BAB II Tinjauan Pustaka

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebakaran Hutan
2.1.1. Definisi Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan merupakan kejadian alam yang bermula dari proses reaksi secara
cepat antara oksigen, sumber penyulutan, dan bahan bakar hutan yang ditandai dengan
panas serta habisnya bahan bakar hutan (Brown dan Davis 1973). Menurut Clar dan
Chatten (1954) terdapat tiga unsur yang dapat menyebabkan terjadinya kebakaran. Tiga
unsur tersebut biasa disebut segitiga api, yaitu bahan bakar (fuel), oksigen (O2), dan
sumber panas (heat). Segitiga api dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
Bahan bakar
API
Oksigen
Sumber panas
Gambar 1 Segitiga api (Clar dan Chatten 1954)
Proses kebakaran merupakan kebalikan dari proses fotosintesis yang dijelaskan oleh
rumus kimia sebagai berikut :
Proses fotosintesis :
6CO2 + 6H2O + Energi Matahari → (C6H12O6) + 6O2
Proses kebakaran :
(C6H12O6) + 6O2 + panas → 6CO2 + 6H2O + Energi Panas
2.1.2. Proses Kebakaran Hutan
Fase kebakaran hutan menurut De Bano, Neray, dan Folliot (1998) terdiri dari :
a. Pre-ignition
Bahan bakar mulai terpanaskan, kering dan mulai mengalami pelepasan uap air,
CO2, dan gas-gas yang mudah terbakar termasuk methane, methanol, dan hidrogen.
Dalam proses ini reaksi berubah dari exothermic atau melepaskan panas menjadi
endothermic atau memerlukan panas.
b. Flamming
Oksidasi dari gas-gas yang mudah terbakar dipercepat. Gas-gas yang mudah
terbakar dan uap air mengakibatkan pirolisis atau pelepasan uap air, CO2, dan gas-gas
yang mudah terbakar meningkat di sekitar bahan bakar termasuk O2. Terjadi pembakaran
pada tahap ini yang ditandai dengan mulai menyalanya api. Api dapat merambat dengan
cepat akibat adanya hembusan angin.
c. Smoldering
Laju penjalaran api mulai menurun akibat bahan bakar tidak dapat menyuplai
gas-gas yang dapat terbakar dengan cukup dan pada laju yang dibutuhkan untuk
pembakaran. Kemudian panas yang dilepaskan menurun dan suhunya pun menurun. Hal
ini menyebabkan gas-gas lebih banyak berkondensasi kedalam asap.
d. Glowing
Pada fase ini sebagian besar gas-gas yang mudah menguap akan hilang dan
oksigen mengadakan kontak langsung dengan permukaan dari bahan bakar yang
mengarang. Fase ini merupakan fase akhir dari smoldering, hasilnya adalah CO, CO2, dan
abu sisa pembakaran.
e. Extinction
Pada fase ini, kebakaran akan berhenti ketika semua bahan bakar yang tersedia
telah dikonsumsi atau pada saat panas yang dihasilkan dalam proses smoldering atau
glowing tidak cukup lagi untuk menguapkan sejumlah air yang diperlukan dari bahan
bakar yang lembab atau basah.
2.1.3. Tipe Kebakaran Hutan
Berdasarkan posisinya dari permukaan tanah, kebakaran hutan dibedakan menjadi
tiga tipe (Brown dan Davis 1973) yaitu :
a. Kebakaran Tajuk
Api menjalar antar tajuk pohon atau antar semak. Kebakaran permukaan sulit
ditanggulangi karena proses penjalarannya cepat. Sangat terpengaruh oleh angin.
Kebakaran tipe ini dapat mengakibatkan api loncat sehingga dapat menimbulkan
kebakaran di daerah lain. Kebakaran tajuk dapat dipicu dari kebakaran permukaan yang
tertiup angin dan membakar tajuk pepohonan.
b. Kebakaran Permukaan
Api membakar serasah, tumbuhan bawah, semak-semak, dan anakan. Kebakaran
permukaan paling umum terjadi karena kebakaran hutan biasanya dimulai dari kebakaran
permukaan. Semakin banyak bahan bakar yang terakumulasi pada permukaan, semakin
besar dampak kematian pada semak dan pohon. Kebakaran permukaan terpengaruh kuat
oleh angin sehingga suplai oksigen bertambah.
c. Kebakaran Bawah
Api terjadi di bawah permukaan tanah, membakar bahan organik yang menjadi
lapisan tanah, serta membunuh tanaman dengan membakar pertumbuhan akar pada tanah
organik. Kebakaran bawah dapat menjadi sumber pemicu bagi kebakaran permukaan.
Kebakaran bawah berjalan dengan lambat, dan tidak terpengaruh oleh angin, serta tidak
diiringi dengan api. Kebakaran seperti ini banyak terjadi pada tanah gambut.
2.1.4. Faktor Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan
Terdapat dua faktor utama penyebab kebakaran hutan, yaitu faktor alam dan faktor
manusia. Menurut Suratmo (1974) faktor penyebab kebakaran dapat dibedakan menjadi
tiga, yaitu :
1. Faktor ketidak sengajaan, seperti :
a. Api dari perkemahan
b. Api dari pekerja hutan
c. Api dari bara kereta api
d. Obor yang dibuang tanpa dipadamkan
2. Faktor kesengajaan, seperti :
a. Perburuan
b. Perladangan
c. Untuk memperoleh rumput muda
d. Ketidaksukaan
e. Mengalihkan perhatian dari maksud sebenarnya
3. Faktor alam, seperti :
a. Api dari petir
b. Api dari gunung berapi
c. Cuaca kering dan panas
2.2. Perlindungan Hutan
Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan,
kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak,
kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga
hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan,
investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan (PP No. 45 tahun
2004).
Perlindungan hutan bertujuan untuk menjaga hutan, hasil hutan, kawasan hutan dan
lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai
secara optimal dan lestari. Prinsip-prinsip perlindungan hutan meliputi :
a. Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang
disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama
dan penyakit.
b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara dan masyarakat atas hutan,
kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan
pengelolaan hutan.
Kegiatan-kegiatan perlindungan hutan antara lain adalah :
a. Pencegahan gangguan dari pihak lain yang tidak berhak.
b. Pencegahan, pemadaman dan penanganan dampak kebakaran.
c. Penyediaan personil dan sarana prasarana perlindungan hutan.
d. Mempertahankan dan memelihara sumber air.
e. Melakukan kerjasama dengan sesama pemilik hutan hak, pengelola kawasan
hutan, pemegang izin pemanfaatan hutan, pemegang izin pemungutan, dan
masyarakat.
2.3. Pengendalian Kebakaran Hutan
Pengendalian kebakaran hutan merupakan semua aktifitas untuk melindungi hutan
dari kebakaran liar maupun penggunaan api secara sengaja, dalam upaya mencapai tujuan
yang telah ditetapkan dalam pengelolaan hutan (ITTO 1999). Menurut PP Nomor 45
tahun 2004 tentang perlindungan hutan, kegiatan pengendalian kebakaran hutan meliputi
tindakan pencegahan, tindakan pemadaman, dan tindakan penanganan pasca kebakaran.
Kegiatan pengendalian kebakaran hutan itu sendiri dilakukan pada tingkat nasional,
provinsi, kabupaten/kota, dan unit atau kesatuan pengelolaan hutan.
Dalam pelaksanaan pengendalian kebakaran hutan, Pemerintah membentuk
lembaga pengendalian kebakaran hutan pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan unit
pengelolaan hutan, yang kemudian disebut brigade pengendalian kebakaran hutan
(PP No. 45 tahun 2004). Brigade tersebut bertugas menyusun dan melaksanakan program
pengendalian kebakaran hutan. Koordinasi dan tata hubungan kerja brigade pengendalian
kebakaran hutan diatur oleh Keputusan Menteri.
Adapun strategi yang mungkin dilakukan dalam upaya pengendalian kebakaran
(Saharjo 2002) antara lain :
1. Pembentukan lembaga pengendalian kebakaran yang independen
Perlu dibangun lembaga yang bertanggung jawab langsung terhadap upaya
pengendalian kebakaran hutan pada tingkat nasional, propinsi, dan
kabupaten berdasarkan hirarkinya.
2. Implementasi pelaksanaan kegiatan tanpa intervensi
Lembaga
ini
bertanggung
jawab
terhadap
pelaksanaan
kegiatan
pengendalian kebakaran hutan berdasarkan SOP yang ada. Kegiatan yang
dilakukan semata-mata untuk menekan timbulnya asap sehingga dampak
negatif yang ada ditekan seminimal mungkin.
3. Upaya pengendalian bersama masyarakat
Menjadikan upaya pengendalian kebakaran hutan merupakan kegiatan yang
tidak hanya melarang masyarakat untuk tidak membakar tapi merupakan
kegiatan yang harus dilaksanakan untuk kepentingan bersama.
4. Political will pemerintah
Pemerintah pusat diharapkan benar-benar memiliki political will dalam
upaya pengendalian kebakaran hutan termasuk upaya penegakan hukum
serta penerapan sanksi yang tegas terhadap semua pelaku di lapangan.
2.3.1. Pencegahan Kebakaran Hutan
Pencegahan kebakaran hutan adalah semua usaha, tindakan, dan kegiatan yang
dilakukan untuk mencegah dan mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan
(Dirjen PHPA 1983). Menurut Husaeni (2003) terdapat tiga metode pencegahan
kebakaran hutan yaitu metode pendidikan, metode perundang-undangan, dan metode
pendekatan secara teknis, yang masing-masing dipaparkan dalam penjelasan berikut :
1. Pendidikan
Fokus dari metode pendidikan ini adalah upaya pengenalan dan peningkatan
kesadaran tentang bahaya, akibat, dan besarnya kerugian akibat kebakaran hutan;
sumber api sebagai penyebab kebakaran hutan; serta cara-cara pencengahannya.
Sasaran dari metode ini adalah masyarakat umum khususnya masyarakat sekitar
hutan.
2. Perundang-undangan
Segala peraturan dan undang-undang terkait pencegahan kebakaran hutan
haruslah ditegakkan secara sungguh-sungguh, adil, dan tidak pandang bulu.
Perundangan ini sebaiknya didukung dengan upaya penyuluhan terkait
pemasyarakatan peraturan-peraturan terkait.
3. Pendekatan secara teknis
Maksud dari metode ini adalah upaya pencegahan kebakaran yang dititik
beratkan pada kegiatan-kegiatan di lapangan. Metodenya terdiri dari dua yakni
manajemen bahan bakar meliputi isolasi bahan bakar, modifikasi bahan bakar,
maupun pengurangan bahan bakar; dan penerapan teknik silvikultur meliputi
penyiangan, pendangiran, pemupukan untuk mempercepat penutupan tajuk,
pemangkasan cabang untuk memutus kontinuitas vertikal bahan bakar, bahkan
penerapan sistem Tumpang Sari untuk penanaman.
Menurut Sumantri (2003) metode pencegahan kebakaran hutan dikelompokan
menjadi pokok-pokok pencegahan kebakaran hutan meliputi :
1. Upaya untuk menggarap manusia sebagai sumber api yang dapat dilakukan
dengan peningkatan pendapatan dan pendidikan, pola penyadaran dan
pembinaan, mendorong proses peran serta masyarakat, rekayasa sosial, dan
penegakan peraturan;
2. Upaya untuk memodifikasi pemicu bahan bakar seperti kayu, gambut, batu
bara, melalui teknik silvikultur, manajemen bahan bakar, fuel break, green
belt, maupun perencanaan sistem pengairan pada lahan gambut yang sesuai
tapak;
3. Upaya untuk kewaspadaan seperti pemasangan rambu-rambu, patroli,
memantau indeks kekeringan, peringatan dini, apel siaga; dan
4. Upaya untuk kesiap-siagaan dengan pengadaan sarana dan prasarana, metode
dalam pencegahan, pendanaan, pengembangan Sumber Daya Manusia,
pelatihan, simulasi.
Pencegahan kebakaran hutan pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan produksi,
kesatuan pengelolaan hutan lindung, izin pemanfaatan hutan, izin penggunaan kawasan
hutan dan hutan hak, antara lain melakukan inventarisasi lokasi rawan kebakaran hutan;
menginventarisasi faktor penyebab kebakaran; menyiapkan regu-regu pemadam
kebakaran; membuat prosedur tetap pemadaman kebakaran hutan; mengadakan sarana
pemadaman kebakaran hutan; dan membuat sekat bakar (PP No. 45 tahun 2004).
2.3.2. Pemadaman Kebakaran Hutan
Pemadaman kebakaran hutan adalah semua tindakan yang baru dapat dilakukan
apabila telah diketahui adanya kebakaran hutan dan diketahui pula letaknya (Suratmo
1974). Menurut ITTO (1999) terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
pemadaman kebakaran hutan antara lain deteksi kebakaran hutan, komunikasi, penyiapan
organisasi pemadaman kebakaran, pelatihan petugas, penyiapan peralatan, dan penyiapan
logistik, serta penyiapan lapangan. Prinsip dasar pemadaman kebakaran hutan terdiri dari
dua langkah yaitu menghentikan penjalaran api dan memadamkan seluruh api (Anonim
1977). Prinsip dasar menghentikan penjalaran api yaitu menghilangkan satu atau lebih
unsur dari segitiga api sehingga api tidak dapat menyala. Cara-cara yang dapat ditempuh
antara lain dengan pendinginan bahan bakar, pengurangan oksigen dengan memukul
nyala api, menutupi dengan tanah, menyiram dengan air, menghilangkan pasokan bahan
bakar. Sedangkan prinsip dasar memadamkan seluruh api dapat dilakukan dengan caracara seperti :
1. Metode jalur
Yaitu membuat jalur mekanik dengan membersihkan bahan-bahan yang
mudah terbakar. Jalur dibuat melintang atau memotong arah menjalarnya api
sehingga penjalaran api akan terhenti. Lebar jalur mekanis adalah 10 sampai
15 meter.
2. Metode pembakaran balik
Yaitu membuat jalur mekanik yang tidak lebar terlebih dahulu, kemudian
dilebarkan dengan pembakaran ke arah berlawanan datangnya api. Lebar jalur
mekanis ini adalah satu sampai dua meter.
3. Metode pemadaman api secara langsung
Yaitu dengan memadamkan bahan bakar yang telah terbakar dengan air,
bahan kimia, atau tanah; atau memisahakan bahan bakar yang belum terbakar.
Metode ini dilaksanakan pada tepi api di areal kebakaran dan apabila skala
nyala api masih kecil serta tenaga pemadam berjumlah besar.
Menurut ITTO (1999) terdapat dua metode pemadaman kebakaran hutan yaitu
metode pemadaman langsung dan pemadaman tidak langsung. Perbedaan dasar dari
kedua metode ini adalah dalam hal penempatan lokasi ilaran api terhadap tepi api
kebakaran. Pada pemadaman langsung dilakukan pada tepi areal kebakaran, bahan bakar
yang terbakar dipadamkan atau dipisahkan dari bahan bakar yang belum terbakar.
Sedangkan pemadaman tidak langsung dilakukan pada bahan bakar yang tidak terbakar
yang letaknya diluar tepi api kebakaran.
Setiap Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin Penggunaan Kawasan
Hutan, Pemilik Hutan Hak, dan atau Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, berkewajiban
melakukan rangkaian tindakan pemadaman dengan cara (PP No. 45 tahun 2004) :
a. Melakukan deteksi terjadinya kebakaran hutan
b. Mendayagunakan seluruh sumberdaya yang ada
c. Membuat sekat bakar dalam rangka melokalisir api
d. Memobilisasi masyarakat untuk mepercepat pemadaman
Untuk membatasi meluasnya kebakaran hutan dan mempercepat pemadaman
kebakaran setiap orang yang berada di dalam dan di sekitar hutan wajib melaporkan
kejadian kebakaran hutan kepada Kepala Desa setempat, Petugas Kehutanan, Kepala
Kesatuan Pengelolaan Hutan, Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin
Penggunaan Kawasan Hutan atau Pemilik Hutan Hak; dan membantu memadamkan
kebakaran hutan (PP No. 45 tahun 2004).
2.3.3. Penanganan Pasca Kebakaran Hutan
Penanganan pasca kebakaran hutan meliputi kegiatan identifikasi dan evaluasi,
rehabilitasi, dan penegakan hukum (PP No. 45 tahun 2004). Kegiatan identifikasi dan
evaluasi yang dilakukan berupa pengumpulan data dan informasi terjadinya kebakaran;
pengukuran dan sketsa lokasi kebakaran; dan analisis tingkat kerusakan dan rekomendasi.
Berdasarkan hasil kegiatan identifikasi dan evaluasi maka dilakukan kegiatan rehabilitasi
yang dilakukan oleh Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, Pemegang Izin Pemanfaatan
Hutan, Pemegang Izin Penggunaan Kawasan Hutan, atau Pemilik Hutan Hak.
Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin Penggunaan Kawasan Hutan,
atau Pemilik Hutan Hak bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal
kerjanya. Pertanggungjawaban yang dimaksud meliputi tanggung jawab pidana, tanggung
jawab perdata, membayar ganti rugi, dan atau sanksi administrasi. Penegakan hukum
terhadap tindakan pidana kebakaran hutan dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2.3. Peran Masyarakat
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu
sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan yang terikat oleh rasa identitas
bersama (Koentjaraningrat 1990). Menurut Soekanto (1990) masyarakat lokal menunjuk
pada bagian masyarakat yang bertempat tinggal pada suatu wilayah dengan faktor utama
yang menjadi dasar adalah interaksi yang lebih besar anggotanya dibandingkan penduduk
luar. Dasar masyarakat lokal adalah lokalitas; dan perasaan masyarakat lokal seperti
seperasaan, sepenanggungan, dan saling memerlukan.
Masyarakat desa hutan adalah kelompok orang yang bertempat tinggal di desa
hutan dan melakukan aktifitas yang berinteraksi dengan sumber daya hutan untuk
mendukung kehidupannya (Perum Perhutani 2001). Masyarakat di dalam dan sekitar
hutan, disebut juga masyarakat setempat, adalah penduduk yang bermukim di dalam dan
sekitar hutan yang memiliki kesatuan komunitas sosial dengan kesamaan mata
pencaharian yang bergantung pada hutan dan aktifitasnya dapat berpengaruh terhadap
ekosistem hutan.
Pemberdayaan masyarakat adalah serangkaian upaya strategi dalam rangka
memperluas akses masyarakat terhadap sumber daya pembangunan melalui penciptaan
peluang-peluang yang seluas-luasnya agar masyarakat lapisan bawah mampu
berpartisipasi (Sumodiningrat 1999). Pemberdayaan masyarakat dimaksudkan untuk
pengembangan kapasitas dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
Tujuan dari pemberdayaan masyarakat antara lain :
1. Menciptakan masyarakat mandiri dan berkeadilan
2. Meningkatkan kapasitas masyarakat
3. Kemandirian menginginkan sedapat mungkin masyarakat menggunakan
sumber daya yang tersedia dari dalam komunitas itu sendiri dan
meminimalisasi penggunaan sumber daya dari luar
Pemberdayaan merupakan upaya untuk membangun daya dengan mendorong,
memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya
untuk mengembangkannya (Kartasasmita 1996). Pemberdayaan masyarakat harus selalu
memaksimalkan partisipasi, dimana setiap orang dalam komunitas itu dapat dilibatkan
dalam proses dan kegiatan dalam komunitas tersebut. Semakin banyak orang yang
berpartispasi semakin tinggi rasa kepemilikan dan tanggung jawabnya. Pemberdayaan
masyarakat dapat ditempuh melalui tahapan pemberdayaan sosial, partisipasi sosial,
kemitraan sosial, dan advokasi sosial (Safwan 2002). Pemberdayaan sosial adalah
peningkatan kemampuan individu maupun masyarakat dalam menangani permasalahan
sosial. Kemitraan sosial adalah mengembangkan jalinan kerja sama atas dasar kesetaraan
dan kebersamaan melalui suatu jaringan kerja antar lintas pelaku. Partisipasi sosial adalah
mengembangkan prakarsa, peran aktif, dan swadaya masyarakat dalam seluruh proses
kegiatan. Advokasi sosial adalah memberikan fasilitas dan perlindungan serta pembelaan
terhadap individu maupun masyarakat untuk berperan aktif dalam kesejahteraan sosial.
Download