer dan Sitanggang (1994) Kesimpulan Perusahaan yang mempunyai Tahun Metode Elton- prospek pada tahun 1991 1990 dan Gruber merupakan perusahaan yang 1991 (SCFOPS) memiliki peringkat tertinggi pada tahun 1990 35 Tingkat pengembalian bervariasi dari -0.8% hingga Agustus Manurung 1992 (1997) hingga 1.01% (mingguan); dengan Model Markowitz Juni 1994 risiko sebesar 1.96% hingga 8.1%. Koefisien korelasi berubah setiap saat dan mengubah alokasi aset optimum. Tingkat pengembalian bursa saham akan cukup tinggi Manurung Tahun dan 1996 Berlian hingga (2004) 2003 (melebihi 50%) bila terjadi Model Markowitz inflasi cukup rendah di bawah 5%. Instrumen investasi yang disarankan mencakup properti, deposito, dan reksa dana campran. Terdapat perbedaan return yang signifikan atas sahamsaham kandidat portofolio, Tahun Sukarno 2004 (2007) hingga 2006 Metode EltonGruber (SCFOPS) dengan menggunakan metode SCFOPS, dibandingkan dengan saham-saham nonkandidat. Tingkat risiko antara saham kandidat dan non-kandidat tidak terlampau jauh berbeda. 36 Tingkat risiko dan Puspitasari Tahun dan 2007 Pramesti hingga (2011) 2009 pengembalian tidak selalu Model Markowitz memiliki hubungan linear (portofolio dengan return tinggi belum tentu disertai risko yang tinggi pula). Tabel 2.2. Penelitian-penelitian Terdahulu mengenai Pengaruh Variabel Makro terhadap Pergerakan IHSG Penulis Periode (tahun) penelitian Analisa Statistik Faktor asing memegang Januari Manurung (1996b) 1989 hingga September peranan penting dalam Akar unit dan pergerakan indeks; kointegrasi sedangkan PDB dan pengeluaran pemerintah 1995 Tanadi (2003) N/A Kesimpulan berpengaruh terhadap IHSG. Regresi (model multifaktor) Tingkat bunga dan kurs US Dollar mempengaruhi tingkat pengembalian saham. Indeks regional seperti Hang Pasaribu, Tobing, dan Manurung (2009) Regresi linear Seng memiliki pengaruh yang Tahun berganda dengan sangat signifikan terhadap 2000 karakter model IHSG; sebagian besar faktor hingga Best Linear domestik (inflasi, SBI, dan 2008 Unbiased kurs tengah) tidak Estimate (BLUE) berpengaruh signifikan terhadap IHSG. 37 Secara berurutan, mulai dari Januari Regresi linear Mauliano 2004 berganda dengan (2010) hingga menggunakan Mei 2009 metode Backward pengaruh terbesar hingga terkecil, adalah: indeks KLSE, Dow Jones, harga minyak mentah dunia, indeks Hang Seng, KOSPI, tingkat bunga, dan inflasi. Variabel yang secara signifikan mempengaruhi Tahun Regresi linear IHSG meliputi: tingkat Witjaksono 2000 berganda dengan bunga, harga minyak mentah (2010) hingga karakter model dunia, harga emas, kurs US 2009 BLUE Dollar terhadap Rupiah, indeks Nikkei-225, dan indeks Dow Jones.