III/5 - Bappenas

advertisement
NERACA PEMBAYARAN INTERNASIONAL
DAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI
BAB III
NERACA PEMBAYARAN
DAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI
A.
PENDAHULUAN
Dalam dua dasawarsa terakhir globalisasi ekonomi telah
bergerak dengan cepat dan semakin menyatu kan perekonomian antar
negara dan antar kawasan. Arus barang dan jasa dunia makin
berkembang pesat. Lalu-Lintas modal antar negara dan antar kawasan,
baik dalam bentuk modal pemerintah, investasi langsung, maupun
investasi portfolio, semakin meningkat pula. Perkembangan yang
terjadi di suatu negara atau kawasan dalam tempo singkat dapat
mempengaruhi perkembangan di negara atau kawasan lainnya.
Globalisasi telah pula mendorong perekonomian Indonesia
menjadi semakin terbuka. Pengaruh positif maupun negatif dari
berbagai perkembangan perekonomian dunia dengan cepat terasa
pada perekonomian nasional. Oleh karena itu, GBHN 1993 me -
III/3
ngarahkan bahwa setiap perkembangan, perubahan dan gejolak
dunia, baik politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan
keamanan, terus diikuti secara seksama. Perkembangan dunia yang
menimbulkan kendala bagi pembangunan nasional perlu diantisipasi
dan diatasi serta diambil langkah-langkah penanganannya sedini
mungkin, sedangkan yang mengandung peluang perlu dimanfaatkan
seoptimal mungkin untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan.
Kebijaksanaan neraca pembayaran dan perdagangan luar
negeri yang merupakan salah satu pillar kebijaksanaan ekonomi
makro, senantiasa mengupayakan kepada tercapainya pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi, distribusi hasil-hasil pembangunan yang
lebih merata, dan terciptanya stabilitas nasional yang mantap dan
dinamis. Sebagai jalur keterkaitan antara perekonomian dunia dan
perekonomian nasional, kebijaksanaan neraca pembayaran dan
perdagangan luar negeri merupakan bidang penting yang
menentukan keberhasilan pembangunan. Perkembangan neraca
pembayaran yang mantap dari waktu ke waktu sangat penting pula
bagi keberlanjutan pembangunan nasional.
Selama tahun 1993/94 dan tiga tahun pelaksanaan Repelita VI,
1994/95 - 1996/97, perkembangan neraca pembayaran tetap dalam
batas-batas yang aman dan terkendali. Gejala pemanasan ekonomi
pada tiga tahun pertama Repelita VI, yang dicerminkan dalam defisit
transaksi berjalan yang membesar, telah berhasil dikendalikan.
Pemasukan modal neto tetap mantap. Pemupukan cadangan devisa
meningkat setiap tahunnya. Namun, krisis keuangan yang melanda
kawasan Asia sejak pertengahan tahun 1997 membawa dampak
negatif terhadap arus modal. Rupiah mengalami depresiasi cukup
tajam, yaitu lebih dari 75 persen, dan hal ini memicu krisis moneter
yang berkepanjangan dan telah sampai pada taraf yang cukup
III/4
memprihatinkan. Kesemua ini mempengaruhi perkembangan neraca
pembayaran pada tahun 1997/98 dan tahun-tahun berikutnya.
B.
SASARAN, KEBIJAKSANAAN, DAN PROGRAM
REPELITA VI
Sasaran utama kebijaksanaan neraca pembayaran selama
Repelita VI adalah terciptanya stabilitas eksternal yang mantap
sehingga mendukung terwujudnya keberlanjutan pembangunan.
Sasaran dan kebijaksanaan neraca pembayaran juga diarahkan agar
perekonomian terus meningkatkan perolehan devisa baik ekspor
barang maupun jasa yang diperlukan bagi pembiayaan pembangunan
sehingga semakin terwujud kemampuan membangun dengan
kekuatan sendiri dalam Repelita VI .
Dalam Repelita VI sasaran yang ingin dicapai adalah
tercapainya laju pertumbuhan ekspor sebesar 13,7 persen per tahun,
dengan penggerak utama adalah ekspor non migas dengan sasaran
sebesar 16,8 persen per tahun. Sasaran laju pertumbuhan impor
selama Repelita VI adalah 14,7 persen dengan pertumbuhan impor
non migas sebesar 15,8 persen per tahun.
Defisit transaksi berjalan dalam Repelita VI diupayakan ratarata sekitar 2 persen terhadap PDB. Dengan demikian sasaran kebutuhan dana luar negeri neto, yang berasal dari pinjaman
pemerintah dan sumber dana swasta, selama Repelita VI adalah
sekitar 2 persen terhadap PDB. Cadangan devisa selama Repelita VI
diupayakan cukup untuk membiayai impor rata-rata sekitar 4,6
bulan. Sasaran Iainnya adalah mengupayakan agar Debt Service
Ratio turun menjadi 24,0 persen pada akhir Repelita VI.
III/5
Di bidang ekspor, kebijaksanaan yang ditempuh adalah terus
meningkatkan perolehan devisa ekspor melalui kebijaksanaan
penganekaragaman jenis produk ekspor, peningkatan jumlah dan
mutu, serta peningkatan daya saing sekaligus penerobosan dan
perluasan pasar luar negeri. Kebijaksanaan impor barang dan jasa
diarahkan untuk meningkatkan produksi yang berorientasi ekspor,
penghematan devisa, dan pola hidup sederhana.
Dana luar negeri dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi pembangunan nasional, dan fungsinya adalah sebagai pelengkap, dan
sebagai wahana alih teknologi, tidak ada ikatan politik serta tidak
memberatkan perekonomian. Penggunaannya adalah berdasarkan
prioritas dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Kebijaksanaan penanaman modal asing diarahkan bagi
kegiatan ekspor dan kegiatan pembangunan yang belum dapat
dipenuhi dengan modal dan kemampuan teknologi dalam negeri
melalui pengembangan iklim yang menarik dan prosedur sederhana.
Sarana dan prasarana ekonomi yang menunjang, peraturan yang
konsisten dan memberi jaminan kepastian berusaha dan keamanan
investasi, terus ditingkatkan.
Dalam dunia yang berubah dengan cepat maka berbagai
gejolak perekonomian dan keuangan internasional harus dapat
diantisipasi sedini mungkin sehingga tidak mengganggu jalannya
pembangunan nasional. Dalam Repelita VI kerjasama bilateral,
multilateral, dan regional di berbagai forum internasional terus
dimantapkan dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional.
Dalam upaya mencapai sasaran pokok di atas, utamanya di
bidang perdagangan luar negeri, maka program pokok yang
ditempuh dalam Repelita VI adalah: (a) pengembangan perdagangan
III/6
luar negeri, utamanya peningkatan ekspor non migas dan
pengendalian impor, dan; (b) pengembangan kerjasama perdagangan
internasional.
C.
PELAKSANAAN DAN HASIL PEMBANGUNAN
SAMPAI DENGAN TAHUN KEEMPAT REPELITA
VI ¹
Perkembangan neraca pembayaran dan perdagangan luar
negeri sangat dipengaruhi oleh perkembangan politik, ekonomi, dan
keuangan internasional. Tantangan dan peluang yang timbul dari
perkembangan internasional yang terjadi selama ini sangat
menentukan tercapainya berbagai sasaran dan langkah kebijaksanaan
yang ditempuh di bidang neraca pembayaran dan perdagangan luar
negeri Indonesia selama Repelita VI.
Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, maka setiap
perkembangan dalam perekonomian dunia akan memberi dampak
langsung terhadap perekonomian nasional. Untuk itu, perkembangan
internasional yang melatarbelakangi perkembangan perekonomian
nasional dan neraca pembayaran selama 5 tahun terakhir, akan dilaporkan di bawah ini.
¹ Data yang digunakan pada Bab ini sebagian besar bersumber dari Bank Indonesia.
Beberapa angka mungkin berbeda dengan angka pada Bab lain karena menggunakan
sumber data yang berbeda.
III/7
1.
Perkembangan Internasional
Memasuki Repelita VI, perekonomian dunia menunjukkan
perkembangan yang menguat. Menguatnya perekonomian Amerika
Serikat sebagai penggerak utama perekonomian dunia secara
keseluruhan, utamanya pada tahun 1993 sebagai akibat kebijakan
moneter yang longgar, telah mendorong perekonomian dunia
bangkit kembali sehingga diperkirakan mencapai pertumbuhan ratarata 3,6 persen per tahun dalam periode 1993-97. Dalam periode
tersebut perekonomian negara-negara maju meningkat rata-rata
dengan 2,5 persen per tahun, sementara perekonomian negaranegara berkembang meningkat cukup tinggi, yaitu rata-rata 6,3
persen per tahun. Perekonomian di kawasan Asia meningkat dengan
cukup tinggi, yaitu rata-rata 8,5 persen per tahun sedangkan di
Afrika hanya meningkat rata-rata dengan 3,0 persen per tahun.
Pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia terutama di Asia
Tenggara dan Asia Timur sampai dengan awal tahun 1997 masih
tetap tinggi. Sehingga terjadinya gejolak mata uang di negara-negara
di kawasan tersebut tidak diantisipasi dan datang dengan sangat
mengejutkan. Karena krisis mata uang dan keuangan yang melanda
negara-negara di kawasan ini seperti Thailand, Philipina, Malaysia,
Indonesia, dan Korea Selatan maka diperkirakan pertumbuhan
ekonomi Asia akan mengalami kemerosotan tajam pada tahun ini dan
mungkin masih berlangsung beberapa tahun mendatang.
Di bidang perdagangan, menguatnya perekonomian dunia
dalam kurun waktu 1993-97 telah membawa dampak positif
terhadap perdagangan dunia. Jika dalam periode 1989-93
pertumbuhan volume perdagangan dunia hanya rata-rata 5,2 persen
per tahun maka dalam periode 1993-97 rata-rata mencapai 7,5
persen per tahun. Volume ekspor negara -negara maju dan negara-
III/8
negara berkembang dalam periode 1993-97 masing-masing
mencapai rata-rata 7,2 persen dan 9,6 persen per tahun, cukup tinggi
dibanding dengan yang dicapai selama periode 1989-93 yang
masing-masing rata-rata sebesar 5,7 persen dan 7,1 persen per tahun.
Surplus transaksi berjalan yang dialami kelompok negara-negara
maju mengalami penurunan dari US$ 59,0 miliar pada tahun 1993
menjadi US$ 23,0 miliar pada tahun 1997. Untuk kelompok negaranegara berkembang, defisit transaksi berjalan mengalami penurunan
dari US$ 118,0 miliar pada tahun 1993 menjadi US$ 87,0 miliar
pada tahun 1997.
Nilai tukar perdagangan (terms of trade) yang dialami oleh
negara-negara maju selama kurun waktu 1993-97 tampak
memburuk, yaitu 0,8 persen pada tahun 1993 menjadi 0,1 persen
dan -0,7 persen masing-masing pada tahun 1996 dan 1997,
sedangkan untuk negara-negara berkembang tampak berfluktuasi,
yaitu -2,1 persen pada tahun 1993 menjadi 1,3 persen dan -0,8
persen masing-masing pada tahun 1996 dan 1997. Perkembangan
nilai tukar perdagangan tersebut dipengaruhi oleh menurunnya
harga-harga barang manufaktur selama periode 1993-97 rata-rata
sebesar -0,5 persen per tahun, sementara dalam periode 1989-93
mengalami peningkatan rata-rata sebesar 1,3 persen per tahun. Harga
minyak bumi dan barang-barang primer dalam kurun waktu 199397 meningkat masing-masing rata-rata dengan 1,0 persen dan 3,7
persen per tahun. Dalam pada itu harga-harga kelompok makanan,
minuman, dan bahan mentah pertanian dalam periode 1993-97 telah
meningkat masing-masing dengan rata-rata 2,5 persen, 17,8 persen,
dan 4,8 persen per tahun, relatif tinggi dengan perkembangan yang
terjadi pada periode 1989-93 yang masing-masing rata-rata sebesar
-1,5 persen, -8,8 persen, dan 4,3 persen per tahun.
III/9
Di bidang keuangan internasional, dalam kurun waktu 4 tahun
terakhir telah terjadi berbagai gejolak. Dimulai oleh Mexiko pada
tahun 1994, pada pertengahan tahun 1997 terjadi krisis keuangan dan
ekonomi di Thailand yang dengan cepat mengimbas ke negaranegara di ASEAN. Krisis ini telah menyebabkan tekanan terhadap
nilai tukar mata uang negara-negara yang rentan terhadap gejolak
ekstemal, terutama negara-negara yang tumbuh pesat (emerging) di
Asia Tenggara, yang mengalami defisit transaksi berjalan dan
menggantungkan secara berlebihan pada pinjaman luar negeri jangka
pendek. Depresiasi nilai tukar yang sangat besar dan jatuhnya harga
saham telah memperburuk sektor keuangan di berbagai negara,
termasuk Korea Selatan pada akhir-akhir ini. Masalah perbankan
juga muncul di Jepang sehingga pemulihan ekonominya yang baru
saja berlangsung menjadi terganggu oleh imbas krisis yang
berlangsung di negara-negara di Asia yang menjadi mitra dagangnya.
Untuk mengatasi krisis tersebut, negara-negara yang terkena
krisis telah meminta bantuan IMF dan lembaga-lembaga keuangan
internasional seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, di
samping bantuan bilateral.
Sementara itu, untuk memperkuat posisi keuangan Dana
Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dalam
sidang tahunan IMF/World Bank di Hongkong pada bulan
September 1997 telah dilakukan kaji ulang umum mengenai
kenaikan kuota (General Review of Quota Increase) yang ke 11.
Dalam sidang tersebut dewan gubernur telah mengesahkan kenaikan
kuota anggota-anggota IMF sebesar 45 persen yaitu dari SDR 146
miliar menjadi SDR 212 miliar. Masing-masing negara anggota akan
memperoleh kenaikan kuota yang didasarkan pada iuran anggota.
III/10
Negara-negara Asia Pasifik pada pertemuan di bulan
Nopember 1997 sepakat bahwa kapasitas IMF untuk menjaga sistem
keuangan internasional perlu ditingkatkan dengan menjamin bahwa
IMF dapat memobilisasi dana dengan cepat dan dalam jumlah yang
memadai untuk mendukung program reformasi ekonomi dan
keuangan negara-negara yang mengalami krisis. Selanjutnya, dalam
rangka
meningkatkan
pengaturan
kerjasama
pembiayaan
(Cooperative Financing Arrangement) negara-negara Asia, pemberian pinjaman oleh negara-negara Asia kepada negara-negara lain
yang sedang mengalami krisis keuangan. akan dikaitkan dengan paket
bantuan IMF dan dilakukan pengawasan regional sebagai pelengkap
pengawasan global (global surveillance) yang dilakukan IMF.
Selain itu untuk menjaga kesinambungan dan memperluas
akses pasar bagi produk-produk ekspor di masa mendatang, peran
serta Indonesia di forum internasional dalam kerangka hubungan
ekonomi, perdagangan, dan keuangan dengan negara-negara lain,
terus ditingkatkan. Indonesia aktif berpartisipasi dalam forum
WTO, APEC, D-8 (Developing-Eight), ASEAN (AFTA), Bank f or
International Settlements (BIS), Executive's Meeting of East Asia
and Pacific Central Banks (EMEAP), South-East Asia Central
Banks (SEACEN), dan Organization of Petroleum Exporting
Countries (OPEC).
Berbagai upaya liberalisasi perdagangan dan investasi terus
dilakukan dalam berbagai forum kerja lama regional seperti APEC.
Sebagai tindak lanjut dari pertemuan di Bogor-Indonesia (Nopember
1994), Osaka-Jepang (Nopember 1995), dan di Philipina (Nopember
1996), pada bulan Nopember 1997 para pemimpin ekonomi anggota
APEC mengadakan per temuan di Vancouver - K anada. Pada
III/11
pertemuan terakhir ini dikeluarkan deklarasi yang berjudul
Connecting the APEC Community, yang merupakan visi APEC abad
21 dalam rangka mewujudkan penyatuan komunitas APEC. Dalam
deklarasi tersebut, antara lain disinggung tentang guncangan sektor
keuangan kawasan yang merupakan pertanda adanya tantangan baru
pada sistem keuangan internasional yang menuntut ketanggapan yang
cepat dan tepat. Para pemimpin menegaskan peranan sentral IMF
sebagai lini terdepan dalam mengatasi krisis keuangan tersebut dan
sepakat bekerja sama dalam menghadapi tantangan bersama itu.
Pertemuan juga menyepakati liberalisasi dini secara sukarela atas
sembilan sektor komoditi yang akan dibahas lebih lanjut dalam tahun
1998, terutama menyangkut masalah penurunan tarif dan jadwal
penurunannya, sementara pelaksanaan liberalisasi dini tersebut
disepakati mulai berlaku efektif dalam tahun 1999. Bagian lain dari
deklarasi adalah meminta negara-negara anggota agar terus
memperbaiki Rencana Aksi Individual (RAJ) atau Individual Action
Plans (IAPs) yang merupakan inti dari pada mekanisme liberalisasi
APEC. Hasil lainnya adalah kesepakatan untuk menerima Rusia,
Vietnam dan Peru sebagai anggota barn APEC yang akan berlaku
efektif tahun 1998.
Khusus mengenai minyak bumi, pertemuan negara-negara
anggota OPEC pada bulan Nopember 1997 di Jakarta sepakat untuk
menaikan pasokan minyak di pasaran internasional dari 25,0 juta
menjadi 27,5 juta barrel per hari atau naik sekitar 10 persen yang
berlaku dalam semester I tahun 1998. Kenaikan ini utamanya untuk
mengantisipasi kenaikan permintaan di musim dingin. Dengan
demikian kuota Indonesia meningkat sekitar 12 persen dari 1,3 juta
menjadi hampir 1,5 juta barrel per hari selama semester I tahun
1998. Namun sejak kenaikan kuota tersebut, harga minyak bumi di
pasar dunia telah menurun dengan cukup tajam, yaitu dari sekitar
III/12
US$ 19 per barrel di akhir Nopember 1997 menjadi sekitar US$ 15
per barrel di awal Februari 1998.
2.
Perkembangan Neraca Pembayaran
Perkembangan situasi ekonomi dan moneter dunia banyak
mempengaruhi neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri
Indonesia selama empat tahun pelaksanaan Repelita VI. Sejalan
dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi dunia dan semakin
terintegrasinya kegiatan ekonomi dan perdagangan serta investasi
telah membawa negara-negara berkembang, termasuk Indonesia ke
dalam persaingan global yang semakin kompetitif. Sebagai negara
yang menganut perekonomian terbuka, maka setiap fluktuasi dalam
ekonomi dunia akan memberi dampak langsung terhadap
perekonomian Indonesia, sebagaimana terlihat dari depresiasi tajam
yang dialami rupiah terhadap mata uang utama dunia sejak
pertengahan tahun 1997 yang dipicu oleh krisis keuangan dan nilai
tukar mata uang Thailand.
Dalam kurun waktu 1993/94 – 1997/98 telah ditempuh
langkah-langkah untuk mengatasi berbagai perkembangan dan
permasalahan yang terjadi itu.
Dipicu oleh semakin terdepresiasinya rupiah secara tajam
terhadap mata uang-mata uang utama dunia, pada bulan Januari
1998 diadakan kesepakatan antara Indonesia dengan IMF dalam
rangka reformasi ekonomi dan keuangan. Untuk memantau seluruh
pelaksanaan reformasi di bidang ekonomi dan keuangan tersebut
dibentuk Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan.
III/13
Perkembangan neraca pembayaran pada tahun 1993/94 dan
1994/95 - 1997/98 cukup mantap. Namun terjadinya krisis moneter,
yang ditandai dengan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap mata
uang utama dunia yang cukup tajam sejak pertengahan tahun 1997,
yakni sampai sekitar 75. persen terhadap dolar Amerika Serikat,
sangat mempengaruhi perkembangan neraca pembayaran pada tahun
1997/98.
Berikut ini akan diuraikan perkembangan neraca pembayaran
selama periode 1993/94 - 1997/98.
Pada tahun 1993/94, ekspor non migas meningkat menjadi
sebesar US$ 27,2 miliar atau tumbuh 9,5 persen dibandingkan tahun
sebelumnya. Dalam kurun waktu 4 tahun pelaksanaan Repelita VI,
ekspor non migas tetap meningkat dengan rata-rata 13,4 persen per
tahun menjadi sebesar US$ 45,0 miliar pada tahun 1997/98. Kinerja
ekspor non migas dalam kurun waktu 4 tahun pelaksanaan Repelita
VI tersebut jauh di bawah sasaran yang ingin dicapai dalam Repelita
VI sebesar rata-rata 16,8 persen per tahun. Semakin ketatnya
persaingan di pasar internasional dan tingginya permintaan dalam
negeri merupakan penyebab utama dari rendahnya kinerj a ekspor
non migas dalam kurun waktu tersebut.
Dilihat dari peranannya, ekspor non migas meningkat dari 74,4
persen pada tahun 1993/94 menjadi 80,3 persen pada tahun 1997/98.
Dalam kurun waktu yang sama, ekspor migas meningkat dari US$
9,3 miliar pada tahun 1993/94 menjadi US$ 11,0 miliar pada tahun
1997/98, atau meningkat dengan rata-rata 4,2 persen per tahun.
Kinerja ekspor migas selama empat tahun pelaksanaan Repelita VI
tersebut adalah jauh di atas sasaran Repelita VI yang rata-rata
sebesar 1,7 persen per tahun (Tabel III-1, III-1.A, III-2, dan III-2.A).
III/14
Dalam empat tahun terakhir, nilai impor juga mengalamipeningkatan yaitu dari US$ 29,1 miliar pada tahun 1993/94 menjadi
US$ 45,3 miliar pada tahun 1997/98, atau meningkat dengan ratarata 11,7 persen per tahun. Dalam tahun 1994/95 dan 1995/96,
ketika suhu perekonomian Indonesia memanas, impor non migas
menunjukkan peningkatan yang cukup besar, yaitu masing-masing
menjadi US$ 30,5 miliar dan US$ 37,6 miliar atau meningkat
masing-masing sebesar 20,4 persen dan 23,4 persen. Berkat adanya
upaya untuk mendinginkan suhu perekonomian, pertumbuhan nilai
impor non migas dapat ditekan menjadi 9,4 persen atau menjadi US$
41,1 miliar pada tahun 1996/97, dan hanya meningkat dengan 1,0
persen atau menjadi US$ 41,5 miliar pada tahun 1997/98. Penurunan
impor non migas yang cukup cepat di tahun 1997/98 juga disebabkan
oleh depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap mata uang utama dunia
yang cukup tajam sejak bulan Juli 1997. Kinerja impor non migas
selama empat tahun pelaksanaan Repelita VI jauh di bawah dari
sasarannya yang rata-rata adalah sebesar 15,8 persen per tahun
(Tabel III-1, III-1.A, III-3, dan III-3.A).
Selama 4 tahun pelaksanaan Repelita VI, defisit sektor jasajasa meningkat rata-rata sebesar 9,7 persen per tahun, yaitu dari US$
10,3 miliar pada tahun 1993/94 menjadi sebesar US$ 14,9 miliar
pada tahun 1997/98. Pengeluaran transaksi jasa-jasa yang cukup
besar terjadi pada jasa pengangkutan barang impor dan pembayaran
bunga pinjaman luar negeri. Sementara itu, penerimaan devisa jasajasa masih tetap mengandalkan sektor pariwisata dan pendapatan
tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri.
Sebagai negara berkembang yang masih memerlukan dana
pembangunan yang relatif besar, transaksi berjalan Indonesia selalu
III/15
mengalami defisit kecuali pada tahun 1979/80 dan 1980/81, sewaktu
terjadi kenaikan harga minyak dan harga komoditi lainnya di pasar
dunia. Defisit transaksi berjalan dalam kurun waktu 1993/941996/97 terus mengalami peningkatan dari US$ 2,9 miliar (2,1
persen terhadap PDB) pada tahun 1993/94 menjadi US$ 8,1 miliar
(3,5 persen terhadap PDB) pada tahun 1996/97. Selanjutnya defisit
diperkirakan menurun menjadi US$ 4,3 miliar (2,2 persen terhadap
PDB) pada tahun 1997/98. Sasaran defisit transaksi berjalan yang
ingin dicapai dalam tahun terakhir Repelita VI adalah 1,9 persen
terhadap PDB. Melambatnya pertumbuhan ekspor serta relatif
tingginya defisit neraca jasa menyebabkan sulitnya penurunan defisit
transaksi berjalan selama 4 tahun pelaksanaan Repelita VI.
Dalam pada itu, surplus arus modal neto mengalami
peningkatan cukup besar yaitu dari US$ 5,7 miliar pada tahun
1993/94 menjadi US$ 12,7 miliar pada tahun 1996/97. Surplus
dalam periode ini terutama berasal dan pemasukan modal swasta
neto yang terdiri dari investasi langsung, investasi portfolio, dan
modal lainnya. Meningkatnya arus modal masuk neto sektor swasta
ini erat kaitannya dengan semakin menariknya iklim investasi dan
meningkatnya kepercayaan investor asing terhadap kondisi
perekonomian Indonesia. Memasuki tahun 1997/98 arus modal neto
mengalami defisit sebesar US$ 4,0 miliar. Defisit ini bersumber pada
arus modal neto sektor swasta yang mengalami defisit sebesar US$
10,4 miliar, sedangkan sektor pemerintah mengalami surplus sebesar
US$ 6,4 miliar. Perkembangan arus modal masuk neto di tahun
terakhir ini erat kaitannya dengan krisis moneter yang dialami
Indonesia sejak pertengahan tahun 1997.
Sebagai akibat perkembangan transaksi berjalan dan arus
modal neto seperti diuraikan di atas maka jumlah cada ngan devisa
III/16
selama 1994/95 - 1996/97 adalah cukup untuk membiayai impor
non migas antara 4,7 bulan sampai dengan 5,0 bulan. Terjadinya
krisis moneter telah mengakibatkan cadangan devisa Indonesia yang
dihitung berdasarkan jumlah Aktiva Luar Negeri Bruto (Gross
Foreign Assets) turun cukup tajam dari US$ 21,4 miliar pada kuartal
III tahun 1997/98 menjadi sebesar US$ 17,2 miliar pada kuartal IV
tahun 1997/98, namun posisi terakhir ini masih cukup untuk
membiayai impor non migas (c&f) selama 4,5 bulan.
3.
Ekspor
Seperti telah disebutkan di atas, sejak Repelita I nilai ekspor
keseluruhan terus menunjukkan peningkatan yang cukup cepat, yaitu
meningkat dengan 64 kali lipat selama kurun waktu 1968 - 1997/98.
Peningkatan yang paling pesat berasal dari ekspor non migas, yang
dalam kurun waktu tersebut telah meningkat lebih dari 79 kali lipat.
Pada tahun 1993/94, nilai keseluruhan ekspor sebesar US$
36,5 miliar atau meningkat sebesar 3,4 persen dibandingkan tahun
sebelumnya. Dalam kurun waktu 4 tahun terakhir, yaitu tahun
1994/95 - 1997/98, nilainya terus meningkat, dengan peningkatan
terbesar terjadi pada tahun 1994/95 yaitu sebesar 15,5 persen
dibandingkan dengan rata-rata 4 tahun yang mencapai 11,4 persen
per tahun. Dalam kurun waktu tersebut, ekspor migas meningkat
dengan rata-rata sebesar 4,2 persen per tahun, namun pada tahun
1997/98 ekspornya turun sebesar 13,7 persen menjadi US$ 11,0
miliar (Tabel III-2, III-2.A, dan Grafik III-1).
Dalam kurun waktu yang sama ekspor non migas tetap
meningkat walaupun peningkatannya bervariasi dari tahun ke tahun.
Pada tahun 1993/94 ekspornya meningkat sebesar 9,5 persen,
III/17
selanjutnya meningkat lagi dengan cukup tinggi sebesar 16,7 persen
dan 17,1 persen masing-masing pada tahun 1994/95, dan 1995/96.
Pada tahun 1996/97, laju pertumbuhannya melambat menjadi
sebesar 5,7 persen atau menjadi US$ 39,3 miliar. Relatif tingginya
permintaan dalam negeri sebagai akibat peningkatan pendapatan
masyarakat pada beberapa tahun terakhir, telah mengurangi surplus
beberapa komoditi ekspor. Di samping itu, munculnya negara-negara
pesaing baru seperti Cina, Vietnam dan India, serta hambatan berupa
tuduhan dumping, isu ekolabeling, isu hak asasi manusia, serta hakhak buruh yang sering dilontarkan oleh negara-negara maju turut
pula mempengaruhi lambatnya pertumbuhan ekspor beberapa tahun
terakhir. Memasuki pertengahan tahun 1997, adanya depresiasi nilai
tukar Rupiah terhadap mata uang utama dunia diperkirakan akan
meningkatkan kinerja ekspor non migas untuk tahun 1997/98 sebesar
14,5 persen menjadi US$ 45,0 miliar. Pada tahun 1998/99
mendatang ekspor ini diperkirakan akan tumbuh sebesar 12,0 persen
menjadi US$ 50,4 miliar, namun masih di bawah sasaran tahun
kelima Repelita VI sebesar US$ 59,0 miliar.
Upaya-upaya untuk meningkatkan ekspor non migas terus
dilakukan melalui serangkaian deregulasi yang ditujukan untuk
semakin mendorong kegiatan penanaman modal, baik PMA maupun
PMDN, terutama kegiatan yang berorientasi ekspor, dan sekaligus
untuk meningkatkan daya saing ekspor non migas. Di samping itu,
untuk mendorong peningkatan ekspor non migas sekaligus mengatasi
tuduhan dumping telah dibentuk Tim Pengkajian Strategi Ekspor
(TIPSE) dan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI).
Dengan perkembangan tersebut di atas, dalam kurun waktu
empat tahun pelaksanaan Repelita VI peranan ekspor non migas
dalam nilai ekspor keseluruhan rata-rata adalah sebesar 77,2 persen.
III/18
Khusus untuk tahun 1997/98, peranannya diperkirakan mencapai
80,3 persen, lebih tinggi dibandingkan tahun 1996/97 yang sebesar
75,5 persen dari nilai ekspor keseluruhan. Sejalan dengan peranannya
yang meningkat, jenis komoditi ekspor. makin beragam dan makin
mengandalkan pada hasil-hasil industri termasuk hasil-hasil industri
sedang, kecil dan kerajinan tangan.
Seperti terlihat pada Tabel III-4 dan III-4.A, struktur ekspor
non migas telah mengalami pergeseran yang mendasar dari dominasi
oleh komoditi-komoditi primer dengan pengolahan minimal, ke
komoditi-komoditi industri dengan tingkat pengolahan yang lebih
tinggi. Apabila pada tahun 1968, yang merupakan 5 komoditi ekspor
utama adalah karet; kopi; timah; teh; dan minyak sawit & biji
kelapa sawit, maka pada tahun 1997/98 komoditi ekspor utama
adalah : tekstil; hasil tambang di luar timah dan alumunium; kayu
lapis; alat listrik; dan kayu bulat/gergajian/ olahan. Di samping itu,
dalam beberapa tahun terakhir, negara tujuan utama produk ekspor
tidak hanya ke negara-negara Jepang, Amerika Serikat, dan
Singapura, namun telah meluas ke negara mitra dagang baru seperti
Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, Timur Tengah, Afrika, Cina, dan
negara-negara bekas Uni Soviet.
Perkembangan beberapa komoditi ekspor non migas dalam lima
tahun terakhir secara rinci adalah sebagai berikut.
Ekspor tekstil dan produk tekstil dalam lima tahun terakhir
sejak tahun 1993/94 sampai dengan tahun 1997/98 tetap menjadi
penyumbang devisa terbesar ekspor non migas dan nilainya tumbuh
dengan rata-rata 6,8 persen per tahun. Apabila dilihat dari tahun ke
tahun, laju pertumbuhannya berfluktuasi. Pada tahun 1993/94 dan
1994/95, nilai ekspomya turun masing -masing sebesar 1,9 persen
III/19
dan 1,5 persen dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, selanjutnya
naik sebesar 8,2 persen pada tahun 1995/96. Memasuki tahun
1996/97, nilai ekspornya menurun kembali sebesar 2,0 persen
sehingga menjadi US$ 6,0 miliar. Dalam rangka meningkatkan
kembali nilai ekspor tekstil dan pakaian jadi, dilakukan berbagai
upaya antara lain melalui penyederhanaan perijinan, mempermudah
proses pembagian kuota, dan menghapus beberapa pungutan.
Dengan adanya berbagai upaya tersebut, nilai ekspor tekstil dan
pakaian jadi meningkat dengan pesat sebesar 35,3 persen sehingga
menjadi sekitar US$ 8,1 miliar pada tahun 1997/98.
Nilai ekspor hasil tambang di luar timah dan alumunium
meningkat rata-rata sebesar 26,7 persen per tahun dari US$ 1,8
miliar pada tahun 1993/94 menjadi US$ 4,6 miliar pada tahun
1997/98. Dalam kurun waktu tersebut, peningkatan yang cukup
besar terjadi pada tahun 1995/96 dan 1997/98, yaitu meningkat
masing-masing sebesar 38,7 persen dan 46,5 persen. Peningkatan
yang cukup pesat di tahun terakhir ini terutama didorong oleh
membaiknya harga nikel yang diakibatkan meningkatnya permintaan
baja anti karat di negara-negara industri, serta menurunnya stok nikel
di pasaran dunia karena kurangnya pasokan dari negara produsen
seperti Rusia. Sementara itu, nilai ekspor timah dan alumunium
berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada tahun 1997/98 nilai ekspor
timah turun sebesar 3,0 persen menjadi US$ 278,0 juta, sedangkan
nilai ekspor alumunium naik sebesar 4,9 persen menjadi US$ 332,4
juta.
Selama empat tahun terakhir, nilai ekspor kayu lapis menurun
rata-rata sebesar 5,3 persen per tahun, jauh lebih kecil dibandingkan
laju pertumbuhan di tahun 1993/94 yang sebesar 45,1 persen.
Setelah laju pertumbuhannya negatip di tahun 1994/95 dan 1995/96,
III/20
dalam dua tahun terakhir laju pertumbuhannya kembali meningkat
masing-masing sebesar 6,4 persen dan 5,9 persen pada tahun
1996/97 dan 1997/98. Penurunan laju pertumbuhan di tahun
1994/95 dan 1995/96 ini erat kaitannya dengan menurunnya
permintaan dan adanya kecenderungan persaingan yang ketat atas
produk tersebut di pasaran dunia. Di samping itu makin maraknya
tekanan masalah lingkungan hidup, pelestarian hutan, dan ketentuan
ekolabeling yang muncul di negara-negara tujuan ekspor seperti
Jepang, Amerika Serikat, Korea Selatan, Taiwan dan Cina, sangat
mempengaruhi perkembangan ekspor produk kayu lapis Indonesia.
Upaya penganekaragaman produk ekspor, terutama hasil
industri yang digalakkan dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan
hasilnya. Nilai ekspor alat-alat listrik, termasuk di dalamnya
komputer dan bagiannya, meningkat pesat dari sebesar US$ 1,2
miliar pada tahun 1993/94 menjadi sebesar US$ 3,7 miliar pada
tahun 1996/97. Namun memasuki tahun 1997/98, nilainya menurun
cukup tajam sebesar 14,3 persen menjadi US$ 3,2 miliar. Penurunan
laju pertumbuhan di tahun terakhir ini erat kaitannya dengan semakin
mahalnya bahan baku impor mengingat bahwa kandungan bahan
baku impor di industri ini relatif tinggi. Negara mitra dagang utama
untuk produk ini adalah Singapura, Amerika Serikat, Jepang dan
Hongkong.
Nilai ekspor udang, ikan, dan hasil hewan lainnya masih tetap
meningkat, walaupun lajunya dari tahun ke tahun terus melambat.
Pada tahun 1997/98 nilai ekspor kelompok ini menjadi sebesar US$
1,7 miliar atau naik rata-rata sebesar 2,5 persen per tahun
dibandingkan tahun 1993/94. Pasar utama untuk produk udang
adalah Jepang, Amerika Serikat, dan Singapura. Sedangkan nilai
ekspor hasil keraj inan tangan dalam kurun waktu yang sama
III/21
meningkat cukup pesat yaitu rata-rata sebesar 14,1 persen per tahun
menjadi US$ 1,1 miliar pada tahun 1997/98. Sementara itu,
perkembangan nilai ekspor hasil pertanian cukup bervariasi namun
terus meningkat. Dalam kelompok ini, nilai ekspor karat, kopi, teh,
tembakau dan bungkil kopra meningkat masing-masing rata-rata
sebesar 13,3 persen, 16,3 persen, 2,0 persen, 16,3 persen, dan 9,1
persen per tahun dalam kurun waktu empat tahun terakhir.
4.
Impor
Nilai impor secara keseluruhan mengalami peningkatan sejalan
dengan perkembangan kegiatan ekonomi dan investasi di dalam
negeri. Terciptanya iklim berusaha yang menarik telah mendorong
meningkatnya kegiatan investasi PMA dan PMDN, yang pada
gilirannya meningkatkan impor bahan baku/penolong dan barang
modal. Di samping itu, adanya peningkatan daya beli masyarakat
juga berpengaruh atas peningkatan barang-barang konsumsi yang
belum dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri.
Pada tahun terakhir Repelita V (1993/94), nilai keseluruhan
impor meningkat sebesar 6,6 persen menjadi US$ 29,1 miliar,
selanjutnya meningkat cukup pesat sebesar 17,1 persen dan 21,6
persen pada tahun 1994/95 dan 1995/96. Namun dalam dua tahun
terakhir ini nilai impor (f.o.b.) secara keseluruhan melambat yaitu
sebesar 10,4 persen dan -1,0 persen atau menjadi US$ 45,8 miliar
dan US$ 45,3 miliar pada tahun 1996/97 dan 1997/98. Melambatnya
pertumbuhan impor di dua tahun terakhir ini terutama berasal dari
pertumbuhan impor non migas yang melambat cukup tajam yaitu dari
23,4 persen pada tahun 1995/96 menjadi 9,4 persen pada tahun
1996/97, dan melambat lagi menjadi hanya 1,0 persen pada tahun
1997/98. Untuk tahun 1998/99 nilainya diperkirakan turun lebih
III/22
tajam yaitu turun sebesar 6,0 persen menjadi US$ 39,0 miliar.
Penurunan laju pertumbuhan yang terjadi di tahun-tahun terakhir ini
erat kaitannya dengan adanya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap
mata uang utama dunia (Tabel III-3, III-3.A, dan Grafik III-2).
Perkembangan beberapa komoditi impor non migas (c.i.f.)
menurut golongan barang ekonomi dapat dilihat pada Tabel III-6 dan
III-6.A.
Komposisi impor non migas dari tahun ke tahun didominasi
oleh impor bahan baku dan penolong. Untuk tahun 1996 peranan
impor bahan baku dan penolong mencapai sekitar 68,6 persen dari
seluruh impor non migas, sedangkan dalam periode Januari September 1997 peranan impor tersebut mencapai 69,2 persen.
Peranan barang modal dan barang konsumsi untuk tahun 1996
masing-masing mencapai sebesar 24,6 persen dan 6,8 persen dari
seluruh. impor non migas. Dalam periode Januari - September 1997,
untuk kedua jenis golongan ekonomi ini peranannya masing-masing
sebesar 24,6 persen dan 6,2 persen.
Nilai impor bahan baku dan penolong terus menunjukkan
peningkatan seirama dengan semakin berkembangnya kegiatan
industri di dalam negeri. Pada tahun 1992 nilai impornya baru
sebesar US$ 16,6 miliar, kemudian menjadi US$ 27,0 miliar pada
tahun 1996 atau naik rata-rata sebesar 12,9 persen per tahun. Dalam
periode Januari - September 1997 impor kelompok barang ini
mencapai US$ 20,0 miliar, turun sebesar 0,7 persen dibandingkan
periode yang sama pada tahun 1996. Perlambatan ini terutama
disebabkan oleh menurunnya nilai impor bahan baku industri lainnya
dan bahan baku industri pangan & minuman masing-masing dari
US$ 12,5 miliar dan US$ 1,6 miliar pada Januari - September 1996
III/23
menjadi masing-masing sebesar US$ 12,1 miliar dan US$ 1,4 miliar
pada Januari - September 1997.
Dalam kurun waktu yang sama, impor barang modal
mengalami peningkatan dari US$ 7,4 miliar pada tahun 1992
menjadi sebesar US$ 9,7 miliar pada tahun 1996 atau meningkat
rata-rata sebesar 7,0 persen per tahun. Pada periode Januari September 1997, nilai impornya sama dengan periode sebelumnya
yaitu sebesar US$ 7,1 miliar. Dalam periode ini, kenaikan terbesar
dalam kelompok ini terjadi pada impor alat telekomunikasi, yaitu
sebesar 29,2 persen menjadi US$ 1,3 miliar dan impor peralatan
listrik sebesar 15,6 persen menjadi US$ 838,8 juta. Sedangkan impor
mesin industri dan barang modal lainnya turun sebesar 9,3 persen
menjadi US$ 4,0 miliar pada periode Januari - September 1997.
Impor kelompok barang konsumsi mengalami peningkatan dari
sebesar US$ 1,2 miliar pada tahun 1992 menjadi US$ 2,7 miliar
pada tahun 1996, atau meningkat dengan rata-rata 23,0 persen per
tahun. Dalam periode Januari - September 1997, nilai impornya
turun sebesar 21,9 persen menjadi US$ 1,8 miliar dibandingkan
periode yang sama tahun 1996. Dalam periode tersebut, nilai impor
pangan dan minuman turun sebesar 49,8 persen menjadi US$ 715,6
juta. Sementara itu impor barang konsumsi setengah dan tidak tahan
lama mengalami peningkatan sebesar 8,0 persen menjadi US$ 539,1
juta.
5.
Jasa-Jasa
Pada tahun 1993/94, neraca jasa-jasa neto mengalami defisit
sebesar US$ 10,3 miliar atau turun sebesar 2,2 persen dibandingkan
tahun sebelumnya. Dalam kurun waktu 4 tahun pelaksanaan Repelita
III/24
VI, neraca jasa-jasa neto tetap mengalami defisit dengan laju
pertumbuhan yang meningkat dengan rata-rata 9,7 persen per tahun
sehingga menjadi US$ 14,9 miliar pada tahun 1997/98. Dalam tahun
terakhir, defisit jasa-jasa non migas menurun dari US$ 10,7 miliar
pada tahun 1996/97 menjadi US$ 10,5 miliar pada tahun 1997/98.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, besarnya defisit pada tahun
1997/98 ini bersumber dari jasa-jasa pengangkutan barang impor
non migas yang meningkat sebesar 1,0 persen menjadi US$ 4,6
miliar. Sementara itu, defisit jasa-jasa di luar pengangkutan menurun
sebesar 4,5 persen menjadi US$ 5,9 miliar, sedangkan defisit jasajasa migas meningkat sebesar 24,3 persen menjadi US$ 4,4 miliar
pada tahun 1997/98. Di sisi penerimaan jasa-jasa non migas, dalam
periode 4 tahun terakhir tetap bertumpu pada sektor pariwisata dan
transfer penghasilan tenaga kerja Indonesia di Iuar negeri dan
perkembangannya dari tahun ke tahun tetap meningkat.
6.
Lalu Lintas Modal
Sampai tahun 1996/97 lalu lintas modal neto cenderung
meningkat dengan pesat. Apabila pada akhir Repelita V (1993/94)
aliran modal neto adalah surplus sebesar US$ 5,7 miliar maka pada
tahun 1996/97 meningkat menjadi surplus US$ 12,7 miliar.
Peningkatan aliran modal neto yang pesat disebabkan oleh
meningkatnya aliran modal neto sektor swasta. Lalu lintas modal
swasta tersebut berupa investasi langsung, investasi portfolio, serta
pinjaman luar negeri swasta berjangka waktu menengah dan panjang.
Namun dengan adanya krisis moneter, aliran modal neto
diperkirakan menurun menjadi defisit US$ 4,0 miliar pada tahun
1997/98, dan diperkirakan menjadi defisit kembali sebesar US$ 1,5
III/25
miliar dalam tahun 1998/99. Seiring dengan semakin baiknya iklim
investasi dan meningkatnya kepercayaan investor asing terhadap
kondisi ekonomi Indonesia secara keseluruhan, investasi langsung
meningkat dari US$ 3,0 miliar pada akhir Repelita V (1993/94)
menjadi US$ 4,0 miliar pada tahun 1994/95, kemudian meningkat
tajam menjadi US$ 7,1 miliar pada tahun 1995/96 dan mencapai
puncaknya pada tahun 1996/97 menjadi US$ 8,6 miliar. Akibat
terjadi krisis moneter investasi langsung diperkirakan turun menjadi
US$ 4,8 miliar pada tahun 1997/98.
Dalam pada itu, investasi swasta dalam bentuk portfolio
meningkat pula dengan pesat. Deregulasi dan penyempurnaan
peraturan pada institusi pasar modal menyebabkan Indonesia menjadi
tempat yang sangat menarik untuk investasi portfolio. Pada akhir
Repelita V (1993/94) modal lainnya, termasuk investasi portfolio,
hanya sekitar US$ 1,3 miliar, meningkat dengan tajam menjadi US$
6,5 miliar pada tahun 1995/96, selanjutnya agak menurun menjadi
US$ 4,2 miliar pada tahun 1996/97. Namun dengan adanya krisis
moneter, bursa saham mengalami gejolak yang cukup tajam. Indeks
penjualan harga saham gabungan menurun drastis, yang pada bulan
Juli 1997 masih di atas 700 menurun menjadi 387 pada bulan Januari
1998. Dengan terjadinya penurunan yang cukup besar tersebut
diperkirakan modal lainnya akan menurun drastis menjadi defisit
sebesar US$ 6,6 miliar pada tahun 1997/98.
Pemasukan modal pemerintah yang berasal dari pinjaman luar
negeri cenderung menurun selama 5 tahun terakhir ini, yaitu dari
US$ 6,2 miliar pada tahun 1993/94 menurun menjadi US$ 5,7
miliar pada tahun 1995/96, dan menurun lagi menjadi US$ 5,3 miliar
pada tahun 1996/97. Namun dengan terjadinya krisis moneter
dewasa i ni pemasukan modal pemer i nt ah di per ki r akan a kan
III/26
meningkat menjadi US$ 11,2 miliar pada tahun 1997/98.
Meningkatnya pemasukan modal pemerintah ini utamanya
disebabkan adanya bantuan program sebesar US$ 6,7 miliar dalam
rangka memperkuat posisi neraca pembayaran.
Selanjutnya, dalam upaya mempercepat pembayaran hutang
luar negeri yang berbunga cukup tinggi, pelunasan pokok pinjaman
pemerintah mengalami peningkatan dari US$ 5,1 miliar pada tahun
1993/94 menjadi US$ 6,1 miliar pada tahun 1996/97. Di tengah
krisis moneter ini pemerintah terus berupaya agar pembayaran cicilan
pinjaman pemerintah tetap dapat dilakukan sesuai dengan rencana.
Dalam tahun 1997/98 ini pelunasan pokok pinjaman berkisar US$
4,9 miliar. Sementara itu pelunasan pinjaman swasta meningkat dari
US$ 5,3 miliar pada tahun 1993/94 menjadi US$ 9,0 miliar pada
tahun 1995/96, dan meningkat lagi dengan tajam pada tahun 1997/98
menjadi US$ 18,0 miliar. Dengan demikian pelunasan pinjaman luar
negeri yang terdiri dari pokok dan bunga pinjaman pemerintah dan
swasta meningkat dari US$ 13,3 miliar pada tahun terakhir Repelita
V menjadi US$ 25,8 miliar pada tahun 1997/98.
Debt Service Ratio (DSR) swasta meningkat dari 12,8 persen
pada tahun 1993/94 menjadi 16,3 persen pada tahun 1995/96, dan
meningkat lagi dengan tajam pada tahun 1997/98 menjadi 27,4
persen. Sebaliknya DSR pemerintah cenderung menurun dari 19,1
persen pada tahun 1993/94, menjadi 16,4 persen pada tahun
1995/96, dan menurun lagi pada tahun 1997/98 menjadi 11,8
persen. Secara keseluruhan DSR swasta dan pemerintah mengalami
peningkatan dari 31,9 persen pada tahun 1993/94, menjadi 32,7
persen pada tahun 1995/96, dan meningkat lagi pada tahun 1997/98
menjadi 39,2 persen. Dengan meningkatnya kewajiban pelunasan
pinjaman yang dilakukan oleh swasta, akan sangat sukar untuk
III/27
mencapai sasaran DSR keseluruhan sebesar 24,0 persen pada akhir
Repelita VI.
7.
Perkembangan Pinjaman Luar Negeri
Pinjaman luar negeri, baik pemerintah maupun swasta,
walaupun hanya merupakan pelengkap, merupakan sumber
pembiayaan pembangunan yang penting. Pinjaman luar negeri,
seperti diamanatkan oleh GBHN 1993, tidak boleh mempunyai
ikatan politik dan digunakan untuk kegiatan produktif, serta
senantiasa mempertimbangkan batas-batas kemampuan ekonomi
nasional.
Pada akhir Repelita V (1993/94) persetujuan pinjaman
pemerintah adalah sebesar US$ 8,3 miliar, kemudian meningkat
menjadi US$ 8,5 miliar pada tahun 1994/95, dan meningkat lagi
menjadi US$ 8,7 miliar pada tahun 1995/96, selanjutnya menurun
menjadi US$ 8,5 miliar pada tahun 1996/97. Sampai bulan
Desember 1997, posisi persetujuan pinjaman pemerintah sebesar
US$ 5,8 miliar. Ditinjau dari komposisi pinjaman, persetujuan
pinjaman luar negeri pemerintah sebagian besar tetap dalam bentuk
pinjaman lunak dan pinjaman tunai. Hal ini merupakan perwujudan
dari kebijaksanaan pinjaman luar negeri yang berhati-hati dengan
senantiasa memperhatikan kemampuan untuk membayar kembali
(Tabel III-8, III-8.A, III-9, dan III-9.A).
Pada awal Repelita VI (1994/95) persetujuan bantuan proyek
adalah sebesar US$ 5,0 miliar dan meningkat menjadi US$ 5,3 miliar
pads tahun 1997/98. Sedangkan persetujuan pinjaman setengah
lunak dan komersial, termasuk kredit ekspor, turun cukup tajam,
yaitu dari US$ 3,3 miliar pada tahun 1994/95 menjadi hanya
III/28
US$ 516,1 juta pada tahun 1997/98. Penurunan cukup tajam ini
antara lain disebabkan oleh makin ketatnya kriteria persetujuan kredit
ekspor oleh Tim PKLN. Kebijaksanaan ini sesuai dengan tekad
untuk mengelola ekonomi makro secara berhati-hati.
Besarnya hutang Indonesia (debt stock) pada posisi 31 Maret
1994 adalah sebesar US$ 83,3 miliar, yang terdiri dari US$ 55,0
miliar (66,1 persen dari keseluruhan hutang) merupakan pinjaman
pemerintah dan US$ 28,3 miliar (33,9 persen) adalah pinjaman
swasta. Prospek perekonomian nasional yang cerah, iklim investasi
yang sehat, dan suku bunga dalam negeri yang tinggi telah
mendorong pinjaman luar negeri swasta terus meningkat setiap
tahunnya. Pada posisi 31 Desember 1997, jumlah hutang pemerintah
adalah sebesar US$ 53,8 miliar atau 39;2 persen, sedangkan hutang
swasta (dunia usaha) adalah sebesar US$ 83,6 miliar atau 60,8
persen dari keseluruhan hutang (Tabel III-10).
D.
PENUTUP
Kebijaksanaan neraca pembayaran bersama dengan kebijaksanaan fiskal dan moneter merupakan pilar kebijaksanaan
ekonomi makro yang besar peranannya dalam menjamin pembangunan yang berkelanjutan. Tantangan dan peluang dari perkembangan perekonomian dunia serta dinamika dalam perekonomian
nasional merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijaksanaan
neraca pembayaran.
Dalam kurun waktu 1993/94 dan 1994/95 - t996/97, perkembangan neraca pembayaran Indonesia tetap mantap. Defisit
transaksi berjalan, yang merupakan hasil interaksi antara per -
III/29
kembangan ekspor dan impor barang dan jasa, walaupun meningkat
namun tetap terkendali. Keseluruhan arus modal masuk neto dari
luar negeri, yang terdiri dari arus modal pemerintah dan arus modal
swasta, terus mengalami peningkatan , setiap tahunnya, sehingga
dapat mengimbangi dan bahkan melebihi besarnya defisit transaksi
berjalan. Dengan demikian secara keseluruhan posisi neraca
pembayaran Indonesia tetap mengalami surplus, dan jumlah
cadangan devisa senantiasa meningkat setiap tahunnya sehingga
membantu terciptanya stabilitas ekonomi makro. Pada tahun 1997/98
sebagai akibat gejolak moneter, yang terjadi sejak pertengahan tahun
1997, defisit dalam keseluruhan neraca pembayaran tidak dapat
dihindarkan, sehingga cadangan devisa mengalami penurunan,
namun tetap masih dalam batas yang man.
Dalam bidang perdagangan luar negeri, pada akhir Repelita V
(1993/94), nilai ekspor mencapai US$ 36,5 miliar, dan terus
meningkat selama periode 1994/95-1996/97 hingga mencapai US$
52,0 miliar pada tahun 1996/97, selanjutnya mencapai US$ 56,0
miliar pada tahun 1997/98. Dengan demikian selama empat tahun
pelaksanaan Repelita VI nilai ekspor keseluruhan telah meningkat
rata-rata sebesar 11,3 persen per tahun. Namun, realisasi
peningkatan nilai ekspor tersebut masih di bawah sasaran Repelita VI
yang rata-rata sebesar 13,7 persen per. tahun. Dalam kurun waktu
yang sama nilai ekspor migas dan non migas telah meningkat masingmasing dengan 4,2 persen dan 13,4 persen per tahun. Jika
dibandingkan dengan sasaran Repelita VI, realisasi peningkatan nilai
ekspor migas jauh di atas sasarannya yang sebesar 2,0 persen per
tahun, sedangkan untuk ekspor non migas berada di bawah
sasarannya sebesar 16,8 persen per tahun.
III/30
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada beberapa tahun
terakhir telah mendorong peningkatan impor dari tahun ke tahun.
Pada tahun 1993/94, nilai impor mencapai US$ 29,1 miliar, dan
meningkat terus setiap tahunnya selama periode 1994/95 - 1996/97
hingga mencapai US$ 45,8 miliar pada tahun 1996/97, dan
selanjutnya mencapai US$ 45,3 miliar pada tahun 1997/98. Dengan
demikian selama empat tahun pelaksanaan Repelita VI nilai impor
telah meningkat rata-rata sebesar 11,7 persen per tahun, yang berarti
jauh di bawah sasaran Repelita VI sebesar 14,7 persen per tahun.
Neraca jasa-jasa (neto) mengalami defisit dari US$ 10,3 miliar
pada tahun 1993/94, dan kemudian US$ 11,5 miliar pada tahun
1994/95, selanjutnya terus meningkat setiap tahunnya sehingga
menjadi US$ 14,3 miliar pada tahun 1996/97. Pada tahun 1997/98
defisit neraca jasa-jasa (neto) mencapai US$ 14,9 miliar. Dengan
demikian walaupun selama empat tahun pelaksanaan Repelita VI
neraca perdagangan barang mengalami surplus setiap tahunnya,
namun karena besarnya defisit neraca jasa-jasa yang dialami oleh
Indonesia maka transaksi berjalan mengalami defisit setiap tahunnya.
Pada tahun 1993/94, defisit transaksi berjalan telah mencapai
US$ 2,9 miliar (1,9 persen terhadap PDB). Memanasnya suhu
perekonomian pada tahun 1994/95 - 1996/97 telah meningkatkan
defisit neraca transaksi berjalan masing-masing sebesar US$ 3,5
miliar pada tahun 1994/95, US$ 7,0 miliar 1995/96, dan US$ 8,1
miliar pada tahun 1996/97, atau masing-masing sekitar 2,0 persen,
3,4 persen, dan 3,5 persen terhadap PDB. Selanjutnya pada tahun
1997/98, dengan menurunnya nilai impor, defisit transaksi berjalan
menurun menjadi US$ 4,3 miliar atau sekitar 2,2 persen terhadap
PDB. Dengan demikian sudah mendekati kembali sasaran defisit
transaksi berjalan sebesar 1,9 persen terhadap PDB di akhir Repelita
VI
III/31
Bersamaan dengan itu dalam neraca modal, surplus arus modal
neto mencapai US$ 5,7 miliar pada tahun 1993/94 lalu sedikit
menurun pada tahun 1994/95 menjadi US$ 4,7 miliar dan meningkat
pesat menjadi US$ 12,7 miliar pada tahun 1996/97. Sebagai
akibatnya secara keseluruhan neraca pembayaran tetap mengalami
surplus dalam 3 tahun pertama pelaksanaan Repelita VI. Dalam
kurun waktu tersebut cadangan devisa meningkat setiap tahunnya
dan cukup untuk membiayai sekitar 4,7 sampai 5,0 bulan impor
non migas. Krisis moneter yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997
telah menyebabkan arus modal neto mengalami defisit sebesar US$
4,0 miliar pada tahun 1997/98, yang terdiri dari defisit arus modal
neto swasta sebesar US$ 10,4 miliar dan surplus arus modal
pemerintah sebesar US$ 6,4 miliar. Sebagai akibatnya, aktiva luar
negeri bruto pada akhir periode 1997/98 menurun menjadi sebesar
US$ 17,2 miliar, namun masih cukup untuk membiayai sekitar 4,5
bulan impor non migas.
Stok hutang Indonesia secara keseluruhan mencapai US$ 83,3
miliar pada akhir 31 Maret 1994, selanjutnya meningkat menjadi
US$ 101,3 miliar pada akhir Maret 1995, dan menjadi US$ 136,1
miliar pada akhir Desember 1997. Hutang pemerintah menurun dari
US$ 55,0 miliar (66,1 persen dari keseluruhan hutang) pada akhir
Maret 1994 menjadi US$ 54,1 miliar (39,8 persen) pada akhir
Desember 1997. Pada periode yang sama, hutang swasta (dunia
usaha) meningkat dari US$ 28,3 miliar (33,9 persen dari keseluruhan
hutang) menjadi US$ 82,0 miliar (60,2 persen). Depresiasi Rupiah
yang cukup tajam sejak pertengahan tahun 1997 sangat memberatkan
kewajiban pelunasan hutang-hutang swasta jangka pendek yang
sebagian besar tidak dilindungi dari gejolak mata uang (hedging).
Untuk mengatasi permasalahan hutang swasta yang memprihatinkan
ini telah dibentuk suatu tim negosiasi dengan para kreditor.
III/32
Selanjutnya, Debt Service Ratio (DSR) sektor swasta
meningkat dari 12,8 persen pada tahun 1993/94 menjadi 27,4 persen
pada tahun 1997/98. Sebaliknya DSR sektor pemerintah cenderung
menurun dari 19,1 persen pada tahun 1993/94, menjadi 11,8 persen
pada tahun 1997/98. Secara keseluruhan DSR swasta dan
pemerintah mengalami peningkatan dari 31,9 persen pada tahun
1993/94, menjadi 39,2 persen pada tahun 1997/98. Dengan
meningkatnya kewajiban pelunasan pinjaman yang dilakukan oleh
swasta, akan sangat sukar untuk mencapai sasaran DSR keseluruhan
sebesar 24,0 persen pada akhir Repelita VI.
III/33
TABEL III - 1
NERACA PEMBAYARAN
1992/93, 1993/94, 1994/95 - 1997/98
(juta US dolar)
III/34
TABEL III – 1.A
NERACA PEMBAYARAN
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89
III/35
TABEL III – 2
NILAI EKSPOR (F.O.B)
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(juta US dolar)
III/36
GRAFIK III – 1
PERKEMBANGAN NILAI EKSPOR (F.O.B)
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
III/37
TABEL III – 2.A
NILAI EKSPOR (F.O.B)
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89
(Juta US dolar)
III/38
TABEL III – 3
NILAI IMPOR (F.O.B)
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(Juta US dolar)
III/39
GRAFIK III – 2
PERKEMBANGAN NILAI IMPOR (F.O.B)
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
III/40
TABEL III – 3.A
NILAI IMPOR (F.O.B)
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89
(Juta US dolar)
III/41
TABEL III – 4
NILAI BEBERAPA BARANG EKSPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(Juta US dolar)
III/42
TABEL III – 4.A
NILAI BEBERAPA BARANG EKSPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89
(Juta US dolar)
III/43
TABEL III – 5
HARGA RATA-RATA BEBERAPA JENIS BARANG EKSPOR
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
III/44
TABEL Ill – 5.A
HARGA RATA-RATA BEBERAPA JENIS BARANG EKSPOR
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89
III/45
TABEL III – 6
PERKEMBANGAN IMPOR DI LUAR SEKTOR MINYAK DAN GAS BUMI
MENURUT GOLONGAN EKONOMI (C.L.F) 1)
1992, 1993, 1994 – 1997
(Juta US dolar)
III/46
GRAFIK III – 3
PERKEMBANGAN IMPOR DI LUAR SEKTOR MINYAK DAN GAS BUMI
MENURUT GOLONGAN EKONOMI (C.I.F)
1992, 1993, 1994 – 1997
III/47
TABEL III – 6.A
PERKEMBANGAN IMPOR DI LUAR SEKTOR MINYAK DAN GAS BUMI
MENURUT GOLONGAN EKONOMI (C.L.F) 1)
1968, 1973, 1978, 1983, 1988
(Juta US dolar)
III/48
TABEL III – 7
PELUNASAN PINJAMAN LUAR NEGERI INDONESIA
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
III/49
TABEL III- 8
PERKEMBANGAN PERSETUJUAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH 1)
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(Juta US dolar)
III/50
TABEL III- 8
PERKEMBANGAN PERSETUJUAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89
(Juta US dolar)
TABEL III – 9
PERSETUJUAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH 1)
1992/93, 1993/1994, 1994/95 – 1997/98
(Juta US dolar)
TABEL III – 9.A
PERSETUJUAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH 1)
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89
(Juta US dolar)
III/53
TABEL III – 10
POSISI PINJAMAN LUAR NEGERI INDONESIA
Maret 1993 – Desember 1997
(Juta US dolar)
III/54
Download