ANALISA RANTAI PASOKAN AGROINDUSTRI TEPUNG UBI JALAR NISA ZAHRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisa Rantai Pasokan Agroindustri Tepung Ubi Jalar adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juni 2011 Nisa Zahra NRP F351060071 ABSTRACT NISA ZAHRA. Study on the Supply Chain of Sweet Potato Flour Industry. Under direction of YANDRA ARKEMAN, TITI CANDRA SUNARTI, and ADE FEBRANSYAH Indonesian people are well known in consuming rice as their staple food. As the national food security becomes very demanding on the rice sufficiency, this situation is growing a problem as rice supply is becoming limited. The government has actually made a serious effort to solve this problem by establishing food diversification programs, such as developing flour agro industry based on local commodities to support the national food security. One of the most potential local commodities of carbohydrate source is sweet potato, as Indonesia is the 4th biggest sweet potato producer in the world (FAO 2007). The implementation of supply chain management in developing the sweet potato flour agro industry is becoming very important. Various parties will be involved in this industry, their requirements need to be fulfilled, and their expectations need to be satisfied. Starting from the farmers producing sweet potato tubers, until the industry producing the sweet potatoes flour. Managing supply chain is about meeting supply to demand, to result higher supply chain surplus among all the parties involved so that this agro industry is hopefully becoming attractive for the parties involved. This research is presenting the characteristic of sweet potato, sweat potato flour, and its potency as the raw material for food industry. The present condition of sweet potato business and sweet potato flour supply chain was also studied, taking West Java as a sample case of study. And as an addition, an efficient supply chain management of sweet potato flour agro industry is designed to become a recommendation, or one of consideration for building the sweet potato flour agro industry. According to this research, sweet potato has good potency to be the raw material of flour industry, but the present supply chain needs to be improved to get the optimum result and advantage. Keywords: supply chain, sweet potato flour, plant location, optimization, Stella® Simulation RINGKASAN NISA ZAHRA. Analisa Rantai Pasokan Agroindustri Tepung Ubi jalar. Dibimbing oleh YANDRA ARKEMAN, TITI CANDRA SUNARTI, dan ADE FEBRANSYAH. Ketahanan pangan telah menjadi isu yang sangat penting bagi hampir setiap negara di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Masyarakat Indonesia memang telah dikenal mengkonsumsi beras sebagai makanan pokoknya. Maka ketika permintaan atas beras lebih besar daripada pasokannya, timbulah masalah yang dapat mengancam ketahanan pangan nasional. Padahal, beras bukan satu-satunya komoditas pemenuh kebutuhan gizi masyarakat. Upaya pemerintah dalam membangun diversifikasi konsumsi pangan sesungguhnya telah dilakukan sejak tahun 1960-an, saat pemerintah mulai menganjurkan konsumsi bahan makanan pokok selain beras. Pengembangan agroindustri tepung-tepungan berbasis komoditas lokal, seperti tanaman ubi-ubian, dalam upaya peningkatan ketahanan pangan nasional dinilai sebagai salah satu langkah yang tepat. Tanaman ubi-ubian merupakan penghasil karbohidrat yang efisien, murah, dan dapat digunakan sebagai suplementasi bahan pangan, pakan dan bahan baku industri. Salah satu tanaman ubi lokal yang berpotensi untuk dikembangkan adalah ubi jalar. Indonesia sendiri menempati urutan keempat sebagai negara penghasil ubi jalar terbesar di dunia setelah China, Uganda, Nigeria dengan jumlah produksi mencapai 1.89 x 106 MT (FAO 2007). Jenis ubi ini sangat mudah ditanam di wilayah Indonesia, hampir seluruh provinsi di Indonesia memproduksi ubi jalar. Tanaman umbi ini mempunyai produktifitas yang cukup tinggi, pemeliharaannya tidak mahal dan harga pokok produksinya cukup rendah. Dalam membangun suatu agroindustri tepung berbasis komoditas lokal untuk ketahanan pangan, sangat diperlukan suatu manajemen rantai pasokan (supply chain management) yang baik. Strategi pengaturan operasi dimulai dari petani penghasil ubi jalar, hingga ke industri penghasil tepung ubi jalar ataupun industri pengguna tepung ubi jalar. Manajemen rantai pasokan merupakan serangkaian pendekatan yang diterapkan untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang dan tempat penyimpanan lainnya secara efisien sehingga produk dihasilkan dan didistribusikan dengan kuantitas yang tepat, lokasi tepat dan waktu tepat untuk memperkecil biaya dan memuaskan kebutuhan pelanggan (Shimchi-Levi et al., 2003). Tujuan dari sebuah rantai pasokan adalah untuk memaksimalkan keseluruhan nilai yang dihasilkan, yang merupakan selisih antara nilai sebuah produk akhir bagi konsumen dengan biaya rantai pasokan yang ditimbulkan dalam memenuhi permintaan konsumen tersebut. Dengan menerapkan manajemen rantai pasok yang baik dan tepat pada agroindustri tepung ubi jalar, diharapkan agroindustri ini dapat berkembang dan beroperasi secara berkesinambungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik serta protensi ubi jalar dan tepung ubi jalar, mengkaji kondisi aktual agroindustri tepung ubi jalar dan menganalisa sistem rantai pasok tepung ubi jalar saat ini. Berdasarkan hasil analisa dan kajian tersebut, sebuah rantai pasokan tepung ubi jalar didesain sebagai masukan bagi pengembangan agroindustri ini. Ruang lingkup penelitian mengenai rantai pasokan diawali dari petani ubi jalar hingga industri penghasil tepung ubi jalar, dengan mengambil studi kasus di daerah Jawa Barat. Kajian kondisi rantai pasokan produk agroindustri dilakukan terhadap produk tepung ubi jalar sebagai bahan baku industri makanan. Kondisi rantai pasok yang ada saat ini diidentifikasi dan dideskripsikan melalui studi pustaka dan pengamatan secara langsung pada sentra produksi ubi jalar dan tepung ubi jalar. Rantai pasok yang menjadi fokus kajian dibatasi sampai pada industri pengguna tepung ubi jalar. Ruang lingkup perancangan rantai pasokan diawali dari petani ubi jalar hingga industri penghasil tepung ubi jalar, dengan mengambil studi kasus di daerah Jawa Barat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendorong berkembangnya agroindustri tepung berbasis komoditas lokal, khususnya ubi jalar, untuk menunjang ketahanan pangan. Keputusan mengenai desain jaringan rantai pasokan agroindustri tepung ubi jalar meliputi penugasan peran fasilitas yang ada, penentuan lokasi proses, penyimpanan atau fasilitas lain terkait transport, dan alokasi kapasitas serta pasar pada masing-masing-masing fasilitas. Untuk mengembangkan suatu produk, penyusunan deskripsi atau potret kondisi riil produk perlu dilakukan. Pada penelitian ini kondisi riil usaha tepung ubi jalar dikaji berdasarkan pengamatan pada beberapa sentra produksi ubi jalar. Secara lebih mendalam, kajian mengenai kondisi rantai pasokan tepung ubi jalar saat ini turut dilakukan untuk menjadi gambaran dalam perancangan model rantai pasokan agroindustri ubi jalar. Sebelumnya, dilakukan kajian mendalam terhadap karakteristik fisik dan mekanis dari ubi jalar yang akan menentukan tata cara penyimpanan dan pendistribusian bahan baku, bahan setengah jadi dan produk jadi yang baik untuk meminimalisir kerusakan yang dapat terjadi baik selama penyimpanan maupun perjalanan. Kajian mengenai pasokan ubi jalar menjadi sangat penting dilakukan demi kelangsungan agroindustri tepung ubi jalar. Sebagai sebuah industri, agroindustri tepung ubi jalar dituntut untuk dapat memasok produknya secara kontinyu kepada para pelanggannya. Dalam hal ini pasokan bahan baku ubi jalar menjadi penting untuk dipenuhi. Tahapan selanjutnya dalam proses perancangan rantai pasokan tepung ubi jalar adalah pendefinisian strategi kompetitif berdasarkan identifikasi lanskap ketidakpastian (ketidakpastian demand dan supply). Pada tahap ini dikaji sifat permintaan dari tepung ubi jalar untuk kemudian dicocokan dengan strategi rantai pasokannya. Dari hasil pengkajian karakteristik dan potensi terhadap tepung ubi jalar diperoleh bahwa potensi pengembangan tepung ubi jalar terbuka luas. Pengolahan ubi jalar ke dalam bentuk tepung memudahkan penggunaan dan pengolahannya menjadi bahan makanan. Industri olahan makanan rata-rata membutuhkan bahan baku berupa tepung. Diharapkan tepung ubi jalar dapat menjadi salah satu pemenuh kebutuhan tersebut. Salah satu jenis ubi jalar yang cocok diolah sebagai tepung ubi jalar adalah jenis ubi jalar putih (sukuh) yang dapat menghasilkan rendemen tepung di atas 30 %. Rancang bangun rantai pasokan agroindustri tepung ubi jalar sangat penting untuk disusun dan dikaji agar keberlangsungan permintaan (demand) maupun pasokan (supply) dapat terjalin dengan baik. Berdasarkan pengkajian terhadap lokasi fasilitas yang cocok sebagai industri penghasil tepung ubi jalar terletak di timur laut kota Garut, dengan pertimbangan kedekatan dengan sumber permintaan dan sumber pasokan ubi jalarnya. Peran pemerintah baik pusat maupun lokal tak dapat dipungkiri sangat penting bagi pengembangan agroindustri ini. Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan, strategi rantai pasokan untuk tepung ubi jalar adalah strategi efisiensi rantai pasokan dengan optimasi minimisasi total biaya rantai pasokan. Dengan bahan baku 2 ton ubi jalar, maka diperoleh besaran total biaya rantai pasokan tepung ubi jalar sebesar Rp 2 752 534.00. Rantai pasokan terdiri dari petani penghasil ubi jalar, industri pembuat sawut kering yang berlokasi berdekatan. Selanjutnya, sawut kering dikirimkan ke industri penepung yang terletak di daerah timur laut Kota Garut untuk menjangkau dan secara maksimal memenuhi kebutuhan konsumen. Kata kunci: rantai pasokan, tepung ubi jalar, Stella®, optimasi © Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagaian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB ANALISA RANTAI PASOKAN AGROINDUSTRI TEPUNG UBI JALAR NISA ZAHRA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 Penguji Luar komisi pada Ujian Tesis: Dr. Eng. Taufik Djatna, STP, MSi Judul Penelitian Nama NRP : Analisa Rantai Pasokan Agroindustri Tepung Ubi Jalar : Nisa Zahra : F351060071 Disetujui Komisi Pembimbing Dr.Ir.Yandra Arkeman, MEng Ketua Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, Msi Anggota Dr. Ir. Ade Febransyah, MSc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian Dr. Ir. Machfud, MS Tanggal Ujian: 11 Maret 2011 Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Dahrul Syah Tanggal Lulus: PRAKATA Puji Syukur kehadirat Allah SWT penulis haturkan, karena berkat rahmatNya Tesis yang berjudul Analisa Rantai Pasokan Agroindustri Tepung Ubi Jalar dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Master pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak, oleh karena itu melalui prakata ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada Bapak Dr. Ir. Yandra Arkeman, MEng sebagai ketua komisi pembimbing, dan anggota komisi pembimbing Ibu Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MSi dan Bapak Dr. Ir. Ade Febransyah, MSc atas curahan waktu, bimbingan, arahan dengan penuh dedikasi serta dorongan moral hingga tesis ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih dihaturkan kepada kedua orang tua penulis, dan ketiga adik dan kakak penulis serta suami penulis yang tidak hentinya memberikan dukungan moral selama mengerjakan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ir Nurdin, MSi dari Balai Besar Industri Agro (BBIA, Bogor) yang telah memberikan banyak bantuan dalam mengumpulkan data, serta kepada Maulidiani, STP, MSc mahasiswa program doktor Universitas Putra Malaysia yang telah banyak membantu penulis dalam mencari jurnal ilmiah internasional terbaru dan Renny Utami Somantri, STP., MSi atas dorongan semangatnya. Terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan secara rinci atas perhatian dan bantuan yang telah diberikan selama masa studi. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Bogor, Juni 2011 Nisa Zahra RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 29 November 1980 dari ayah Drs. Chilwan Pandji, Apt., MSc dan ibu Novie Srinovani. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara. Tahun 1998 penulis lulus dari SMA Negeri Tarogong 1 Garut, dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Setelah lulus program Sarjana, pada tahun 2003 penulis bekerja sebagai staf operasional di Kantor Konsultan Primakelola Agrobisnis Agroindustri (PKAAIPB). Pada tahun 2005 penulis mendapat kesempatan mengikuti training selama tiga bulan di Suranaree University of Technology di Nakhon Rachasima, Thailand disponsori oleh InWent, Germany. Pada tahun 2006 melanjutkan studi program master pada program studi Teknologi Industri Pertanian di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................ xxi DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xxiii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xxv I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................................... 3 1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 5 1.4 Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................... 5 1.5 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 5 II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 7 2.1 Rantai Pasokan Agroindustri ..................................................................... 7 2.2 Pemodelan dan Optimasi ......................................................................... 11 2.3 Teknik Simulasi ....................................................................................... 15 2.4 Ubi Jalar ................................................................................................... 18 2.5 Penelitian Terdahulu ................................................................................ 22 III METODOLOGI .............................................................................................. 25 3.1. Kerangka Penelitian ................................................................................. 25 3.2. Prosedur Penelitian ................................................................................... 28 3.3. Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 34 IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 35 4.1 Karakteristik Tepung Ubi Jalar ................................................................ 35 4.1.1 Karakteristik Ubi Jalar .................................................................. 35 4.1.2 Pengolahan Ubi Jalar Menjadi Tepung Ubi Jalar, Panen dan Pascapanen Ubi Jalar .................................................................... 39 4.1.3 Karakteristik Tepung Ubi Jalar ..................................................... 47 4.1.4 Potensi Pengembangan Tepung Ubi Jalar .................................... 49 4.2 Kondisi Aktual Agroindustri Tepung Ubi Jalar di Indonesia ................... 51 4.2.1 Produksi Ubi Jalar di Jawa Barat .................................................. 51 4.2.2 Agroindustri Tepung Ubi Jalar di Kabupaten Bogor .................... 55 4.2.3 Agroindustri Tepung Ubi Jalar di Kabupaten Kuningan ............... 58 4.3 Perbaikan Rantai Pasokan Agroindustri Tepung Ubi Jalar ...................... 67 4.3.1 Identifikasi Sifat Dasar Permintaan Tepung Ubi Jalar ................. 67 4.3.2 Analisa Kapabilitas Rantai Pasokan ............................................. 69 4.3.3 Pemetaan Ketidakpastian Permintaan dan Pencocokan Rantai Pasokan dengan Produk (achieving strategic fit) ......................... 69 xix 4.4 Pemodelan dan Simulasi ........................................................................... 69 4.4.1 Pemodelan Lokasi Fasilitas ............................................................ 69 4.4.2 Optimasi dengan Simulasi pemodelan Stella® ............................. 75 VI KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 77 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 79 LAMPIRAN .......................................................................................................... 83 xx DAFTAR TABEL Halaman 1 Spesifikasi persyaratan khusus ubi jalar ......................................................... 20 2 Kandungan kimia ubi jalar per 100 g bahan segar ......................................... 20 3 Produk fungsional versus produk inovatif: perbedaan permintaan ................ 29 4 Kandungan gizi dalam100 g beras, jagung, terigu dan ubi jalar .................... 37 5 Warna ubi dan komposisi kimia beberapa klon ubi jalar ............................... 39 6 Komposisi kimia tepung terigu, tepung ubi kayu dan tepung ubi jalar .......... 47 7 Perbandingan karakteristik beberapa jenis tepung ......................................... 48 8 Keragaman hasil olahan tepung ubi jalar ....................................................... 50 9 Jumlah produksi dan pangsa produksi ubi jalar di Jawa Barat tahun 2006 ...................................................................................................... 53 10 Luas panen, produksi dan produktivitas ubi jalar di Kabupaten Bogor (tahun 2000 – 2005)........................................................................................ 56 11 Data luas tanam, luas panen, produksi dan produktivitas berbagai komoditas pertanian di Kabupaten Kuningan ................................................ 59 12 Penggolongan ketidakpastian permintaan dalam sebuah produk (Waddington 2002) ......................................................................................... 68 13 Jumlah industri tepung dan industri roti dan kue pada setiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat ........................................................... 70 14 Data yang digunakan dalam pemilihan daerah sebagai lokasi industri penghasil tepung ............................................................................................. 71 15 Pengolahan data dan pemilihan daerah sebagai lokasi industri penghasil tepung menggunakan teknik CPI.................................................................... 72 xxi xxii DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Para pelaku dalam rantai pasokan (Chopra & Meindl 2007) .......................... 9 2 Diagram skematik rantai pasokan dilihat dari perspektif prosesor dalam rantai pasokan produk makanan hasil pertanian (Vorst 2000) ....................... 10 3 Cara mempelajari sistem (Law & Kelton 2000) ............................................. 12 4 Taksonomi model rantai pasok (Min & Zhou 2002) ...................................... 14 5 Ubi jalar (Ipomoea batatas)............................................................................ 19 6 Pohon industri ubi jalar .................................................................................. 21 7 Kerangka pemikiran penelitian....................................................................... 27 8 Diagram alir penelitian ................................................................................... 28 9 Matriks kecocokan (Fisher 1997)................................................................... 30 10 Proses pembuatan tepung ubi jalar ................................................................. 42 11 Jalur pemasaran ubi jalar (Hafsah 2004) ........................................................ 52 12 Perkembangan produksi ubi jalar Jawa Barat tahun 1996 - 2006 .................. 54 13 Perkembangan produksi ubi jalar di Kab. Kuningan, Kab. Bogor dan Kab Garut pada tahun 1996 - 2006................................................................ 55 14 Lokasi industri rumah tangga tepung ubi jalar ............................................... 57 15 Proses pengolahan ubi jalar menjadi tepung ubi jalar .................................... 58 16 Peta lokasi Kabupaten Kuningan (Disperindag Kab Kuningan 2009) .......... 60 17 Bangunan dan sarana pembuatan chip ubi jalar di Kab. Kuningan ................ 62 18 Agroindustri tepung ubi jalar di Kab. Kuningan ............................................ 63 19 Peralatan untuk pengolahan tepung ubi jalar .................................................. 64 20 Aneka makanan olahan berbasis tepung ubi jalar .......................................... 66 21 Rantai pasokan ubi jalar dan tepung ubi jalar di daerah Kuningan ................ 67 22 Rantai pasokan tepung ubi jalar di Kabupaten Kuningan .............................. 67 xxiii 23 Peta lokasi penghasil tepung ubi jalar ........................................................... 73 24 Pemodelan rantai pasokan tepung ubi jalar dengan program Stella® .......... 76 xxiv DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Teknologi budidaya ubi jalar di lahan sawah ..................................................... 85 2 Produksi ubi jalar Indonesia menurut provinsi 2005-2009 ............................... 89 3 Luas panen ubi jalar Indonesia menurut provinsi 2005-2009 ........................... 90 4 Produktivitas ubi jalar Indonesia menurut provinsi 2005-2009 ........................ 91 5 Perkembangan luas panen dan produksi ubi jalar di berbagai daerah di Jawa Barat tahun 2003 - 2008 ........................................................................ 92 6 Luas panen ubi jalar rata-rata per bulan di Jawa Barat (ha) periode tahun 1987 - 2005 ..................................................................................................... 95 7 Persamaan dalam simulasi dengan pemrograman Stella® ............................... 96 xxv xxvi I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketahanan pangan telah menjadi isu yang sangat penting bagi hampir setiap negara di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Masyarakat Indonesia memang telah dikenal mengkonsumsi beras sebagai makanan pokoknya. Maka ketika permintaan beras lebih besar daripada pasokannya, timbulah masalah yang dapat mengancam ketahanan pangan nasional. Padahal, beras bukan satu-satunya komoditas pemenuh kebutuhan gizi masyarakat. Upaya pemerintah dalam membangun diversifikasi konsumsi pangan sesungguhnya telah dilakukan sejak tahun 1960-an, saat pemerintah mulai menganjurkan konsumsi bahan makanan pokok selain beras. Diversifikasi konsumsi pangan pada hakekatnya tidak hanya sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan pada beras tetapi juga sebagai upaya meningkatkan mutu gizi makanan rakyat baik dari segi kuantitas, maupun kualitasnya. Hal ini merupakan usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan juga meningkatkan ketahanan pangan nasional (Ariani 2006). Timbulnya gagasan mengenai pengembangan agroindustri tepung-tepungan berbasis komoditas lokal, seperti ubi-ubian, dalam rangka upaya pendiversifikasian konsumsi pangan dinilai sebagai salah satu jawaban dan langkah yang tepat dalam upaya peningkatan ketahanan pangan nasional. Pemberdayaan komoditas lokal tersebut sesungguhnya memang tengah diupayakan di beberapa daerah di Indonesia. Tanaman ubi-ubian dikenal sebagai komoditas lokal penghasil karbohidrat yang efisien, murah, dan dapat digunakan sebagai suplementasi bahan pangan, pakan dan bahan baku industri. Salah satu tanaman ubi lokal yang berpotensi untuk dikembangkan adalah ubi jalar. Indonesia sendiri menempati urutan keempat sebagai negara penghasil ubi jalar terbesar di dunia setelah China, Uganda, Nigeria dengan jumlah produksi mencapai 1.89 x 106 MT (FAO 2007). Jenis ubi ini sangat mudah ditanam di wilayah Indonesia, hampir seluruh provinsi di Indonesia memproduksi ubi jalar. Tanaman umbi ini mempunyai produktifitas yang cukup tinggi (dapat mencapai 30 ton/ha), pemeliharaannya tidak mahal dan harga pokok produksinya cukup rendah. Berbagai hasil penelitian menunjukan 2 bahwa ubi jalar merupakan komoditas yang memiliki potensi manfaat dan pengembangan yang baik. Hampir seluruh bagian tanaman ubi jalar dapat dimanfaatkan. Ubi jalar memiliki kandungan gizi yang baik, merupakan sumber vitamin A dan vitamin C tinggi, serta karbohidratnya mengandung LGI (Low Glycemix Index 54) yang rendah sehingga cocok dikonsumsi bagi penderita diabetes. Pengolahan ubi jalar menjadi bentuk tepung dapat mempermudah penyimpanan dan menambah variasi dalam pemanfaatannya serta memperlama penyimpanan. Seperti tepung terigu, tepung ubi jalar dapat diolah menjadi berbagai macam makanan, seperti aneka kue kering, mie, bihun, roti dan sebagainya. Dalam bentuk tepung, ubi jalar dapat difortifikasi dengan berbagai zat gizi yang diinginkan. Proses pembuatan tepung ubi jalar pun dapat dikatakan relatif sederhana, mudah dan murah. Selain ubi jalar, beberapa komoditas yang dapat digunakan untuk tepung antara lain sorghum, jagung, singkong, kentang, sagu, talas, garut, sukun, ganyong dan talas belitung. Pemilihan komoditas untuk dikembangkan tersebut dipengaruhi pertimbangan kecocokan lahan di daerah tersebut dan kebiasaan masyarakat setempat. Tepung ubi jalar selama ini pernah diusahakan di beberapa daerah, diantaranya di kabupaten Bogor dan Kabupaten Kuningan. Pengembangannya telah menjadi objek penelitian beberapa instansi pemerintahan dan perguruan tinggi. Pemberdayaan agroindustri tepung-tepungan berbasis komoditas lokal yaitu tepung ubi jalar jelas perlu ditunjang oleh perencanaan dan pelaksanaan yang baik. Kejelasan dan pengaturan tata rantai pasokan yang baik dapat menunjang keberhasilan program ini. Manajemen rantai pasok atau yang lebih dikenal dengan Supply Chain Management (SCM) menjadi penting untuk diterapkan agar keberlangsungan agroindustri tepung ubi jalar dapat tercapai sehingga pada akhirnya dapat turut serta berkontribusi dalam menunjang ketahanan pangan nasional. SCM merupakan serangkaian pendekatan yang diterapkan sebagai upaya untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang dan tempat penyimpanan lainnya secara efisien sehingga produk dapat dihasilkan dan didistribusikan 3 dengan kuantitas yang tepat, lokasi tepat dan waktu tepat demi memuaskan kebutuhan pelanggan (Shimchi-Levi et al. 2003). Melalui pengaturan rantai pasok (SCM) agroindustri tepung ubi jalar yang baik, diharapkan pasokan bahan baku, bahan setengah jadi dan bahan jadi dalam agroindustri ini dapat terjamin sehingga kontinuitas produksi dapat berlangsung dan kebutuhan konsumen dapat terpenuhi. Penerapan SCM pada rangkaian pasokan berbagai produk dapat memiliki strategi yang konsumennya. berbeda-beda Namun, demi secara memenuhi umum, setiap kebutuhan dan kepuasan SCM bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan/surplus (selisih pendapatan yang diperoleh dari konsumen dengan total biaya) keseluruhan rantai pasokan. Semakin besar keuntungan yang diperoleh pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah rantai pasokan secara keseluruhan, semakin sukses pula rantai pasokan tersebut. Sehingga diharapkan penerapan SCM pada agroindustri tepung ubi jalar ini dapat meningkatkan pendapatan para petani ubi jalar khususnya, dan juga meningkatkan pendapatan para pihak yang terkait sepanjang rantai pasokan agroindustri ini. Rantai pasokan yang ideal bagi sebuah agroindustri perlu dirancang dengan baik. Bagi rantai pasokan yang telah ada, perlu dianalisa dan dilakukan upaya perbaikan terhadap rantai pasokan tersebut. Perbaikan rantai pasokan yang ada diawali dengan kegiatan penentuan strategi rantai pasok. Pengidentifikasian pihak-pihak yang terlibat sepanjang rantai pasokan perlu dilakukan agar struktur rantai pasok agroindustri tepung ubi jalar dapat disusun. Dalam penelitian ini, kegiatan simulasi untuk optimasi rantai pasokan pun dilakukan untuk memperoleh rancangan rantai pasokan yang ideal (optimal). 1.2 Perumusan Masalah Salah satu kendala dalam pengembangan agroindustri tepung ubi jalar adalah ketidakpastian pasokan bahan baku industri, yakni umbi ubi jalar. Di beberapa daerah, masih terdapat keengganan para petani untuk menanam tanaman ini. Di tengah masyarakat sendiri, ubi jalar masih dipandang sebagai makanan yang kurang populer. Rantai tata niaga ubi jalar yang selama ini ada pun lebih menguntungkan bagi beberapa pihak yang terlibat di dalamnya, dan seringkali para petani penanam ubi jalar justru mengalami kerugian. Harga ubi jalar seringkali berfluktuasi, sehingga ketika harganya jatuh, para petani memilih untuk 4 tidak menjualnya dan membiarkan hasil panen mereka membusuk (studi kasus: Kabupaten Kuningan). Di samping permasalahan pasokan bahan baku, pasar tepung ubi jalar yang belum jelas menjadi salah satu kendala pengembangan agroindustri ini. Padahal tepung ubi jalar memiliki potensi yang cukup baik sebagai bahan baku industri makanan. Berdasarkan berbagai hasil penelitian (Zuraida & Supriati 2001, Irfansyah 2001, Damardjati & Widowati 1994) tepung ubi jalar dapat menjadi substitusi tepung terigu dan jenis tepung-tepungan lainnya dalam pengolahan makanan. Selain kurangnya sosialisasi dan promosi akan potensi dan manfaat pengunaan tepung ubi jalar kepada pihak industri pengguna tepung, ketidakjelasan pasokan tepung ubi jalar dari pemasok pun dinilai menjadi salah satu faktor penyebab kurangnya pemanfaatan tepung ubi jalar ini. Dalam membangun suatu agroindustri tepung berbasis komoditas lokal untuk ketahanan pangan, sangat diperlukan suatu manajemen rantai pasokan (supply chain management) yang baik. Perancangan rantai pasokan agroindustri tepung ubi jalar dilakukan dengan mempertimbangkan sejumlah pihak yang terlibat di dalamnya. Strategi pengaturan operasi dimulai dari petani penghasil bahan baku –dalam hal ini ubi jalar, hingga ke industri penghasil tepung ubi jalar ataupun industri pengguna tepung ubi jalar. Analisa terhadap rantai pasokan tepung ubi jalar yang telah ada pada ruang lingkup yang telah ditentukan menjadi perlu dilakukan agar dapat menjadi masukan saat perancangan perbaikan rantai pasokan agroindustri ini. Rantai pasokan tepung ubi jalar yang selama ini telah ada umumnya hanyalah rantai tata niaga yang tidak terorganisir dengan baik, sehingga lebih menguntungkan bagi pihak tertentu saja. Informasi mengenai karakteristik potensi tepung ubi jalar, karakteristik bahan setengah jadi maupun karakteristik umbi ubi jalar sebagai bahan baku agroindustri perlu digali sebagai salah satu dasar saat melakukan perbaikan rancangan rantai pasokan agroindustri tepung ubi jalar yang optimal. Penyusunan strategi rantai pasokan perlu dilakukan berdasarkan kajian terhadap ketidakpastian supply dan demand. Dengan menerapkan manajemen rantai pasok yang baik dan tepat pada agroindustri tepung ubi jalar, diharapkan agroindustri ini dapat berkembang dan 5 beroperasi secara berkesinambungan. Untuk itu, perlu dilakukan kajian dan analisa terhadap rantai pasok tepung ubi jalar yang ada saat ini sebagai masukan bagi perancangan model rantai pasokan yang tepat bagi agroindustri tepung ubi jalar. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah: 1. Mengkaji potensi dan karakteristik ubi jalar dan tepung ubi jalar. 2. Mengkaji kondisi aktual agroindustri tepung ubi jalar dan sistem rantai pasok tepung ubi jalar saat ini di beberapa kota di Jawa Barat. 3. Merancang perbaikan rantai pasokan agroindustri tepung ubi jalar dan memperoleh hasil simulasi terhadap model rantai pasokan yang dibangun dengan melihat pengaruhnya terhadap biaya total rantai pasokan dalam agroindustri tepung ubi jalar. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Analisa kondisi rantai pasokan produk agroindustri dilakukan terhadap produk tepung ubi jalar. Kondisi rantai pasok yang ada saat ini diidentifikasi dan dideskripsikan melalui studi pustaka dan pengamatan secara langsung pada sentra produksi ubi jalar dan tepung ubi jalar. Rantai pasok yang menjadi fokus kajian dibatasi sampai pada industri pengguna tepung ubi jalar. Ruang lingkup perancangan rantai pasokan diawali dari petani ubi jalar hingga industri penghasil tepung ubi jalar, dengan mengambil studi kasus di daerah Jawa Barat. 1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendorong berkembangnya agroindustri tepung umbi-umbian berbasis komoditas lokal, khususnya ubi jalar, untuk menunjang ketahanan pangan. Pengkajian terhadap karakteristik, potensi dan kondisi aktual agroindustri tepung ubi jalar serta perbaikan model rantai pasokannya yang efektif diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup dan menjadi pendukung bagi pihak-pihak yang yang terlibat, baik dalam perencanaan maupun pengembangan agroindustri tepung ubi jalar. 6 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rantai Pasokan Agroindustri Supply Chain Management (SCM) atau rantai pengadaan adalah suatu sistem tempat organisasi menyalurkan barang produksi dan jasanya kepada para pelanggan. Rantai ini juga merupakan jaringan dari berbagai organisasi yang saling berhubungan yang mempunyai tujuan yang sama, yang sebaik mungkin menyelenggarakan pengadaan atau penyaluran barang (Indrajit & Djokopranoto 2002). Sebuah rantai pasokan terdiri dari seluruh pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen. Manajemen rantai pasokan merupakan serangkaian pendekatan yang diterapkan untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang dan tempat penyimpanan lainnya secara efisien sehingga produk yang dihasilkan dan didistribusikan dengan kuantitas yang tepat, lokasi tepat dan waktu tepat untuk memperkecil biaya dan memuaskan kebutuhan pelanggan. Merancang dan mengimplementasikan rantai pasokan yang optimal secara global cukup sulit karena kedinamisannya serta terjadinya konflik tujuan antar fasilitas dan partner (Shimchi-Levi et al. 2003). Kajian dan penelitian dalam pengembangan dan pengoptimasian SCM untuk produk hasil pertanian (agroindustri) banyak dilakukan seiring dengan penelitian yang dilakukan pada ranah SCM untuk produk manufaktur. Produk agroindustri meliputi produk dari perusahaan yang mengolah bahan-bahan yang berasal dari tanaman dan hewan. Pengolahan tersebut mencakup transformasi dan pengawetan melalui perubahan fisik atau kimia, penyimpanan, pengemasan, dan distribusi (Brown 1994). Istilah rantai pasokan agroindustri (agri-food supply chain) sendiri digunakan untuk menggambarkan aktivitas mulai dari proses produksi hingga ke proses distribusi yang membawa produk hortikultur atau produk pertanian dari tanah pertanian ke atas meja konsumen (Ahumada & Villalobos 2009). Rantai pasokan agroindustri dibentuk oleh serangkaian organisasi yang melakukan proses produksi (oleh petani), proses distribusi, proses pengolahannya, dan pemasaran produk hasil pertanian ke konsumen. 8 Perbedaan karakteristik yang jelas antara produk manufaktur dengan produk agroindustri juga menimbulkan perbedaan dalam rantai pasokan keduanya. Menurut Aramyan et al. (2006), yang membuat rantai pasok agroindustri berbeda dengan rantai pasok produk lainnya adalah: 1. Sifat produksinya, yang sebagian berbasis pada proses biologis, sehingga meningkatkan keanekaragaman dan resiko. 2. Sifat produknya, yang memiliki beberapa karakterisitik khusus, seperti mudah rusak (perishablelity) dan kamba (bulky), sehingga membutuhkan rantai pasok tipe tertentu, dan 3. Perilaku sosial dan konsumen terhadap isu-isu keamanan pangan, keselamatan binatang, dan tekanan lingkungan. Tujuan dari sebuah rantai pasokan adalah untuk memaksimalkan keseluruhan nilai yang dihasilkan, yang merupakan selisih antara nilai sebuah produk akhir bagi konsumen dengan biaya rantai pasokan yang ditimbulkan dalam memenuhi permintaan konsumen tersebut. Bagi hampir semua rantai pasokan, nilai sangat berkorelasi dengan keuntungan rantai pasokan (supply chain profitability/supply chain surplus), yaitu selisih antara pendapatan yang didapatkan dari konsumen dengan keseluruhan biaya rantai pasokan. Keuntungan rantai pasokan merupakan keuntungan total yang terbagi di seluruh tahap rantai pasokan. Semakin tinggi keuntungan sebuah rantai pasokan, semakin berhasil rantai pasokan tersebut. Keberhasilan sebuah rantai pasokan hendaknya diukur dari segi keuntungan sebuah rantai pasokan secara keseluruhan dan bukan dari keuntungan masing-masing pelaku. Untuk rantai pasokan manapun, terdapat satu sumber pendapatan, yaitu konsumen. Sedangkan seluruh aliran informasi, produk dan dana menghasilkan biaya (cost) bagi rantai pasokan. Karenanya, pengaturan yang baik dari aliran tersebut merupakan kunci dari keberhasilan rantai pasokan. Manajemen rantai pasokan yang efektif melibatkan manajemen aset rantai pasokan dan produk, informasi, dan dana yang mengalir untuk memaksimumkan keuntungan rantai pasokan (Chopra & Meindl 2007). Sebagaimana rantai pasokan untuk produk lainnya, rantai pasokan agroindustri juga merupakan sebuah jaringan dari berbagai organisasi yang bekerja bersama dalam aktivitas dan proses yang berbeda-beda dalam rangka memuaskan permintaan konsumen. 9 Istilah supply chain atau rantai pasokan mengandung arti bahwa hanya ada satu pemain yang terlibat pada setiap tahap rantai pasok. Pada kenyataanya, sebuah pabrik dapat menerima bahan baku dari beberapa pemasok dan kemudian memasok produk jadinya ke beberapa distributor. Berdasarkan hal ini, sesungguhnya kebanyakan supply chain (rantai pasokan) merupakan network atau jaringan (Chopra & Meindl 2007). Pada umumnya rantai pasokan melibatkan beberapa pelaku (Gambar 1), yang meliputi: 1. Konsumen 2. Retailers/pengecer 3. Wholesalers/distributor 4. Manufakturer/pabrik 5. Supplier/pemasok bahan baku/komponen supplier manufacturer distributor retailer customer supplier manufacturer distributor retailer customer supplier manufacturer distributor retailer customer Gambar 1 Para pelaku dalam rantai pasokan (Chopra & Meindl 2007) Jaringan rantai pasok terdiri dari pemasok, gudang, pusat distribusi, dan outlet retail, termasuk bahan baku, persediaan (Work in process inventory), dan produk jadi yang mengalir melalui fasilitas tersebut (Shimchi-Levi et al. 2003). Konfigurasi jaringan dapat melibatkan beberapa isu terkait dengan lokasi pabrik, gudang, dan lokasi retailer. Permasalahan konfigurasi jaringan biasanya melibatkan banyak data, termasuk informasi lokasi pelanggan, lokasi retail, lokasi gudang yang ada, dan pusat distribusi, fasilitas pabrik dan supplier; informasi produk, termasuk volume, cara transportasi; permintaan tahunan menurut lokasi 10 pelanggan, biaya pabrik, termasuk biaya tenaga kerja, biaya inventory, dan biaya operasi tetap; ukuran dan frekuensi pengiriman produk ke pelanggan; biaya pemesanan; serta persayaratan dan tujuan pelayanan pelanggan. Menurut Aramyan et al. (2006), terdapat dua tipe rantai pasok agroindustri, yaitu: 1. Rantai pasok untuk produk segar, seperti sayuran, bunga dan buah-buahan 2. Rantai pasok untuk produk pertanian hasil pemrosesan Gambar 2 Diagram skematik rantai pasokan dilihat dari perspektif prosesor dalam rantai pasokan produk makanan hasil pertanian (Vorst 2000) Gambar 2 memperlihatkan rantai pasokan hasil pertanian secara umum. Masing-masing pelaku ditempatkan pada lapisan jaringan dan tergolong dalam setidaknya satu rantai pasokan: sebagai contoh, biasanya suatu rantai pasokan memiliki banyak pemasok (supplier) dan konsumen dalam suatu waktu. Pelaku lainnya dalam jaringan mempengaruhi performa dari rantai. Desain atau rancangan sebuah rantai pasokan yang cocok sangat tergantung dari kebutuhan konsumen dan peran masing-masing tahap yang terlibat (Chopra & Meindl 2007). Terdapat hubungan yang erat antara rancang bangun dan manajemen aliran rantai pasokan (produk, informasi dan dana) dan kesuksesan 11 sebuah rantai pasokan. Keputusan mengenai rancang bangun rantai pasokan, perencanaan dan pelaksanaannya memainkan peran yang penting dalam kesuksesan atau kegagalan sebuah usaha. Rancang bangun atau strategi rantai pasok merupakan fase atau kategori pertama dalam pembuatan keputusan mengenai rantai pasok. Dua fase lainnya adalah perencanaan rantai pasok dan pelaksanaannya. Rancang bangun rantai pasokan yang cocok tergantung pada kebutuhan konsumen dan peranan yang berlaku pada setiap tahap yang terlibat dalam sebuah rantai pasokan (Chopra & Meindl 2007). Proses yang terjadi dalam sebuah rantai pasokan dibagi menjadi dua kategori, tergantung dari pertimbangan apakah proses tersebut dilakukan sebagai respon atas pesanan konsumen (pull processes) atau sebagai antisipasi terhadap pesanan konsumen (push processes). Tinjauan push/pull processes dalam sebuah rantai pasokan dapat mempengaruhi pertimbangan keputusan stategis pada saat pembangunan desain rantai pasokan (Chopra & Meindl 2007). Faktor lain yang mempengaruhi rancangan rantai pasokan adalah sifat dari permintaan terhadap produk (nature of the demand), apakah termasuk produk fungsional atau produk inovatif. 2.2 Pemodelan dan Optimasi Sebuah model dirancang sebagai representasi dari sebuah sistem. Law dan Kelton (2000) mengkategorikan sistem ke dalam dua tipe, yaitu sistem diskrit dan kontinyu. Sistem diskrit adalah sebuah sistem di mana peubahnya berubah secara instan pada titik waktu yang terpisah. Pada sistem kontinyu, peubahnya berubah secara kontinyu seiring dengan perubahan waktu. Beberapa cara untuk mempelajari sebuah sistem disajikan pada Gambar 3. Model fisik atau yang disebut juga dengan model ikonik salah contohnya adalah miniatur. Model matematis merepresentasikan sistem secara logis dan berupa hubungan kuantitatif yang kemudian dimanipulasi dan dirubah untuk kemudian dilihat bagaimana model tersebut bereaksi dan lalu bagaimana sistem itu bereaksi, -jika model tersebut valid. Ketika sebuah model matematis dibangun, model tersebut kemudian harus diperiksa untuk melihat apakah model tersebut dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. 12 Sistem Percobaan dengan sistem aktual Percobaan dengan model sistem Model fisik Model matematis Penyelesaian analitis Simulasi Gambar 3 Cara mempelajari sistem (Law & Kelton 2000) Jika sebuah hubungan yang membentuk sebuah model cukup sederhana, maka dapat digunakan metode matematis untuk memperoleh informasi pasti terhadap pertanyaan yang diajukan; proses ini disebut juga dengan penyelesaian analitis. Namun, permasalahan di dunia nyata seringkali terlalu kompleks sehingga model realistik yang ada menjadi sulit diselesaikan secara analitik, dan karenanya dibutuhkan penyelesaian dengan menggunakan simulasi. Pada proses simulasi, komputer digunakan untuk mengevaluasi sebuah model secara numerik, dan data dikumpulkan untuk mengestimasi karakteristik nyata yang diinginkan pada sebuah model (Law & Kelton 2000). Cakupan dalam sebuah rantai pasokan sangat luas sehingga tidak ada satu model pun yang dapat menjangkau seluruh aspek dalam proses rantai pasokan. Min dan Zhou (2002) mengusulkan beberapa panduan dalam menentukan cakupan permasalahan dalam pemodelan sebuah rantai pasokan yang dapat meminimalisir dilema antara kompleksitas model dengan realitas. Salah satu usulan tersebut adalah panduan yang diajukan oleh Chopra dan Meindl (2007), yang didasari tiga level hirarki keputusan berdasarkan frekuensi dan jangka waktu masing masing keputusan, yaitu: 13 1. Desain atau strategi rantai pasokan (competitive strategy) Pada level ini, perusahaan menentukan bagaimana struktur rantai pasokan untuk beberapa tahun ke depan. Konfigurasi rantai pasokan ditentukan meliputi bagaimana alokasi sumber daya, dan proses apa saja yang terjadi dalam masing-masing tahap. Beberapa keputusan strategis yang dibuat perusahaan meliputi apakah perusahaan akan melakukan fungsi rantai pasokannya secara in-house atau dengan outsource, lokasi dan kapasitas produksi dan fasilitias penyimpanan, produk yang akan dibuat atau disimpan dalam berbagai tempat, moda transportasi, dan tipe sistem informasi yang akan digunakan. Sebuah perusahaan harus memastikan konfigurasi rantai pasokannya mendukung tujuan strategisnya, dan meningkatkan surplus rantai pasoknya selama fase ini. Keputusan mengenai strategi rantai pasokan dibuat untuk jangka panjang (tahunan) dan sangat mahal untuk dirubah dalam jangka pendek. Ketidakpastian pada kondisi pasar harus turut diperhitungan dalam fase ini. 2. Perencanaan rantai pasokan (tactical plans) Jangka waktu pada tahap ini adalah 3 bulan sampai satu tahun. Konfigurasi rantai pasok yang ditentukan pada tahap sebelumnya sudah dibuat. Konfigurasi ini menciptakan kendala di mana perencanaan mesti dibuat. Perusahaan memulai fase ini dengan dengan peramalan untuk tahun yang akan datang (atau jangka waktu tertentu) dari permintaan pada pasar yang berbeda. Perencanaan meliputi pengambilan keputusan sehubungan dengan pasar mana yang akan di-supply dari lokasi mana, subkontrak proses manufaktur, peraturan penyimpanan, waktu dan ukuran pemasaran dan promosi harga. Pada tahap ini, perusahaan harus mengikutsertakan ketidakpastian permintaan, nilai tukar, dan kompetisi dalam keputusannya. 3. Operasi rantai pasokan (operational routines) Jangka waktu pelaksanaan fase ini adalah mingguan atau harian, dan selama fase ini perusahaan melakukan keputusan mengenai pesanan individu dari pelanggan. Tujuan dari operasi rantai pasokan pada tahap ini adalah untuk menangani pesanan yang masuk sebaik mungkin. Karena keputusan 14 operasional dilakukan pada jangka waktu yang pendek, ketidakpastian yang terjadi pun sangat sedikit. Min dan Zhou (2002) mengembangkan sebuah taksonomi pemodelan rantai pasok berdasarkan berbagai sumber (Gambar 4). Model rantai pasokan diklasifikasikan ke dalam empat kategori: 1. Deterministic (non-probabilistik). Pada model ini diasumsikan semua parameter model diketahui secara pasti 2. Stokastik (probabilistik). Pada model ini, ketidakpastian dan parameter acak ikut dipertimbangkan. 3. Hibrid. Model ini mengandung elemen deterministik dan stokastik. 4. IT-Driven. Model ini melibatkan informasi dan teknologi untuk memperbaiki efisiensi rantai pasokan. Pemodelan rantai pasokan Model deterministik Single objective Multiple objective Optimal Control Theory Model stokastik Model hibrid Inventory Theoritic Dynamic programming Model IT-driven Simulation WMS ERP Gambar 4 Taksonomi model rantai pasok (Min & Zhou 2002) Dalam merancang rantai pasokan terdapat proses optimasi terhadap efektifitas rantai pasokan. Penentuan strategi rantai pasokan yang baik dan perancangan rantai pasokan yang tepat akan meningkatkan surplus rantai pasokan, yaitu margin antara pendapatan yang diperoleh dari konsumen dengan keseluruhan biaya yang timbul dalam rantai pasokan. Menurut Chopra dan Meindl (2007), desain rantai pasokan tergantung pada kebutuhan konsumen dan peran GIS 15 yang dilakoni oleh setiap tahapan rantai pasok. Perancangan desain rantai pasokan hendaknya dilakukan untuk meningkatkan profit atau surplus rantai papsok secara keseluruhan. Menurut Simchi-Levi et al. (2003), ketika data telah dikumpulkan, ditabulasikan, dan diverifikasi, tahapan berikutnya yang perlu dilakukan adalah optimasi konfigurasi jaringan rantai pasok. Secara umum, terdapat dua teknik optimasi jaringan: 1. Optimasi matematis, meliputi: a. Algoritma eksak yang menjamin penemuan solusi optimal, yaitu solusi dengan biaya terendah b. Algoritma heuristik, yang menemukan solusi yang baik, namun belum tentu yang optimal 2. Simulasi model, menyajikan mekanisme untuk mengevaluasi alternatif rancang bangun spesifik yang dibuat oleh perancang. 2.3 Teknik Simulasi Jika hubungan yang membentuk sebuah model cukup sederhana, maka dapat digunakan metode matematika (diantaranya adalah aljabar dan kalkulus) untuk mendapatkan informasi atau penyelesaian dari model tersebut. Cara seperti ini biasa disebut dengan penyelesaian secara analitik. Namun, banyak sistem dalam dunia nyata yang terlalu kompleks sehingga tidak memungkinkan dievaluasi dengan metode analitik saja. Model-model tersebut dapat dipelajari dengan menggunakan metode simulasi. Dalam simulasi, komputer digunakan untuk mengevaluasi sebuah model secara numerk, dan data digabungkan untuk memperkirakan karakteristik nyata dari model tersebut (Law & Kelton 2000). Chopra dan Meindl (2007) mengungkapkan bahwa simulasi adalah sebuah model komputer yang mereplikasi/meniru situasi kehidupan nyata (real life situation), yang memperkenankan penggunanya untuk mengestimasi keluaran potensial apa saja yang akan muncul dari masing-masing set tindakan yang telah dibuat. Simulasi merupakan sebuah alat yang dapat membantu mengevaluasi pengaruh dari sebuah keputusan terhadap performa pada lingkungan yang tidak pasti. Pada beberapa kasus tertentu, skenario masa depan dapat dimodelkan secara 16 matematis tanpa simulasi dan formula dapat diperoleh dari pengaruh atas penerapan beberapa keputusan. Pada kasus lain, seringkali formula tersebut terlalu sulit atau bahkan tidak mungkin didapatkan dan karenanya harus digunakan simulasi. Simulasi dikatakan kuat karena dapat mengakomodasi berbagai komplikasi. Masalah-masalah yang tidak dapat diatasi secara analitis seringkali dapat diatasi dengan mudah dengan menggunakan simulasi. Simulasi yang baik adalah sebuah cara yang tidak mahal untuk menguji berbagai tindakan dan mengidentifikasi keputusan yang paling efektif untuk masa depan yang tidak pasti. Menurut Stefanofic et al. (2009), simulasi komputer dan model simulasi dapat digunakan untuk memodelkan jaringan pasokan yang rumit semirip sistem aslinya, menjalankan model-model tersebut dan mengobservasi perilaku sistem. Simulasi dapat didefinisikan sebagai sebuah proses perancangan model abstrak dari sebuah sistem real (atau subsistem) dan melakukan percobaan dengan model tersebut dalam rangka baik memahami perilaku sistem maupun mengevaluasi berbagai strategi dalam batasan serangkaian kriteria. Beberapa keuntungan dari simulasi komputer jaringan rantai pasok adalah sebagai berikut (Stefanovic et al. 2009): 1. Simulasinya jelas dan fleksibel 2. Dapat menganalisis sistem real yang kompleks seperti jaringan rantai pasokan 3. Dengan simulasi, pengaruh yang terdapat pada dunia nyata (real-world influences) dapat dipertimbangkan, sebagai contoh faktor ketidakpastian pada permintaan (demand) atau lead time. 4. Mempersingkat waktu. 5. Simulasi dapat melakukan analisi “what-if”. Pengguna dapat menguji hasil simulasi berdasarkan keputusan yang berbeda-beda. 6. Dengan menggunakan simulasi, efek dari kompenen, parameter dan variabel dapat dipelajari pada level global. 7. Simulasi tidak mengganggu sistem nyata. Sebagai contoh, uji coba konfigurasi rantai pasokan dapat dilakukan tanpa gangguan dan investasi yang signifikan. 17 Adapun kelemahan simulasi komputer adalah sebagai berikut (Stefanovic et al. 2009): 1. Kualitas model simulasi bisa jadi mahal dan menghabiskan banyak waktu untuk mengembangkan dan memvalidasinya. 2. Simulasi merupakan pendekatan “modifikasi-mencoba” (modify-try), sehingga tidak menghasilkan solusi yang optimum. 3. Biasanya dibutuhkan pemodelan dan pendefinisian semua data yang relevan agar dapat diperoleh hasil yang valid. Hal ini dapat menjadi sangat sulit pada pengembangan skenario jaringan rantai pasokan yang kompleks. Model simulasi dapat diklasifikasikan atas tiga dimensi yang berbeda (Law & Kelton 2000): 1. Model Simulasi Statis dan Dinamis Model simulasi statis adalah model yang merepresentasikan sistem pada waktu tertentu, atau yang dapat digunakan untuk merepresentasikan sebuah sistem di mana waktu tidak berpengaruh. Model simulasi dinamis merepresentasikan sebuah sistem yang berubah sesuai dengan waktu. 2. Model Simulasi Deterministik dan Stokastik Jika sebuah model simulasi tidak mengandung komponen probabilistik, maka model tersebut disebut dengan model deterministik. Sebaliknya, bila sistem yang dimodelkan mengandung beberapa komponen acak, maka model tersebut termasuk model probabilistik. 3. Model Simulasi Kontinyu dan Diskrit Model simulasi diskrit merupakan pemodelan suatu sistem yang berubah sesuai waktu di mana peubahnya berubah secara instan pada titik waktu yang berbeda. Model simulasi kontinyu merupakan pemodelan di mana peubahnya berubah secara kontinyu sesuai dengan perubahan waktu. Bahasa Pemrograman Stella® Stella® merupakan perangkat lunak untuk pemodelan berbasis “flow-chart” yang dikembangkan oleh isee systems inc. Stella® termasuk bahasa pemrograman interpreter dengen pendekatan lingkungan multi-level hirarkis, baik untuk menyusun model maupun untuk berinteraksi dengan model. 18 Dalam program Stella® terdapat tiga jenjang (layering) yang saling terkait untuk mempermudah pengelolaan model, terutama untuk model yang sangat kompleks. Hal ini sangat bermanfaat untuk pembuat program model maupun untuk pengguna model tersebut. Ketiga jenjang tersebut adalah: 1. High-Level Mapping Layer, yaitu jenjang antar-muka bagi pengguna (user interface). Pada jenjang ini pengguna model dapat bekerja, seperti mengisi parameter model dan melihat tampilan keluaran. 2. Model Construction Layer. Jenjang ini adalah tempat model berbasis “flowchart”. Apabila pengguna model ingin memodifikasi struktur model, dapat dilakukan dengan jenjang ini. 3. Equation Layer. Pada jenjang ini dapat dilihat persamaan-persamaan matematika yang digunakan dalam model. Stella® merupakan bahasa pemrograman jenis interpreter berbasis grafis. Pemakai Stella® dapat dengan mudah menyusun model dengan merangkaikan bentuk-bentuk geometris seperti bujursangkar, lingkaran dan panah yang dikenal dengan building blocks. Alat bantu lain di Stella® yang diperlukan dalam menyusun model di antaranya adalah menu, control, toolbars, dan objects. Banyak diantara alat bantu tersebut mirip dengan alat bantu yang digunakan dalam Windows, akan tetapi banyak pula alat bantu yang tidak sama yang merupakan ciri khas Stella®. 2.4 Ubi Jalar Ubi jalar merupakan umbi dari tanaman ubi jalar (Ipomoea batatas L) dalam keadaan utuh, segar, bersih dan aman dikonsumsi serta bebas dari organisme pengganggu tumbuhan. Syarat mutu umum ubi jalar adalah (BSN 1998): 1. Ubi jalar tidak boleh mempunyai bau asing 2. Ubi jalar harus bebas dari bahan kimia seperti insektisida dan fungisida 3. Ubi jalar harus memiliki keseragaman warna, bentuk maupun ukuran umbinya 4. Ubi jalar harus sudah mencapai masak fisiologis optimal 5. Ubi jalar harus dalam kondisi bersih 19 Ubi jalar memiliki sifat fisik, seperti bentuk, warna kulit dan daging, serta tekstur yang bervariasi menurut varietasnya (Gambar 5). Gambar 5 Ubi jalar (Ipomoea batatas) (sumber : www.cuniculture.info, www.usm.maine.edu) Botani ubi jalar adalah (Onwueme 1978): Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicothyledone Ordo : Solanaceae Famili : Convolvuceae Genus : Ipomoea L Nama botani : Ipomoea batatas (L) Bentuk dan ukuran ubi merupakan salah satu kriteria mutu yang langsung mempengaruhi harga (Damardjati & Widowati 1994). Bentuk ubi yang mendekati bulat-lonjong dan tidak banyak bengkokan akan mempermudah tahap pengupasan dan umumnya rendemen ubi kupasnya tinggi. Ukuran ubi yang sedang, dengan berat 200-250 g dan seragam membutuhkan waktu pengupasan relatif cepat dibanding ubi yang kecil atau besar. Bentuk dan ukuran ideal tersebut akan menguntungkan bagi produsen maupun bagi tenaga kerja, karena umumnya tahapan proses pengupasan ubi-ubi dibayar dengan upah borongan (Damardjati et al. 1991). Syarat khusus mutu ubi jalar adalah (Tabel 1): 20 Tabel 1 Spesifikasi persyaratan khusus ubi jalar No Komponen Mutu 1 2 3 4 5 I >200 Tidak ada 65 2 30 Berat umbi (g/umbi) Umbi cacat (per 50 biji) maks. Kadar air (% b/b, maks.) Kadar serat (% b/b, maks.) Kadar pati (% b/b, min.) Mutu II 100 - 200 3 biji 60 2.5 25 III 75 – 100 5 biji 60 >3.0 25 Sumber: BSN 1998 Seperti pada sifat fisik ubi jalar, sifat kimia ubi jalar bervariasi tergantung dari jenis/varietasnya. Kandungan kimia beberapa jenis ubi jalar tersaji pada Tabel 2. Tabel 2 Kandungan kimia ubi jalar per 100 g bahan segar Komposisi Kalori (Kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat besi (mg) Natrium (mg) Kalium (mg) Niacin (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Air (g) Serat kasar (g) Abu (g) Kadar gula (g) Bagian dapat dimakan Ubi Jalar Putih 123.0 1.8 0.7 27.9 30.0 49.0 0.7 60.0 0.9 22.0 68.5 0.9 0.4 0.4 86.0 a Jumlah Ubi Jalar Meraha 123.0 1.8 0.7 27.9 30.0 49.0 0.7 7700.0 0.9 22.0 68.5 1.2 0.2 0.4 86.0 Ubi Jalar Kuningb 136.0 1.1 0.4 32.3 57.0 52.0 0.7 5.0 393.0 0.6 900.0 0.1 35.0 1.4 0.3 0.3 - Sumber: (a) Direktorat Gizi depkes RI 1981 (b) Suismono 1995 Keterangan : -) tidak ada data Ubi jalar memiliki potensi untuk dimanfaatkan dan dikembangkan dalam bentuk: (1) segar maupun telah diproses untuk konsumsi manusia; (2) segar mapun telah dikeringkan sebagai pakan binatang ternak; (3) pati dan tepung untuk penggunaan dalam bahan pangan maupun nonpangan (Hasanuddin & Wargiono 2003). Berbagai produk pangan maupun pakan dapat dihasilkan dari 21 ubi jalar. Hampir seluruh bagian tanaman ubi jalar dapat dimanfaatkan. Beragam produk yang dapat dihasilkan dari tanaman ubi jalar antara lain (Gambar 6): UBI JALAR Ubi segar Daun Chip goreng, kripik kremes Sayuran Batang Kulit ubi Bahan tanam Pakan ternak Timus, obi, gethuk Pakan ternak Pakan ternak Selai, saos Aneka cake, bolu, kue kering Aneka makanan tradisional Kecap, tauco, saos Tape “Gari” (nigeria) Tepung Mie, bihun Pekatan untuk minuman ringan Aneka cake, bolu, kue kering Dekstrin, glukosa, fruktosa Pati Ampas “almidon agrio” (Colombia) “Azedo” (Brazil) Pakan ternak Asam sitrat Gambar 6 Pohon industri ubi jalar (CRIFC 1990, diacu dalam Damardjati dan Widowati 1994) Selain sebagai sumber karbohidrat, ubi jalar juga mengandung vitamin A, C, dan mineral. Ubi jalar yang daging umbinya berwarna ungu banyak mengandung antosianin yang sangat bermanfaat bagi kesehatan, karena berfungsi mencegah penyakit kanker. Ubi jalar yang daging ubinya berwarna kuning, banyak mengandung vitamin A; beberapa varietas ubi jalar mengandung ubi jalar setara 22 dengan wortel. Di Jepang, Korea, Cina, Taiwan dan Amerika Serikat, ubi jalar tidak hanya digunakan sebagai bahan pangan pokok tetapi juga diolah menjadi pangan olahan seperti selai, saos, juice, serta sebagai bahan baku industri pakan dan ternak (Balitkabi 2005). Teknologi budidaya ubi jalar di lahan sawah disajikan pada Lampiran 1. Menurut Hasanudin & Wargiono (2003) kendala teknis dan kendala sosial dalam pengembangan pemanfaaatan ubi jalar meliputi bulkiness/perishability, tingginya biaya produksi per unit, kandungan bahan kering, hama, penyakit, status ubi jalar yang rendah, produsen berpenghasilan rendah, keterbatasan rantai pasokan. 2.5 Penelitian Terdahulu Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti lain yang menjadi dasar dan referensi dalam tesis ini. Penelitian tersebut diantaranya adalah mengenai simulasi dan optimasi rantai pasokan, kajian rantai pasokan tepung ubi jalar, serta berbagai penelitian mengenai proses produksi tepung ubi jalar itu sendiri. Irfansyah (2001) meneliti karakteristik sifat fisiko-kimia dan fungsional tepung ubi jalar, serta merumuskan formula dalam memanfaatkan tepung ubi jalar sebagai bahan baku kerupuk. Pada penelitiannya, Irfansyah mengkaji perbedaan karakteristik tepung yang dihasilkan dari dua jenis varietas yaitu ubi jalar putih dan ubi jalar jingga, serta perbedaan bahan baku setengah jadi, yaitu ubi jalar bentuk sawut dan bentuk pelet. Kussuma (2008) melakukan kajian tekno-ekonomi pendirian industri tepung ubi jalar melalui Participatory Action Research (PAR) di Desa Cikarawang Bogor. Penelitian tersebut mencakup pelaksanaan Participatory Action Research (PAR), analisis pasar dan pemasaran tepung ubi jalar, analisis teknis teknologis, analisis manajemen organisasi, hingga analisis finansial. Blackburn dan Scudder (2009) mengkaji strategi dan model rantai pasokan untuk produk yang mudah rusak dengan contoh kasus produk segar hasil pertanian yaitu buah melon segar dan jagung manis segar. Hasil penelitian menunjukan model yang cocok untuk meminimumkan kehilangan nilai pada rantai pasokan adalah dengan menerapkan model gabungan (hybrid model) antara 23 model responsif pada saat pasca panen ke saat cooling, dengan model efisien pada rantai selanjutnya. Ahumada dan Villalobos (2009) dalam penelitiannya meninjau berbagai literatur yang membahas tentang rantai pasokan makanan hasil pertanian yang telah berhasil diimplementasikan. Berdasarkan hasil analisisnya, peneliti mengdiagnosa beberapa persyaratan dalam memodelkan rantai pasokan produk makanan hasil pertanian. Stefanofic et al. (2009) melakukan kajian terhadap metodologi jaringan pasokan (supply network) dan simulasi. Hasil penelitian ini mengusulkan sebuah pendekatan umum dalam pemodelan jaringan pasokan dengan beberapa kondisi: jaringan mengandung sejumlah pemasok (suppliers), manufacturers, wholesalers, dan retailers yang merepresentasikan sebuah titik dalam jaringan. Proses tertentu terjadi pada masing-masing titik tersebut dan proses yang ada saling berhubungan satu sama lain. 24 III METODOLOGI 3.1. Kerangka Penelitian Sebuah manajemen rantai pasok yang baik memerlukan berbagai keputusan yang berhubungan dengan aliran informasi, produk dan dana. Rancang bangun rantai pasokan untuk sebuah produk menjadi sangat penting untuk dikaji dan dibuat agar dapat meningkatkan surplus rantai pasokan. Keputusan mengenai rancang bangun rantai pasokan mencakup bagaimana menstrukturisasi rantai pasokan selama beberapa tahun ke depan, bagaimana konfigurasi rantai pasokannya, bagaimana memperoleh bahan baku dan pengalokasiannya, serta proses apa saja yang ada pada setiap tahapannya. Tepung ubi jalar sebagai salah satu alternatif solusi terhadap permasalahan ketahanan pangan nasional dinilai memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan di Indonesia. Berbagai penelitian telah dilakukan berkenaan dengan hal ini. Formula dan resep produk pangan berbahan baku tepung ubi jalar telah banyak dikembangkan pada penelitian-penelitian terdahulu. Kandungan gizi tepung ubi jalar dibandingkan dengan tepung terigu membuat tepung ubi jalar dapat dijadikan sebagai pengganti tepung terigu untuk beberapa produk pangan tertentu, di antaranya untuk produk mie, bihun, kue, cookies dan lain-lain. Pemanfaatan dan usaha pengembangan tepung ubi jalar dalam pengolahan pangan diharapkan dapat mendorong berkembangnya agroindustri tepung berbasis komoditas lokal untuk menunjang ketahanan pangan nasional. Pada penelitian ini, analisa dan perbaikan terhadap model rantai pasokan tepung ubi jalar dibuat dan sekaligus dilakukan optimasi terhadap model rantai pasokan yang telah ada saat ini. Keputusan mengenai jaringan rantai pasokan agroindustri tepung ubi jalar meliputi penugasan peran fasilitas yang ada, penentuan lokasi proses, penyimpanan atau fasilitas lain terkait transport, dan alokasi kapasitas serta pasar pada masing-masing-masing fasilitas. 26 Keputusan mengenai jaringan rantai pasokan tepung ubi jalar diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Peran fasilitas: Peran apa sajakah yang dimainkan oleh masing-maisng fasilitas serta proses apa saja yang dilakukan pada masing-masing fasilitas tersebut. 2. Lokasi fasilitas: Di manakah fasilitas sebaiknya ditempatkan. 3. Alokasi kapasitas: Berapa banyak kapasitas yang mesti dialokasikan pada masing-masing fasilitas. 4. Pasar dan alokasi pasokan/supply. Pasar mana sajakah yang mesti dipenuhi oleh masing-masing fasilitas serta sumber pasokan mana saja yang mesti memenuhi kebutuhan masing-masing fasilitas. Penentuan desain jaringan memiliki pengaruh yang nyata terhadap performa rantai pasokan tepung ubi jalar karena hal ini akan turut menentukan konfigurasi rantai pasokan dan menetapkan batasan sehingga driver-driver lain dari rantai pasokan tersebut dapat berfungsi untuk menurunkan biaya rantai pasokan ataupun meningkatkan responsifitas. Keputusan mengenai lokasi fasilitas yang tepat dapat membantu rantai pasokan menjadi responsif sambil menjaga biaya agar tetap rendah. Kerangka penelitian secara garis besar disajikan pada Gambar 7. Ruang lingkup model rantai pasokan dibatasi pada petani pemasok ubi jalar hingga ke industri pangan pengolah tepung ubi jalar. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 8 yang menjelaskan tentang tahapan yang dilakukan selama penelitian berlangsung. Untuk mengembangkan suatu produk, penyusunan deskripsi atau potret kondisi riil produk perlu dilakukan. Pada penelitian ini kondisi riil usaha tepung ubi jalar dikaji berdasarkan pengamatan pada beberapa sentra produksi ubi jalar. Secara lebih mendalam, kajian mengenai kondisi rantai pasokan tepung ubi jalar saat ini turut dilakukan untuk menjadi gambaran dalam perancangan model rantai pasokan agroindustri ubi jalar. Sebelumnya, dilakukan kajian mendalam terhadap karakteristik fisik dan mekanis dari ubi jalar yang akan menentukan tata cara penyimpanan dan pendistribusian bahan baku, bahan setengah jadi dan produk jadi yang baik untuk meminimalisir kerusakan yang dapat terjadi baik selama 27 penyimpanan maupun perjalanan. Kajian mengenai pasokan ubi jalar menjadi sangat penting dilakukan demi kelangsungan agroindustri tepung ubi jalar. Sebagai sebuah industri, industri tepung ubi jalar dituntut untuk dapat memasok produknya secara kontinyu kepada para pelanggannya. Dalam hal ini pasokan bahan baku ubi jalar menjadi penting untuk dipenuhi. Tujuan & Manfaat Ruang Lingkup Kegiatan Perancangan desain rantai pasokan tepung ubi jalar yang tepat guna mengembangkan agroindustri tepung ubi jalar dan membantu para pelaku yang terlibat Petani Ubi jalar Pedagang antara Agroindusti tepung ubi jalar Identifikasi karakteristik ubi jalar, dan tepung ubi jalar Identifikasi rantai pasokan dan kondisi aktual agroindustri tepung ubi jalar Karakteristik ubi jalar dan tepung ubi jalar Kondisi aktual rantai pasok tepung ubi jalar Luaran pemasok tepung ubi jalar Industri pengolah tepung ubi jalar Perancangan desain rantai pasok tepung ubi jalar Penyusunan peta ketidakpastian supply&demand tepung ubi jalar Penyusunan kapabilitas rantai pasokan tepung ubi jalar (efisien/responsif ) Strategi rantai pasok tepung ubi jalar Pebaikan rantai pasokan tepung ubi jalar & Optimasi biaya total rantai pasokan Rantai Pasok Tepung Ubi jalar yang efektif Gambar 7 Kerangka pemikiran penelitian Tahapan selanjutnya dalam proses perbaikan rantai pasokan tepung ubi jalar adalah pendefinisian strategi kompetitif berdasarkan identifikasi lanskap ketidakpastian (ketidakpastian demand dan supply). Pada tahap ini dikaji sifat permintaan dari tepung ubi jalar untuk kemudian dicocokan dengan strategi rantai pasokannya. 28 Secara garis besar diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 8 berikut: Kajian karakteristik ubi jalar & identifikasi kondisi akutual agroindustri tepung ubi jalar saat ini Formulasi strategi rantai pasokan tepung ubi jalar yang ideal Identifikasi sifat dasar permintaan tepung ubi jalar Identifikasi karakteristik rantai pasokan yang ada Perbaikan rantai pasokan tepung ubi jalar Pemodelan lokasi fasilitas (dengan metode CPI, dan metode lokasi gravitasi) Model simulasi biaya total rantai pasokan Rantai Pasokan Tepung Ubi Jalar Gambar 8 Diagram alir penelitian 3.2. Prosedur Penelitian Berdasarkan diagram alir penelitian (Gambar 8), terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan pada penelitian ini. Uraian dan prosedur mengenai kegiatan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Identifikasi karakteristik tepung ubi jalar Analisa karakteristik fisik dan kimia secara tepung ubi jalar dilakukan secara deskriptif. Kegiatan ini meliputi analisa terhadap karakteristik ubi jalar sebagai bahan baku, ulasan proses pengolahaannya ke dalam bentuk tepung, serta identifikasi potensi pengembangan tepung ubi jalar. Informasi yang diperoleh berasal dari studi literatur/pustaka mutakhir yang pada kegiatan ini menjadi masukan pada penentuan metode penyimpanan dan distribusi. 2. Identifikasi kondisi aktual agroindustri tepung ubi jalar. Kegiatan dilakukan secara deskriptif meliputi analisa terhadap rantai pasok tepung ubi jalar yang telah ada. Teknik pengambilan informasi dilakukan 29 melalui survey secara langsung pada lokasi agroindustri tepung ubi jalar yaitu di Desa Cikarawang kabupaten Bogor, serta dengan pengambilan data sekunder untuk agroindustri tepung ubi jalar di Kabupaten Kuningan. Hasil dari kegiatan ini menjadi masukan pada saat perbaikan konfigurasi rantai pasokan tepung ubi jalar agar didapat rantai pasok yang lebih efektif. 3. Penyusunan strategi rantai pasokan agorindustri tepung ubi jalar. Penyusunan strategi rantai pasokan mengikuti panduan yang diusulkan oleh Chopra dan Meindl (2007). Kegiatan ini diawali dengan kajian mengenai sifat dari permintaan tepung ubi jalar, ketidakpastian permintaan dan pasokan tepung ubi jalar, serta perumusan strategi kompetitif agroindustri. a. Identifikasi sifat dasar permintaan tepung ubi jalar (Nature of Demand) dan pemahaman kapabilitas rantai pasokan. Terdapat dua jenis produk berdasarkan pola permintaannya, yaitu jenis produk fungsional dan produk inovatif. Masing-masing kategori produk tersebut kemudian memerlukan jenis rantai pasokan yang berbeda. Permasalahan penting dalam hal memperoleh rancang bangun rantai pasokan yang efektif adalah melakukan pencocokan terhadap jenis produk dengan jenis rantai pasokannya. Pengidentifikasian klasifikasi produk tepung ubi jalar dilakukan berdasarkan Tabel 3 berikut (Fisher 1997): Tabel 3 Produk fungsional versus produk inovatif: perbedaan permintaan Aspek Permintaan Siklus hidup produk Produk Fungsional (predictable demand) Lebih dari 2 tahun Produk Inovatif (unpredictable demand) 3 bulan sampai 1 tahun Kontribusi margin 5% sampai 20% 20% sampai 60% Variasi produk Rendah (10 sampai 20 variasi produk per kategori) Tinggi Rata-rata eror peramalan 10% 40% sampai 100% Tingkat kekurangan produk 1 sampai 2% 10% sampai 40% Lead time yang dibutuhkan untuk produk made-to-order 6 bulan sampai 1 tahun 1 hari sampai 2 minggu Sumber: Fisher (1997) 30 b. Analisa kapabilitas rantai pasokan Berdasarkan karakteristiknya, rantai pasokan secara fungsional dapat digolongkan menjadi rantai pasok dengan fungsi fisik dan fungsi mediasi pasar. Pemahaman mengenai kapabilitas rantai pasokan tepung ubi jalar dilakukan melalui analisa deskriptif. c. Pemetaan ketidakpastian permintaan dan pencocokan rantai pasokan dengan produk (achieving strategy fit). Setelah memetakan ketidakpastian demand dan memahami posisi rantai pasokan pada spektrum responsivitasnya, langkah selanjutnya adalah memastikan apakah derajat responsivitas rantai pasokan sudah konsisten dengan ketidakpastian demand-nya. Untuk memformulasikan strategi rantai pasokan dapat digunakan matriks berikut (Fisher 1997) (Gambar 9): Produk fungsional Rantai Pasok Produk inovatif Cocok Tidak Cocok Tidak Cocok Cocok Efisien Rantai Pasok Responsif Gambar 9 Matriks kecocokan (Fisher 1997) Berdasarkan pemetaan rantai pasokan tepung ubi jalar terhadap matriks kecocokan yang akan dilakukan, dapat diketahuhi apakah strategi rantai pasokan tepung ubi jalar yang diterapkan telah sesuai dengan strategi kompetitifnya. Bila belum, perlu dilakukan upaya, berupa perumusan strategi lebih lanjut untuk menggeser posisi kecocokan dalam matriks, apakah itu keluar dari sel kanan atas matriks atau keluar dari sel kiri bawah matriks. Beberapa kemungkinan strategi rantai pasokan yang dapat diterapkan diantaranya adalah meningkatkan responsivitas/kecepatan kebutuhan konsumen atau minimisasi biaya rantai pasokan. pemenuhan 31 4. Perbaikan rantai pasokan mencakup bagaimana menstrukturisasi rantai pasokan selama beberapa tahun ke depan, bagaimana konfigurasi rantai pasokannya, bagaimana memperoleh bahan baku dan pengalokasiannya, serta proses apa saja yang ada pada setiap tahapannya. Ketiga tahap yang dilakukan sebelumnya sangat mempengaruhi rancang bangun rantai pasokan tapung ubi jalar ini. Rancang bangun rantai pasokan yang dibuat harus mendukung strategi rantai pasokan dan strategi kompetitif agar dapat memaksimalkan surplus rantai pasokannya. Pada tahap ini dilakukan perancangan rantai pasokan tepung ubi jalar. Rancang bangun rantai pasokan yang akan dibuat harus mendukung strategi rantai pasokan dan strategi kompetitif agar dapat memaksimalkan surplus rantai pasokannya. a. Pemodelan lokasi fasilitas Lokasi fasilitas dalam hal ini adalah agroindustri tepung ubi jalar ditentukan melalui dua metode. Metode pertama adalah untuk memilih beberapa alternatif lokasi (kota) dari sekian banyak alternatif yang akan dipertimbangkan sebagai lokasi agroindustri tepung ubi jalar yang ideal dengan menggunakan metode teknik perbandingan indeks kinerja (CPI/Comparative Performance Index). Hasil dari metode CPI berupa lima kota alternatif pendirian agroindustri akan menjadi masukan pada metode kedua, yaitu metode model gravitasi untuk menentukan satu lokasi agroindustri yang paling efisien. - Teknik Perbandingan Indeks Kinerja (Comparative Performance Index, CPI) Teknik Perbandingan Indeks Kinerja(Comparative Performance Index, CPI) merupakan indeks gabungan (Composite Index) yang dapat digunakan untuk menentukan penilaian atau peringkat dari berbagai alternatif (i) berdasarkan beberapa kriteria (j). Formula yang digunakan dalam teknik CPI adalah sebagai berikut: Aij = Xij (min) x 100 / Xij (min) A(i+1 * j) = (X(I+1 * j))/Xij(min) x 100 Iij = Aij x Pj Ii = ∑ (Iij) 32 Keterangan: Aij = nilai alternatif ke-i pada kriteria ke-j Xij (min) = nilai alternatif ke-i pada kriteria awal minimum ke-j A(i+1 * j) = nilai alternatif ke-i + 1 pada kriteria ke-j (X(I+1 * j)) = nilai alternatif ke-i + 1 pada kriteria awal ke-j Pj = bobot kepentingan kriteria ke-j Iij = indeks alternatif ke-I i = 1, 2, 3,...., n j = 1, 2, 3,...., m (Marimin 2005) - Model Gravitasi (Gravity Location Models) Model gravitasi merupakan salah satu metode optimasi non linier. Model ini digunakan untuk menentukan lokasi yang dapat meminimumkan biaya transportasi bahan baku dari supplier dan transportasi produk akhir ke pasar/konsumen yang dituju. Pada tahap awal, ditentukan letak geografis dari lokasi-lokasi fasilitas potensial. Model ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi lokasi geografis yang cocok untuk mendirikan fasilitas/industri dalam suatu daerah. Pada model gravitasi, baik pasar maupun sumber pasokan diasumsikan dapat ditempatkan sebagai titik-titik pada jaringan suatu bidang peta. Model ini juga mengasumsikan biaya transportasi meningkat secara linier sesuai dengan jumlah produk yang ditransportasikan. Input dasar untuk model gravitasi adalah: xn, yn : koordinat lokasi pasar atau sumber pasokan n Fn : biaya angkut per unit per satu satuan jarak antara industri dengan sumber pasokan n atau pasar/konsumen. Dn : banyaknya unit yang diangkut antara industri dengan sumber pasokan n atau pasar/konsumen. Jika (x,y) adalah lokasi yang terpilih untuk pendirian industri, maka jarak dn antara industri pada berbagai lokasi (xn,yn) dengan sumber pasokan n atau pasar/konsumen adalah sebagai berikut: 33 dn = [(xn - x)2 + (yn - y)2] maka biaya transportasi total (TC) adalah: TC = ∑ dn Dn Fn Lokasi optimal untuk pendirian industri adalah koordinat (x,y) yang meminimukan TC. Penyelesaian terhadap fungsi tujuan biaya transportasi total (TC) diperoleh dengan menggunakan nonlinier programming, yaitu dengan menggunakan bantuan Solver pada Excel. b. Pembangunan model simulasi dilakukan berdasarkan strategi rantai pasokan yang telah disusun pada tahapan sebelumnya. Model simulasi rantai pasokan agroindustri tepung ubi jalar dirancang dengan menggunakan pemrograman Stella®. Bahasa Pemrograman Stella® Perangkat lunak Stella® dapat digunakan untuk merancang model dan simulasi dari berbagai macam disiplin. Beberapa alat penyusun model yang sering digunakan dalam Stella® adalah sebagai berikut: “Stock” merupakan hasil suatu akumulasi. Fungsinya untuk menyimpan informasi berupa nilai suatu parameter yang masuk ke dalamnya. Flow/Pompa di sebelah kiri stock/reservoar merepresentasikan tingkat perubahan jumlah dalam reservoar. Fungsi dari sebuah flow seperti aliran, yakni menambah atau mengurangi stock. Arah anak panah menunjukkan arah aliran tersebut. Aliran bisa satu arah maupun dua arah Connectors, berfungsi menghubungkan elemen-elemen dalam satu model Converter, mempunyai fungsi yang luas, dapat digunakan untuk menyimpan knstanta, input bagi suatu persamaan, melakukan kalkulasi dari berbagai input lainnya atau menyimpan data dalam bentul grafis (tabulasi x dan y). Secara umum fungsinya adalah untuk mengubah suatu input menjadi output. 34 Persyaratan sistem Stella® untuk Sistem Operasi Windows adalah sebagai berikut: 233 MHz Pentium, Microsoft Windows™ 2000/XP/Vista/7, 128 MB RAM, 90 MB disk space, QuickTime 7.6.5 atau versi sebelumnya. 3.3. Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut: 1. Pengumpulan data primer, yaitu dengan mengadakan wawancara dengan sumber terkait (produsen, petani, agen, industri pengolah) serta mengadakan pengamatan langsung di lapangan. Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi jumlah produksi dan penjualan, sistem transportasi, distribusi dan pasokan serta hubungan kemitraan antara pemasok dan distributor. 2. Pengumpulan data sekunder, yaitu dengan penelusuran buku-buku, hasil-hasil penelitian, jurnal, dan sumber-sumber lain yang berhubungan. IV HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa mengenai karakteristik tepung ubi jalar dilakukan sebagai masukan pada proses perancangan rantai pasokan agroindustri tepung ubi jalar. Karakteristik bahan baku (umbi ubi jalar), bahan setengah jadi (sawut ubi jalar) dan produk jadi (tepung ubi jalar) akan sangat berpengaruh pada proses penyimpanan, pendistribusian, dan juga terhadap struktur rantai pasokan. Umbi ubi jalar sebagai bahan baku agroindustri tepung ubi jalar memiliki beberapa karakteristik khas komoditas pertanian diantaranya perishable (mudah rusak) dan bulky (kamba) yang akan menjadi pertimbangan penting pada saat menyusun strategi rantai pasokannya (SCM). Pembahasan mengenai karakteristik tepung ubi jalar dilakukan terlebih dahulu, dilanjutkan dengan pembahasan mengenai kondisi aktual agroindustri tepung ubi jalar di Indonesia. Pemaparan kondisi aktual agroindustri ini merupakan masukan pada saat membuat rancangan rantai pasokan tepung ubi jalar. 4.1 Karakteristik Tepung Ubi Jalar 4.1.1 Karakteristik Ubi Jalar Masyarakat umumnya mengkonsumsi ubi jalar secara langsung setelah pengolahan secara sederhana, seperti dikukus, digoreng, direbus, atau dibuat kolak. Ubi jalar merupakan produk hasil pertanian yang memiliki sifat mudah rusak dan banyak membutuhkan tempat untuk penyimpanan, sehingga setelah pemanenan, para petani biasanya langsung menjual ubi jalar langsung ke tengkulak atau pasar-pasar tradisional. Pada program diversifikasi ubi jalar, pengolahan ubi jalar dapat dikembangkan melalui peningkatan keragaman menu olah ubi segar (seperti ubi rebus, obi, timus), pembuatan produk olah setengah jadi siap santap (produk ekstrusi, manisan, saos), produk olah setengah jadi siap masak (bihun, mie, snack food, makanan bayi), dan produk bahan baku awet (tepung, pati dan „chip‟). Usaha pengembangan produk-produk tersebut perlu memperhatikan sifat-sifat 36 fisik fisiko-kimia dan gizi bahan baku ubi jalar untuk dapat menghasilkan produk dan mutu produk olah sesuai dengan yang dikehendaki. Ubi jalar memiliki sifat fisik, seperti warna kulit dan daging, serta tekstur yang bervariasi menurut varietasnya. Berbagai jenis ubi jalar diantaranya jenis lokal, varietas unggul dan klon harapan (calon varietas unggul) menghasilkan keragaman pada bentuk ubi, ukuran ubi, warna ubi dan kulit, daya simpan, komposisi kimia, sifat pengolahan dan umur panen. Tepung ubi jalar dapat dihasilkan dari berbagai jenis ubi jalar, namun menghasilkan mutu yang beragam pula. Pemilihan terhadap varietas ubi jalar yang akan digunakan sebagai bahan baku tepung ubi jalar dipengaruhi oleh pertimbangan karakteristik tepung yang ingin dihasilkan. Ubi jalar dengan daging ubi berwarna ungu akan menghasilkan tepung berwarna ungu. Hal ini akan mempengaruhi warna dari produk olahan pangan berbahan baku tepung ubi jalar ungu. Sebagai contoh, bakpau ungu yang dihasilkan dari tepung ubi jalar ungu. Warna daging ubi jalar terdiri dari berbagai macam, di antaranya warna putih, kuning, jingga dan ungu. Warna daging dan kulit ubi jalar yang beragam tersebut ternyata berhubungan dengan kandungan gizi dalam ubi. Perbedaan warna ubi disebabkan oleh kandungan pigmen di dalamnya. Salah satu pigmen yang terdapat di dalam ubi jalar adalah karatenoida. Ubi jalar oranye atau merah mengandung vitamin A hingga 7700 SI per 100 g bahan segarnya. Konsumen memiliki preferensi yang berbeda terhadap warna ubi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Damardjati (1990), produsen makanan kremes lebih memilih bahan baku ubi jalar segar berwarna daging kekuning-kuningan, sedangkan untuk saos dan selai dipilih warna daging ubi kemerah-merahan. Dalam produksi tepung ubi jalar, cenderung dipilih ubi yang memiliki warna daging maupun warna kulit yang putih agar dihasilkan warna tepung yang putih juga. Pemilihan warna daging ubi ini akan berpengaruh pada hasil akhir tepung. Bentuk dan ukuran ubi merupakan salah satu kriteria mutu yang langsung mempengaruhi harga (Damardjati & Widowati 1994). Ubi yang memiliki bentuk mendekati bulat-lonjong dan tak banyak lekukan mempermudah proses pengupasan sehingga umumnya rendemen ubi kupasnya tinggi. Ukuran ubi yang sedang dan seragam, dengan berat 200 – 250 g membutuhkan waktu pengupasan 37 yang relatif lebih cepat dibanding pengupasan ubi dengan bentuk yang tidak seragam besarnya. Bentuk ubi yang seragam tersebut merupakan bentuk yang ideal bagi pengusaha maupun tenaga kerja karena tahapan pengupasan ubi umumnya pekerja dibayar dengan sistem borongan. Seperti pada sifat fisik ubi jalar, sifat kimia ubi jalar bervariasi tergantung dari jenis/varietasnya. Ubi jalar segar mengandung 71 % air, 25 % karbohidrat, 1 - 2 % protein (Bradburry & Halloway 1988). Ubi jalar mengandung karbohidrat dalam jumlah tinggi seperti pada Tabel 2 dan jika dibandingkan dengan komoditas pertanian sumber karbohidrat lainnya ubi jalar memiliki potensi sebagai komoditas pertanian sumber karbohidrat yang baik jalar (Tabel 4). Dari segi kandungan gizinya, ubi jalar dapat memenuhi kebutuhan kalori seseorang per harinya. Selain sebagai sumber karbohidrat, ubi jalar ternyata mengandung vitamin A, C, dan B1 yang tinggi dibandingkan dengan beras, jagung, maupun terigu sebagai sumber pangan. Kandungan protein dalam ubi jalar lebih sedikit dibandingkan dengan beras giling, jagung dan terigu (Tabel 4). Jumlah kandungan protein ini akan berpengaruh pada karakteristik tepung yang akan dihasilkan nantinya. Ubi jalar juga mengandung lemak lebih sedikit namun dapat menjadi makanan sumber vitamin yang baik. Tabel 4 Kandungan gizi dalam100 g beras, jagung, terigu dan ubi jalar Zat Makanan Kalori (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Zat Kapur (mg) Fosfor (mg) Zat besi (mg) VitA (SI) Vit C (mg) Vit B 1 Kalsium Beras Giling 360,00 6,80 0,70 78,90 6,00 140,00 0,80 0,26 0,12 --- Jagung Terigu 355,00 9,2 3,90 73,70 10,00 256,00 2,40 ----- 365,00 8,90 1,30 77,30 16,00 106,00 1,20 0,12 0,12 --- Ubi Putih 123,00 1,80 0,70 27,90 -49,00 0,70 60,00 22,00 0,90 20,00 Ubi Oranye 123,00 1,80 0,70 27,90 -49,00 0,70 7.700,00 22,00 0,90 30,00 Ubi kuning 136,00 1,10 0,40 32,30 -52,00 0,70 900,00 35,00 0,10 57,00 Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1981) Karakteristik ubi jalar yang berhubungan dengan kandungan karbohidrat adalah kecenderungan timbulnya flatulensi (perut kembung) setelah mengkonsumsi ubi jalar. Flatulensi disebabkan oleh gas flatus, umumnya H2 dan CO2 (Palmer 1982), yang merupakan hasil samping fermentasi karbohidrat yang 38 tidak dicerna dalam tubuh, yang dilakukan oleh mikroflora usus. Karbohidrat yang tidak tercerna tersebut antara lain pati tidak tercerna (resistant starch), oligosakarida tak tercerna (non digestibility oligosaccharides), dan polisakarida non pati (non starch polysaccharides) seperti komponen-komponen serat makanan (Damardjati 2003). Ubi jalar juga mengandung zat anti gizi dan penurun cita rasa yang memberikan pengaruh negatif terhadap preferensi ubi jalar. Anti gizi utama dalam ubi jalar adalah trypsin inhibitor yang bersifat menghambat kerja tripsin yang berperan sebagai pemecah protein. Akibat adanya anti tripsin ini, menyebabkan pencernaan protein dalam usus terhambat, sehingga menurunkan tingkat penyerapan protein dalam tubuh yang ditunjukkan dengan timbulnya gejala mencret (Bradburry & Halloway 1988). Aktivitas anti tripsin dapat berkurang dengan perebusan, pengukusan dan pemasakan (Bradburry & Halloway 1998, Damardjati & Widowati 1994). Pada ubi jalar terdapat beberapa senyawa yang tidak berbahaya bagi kesehatan tapi menimbulkan rasa pahit, seperti ipomoeamarone, furanoterpen, kouramin dan polifenol yang dibentuk dalam jaringan pada saat ubi jalar luka akibat serangan serangga (Damardjati & Widowati 1994). Penggunaan ubi jalar bermutu baik akan berpengaruh nyata terhadap mutu tepung ubi. Ubi jalar sesuai diproses menjadi tepung apabila mempunyai kadar bahan kering dan pati tinggi, serta kadar air rendah. Kadar bahan kering tinggi menghasilkan rendemen tepung yang tinggi pula. Besarnya kadar bahan kering tergantung pada jenis/klon, lingkungan dan umur tanaman (Bradburry dan Halloway 1988). Antarlina (2003) melakukan pengkarakterisasian terhadap tiga belas jenis/klon/varietas ubi jalar (Tabel 5). Kadar air dalam ubi jalar berbanding terbalik dengan kadar bahan kering ubi dan kadar pati ubi. Semakin tinggi kadar air ubi jalar, semakin rendah pula kadar bahan kering dan kadar pati ubi. Pada ubi jalar varietas kawi dengan daging ubi berwarna ungu memiliki kadar bahan kering paling tinggi (35.07 %) serta kadar pati yang tinggi (58.6 7% bk) dan memiliki kadar air rendah (64.93 % bb). 39 Tabel 5 Klon/ Varietas Warna ubi dan komposisi kimia beberapa klon ubi jalar Warna Ubi Air Bahan Pati Gula Rdks Abu Gula Reduksi (%bk) bk) (% bb) Kering (%) (% bk) (% (% bk) Taiwan/396-6 Kuning Taiwan/395-23 Putih Taiwan/396-24 Kuning Tis 5125-42 Putih Tis 5125-82 Kuning Ciceh 27 Putih Ciceh 29 Krem Ciceh 35 Krem Ciceh 39 Krem Lapis 30 Krem Lapis 34 Krem Genjah Rante Kuning Kawi Ungu Sumber: Antarlina (2003) 71.89 71.96 73.65 71.96 65.19 66.43 72.27 69.92 77.72 63.36 67.51 67.09 64.93 28.11 28.04 26.35 28.04 34.81 33.57 27.73 30.08 22.28 36.64 32.49 32.91 35.07 55.84 57.27 52.57 53.2 55.53 52.19 55.76 53.52 48.14 57.49 60.34 56.29 58.67 5.56 7.08 7.15 5.32 4.17 4.47 5.76 6.31 7.89 2.75 4.49 5.57 3.33 3.81 3.28 4.04 3.51 3.39 3.19 3.4 3.34 4.23 2.56 2.95 2.93 -- Serat (% bk) 3.42 3.23 3.711 3.83 3.53 3.38 3.67 3.94 4.65 3.18 3.03 3.18 2.6 Kadar air dalam ubi jalar berbanding terbalik dengan kadar bahan kering ubi dan kadar pati ubi. Semakin tinggi kadar air ubi jalar, semakin rendah pula kadar bahan kering dan kadar pati ubi. Pada ubi jalar varietas kawi dengan daging ubi berwarna ungu memiliki kadar bahan kering paling tinggi (35.07 %) serta kadar pati yang tinggi (58.67% bk) dan memiliki kadar air rendah (64.93% bb). Kadar karbohidrat dan pati yang tinggi menyebabkan ubi jalar dapat diolah menjadi tepung-tepungan. 4.1.2 Pengolahan Ubi Jalar Menjadi Tepung Ubi Jalar, Panen dan Pascapanen Ubi Jalar Penentuan waktu panen ubi jalar didasarkan atas umur tanaman. Jenis atau varietas ubi jalar berumur pendek (genjah) dipanen pada umur 3 - 3.5 bulan, sedangkan varietas berumur panjang dipanen sewaktu berumur 4.5 – 5 bulan. Penanganan ubi jalar yang ideal dimulai pada umur tiga bulan, dengan penundaan paling lambat sampai umur empat bulan. Panen pada umur lebih dari empat bulan, selain beresiko tinggi terkena serangan hama boleng juga tidak akan memberikan kenaikan hasil ubi (Rukmana 1997). Pemanenan yang dilakukan terlalu awal menyebabkan ubi cepat keriput dan rendemen yang rendah. Sebaliknya, bila terlambat panen, ubi menjadi berserat, mudah rusak dan kurang menarik. Cara panen yang dilakukan kurang hati-hati menyebabkan ubi banyak yang rusak 40 sehingga cepat busuk. Tercampurnya ubi yang rusak ke dalam ubi sehat menyebabkan investasi hama dan penyakit. Proses pra-panen, panen, pasca panen, penyimpanan dan distribusi dapat menjadi hambatan dalam pemasaran ubi jalar bila tidak dilakukan dengan baik, karena dapat menyebabkan penurunan mutu ubi jalar. Cara-cara penanganan ubi pada saat pemanenan serta cara pengangkutan perlu mendapat perhatian yang baik agar mengurangi kerusakan yang terjadi. Umbi ubi jalar memiliki kulit yang lunak dan kadar air yang tinggi sehingga mudah rusak oleh pengaruh mekanis. Kerusakan mekanis ini akan memberi peluang bagi berlangsungnya kerusakan mikrobiologis yang akan mengakibatkan rusaknya umbi secara keseluruhan (Muryanto et al. 1978). Penanganan pasca panen ubi jalar biasanya ditujukan untuk mempertahankan daya simpan, dan menjaga agar ubi yang disimpan tidak turun mutunya/rusak. Penyimpanan ubi yang paling baik dilakukan dalam pasir atau abu. Cara penyimpanan dengan ditutup pasir atau abu dapat mempertahankan daya simpan ubi sampai lima bulan. Ubi jalar yang mengalami proses penyimpanan yang baik akan menghasilkan rasa ubi yang manis dan enak bila dibandingkan dengan ubi yang baru dipanen (Pramuji 2007). Ubi jalar bila disimpan pada tempat yang cukup kering dan aerasi yang baik dapat disimpan relatif cukup lama bila dibandingkan dengan ubi kayu (Damardjati & Widowati 1994). Hal yang penting diperhatikan dalam penyimpanan ubi jalar adalah melakukan pemilihan ubi yang baik, tidak ada yang rusak atau terluka dan tempat penyimpanan bersuhu rendah antara 27 – 30oC dengan kelembaban udara antara 85-90 % (Pramuji 2007). Untuk meningkatkan masa simpan di beberapa daerah, penyimpanan dengan menggunakan rak agar tidak langsung di atas tanah, atau di dalam keranjang bambu, atau di atas lantai semen. Cara-cara tersebut memberikan masa simpan yang lebih lama dibandingkan dengan disimpan di atas tanah tanpa rak (Widowati et al. 1991). Untuk meningkatkan masa simpan ubi jalar, diberikan perlakuan awal kondisi optimum untuk proses curing. Ubi jalar hasil panen, dibersihkan, disusun dalam tempat penyimpanan (keranjang) kemudian disimpan dalam suhu hangat 41 (30 oC) dan kelembaban yang tinggi (RH 90 - 95 %) selama 10 - 15 hari. Selama curing terjadi penggabusan dan penebalan pada lapisan kulit ubi. Ubi jalar yang mengalami proses curing dapat disimpan hingga enam bulan tanpa kerusakan (Damardjati & Widowati 1994). Tepung ubi merupakan tepung yang dibuat dari ubi yang dikeringkan, sehingga tepung mengandung seluruh komponen yang ada dalam ubi itu sendiri. Tepung ubi berbeda dengan pati; pati adalah hasil ekstraksi bahan dalam air dan dikeringkan. Dengan demikian, tepung ubi jalar berbeda dengan pati ubi jalar. Bentuk tepung mempunyai beberapa keunggulan, antara lain praktis, mudah diformulasi menjadi berbagai produk makanan, hemat ruang penyimpanan dan mudah didistribusikan serta mempunyai nilai gizi yang baik. Bentuk tepung juga mempermudah dan memperlama penyimpanan sampai beberapa bulan atau tahunan. Pembuatan tepung umbi umumnya sangat sederhana, hanya menggunakan proses ”pengupasan, pencucian, pengecilan ukuran (pengirisan atau pemarutan/sawut), pengeringan, dan penepungan”. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ningrum (1999), jenis ubi jalar, jenis pengering, dan interaksi antara kedua faktor tersebut berpengaruh nyata terhadap kadar beta karoten, rendemen, kadar abu, kadar serat, kadar karbohidrat, kadar lemak, derajat putih pada tepung ubi jalar yang dihasilkan. Hasil penelitian Ningrum menunjukkan bahwa tepung ubi jalar yang dikeringkan dengan pengering drum merupakan tepung yang baik untuk dikonsumsi dan berpotensi untuk dikembangkan. Proses Pembuatan Tepung Ubi Jalar Terdapat beberapa cara pengolahan ubi jalar menjadi tepung ubi jalar. Secara umum, produksi tepung ubi jalar dapat dilakukan secara sederhana oleh industri rumah tangga. Pada umumnya, proses pengolahan ubi jalar menjadi tepung ubi jalar meliputi tahapan pencucian ubi jalar, pengupasan, pemotongan ubi jalar/pengirisan hingga berbentuk chips (penyawutan), perendaman ubi jalar dalam larutan natrium metabisulfit, pengeringan, dan penepungan. Proses pengolahan tepung ubi jalar disajikan pada Gambar 10 berikut ini: 42 Ubi jalar segar Pencucian, pengupasan dan penyawutan Perendaman dalam larutan sodium bisulfit Pengepresan Pengeringan (hingga kadar air 12 – 14%) Sinar matahari Alat pengering Sawut kering Penepungan Diayak 80 mesh Tepung ubi jalar Pengemasan Gambar 10 Proses pembuatan tepung ubi jalar (BB Pasca Panen Bogor 2000) Pencucian, pengupasan dan penyawutan ubi jalar Pencucian ubi jalar dilakukan untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang melekat pada ubi jalar. Perendaman dalam larutan natrium metabisulfit 0.3 % berfungsi untuk mencegah kontak langsgung dengan udara dan untuk m enghambat reaksi Maillard, karena pada metabisulfit akan berikatan dengan gugus aldehid dari gula sehingga gugus aldehid tersebut tidak dapat bereaksi dengan 43 senyawa-senyawa yang memiliki gugus NH, yaitu protein, akibatnya, kadar protein dapat dipertahankan. Metabisulfit digunakan juga untuk mempertahankan warna dan citarasa. Pemakaiannya dalam pengolahan bahan pangan bertujuan untuk mencegah proses pencoklatan pada buah sebelum diolah, menghilangkan bau dan rasa getir terutama pada ubi kayu serta untuk mempertahankan warna agar tetap menarik. Natrium metabisulfit dapat dilarutkan bersama-sama bahan atau diasapkan. Prinsip pengasapan tersebut adalah mengalirkan gas SO2 ke dalam bahan sebelum pengeringan. Pengasapan dilakukan selama + 15 menit. Maksimum penggunaannya sebanyak 2 g/kg bahan. Natrium metabisulfit yang berlebihan akan hilang sewaktu pengeringan (Warintek 2010). Pemotongan ubi jalar menjadi sawut dapat dilakukan dengan menggunakan slicer dengan ketebalan potongan kurang lebih 1.5 mm sehingga berbentuk chips tipis agar mempermudah dan mempercepat pengeringan. Blansir Proses blansir dapat dilakukan pada proses produksi tepung dari ubi jalar. Blansir merupakan proses pemanasan dengan menggunakan suhu tinggi dalam waktu yang singkat. Pemanasan dapat dilakukan dengan menggunakan uap air panas atau air mendidih (Muryanto et al. 1978). Tujuan dari proses blansir adalah untuk menginaktifkan enzim-enzim yang terdapat pada sayuran dan buah-buahan, yang dapat menyebabkan perubahan warna yang tidak dikehendaki pada hasil olahan. Perlakuaan blansir pada saat proses pengolahan ubi jalar menjadi tepung dapat mempertahankan kandungan karoten pada saat pengeringan dibandingkan dengan bahan yang tidak diblansir. Namun, untuk memperoleh kadar pati tepung yang lebih tinggi, dianjurkan untuk tidak menggunakan proses blansir (Muryanto et al. 1978). Proses blansir dapat mengakibatkan pati tergelatinkan. Pati yang telah mengalami gelatinisasi selanjutnya lebih mudah diuraikan menjadi gula sehingga kadar pati menurun. 44 Pengeringan Dari keseluruhan tahapan pengolahan ubi untuk tepung, pengeringan merupakan tahapan proses yang kritis yang menentukan mutu produk dan biaya produksi. Pengeringan ubi yang berkadar air sekitar 80 % menjadi dibawah 10 % memerlukan energi yang relatif banyak. Pengeringan yang saat ini umum dilakukan adalah pengeringan dengan tenaga matahari, yang biayanya amat rendah, namun sangat tergantung pada cuaca sehingga sulit untuk menjamin mutu produk akhirnya khususnya di musim penghujan. Pengeringan irisan ubi jalar memerlukan waktu 48 jam dibawah sinar matahari atau 36 jam dengan alat pengering pada suhu 60 0C untuk mencapai kadar air 7 % (Antarlina 1993). Ubi, baik ubi jalar maupun ubi kayu termasuk jenis hasil pertanian yang mudah rusak. Ubi kayu akan busuk (poyo) 48 jam sesudah dipanen. Sementara itu ubi jalar lebih tahan disimpan namun tetap mengalami penurunan kadar karbohidrat selama penyimpanan sebagai hasil respirasi, sehingga sebaiknya tidak disimpan lebih dari tujuh hari. Pemilihan alat dan kondisi pengering yang akan digunakan dipengaruhi oleh jenis bahan yang akan dikeringkan, mutu hasil akhir yang dikeringkan dan pertimbangan ekonomis. Jenis bahan padatan berbentuk lempeng maka alat yang sesuai untuk mengeringkan bahan tersebut adalah pengering kabinet atau tray dryer , oven, dan rotary dryer. Sedangkan untuk bahan yang berbentuk pasta atau puree alat yang sesuai untuk mengeringkan adalah pengering drum (Honestin 2007). Beberapa metode pengeringan yang dapat dilakukan pada proses pengolahan tepung ubi jalar adalah sebagai berikut: 1. Pengeringan dengan sinar matahari Keuntungan dari pengeringan dengan penjemuran di bawah sinar matahari yaitu adanya pemutih karena sinar ultraviolet matahari dan mengurangi degradasi kimia yang dapat menurunkan mutu bahan. Sedangkan kelemahanan dari metode ini adalah dapat terkontaminasinya bahan oleh debu. Dalam proses pengeringan sering timbul berbagai masalah seperti tidak adanya pengontro suhu dan kelembaban udara, terjadinya kontaminasi mikroba, serta ketergantungan pada kondisi cuaca setempat. 45 2. Pengeringan oven Pengering oven merupakan alat pengering yang paling mudah pemeliharaannya dan penggunaannya serta rendah biaya operasionalnya. Bahan yang akan dikeringkan dimasukkan ke dalam oven dan diatur pada suhu dan waktu tertentu, untuk selanjutnya digiling. Prinsip kerja pengering oven secara umum adalah memanaskan bahan dengan menggunakan prinsip pindah panas secara konveksi. Elemen pemanas akan memasukkan udara kemudian partikel-partikel udara mengenai bahan secara bergantian. 3. Pengeringan Drum (drum dryer) Drum dryer didefiniskikan sebagai alat untuk pengeringan dengan cara kontak bahan dengan permukaan luar alat secara kontinyu. Pengering drum merupakan tipe alat pengering yang pada dasarnya terdiri dari satu atau lebih silinder (drum) dari logam, yang berputar sesuai dengan as-nya pada posisi horizontal dan dilengkapi dengan pemanasan internal oleh uap air, air, atau medium cairan pemanasan lainnya. Produk yang akan dikeringkan dituangkan di atas permukaan drum sebagai suatu lapisan yang tipis. Produk yang kering dilepaskan dari permukaan drum dengan pisau pengeruk. Pengeringan chips ubi jalar dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pemilihan metode pengeringan sangat mempengaruhi mutu dan karakteristik tepung ubi jalar yang akan dihasilkan. Pada proses pengeringan, kerusakan karotenoid perlu diperhatikan, karena karoten mudahteroksidasi terutama pada suhu tinggi (Muryanto et al. 1978). Selain pengeringan matahari, pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengering yang dapat diatur suhu dan kelembabannya. Beberapa alat pengering ubi jalar di antaranya adalah cabinet dryer (Dhania 2006, Muryanto et al. 1978), drum dryer (Simanjuntak 2001), metode oven (Setiawan 2005). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setiawan (2005), metode pembuatan tepung ubi jalar yang tepat untuk menghasilkan produk mie adalah dengn metode oven. Metode ini dipilih karena dapat mengurangi biaya proses dibandingkan dengan penggunaan drum dryer yang membutuhkan biaya cukup mahal untuk produksi uapnya. Selain itu, tepung hasil pengeringan dengan drum dryer telah tergelatinisasi dengan sempurna sehingga sulit dibentuk lembaran 46 adonan, karena adonan menjadi terlalu lengket. Sedangkan Simajuntak (2001) lebih memilih menggunakan tepung ubi jalar dengan metose perebusan dan pengeringan drum dryer dalam pembuatan mie kering. Pemilihan ini didasarkan pada warna yang dapat dipertahankan dari reaksi pencoklatan, daya kohesi yang terbentuk selama perebusan dan penghancuran senyawa toksik akibat panas selama perebusan. Penggilingan/penepungan dan pengayakan Proses penggilingan/penepungan, dapat menggunakan disc mill (Dhania 2006) dan masih diperoleh hasil penggilingan tepung yang kasar. Untuk memperoleh tepung yang lebih halus dilakukan pengayakan dengan menggunakan ayakan 60 mesh (Dhania 2006). Pengemasan dan Penyimpanan Tepung Ubi Jalar Tepung ubi jalar bersifat higroskopis atau mudah menyerap air yang dapat menyebabkan kadar air pada tepung ubi jalar meningkat. Kadar air berkaitan dengan mutu dari produk tersebut. Semakin rendah kadar airnya, maka produk tersebut semakin baik mutunya. Kadar air yang rendah dapat mencegah dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak yang dapat menurunkan mutu produk tepung. Agar kadar air tepung ubi jalar tetap rendah maka harus dikemas dengan kemasan yang tidak mudah dilewati oleh uap air, misalnya plastik propilen (Dhania 1989). Rendemen tepung ubi jalar yang dihasilkan Rendemen tepung ubi jalar yang dihasilkan dapat mencapai 30% dari berat awal bahan. Hal ini sangat dipengaruhi oleh varietas ubi jalar yang digunakan untuk proses penepungan, serta mutu dari ubi jalar itu sendiri. Penggunaan ubi jalar bermutu baik akan berpengaruh nyata terhadap mutu tepung ubi. Ubi jalar sesuai diproses menjadi tepung apabila mempunyai kadar bahan kering dan pati tinggi, serta kadar air rendah. Kadar bahan kering tinggi menghasilkan rendemen tepung yang tinggi pula. Besarnya kadar bahan kering tergantung pada jenis/klon, lingkungan dan umur tanaman (Bradburry dan Halloway 1988). Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Antarlina (2003) dan Dhania (2006), kadar air dengan kadar bahan kering dan pati ubi jalar berkorelasi 47 negatif. Semakin tinggi kadar air maka kadar bahan kering dan kadar patinya makin rendah. Kadar bahan kering dengan kadar pati berkorelasi positif, makin tinggi kadar bahan kering maka makin tinggi pula kadar pati ubi jalar. Korelasi antara kadar pati dengan gula reduksi, abu dan serat kasar, adalah negatif. Semakin tinggi kadar pati ubi jalar maka kadar gula reduksi dan serat kadarnya makin rendah. Korelasi antara kadar air dan kadar bahan kering ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 5. Rendemen tepung dihasilkan sangat tergantung pada kadar bahan kering ubi. Semakin tinggi bahan kering ubi, semakin tinggi pula rendemen tepung yang dihasilkan. Besarnya kadar bahan kering tergantung pada varietas/klon, lingkungan (radiasi sinar matahari,suhu, pemupukan,kelembaban tanah) dan umur tanaman (Bradburry dan Hollway 1998). 4.1.3 Karakteristik Tepung Ubi Jalar Sifat fisik dan kimia tepung ubi jalar berbeda-beda tergantung jenis, usia, keadaan tumbuh dan tingkat kematangan ubi jalar yang diolah menjadi tepung. Perbandingan komposisi kimia dan karakteristik tepung ubi jalar dengan berbagai jenis tepung lainnya disajikan pada Tabel 6 dan Tabel 7. Tabel 6 Komposisi kimia tepung terigu, tepung ubi kayu dan tepung ubi jalar Komposisi Kadar air Karbohidrat Protein Lemak Abu Serat Sumber: 1) Marzempi et al. (1996) 2) Utomo dan Antarlina (1999) Terigu1) Ubi Kayu1) Ubi Jalar2) 11,89 % 74,28 % 12,83 % 1,27 % 0,50 % 0,51 % 13,50 % 81,64 % 1,60 % 0,53 % 1,62 % 1,43 % 7,56 % 85,21 % 2,42 % 0,50 % 2,80 % 2,22 % 48 Tabel 7 Perbandingan karakteristik beberapa jenis tepung Karakteristik Bentuk granula pati Tapioka Bulat terpotong1) 3-231) Ukuran granula pati Komposisi kimia - air 11.47 - abu 0.06 - protein 0.76 - lemak 0.19 - karbohidrat 87.531) Amilosa 173) SAG 65.35 VM 835 V95oC 440 VD 650 Sumber 1) Febriyanti (1990) 2) Moorthy (2000) 3) Glicksman (1969) 4) Swinkels (1985) 5) Djuanda (2003) di dalam Honestin (2007) Beras Poligonal 3-81) 12.0 0.15 7.0 0.5 80.01) 16-173) 66 240 240 5551) Jagung Bulat, poligonal1) 5-151) Gandum Oval, bulat1) 2-351) Ubi Jalar Bulat, poligonal2) 5-402) 10.0 1.4 10.3 4.8 73.51) 20-283) 62 470 470 8301) 12.0 0.11 8.9 1.3 77.31) 223) 65 65 60 3001) 3.74 2.31 1.92 1.20 90.835) 204) 60-80 480 3002) Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu tepung ubi jalar adalah; 1. Bahan baku. Keragaman bahan baku (ubi jalar) sangat tinggi, sehingga masing-masing jenis dapat menghasilkan mutu tepung ubi jalar yang berbeda faktor yang mempengaruhi mutu ini adalah umur tanaman, ukuran, bentuk bahan kering dan warna umbi. 2. Cara Pengolahan. Semua tahapan proses pembuatan tepung ubi jalar dapat mempengarui mutu tepung ubi yang dihasilkan. Pengupasan kulit benar-benar sempurna terutama kulit yang berwarna merah. Air yang digunakan harus bersih, proses pengeringan harus segera dilakukan pada sawut. 3. Serangan hama boleng. Ubi yang terserang hama boleng, tidak dianjurkan untuk diolah karena akan mempengaruhi aroma boleng yang terikut pada tepung ubi jalar. 4. Cara Penyimpanan Tepung Ubi Jalar. Tepung harus tersimpan dalam keadan tertutup rapat (kantong plastik atau kaleng toples) karena sifat tepung yang mudah menyerap air dan mencegah dari serangan hama. 49 4.1.4 Potensi Pengembangan Tepung Ubi Jalar Tepung ubi jalar dapat dimanfaatkan secara luas dalam pengolahan makanan. Bentuk olahan ubi jalar sebagai tepung memudahkan penggunaannya dalam membuat berbagai jenis makanan. Sesuai dengan karakteristiknya, tak jarang tepung ubi jalar digunakan sebagai bagian dari tepung komposit (tepung campuran) dengan jenis tepung lainnya guna menghasilkan makanan olahan yang lebih baik dan enak. Dari segi proses produksinya, teknologi pengolahan tepung sangat mudah dikuasai dengan biaya murah (Pramuji 2007). Dengan demikian para pelaku usaha skala kecil dan menengah bisa terlibat dalam mengembangkan usaha ini. Sebagai salah satu produk olahan berbahan dasar ubi jalar, upaya pemberdayaan tepung ubi jalar memiliki beberapa manfaat, antara lain: 1. Bahan baku ubi jalar segar relatif mudah didapat karena tanaman ini banyak diusahakan petani, baik di lahan sawah maupun tegal 2. Proses pembuatan tepung ubi jalar relatif mudah dan sederhana, dapat dilakukan oleh industri rumah tangga sampai industri besar 3. Tepung ubi jalar dapat digunakan sebagai bahan subtitusi terigu untuk produk makanan olahan, dimana daya substitusinya tergantung dari produk yang dihasilkan 4. Kemampuan daya substitusi tersebut diperkirakan akan mampu menekan biaya produksi untuk industri makanan olahan 5. Untuk produk-produk makanan yang manis (misalkan kue/cookies) dapat menghemat penggunaan gula sekitar 20 %, berkaitan dengan sifat tepung ubi jalar yang mengandung kadar gula tinggi 6. Mutu bahan baku produk yang dihasilkan dan penerimaan konsumen tidak turun secara nyata (Damardjati dan Widowati 1994). Penelitian mengenai pemanfaatan tepung ubi jalar telah banyak dilakukan di Indonesia. Widowati et al. (1994) mengkaji penggunaan tepung ubi jalar sebagai salah satu bahan baku dalam pembuatan bihun. Ubi jalar juga diujicobakan untuk mensubstitusi berbagai jenis tepung dalam beragam resep makanan (Suismono 2003, Djami 2007). Daya substitusi ubi jalar terhadap beragam makanan tersebut 50 tergantung dari hasil olahan yang ingin dihasilkan. Keragaman hasil olahan tepung ubi jalar disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Keragaman hasil olahan tepung ubi jalar No Nama Produk 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Roti tawar Mie Cake Cookies Chiffon cake Pukis Cheese stick Marmer cake Kue tambang Kue lapis Spekoek Barongko pisang Cucur Domino cookies Brownies kukus Bolu kukus Putu ayu Substitusi tepung ubi jalar (%) 10 - 20 10 - 20 50 – 100 50 - 100 50 50 30 50 30 50 50 50 50 50 100 20 100 Tepung yang disubstitusi Terigu Terigu Terigu Terigu Terigu Terigu Terigu Terigu Terigu Tepung beras Terigu Tepung beras Tepung beras Terigu Terigu Terigu Terigu Sumber: Suismono (2003) dan Djami (2007) Dalam pembuatan beberapa jenis kue tersebut, masih diperlukan campuran tepung terigu agar kue dapat mengembang dengan baik. Sedangkan pada beberapa jenis kue, tepung terigu dapat disubstiusi oleh tepung ubi jalar hingga 100 % (cake, cookies, putu ayu). Hal ini disebabkan karena tepung ubi jalar tidak mempunyai gluten sebagaimana tepung terigu yang dapat membantu dalam proses pengembangan adonan kue (Djami 2007). Produksi kue yang berasal dari tepung ubi jalar dapat mengurangi jumlah gula yang ditambahkan, karena kandungan gula yang terdapat pada ubi jalar. Kendala Pramuji (2007) mengidentifikasi beberapa kendala yang menghambat perkembangan agroindustri tepung ubi jalar skala kecil di daerah Bogor (Unit Pengolahan Tepung Ubi Jalar di Desa Giri Mulya Kecamatan Cibungbulang), yaitu: 51 1. Hambatan teknis/teknologis, yaitu belum optimalnya kinerja mesin dan peralatan pengolah ubi jalar. 2. Hambatan kelembagaan, yaitu belum adanya kesepahaman diantara pihakpihak yang terkait mengenai model kelembagaan yang diinginkan sehingga program antar sektor yang menangani komoditas ubi jalar belum benar-benar serasi. 3. Hambatan input bahan baku, yaitu belum adanya kontinyuitas suplai bahan baku yang memenuhi standar kualitas dan tingkat harga yang diinginkan oleh pabrik. 4.2 Kondisi Aktual Agroindustri Tepung Ubi Jalar di Indonesia Secara umum jalur pemasaran ubi jalar di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 11. Ubi jalar segar dibeli oleh tengkulak dari petani yang kemudian dijual lagi ke pedagang pengumpul. Dari pedagang pengumpul ubi jalar segar tersebut dijual kepada pedagang besar/grosir, industri makanan ternak, pedagang pengecer dan ke industri pengolahan tepung. Ubi jalar segar dijual kepada konsumen secara langsung melalui pedagang pengecer. Ubi jalar segar sebagai bahan baku industri makanan dan tepung ubi jalar dipasok ke industri makanan. Hasil makanan olahan ubi jalar untuk selanjutnya diekspor ke luar negeri atau dipasok ke distributor untuk selanjutnya dijual ke konsumen akhir. 4.2.1 Produksi Ubi Jalar di Jawa Barat Hampir seluruh provinsi di Indonesia memproduksi ubi jalar, kecuali DKI Jakarta. Hal ini terlihat pada data produksi ubi jalar nasional dari tahun 2005 hingga 2009 (Lampiran 2). Tujuh provinsi penghasil ubi jalar terbesar adalah Jawa Barat, Papua, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur dan Bali. Luas lahan tanam ubi jalar nasional hingga tahun 2008 menunjukkan kecenderungan menurun (Lampiran 3), namun produktivitas ubi jalar memiliki kecenderungan meningkat (Lampiran 4). Jawa Barat merupakan provinsi penghasil ubi jalar terbesar di Indonesia, dengan total produksi mencapai 389043 ton ubi jalar pada tahun 2006. Tabel 9 menyajikan data jumlah produksi ubi jalar masing-masing kabupaten di Jawa Barat pada tahun 2006. Kabupaten Kuningan merupakan produsen terbesar 52 dengan pangsa 25.75 persen, disusul oleh Kabupaten Garut 16.85 persen dan Kabupaten/Kota Bogor 15.87 persen dari total produksi ubi kayu di Jawa Barat. Sementara itu, daerah-daerah yang produksi ubi kayunya relatif kecil adalah Karawang dan Ciamis. Petani Ubi Segar Tengkulak Pengolahan tepung Pedagang Pengumpul Tepung Pedagang Besar/Grosir Industri Makanan Industri Makanan Ternak Makanan olahan Pakan ternak Pedagang Pengecer Distributor Konsumen Gambar 11 Jalur pemasaran ubi jalar (Hafsah 2004) Eksportir 53 Tabel 9 Jumlah produksi dan pangsa produksi ubi jalar di Jawa Barat tahun 2006 Kabupaten Produksi Pangsa (%) 1 Bogor 61 753 15.87 2 Sukabumi 22 712 5.84 3 Cianjur 20 943 5.38 4 Bandung 34 329 8.82 5 Garut 65 566 16.85 6 Tasikmalaya 24 316 6.25 7 Ciamis 5 854 1.50 8 Kuningan 100 169 25.75 9 Cirebon 2 038 0.52 10 Majalengka 9 300 2.39 11 Sumedang 20 410 5.25 12 Indramayu 85 0.02 13 Subang 2 521 0.65 14 Purwakarta 17 775 4.57 15 Karawang 453 0.12 16 Bekasi 819 0.21 389 043 100 Jumlah Sumber : BPS Provinsi Jabar (2007) Pada periode tahun 1998 – 2007, produksi ubi jalar di Provinsi Jawa Barat cenderung sangat berfluktuasi. Puncak produksi terjadi pada tahun 2005 dengan jumlah produksi 390 ribu ton. Pada periode 2004 – 2006, produksi ubi jalar cenderung stagnan. Hal ini terlihat dari produksi tahun 2006 yang hanya mencapai 389 ribu ton. Perkembangan produksi ubi jalar di Provinsi Jawa Barat pada periode tahun 1996 – 2006 dapat dilihat pada Gambar 12. 54 Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat (2007) Gambar 12 Perkembangan produksi ubi jalar Jawa Barat tahun 1996 - 2006 Kabupaten Kuningan, sebagai penghasil terbesar ubi jalar di Provinsi Jawa Barat, pada periode tahun 1996 – 2006 cenderung mengalami peningkatan produksi. Pada tahun 2006, produksi ubi jalar di Kabupaten Kuningan mencapai 100 ribu ton. Pada periode tersebut, produksi terendah adalah pada tahun 1996 yang mencapai 29 ribu ton. Kabupaten Garut, sebagai penghasil terbesar kedua ubi jalar di Provinsi Jawa Barat, pada periode tahun 1996 – 2006 mengalami fluktuasi dalam hal produksi. Pada tahun 2006, produksi ubi jalar di daerah ini mencapai 65 ribu ton. Pada periode tersebut, produksi terendah adalah pada tahun 2001 yang mencapai 36 ribu ton. Kabupaten/Kota Bogor, sebagai penghasil terbesar ketiga ubi jalar di Provinsi Jawa Barat, pada periode tahun 1996 – 2006 mengalami fluktuasi dengan kecenderungan terjadi peningkatan produksi. Pada tahun 2006, produksi ubi jalar di daerah ini mencapai 61 ribu ton. Pada periode tersebut, produksi terendah adalah pada tahun 1996 yang mencapai 44 ribu ton.Perkembangan produksi ubi jalar di Kabupaten Kuningan, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Garut pada periode tahun 1996 – 2006 dapat dilihat pada Gambar 13: 55 Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat (2007) Gambar 13 Perkembangan produksi ubi jalar di Kab. Kuningan, Kab. Bogor dan Kab Garut pada tahun 1996 - 2006 Jika dilihat dari masa panen secara rata-rata dengan menggunakan data luas tanam dan luas panen tahun 1987 – 2005, menunjukkan bahwa produksi ubi jalar cenderung tidak terlalu bervariasi pada hampir semua bulan dengan luas panen tertinggi pada bulan Maret dan Oktober. Sementara itu untuk puncak masa tanam, terjadi pada bulan Oktober, November dan Desember. Dengan pola seperti ini, diperkirakan masa tanam ubi jalar rata-rata mencapai 4 bulan. 4.2.2 Agroindustri Tepung Ubi Jalar di Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor merupakan salah satu sentra produksi ubi jalar di Propinsi Jawa Barat. Pada tahun 2000 sampai dengan 2005, rata-rata tingkat produksi ubi jalar di kabupaten ini mencapai 61 030 ton dan produktivitas rata-rata mencapai 15 ton/ha. Rincian mengenai data produksi, luas panen dan produktivitas ubi jalar di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 10. Dua lokasi pengembangan agroindustri tepung ubi jalar di Bogor di antaranya adalah industri kecil tepung ubi jalar yang berlokasi di desa Cikarawang Kecamatan Dramaga, dan Desa Giri Mulya Kecamatan Cibungbulang. 56 Tabel 10 Luas panen, produksi dan produktivitas ubi jalar di Kabupaten Bogor (tahun 2000 – 2005) Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (ton) Produktivitas (Ton/Ha) 2000 4 219 57 329 14 2001 4 306 65 202 15 2002 4 144 67 515 16 2003 3 882 67 159 17 2004 3 656 56 213 15 2005 3 662 52 762 14 Sumber: BPS Kabupaten Bogor (2000-2005, data diolah) Model pengembangan agroindustri ubi jalar yang saat ini dikembangkan oleh pihak Pemda Kabupaten Bogor masih tergolong ke dalam industri kecil. Realisasi pengembangannya dimulai pada tahun 2004 melalui pembangunan Unit Pengolahan Tepung Ubi jalar di Desa Giri Mulya, Kecamatan Cibungbulang, dengan produk yang dihasilkan adalah tepung ubi jalar (Pramuji 2007). Proses pengembangan agroindustri ini melibatkan berbagai pihak, diantaranya Pemda Kabupaten Bogor (melalui Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, serta Kantor Koperasi), pihak swasta/industri (PT Bogasari/PT Lippo), petani dan perguruan tinggi. Salah satu agro industri berskala rumah tangga yang terletak di Kabupaten Bogor adalah agroindustri yang dikelola oleh Kelompok Tani di Desa Cikarawang, yaitu Kelompok Tani Hurip. Kelompok Tani tersebut memproduksi tepung ubi jalar hasil tanam sendiri, dengan mencoba membidik pasar di wilayah Bogor dengan fokus utama konsumen yaitu industri kecil pengolah pangan. Industri-industri kecil pengolahan pangan tersebut mempunyai tingkat konsumsi tepung terigu yang tinggi, sehingga dengan kemiripan kandungan yang dimiliki antara tepung terigu dan tepung ubi jalar, diasumsikan tepung ubi jalar dapat menggantikan penggunaan tepung terigu oleh industri pengolah pangan tersebut. Tepung ubi jalar diposisikan sebagai tepung yang berkualitas, berbasis sumber daya lokal dengan kandungan gizi yang tinggi cocok sebagai tepung kesehatan. Agroindustri tepung ubi jalar berskala kecil yang dikelola Kelompok Tani hurip terdiri dari rumah salah satu warga yang merupakan ketua kelompok petani, tempat dilangsungkannya sebagian besar proses produksi, yaitu proses penyawutan, pemerasan sawut, pengeringan, penepungan, pengayakan dan pengemasan. Gudang bahan baku terletak tak jauh dari rumah produksi, yaitu 57 sekitar 4 m dari depan rumah. Lokasi industri rumah tangga tepung ubi jalar yang terletak di Desa Cikarawang dapat dilihat pada Gambar 14. Proses produksi tepung di Desa Cikarawang ini menggunakan bahan baku ubi jalar hasil produksi warga sekitar yang berukuran kecil dan tak laku jual. Hal ini dilakukan dengan maksud memanfaatkan umbi ubi jalar yang tak laku jual yang diproduksi masyarakat sekitar -agar tak terbuang dengan meningkatkan nilai tambahnya dengan pengolahan lebih lanjut. Harga ubi jalar berukuran normal berkisar Rp 1000.00 /kg sedangkan ubi jalar berukuran kecil dihargai sekitar Rp 400.00 - 500.00 /kg. Upaya ini jelas dapat menghemat biaya perolehan bahan baku dan memperbesar margin keuntungan dari penjualan tepung ubi jalar. Gambar 14 Lokasi industri rumah tangga tepung ubi jalar Proses produksi tepung ubi jalar yang dilakukan oleh poktan Hurip di Desa Cikarawang secara garis besar dapat dilihat pada Gambar 15. Proses diawali dengan penyortiran bahan baku ubi yang akan dijadikan tepung. Ubi ditimbang (A), dikupas (B) dan dihitung susut pengupasannya. Selanjutnya dilakukan proses penyawutan (C) dengan alat penyawut, dengan kapasitas penyawutan 60 kg ubi/jam. Selanjutnya sawut ubi jalar diperas untuk mengurangi kadar airnya, dan air sisa perasan yang mengandung pati ubi jalar akan diendapkan semalam untuk kemudian dikeringkan. Sawut ubi jalar selanjutnya dikeringkan dalam alat 58 pengering khusus (D, E), dengan kapasitas alat 10 kg per satu kali pengeringan. Bila cuaca mendukung, proses pengeringan ini memakan waktu sekitar 2 hari. Setelah didapatkan sawut kering (F), selanjutnya dilakukan proses penepungan (G). Tepung yang dihasilkan (H) kemudian diayak untuk mendapatkan tepung dengan tingkat kehalusan yang diinginkan (I). Tepung hasil ayakan kemudian dikemas (J) dan siap untuk dipasarkan. C B A A A E D A A G H A F A A I J Gambar 15 A Proses pengolahan ubi jalar menjadi tepung ubi jalar 4.2.3 Agroindustri Tepung Ubi Jalar di Kabupaten Kuningan Kabupaten Kuningan saat ini lebih mengembangkan tanaman ubi jalar sebagai program prioritas mengingat lahannya sangat sesuai untuk tanaman tersebut dibanding dengan tanaman singkong. Mengingat ubi jalar menjadi prioritas, saat ini penggunaannya sudah dalam bentuk tepung. 59 Agribisnis ubi jalar di kabupaten Kuningan sudah berjalan sejak lama namun belum tertata dengan baik. Pada tahun 2007 - 2008 melalui program Pendanaan Kompetisi-Indeks Pembangunan Manusia (PPK-IPM) Pemprov Jawa Barat, dilakukan program pengembangan agribisnis ubi jalar yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stake holder) yaitu mulai dari pemerintah, pihak swasta, petani/kelompok tani, kelompok usaha industri pengolah ubi jalar, Bank Perkreditan Rakyat, koperasi dan pihak lainnya. Tabel 11 menyajikan gambaran keunggulan komparatif ubi jalar dengan komoditas unggulan lain di Kabupaten Kuningan, yang menunjukkan bahwa tanaman ubi jalar merupakan komoditas pangan yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Dengan luas tanam setara dengan luas tanam komoditas jagung, namun ubi jalar memiliki produktivitas paling tinggi (20 ton/ha) dibandingkan dengan produktivitas berbagai komoditas pertanian lainnya yang ditanam di Kabupaten Kuningan. Tabel 11 No. Data luas tanam, luas panen, produksi dan produktivitas berbagai komoditas pertanian di Kabupaten Kuningan Komoditas Luas Tanam Luas Panen Produksi Produktivitas (Ha) (Ha) (Ha) (Ton) (Ton/Ha) 1 Padi sawah 59.641 60.017 355.902 5.90 2 Padi Gogo 3.875 4778 14.261 3.00 3 Jagung 6.065 8.841 20.223 3.50 4 Kedelai 1.324 1.281 1.217 1.00 5 Kacang tanah 3.177 3.333 5.459 1.60 6 Kacang hijau 948 515 575 1.10 7 Ubi kayu 3.078 3.517 42.529 12.10 8 Ubi jalar 6.130 6.130 122.600 20.00 Sumber: Disperindag Kab. Kuningan (2009) Pemerintah Daerah Kab. Kuningan menetapkan kebijakan agribisnis ubi jalar sebagai produk kompetensi inti daerah dengan berbagai pertimbangan. Permintaan ubi jalar dinilai akan terus meningkat karena merupakan bahan baku tepung bagi berbagai makanan olahan yang memiliki kelebihan dalam nilai nutrisinya. Produksi ubi jalar di Kabupaten Kuningan paling tinggi dibandingkan 60 dengan komoditas palawija lainnya, memberikan kontribusi 26 % produksi ubi jalar Jawa Barat. Ubi jalar dapat tumbuh di lahan yang tidak terlalu subur dan penanamannya sudah banyak dikenal masyarakat terutama varietas lokal AC merah dan AC putih. Pembudidayaan ubi jalar di Kabupaten Kuningan dilakukan secara kontinyu dengan melibatkan 10 460 petani, 78 kelompok tani di 78 desa pada sebelas kecamatan penghasil ubi jalar utama yaitu Kecamatan Cilimus, Cigandamekar, Kramatmulya, Jalaksana, Pancalang, Cipicung, Japara, Sindang Agung, Paswahan, Mandiracan dan Kuningan dengan potensi areal ubi jalar seluas 6 130 ha dengan hasil produksi per tahun rata-rata 111 602 ton (Disperindag Kab Kuningan 2009). Peta wilayah Kabupaten Kuningan disajikan pada Gambar 16. Gambar 16 Peta lokasi Kabupaten Kuningan (Disperindag Kab Kuningan 2009) Melalui PPK-IPM Pemprov Jawa Barat diharapkan pendapatan petani dapat meningkat, kelompok-kelompok usaha industri yang mengolah chip ubi jalar menjadi tepung ubi jalar dan produk-produk makanan olahan dari ubi 61 jalar/tepung ubi jalar dapat terwujud dalam suatu sistem mata rantai yang tak terpisahkan. Program pengembangan agribisnis ubi jalar dilakukan melalui berbagai upaya; diantaranya peningkatan produktivitas hasil melalui sentuhan teknologi (kegiatan intensifikasi budi daya ubi jalar), pengolahan ubi jalar menjadi produk chip ubi jalar (kegiatan produktivitas industri agro ubi jalar), pelatihan keterampilan, pemberian bantuan stimulan dana bergilir dan peningkatan pemasaran produk tepung ubi jalar. Program kegiatan PPK-IPM telah melaksanakan intensifikasi budidaya ubi jalar di sebelas kecamatan, membangun enam pabrik chip ubi jalar yang telah dilengkapi dengan mesin dan peralatan yang cukup memadai untuk memproduksi chip dan tepung ubi jalar yang dikelola oleh enam kelompok usaha chip ubi jalar di enam lokasi yaitu Desa Kalapagunung Kec. Kramatmulya, Cimaranten Kec. Cipicung, Manislor Kec. Jalaksana, Bandorasawetan Kec. Cilimus, Panawuan Kec. Cigandamekar dan Desa Pancalang Kec. Pancalang (Disperindag Kab Kuningan 2009). Masing-masing kelompok dilengkapi dengan sarana produksi yaitu satu unit mesin pencuci ubi jalar, satu unit mesin slicer/pengiris, satu unit mesin rotary drying (pengering chip ubi jalar). Pada tahun 2007, melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan Agro Provinsi Jawa Barat dibangun satu unit pabrik dan sarana produksi mesin tepung ubi jalar (non PPK-IPM) di Desa Panuwuan Kecamatan Cigandamekar. Pabrik dikelola oleh kelompok Panajaya Agro Lestari dengan kapasitas produksi tepung ubi jalar 5-7 ton per hari dengan tujuan menampung bahan baku chip ubi jalar untuk diproses menjadi tepung ubi jalar dari enam kelompok usaha chip ubi jalar yang dibentuk melalui PPK-IPM (Gambar 17 dan Gambar 18). 62 Bangunan Pabrik Chip Ubi Jalar Mesin Pencuci Ubi Jalar Mesin Slicer Ubi Jalar Mesin Pengering Awal Mesin Rotary Drying Chip Ubi Jalar (Pengering Akhir) Pedal Sealer Timbangan Duduk Gambar 17 Bangunan dan sarana pembuatan chip ubi jalar di Kab. Kuningan 63 Pabrik Tepung Ubi Jalar Mesin Penepung Produk Tepung Ubi Jalar Gambar 18 Agroindustri tepung ubi jalar di Kab. Kuningan 64 Pada tahun 2008, diberikan fasilitas penyempurnaan mesin dan pabrik chip yang lebih higenis. Pemberian bantuan mesin di masing-masing kelompok usaha chip ubi jalar berupa satu buah timbangan, satu buah pedal sealer, satu buat alat tes kadar air, satu unit pengering awal yang berfungsi agar pada saat musim hujan proses produksi tetap berjalan. Bantuan peralatan juga diberikan pada dua puluh kelompok makanan yang diarahkan mengolah berbagai diversifikasi produk makanan olahan berbasis ubi jalar/tepung ubi jalar. Bantuan bagi masing-masing kelompok berupa satu buah oven, satu buah kompor gas, satu buah tabung gas, satu buah timbangan kue, satu buah mixer dan satu set loyang, sedangkan bagi dua kelompok usaha es krim yang diarahkan menggunakan bahan baku tepung ubi jalar, masing-masing kelompok mendapatkan satu buah mesin es krim, satu buah timbangan dan satu buah mixer (Gambar 19). Gambar 19 Peralatan untuk pengolahan tepung ubi jalar 65 Menurut Disperindag Kab Kuningan (2009), terdapat banyak hal yang masih harus ditindaklanjuti setelah program PPK-IPM berakhir di Kab Kuningan, diantaranya yang paling penting adalah kepastian pasar produk olahan berbasis ubi jalar khususnya tepung ubi jalar. Terdapat dua kendala yang menghambat keberlanjutan usaha produksi tepung ubi jalar di Kabupaten Kuningan. Pertama; naiknya harga chip/tepung ubi jalar setelah pabrik chip/tepung ubi jalar terbangun tahun 2007. Sebelum pabrik dibangun, harga ubi jalar berkisar antara Rp 400.00 sd. Rp 600.00 /kg, setelah pabrik dibangun harga ubi jalar rata-rata di atas Rp 1000.00 /kg. Peningkatan harga ubi jalar di satu sisi berdampak terhadap peningkatan pendapatan petani, akan tetapi di sisi lain meningkatkan biaya produksi chip/tepung ubi jalar. Namun demikian, diharapkan harga ubi jalar menjadi harga yang wajar (berkisar Rp 800.00 /kg) maka harga tepung ubi jalar dapat bersaing dengan harga tepung terigu di pasaran. Kendala kedua adalah belum adanya kepastian pemasaran tepung ubi jalar. Diharapkan terdapat distributor, agen, industri pengguna tepung ubi jalar yang secara riil dapat membeli tepung ubi jalar. Berdasarkan laporan dari Disperindag Kabupaten Kuningan (2009), pada tahun 2009 indikator keberhasilan sistem pengembangan agribisnis ubi jalar di Kabupaten Kuningan baru mencapai peningkatan pendapatan petani jika harga ubi jalar meningkat, serta terbangunnya enam pabrik chip ubi jalar, satu pabrik tepung ubi jalar, dua puluh kelompok makanan olahan dan dua kelompok es krim berbasis ubi jalar/tepung ubi jalar. Pabrik tepung ubi jalar belum berproduksi karena menghadapi kendala belum adanya pemasaran yang jelas. Kunci utama dari optimalisasi berjalannya sistem pengembangan agribisnis ubi jalar di Kabupaten Kuningan adalah terjualnya tepung ubi jalar baik kepada industri pengguna tepung ubi jalar, distributor, atau pihak-pihak yang berminat lokal maupun ekspor. Beberapa kegiatan pemasaran yang dipertimbangkan dapat dilakukan di antaranya adalah melalui upaya promosi, sosialisasi atau berhubungan langsung dengan industri pengguna tepung ubi jalar potensial, seperti pabrik biskuit, mie, kue kering/basah. Beberapa contoh makanan hasil olahan tepung ubi jalar disajikan pada Gambar 20. 66 Gambar 20 Aneka makanan olahan berbasis tepung ubi jalar Secara umum rantai pasokan ubi jalar di daerah Kuningan dapat dilihat pada Gambar 21. Ubi jalar yang dihasilkan oleh petani disalurkan ke industri pengolah ubi jalar, pedagang pengumpul dan industri chips untuk kemudian diolah menjadi tepung ubi jalar. Pasokan bahan baku yang diterima oleh industri chip juga diperoleh melalui pedagang pengumpul. Tepung ubi jalar yang dihasilkan kemudian disalurkan ke industri makanan pengguna tepung ubi jalar. Rantai pasokan tepung ubi jalar di Kabupaten Kuningan dapat dilihat pada Gambar 22, yang merupakan contoh kasus industri manufaktur Agro Chips Ubi Jalar Desa Kapalagunung Kec. Kramat Mulya. Pabrik tepung ubi jalar (PT Panajaya Agrolestari) memiliki kapasitas: 1,5 kwintal tepung/hari. Pasokan bahan baku berupa chip ubi jalar dari produsen chip ubi jalar di Kabupaten Kuningan, 67 dengan sistem kontrak. Pada tahun 2009 harga tepung ditawar hanya Rp 3000.00 sehingga menyebabkan kerugian pada pabrik ini. Gambar 21 Rantai pasokan ubi jalar dan tepung ubi jalar di daerah Kuningan Gambar 22 Rantai pasokan tepung ubi jalar di Kabupaten Kuningan 4.3 Perbaikan Rantai Pasokan Agroindustri Tepung Ubi Jalar 4.3.1 Identifikasi Sifat Dasar Permintaan Tepung Ubi Jalar Dalam perancangan sebuah rantai pasokan, supply dan demand disesuaikan untuk memaksimumkan pemenuhan kebutuhan konsumen dan kompetisi pasar. 68 Tabel 12 Penggolongan ketidakpastian permintaan dalam sebuah produk (Waddington 2002) Pertanyaan pembanding Unit Seberapa tak stabilnya kah Persentase jadwal permintaan eror konsumen? prakiraan bulanan Seberapa banyak jenis Jumlah varian produk yang varian diinginkan konsumen? Berapa lama delivery lead Satuan waktu time? Berapa durasi umur hidup Tahun produk? Ketidakpastian permintaan 1 2 3 4 Rendah Di bawah Di atas Tinggi rata-rata rata-rata 0-10 11-30 31-50 >50 1-3 4-10 11-20 >21 >1 bulan >5 1-4 minggu 2-5 1-7 hari 1 hari 1-2 <1 Analisa berdasarkan penggolongan ketidakpastian permintaan berdasarkan Tabel 12 adalah sebagai berikut: Tepung ubi jalar merupakan salah satu bahan baku produk olahan makanan, yang dapat berfungsi mensubstitusi penggunaan tepung terigu hingga 100 %. Diperkirakan tepung ubi jalar memiliki persentase eror yang rendah per bulannya, mengingat tepung ubi jalar dapat digolongkan sebagai produk fungsional. Terdapat dua jenis varian tepung ubi jalar yang banyak diminta oleh konsumen, yaitu tepung ubi jalar berwarna putih dan tepung ubi jalar berwarna ungu. Jenis varian berdasarkan warna tepung ubi jalar ini sangat mempengaruhi terhadap warna produk makanan yang dihasilkan dari tepung ubi jalar tersebut. Sebagaimana tepung terigu, tepung ubi jalar diperkirakan memiliki durasi umur hidup lebih dari lima tahun. Berdasarkan program dan promosi yang gencar dilakukan oleh pemerintah di daerah-daerah wilayah Indonesia, tepung ubi jalar dicanangkan sebagai salah satu alternatif pemecah masalah ketahanan pangan. Hasil analisa dengan menggunakan parameter yang disajikan Fisher (1990) dinyatakan bahwa tepung ubi jalar digolongkan sebagai produk fungsional, dengan perkiraan siklus hidup produk lebih dari dua tahun, kontribusi margin di bawah 20 %, dengan variasi produk rendah. Berdasarkan hal tersebut, disimpulkan bahwa tepung ubi jalar merupakan produk dengan tingkat ketidak pastian yang rendah. 69 4.3.2 Analisa Kapabilitas Rantai Pasokan Kapabilitas rantai pasokan dapat dilihat dari responsivitas rantai pasokan yang ada. Berdasarkan fungsi yang dilakoni, rantai pasokan dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu rantai pasokan physically efficient dan rantai pasokan marketresponsive. 4.3.3 Pemetaan Ketidakpastian Permintaan dan Pencocokan Rantai Pasokan dengan Produk (achieving strategic fit) Setelah mengidentifikasi ketidakpastian permintaan produk yang dihadapi oleh agroindustri, pertanyaan selanjutnya untuk dijawab adalah bagaimana agroindustri tersebut dapat memenuhi permintaan konsumen dengan ketidakpastiannya. Menciptakan kecocokan strategi adalah tentang menciptakan strategi rantai pasokan yang dapat memenuhi permintaan konsumen yang telah ditargetkan oleh industri. Berdasarkan matriks kecocokan Fisher (Gambar 9) tepung ubi jalar sebagai produk fungsional memerlukan rantai pasok yang efisien agar terjadi kecocokan antara strategi rantai pasokan dengan strategi kompetitif agroindustri tepung ubi jalar. Strategi rantai pasokan yang dikembangkan untuk tepung ubi jalar adalah rantai pasokan yang meminimumkan biaya, dengan fokus optimasi pada minimisasi total biaya rantai pasokan. 4.4 Pemodelan dan Simulasi 4.4.1 Pemodelan Lokasi Fasilitas Penentuan lokasi fasilitas merupakan salah satu kegiatan dalam tahapan desain/perancangan sebuah rantai pasokan. Penentuan lokasi fasilitas yang berupa pabrik pengolah ubi jalar menjadi tepung ubi jalar memiliki peran yang sangat penting dalam penentuan keefektifan atau keefisienan sebuah jaringan rantai pasokan agroindustri tepung ubi jalar. Terdapat beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan saat menentukan lokasi agroindustri tepung ubi jalar, yaitu 1. Letak sumber bahan baku (ubi jalar) 2. Letak industri pengguna tepung (sebagai konsumen langsung dari tepung ubi jalar) 70 4.4.1.1 Penentuan Alternatif Lokasi Agroindustri Penghasil Tepung (dengan Metode CPI) Sesuai dengan fokus penelitian yang mengkaji perancangan model rantai pasokan tepung ubi jalar yang mengambil daerah Jawa Barat sebagai contoh pengembangan, data mengenai sumber bahan baku agroindustri tersaji pada Tabel 9 (Tabel Jumlah Produksi Ubi Jalar). Konsumen langsung tepung ubi jalar merupakan industri pengolah tepung. Jumlah pabrik pengolahan tepung di daerah Jawa Barat disajikan pada Tabel 13 berikut ini. Tabel 13 Jumlah industri tepung dan industri roti dan kue pada setiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat No. 1 2 3 4 5 6 7 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Wilayah Kab. Ciamis Kab. Kuningan Kota Bogor Kab. Cirebon Kab. Sumedang Kab. Tasikmalaya Kab. Sukabumi Kota Banjar Kab. Bekasi Kab. Bogor Kota Tasikmalaya Kab. Bandung Kab. Cianjur Kab. Majalengka Kab. Karawang Kab. Purwakarta Kota Bekasi Kab. Garut Kab. Indramayu Kota Bandung Kota Cirebon Kota Depok Industri Tepung 47 15 13 12 11 11 6 6 3 3 3 2 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 Industri roti & kue 50 17 13 15 18 19 20 7 5 19 54 7 11 0 3 2 6 27 7 24 19 10 Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat 2007 Dari 16 daerah penghasil ubi jalar (Tabel 14), selanjutnya dipilih lima daerah yang menjadi fokus dalam penentuan lokasi agroindustri penghasil tepung ubi jalar. Fokus dalam penentuan lokasi agroindustri tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kedekatan agroindustri dengan sumber bahan baku, dan jarak agroindustri dengan konsumennya, dengan tujuan agar agroindustri dapat 71 memenuhi permintaan konsumen potensialnya secara optimal. Pemilihan tersebut dilakukan dengan menggunakan kriteria produksi ubi jalar, banyaknya industri tepung dan banyaknya industri kue dan roti yang menggunakan bahan baku tepung. Bobot yang digunakan adalah 40 % untuk produksi ubi jalar, 30 % untuk banyaknya industri tepung, serta 30 % untuk industri roti dan kue. Pembobotan yang lebih tinggi pada kriteria produksi ubi jalar dilakukan dengan pertimbangan pentingnya kedekatan sumber bahan baku dengan industri pengolah ubi jalar menjadi tepung ubi jalar. Penanganan pasca panen ubi jalar yang tepat serta minimasi jarak antara agroindustri dengan ubi jalar sebagai bahan bakunya diharapkan dapat mengurangi susut kualitas bahan baku. Pemilihan selanjutnya dilakukan dengan menggunakan teknik Perbandingan Indeks Kinerja (Comparative Performance Index/CPI). Data yang digunakan dalam pemilihan daerah ini dapat dilihat pada tabel berikut ini. Modifikasi data dilakukan dengan mengganti data jumlah industri tepung dan kue yang nilainya 0 menjadi 1, agar dapat diolah selanjutnya dengan teknik CPI. Tabel 14 Data yang digunakan dalam pemilihan daerah sebagai lokasi industri penghasil tepung Kabupaten (i) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Minimum Jumlah Produksi Jumlah Industri Jumlah Industri Ubi Jalar (ribu ton) 61 753 22 712 20 943 34 329 65 566 24 316 5 854 10 0169 2 038 9 300 20 410 85 2 521 17 775 453 819 85 Tepung (unit industri) 16 6 1 2 1 14 47 15 12 1 11 1 1 1 1 4 1 Kue (unit industri) 32 20 11 31 27 73 50 17 34 1 18 7 1 2 3 11 1 72 Pengolahan selanjutnya, adalah mengkonversi nilai minimum pada setiap kriteria dengan angka 100 dan nilai-nilai yang lain dikonversi dengan cara membagi nilai awal dengan nilai minimum pada setiap kriteria dan dikalikan dengan 100. Nilai minimum untuk jumlah produksi ubi jalar adalah 85 ribu ton untuk daerah Indramayu. Pengolahan selanjutnya, adalah mengalikan nilai-nilai setiap kriteria untuk masing-masing daerah dengan bobot kriteria yang sudah disebutkan sebelumnya. Hasilnya dijumlahkan untuk masing-masing daerah dan diurutkan dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah. Peringkat daerah dengan menggunakan teknik CPI dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Pengolahan data dan pemilihan daerah sebagai lokasi industri penghasil tepung menggunakan teknik CPI Jumlah Produksi Jumlah Industri Jumlah Industri Ubi Jalar Tepung Kue (ribu ton) (unit industri) (unit industri) 1 Bogor 72 650.58 1 600.00 3 200.00 2 Sukabumi 26 720.00 600.00 2 000.00 3 Cianjur 24 638.82 100.00 1 100.00 4 Bandung 40 387.05 200.00 3 100.00 5 Garut 77 136.47 100.00 2 700.00 6 Tasikmalaya 28 607.05 1 400.00 7 300.00 7 Ciamis 6 887.05 4 700.00 5 000.00 8 Kuningan 11 7845.88 1 500.00 1 700.00 9 Cirebon 2 397.64 1 200.00 3 400.00 10 Majalengka 10 941.17 100.00 100.00 11 Sumedang 24 011.76 1 100.00 1 800.00 12 Indramayu 100.00 100.00 700.00 13 Subang 2 965.88 100.00 100.00 14 Purwakarta 20 911.76 100.00 200.00 15 Karawang 532.94 100.00 300.00 16 Bekasi 963.52 400.00 1 100.00 Minimum 100 100 100 Bobot Kriteria 0.4 0.3 0.3 Kabupaten (i) Nilai Peringkat 30 500.00 11 468.00 10 216.00 17 145.00 31 695.00 14 053.00 5 665.00 48 098.00 2 339.00 4 436.00 10 475.00 280.00 1 246.00 8 455.00 333.00 835.00 3 Berdasarkan Metode CPI, beberapa lokasi yang dipilih sebagai alternatif penentuan lokasi agroindustri penghasil tepung menurut peringkatnya adalah Kabupaten Kuningan, Garut, Bogor, Bandung, dan Tasikmalaya, dengan pembobotan 40 % untuk produksi ubi jalar, 30 % untuk banyaknya industri 4 2 5 1 73 tepung, dan 30 % untuk industri roti dan kue. Pendirian agroindustri tepung ubi jalar pada kelima alternatif lokasi tersebut dapat mengoptimalkan usaha dinilai dari kedekatan dengan bahan baku, dan kedekatan dengan pasar. 4.4.1.2 Penentuan Lokasi Agroindustri Penghasil Tepung Ubi jalar dengan Metode Non Linier Programming (metode gravitasi) Pada tahap ini, dilakukan penentuan lokasi agroindustri penghasil tepung ubi jalar yang dapat melayani konsumen (industri pengolah tepung) dengan meminimumkan jarak antara industri penghasil tepung dengan konsumennya. Gambar peta lokasi provinsi Jawa Barat beserta alternatif kota lokasi agroindustri penghasil tepung ubi jalar (ditandai dengan gambar bintang) tersaji sebagai berikut Gambar 23. Gambar 23 Peta lokasi penghasil tepung ubi jalar 74 Persamaan jarak antara lokasi industri yang diusulkan dengan lokasi konsumen adalah sebagai berikut: di = [(xi - x)2 + (yi - y)2] dimana (x,y) = koordinat lokasi industri yang diusulkan (xi,yi) = koordinat industri konsumen i Fungsi tujuan dari model lokasi industri adalah sebagai berikut: Minimumkan total perjalanan d = diti di = jarak ke kota i ti = jumlah perjalanan (dalam satu tahun ) ke kota i diasumsikan nilai ti adalah sama dengan jumlah produksi bahan baku per tahun pada masing-masing daerah i. Koordinat masing-masing alternatif kota adalah: Kota Bogor Garut Tasik Bandung Kuningan KOORDINAT X Y 2.625 8.75 10.4 7.25 11.6 5.37 2.25 1.9 3.75 3.6 ASUMSI Frekuensi Perjalanan 61753 65566 24316 34329 110169 Hasil olahan nonlinier programming dengan menggunakan Solver adalah sebagai berikut: Kota Bogor Garut Tasik Bandung Kuningan KOORDINAT X Y 2.625 8.75 10.4 7.25 11.6 5.37 2.25 1.9 3.75 3.6 ASUMSI Frekuensi Jarak tempuh perjalanan (km) 61753 6.990852859 65566 0.715938421 24316 1.572518261 34329 2.098860455 110169 2.568007706 Dengan koordinat lokasi industri penghasil tepung yang optimum sebagai berikut x= y= 9.144796 2.847247 Koordinat tersebut terletak pada sebelah timur laut kota Garut. 75 Dan total jarak tempuh antara industri penghasil tepung dengan konsumen dalam satu tahun adalah 871 851,3 km. 4.4.2 Optimasi dengan Simulasi pemodelan Stella® Simulasi dengan menggunakan pemodelan Stella® dilakukan guna mencari total biaya rantai pasokan agroindustri tepung ubi jalar. Rantai pasokan yang diperhitungkan ke dalam pemodelan dimulai dari pasokan umbi ubi jalar dari para petani dan berakhir di konsumen yang meruapakan industri makanan pengguna tepung ubi jalar. Beberapa asumsi yang dipakai dalam pemodelan adalah sebagai berikut: Harga ubi jalar per kilogram Rp 500.00 Pasokan bahan baku ubi jalar 2000 kg/hari Konversi praperlakuan dari persediaan umbi ubi jalar menjadi ubi jalar siap olah yang merupakan proses pencucian dan pencucian adalah 90 %, yaitu terjadi susut berat bahan sebesar 10 % dari persediaan bahan awal. Susut bahan yang terjadi pada saat proses penyawutan diasumsikan sebesar 15 %. Susut berat akibat adanya proses penjemuran (pengeringan) adalah 25 % dari berat bahan sebelum pengeringan, dan susut berat bahan yang terjadi selama proses penepungan adalah 15 %. Beberapa komponen biaya yang mempengaruhi biaya total rantai pasokan tepung ubi jalar adalah biaya persediaan, biaya pembelian umbi ubi jalar, biaya angkut, biaya penyimpanan dan biaya distribusi tepung ubi jalar. Secara lengkap pemodelan rantai pasokan agroindustri tepung ubi jalar disajikan pada Gambar 24. Berdasarkan hasil running terhadap model tersebut, maka diperoleh total biaya rantai pasokan tepung ubi jalar sebesar Rp 2 752 534.53 per hari. Dengan simulasi pemodelan ini, harga bahan baku umbi ubi jalar dapat disimulasikan antara Rp 400.00 sampai Rp 600.00 /kg yang akan mempengaruhi biaya total rantai pasokannya. Rancangan pemodelan dengan menggunakan pemrograman Stella adalah sebagai berikut: persediaan ubi jalar ubi jalar siap olah sawut kering sawut ubi jalar tepung ubi jalar ~ umbi ubi jalar praperlakuan proses peny awutan pengeringan konv ersi pengeringan konv ersi praperlakuan distribusi penepungan Susut penepungan susut peny awutan pasokan dari petani Permintaan konsumen Biay a distribusi produk Biay a pembelian Biay a Angkut Biay a Peny impanan Total biay a rantai pasokan persediaan ubi jalar 2,222.2 Biay a pembelian 1,000,000.0 Biay a Angkut Total biay …tai pasokan 439,277.9 2,752,534.53 Gambar 24 Pemodelan rantai pasokan tepung ubi jalar dengan program Stella® Biay a Peny impanan 913,769.7 Biay a distribusi produk 399,487.0 VI KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil kajian terhadap potensi dan karakteristik sifat fisik dan kimia ubi jalar serta karakteristik tepung ubi jalar, potensi pengembangan tepung ubi jalar terbuka luas. Pengolahan ubi jalar ke dalam bentuk tepung memudahkan penggunaan dan pengolahannya menjadi bahan makanan. Industri olahan makanan rata-rata membutuhkan bahan baku berupa tepung. Diharapkan tepung ubi jalar dapat menjadi salah satu pemenuh kebutuhan tersebut. Salah satu jenis ubi jalar yang cocok diolah sebagai tepung ubi jalar adalah jenis ubi jalar putih (sukuh) yang dapat menghasilkan rendemen tepung di atas 30%. Berdasarkan hasil analisa terhadap rantai pasokan agroindustri tepung ubi jalar yang saat ini telah ada dengan menggunakan studi kasus di wilayah Jawa Barat, dapat dilihat bahwa pada umumnya industri tepung ubi jalar didirikan tidak jauh dari sumber bahan baku (petani penghasil umbi ubi jalar). Agroindustri tepung ubi jalar di Desa Cikarawang Bogor melakukan proses konversi umbi ubi jalar menjadi bahan setengah jadi (berbentuk chips maupun sawut) pada lokasi yang sama dengan lokasi penepungannya, sedangkan agroindustri tepung ubi jalar di daerah kab. Kuningan melakukannya pada lokasi yang terpisah. Titik kritis proses pengolahan terletak pada proses penyawutan/pembuatan bahan setengah jadi. Berdasarkan pengkajian terhadap lokasi fasilitas yang cocok sebagai industri penghasil tepung ubi jalar terletak di timur laut kota Garut, dengan pertimbangan kedekatan dengan sumber permintaan dan sumber pasokan ubi jalarnya. Peran pemerintah baik pusat maupun lokal tak dapat dipungkiri sangat penting bagi pengembangan agroindustri ini. Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan sebagai upaya perbaikan terhadap rancangan rantai pasokan yang telah ada, strategi rantai pasokan untuk tepung ubi jalar yang dianjurkan adalah strategi efisiensi rantai pasokan dengan optimasi minimisasi total biaya rantai pasokan. Dengan bahan baku 2 ton ubi jalar per hari, maka diperoleh besaran total biaya rantai pasokan tepung ubi jalar sebesar Rp 2 752 534.00. 78 Rantai pasokan terdiri dari petani penghasil ubi jalar, industri pembuat sawut kering yang berlokasi berdekatan. Selanjutnya, sawut kering dikirimkan ke industri penepung yang terletak di daerah timur laut kota Garut untuk menjangkau dan secara maksimal memenuhi kebutuhan konsumen. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah perlunya dilakukan identifikasi secara lebih detail mengenai lokasi pabrik penepung ubi jalar, dengan mempertimbangkan lokasi real. DAFTAR PUSTAKA Antarlina SS. 2003. Teknologi Pengolahan Tepung Komposit Terigu-Ubijlar sebagai Bahan Baku Industri Pangan. Kumpulan Hasil Penelitian Terbaik Bogasari Nugraha 1998-2001. PR & Communication Dept. PT ISM Bogasari Flour Mills, Jakarta. Ahumada O, Villalobos JR. 2009. Application of planning models in the agri-food supply chain: a review. Eur J of Operational Research 195:1-20. Ariani M. 2006. Diversifikasi konsumsi pangan di Indonesia: antara harapan dan kenyataan. Di dalam Suradisastra K, Yusdja Y, Siregar M, dan Kariyasa K, editor. Diversifikasi Usahatani dan Konsumsi: Suatu Alternatif Peningkatan Kesejahteraan Rumah Tangga Petani. PSE Litbang Deptan Monograf 27: 118-131. [Balitkabi] Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umubi-Umbian. 2005. Teknologi Produksi Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. Malang: Balitkabi. Blackburn J, Scudder G. 2009. Supply chain strategies for perishable products: the case of fresh produce. Product and Operations Mgmt 18:2. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2007. Jumlah produksi ubi jalar di Jawa Barat tahun 2006. Bandung: BPS Jabar. Bradbury JH, Holloway WD. 1988. Chemistry of tropical root crops: significance for nutrition and agriculture in the Pacific. ACIAR Monograf 6. Brown JG. 1994. Agroindustrial Investment and Operations. Washington: The World Bank. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1998. SNI 01-4493-1998 Ubi Jalar. Chopra S, Meindl P. 2007. Supply Chain Management: Strategy, Planning, and Operation. Ed ke-3. Ney Jersey: Pearson Education. Dhania S. 2006. Langkah awal penggandaan skala tepung ubi jalar dan beberapa karakteristiknya [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Damardjati DS, Widowati S. 1994. Pemanfaatan Ubi jalar dalam Program Diversifikasi Guna Mensukseskan Swasembada Pangan. Balittan Malang Edisi Khusus 3 : 1 - 25. 80 Djami SA. 2007. Prospek pemasaran tepung ubi jalar ditinjau dari potensi permintaan industri kecil di wilayah Bogor (studi kasus: Kelompok Tani Hurip Desa Cikarawang) [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2007. Top production sweet potatoes 2007. http://faostat.fao.org/DesktopDefault.aspx?PageID=339&lang=en &country=101. [24 Mei 2010] Fisher ML. 1997. What is the right supply chain for your product? Harvard Bussiness review (Maret-April): 83-93. Hafsah MJ. 2004. Prospek Bisnis Ubi jalar. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Hasanuddin A, Wargiono J. 2003. Research priorities for sweetpotato in Indonesia. Di dalam: Fuglie KO, editor. Progress in Potato and Sweetpotato Reserach in Indonesia. Proceedings of the CIP-Indonesia Research Review Workshop; Bogor, 26-27 Mar 2002. Bogor: International Potato Center. hlm 20-27. Honestin T. 2007. Karakterisasi sifat fisikokimia tepung ubi jalar (Ipomoea batatas) [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Indrajit RE., Djokopranoto R. 2002. Konsep Manajemen Supply Chain : Cara Baru Memandang Mata Rantai Penyediaan Barang. Jakarta: PT Grasindo. Kumalaningsih S. 1994. Peluang pengembangan agroindustri dari bahan baku ubi jalar. Balittan Malang Edisi Khusus 3 : 26 - 35. Kussuma I. 2008. Kajian tekno ekonomi pendirian industri tepung ubi jalar (Ipomoea batatas L) melalui participatory action research (PAR) di desa Cikarawang Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Irfansyah. 2001. Karakterisasi fisiko-kimia dan fungsional tepung ubi jalar (Ipomoea batatas L) serta pemanfaatannya untuk pembuatan kerupuk [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Juarsa MI. 2007. Daya saing ubi jalar di Kabupaten Kuningan Jawa Barat [skirpsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Law AM. 2009. How to build valid and credible simulation models. Di dalam: Fuglie KO, editor. Progress in Potato and Sweetpotato Reserach in Indonesia. Proceedings of the CIP-Indonesia Research Review Workshop; Bogor, 26-27 Mar 2002. Bogor: International Potato Center. hlm 129-147. Law AM, Kelton WD. 2000. Simulation Modeling and Analysis. Ed ke-3. Boston: Mc Graw Hill. 81 Lestari HN. 2006. Analisis penetapan harga pokok produksi pasta ubi jalar (Ipomoea batatas) kaitannya dengan perencanaan laba jangka pendek perusahaan (kasus: PT Galih Estetika di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: PT Grasindo. Min H, Zhou G. 2002. Supply chain modeling: past, present, and future. Comp & Ind Eng 43:231-249. Muchtadi D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Bogor: PAU IPB. Muryanto, Hardjo S, Sjachri M, Jenie BSL. 1978. Mempelajari Pembuatan Tepung Ubi Jalar dengan Berbagai Cara Persiapan Bahan dan Suhu Pengeringan. Bogor: Proyek Peningkatan/Pengembangan Perguruan Tinggi, Institut Pertanian Bogor. Onwueme IC. 1978. The Tropical Tuber Crops. New York: John Wiley & Sons. Palmer JK. 1982. Carbohydrates in sweet potato. Di dalam: Villareal RL, Griggs TD, editor. Sweet Potato. Proceedings of the firsst International Symposium. Tainan: Asian Vegetable Research and Development Center. No. 82-172, hlm 135-140. Pramuji I. 2007. Analisis kelayakan usaha agroindustri ubi jalar (studi kasus pada agroindustri pengolahan tepung ubi jalar di Desa Giri Mulya, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Saleh N, Hartojo K. 2003. Present status and future research in sweetpotato in Indonesia. Di dalam: Fuglie KO, editor. Progress in Potato and Sweetpotato Reserach in Indonesia. Proceedings of the CIP-Indonesia Research Review Workshop; Bogor, 26-27 Mar 2002. Bogor: International Potato Center. hlm 129-147. Setiawan E. 2005. Pembuatan mie kering dari ubi jalar (Ipomoea batatas)dan penentuan umur simpan dengan metode akselerasi [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Simanjuntak FLMT. 2001. Pemanfaatan ubi jalar (Ipomoea batatas) sebagai bahan dasar pembuatan mie kering [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Simchi-Levi D, Kaminsky P, Simchi-Levi E. 2003. Designing, and Managing the Supply Chain: Concepts, Strategies, and Case Studies. New York: Mc. Graw-Hill. Sisson KD. 2003. Indonesia grain and feed annual 2003. Global Agricultural Information Network. US Embassy, Jakarta. 82 Suismono. 1995. Kajian teknologi pembuatan tepung ubi jalar (Ipomoea batatas) dan manfaatnya untuk produk ekstrusi mie basah [tesis]. Bogor: Pasca Sarjana, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Vorst JGAJ van der. 2006. Performance measurement in agri-food supply-chain networks. Di dalam: Ondersteijn CJM, Wijnands JHM, Huirne RBM, Kooten O van, editor. Quantifying the Agri-food Supply Chain. Netherland. hlm 13-24. Waddington T, Childerhouse P, Towill DR. 2002. Engineer your supply chain to cope with demand under uncertainty. Int j of Operations Management & Control 27 (10): 14 – 18. [Warintek] Warung Informasi Teknologi – Ristek. 2010. Pengawetan dan bahan kimia. [terhubung berkala]. http://www.warintek.ristek.go.id/pangan/ umum/pengawetan.pdf. [9 April 2010] Widowati S, Santosa BAS, Damardjati DS. 1994. Penggunaan tepung ubi jalar sebagai salah satu bahan baku dalam pembuatan bihun. Balittan Malang Edisi Khusus 3: 115-119. Widowati S, Damardjati SS, Suismono. 1991. Research activites on post harvest and utilization of sweet potato in CRIFC, Indonesia, 1989-1991 [Laporan hasil penelitian]. Bogor: CRIFC dan SAPPRAD. Winarno FG. 1981. Bahan pangan terfermentasi. Kumpulan pikiran dan gagasan tertulis. Pusbangtepa IPB, Bogor. Yenni E. 2007. Perumusan strategi pemasaran tepung ubi jalar produksi usaha kecil (studi kasus: Kelompok Tani Hurip Desa Cikarawang) [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. LAMPIRAN 85 Lampiran 1 Teknologi budidaya ubi jalar di lahan sawah Komoditas ini ditanam baik pada lahan sawah maupun lahan tegalan. Dengan teknik budidaya yang tepat, beberapa varietas unggul ubi jalar dapat menghasilkan lebih dari 30 ton umbi basah per hektar. 1. Penggunaan bibit unggul a. Variets unggul yang telah dilepas selain produktivitasnya tinggi, juga memiliki sifat agak tahan terhadap hama boleng Cylas formicarus dan penyakit kudis Sphaceloma batatas seperti Sari, Boko, Sukuh, Jago dan Kidal b. Untuk menjaga potensi hasil, stek yang ditanam harus bebas dari hama/penyakit c. Kebutuhan bibit 35000 – 50000 stek/ha 2. Penyiapan lahan a. Tanah diolah, dibuat guludan selebar 40-60 cm dan tinggi 25-30 cm. Jarak antar guludan 80 cm atau 100 cm. b. Pada tanah berat (berlempung) untuk membuat guludan yang gembur perlu ditambah 10 ton bahan organik/ha 3. Penanaman a. Ubi jalar ditanam setelah padi yaitu awal hingga pertengahan musim kemarau b. Stek pucuk ditanam di guludan dengan jarak dalam baris 20 -30 cm, jarak antar gulud 100 cm, populasi tanaman sekitar 35000 – 50000 tanaman/ha c. Ubi jalar dapat ditanam dalam sistem tumpang sari dengan tingkat naungan tidak lebih 30% 4. Pemupukan dan mulsa a. Takaran pupuk 100 -200 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl. Sangat baik bila ditambahkan pupuk kandang yang diberikan bersamaan pembuatan guludan. b. Sepertiga dari urea dan KCl serta seluruh SP36 diberikan pada saat tanam. Sedangkan sisanya, dua pertiga urea dan KCl diberikan pada saat tanaman berumur 1.5 bulan. 86 c. Pupuk diberikan dalam larikan, kemudian ditutup dengan tanah d. Untuk pertanaman di lahan sawah setelah padi, pemanfaatan jerami padi sebagai mulsa dapat menekan biaya, karena selain meringankan penyiangan, dengan mulsa tidak perlu pembalikan batang 5. Penyiangan gulma dan pembalikan batang a. Penyiangan gulma dilakukan sebelum atau selambat-lambatnya bersamaan dengan pemupukan ke dua b. Perbaikan gulud dan pembalikan batang perlu dilakukan untuk mencegah munculnya akar dari ruas batang 6. Pengairan a. Pada musim kemarau, pengairan merupakan kunci untuk mencapai produktivitas tinggi. Pengairan yang cukup dapat menghindarkan ubi jalar dari serangan hama boleng Cylas formacarius. 7. Pengendalian hama a. Hama utama adalah hama boleng Cylas formicarius, penggerek batang Omphisa anastomasalis serta nematoda Meloidogyne sp. yang merugikan ubi jalar. b. Hama tersebut dapat dikendalikan secara terpadu dengan: - Menanam varietas yang agak tahan - Menanam stek bahan tanaman yang sehat atau mencelup stek ke dalam larutan insektisida 10 menit - Rotasi tanaman - Pembumbunan - Penangkapan serangga jantan dewasa dengan hormon feromon - Penyemprotan insektisida nabati (ekstrak daun atau biji mimba, Azadirachta indica dengan konsentrasi 4%). 8. Panen a. Ubi jalar dapat dipanen jika umbi sudah tua dan besar. Panen dapat serentak maupun bertahap b. Secara fisik ubi jalar siap dipanen apabila daun dan batang mulai menguning. Di dataran rendah, ubi jalar umumnya dipanen pada umur 3.5 87 – 5 bulan. Sedangkan di dataran tinggi ubi jalar dipanen pada umur 5 – 8 bulan 9. Pascapanen Selain dikonsumsi langsung, ubi jalar dapat diolah menjadi produk antara dalam bentuk pati maupun tepung. Pati dibuat dengan mengekstrak ubi yang telah diparut. Sedangkan tepung diperoleh dengan cara mencuci ubi, mengupas, mengiris, menjemur dan menghancurkan (menepungkan) diayak pada ukuran 80 mesh. Pati dan tepung ubi jalar dapat digunakan untuk membuat aneka jenis kue, mie, hingga es krim. Sumber : Balitkabi (2005) 89 Lampiran 2 Produksi ubi jalar Indonesia menurut provinsi 2005-2009 Provinsi 1. Nanggroe Aceh D. 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. R i a u 5. J a m b i 6. Sumatera Selatan 7. Bengkulu 8. Lampung 9. Bangka Belitung 10. Riau Kepulauan 11. D.K.I. Jakarta 12. Jawa Barat 13. Jawa Tengah 14. D.I. Yogyakarta 15. Jawa Timur 16. Banten 17. B a l i 18. Nusa Tenggara Barat 19. Nusa Tenggara Timur 20. Kalimantan Barat 21. Kalimantan Tengah 22. Kalimantan Selatan 23. Kalimantan Timur 24. Sulawesi Utara 25. Sulawesi Tengah 26. Sulawesi Selatan 27. Sulawesi Tenggara 28. Gorontalo 29. Sulawesi Barat 30. Maluku 31. Maluku Utara 32. Papua Barat 33. Papua Total produksi Indonesia 2005 22,985 115,728 50,392 10,848 28,370 24,465 45,921 44,602 4,117 1,540 0 390,386 144,598 6,522 150,564 41,276 88,510 19,430 99,748 12,364 9,711 24,106 22,574 38,671 23,768 53,513 24,823 3,309 9,475 16,701 34,533 19,543 273,876 1,856,969 Sumber: BPS (2010), diolah Produksi (ton) 2006 2007 16,238 15,187 102,712 117,641 53,758 53,793 11,123 12,814 29,261 36,363 20,747 21,515 51,184 32,131 42,586 46,772 3,820 5,144 1,463 1,472 0 0 389,043 375,714 123,485 143,364 6,236 5,496 150,540 149,811 34,373 33,694 92,078 91,187 19,372 13,007 111,279 102,375 14,356 13,882 9,645 8,619 26,335 31,143 26,334 30,855 37,345 35,475 26,886 29,079 54,303 58,819 24,432 27,588 3,557 2,974 6,194 9,304 20,081 20,929 33,673 35,199 21,375 18,702 290,424 306,804 1,854,238 1,886,852 2008 13,172 114,186 61,817 11,330 21,825 19,621 30,682 48,191 4,653 1,490 0 376,490 117,159 7,656 136,556 33,793 88,201 10,985 107,316 12,871 12,153 25,903 29,372 42,062 27,689 66,546 30,892 3,947 15,895 21,778 35,094 15,340 337,096 1,881,761 2009 15,711 142,602 69,253 10,219 22,800 20,657 31,341 49,835 5,006 1,536 0 389,851 119,670 6,499 144,659 35,841 84,469 17,472 112,765 12,112 10,698 31,954 33,662 43,261 29,392 63,287 28,721 3,854 14,381 21,999 26,640 12,929 334,235 1,947,311 90 Lampiran 3 Luas panen ubi jalar Indonesia menurut provinsi 2005-2009 Provinsi 1. Nanggroe Aceh D. 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. R i a u 5. J a m b i 6. Sumatera Selatan 7. Bengkulu 8. Lampung 9. Bangka Belitung 10. Riau Kepulauan 11. D.K.I. Jakarta 12. Jawa Barat 13. Jawa Tengah 14. D.I. Yogyakarta 15. Jawa Timur 16. Banten 17. B a l i 18. Nusa Tenggara Barat 19. Nusa Tenggara Timur 20. Kalimantan Barat 21. Kalimantan Tengah 22. Kalimantan Selatan 23. Kalimantan Timur 24. Sulawesi Utara 25. Sulawesi Tengah 26. Sulawesi Selatan 27. Sulawesi Tenggara 28. Gorontalo 29. Sulawesi Barat 30. Maluku 31. Maluku Utara 32. Papua Barat 33. Papua Total luas lahan ubi jalar di Indonesia Sumber: BPS 2010, diolah 2005 2,330 12,014 4,266 1,375 3,325 3,739 4,818 4,617 532 217 0 30,794 11,179 617 13,835 3,638 7,105 1,702 12,930 1,569 1,416 2,432 2,393 4,457 2,510 4,890 2,993 352 849 1,942 3,950 1,991 27,559 Luas Panen (ha) 2006 2007 1,661 1,542 10,630 12,129 4,146 3,769 1,413 1,627 3,407 4,026 2,950 3,033 5,366 3,372 4,400 4,813 481 647 190 191 0 0 29,805 28,096 9,384 10,592 611 515 13,818 13,975 3,020 2,904 7,241 7,037 1,693 1,135 14,480 12,940 1,853 1,779 1,383 1,232 2,603 2,691 2,859 3,217 3,755 3,617 2,771 2,996 5,029 5,549 3,058 3,357 378 314 573 846 2,355 2,448 3,860 4,035 2,167 1,874 29,167 30,634 2008 1,325 10,316 4,082 1,429 2,263 2,829 3,217 4,953 578 193 0 27,252 8,467 610 13,750 2,884 6,424 953 13,437 1,643 1,735 2,417 3,114 4,277 2,616 6,235 3,587 412 1,442 2,546 4,023 1,524 34,028 2009 1,556 12,841 4,461 1,291 2,360 3,013 3,293 5,120 623 199 0 28,617 8,606 591 14,729 3,051 6,407 1,506 14,044 1,632 1,526 2,918 3,623 4,396 2,737 5,899 3,458 399 1,310 2,559 3,062 1,278 34,078 178,336 176,507 174,561 181,183 176,932 91 Lampiran 4 Produktivitas ubi jalar Indonesia menurut provinsi 2005-2009 Provinsi 1. Nanggroe Aceh D. 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. R i a u 5. J a m b i 6. Sumatera Selatan 7. Bengkulu 8. Lampung 9. Bangka Belitung 10. Riau Kepulauan 11. D.K.I. Jakarta 12. Jawa Barat 13. Jawa Tengah 14. D.I. Yogyakarta 15. Jawa Timur 16. Banten 17. B a l i 18. Nusa Tenggara Barat 19. Nusa Tenggara Timur 20. Kalimantan Barat 21. Kalimantan Tengah 22. Kalimantan Selatan 23. Kalimantan Timur 24. Sulawesi Utara 25. Sulawesi Tengah 26. Sulawesi Selatan 27. Sulawesi Tenggara 28. Gorontalo 29. Sulawesi Barat 30. Maluku 31. Maluku Utara 32. Papua Barat 33. Papua Total produktivitas ubi jalar Indonesia Sumber: BPS 2010, diolah 2005 98.65 96.33 118.12 78.89 85.32 65.43 95.31 96.60 77.39 70.97 0.00 126.77 129.35 105.71 108.83 113.46 124.57 114.16 77.14 78.80 68.58 99.12 94.33 86.76 94.69 109.43 82.94 94.01 111.60 86.00 87.43 98.16 99.38 Produktivitas (Ku/ha) 2006 2007 2008 97.76 98.49 99.41 96.62 96.99 110.69 129.66 142.72 151.44 78.72 78.76 79.29 85.88 90.32 96.44 70.33 70.94 69.36 95.39 95.29 95.38 96.79 97.18 97.30 79.42 79.51 80.50 77.00 77.07 77.20 0.00 0.00 130.53 133.73 138.15 131.59 135.35 138.37 102.06 106.72 125.51 108.94 107.20 99.31 113.82 116.03 117.17 127.16 129.58 137.30 114.42 114.60 115.27 76.85 79.12 79.87 77.47 78.03 78.34 69.74 69.96 70.05 101.17 115.73 107.17 92.11 95.91 94.32 99.45 98.08 98.34 97.03 97.06 105.84 107.98 106.00 106.73 79.90 82.18 86.12 94.10 94.71 95.80 108.10 109.98 110.23 85.27 85.49 85.54 87.24 87.23 87.23 98.64 99.80 100.66 99.57 100.15 99.06 2009 100.97 111.05 155.24 79.16 96.61 68.56 95.17 97.33 80.35 77.19 0.00 136.23 139.05 109.97 98.21 117.47 131.84 116.02 80.29 74.22 70.10 109.51 92.91 98.41 107.39 107.28 83.06 96.59 109.78 85.97 87.00 101.17 98.08 104.13 105.05 107.48 106.64 107.80 92 Lampiran 5 Perkembangan luas panen dan produksi ubi jalar di berbagai daerah di Jawa Barat tahun 2003 - 2008 Perkembangan Luas Panen dan Produksi Ubi Jalar di Kabupaten Majalengka Tahun Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas ton/ha/tahun 2003 747 8.931 119,56 2004 1.027 12.961 126,20 2005 1.429 19.583 138,90 2006 779 9.300 119,38 2007 1.111 12.305 110,76 2008 734 10.554 143,79 Trend (%) -1,30 -0,19 Rata-rata (%) 126,43 Perkembangan Luas Panen dan Produksi Ubi Jalar di Kabupaten Ciamis Tahun Luas Panen (ha) Produksi (ton) 2003 1.163 8.649 Produktivitas ton/ha/tahun 74,37 2004 1.143 10.465 91,56 2005 942 7.869 83,54 2006 603 5.441 90,23 2007 730 6.341 86,86 2008 867 7.517 86,70 Trend (%) -8,89 -7,09 Rata-rata (%) 85,54 93 Perkembangan Luas Panen dan Produksi Ubi Jalar di Kabupaten Tasikmalaya Tahun Luas Panen (ha) Produksi (ton) 2003 1.687 12.743 Produktivitas ton/ha/tahun 75,54 2004 1.873 16.859 90,01 2005 3.208 30.516 95,12 2006 2.461 23.636 96,04 2007 2.476 20.251 81,79 2008 2.101 17.914 85,26 Trend (%) 4,89 5,87 Rata-rata (%) 87,29 Perkembangan Luas Panen dan Produksi Ubi Jalar Di Kabupaten Garut Tahun Luas Panen (ha) Produksi (ton) 2003 5.538 48.413 Produktivitas ton/ha/tahun 87,42 2004 5.640 57.966 102,78 2005 4.952 51.856 104,72 2006 5.545 65.566 118,24 2007 5.679 70.764 124,61 2008 5.534 68.363 123,53 Trend (%) 0,37 7,58 Rata-rata (%) 110,22 94 Perkembangan Luas Panen dan Produksi Ubi Jalar di Kabupaten Kuningan Tahun Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas ton/ha/tahun 2003 6.498 92.890 142,95 2004 6.287 94.256 149,92 2005 5.367 89.985 167,66 2006 5.991 100.169 167,20 2007 5.664 105.610 186,46 2008 5.936 110.428 186,03 Trend (%) -1,86 3,82 Rata-rata (%) 166,70 95 Lampiran 6 Luas panen ubi jalar rata-rata per bulan di Jawa Barat (ha) periode tahun 1987 - 2005 Tahun Jan Febr Maret April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nop Des Jumlah 1987 4 544 5 438 3 752 2 831 2 906 3 401 3 158 3 383 3 465 3 838 2 606 1 911 41 233 1988 2 469 3 750 4 518 4 561 3 446 3 117 3 230 3 869 4 859 4 771 4 049 3 357 45 996 1989 5 181 4 888 5 486 4 168 3 140 3 118 3 797 3 907 4 302 4 015 3 521 3 105 48 628 1990 2 992 4 599 4 809 3 920 2 787 3 028 3 689 3 678 5 043 4 221 3 758 2 911 45 435 1991 2 802 3 383 4 823 4 891 3 250 3 243 3 398 3 972 3 444 2 283 2 666 1 255 39 410 1992 1 997 4 435 4 820 4 683 2 890 3 385 3 820 3 767 4 984 5 134 3 649 4 314 47 878 1993 4 393 4 339 4 365 4 568 3 143 2 741 3 853 3 508 4 000 3 434 3 609 2 687 44 640 1994 2 925 3 547 4 401 3 589 3 501 2 857 3 634 4 605 3 330 2 087 2 062 1 798 38 336 1995 2 221 3 182 5 127 4 348 3 313 3 513 3 464 4 649 4 791 4 593 2 892 2 750 44 843 1996 3 043 4 140 5 148 2 986 2 016 2 502 3 074 3 940 3 354 2 769 2 265 2 533 37 770 1997 3 048 4 381 3 339 2 764 3 086 2 355 3 727 3 268 3 355 1 959 1 922 1 567 34 771 1998 1 285 2 149 3 562 3 514 2 813 2 369 3 262 4 222 4 408 4 465 3 979 4 546 40 574 1999 4 690 4 397 4 330 2 527 2 143 2 701 4 099 3 480 3 230 3 200 2 747 1 705 39 249 2000 2 380 3 579 3 574 3 055 2 337 3 015 3 093 3 020 3 122 3 492 2 266 2 438 35 371 2001 1 997 2 919 2 860 2 247 1 435 2 448 2 799 2 999 2 194 2 347 2 101 2 284 28 630 2002 5 339 3 652 2 853 2 594 2 236 2 569 3 064 2 775 2 420 2 514 2 479 1 575 34 070 2003 1 114 2 053 2 908 3 230 2 591 3 017 3 233 3 272 2 395 2 197 2 181 1 760 29 951 2004 2 280 2 993 3 018 3 163 2 735 2 627 2 628 2 590 2 778 2 630 2 018 1 954 31 414 2005 1 848 2 328 3 165 2 779 2 340 2 766 2 516 2 752 2 689 3 073 2 195 2 343 30 794 2 976 3 692 4 045 3 496 2 743 2 883 3 344 3 561 3 588 3 317 2 788 2 463 38 894 RataRata Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2007 (Diolah) 96 97 Lampiran 7 Persamaan dalam simulasi dengan pemrograman Stella® persediaan_ubi_jalar(t) = persediaan_ubi_jalar(t - dt) + (umbi_ubi_jalar praperlakuan) * dt INIT persediaan_ubi_jalar = umbi_ubi_jalar INFLOWS: umbi_ubi_jalar = GRAPH(pasokan_dari_petani) (0.00, 0.00), (200, 250), (400, 450), (600, 660), (800, 820), (1000, 1060), (1200, 1250), (1400, 1430), (1600, 1580), (1800, 1810), (2000, 2000) OUTFLOWS: praperlakuan = konversi_praperlakuan*persediaan_ubi_jalar sawut_kering(t) = sawut_kering(t - dt) + (pengeringan - penepungan) * dt INIT sawut_kering = pengeringan INFLOWS: pengeringan = sawut_ubi_jalar*konversi_pengeringan OUTFLOWS: penepungan = sawut_kering*Susut_penepungan sawut_ubi_jalar(t) = sawut_ubi_jalar(t - dt) + (proses_penyawutan - pengeringan) * dt INIT sawut_ubi_jalar = proses_penyawutan INFLOWS: proses_penyawutan = ubi_jalar_siap_olah*susut_penyawutan OUTFLOWS: pengeringan = sawut_ubi_jalar*konversi_pengeringan tepung_ubi_jalar(t) = tepung_ubi_jalar(t - dt) + (penepungan - distribusi) * dt INIT tepung_ubi_jalar = penepungan INFLOWS: penepungan = sawut_kering*Susut_penepungan OUTFLOWS: distribusi = tepung_ubi_jalar*Permintaan_konsumen ubi_jalar_siap_olah(t) = ubi_jalar_siap_olah(t - dt) + (praperlakuan proses_penyawutan) * dt 98 INIT ubi_jalar_siap_olah = praperlakuan INFLOWS: praperlakuan = konversi_praperlakuan*persediaan_ubi_jalar OUTFLOWS: proses_penyawutan = ubi_jalar_siap_olah*susut_penyawutan Biaya_Angkut = (persediaan_ubi_jalar*15)+(sawut_kering*200) Biaya_distribusi_produk = (distribusi*200) Biaya_pembelian = umbi_ubi_jalar*500 Biaya_Penyimpanan = (persediaan_ubi_jalar*100)+(sawut_kering*100)+(sawut_ubi_jalar*100)+(tepung _ubi_jalar*100) konversi_pengeringan = 0.75 konversi_praperlakuan = 0.9 pasokan_dari_petani = 2000 Permintaan_konsumen = 0.9 Susut_penepungan = 0.985 susut_penyawutan = 0.985 Total_biaya_rantai_pasokan = Biaya_Angkut+Biaya_distribusi_produk+Biaya_pembelian+Biaya_Penyimpanan