Studi peningkatkan kinerja manajemen rantai pasok sayuran

advertisement
BAB 11. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Manajemen Rantai Pasok Agroindustri
Manajemen Rantai Pasok (Supply Cliain Management) dipopulerkan
pertama kalinya pada tahun 1982 sebagai pendekatan manajemen persediaan yang
menekankan pada pasokan bahan baku. Pada tahun 1990-an, isu manajemen rantai
pasok telah menjadi agenda para manajemen senior sebagai kebijakan strategis
perusahaan. Para manajer senior menyadari bahwa keunggulan daya saing perlu
didukung oleh aliran barang dari hulu dalam ha1 ini pemasok hingga hilir dalam
ha1 ini pengguna akhir secara efisien dan efektif. Tentunya secara bersamaan akan
mengalir pula informasi. Ada beberapa tahapan yang harm dilalui oleh aliran
barang dari hulu hingga hilir, yaitu pemasok, pabrik, distribusi, rite1 dan
konsumen akhir. Hal ini dapat diilustrasikan dalam Gambar 1.
Pengelolaan rantai pasok ini dikenal dengan istilah ~nanajemen rantai
pasok. Manajemen rantai pasok adalah keterpaduan antara perencanaan,
koordinasi dan kendali seluruh proses dan aktivitas bisnis dalam rantai pasok
untuk menghantarkan nilai superior dari konsumen dengan biaya termurah kepada
pelanggan. Rantai pasok lebih ditekankan pada seri aliran bahan dan inforinasi,
sedangkan manajemen rantai pasok menekankan pada upaya memadukan
kumpulan rantai pasok (Van der Vorst, 2004). Pada tingkat agroindustri,
manajemen rantai pasok memberikan perhatian pada pasokan, persediaan dan
transportasi pendistribusian.
Gambar 1. Skema Sistem Rantai Pasok
(Van der Vorst, 2004)
Menurut Austin (1981) agroindustri menjadi pusat rantai pertanian yang
berperan penting dalam meningkatkan nilai tambah produk pertanian di pasar.
Agroindustri membutuhkan pasokan bahan baku yang berkualitas dan jumlah
yang sesuai dengan kebutuhan. Menurut Brown (1994) untuk mendapatkan
pasokan bahan baku yang berkualitas diperlukan standar dasar komoditas,
sedangkan kuantitas pasokan perlu memperhatikan produktivitas tanaman.
Gambar 2 merupakan aliran produk disetiap tingkatan rantai pasok dalam konteks
jejaring rantai pasok pertanian menyeluruh. Setiap perusahaan diposisikan dalam
sebuah titik dalam lapisan jejaring.
0
Konsurnen
'@ - :-'-,,
Distributor
Gambar 2. Skema rantai pasok pertanian (Sumber: Van der Vorst, 2004)
2.2. ICemitraan dalam Supply Chain Manngenzerzi
Menurut Lau, Pang, Wong (2002) kemitraan di antara anggota supply
chain dilakukan untuk menjamin kualitas produk dan kefektifan supply chain
yang selanjutnya akan mencapai hasil yang optimal. Pengembangan supply chain
yang efektif dilakukan melalui beberapa tahap. Pertama, memilih kelompok
pemasok berdasarkan reputasi industri dan transaksi sebelumnya tentang harga
dan kualitas melalui program penilai pemasok. Proses ini dilakukan untck
mendapatkan pemasok terbaik dalam industri yang menjamin kualitas pasokan.
Kedua, memilih pemasok yang memiliki manajemen supply chain
berhubungan erat dengan strategi perusahaan. Langkah ini akan rneminimalkan
konflik target strategis dengan para mitra. Kemitraan stpply chain bersifat jangka
panjang dan merupakan keputusan penting yang membutuhkan komitmen semua
pihak. Ketiga, membentuk kemitraan supply chain melalui negosiasi dan
kompromi. Tahap keempat, membangun saluran untuk menjamin pengetahuan
tentang infomasi produksi yang diberikan tepat waktu melalui perjanjian
teknologi. SCM harus menjamin ketepatan waktu, efektivitas biaya, dan sistem
infomasi yang komperhensif untuk menyediakan data yang dibutuhkan dalam
membuat keputusan pasokan yang optimal. Terakhir, sistem monitoring
dikembangkan untuk memantau kinerja mitra. Proses .ini dimaksudkan untuk
memelihara hubungan dengan pemasok dalam menjamin adminstrasi yang layak
dari pengendalian logistik yang efisien.
2.3. Pengukuran kinerja Supply Clznin
Salah satu aspek fundamental dalam SCM adalah manajemen kinerja dan
perbaikan secara berkelanjutan. Untuk menciptakan kinerja yang efektif
diperlukan sistem pengukuran yang mampu mengevaluasi kinerja rantai pasok
secara holistik. Menurut Pujawan (2005), sistem pengukuran kineja diperlukan
untuk : i) melakukan monitoring dan pengendalian; ii) mengkomunikasikan tujuan
organisasi ke fungsi-fungsi pada rantai pasok; iii) mengetahui di mana posisi
suatu organisasi relatif terhadap pesaing maupun terhadap tujuan yang ingin
dicapai; dan iv) menentukan arah perbaikan untuk menciptakan keunggulan dalam
bersaing.
Suatu sistem pengukuran kinerja biasanya memiliki beberapa tingkatan
dengan cakupan yang berbeda-beda. Menurut Melynk et al. (2004), suatu sistem
pengukuran kinerja biasanya mengandung : i) metrik individual; ii) serangkaian
metrik kinerja dan iii) sistem pengukuran kinerja menyeluruh.
Metrik individual berada pada tingkat paling bawah dengan cakupan
paling sempit. Metrik adalah ukuran yang dapat diverifikasi, diwujudkan dalam
bentuk kuantitatif ataupun kualitatif, dan didefinisikan terhadap suatu titik acuan
(reference point) tertentu. Menurut Pujawan (2005), ada beberapa ha1 yang harus
dipenuhi agar suatu metrik bisa efektif yaitu : i) mudah dimengerti, ii) valuebased, iii) dapat menangkap karakteristik atau hasil dalam bentuk numerik
maupun nominal, iv) tidak rnenciptakan konflik antar fungsi pada suatu
organisasi, dan v) dapat melakukan distilasi data.
Jumlah metrik pada suatu sistem pengukuran kinerja bisa cukup banyak.
Untuk menghindari kerancuan, tiap metrik harus didefinisikan dengan jelas.
Menurut Melynk et al. (2004), metrik bisa diklasifikasikan berdasarkan fokus dan
waktu. Metrik bisa berfokus pada kinerja finansial maupun operasional. Metrik
operasional mengukur kinerja dalam satuan waktu, output dan sebagainya.
Banyak proses-proses dalam rantai pasok memang dimonitor dalam satuan nonfinansial.
Kumpulan dari beberapa metrik membentuk metrik sets. Kumpulan ini
diperlukan untuk memberikan informasi kinerja suatu sub-sistem. Sebagai contoh,
kinerja persediaan tidak cukup hanya diukur dengan satu metrik. Sementara pada
level tertinggi terdapat sistem pengukuran kinerja secara keseluruhan. Pada
dasarnya sistem keseluruhan tersebut tidak hanya dari banyak nzetriks sets yang
menyusunnya, tetapi juga menjadi alat untuk menciptakan kesesuaian antara
metrik sets dan tujuan strategis organisasi.
Menurut Gunasekaran et al. (2001, 2004), pengukuran kinerja pada rantai
pasok bertujuan untuk mendukung tujuan, evaluasi, kinerja dan penentuan aksi di
masa depan pada strategi, taktik dan tingkat operasional. Untuk itu, dibutuhkan
lebih besar ~tntukstudi pengukuran dan metrik dalam kontek manajemen rantai
pasok karena dua alasan yaitu : i) kurangnya pendekatan yang seimbang dan ii)
kurang jelasnya perbedaan antara metrik pada level strategi, taktik dan
operasional.
Gunasekaran et al. (2001, 2004) mengidentifikasi dan mengembangkan
metrik pengukuran kinerja SCM dalam kerangka kerja iframe~vork) yang dapat
dilihat pada Tabel 2. Metrik pengukuran kinerja dalamframework ini diklasifikasi
dalam level strategi, taktik dan operasional manajemen. Metrik juga dirinci
dengan jelas antara aspek finansial dan non-finansial sehingga sesuai metode
dasar pembiayaan pada analisis aktifitas yang dapat diaplikasikan.
Tabel 2. Kerangka metrik untuk mengevaluasi kinerja SCM
Level
Strategi
Taktik
Operasi
Metrik kinerja
Finansial
Nonfinansial
7
Total siklus waktu rantai pasok
71
Total waktu cashflow
Costzrmer queiy tii?ze
Tingkat nilai produk yang diterima pelanggan
Untung bersih Vs rasio produktifitas
ROR investasi
Range dari barang dan jasa
Variasi anggaran
Lead time pesanan
Fleksibilitas sistem pelayanan untuk ~ne~nenuhi
sebagian kebutuhan konsumen
Tingkat kemitraan bzyer dan pelanggan
Lead time pemasok
Tingkat kesalahan pemasok dalam pengiriman
Lead time pengiriman
Kinerja pengiriman
Akurasi teknik peramalan
Siklus waktu pengembangan produk
Metode-metode memasukan pesanan
Efektifitas metode pengiriman invoice
Siklus waktu pesanan pembelian
Teknik penyelesaian masalah-masalah teknis
Inisiatif pengurangan biaya pemasok
Pemesanan pemasok dalam prosedur
Reliabilitas pengiriman
Tingkat responsifitas pada pengiriman yang
penting
Efektifitas perencanaan jadwal distribusi
Biaya operasi per jam
Biaya informasi
Utilisasi kapasitas
Total biaya persediaan
Tingkat penolakan pemasok
Kualitas dokumentasi pengiriman
Efektifitas siklus waktu pesanan pembelian
Frekuensi pengiriman
Kinerja reliabilitas driver
Kualitas barang yang dikirim
Penghargaan bagi pengiriman tanpa cacat
Sumber : Gunasekaran el a/. (2001)
pengambil keputusan dan analis dan ini menyediakan alternatif penetapan nilai
yang bertingkat yang dapat sangat berguna untuk beberapa pengambil keputusan.
Perbandingan analisis DEA sebagai altematif yang jelas alat MCDM telah
disarankan oleh Sarkis (2000) dan Seydel (2006).
Dalam literatur DEA yang terdahulu menunjukkan bahwa DEA telah
diaplikasiken secara luas dalam efisiensi pengukuran khususnya dalam isu-isu
benchmarking. Selanjutnya, Rickards (2003) juga menunjukkan pentingnya
menggunakan DEA dalam mengevaluasi balancedscorecards dan ketergantungan
pada alat tersebut meningkat dalam kaitannya dengan memelihara posisi sebagai
sebuah alat manajemen strategi. Dey dan Ogunlana (2004), dan Baccarini er al.,
(2004) juga menekankan bahwa dengan risiko analisis dan manajemen proyek
yang ditingkatkan, DEA mungkin sesuai untuk diaplikasikan sebagai alat
penunjang keputusan dalam pemilihan proyek.
Aplikasi dari DEA dalam internal dan eksternal benchmarking
menunjukkan bahwa DEA digunakan sebagai alat pengukuran efisiensi. Hal ini
disebabkan benchmarking kinerja dari pondasi pengukuran efisiensi. Tugas dasar
dalam membawva aktivitas benchmarking adalah mengukur efisiensi dan kemudian
diikuti oleh perbandingan yang bertingkat dari efisiensi yang diukur. Meskipun
model DEA telah diaplikasikan dengan besar dalam berbagai aplikasi berdasarkan
pada literatur, tidak ada studi yang menginvestigasi aplikasinya dalam pengukuran
kinerja rantai pasok seperti yang selama ini dilaporkan. Karena itu, akan
bermanfaat untuk mengembangkan model DEA tradisional ke dalam manajemen
rantai pasok. Studi ini bertujuan untuk rnengembangkan model DEA untuk
mengukur efisiensi rantai pasok dan studi kasus pengukuran kinerja rantai pasok
menggunakan pendekatan DEA yang diusulkan. Wong dan Wong (2006)
menjelaskan motivasi menggunakan DEA sebagai alat pengukuran kinerja rantai
pasok, dengan memberikan bukti yang cukup, literatur yang mendukung dan
alasan pada kesesuaian DEA sebagai alat pengambilan keputusan dalam
manajemen rantai pasok.
Tabel 3. Kelebihan dan kekurangan metode-metode untuk pengukuran kinerja SCM
Metode-metode
Activity
Based
Costing
Balanced
Scorecard
e
e
Economic
Added
Multi
Analysis
Value
Criteria
.
Lifc-Cvcle
Analvsis
a
-2
.
.
.
Kelebil~an
Memberikan informasi finansial lebih banyak
Recognize perubahan perubahan biaya pada
aktifitas yang berbeda
Keseimbangan pandangan tentang kinerja
Faktor-faktor finansial dan non-finansial
Strategi pada manajelnen puncak dan aksi pada
manajemen menengah terhubung dan lebii
fokus
Mempertimbangkan biaya modal
Melihat kegiatan secara terpisah
Memungkinkan untuk menilai biaya dan dampak
lingkungan yang berkaitan deng& siklus hidup
produk atau proses
Data E~zvelopment
Analysis (DEA)
SUPP~
Chain
Council's
SCOR'"MO~~~
Pendekatan partisipatif dalam membuat
keputusan
Sesuai dengan masalah-masalah dimana nilainilai moneter tidak tersedia
.
Mencakup input dan output
Menghasilkan informasi yang detail tentang
efisiensi perusahaan
Tidak memerlukan spesifikasi parametrik dari
bentuk fungsional
Menilai kinerja keseluruhan dari rantai pasok
Pendekatan .yang- seimbang
Kinerja rantai pasok dalam berbagai dimensi
.
e
.
e
.
e
Sumber :Aramyan (2006)
Keleltial~an
Biaya pengumpulan data besar
Sulit mengumpulkan data yang diinginkan
Implementasi
bertahap
yang
lengkap
dapat
Perhitungan sulit
Sulit untuk mengalokasi EVA pada
masing-masing divisi
Informasi yang dibutuhkan untuk
menurunkan
bobot
sangat
dipertimbangkan
Kemungkinan mengenalkan bobot secara
implisit tidak dapat dijelaskan
Membutuhkan dukungan
data yang
intensif
Selang kepercayaan dalam metodologi
LCA
Membutuhkan dukungan data yang
intensif
Pendekatan deterlninistik
Tidak secara eksplisit menempatkan
pelatihan, kualitas, teknologi informasi
dan administrasi
Tidak menggambarkan setiap proses atau
kegiatan bisnis
Model dibangun berdasarkan pada pertimbangan pengukuran kinerja rantai
pasok internal. Variabel pengukuran yang digunakan adalah metrik pemgukuran
rantai pasok yang mengelilingi barisan yang luas dari barisan pengukuran dari
keuangan ke pengukuran operasional spesifik rantai pasok. Variabel input dan
output yang digunakan dikategorikan sesuai dengan metrik pengukuran yang
didaftar dalam referensi operasi rantai pasok. SCOR dipilih karena ini adalah
kerangka cross-industry yang pertama untuk mengevaluasi dan meningkatkan
kinerja dan manajemen rantai pasok seluruh perusahaan (Steward, 1997).
DEA dapat diistilahkan juga sebagai fi-onrier analysis. Ini merupakan
suatu teknik pengukuran kinerja berbasis linier programnling yang digunakan
untuk mengevaluasi efisiensi relatif dari decision making zrnit (DMU) dalam
perusahaan (Home Page DEA dalam Barkam, 2008).
DEA bekerja dengan langkah identifikasi unit yang akan dievaluasi, input
yang dibutuhkan serta output yang dihasilkan oleh unit tersebut. Kemudian
membentuk efficiency frontier atas set data yang tersedia untuk menghitung nilai
produktivitas dari unit-unit yang tidak termasuk dalam efficiency frontier serta
mengidentifikasi unit mana yang tidak menggunakan input secara efisien relatif
terhadap unit berkinerja terbaik dari set data yang dianalisis (Home Page DEA
dalam Barkam, 2008).
DEA mengidentifikasi himpunan bagian DMU yang efisien secara best
practice dalam himpunan tersebut. Untuk DMU yang tidak termasuk dalam
himpunan
tersebut,
DEA
mengukur
tingkat
ketidakefisienan
dengan
membandingkan hasil pencapaian DMU tersebut terhadap e8ciency frontier yang
terbentuk oleh DMU yang efisien. Dimana setiap unit pengambilan keputusan
diasumsikan bebas menentukan bobot untuk menentukan variabel output ataupun
input (Home Page DEA dalam Barkam, 2008).
Model dasar dari Data Envelopment Analysis adalah sebagai berikut:
Efisiensi maksimum
vk =
ur Y r k
C Vr X#k ,dimana
k
= Unit
pengambil keputusan yang akan dievaluasi
U,
= Bobot
dari output
Vi
= Bobot
dari input
Y,k
= Nilai
output
Xik = Nilai input
(Zhaohan et. al. 1996, dalam Zhang, Liu, dan Li, 2002)
Manfaat Data Envelopment Analysis adalah:
1)
Mengidentifikasi sumber dan tingkat ketidakefisienan untuk setiap input dan
output dalam suatu entitas.
2)
Identifikasi be~rchrnarknrembe~sdari e#cieni set yang digunakan untuk
evaluasi kinerja dan identifikasi inefisiensi.
3)
Menawarkan target yang perlu dicapai untuk meningkatkan produktivitas
yang dimaksud adalah sejumlah penghematan input (sumber daya) yang
bisa dilakukan pada unit yang dievaluasi tanpa harus mengurangi level
output yang bisa dihasilkan (efisiensi) atau dari sisi lain jumlah penambahan
output yang dimungkinkan tanpa perlu penambahan input (efektivitas).
4)
Produktivitas yang diukur bersifat komparatif atau relatif karena hanya
membandingkan antarunit pengukuran dari satu set data yang sama.
5)
An empirically based nlethodologv yang menjawab beberapa keterbatasan
dari pendekatan pengukuran kinerja tradisional (Zhang, Liu, dan Xiu, 2002).
Adapun keunggulan dan keterbatasan dari Data Envelopment Analysis
adalah:
1)
Keunggulan :
* DEA mampu menangani berbagai input maupun output.
DEA memiliki nilai efisiensi = 1 dan kurang dari 1 dilakukan evaluasi.
DEA bertindak sebagai alat untuk melakukan benchmarking.
* Sumber ketidakefisienan dapat diketahui dengan menggunakan DEA.
DEA tidak membutuhkan asumsi hubungan fungsional antara variabel
.
2)
input dan output.
Input dan output dapat memiliki satuan pengukuran yang berbeda.
Keterbatasan :
DEA
merupakan
suatil
teknik
non
parametrik,
yang tidak
menggunakan suatu tes hipotesa yang berkelanjutan.
e
Score atau nilai pada DEA terdiri dari input yang sensitif sehingga
menghasilkan spesifikasi pada output.
Menggunakan perumusan linier programnzing terpisah untuk tiap
DMU.
Merupakan extreme point techniqzre, kesalahan pengukuran bisa
berakibat fatal.
*
Hanya mengukur produktivitas relatif dari DMU bukan produktivitas
absolut (Rajeshekar, 2002 dalam Barkam, 2008).
2.6. Metode SCOR untuk Evaluasi SCM
SCOR (Supply Chain Operations Reference) adalah suatu model referensi
proses yang dikembangkan oleh Dewan Rantai Pasokan (Szipply Chain Cozmcil)
sebagai alat diagnosa (diagnostic tool) supply chain management. SCOR dapat
digunakan untuk mengukur performa rantai pasokan perusahaan, meningkatkan
kinerjanya, dan mengkomunikasikan kepada pihak-pihak yang terlibat di
dalamnya. SCOR merupakan alat manajemen yang mencakup mulai dari
pemasoknya pemasok, hingga ke konsumennya konsumen (www.wikipedia.org).
Cakupan (ruang lingkup) metode SCOR tersebut disajikan pada Gambar 3 (Supply
Chain Cozmcil, 2006).
Suppllcrs'
fuoolior
Supplior
1
Your Company
CUSltOmDr
C~~l~nlor'~
! customor
t
Gambar 3. Skema Ruang Lingkup SCOR (Supply Chain Council)
Metode SCOR merupakan suatu metode sistematis yang mengkombinasikan elemen-elemen seperti teknik bisnis, benchmarking, dan praktek terbaik (best
practice) untuk diterapkan di dalam rantai pasokan. Kombinasi dari elemenelemen tersebut diwujudkan ke dalam suatu kerangka kerja yang komprehensif
sebagai referensi untuk meningkatkan kinerja manajemen rantai pasokan
perusahaan tertentu. Alur pengembangan metode SCOR sebagai sebuah referensi
model disajikan pada Gambar 4 (Supply Chain Cozmcil, 2006).
Restrukturisasi
Proses Bisnis
Menganalisis
kondisi
performa
rantai pasokan
existing, dan
menentukan
performa
rantai pasokan
yang
dikehendaki
Benchmarking
Analisis
Best Practice
Model Referensi Proses
Menganalisis kondisi
performa rantai pasokan
existing, dan menentukan
performa rantai pasokan yang
Menentukan data pembanding
sebagai acuan peningkatan
performa rantai pasokan
Gambar 4. SCOR sebagai Model Referensi Proses Bisnis
Sebagai sebuah model referensi, maka pada dasamya model SCOR
didasarkan pada tiga pilar utama, yaitu:
Pemodelan proses
Referensi untuk memodelkan suatu proses rantai pasokan agar lebih mudah
diterjemahkan dan dianalisis.
Peneukuran performakineria rantai oasokan
Referensi untuk mengukur performa suatu rantai pasokan perusahaan sebagai
standar pengukuran.
r
Penerapan best ~racticesfpraktek-praktek terbaik)
Referensi untuk menentukan bestpractices yang dibutuhkan oleh perusahaan.
1. Pemodelan Proses
Dengan menggunakan suatu definisi tertentu yang telah disediakan oleh
SCOR, maka mampu memudahkan perusahaan untuk memodelkan dan
mendeskripsikan proses rantai pasokan yang terjadi. Dalam SCOR, proses-proses
rantai pasokan tersebut didefinisikan ke dalam lima proses yang terintegrasi, yaitu
perencananaan (PLAN), pengadaan (SOURCE), produksi (MAKE), distribusi
(DELIVER), dan pengembalian (RETURN).
- Proses PLAN
Proses ini merupakan proses untuk merencanakan rantai pasokan mulai
dari mengakses sumber daya rantai pasokan, merencanakan penjualan dengan
mengagregasi besamya permintaan, merencanakan penyimpanan (inventory) serta
distribusi, merencanakan produksi, merencanakan kebutuhan bahan baku,
merencanakan pemilihan suplier, dan merencanakan saluran penjualan.
- Proses SOURCE
Proses ini merupakan proses yang berkaitan dengan keperluan pengadaan
bahan baku (material) dan pelaksanaan outsource. Proses ini meliputi kegiatan
negosiasi dengan suplier, komunikasi dengan suplier, penerimaan barang, inspeksi
dan verifikasi barang, hingga pada pembayaran (pelunasan) barang ke suplier.
- Proses MAKE
Proses ini merupakan proses yang berkaitan dengan proses produksi yang
meliputi permintaan dan penerimaan kebutuhan bahan baku, pelaksanaan
produksi, pengemasan, dan penyimpanan produk di ruang penyimpanan.
- Proses DELIVER
Proses ini merupakan proses yang berkaitan dengan distribusi produk dari
perusahaan kepada pembeli, meliputi pembuatan dan pemeliharaan database
pelanggan, pemeliharaan database harga produk, pemuatan produk ke dalam
armada distribusi, pemeliharaan produk di dalam kemasan, pengaturan proses
transportasi, dan verifikasi kinerja distribusi.
-
Proses RETURN
Proses ini berkaitan dengan pengembalian produk ke perusahaan dari
pembeli karena beberapa ha1 seperti kerusakan pada produk, cacat pada produk,
ketidaktepatan jadwal pengiriman, dan lain sebagainya. Proses ini meliputi
kegiatan
penerimaan
produk
yang
dikembalikan
(retiwn),
pengelolaan
administrasi pengembalian, verifikasi produk yang di-rerzdrn, disposisi, dan
penukaranproduk.
Model SCOR fokus pada aspek-aspek seperti semua kegiatan yang
berkaitan dengan interaksi pembeli mulai dari pesanan barang yang masuk hingga
ke pelunasan pembayaran oleh pembeli, semua transaksi produk (barang atau jasa)
mulai dari produsen hulu hingga ke konsumen akhir, dan semua interaksi pasar
mulai dari memahami permintaan pasar secara agregat hingga ke pemenuhannya
dari masing-masing permintaan. Namun, bukan berarti SCOR berusaha untuk
mendeskripsikan semua kegiatan dan proses bisnis yang ada. Beberapa aspek
yang tidak termasuk ke dalam ruang lingkup SCOR antara lain proses pelatihan,
pengawasan knalitas, teknologi informasi, dan administrasi. Aspek-aspek tersebut
tidak secara eksplisit dijelaskan di dalam SCOR, akan tetapi diasumsikan sebagai
aspek pendukung yang penting diluar model SCOR (Supply Chain Council,
2006).
Model SCOR menyediakan tiga level (hierarki) yang mendetail, yaitu
level pertama (level I), level kedua (level 2), dan level ketiga (level 3). Setiap
proses atau aktivitas rantai pasokan yang dilakukan oleh perusahaan dimodelkan
dalam tiga level (hierarki) tersebut. Proses pemodelan diawali dengan menentukan
ruang lingkup level 1 yaitu proses Plan (P), Make (M), Sozrrce (S), Deliver (D),
dan Return (R). Kemudian dari masing-masing proses level I tersebut dijabarkan
ke dalam beberapa jenis dan kategori proses (level 2) meliputi make-to-stock (I),
make-to-order (2), dan make-to-assamble (3). Penentuan kategori proses tersebut
berguna untuk mendefinisikan proses rantai pasokan yang terjadi, seperti misalnya
S.1 yang berarti proses Source (pengadaan bahan baku) dilakukan berdasarkan
target stok yang harus dipenuhi (make-to-stock), M.2 yang berarti proses Make
(produksi) dilakukan berdasarkan pesanan yang masuk ke perusahaan (make-toorder), dan D.3 yang berarti pengiriman barang ke pembeli berdasarkan jenis dan
spesifikasi yang dikehendaki oleh pembeli (make-to-assamble). Tabel 4 berikut
rnenjelaskan model hierarki proses dalam SCOR.
2. Pengukuran PerformaKinerja Rantai Pasokan
Model SCOR menyediakan lebih dari 150 indikator penilaian yang
mengukur performa proses rantai pasokan (www.wikipedia.org). Indikatorindikator tersebut dinyatakan dalam ukuran kuantitatif yang disebut dengan
metrik-metrik penilaian. Gunanya menggunakan ukuran kuantitatif adalah agar
performakinerja rantai pasokannya dapat diukur dengan baik, dapat menentukan
target peningkatan yang dikehendaki, dan dapat dievaluasi di kemudian hari
mengenai besarnya peningkatan performa yang dicapai.
Metrik-metrik penilaian tersebut dinyatakan dalam beberapa level
tingkatan meliputi level 1, level 2, dan level 3. Dengan demikian, selain proses
rantai pasokan yang dimodelkan ke dalam bentuk hierarki proses, maka metrik
penilaiannya pun dinyatakan dalam bentuk hierarki penilaian. Banyaknya metrik
dan tingkatan metrik yang digunakan disesuaikan dengan jenis dan banyaknya
proses, serta tingkatan proses rantai pasokan yang diterapkan di dalam perusahaan
yang bersangkutan (SCC, Supply Chain Cozmcil, 2006). Jadi tidak semua
indikator yang disediakan dalam model SCOR, digunakan untuk mengukur suatu
performa rantai pasokan perusahaan.
Kriteria yang digunakan dalam pengukuran perfonna rantai pasokan
disebut dengan atribut performa yang meliputi reliabilitas rantai pasokan,
responsivitas rantai pasokan, fleksibilitas rantai pasokan, biaya rantai pasokan,
dan manajemen aset rantai pasokan. Masing-masing dari atribut performa tersebut
terdiri dari satu atau lebih metrik level 1. Umumnya, para pimpinan perusahaan
menggunakan metrik level I ini sebagai dasar untuk menentukan strategi
pengembangan rantai pasokan yang hendak dicapai oleh perusahaan, disesuaikan
dengan atribut performa yang paling dikehendaki oleh pembeli (eksternal) dan
perusahaan (internal) (Bolstroff, 2003). Definisi dari masing-masing atribut
performa tersebut dijelaskan pada Tabel 5.
Tabel 5. Atribut Performa Manajemen Rantai Pasokan beserta Metrik Performa
Atribut Performa
Reliabilitas Rantai
Pasokan
Responsivitas Rantai
~asokan
Fleksibilitas Rantai
Pasokan
Biaya Rantai Pasokan
Manaiemen Aset
~ant'i Pasokan
Metrik Level 1
Definisi
Performa rantai pasokan perusallaan
Petnenuhan Pesanan
dalam memenuhi pesanan pembeli
Sempitma
dengan; produk, jumlah, waktu,
kemasan, kondisi, dan dokuinentasi
yang tepat, sehingga mampu
memberikan kepercayaan kepada
oembeli bahwa Desanannva akan dapat
terpenuhi dengan baik
Siklus Pemenuhan
Waktu (kecepatan) rantai pasokan
perusahaan dalam memenuhi pesanan
Pesanan
konsumen
Keuletan rantai pasokan perusahaan dan Fleksibilitas Rantai
Pasokan Atas
kemampuan untuk beradaptasinya
Adaptibilitas Rantai
terhadap perubahan pasar untuk
memelihara keuntungan kompetitif
Pasokan Atas
Adaptibilitas Rantai
rantai pasokan
Pasokan Bawah
Biaya yang berkaitan dengan
Biaya Total SCM
Biaya Pokok Produk
pelaksanaan proses rantai pasokan
Siklus Cash-to-Cash
Efektifitas suatu perusahaan dalam
mernanajemen asetnya untuk
Return on Szrpply
mendukung terpenuhinya kepuasan
Chain Fixed Assets
konsumen
Return on Working
Capital
Sumber: SSC, Szrpply Chain Council, 2006
Metrik level 1 merupakan agregat penilaian dari metrik-metrik level 2, dan
metrik level 2 merupakan agregat penilaian dari metrik-metrik level 3. Dengan
demikian, proses pengukuran performa rantai pasokan diawali dengan mengukur
proses-proses pada level paling bawah (level 3), kemudian seterusnya hingga level
1. Namun, metrik level 1 tidak semata-mata berkaitan dengan performa proses
level 1. Sebagai contohnya, performa siklus waktu pemenuhan pesanan (metrik
level 1) tidak hanya dinilai dari Deliver (D) saja melainkan juga dinilai dari siklus
proses Plan (P), Source (S), dan Make (M). Jadi, nilai dari suatu metrik level 1
bisa dipengaruhi dari performa beberapa proses level 1. Sedangkan untuk metrik
level 2, umumnya diasosiasikan dengan proses level 2 yang berkaitan. Seperti
misalnya metrik performa pengiriman barang (metrik level 2) dinilai dari
banyaknya proses pesanan yang terkirim ke pembeli tepat waktu.
Pengukuran performa rantai pasokan kemudian dilanjutkan dengan
menentukan target pencapaian yang dibutuhkan perusahaan untuk menghasilkan
performa yang terbaik dan mampu memenangi persaingan pasar. Penentuan target
pencapaian tersebut dapat dilakukan dengan proses benchmarking. Benchmarking
merupakan
proses membandingkan
kondisi
perusahaan
dengan
kondisi
perusahaan kompetitor yang paling maju di bidangnya (best in class
performance), sehingga data pembanding yang digunakan adalah berasal dari
perusahaan-perusahaan best in class tersebut. Namun demikian, ada kalanya
membandingkan dengan perusahaan kompetitor sulit dilakukan, sehingga data
benchmark dapat juga diperoleh berdasarkan target internal perusahaan yang
hendak dicapai tanpa harus membandingkannya dengan perusahaan lain
(Bolstroff, 2003).
3. Penerapan bestpractices (Praktek-praktek terbaik)
Setelah performa suatu rantai pasokan selesai diukur dan ditentukan target
pencapaiannya, maka adalah penting untuk mengidentifikasi praktek-praktek apa
saja yang harus diterapkan untuk mencapai target tersebut. Model SCOR
menyediakan praktek-praktek terbaik (best practices) yang dapat diterapkan oleh
perusahaan. Praktek-praktek tersebut diturunkan oleh anggota-anggota yang berpengalaman di dewan rantai pasokan (supply chain council), dan bersifat
keterkinian, terstruktur, terbukti, dapat diulang, memiliki metode yang jelas, dan
memberikan imbas yang positif ke arah kemajuan.
2.7. Konsep Nilai Tambah
Sifat perishable (mudah rusak) dan b u l b (kamba) yang dimiliki produk
pertanian memberikan motivasi terhadap petani untuk melakukan penanganan
yang tepat sehingga produk pertanian tersebut siap dikonsumsi oleh konsumen. Di
dalam sistem komoditas pertanian terjadi arus komoditas yang mengalir dari hulu
ke hilir, yang berawal dari petani dan berakhir pada konsumen akhir. Dalam
perjalanan tersebut, komoditas pertanian mendapat perlakuan-perlakuan seperti
pengolahan, pengawetan, dan pemindahan untuk menambah kegunaan atau
menimbulkan nilai tambah (Sudiyono, 2002).
Menurut Haya~niel. a1 (1987) dalam Sudiyono (2002), ada dua cara untuk
menghitung nilai tambah yaitu nilai tambah untuk pengolahan dan nilai tambah
untuk pemasaran. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tambah untuk
pengolahan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu faktor teknis dan faktor pasar.
Faktor teknis yang berpengaruh adalah kapasitas produksi, jumlah bahan baku
yang digunakan dan tenaga kerja. Sedangkan faktor pasar yang berpengaruh
adalah harga output, upah tenaga kerja, harga bahan baku dan nilai input lain.
Menurut Sudiyono (2002), besarnya nilai tambah karena proses
pengolahan didapat dari pengurangan biaya bahan baku dan input lainnya
terhadap nilai produk yang dihasilkan, tidak termasuk tenaga kerja. Dengan kata
lain, nilai tamhah menggambarkan imbalan bagi modal dan manajemen yang
dapat dinyatakan secara matematik sebagai berikut:
Nilai Tambah
=
f { K, B, T, U, H, h, L )
dimana,
K
= Kapasitas
B
= Bahan
T
= Tenaga
U
= Upah
H
= Harga
output
h
= Harga
bahan baku
L
= Nilai
produksi
baku yang digunakan
kerja yang digunakan
tenaga kerja
input lain ( nilai dan semua korbanan yang terjadi
selama proses perlakuan untuk menambah nilai)
Kelebihan dari analisis nilai tambah oleh Hayami adalah:
1)
Dapat diketahui besarnya nilai tambah
2) Dapat diketahui besarnya balas jasa terhadap pemilik faktor produksi
3) Dapat diterapkan di luar subsistem pengolahan, misalnya kegiatan pemasaran
(Sudiyono, 2002)
Langkah-langkah yang dilakukan adalah:
1) Membuat arus komoditas yang menunjukkan bentuk-bentuk komoditas,
lokasi, lamanya penyimpanan dan berbagai perlakuan yang diberikan.
2) Mengidentifikasi setiap transaksi yang terjadi menurut perhitungan parsial
3) Memilih dasar perhitungan, yaitu satuan input bahan baku bukan satuan
output (Sudiyono. 2002).
Konsep pendukung dalam analisis nilai tambah menurut Hayami untuk
subsistem pengolahan adalah sebagai berikut:
1) Faktor konversi, merupakan jumlah output yang dihasilkan satu satuan input
2) Koefisien tenaga kerja langsung, menunjukkan jumlah tenaga kerja langsung
yang diperlukan untuk mengolah satu satuan input
3) Nilai output, menunjukkan nilai output yang dihasilkan dari satu satuan input
(Sudiyono, 2002).
2.8. Fzczzy AHP untuk penentuan bobot metrik kinerja
Teori fuzzy adalah suatu teori matematika yang dirancang dengan model
ketidaktepatan atau ke-ambiguity-an dari proses kognitif manusia yang dipelopori
oleh Zadeh (Marimin, 2005). Teori ini pada dasamya suatu teori dari batasanbatasan kelas yang tidak jelas. Apa yang penting untuk mengenali bahwa semua
teori yang crisp dapat di fuzzy-kan dengan men-generalisasi konsep yzng telah
ditetapkan ke konsep suatu aturan fuzzy (Zadeh &Ayag dan Ozdemir, 2006).
Logika fuzzy dan teori aturan fuzzy telah diterapkan dalam suatu variasi yang
besar tentang aplikasi, yang ditinjau oleh beberapa pengarang (Klir dan Yuan,
1995; Zimmermann, 1996).
Kunci gagasan untuk teori fuzzy adalah bahwa suatu unsur mempunyai
suatu tingkat derajat keanggotaan (membership degree) dalam suatu yang keadaan
yang tidak jelas (Negoita, 1985; Zimmermann, 1996). Fungsi keanggotaan
merepresentasikan nilai keanggotaan dari suatu unsur dalam suatu yang di-set.
Nilai keanggotaan dari suatu unsur berkisar antara 0 dan 1. Unsur-Unsur dapat
mempunyai satu set tingkat derajat tertentu dan dapat juga mempunyai berbagai
set. Teori Fuzzy mengijinkan keanggotaan parsial tentang unsur-unsur. Transisi
antara keanggotaan dan non-keanggotaan adalah secara bertahap. Fungsi
keanggotaan memetakan variasi nilai variabel dari nilai linguistik ke dalam kelas
linguistik yang berbeda. Adaptasi dari fungsi keanggotaan untuk variabel
linguistik ditentukan di bawah situasi melalui tiga cara; (a) pengetahuan ahli yang
sebelumnya tentang variabel linguistik; (b) menggunakan format sederhana yang
geometris yang mempunyai slope (triangular, trapezoidal atau fungsi-s) setiap
variabel; dan (c) dengan proses belajar mencoba-coba.
Seperti salah satu dari metode MCDM yang paling umum digunakan,
AHP telah lebih dulu dikembangkan untuk pengambilan keputusan oleh Saaty
(1981) dan yang diperluas oleh Marsh, Moran, Nakui, & Hoffherr (1991) yang
mengembangkan metode lebih spesifik secara langsung untuk desain pengambilan
keputusan. AHP milik Marsh memiliki tiga langkah faktor (misal atribut) dari
keputusan seperti orang yang paling penting menerima bobot yang terbaik. Zahedi
(1986) menyediakan daftar referensi yang ekstensif dalam metodologi dan
aplikasi AHP. Dalam studi ini, metode AHP dan logika fuzzy seperti yang
dijelaskan di atas (dikenal sebagai fuzzy AHP) terintegrasi untuk menentukan
bobot metrik kinerja pada pengukuran kinerja manajemen rantai pasok sayuran
dataran tinggi.
Metoda fuzzy AHP sendiri telah digunakan dalam proses pengambilan
keputusan pada banyak area yang berbeda. Beberapa aplikasi fuzzy AHP yang
telah dikembangkan adalah sebagai berikut; Kahraman, Cebeci, dan Ulukan
(2003) menggunakan fuzzy AHP untuk memilih perusahaan penyalur yang jauh
lebih baik yang menyediakan banyak kepuasan untuk atribut yang ditentukan.
Kuo, Chi, dan Kao (2002) mengembangkan suatu sistem yang membantu
pengambilan keputusan yang menggunakan fuzzy AHP untuk menempatkan
gudang kenyamanan yang baru. Murtaza (2003) memperkenalkan suatu versi
fuzzy AHP ke negara yang mengambil risiko dalam masalah penilaian.
Kahraman, Cebeci, dan Ruan (2004) mengembangkan suatu alat yang analitis
menggunakan fuzzy AHP untuk memilih perusahaan katering terbaik yang
menyediakan kepuasan pelanggan. Weck, Klocke, Schell, dan Ruenauver (1997)
dengan penelitian siklus produksi alternatif yang dievaluasi yang menggunakan
metoda fuzzy AHP yang diperluas.
Lee, Lau, Liu, dan Tam (2001) mengusulkan suatu fuzzy AHP mendekati
desain produk yang modular yang dilengkapi dengan suatu contoh kasus untuk
mengesahkan kelayakannya dalam suatu perusahaan yang riil. Ayag (2005a) juga
memperkenalkan suatu pendekatan yang terintegrasi dalam mengevaluasi
altematif desain yang konseptual dalam suatu lingkungan pengembangan produksi
baru (NPD). Ayag (2002) mengembangkan suatu simulasi AHP berbasis model
untuk analisa dan implementasi dari sistem computer-aided (CAX). Cheng dan
Mon (1994) mengevaluasi sistem senjata dengan AHF' berdasar pada
pertimbangan skala fuzzy. Kwong dan Bai (2002) mengusulkan suatu fuzzy AHP
mendekati pada penentuan dari anak timbangan arti penting dari persyaratan
pelanggan dalam penyebaran fungsi mutu (QFD). Kwong dan Bai (2002) juga
menggunakan tingkat metoda analisa dan prinsip untuk perbandingan dari angkaangka fuzzy untuk menentukan bobot yang penting untuk persyaratan pelanggan
dalam QFD.
Pada
AHP
konvensional,
perbandingan
berpasangan
(painvaise
coinparison) untuk masing-masing level dengan orientasi pada tujuan pemilihan
alternatif terbaik yang dilakukan menggunakan suatu skala sembilan poin. Karena
itu, aplikasi dari AHP Saaty mempunyai beberapa kekurangan sebagai berikut
(Saaty & Ayag dan Ozdemir, 2006); (1) metoda AHP sebagian besar
digunakan dalam aplikasi keputusan yang mempunyai nilai crisp, (2) metoda
AHP menciptakan suatu skala penilaian yang tidak seimbang, (3) metoda AH?
tidak mempertimbangkan ketidakpastian yang dihubungkan dengan pemetaan dari
salah satu penilaian bagi suatu jumlah, (4) pengaturan metoda AHP agak tidak
jelas, (5) penilaian hubungan, pilihan dan pemilihan dari pengambil keputusan
mempunyai pengaruh yang besar terhadap hasil AHF'. Sebagai tambahan,
pengambil keputusan dalam menilai alternatif keputusan selalu mengandung
ambiguitas dan multiarti. Dengan demikian, AHP konvensional tidak cukup untuk
menangkap persyaratan pengambil keputusan dengan tegas. Untuk tujuan model
ketidakpastian seperti ini, aturan fuzzy fuzzy set theoryl dapat diintegrasikan
dengan perbandingan berpasangan sebagai suatu perluasan dari AHP. Pendekatan
fuzzy AHF' memberikan suatu uraian yang lebih akurat
tentang proses
pengambilan keputusan itu (Ayag dan Ozdemir, 2006).
Dalam pendekatan fuzzy AHP, hirarki dari pemilihan altematif perlu
dibangun dahulu sebelum dilakukan perbandingan berpasangan dengan AHP.
Setelah membangun suatu hirarki,
pengambil keputusan
diminta untuk
membandingkan elemen-elemen pada tingkatan yang ditentukan di suatu basis
pasangan untuk memperkirakan hubungan kepentingan antar elemen. Dalam AHP
konvensional, perbandingan berpasangan dibuat dengan menggunakan suatu skala
rasio. Suatu skala yang sering digunakan adalah titik-sembilan skala (Saaty 1980,
Tabel 6) yang menunjukkan penilaian peserta atau pilihan di antara alternatif
pilihan seperti sama penting, sedikit lebih penting, jelas lebih penting, sangat jelas
lebih penting, dan mutlak lebih penting. Sungguhpun skala diskret dari 1
-9
mempunyai keuntungan dari kemudahan dan kesederhanaan dalam penggunaan,
itu tidak mempertimbangkan ketidakpastian yang dihubungkan dengan pemetaan
dari satu persepsi penilaian kepada suatu jumlah.
Tabel 6. Definisi dan fungsi keanggotaan dari fuzzy number (Ayag, 2005b)
Tingkat
kepentingan
FUW
number
1
-1
3
-3
5
7
-5
-7
9
-9
Definisi
Fungsi keanggotaan
Sama penting
(1J32)
Sedikit lebih penting
Jelas lebih penting
(2,3,4)
Sangatjelas lebih penting
(4,5,6)
(6,7,8)
Mutlak lebih penting
(8,9,10)
Dalam studi ini, triangular fuzzy number, -1
- -9,
digunakan untuk
menunjukkan perbandingan berpasangan tentang proses pemilihan untuk tujuan
menangkap ketidakjelasan. Angka fuzzy adalah fuzzy khusus yang di-set F = {( x,
pf (x)) , x
E
R}, di mana x nilai di garis yang riil, R : -
- < x < + - dan
pf (x)
adalah suatu pemetaan lanjutan dari R pada interval tertutup [0, I]. Suatu
triangular fuzzy nunzber dinyatakan sebagai M
=
(l,m, u), di mana I 5 m 5 u,
mempunyai jenis keanggotaan jenis fungsi triangular sebagai berikut;
Sebagai alternatif, dengan menjelaskan interval dari tingkatan keyakinan a,
triangularfuzzy nuniber dapat ditandai sebagai
Beberapa operasi yang utama untuk angka-angka positif fuzzy diuraikan oleh
interval dari keyakinan, oleh Gupta dan Kaufmann (1985) seperti ditunjukkan
dibawah ini
n
.
,
V l l l ~ I. I I R , ILL3 I I R
-.
-
=I
\
- (-1 I'\-
j\/[
1
n
.
,
1/(
j w
L
-
= [/TI;
E
R+. ,'\/la = [n/;,I I I ~ ] ,
a
+ rr;,
<I
= [ i n ? - ,IL.
€
[O, I ]
+
111;
C1
111 R
It;]
- /! 1YR ]
i1.1 @' \ i = [ I ICLY ~C YI I !~T,a/ r~ t/ / ~ ]
i
.
.
&
Triangularfuzzy number, -1
- -9
, digonakan untuk meningkatkan rencana skala
konvensional sembilan poin. Untuk tujuan impresisi dari penilaian manusia yang
kualitatif ke dalam pertimbangan, lima triangular jiizzy number digambarkan
sesuai dengan fungsi keanggotaan seperti pada Gambar 5.
Metoda AHP adalah juga dikenal sebagai suatu metoda eigenvektor. Itu
menunjukkan bahwa eigenvektor yang sesuai dengan eigenvalue yang paling
besar dari matriks perbandingan berpasangan menyediakan prioritas relatif dari
faktor, dan memelihara pilihan nomor urut di antara alternatif. Ini berarti bahwa
jika suatu alternatif lebih disukai daripada yang lain, komponen eigenvektornya
adalah lebih besar dari lainnya. Suatu garis vektor dari anak timbangan yang
diperoleh dari matriks perbandingan painvise mencerminkan capaian relatif dari
berbagai faktor. Di fuzzy AHP, triangzilar fizzy number digunakan untuk
meningkatkan rencana skala dalam matriks penilaian, dan perhitungan interval
digunakan untuk memecahkan eigenvektor yang tidak jelas (Cheng dan Mon,
1994).
CIM(X)
A
Sama
penting
Sedikil iebih
penling
Jeias lebih
penting
Sangat jelas
lebih penting
-1
-3
-5
-7
Mutlak lebih
penting
-9
Tingkat kepentingan
Gambar 5. Membershipfirnction fuzzy ~ M ( Xuntuk
)
nilai linguistik kriteria dan
alternatif (Ayag dan Ozdemir, 2006)
2.9.
Analisis TOWS
Analisa TOWS adalah suatu metode untuk mengidentifikasikan
beberapa faktor secara sistematis dalam rangka merumuskan strategi perusahaan.
Analisa ini didasarkan pada logika dalam memaksimalkan kekuatan (strength) dan
peluang (opporttmities) namun secara bersamaan meminimalkan kelemahan
(+veaknesses)dan ancaman (threats)(Rangkuti 1998, dalam Marimin, 2004).
Menurut Marimin (2004),membuat keputusan untuk memilih alternatif
strategi sebaiknya dilakukan setelah perusahaan mengetahui terlebih dahulu posisi
perusahaan untuk kondisi sekarang berada pada kuadran sebelah mana sehingga
strategi yang dipilih merupakan strategi yang paling tepat karena sesuai dengan
kondisi internal dan eksternal yang dimiliki oleh perusahaan. Posisi perusahaan
dapat dikelompokkan dalam empat kuadran. Gambar 6 merupakan gambar posisi
perusahaan pada berbagai kondisi.
Proses yang harus dilakukan dalam pembuatan analisa TOWS agar
keputusan yang diperoleh lebih tepat perlu melalui berbagai tahapan sebagai
berikut:
1. Tahap pengambilan data yaitu evaluasi faktor eksternal dan internal.
2. Tahap analisa yaitu pembuatan matriks internal ektemal dan matriks
TOWS.
3. Tahap pengambilan keputusan (Marimin, 2004).
1
+
Berbagai Peluang
Kuadran 111
(mendukung strategi
turn-arozind)
I
Kelemahan Internal
Kuadran I
(mendukung
strategi agresif)
-
Kekuatan Internal
Kuadrnn I1
(mendukung strategi
diversifikasi)
Icuadran IV
(mendukung
strategi defensif)
I
Berbagai Ancaman
Gambar 6. Posisi Perusahaan pada Berbagai Kondisi (Marimin, 2004)
Menurut Pearce dan Robinson (1997) dalam Luna (2005), posisi
perusahaan pada tiap kuadran akan menunjukkan pengambilan strategi yang tepat
agar perusahaan dapat meningkatkan kinerjanya. Pada kuadran I menandakan
bahwa perusahaan at& organisasi kuat dan berpeluang. Rekomendasi strategi
adalah agresif, artinya perusahaan dalam keadaan mantap dan prima sehingga
dapat terus melakukan ekspansi, dengan memperbesar pertumbuhan dan meraih
kemajuan secara maksimal. Pada kuadran 11 lnenandakan bahwa perusahaan kuat
namun menghadapi tantangan yang besar. Rekomendasi strategi adalah
diversifikasi, artinya diperkirakan roda perusahaan akan mengalami kesulitan
untuk terus berputarjika hanya bertumpu pada strategi sehelumnya.
Sementara itu, pada kuadran 111 menandakan perusahaan yang lemah namun
berpeluang. Rekomendasi strategi adalah ubah strategi karena akan sulit
menangkap peluang dan memperbaiki kinerja jika menggunakan strategi yang
sama. Pada kuadran IV menandakan perusahaan yang lemah dan menghadapi
tantangan yang besar sehingga strategi harus dipertahankan sambil terus
membenahi diri. Dalam hubungannya dengan supply chain, analisa kelemahan
dan kekuatan perusahaan ini dilakukan dalam rangka mencoba meningkatkan
efektifitas dan efisiensi para pelaku rantai pasok.
2.10. Penelitian terdahulu dan posisi usulan penelitian
Beberapa ha1 yang perlu diperhatikan berdasarkan beberapa hasil
penelitian sebelumnya adalah pengembangan fratnework metrik pengukuman
kinerja SCM (Gunasekaran e f al., 2004), model dan metode pengukuran kinerjil
SCM (Aranyam et a]., 2006), pemilihan metrik dan perspektif dalam pengukuran
kinerja SCM dengan pendekatan AHP (Bhagwat & Sharma, 2007).
Pengembangan framework
metrik pengukuran kinerja SCM telah
dilakukan oleh Gunasekaran et al. (2001, 2004), Van der Vorst (2006), Aranyam
et al. (2006), dan Baghwat & Sharma (2007). Model dan metode pengukuran
kinerja SCM sudah banyak dikembangkan antara lain : metode SCOR (Supply
Chain Council, 2004; Lai et al., 2002; Wang, 2003), metode Balanced Scorecard
(Lee et al., 2008; Bhagwat & Sharma, 2007), Activity Based Costing (Lapide,
2000), Multi-criteria Analysis (Romero & Rehman, 2003), Life Cycle Analysis
(Azapagic and Clift 1999; Hagelaar and Van der Vorst 2002; Carlsson-Kanyama
er al., 2003), Data Envelopment Analysis (Zhu, 2003; Talluri & Baker, 2002;
Wong W.P & Wong K.Y, 2007).
Posisi dari penelitian yang dilakukan adalah model pengukuran kinerja
jaringan rantai pasok produk sayuran dataran tinggi menggunakan teknik fuzzy
AHP untuk memilih metrik pengukuran prioritas yang diadaptasi dari metode
SCOR. Model yang dihasilkan mencakup metode pengukuran kinerja, integrasi
dengan teknik fuzzy AHF' dan implementasi dengan pendekatan DEA. Posisi
penelitian yang dilakukan dapat dilihat dari herbagai sisi, yaitu 1) Metode
pengukuran kinerja SCM dengan mengadaptasi lnetrik pengukuran dari metode
SCOR, 2) Integrasi dengan teknik AHP dan 3) Pendekatan DEA dapat dilihat
pada Tabel 7.
Keunggulan ketiga pendekatan ini dalam perancangan dan implementasi
pengukuran kinerja manajemen rantai pasok adalah 1) Dengan mengadopsi SCOR
Model dapat dirancang metrik kinerja yang seimbang dan mencakup kinerja
keseluruhan dari rantai pasok dalam berbagai dimensi; 2) Dengan penggunaan
fuzzy AHP dapat diketahui bobot masing-masing metrik kinerja; dan 3) Dengan
penggunaan DEA dapat dihasilkan informasi yang detail tentang efisiensi pada
masing-masing pelaku rantai pasok yang mencakup metrik kinerja input atau
output, sehingga dapat menggambarkan setiap proses atau kegiatan bisnis pada
masing-masing pelaku rantai pasok.
Tabel 7. Perbandingan dan posisi penelitian yang dilakukan
No
Penelitian
Metode pengukuran kinerja SCM
SCOR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
I I.
Cakravastia & Diawati (1 999)
Lapide (2000)
Lai et al. (2002)
Talluri & Baker (2002)
Hagelaar and Van der Vorst (2002)
Wang (2003)
Romero & Rehman (2003)
Wong W.P & Wong K.Y (2007)
Bhagwart & Sharma (2007)
Lee et al. (2008)
Penelitian yang dilakukan (2008)
BSC
ABC
MCA
LCA
DEA
Integrasi dengan
AHP
AHP
Fuzzv
AHP
u'
u'
u'
u'
u'
u'
4
4
d
4
u'
u'
u'
u'
Download