BAB 11. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Manajemen Rantai Pasok Agroindustri Manajemen Rantai Pasok (Supply Cliain Management) dipopulerkan pertama kalinya pada tahun 1982 sebagai pendekatan manajemen persediaan yang menekankan pada pasokan bahan baku. Pada tahun 1990-an, isu manajemen rantai pasok telah menjadi agenda para manajemen senior sebagai kebijakan strategis perusahaan. Para manajer senior menyadari bahwa keunggulan daya saing perlu didukung oleh aliran barang dari hulu dalam ha1 ini pemasok hingga hilir dalam ha1 ini pengguna akhir secara efisien dan efektif. Tentunya secara bersamaan akan mengalir pula informasi. Ada beberapa tahapan yang harm dilalui oleh aliran barang dari hulu hingga hilir, yaitu pemasok, pabrik, distribusi, rite1 dan konsumen akhir. Hal ini dapat diilustrasikan dalam Gambar 1. Pengelolaan rantai pasok ini dikenal dengan istilah ~nanajemen rantai pasok. Manajemen rantai pasok adalah keterpaduan antara perencanaan, koordinasi dan kendali seluruh proses dan aktivitas bisnis dalam rantai pasok untuk menghantarkan nilai superior dari konsumen dengan biaya termurah kepada pelanggan. Rantai pasok lebih ditekankan pada seri aliran bahan dan inforinasi, sedangkan manajemen rantai pasok menekankan pada upaya memadukan kumpulan rantai pasok (Van der Vorst, 2004). Pada tingkat agroindustri, manajemen rantai pasok memberikan perhatian pada pasokan, persediaan dan transportasi pendistribusian. Gambar 1. Skema Sistem Rantai Pasok (Van der Vorst, 2004) Menurut Austin (1981) agroindustri menjadi pusat rantai pertanian yang berperan penting dalam meningkatkan nilai tambah produk pertanian di pasar. Agroindustri membutuhkan pasokan bahan baku yang berkualitas dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan. Menurut Brown (1994) untuk mendapatkan pasokan bahan baku yang berkualitas diperlukan standar dasar komoditas, sedangkan kuantitas pasokan perlu memperhatikan produktivitas tanaman. Gambar 2 merupakan aliran produk disetiap tingkatan rantai pasok dalam konteks jejaring rantai pasok pertanian menyeluruh. Setiap perusahaan diposisikan dalam sebuah titik dalam lapisan jejaring. 0 Konsurnen '@ - :-'-,, Distributor Gambar 2. Skema rantai pasok pertanian (Sumber: Van der Vorst, 2004) 2.2. ICemitraan dalam Supply Chain Manngenzerzi Menurut Lau, Pang, Wong (2002) kemitraan di antara anggota supply chain dilakukan untuk menjamin kualitas produk dan kefektifan supply chain yang selanjutnya akan mencapai hasil yang optimal. Pengembangan supply chain yang efektif dilakukan melalui beberapa tahap. Pertama, memilih kelompok pemasok berdasarkan reputasi industri dan transaksi sebelumnya tentang harga dan kualitas melalui program penilai pemasok. Proses ini dilakukan untck mendapatkan pemasok terbaik dalam industri yang menjamin kualitas pasokan. Kedua, memilih pemasok yang memiliki manajemen supply chain berhubungan erat dengan strategi perusahaan. Langkah ini akan rneminimalkan konflik target strategis dengan para mitra. Kemitraan stpply chain bersifat jangka panjang dan merupakan keputusan penting yang membutuhkan komitmen semua pihak. Ketiga, membentuk kemitraan supply chain melalui negosiasi dan kompromi. Tahap keempat, membangun saluran untuk menjamin pengetahuan tentang infomasi produksi yang diberikan tepat waktu melalui perjanjian teknologi. SCM harus menjamin ketepatan waktu, efektivitas biaya, dan sistem infomasi yang komperhensif untuk menyediakan data yang dibutuhkan dalam membuat keputusan pasokan yang optimal. Terakhir, sistem monitoring dikembangkan untuk memantau kinerja mitra. Proses .ini dimaksudkan untuk memelihara hubungan dengan pemasok dalam menjamin adminstrasi yang layak dari pengendalian logistik yang efisien. 2.3. Pengukuran kinerja Supply Clznin Salah satu aspek fundamental dalam SCM adalah manajemen kinerja dan perbaikan secara berkelanjutan. Untuk menciptakan kinerja yang efektif diperlukan sistem pengukuran yang mampu mengevaluasi kinerja rantai pasok secara holistik. Menurut Pujawan (2005), sistem pengukuran kineja diperlukan untuk : i) melakukan monitoring dan pengendalian; ii) mengkomunikasikan tujuan organisasi ke fungsi-fungsi pada rantai pasok; iii) mengetahui di mana posisi suatu organisasi relatif terhadap pesaing maupun terhadap tujuan yang ingin dicapai; dan iv) menentukan arah perbaikan untuk menciptakan keunggulan dalam bersaing. Suatu sistem pengukuran kinerja biasanya memiliki beberapa tingkatan dengan cakupan yang berbeda-beda. Menurut Melynk et al. (2004), suatu sistem pengukuran kinerja biasanya mengandung : i) metrik individual; ii) serangkaian metrik kinerja dan iii) sistem pengukuran kinerja menyeluruh. Metrik individual berada pada tingkat paling bawah dengan cakupan paling sempit. Metrik adalah ukuran yang dapat diverifikasi, diwujudkan dalam bentuk kuantitatif ataupun kualitatif, dan didefinisikan terhadap suatu titik acuan (reference point) tertentu. Menurut Pujawan (2005), ada beberapa ha1 yang harus dipenuhi agar suatu metrik bisa efektif yaitu : i) mudah dimengerti, ii) valuebased, iii) dapat menangkap karakteristik atau hasil dalam bentuk numerik maupun nominal, iv) tidak rnenciptakan konflik antar fungsi pada suatu organisasi, dan v) dapat melakukan distilasi data. Jumlah metrik pada suatu sistem pengukuran kinerja bisa cukup banyak. Untuk menghindari kerancuan, tiap metrik harus didefinisikan dengan jelas. Menurut Melynk et al. (2004), metrik bisa diklasifikasikan berdasarkan fokus dan waktu. Metrik bisa berfokus pada kinerja finansial maupun operasional. Metrik operasional mengukur kinerja dalam satuan waktu, output dan sebagainya. Banyak proses-proses dalam rantai pasok memang dimonitor dalam satuan nonfinansial. Kumpulan dari beberapa metrik membentuk metrik sets. Kumpulan ini diperlukan untuk memberikan informasi kinerja suatu sub-sistem. Sebagai contoh, kinerja persediaan tidak cukup hanya diukur dengan satu metrik. Sementara pada level tertinggi terdapat sistem pengukuran kinerja secara keseluruhan. Pada dasarnya sistem keseluruhan tersebut tidak hanya dari banyak nzetriks sets yang menyusunnya, tetapi juga menjadi alat untuk menciptakan kesesuaian antara metrik sets dan tujuan strategis organisasi. Menurut Gunasekaran et al. (2001, 2004), pengukuran kinerja pada rantai pasok bertujuan untuk mendukung tujuan, evaluasi, kinerja dan penentuan aksi di masa depan pada strategi, taktik dan tingkat operasional. Untuk itu, dibutuhkan lebih besar ~tntukstudi pengukuran dan metrik dalam kontek manajemen rantai pasok karena dua alasan yaitu : i) kurangnya pendekatan yang seimbang dan ii) kurang jelasnya perbedaan antara metrik pada level strategi, taktik dan operasional. Gunasekaran et al. (2001, 2004) mengidentifikasi dan mengembangkan metrik pengukuran kinerja SCM dalam kerangka kerja iframe~vork) yang dapat dilihat pada Tabel 2. Metrik pengukuran kinerja dalamframework ini diklasifikasi dalam level strategi, taktik dan operasional manajemen. Metrik juga dirinci dengan jelas antara aspek finansial dan non-finansial sehingga sesuai metode dasar pembiayaan pada analisis aktifitas yang dapat diaplikasikan. Tabel 2. Kerangka metrik untuk mengevaluasi kinerja SCM Level Strategi Taktik Operasi Metrik kinerja Finansial Nonfinansial 7 Total siklus waktu rantai pasok 71 Total waktu cashflow Costzrmer queiy tii?ze Tingkat nilai produk yang diterima pelanggan Untung bersih Vs rasio produktifitas ROR investasi Range dari barang dan jasa Variasi anggaran Lead time pesanan Fleksibilitas sistem pelayanan untuk ~ne~nenuhi sebagian kebutuhan konsumen Tingkat kemitraan bzyer dan pelanggan Lead time pemasok Tingkat kesalahan pemasok dalam pengiriman Lead time pengiriman Kinerja pengiriman Akurasi teknik peramalan Siklus waktu pengembangan produk Metode-metode memasukan pesanan Efektifitas metode pengiriman invoice Siklus waktu pesanan pembelian Teknik penyelesaian masalah-masalah teknis Inisiatif pengurangan biaya pemasok Pemesanan pemasok dalam prosedur Reliabilitas pengiriman Tingkat responsifitas pada pengiriman yang penting Efektifitas perencanaan jadwal distribusi Biaya operasi per jam Biaya informasi Utilisasi kapasitas Total biaya persediaan Tingkat penolakan pemasok Kualitas dokumentasi pengiriman Efektifitas siklus waktu pesanan pembelian Frekuensi pengiriman Kinerja reliabilitas driver Kualitas barang yang dikirim Penghargaan bagi pengiriman tanpa cacat Sumber : Gunasekaran el a/. (2001) pengambil keputusan dan analis dan ini menyediakan alternatif penetapan nilai yang bertingkat yang dapat sangat berguna untuk beberapa pengambil keputusan. Perbandingan analisis DEA sebagai altematif yang jelas alat MCDM telah disarankan oleh Sarkis (2000) dan Seydel (2006). Dalam literatur DEA yang terdahulu menunjukkan bahwa DEA telah diaplikasiken secara luas dalam efisiensi pengukuran khususnya dalam isu-isu benchmarking. Selanjutnya, Rickards (2003) juga menunjukkan pentingnya menggunakan DEA dalam mengevaluasi balancedscorecards dan ketergantungan pada alat tersebut meningkat dalam kaitannya dengan memelihara posisi sebagai sebuah alat manajemen strategi. Dey dan Ogunlana (2004), dan Baccarini er al., (2004) juga menekankan bahwa dengan risiko analisis dan manajemen proyek yang ditingkatkan, DEA mungkin sesuai untuk diaplikasikan sebagai alat penunjang keputusan dalam pemilihan proyek. Aplikasi dari DEA dalam internal dan eksternal benchmarking menunjukkan bahwa DEA digunakan sebagai alat pengukuran efisiensi. Hal ini disebabkan benchmarking kinerja dari pondasi pengukuran efisiensi. Tugas dasar dalam membawva aktivitas benchmarking adalah mengukur efisiensi dan kemudian diikuti oleh perbandingan yang bertingkat dari efisiensi yang diukur. Meskipun model DEA telah diaplikasikan dengan besar dalam berbagai aplikasi berdasarkan pada literatur, tidak ada studi yang menginvestigasi aplikasinya dalam pengukuran kinerja rantai pasok seperti yang selama ini dilaporkan. Karena itu, akan bermanfaat untuk mengembangkan model DEA tradisional ke dalam manajemen rantai pasok. Studi ini bertujuan untuk rnengembangkan model DEA untuk mengukur efisiensi rantai pasok dan studi kasus pengukuran kinerja rantai pasok menggunakan pendekatan DEA yang diusulkan. Wong dan Wong (2006) menjelaskan motivasi menggunakan DEA sebagai alat pengukuran kinerja rantai pasok, dengan memberikan bukti yang cukup, literatur yang mendukung dan alasan pada kesesuaian DEA sebagai alat pengambilan keputusan dalam manajemen rantai pasok. Tabel 3. Kelebihan dan kekurangan metode-metode untuk pengukuran kinerja SCM Metode-metode Activity Based Costing Balanced Scorecard e e Economic Added Multi Analysis Value Criteria . Lifc-Cvcle Analvsis a -2 . . . Kelebil~an Memberikan informasi finansial lebih banyak Recognize perubahan perubahan biaya pada aktifitas yang berbeda Keseimbangan pandangan tentang kinerja Faktor-faktor finansial dan non-finansial Strategi pada manajelnen puncak dan aksi pada manajemen menengah terhubung dan lebii fokus Mempertimbangkan biaya modal Melihat kegiatan secara terpisah Memungkinkan untuk menilai biaya dan dampak lingkungan yang berkaitan deng& siklus hidup produk atau proses Data E~zvelopment Analysis (DEA) SUPP~ Chain Council's SCOR'"MO~~~ Pendekatan partisipatif dalam membuat keputusan Sesuai dengan masalah-masalah dimana nilainilai moneter tidak tersedia . Mencakup input dan output Menghasilkan informasi yang detail tentang efisiensi perusahaan Tidak memerlukan spesifikasi parametrik dari bentuk fungsional Menilai kinerja keseluruhan dari rantai pasok Pendekatan .yang- seimbang Kinerja rantai pasok dalam berbagai dimensi . e . e . e Sumber :Aramyan (2006) Keleltial~an Biaya pengumpulan data besar Sulit mengumpulkan data yang diinginkan Implementasi bertahap yang lengkap dapat Perhitungan sulit Sulit untuk mengalokasi EVA pada masing-masing divisi Informasi yang dibutuhkan untuk menurunkan bobot sangat dipertimbangkan Kemungkinan mengenalkan bobot secara implisit tidak dapat dijelaskan Membutuhkan dukungan data yang intensif Selang kepercayaan dalam metodologi LCA Membutuhkan dukungan data yang intensif Pendekatan deterlninistik Tidak secara eksplisit menempatkan pelatihan, kualitas, teknologi informasi dan administrasi Tidak menggambarkan setiap proses atau kegiatan bisnis Model dibangun berdasarkan pada pertimbangan pengukuran kinerja rantai pasok internal. Variabel pengukuran yang digunakan adalah metrik pemgukuran rantai pasok yang mengelilingi barisan yang luas dari barisan pengukuran dari keuangan ke pengukuran operasional spesifik rantai pasok. Variabel input dan output yang digunakan dikategorikan sesuai dengan metrik pengukuran yang didaftar dalam referensi operasi rantai pasok. SCOR dipilih karena ini adalah kerangka cross-industry yang pertama untuk mengevaluasi dan meningkatkan kinerja dan manajemen rantai pasok seluruh perusahaan (Steward, 1997). DEA dapat diistilahkan juga sebagai fi-onrier analysis. Ini merupakan suatu teknik pengukuran kinerja berbasis linier programnling yang digunakan untuk mengevaluasi efisiensi relatif dari decision making zrnit (DMU) dalam perusahaan (Home Page DEA dalam Barkam, 2008). DEA bekerja dengan langkah identifikasi unit yang akan dievaluasi, input yang dibutuhkan serta output yang dihasilkan oleh unit tersebut. Kemudian membentuk efficiency frontier atas set data yang tersedia untuk menghitung nilai produktivitas dari unit-unit yang tidak termasuk dalam efficiency frontier serta mengidentifikasi unit mana yang tidak menggunakan input secara efisien relatif terhadap unit berkinerja terbaik dari set data yang dianalisis (Home Page DEA dalam Barkam, 2008). DEA mengidentifikasi himpunan bagian DMU yang efisien secara best practice dalam himpunan tersebut. Untuk DMU yang tidak termasuk dalam himpunan tersebut, DEA mengukur tingkat ketidakefisienan dengan membandingkan hasil pencapaian DMU tersebut terhadap e8ciency frontier yang terbentuk oleh DMU yang efisien. Dimana setiap unit pengambilan keputusan diasumsikan bebas menentukan bobot untuk menentukan variabel output ataupun input (Home Page DEA dalam Barkam, 2008). Model dasar dari Data Envelopment Analysis adalah sebagai berikut: Efisiensi maksimum vk = ur Y r k C Vr X#k ,dimana k = Unit pengambil keputusan yang akan dievaluasi U, = Bobot dari output Vi = Bobot dari input Y,k = Nilai output Xik = Nilai input (Zhaohan et. al. 1996, dalam Zhang, Liu, dan Li, 2002) Manfaat Data Envelopment Analysis adalah: 1) Mengidentifikasi sumber dan tingkat ketidakefisienan untuk setiap input dan output dalam suatu entitas. 2) Identifikasi be~rchrnarknrembe~sdari e#cieni set yang digunakan untuk evaluasi kinerja dan identifikasi inefisiensi. 3) Menawarkan target yang perlu dicapai untuk meningkatkan produktivitas yang dimaksud adalah sejumlah penghematan input (sumber daya) yang bisa dilakukan pada unit yang dievaluasi tanpa harus mengurangi level output yang bisa dihasilkan (efisiensi) atau dari sisi lain jumlah penambahan output yang dimungkinkan tanpa perlu penambahan input (efektivitas). 4) Produktivitas yang diukur bersifat komparatif atau relatif karena hanya membandingkan antarunit pengukuran dari satu set data yang sama. 5) An empirically based nlethodologv yang menjawab beberapa keterbatasan dari pendekatan pengukuran kinerja tradisional (Zhang, Liu, dan Xiu, 2002). Adapun keunggulan dan keterbatasan dari Data Envelopment Analysis adalah: 1) Keunggulan : * DEA mampu menangani berbagai input maupun output. DEA memiliki nilai efisiensi = 1 dan kurang dari 1 dilakukan evaluasi. DEA bertindak sebagai alat untuk melakukan benchmarking. * Sumber ketidakefisienan dapat diketahui dengan menggunakan DEA. DEA tidak membutuhkan asumsi hubungan fungsional antara variabel . 2) input dan output. Input dan output dapat memiliki satuan pengukuran yang berbeda. Keterbatasan : DEA merupakan suatil teknik non parametrik, yang tidak menggunakan suatu tes hipotesa yang berkelanjutan. e Score atau nilai pada DEA terdiri dari input yang sensitif sehingga menghasilkan spesifikasi pada output. Menggunakan perumusan linier programnzing terpisah untuk tiap DMU. Merupakan extreme point techniqzre, kesalahan pengukuran bisa berakibat fatal. * Hanya mengukur produktivitas relatif dari DMU bukan produktivitas absolut (Rajeshekar, 2002 dalam Barkam, 2008). 2.6. Metode SCOR untuk Evaluasi SCM SCOR (Supply Chain Operations Reference) adalah suatu model referensi proses yang dikembangkan oleh Dewan Rantai Pasokan (Szipply Chain Cozmcil) sebagai alat diagnosa (diagnostic tool) supply chain management. SCOR dapat digunakan untuk mengukur performa rantai pasokan perusahaan, meningkatkan kinerjanya, dan mengkomunikasikan kepada pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. SCOR merupakan alat manajemen yang mencakup mulai dari pemasoknya pemasok, hingga ke konsumennya konsumen (www.wikipedia.org). Cakupan (ruang lingkup) metode SCOR tersebut disajikan pada Gambar 3 (Supply Chain Cozmcil, 2006). Suppllcrs' fuoolior Supplior 1 Your Company CUSltOmDr C~~l~nlor'~ ! customor t Gambar 3. Skema Ruang Lingkup SCOR (Supply Chain Council) Metode SCOR merupakan suatu metode sistematis yang mengkombinasikan elemen-elemen seperti teknik bisnis, benchmarking, dan praktek terbaik (best practice) untuk diterapkan di dalam rantai pasokan. Kombinasi dari elemenelemen tersebut diwujudkan ke dalam suatu kerangka kerja yang komprehensif sebagai referensi untuk meningkatkan kinerja manajemen rantai pasokan perusahaan tertentu. Alur pengembangan metode SCOR sebagai sebuah referensi model disajikan pada Gambar 4 (Supply Chain Cozmcil, 2006). Restrukturisasi Proses Bisnis Menganalisis kondisi performa rantai pasokan existing, dan menentukan performa rantai pasokan yang dikehendaki Benchmarking Analisis Best Practice Model Referensi Proses Menganalisis kondisi performa rantai pasokan existing, dan menentukan performa rantai pasokan yang Menentukan data pembanding sebagai acuan peningkatan performa rantai pasokan Gambar 4. SCOR sebagai Model Referensi Proses Bisnis Sebagai sebuah model referensi, maka pada dasamya model SCOR didasarkan pada tiga pilar utama, yaitu: Pemodelan proses Referensi untuk memodelkan suatu proses rantai pasokan agar lebih mudah diterjemahkan dan dianalisis. Peneukuran performakineria rantai oasokan Referensi untuk mengukur performa suatu rantai pasokan perusahaan sebagai standar pengukuran. r Penerapan best ~racticesfpraktek-praktek terbaik) Referensi untuk menentukan bestpractices yang dibutuhkan oleh perusahaan. 1. Pemodelan Proses Dengan menggunakan suatu definisi tertentu yang telah disediakan oleh SCOR, maka mampu memudahkan perusahaan untuk memodelkan dan mendeskripsikan proses rantai pasokan yang terjadi. Dalam SCOR, proses-proses rantai pasokan tersebut didefinisikan ke dalam lima proses yang terintegrasi, yaitu perencananaan (PLAN), pengadaan (SOURCE), produksi (MAKE), distribusi (DELIVER), dan pengembalian (RETURN). - Proses PLAN Proses ini merupakan proses untuk merencanakan rantai pasokan mulai dari mengakses sumber daya rantai pasokan, merencanakan penjualan dengan mengagregasi besamya permintaan, merencanakan penyimpanan (inventory) serta distribusi, merencanakan produksi, merencanakan kebutuhan bahan baku, merencanakan pemilihan suplier, dan merencanakan saluran penjualan. - Proses SOURCE Proses ini merupakan proses yang berkaitan dengan keperluan pengadaan bahan baku (material) dan pelaksanaan outsource. Proses ini meliputi kegiatan negosiasi dengan suplier, komunikasi dengan suplier, penerimaan barang, inspeksi dan verifikasi barang, hingga pada pembayaran (pelunasan) barang ke suplier. - Proses MAKE Proses ini merupakan proses yang berkaitan dengan proses produksi yang meliputi permintaan dan penerimaan kebutuhan bahan baku, pelaksanaan produksi, pengemasan, dan penyimpanan produk di ruang penyimpanan. - Proses DELIVER Proses ini merupakan proses yang berkaitan dengan distribusi produk dari perusahaan kepada pembeli, meliputi pembuatan dan pemeliharaan database pelanggan, pemeliharaan database harga produk, pemuatan produk ke dalam armada distribusi, pemeliharaan produk di dalam kemasan, pengaturan proses transportasi, dan verifikasi kinerja distribusi. - Proses RETURN Proses ini berkaitan dengan pengembalian produk ke perusahaan dari pembeli karena beberapa ha1 seperti kerusakan pada produk, cacat pada produk, ketidaktepatan jadwal pengiriman, dan lain sebagainya. Proses ini meliputi kegiatan penerimaan produk yang dikembalikan (retiwn), pengelolaan administrasi pengembalian, verifikasi produk yang di-rerzdrn, disposisi, dan penukaranproduk. Model SCOR fokus pada aspek-aspek seperti semua kegiatan yang berkaitan dengan interaksi pembeli mulai dari pesanan barang yang masuk hingga ke pelunasan pembayaran oleh pembeli, semua transaksi produk (barang atau jasa) mulai dari produsen hulu hingga ke konsumen akhir, dan semua interaksi pasar mulai dari memahami permintaan pasar secara agregat hingga ke pemenuhannya dari masing-masing permintaan. Namun, bukan berarti SCOR berusaha untuk mendeskripsikan semua kegiatan dan proses bisnis yang ada. Beberapa aspek yang tidak termasuk ke dalam ruang lingkup SCOR antara lain proses pelatihan, pengawasan knalitas, teknologi informasi, dan administrasi. Aspek-aspek tersebut tidak secara eksplisit dijelaskan di dalam SCOR, akan tetapi diasumsikan sebagai aspek pendukung yang penting diluar model SCOR (Supply Chain Council, 2006). Model SCOR menyediakan tiga level (hierarki) yang mendetail, yaitu level pertama (level I), level kedua (level 2), dan level ketiga (level 3). Setiap proses atau aktivitas rantai pasokan yang dilakukan oleh perusahaan dimodelkan dalam tiga level (hierarki) tersebut. Proses pemodelan diawali dengan menentukan ruang lingkup level 1 yaitu proses Plan (P), Make (M), Sozrrce (S), Deliver (D), dan Return (R). Kemudian dari masing-masing proses level I tersebut dijabarkan ke dalam beberapa jenis dan kategori proses (level 2) meliputi make-to-stock (I), make-to-order (2), dan make-to-assamble (3). Penentuan kategori proses tersebut berguna untuk mendefinisikan proses rantai pasokan yang terjadi, seperti misalnya S.1 yang berarti proses Source (pengadaan bahan baku) dilakukan berdasarkan target stok yang harus dipenuhi (make-to-stock), M.2 yang berarti proses Make (produksi) dilakukan berdasarkan pesanan yang masuk ke perusahaan (make-toorder), dan D.3 yang berarti pengiriman barang ke pembeli berdasarkan jenis dan spesifikasi yang dikehendaki oleh pembeli (make-to-assamble). Tabel 4 berikut rnenjelaskan model hierarki proses dalam SCOR. 2. Pengukuran PerformaKinerja Rantai Pasokan Model SCOR menyediakan lebih dari 150 indikator penilaian yang mengukur performa proses rantai pasokan (www.wikipedia.org). Indikatorindikator tersebut dinyatakan dalam ukuran kuantitatif yang disebut dengan metrik-metrik penilaian. Gunanya menggunakan ukuran kuantitatif adalah agar performakinerja rantai pasokannya dapat diukur dengan baik, dapat menentukan target peningkatan yang dikehendaki, dan dapat dievaluasi di kemudian hari mengenai besarnya peningkatan performa yang dicapai. Metrik-metrik penilaian tersebut dinyatakan dalam beberapa level tingkatan meliputi level 1, level 2, dan level 3. Dengan demikian, selain proses rantai pasokan yang dimodelkan ke dalam bentuk hierarki proses, maka metrik penilaiannya pun dinyatakan dalam bentuk hierarki penilaian. Banyaknya metrik dan tingkatan metrik yang digunakan disesuaikan dengan jenis dan banyaknya proses, serta tingkatan proses rantai pasokan yang diterapkan di dalam perusahaan yang bersangkutan (SCC, Supply Chain Cozmcil, 2006). Jadi tidak semua indikator yang disediakan dalam model SCOR, digunakan untuk mengukur suatu performa rantai pasokan perusahaan. Kriteria yang digunakan dalam pengukuran perfonna rantai pasokan disebut dengan atribut performa yang meliputi reliabilitas rantai pasokan, responsivitas rantai pasokan, fleksibilitas rantai pasokan, biaya rantai pasokan, dan manajemen aset rantai pasokan. Masing-masing dari atribut performa tersebut terdiri dari satu atau lebih metrik level 1. Umumnya, para pimpinan perusahaan menggunakan metrik level I ini sebagai dasar untuk menentukan strategi pengembangan rantai pasokan yang hendak dicapai oleh perusahaan, disesuaikan dengan atribut performa yang paling dikehendaki oleh pembeli (eksternal) dan perusahaan (internal) (Bolstroff, 2003). Definisi dari masing-masing atribut performa tersebut dijelaskan pada Tabel 5. Tabel 5. Atribut Performa Manajemen Rantai Pasokan beserta Metrik Performa Atribut Performa Reliabilitas Rantai Pasokan Responsivitas Rantai ~asokan Fleksibilitas Rantai Pasokan Biaya Rantai Pasokan Manaiemen Aset ~ant'i Pasokan Metrik Level 1 Definisi Performa rantai pasokan perusallaan Petnenuhan Pesanan dalam memenuhi pesanan pembeli Sempitma dengan; produk, jumlah, waktu, kemasan, kondisi, dan dokuinentasi yang tepat, sehingga mampu memberikan kepercayaan kepada oembeli bahwa Desanannva akan dapat terpenuhi dengan baik Siklus Pemenuhan Waktu (kecepatan) rantai pasokan perusahaan dalam memenuhi pesanan Pesanan konsumen Keuletan rantai pasokan perusahaan dan Fleksibilitas Rantai Pasokan Atas kemampuan untuk beradaptasinya Adaptibilitas Rantai terhadap perubahan pasar untuk memelihara keuntungan kompetitif Pasokan Atas Adaptibilitas Rantai rantai pasokan Pasokan Bawah Biaya yang berkaitan dengan Biaya Total SCM Biaya Pokok Produk pelaksanaan proses rantai pasokan Siklus Cash-to-Cash Efektifitas suatu perusahaan dalam mernanajemen asetnya untuk Return on Szrpply mendukung terpenuhinya kepuasan Chain Fixed Assets konsumen Return on Working Capital Sumber: SSC, Szrpply Chain Council, 2006 Metrik level 1 merupakan agregat penilaian dari metrik-metrik level 2, dan metrik level 2 merupakan agregat penilaian dari metrik-metrik level 3. Dengan demikian, proses pengukuran performa rantai pasokan diawali dengan mengukur proses-proses pada level paling bawah (level 3), kemudian seterusnya hingga level 1. Namun, metrik level 1 tidak semata-mata berkaitan dengan performa proses level 1. Sebagai contohnya, performa siklus waktu pemenuhan pesanan (metrik level 1) tidak hanya dinilai dari Deliver (D) saja melainkan juga dinilai dari siklus proses Plan (P), Source (S), dan Make (M). Jadi, nilai dari suatu metrik level 1 bisa dipengaruhi dari performa beberapa proses level 1. Sedangkan untuk metrik level 2, umumnya diasosiasikan dengan proses level 2 yang berkaitan. Seperti misalnya metrik performa pengiriman barang (metrik level 2) dinilai dari banyaknya proses pesanan yang terkirim ke pembeli tepat waktu. Pengukuran performa rantai pasokan kemudian dilanjutkan dengan menentukan target pencapaian yang dibutuhkan perusahaan untuk menghasilkan performa yang terbaik dan mampu memenangi persaingan pasar. Penentuan target pencapaian tersebut dapat dilakukan dengan proses benchmarking. Benchmarking merupakan proses membandingkan kondisi perusahaan dengan kondisi perusahaan kompetitor yang paling maju di bidangnya (best in class performance), sehingga data pembanding yang digunakan adalah berasal dari perusahaan-perusahaan best in class tersebut. Namun demikian, ada kalanya membandingkan dengan perusahaan kompetitor sulit dilakukan, sehingga data benchmark dapat juga diperoleh berdasarkan target internal perusahaan yang hendak dicapai tanpa harus membandingkannya dengan perusahaan lain (Bolstroff, 2003). 3. Penerapan bestpractices (Praktek-praktek terbaik) Setelah performa suatu rantai pasokan selesai diukur dan ditentukan target pencapaiannya, maka adalah penting untuk mengidentifikasi praktek-praktek apa saja yang harus diterapkan untuk mencapai target tersebut. Model SCOR menyediakan praktek-praktek terbaik (best practices) yang dapat diterapkan oleh perusahaan. Praktek-praktek tersebut diturunkan oleh anggota-anggota yang berpengalaman di dewan rantai pasokan (supply chain council), dan bersifat keterkinian, terstruktur, terbukti, dapat diulang, memiliki metode yang jelas, dan memberikan imbas yang positif ke arah kemajuan. 2.7. Konsep Nilai Tambah Sifat perishable (mudah rusak) dan b u l b (kamba) yang dimiliki produk pertanian memberikan motivasi terhadap petani untuk melakukan penanganan yang tepat sehingga produk pertanian tersebut siap dikonsumsi oleh konsumen. Di dalam sistem komoditas pertanian terjadi arus komoditas yang mengalir dari hulu ke hilir, yang berawal dari petani dan berakhir pada konsumen akhir. Dalam perjalanan tersebut, komoditas pertanian mendapat perlakuan-perlakuan seperti pengolahan, pengawetan, dan pemindahan untuk menambah kegunaan atau menimbulkan nilai tambah (Sudiyono, 2002). Menurut Haya~niel. a1 (1987) dalam Sudiyono (2002), ada dua cara untuk menghitung nilai tambah yaitu nilai tambah untuk pengolahan dan nilai tambah untuk pemasaran. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tambah untuk pengolahan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu faktor teknis dan faktor pasar. Faktor teknis yang berpengaruh adalah kapasitas produksi, jumlah bahan baku yang digunakan dan tenaga kerja. Sedangkan faktor pasar yang berpengaruh adalah harga output, upah tenaga kerja, harga bahan baku dan nilai input lain. Menurut Sudiyono (2002), besarnya nilai tambah karena proses pengolahan didapat dari pengurangan biaya bahan baku dan input lainnya terhadap nilai produk yang dihasilkan, tidak termasuk tenaga kerja. Dengan kata lain, nilai tamhah menggambarkan imbalan bagi modal dan manajemen yang dapat dinyatakan secara matematik sebagai berikut: Nilai Tambah = f { K, B, T, U, H, h, L ) dimana, K = Kapasitas B = Bahan T = Tenaga U = Upah H = Harga output h = Harga bahan baku L = Nilai produksi baku yang digunakan kerja yang digunakan tenaga kerja input lain ( nilai dan semua korbanan yang terjadi selama proses perlakuan untuk menambah nilai) Kelebihan dari analisis nilai tambah oleh Hayami adalah: 1) Dapat diketahui besarnya nilai tambah 2) Dapat diketahui besarnya balas jasa terhadap pemilik faktor produksi 3) Dapat diterapkan di luar subsistem pengolahan, misalnya kegiatan pemasaran (Sudiyono, 2002) Langkah-langkah yang dilakukan adalah: 1) Membuat arus komoditas yang menunjukkan bentuk-bentuk komoditas, lokasi, lamanya penyimpanan dan berbagai perlakuan yang diberikan. 2) Mengidentifikasi setiap transaksi yang terjadi menurut perhitungan parsial 3) Memilih dasar perhitungan, yaitu satuan input bahan baku bukan satuan output (Sudiyono. 2002). Konsep pendukung dalam analisis nilai tambah menurut Hayami untuk subsistem pengolahan adalah sebagai berikut: 1) Faktor konversi, merupakan jumlah output yang dihasilkan satu satuan input 2) Koefisien tenaga kerja langsung, menunjukkan jumlah tenaga kerja langsung yang diperlukan untuk mengolah satu satuan input 3) Nilai output, menunjukkan nilai output yang dihasilkan dari satu satuan input (Sudiyono, 2002). 2.8. Fzczzy AHP untuk penentuan bobot metrik kinerja Teori fuzzy adalah suatu teori matematika yang dirancang dengan model ketidaktepatan atau ke-ambiguity-an dari proses kognitif manusia yang dipelopori oleh Zadeh (Marimin, 2005). Teori ini pada dasamya suatu teori dari batasanbatasan kelas yang tidak jelas. Apa yang penting untuk mengenali bahwa semua teori yang crisp dapat di fuzzy-kan dengan men-generalisasi konsep yzng telah ditetapkan ke konsep suatu aturan fuzzy (Zadeh &Ayag dan Ozdemir, 2006). Logika fuzzy dan teori aturan fuzzy telah diterapkan dalam suatu variasi yang besar tentang aplikasi, yang ditinjau oleh beberapa pengarang (Klir dan Yuan, 1995; Zimmermann, 1996). Kunci gagasan untuk teori fuzzy adalah bahwa suatu unsur mempunyai suatu tingkat derajat keanggotaan (membership degree) dalam suatu yang keadaan yang tidak jelas (Negoita, 1985; Zimmermann, 1996). Fungsi keanggotaan merepresentasikan nilai keanggotaan dari suatu unsur dalam suatu yang di-set. Nilai keanggotaan dari suatu unsur berkisar antara 0 dan 1. Unsur-Unsur dapat mempunyai satu set tingkat derajat tertentu dan dapat juga mempunyai berbagai set. Teori Fuzzy mengijinkan keanggotaan parsial tentang unsur-unsur. Transisi antara keanggotaan dan non-keanggotaan adalah secara bertahap. Fungsi keanggotaan memetakan variasi nilai variabel dari nilai linguistik ke dalam kelas linguistik yang berbeda. Adaptasi dari fungsi keanggotaan untuk variabel linguistik ditentukan di bawah situasi melalui tiga cara; (a) pengetahuan ahli yang sebelumnya tentang variabel linguistik; (b) menggunakan format sederhana yang geometris yang mempunyai slope (triangular, trapezoidal atau fungsi-s) setiap variabel; dan (c) dengan proses belajar mencoba-coba. Seperti salah satu dari metode MCDM yang paling umum digunakan, AHP telah lebih dulu dikembangkan untuk pengambilan keputusan oleh Saaty (1981) dan yang diperluas oleh Marsh, Moran, Nakui, & Hoffherr (1991) yang mengembangkan metode lebih spesifik secara langsung untuk desain pengambilan keputusan. AHP milik Marsh memiliki tiga langkah faktor (misal atribut) dari keputusan seperti orang yang paling penting menerima bobot yang terbaik. Zahedi (1986) menyediakan daftar referensi yang ekstensif dalam metodologi dan aplikasi AHP. Dalam studi ini, metode AHP dan logika fuzzy seperti yang dijelaskan di atas (dikenal sebagai fuzzy AHP) terintegrasi untuk menentukan bobot metrik kinerja pada pengukuran kinerja manajemen rantai pasok sayuran dataran tinggi. Metoda fuzzy AHP sendiri telah digunakan dalam proses pengambilan keputusan pada banyak area yang berbeda. Beberapa aplikasi fuzzy AHP yang telah dikembangkan adalah sebagai berikut; Kahraman, Cebeci, dan Ulukan (2003) menggunakan fuzzy AHP untuk memilih perusahaan penyalur yang jauh lebih baik yang menyediakan banyak kepuasan untuk atribut yang ditentukan. Kuo, Chi, dan Kao (2002) mengembangkan suatu sistem yang membantu pengambilan keputusan yang menggunakan fuzzy AHP untuk menempatkan gudang kenyamanan yang baru. Murtaza (2003) memperkenalkan suatu versi fuzzy AHP ke negara yang mengambil risiko dalam masalah penilaian. Kahraman, Cebeci, dan Ruan (2004) mengembangkan suatu alat yang analitis menggunakan fuzzy AHP untuk memilih perusahaan katering terbaik yang menyediakan kepuasan pelanggan. Weck, Klocke, Schell, dan Ruenauver (1997) dengan penelitian siklus produksi alternatif yang dievaluasi yang menggunakan metoda fuzzy AHP yang diperluas. Lee, Lau, Liu, dan Tam (2001) mengusulkan suatu fuzzy AHP mendekati desain produk yang modular yang dilengkapi dengan suatu contoh kasus untuk mengesahkan kelayakannya dalam suatu perusahaan yang riil. Ayag (2005a) juga memperkenalkan suatu pendekatan yang terintegrasi dalam mengevaluasi altematif desain yang konseptual dalam suatu lingkungan pengembangan produksi baru (NPD). Ayag (2002) mengembangkan suatu simulasi AHP berbasis model untuk analisa dan implementasi dari sistem computer-aided (CAX). Cheng dan Mon (1994) mengevaluasi sistem senjata dengan AHF' berdasar pada pertimbangan skala fuzzy. Kwong dan Bai (2002) mengusulkan suatu fuzzy AHP mendekati pada penentuan dari anak timbangan arti penting dari persyaratan pelanggan dalam penyebaran fungsi mutu (QFD). Kwong dan Bai (2002) juga menggunakan tingkat metoda analisa dan prinsip untuk perbandingan dari angkaangka fuzzy untuk menentukan bobot yang penting untuk persyaratan pelanggan dalam QFD. Pada AHP konvensional, perbandingan berpasangan (painvaise coinparison) untuk masing-masing level dengan orientasi pada tujuan pemilihan alternatif terbaik yang dilakukan menggunakan suatu skala sembilan poin. Karena itu, aplikasi dari AHP Saaty mempunyai beberapa kekurangan sebagai berikut (Saaty & Ayag dan Ozdemir, 2006); (1) metoda AHP sebagian besar digunakan dalam aplikasi keputusan yang mempunyai nilai crisp, (2) metoda AHP menciptakan suatu skala penilaian yang tidak seimbang, (3) metoda AH? tidak mempertimbangkan ketidakpastian yang dihubungkan dengan pemetaan dari salah satu penilaian bagi suatu jumlah, (4) pengaturan metoda AHP agak tidak jelas, (5) penilaian hubungan, pilihan dan pemilihan dari pengambil keputusan mempunyai pengaruh yang besar terhadap hasil AHF'. Sebagai tambahan, pengambil keputusan dalam menilai alternatif keputusan selalu mengandung ambiguitas dan multiarti. Dengan demikian, AHP konvensional tidak cukup untuk menangkap persyaratan pengambil keputusan dengan tegas. Untuk tujuan model ketidakpastian seperti ini, aturan fuzzy fuzzy set theoryl dapat diintegrasikan dengan perbandingan berpasangan sebagai suatu perluasan dari AHP. Pendekatan fuzzy AHF' memberikan suatu uraian yang lebih akurat tentang proses pengambilan keputusan itu (Ayag dan Ozdemir, 2006). Dalam pendekatan fuzzy AHP, hirarki dari pemilihan altematif perlu dibangun dahulu sebelum dilakukan perbandingan berpasangan dengan AHP. Setelah membangun suatu hirarki, pengambil keputusan diminta untuk membandingkan elemen-elemen pada tingkatan yang ditentukan di suatu basis pasangan untuk memperkirakan hubungan kepentingan antar elemen. Dalam AHP konvensional, perbandingan berpasangan dibuat dengan menggunakan suatu skala rasio. Suatu skala yang sering digunakan adalah titik-sembilan skala (Saaty 1980, Tabel 6) yang menunjukkan penilaian peserta atau pilihan di antara alternatif pilihan seperti sama penting, sedikit lebih penting, jelas lebih penting, sangat jelas lebih penting, dan mutlak lebih penting. Sungguhpun skala diskret dari 1 -9 mempunyai keuntungan dari kemudahan dan kesederhanaan dalam penggunaan, itu tidak mempertimbangkan ketidakpastian yang dihubungkan dengan pemetaan dari satu persepsi penilaian kepada suatu jumlah. Tabel 6. Definisi dan fungsi keanggotaan dari fuzzy number (Ayag, 2005b) Tingkat kepentingan FUW number 1 -1 3 -3 5 7 -5 -7 9 -9 Definisi Fungsi keanggotaan Sama penting (1J32) Sedikit lebih penting Jelas lebih penting (2,3,4) Sangatjelas lebih penting (4,5,6) (6,7,8) Mutlak lebih penting (8,9,10) Dalam studi ini, triangular fuzzy number, -1 - -9, digunakan untuk menunjukkan perbandingan berpasangan tentang proses pemilihan untuk tujuan menangkap ketidakjelasan. Angka fuzzy adalah fuzzy khusus yang di-set F = {( x, pf (x)) , x E R}, di mana x nilai di garis yang riil, R : - - < x < + - dan pf (x) adalah suatu pemetaan lanjutan dari R pada interval tertutup [0, I]. Suatu triangular fuzzy nunzber dinyatakan sebagai M = (l,m, u), di mana I 5 m 5 u, mempunyai jenis keanggotaan jenis fungsi triangular sebagai berikut; Sebagai alternatif, dengan menjelaskan interval dari tingkatan keyakinan a, triangularfuzzy nuniber dapat ditandai sebagai Beberapa operasi yang utama untuk angka-angka positif fuzzy diuraikan oleh interval dari keyakinan, oleh Gupta dan Kaufmann (1985) seperti ditunjukkan dibawah ini n . , V l l l ~ I. I I R , ILL3 I I R -. - =I \ - (-1 I'\- j\/[ 1 n . , 1/( j w L - = [/TI; E R+. ,'\/la = [n/;,I I I ~ ] , a + rr;, <I = [ i n ? - ,IL. € [O, I ] + 111; C1 111 R It;] - /! 1YR ] i1.1 @' \ i = [ I ICLY ~C YI I !~T,a/ r~ t/ / ~ ] i . . & Triangularfuzzy number, -1 - -9 , digonakan untuk meningkatkan rencana skala konvensional sembilan poin. Untuk tujuan impresisi dari penilaian manusia yang kualitatif ke dalam pertimbangan, lima triangular jiizzy number digambarkan sesuai dengan fungsi keanggotaan seperti pada Gambar 5. Metoda AHP adalah juga dikenal sebagai suatu metoda eigenvektor. Itu menunjukkan bahwa eigenvektor yang sesuai dengan eigenvalue yang paling besar dari matriks perbandingan berpasangan menyediakan prioritas relatif dari faktor, dan memelihara pilihan nomor urut di antara alternatif. Ini berarti bahwa jika suatu alternatif lebih disukai daripada yang lain, komponen eigenvektornya adalah lebih besar dari lainnya. Suatu garis vektor dari anak timbangan yang diperoleh dari matriks perbandingan painvise mencerminkan capaian relatif dari berbagai faktor. Di fuzzy AHP, triangzilar fizzy number digunakan untuk meningkatkan rencana skala dalam matriks penilaian, dan perhitungan interval digunakan untuk memecahkan eigenvektor yang tidak jelas (Cheng dan Mon, 1994). CIM(X) A Sama penting Sedikil iebih penling Jeias lebih penting Sangat jelas lebih penting -1 -3 -5 -7 Mutlak lebih penting -9 Tingkat kepentingan Gambar 5. Membershipfirnction fuzzy ~ M ( Xuntuk ) nilai linguistik kriteria dan alternatif (Ayag dan Ozdemir, 2006) 2.9. Analisis TOWS Analisa TOWS adalah suatu metode untuk mengidentifikasikan beberapa faktor secara sistematis dalam rangka merumuskan strategi perusahaan. Analisa ini didasarkan pada logika dalam memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opporttmities) namun secara bersamaan meminimalkan kelemahan (+veaknesses)dan ancaman (threats)(Rangkuti 1998, dalam Marimin, 2004). Menurut Marimin (2004),membuat keputusan untuk memilih alternatif strategi sebaiknya dilakukan setelah perusahaan mengetahui terlebih dahulu posisi perusahaan untuk kondisi sekarang berada pada kuadran sebelah mana sehingga strategi yang dipilih merupakan strategi yang paling tepat karena sesuai dengan kondisi internal dan eksternal yang dimiliki oleh perusahaan. Posisi perusahaan dapat dikelompokkan dalam empat kuadran. Gambar 6 merupakan gambar posisi perusahaan pada berbagai kondisi. Proses yang harus dilakukan dalam pembuatan analisa TOWS agar keputusan yang diperoleh lebih tepat perlu melalui berbagai tahapan sebagai berikut: 1. Tahap pengambilan data yaitu evaluasi faktor eksternal dan internal. 2. Tahap analisa yaitu pembuatan matriks internal ektemal dan matriks TOWS. 3. Tahap pengambilan keputusan (Marimin, 2004). 1 + Berbagai Peluang Kuadran 111 (mendukung strategi turn-arozind) I Kelemahan Internal Kuadran I (mendukung strategi agresif) - Kekuatan Internal Kuadrnn I1 (mendukung strategi diversifikasi) Icuadran IV (mendukung strategi defensif) I Berbagai Ancaman Gambar 6. Posisi Perusahaan pada Berbagai Kondisi (Marimin, 2004) Menurut Pearce dan Robinson (1997) dalam Luna (2005), posisi perusahaan pada tiap kuadran akan menunjukkan pengambilan strategi yang tepat agar perusahaan dapat meningkatkan kinerjanya. Pada kuadran I menandakan bahwa perusahaan at& organisasi kuat dan berpeluang. Rekomendasi strategi adalah agresif, artinya perusahaan dalam keadaan mantap dan prima sehingga dapat terus melakukan ekspansi, dengan memperbesar pertumbuhan dan meraih kemajuan secara maksimal. Pada kuadran 11 lnenandakan bahwa perusahaan kuat namun menghadapi tantangan yang besar. Rekomendasi strategi adalah diversifikasi, artinya diperkirakan roda perusahaan akan mengalami kesulitan untuk terus berputarjika hanya bertumpu pada strategi sehelumnya. Sementara itu, pada kuadran 111 menandakan perusahaan yang lemah namun berpeluang. Rekomendasi strategi adalah ubah strategi karena akan sulit menangkap peluang dan memperbaiki kinerja jika menggunakan strategi yang sama. Pada kuadran IV menandakan perusahaan yang lemah dan menghadapi tantangan yang besar sehingga strategi harus dipertahankan sambil terus membenahi diri. Dalam hubungannya dengan supply chain, analisa kelemahan dan kekuatan perusahaan ini dilakukan dalam rangka mencoba meningkatkan efektifitas dan efisiensi para pelaku rantai pasok. 2.10. Penelitian terdahulu dan posisi usulan penelitian Beberapa ha1 yang perlu diperhatikan berdasarkan beberapa hasil penelitian sebelumnya adalah pengembangan fratnework metrik pengukuman kinerja SCM (Gunasekaran e f al., 2004), model dan metode pengukuran kinerjil SCM (Aranyam et a]., 2006), pemilihan metrik dan perspektif dalam pengukuran kinerja SCM dengan pendekatan AHP (Bhagwat & Sharma, 2007). Pengembangan framework metrik pengukuran kinerja SCM telah dilakukan oleh Gunasekaran et al. (2001, 2004), Van der Vorst (2006), Aranyam et al. (2006), dan Baghwat & Sharma (2007). Model dan metode pengukuran kinerja SCM sudah banyak dikembangkan antara lain : metode SCOR (Supply Chain Council, 2004; Lai et al., 2002; Wang, 2003), metode Balanced Scorecard (Lee et al., 2008; Bhagwat & Sharma, 2007), Activity Based Costing (Lapide, 2000), Multi-criteria Analysis (Romero & Rehman, 2003), Life Cycle Analysis (Azapagic and Clift 1999; Hagelaar and Van der Vorst 2002; Carlsson-Kanyama er al., 2003), Data Envelopment Analysis (Zhu, 2003; Talluri & Baker, 2002; Wong W.P & Wong K.Y, 2007). Posisi dari penelitian yang dilakukan adalah model pengukuran kinerja jaringan rantai pasok produk sayuran dataran tinggi menggunakan teknik fuzzy AHP untuk memilih metrik pengukuran prioritas yang diadaptasi dari metode SCOR. Model yang dihasilkan mencakup metode pengukuran kinerja, integrasi dengan teknik fuzzy AHF' dan implementasi dengan pendekatan DEA. Posisi penelitian yang dilakukan dapat dilihat dari herbagai sisi, yaitu 1) Metode pengukuran kinerja SCM dengan mengadaptasi lnetrik pengukuran dari metode SCOR, 2) Integrasi dengan teknik AHP dan 3) Pendekatan DEA dapat dilihat pada Tabel 7. Keunggulan ketiga pendekatan ini dalam perancangan dan implementasi pengukuran kinerja manajemen rantai pasok adalah 1) Dengan mengadopsi SCOR Model dapat dirancang metrik kinerja yang seimbang dan mencakup kinerja keseluruhan dari rantai pasok dalam berbagai dimensi; 2) Dengan penggunaan fuzzy AHP dapat diketahui bobot masing-masing metrik kinerja; dan 3) Dengan penggunaan DEA dapat dihasilkan informasi yang detail tentang efisiensi pada masing-masing pelaku rantai pasok yang mencakup metrik kinerja input atau output, sehingga dapat menggambarkan setiap proses atau kegiatan bisnis pada masing-masing pelaku rantai pasok. Tabel 7. Perbandingan dan posisi penelitian yang dilakukan No Penelitian Metode pengukuran kinerja SCM SCOR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. I I. Cakravastia & Diawati (1 999) Lapide (2000) Lai et al. (2002) Talluri & Baker (2002) Hagelaar and Van der Vorst (2002) Wang (2003) Romero & Rehman (2003) Wong W.P & Wong K.Y (2007) Bhagwart & Sharma (2007) Lee et al. (2008) Penelitian yang dilakukan (2008) BSC ABC MCA LCA DEA Integrasi dengan AHP AHP Fuzzv AHP u' u' u' u' u' u' 4 4 d 4 u' u' u' u'