analisa rantai pasokan agroindustri tepung ubi jalar

advertisement
ANALISA RANTAI PASOKAN
AGROINDUSTRI TEPUNG UBI JALAR
NISA ZAHRA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisa Rantai Pasokan
Agroindustri Tepung Ubi Jalar adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2011
Nisa Zahra
NRP F351060071
ABSTRACT
NISA ZAHRA. Study on the Supply Chain of Sweet Potato Flour Industry.
Under direction of YANDRA ARKEMAN, TITI CANDRA SUNARTI, and ADE
FEBRANSYAH
Indonesian people are well known in consuming rice as their staple food. As
the national food security becomes very demanding on the rice sufficiency, this
situation is growing a problem as rice supply is becoming limited. The
government has actually made a serious effort to solve this problem by
establishing food diversification programs, such as developing flour agro industry
based on local commodities to support the national food security. One of the most
potential local commodities of carbohydrate source is sweet potato, as Indonesia
is the 4th biggest sweet potato producer in the world (FAO 2007). The
implementation of supply chain management in developing the sweet potato flour
agro industry is becoming very important. Various parties will be involved in this
industry, their requirements need to be fulfilled, and their expectations need to be
satisfied. Starting from the farmers producing sweet potato tubers, until the
industry producing the sweet potatoes flour. Managing supply chain is about
meeting supply to demand, to result higher supply chain surplus among all the
parties involved so that this agro industry is hopefully becoming attractive for the
parties involved. This research is presenting the characteristic of sweet potato,
sweat potato flour, and its potency as the raw material for food industry. The
present condition of sweet potato business and sweet potato flour supply chain
was also studied, taking West Java as a sample case of study. And as an addition,
an efficient supply chain management of sweet potato flour agro industry is
designed to become a recommendation, or one of consideration for building the
sweet potato flour agro industry. According to this research, sweet potato has
good potency to be the raw material of flour industry, but the present supply chain
needs to be improved to get the optimum result and advantage.
Keywords: supply chain, sweet potato flour, plant location, optimization, Stella®
Simulation
RINGKASAN
NISA ZAHRA. Analisa Rantai Pasokan Agroindustri Tepung Ubi jalar.
Dibimbing oleh YANDRA ARKEMAN, TITI CANDRA SUNARTI, dan ADE
FEBRANSYAH.
Ketahanan pangan telah menjadi isu yang sangat penting bagi hampir setiap
negara di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Masyarakat Indonesia memang telah
dikenal mengkonsumsi beras sebagai makanan pokoknya. Maka ketika
permintaan atas beras lebih besar daripada pasokannya, timbulah masalah yang
dapat mengancam ketahanan pangan nasional. Padahal, beras bukan satu-satunya
komoditas pemenuh kebutuhan gizi masyarakat. Upaya pemerintah dalam
membangun diversifikasi konsumsi pangan sesungguhnya telah dilakukan sejak
tahun 1960-an, saat pemerintah mulai menganjurkan konsumsi bahan makanan
pokok selain beras.
Pengembangan agroindustri tepung-tepungan berbasis komoditas lokal,
seperti tanaman ubi-ubian, dalam upaya peningkatan ketahanan pangan nasional
dinilai sebagai salah satu langkah yang tepat. Tanaman ubi-ubian merupakan
penghasil karbohidrat yang efisien, murah, dan dapat digunakan sebagai
suplementasi bahan pangan, pakan dan bahan baku industri. Salah satu tanaman
ubi lokal yang berpotensi untuk dikembangkan adalah ubi jalar. Indonesia sendiri
menempati urutan keempat sebagai negara penghasil ubi jalar terbesar di dunia
setelah China, Uganda, Nigeria dengan jumlah produksi mencapai 1.89 x 106 MT
(FAO 2007). Jenis ubi ini sangat mudah ditanam di wilayah Indonesia, hampir
seluruh provinsi di Indonesia memproduksi ubi jalar. Tanaman umbi ini
mempunyai produktifitas yang cukup tinggi, pemeliharaannya tidak mahal dan
harga pokok produksinya cukup rendah.
Dalam membangun suatu agroindustri tepung berbasis komoditas lokal
untuk ketahanan pangan, sangat diperlukan suatu manajemen rantai pasokan
(supply chain management) yang baik. Strategi pengaturan operasi dimulai dari
petani penghasil ubi jalar, hingga ke industri penghasil tepung ubi jalar ataupun
industri pengguna tepung ubi jalar. Manajemen rantai pasokan merupakan
serangkaian pendekatan yang diterapkan untuk mengintegrasikan pemasok,
pengusaha, gudang dan tempat penyimpanan lainnya secara efisien sehingga
produk dihasilkan dan didistribusikan dengan kuantitas yang tepat, lokasi tepat
dan waktu tepat untuk memperkecil biaya dan memuaskan kebutuhan pelanggan
(Shimchi-Levi et al., 2003). Tujuan dari sebuah rantai pasokan adalah untuk
memaksimalkan keseluruhan nilai yang dihasilkan, yang merupakan selisih antara
nilai sebuah produk akhir bagi konsumen dengan biaya rantai pasokan yang
ditimbulkan dalam memenuhi permintaan konsumen tersebut. Dengan
menerapkan manajemen rantai pasok yang baik dan tepat pada agroindustri
tepung ubi jalar, diharapkan agroindustri ini dapat berkembang dan beroperasi
secara berkesinambungan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik serta protensi ubi jalar
dan tepung ubi jalar, mengkaji kondisi aktual agroindustri tepung ubi jalar dan
menganalisa sistem rantai pasok tepung ubi jalar saat ini. Berdasarkan hasil
analisa dan kajian tersebut, sebuah rantai pasokan tepung ubi jalar didesain
sebagai masukan bagi pengembangan agroindustri ini. Ruang lingkup penelitian
mengenai rantai pasokan diawali dari petani ubi jalar hingga industri penghasil
tepung ubi jalar, dengan mengambil studi kasus di daerah Jawa Barat. Kajian
kondisi rantai pasokan produk agroindustri dilakukan terhadap produk tepung ubi
jalar sebagai bahan baku industri makanan. Kondisi rantai pasok yang ada saat ini
diidentifikasi dan dideskripsikan melalui studi pustaka dan pengamatan secara
langsung pada sentra produksi ubi jalar dan tepung ubi jalar. Rantai pasok yang
menjadi fokus kajian dibatasi sampai pada industri pengguna tepung ubi jalar.
Ruang lingkup perancangan rantai pasokan diawali dari petani ubi jalar hingga
industri penghasil tepung ubi jalar, dengan mengambil studi kasus di daerah Jawa
Barat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendorong berkembangnya
agroindustri tepung berbasis komoditas lokal, khususnya ubi jalar, untuk
menunjang ketahanan pangan.
Keputusan mengenai desain jaringan rantai pasokan agroindustri tepung ubi
jalar meliputi penugasan peran fasilitas yang ada, penentuan lokasi proses,
penyimpanan atau fasilitas lain terkait transport, dan alokasi kapasitas serta pasar
pada masing-masing-masing fasilitas. Untuk mengembangkan suatu produk,
penyusunan deskripsi atau potret kondisi riil produk perlu dilakukan. Pada
penelitian ini kondisi riil usaha tepung ubi jalar dikaji berdasarkan pengamatan
pada beberapa sentra produksi ubi jalar. Secara lebih mendalam, kajian mengenai
kondisi rantai pasokan tepung ubi jalar saat ini turut dilakukan untuk menjadi
gambaran dalam perancangan model rantai pasokan agroindustri ubi jalar.
Sebelumnya, dilakukan kajian mendalam terhadap karakteristik fisik dan mekanis
dari ubi jalar yang akan menentukan tata cara penyimpanan dan pendistribusian
bahan baku, bahan setengah jadi dan produk jadi yang baik untuk meminimalisir
kerusakan yang dapat terjadi baik selama penyimpanan maupun perjalanan.
Kajian mengenai pasokan ubi jalar menjadi sangat penting dilakukan demi
kelangsungan agroindustri tepung ubi jalar. Sebagai sebuah industri, agroindustri
tepung ubi jalar dituntut untuk dapat memasok produknya secara kontinyu kepada
para pelanggannya. Dalam hal ini pasokan bahan baku ubi jalar menjadi penting
untuk dipenuhi. Tahapan selanjutnya dalam proses perancangan rantai pasokan
tepung ubi jalar adalah pendefinisian strategi kompetitif berdasarkan identifikasi
lanskap ketidakpastian (ketidakpastian demand dan supply). Pada tahap ini dikaji
sifat permintaan dari tepung ubi jalar untuk kemudian dicocokan dengan strategi
rantai pasokannya.
Dari hasil pengkajian karakteristik dan potensi terhadap tepung ubi jalar
diperoleh bahwa potensi pengembangan tepung ubi jalar terbuka luas. Pengolahan
ubi jalar ke dalam bentuk tepung memudahkan penggunaan dan pengolahannya
menjadi bahan makanan. Industri olahan makanan rata-rata membutuhkan bahan
baku berupa tepung. Diharapkan tepung ubi jalar dapat menjadi salah satu
pemenuh kebutuhan tersebut. Salah satu jenis ubi jalar yang cocok diolah sebagai
tepung ubi jalar adalah jenis ubi jalar putih (sukuh) yang dapat menghasilkan
rendemen tepung di atas 30 %.
Rancang bangun rantai pasokan agroindustri tepung ubi jalar sangat penting
untuk disusun dan dikaji agar keberlangsungan permintaan (demand) maupun
pasokan (supply) dapat terjalin dengan baik. Berdasarkan pengkajian terhadap
lokasi fasilitas yang cocok sebagai industri penghasil tepung ubi jalar terletak di
timur
laut kota Garut, dengan pertimbangan kedekatan dengan sumber
permintaan dan sumber pasokan ubi jalarnya. Peran pemerintah baik pusat
maupun lokal tak dapat dipungkiri sangat penting bagi pengembangan
agroindustri ini.
Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan, strategi rantai pasokan
untuk tepung ubi jalar adalah strategi efisiensi rantai pasokan dengan optimasi
minimisasi total biaya rantai pasokan. Dengan bahan baku 2 ton ubi jalar, maka
diperoleh besaran total biaya rantai pasokan tepung ubi jalar sebesar
Rp 2 752 534.00. Rantai pasokan terdiri dari petani penghasil ubi jalar, industri
pembuat sawut kering yang berlokasi berdekatan. Selanjutnya, sawut kering
dikirimkan ke industri penepung yang terletak di daerah timur laut Kota Garut
untuk menjangkau dan secara maksimal memenuhi kebutuhan konsumen.
Kata kunci: rantai pasokan, tepung ubi jalar, Stella®, optimasi
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagaian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISA RANTAI PASOKAN
AGROINDUSTRI TEPUNG UBI JALAR
NISA ZAHRA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Penguji Luar komisi pada Ujian Tesis: Dr. Eng. Taufik Djatna, STP, MSi
Judul Penelitian
Nama
NRP
: Analisa Rantai Pasokan Agroindustri Tepung Ubi Jalar
: Nisa Zahra
: F351060071
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr.Ir.Yandra Arkeman, MEng
Ketua
Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, Msi
Anggota
Dr. Ir. Ade Febransyah, MSc
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Teknologi Industri Pertanian
Dr. Ir. Machfud, MS
Tanggal Ujian: 11 Maret 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji Syukur kehadirat Allah SWT penulis haturkan, karena berkat rahmatNya Tesis yang berjudul Analisa Rantai Pasokan Agroindustri Tepung Ubi Jalar
dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Master pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian,
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak, oleh karena itu melalui prakata ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada Bapak Dr. Ir. Yandra
Arkeman, MEng sebagai ketua komisi pembimbing, dan anggota komisi
pembimbing Ibu Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MSi dan Bapak Dr. Ir. Ade
Febransyah, MSc atas curahan waktu, bimbingan, arahan dengan penuh dedikasi
serta dorongan moral hingga tesis ini dapat diselesaikan.
Ucapan terima kasih dihaturkan kepada kedua orang tua penulis, dan ketiga
adik dan kakak penulis serta suami penulis yang tidak hentinya memberikan
dukungan moral selama mengerjakan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Bapak Ir Nurdin, MSi dari Balai Besar Industri Agro (BBIA,
Bogor) yang telah memberikan banyak bantuan dalam mengumpulkan data, serta
kepada Maulidiani, STP, MSc mahasiswa program doktor Universitas Putra
Malaysia yang telah banyak membantu penulis dalam mencari jurnal ilmiah
internasional terbaru dan Renny Utami Somantri, STP., MSi atas dorongan
semangatnya.
Terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan secara rinci
atas perhatian dan bantuan yang telah diberikan selama masa studi. Semoga karya
ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia.
Bogor, Juni 2011
Nisa Zahra
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 29 November 1980 dari ayah Drs.
Chilwan Pandji, Apt., MSc dan ibu Novie Srinovani. Penulis merupakan putri
kedua dari empat bersaudara.
Tahun 1998 penulis lulus dari SMA Negeri Tarogong 1 Garut, dan pada
tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
IPB. Penulis memilih Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian.
Setelah lulus program Sarjana, pada tahun 2003 penulis bekerja sebagai staf
operasional di Kantor Konsultan Primakelola Agrobisnis Agroindustri (PKAAIPB). Pada tahun 2005 penulis mendapat kesempatan mengikuti training selama
tiga bulan di Suranaree University of Technology di Nakhon Rachasima, Thailand
disponsori oleh InWent, Germany. Pada tahun 2006 melanjutkan studi program
master pada program studi Teknologi Industri Pertanian di Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xxi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xxv
I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 5
1.4 Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................... 5
1.5 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 5
II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 7
2.1 Rantai Pasokan Agroindustri ..................................................................... 7
2.2 Pemodelan dan Optimasi ......................................................................... 11
2.3 Teknik Simulasi ....................................................................................... 15
2.4 Ubi Jalar ................................................................................................... 18
2.5 Penelitian Terdahulu ................................................................................ 22
III METODOLOGI .............................................................................................. 25
3.1. Kerangka Penelitian ................................................................................. 25
3.2. Prosedur Penelitian ................................................................................... 28
3.3. Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 34
IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 35
4.1 Karakteristik Tepung Ubi Jalar ................................................................ 35
4.1.1 Karakteristik Ubi Jalar .................................................................. 35
4.1.2 Pengolahan Ubi Jalar Menjadi Tepung Ubi Jalar, Panen dan
Pascapanen Ubi Jalar .................................................................... 39
4.1.3 Karakteristik Tepung Ubi Jalar ..................................................... 47
4.1.4 Potensi Pengembangan Tepung Ubi Jalar .................................... 49
4.2 Kondisi Aktual Agroindustri Tepung Ubi Jalar di Indonesia ................... 51
4.2.1 Produksi Ubi Jalar di Jawa Barat .................................................. 51
4.2.2 Agroindustri Tepung Ubi Jalar di Kabupaten Bogor .................... 55
4.2.3 Agroindustri Tepung Ubi Jalar di Kabupaten Kuningan ............... 58
4.3 Perbaikan Rantai Pasokan Agroindustri Tepung Ubi Jalar ...................... 67
4.3.1 Identifikasi Sifat Dasar Permintaan Tepung Ubi Jalar ................. 67
4.3.2 Analisa Kapabilitas Rantai Pasokan ............................................. 69
4.3.3 Pemetaan Ketidakpastian Permintaan dan Pencocokan Rantai
Pasokan dengan Produk (achieving strategic fit) ......................... 69
xix
4.4 Pemodelan dan Simulasi ........................................................................... 69
4.4.1 Pemodelan Lokasi Fasilitas ............................................................ 69
4.4.2 Optimasi dengan Simulasi pemodelan Stella® ............................. 75
VI KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 79
LAMPIRAN .......................................................................................................... 83
xx
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Spesifikasi persyaratan khusus ubi jalar ......................................................... 20
2
Kandungan kimia ubi jalar per 100 g bahan segar ......................................... 20
3
Produk fungsional versus produk inovatif: perbedaan permintaan ................ 29
4
Kandungan gizi dalam100 g beras, jagung, terigu dan ubi jalar .................... 37
5
Warna ubi dan komposisi kimia beberapa klon ubi jalar ............................... 39
6
Komposisi kimia tepung terigu, tepung ubi kayu dan tepung ubi jalar .......... 47
7
Perbandingan karakteristik beberapa jenis tepung ......................................... 48
8
Keragaman hasil olahan tepung ubi jalar ....................................................... 50
9
Jumlah produksi dan pangsa produksi ubi jalar di Jawa Barat
tahun 2006 ...................................................................................................... 53
10 Luas panen, produksi dan produktivitas ubi jalar di Kabupaten Bogor
(tahun 2000 – 2005)........................................................................................ 56
11 Data luas tanam, luas panen, produksi dan produktivitas berbagai
komoditas pertanian di Kabupaten Kuningan ................................................ 59
12 Penggolongan ketidakpastian permintaan dalam sebuah produk
(Waddington 2002) ......................................................................................... 68
13 Jumlah industri tepung dan industri roti dan kue pada setiap
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat ........................................................... 70
14 Data yang digunakan dalam pemilihan daerah sebagai lokasi industri
penghasil tepung ............................................................................................. 71
15 Pengolahan data dan pemilihan daerah sebagai lokasi industri penghasil
tepung menggunakan teknik CPI.................................................................... 72
xxi
xxii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Para pelaku dalam rantai pasokan (Chopra & Meindl 2007) .......................... 9
2
Diagram skematik rantai pasokan dilihat dari perspektif prosesor dalam
rantai pasokan produk makanan hasil pertanian (Vorst 2000) ....................... 10
3
Cara mempelajari sistem (Law & Kelton 2000) ............................................. 12
4
Taksonomi model rantai pasok (Min & Zhou 2002) ...................................... 14
5
Ubi jalar (Ipomoea batatas)............................................................................ 19
6
Pohon industri ubi jalar .................................................................................. 21
7
Kerangka pemikiran penelitian....................................................................... 27
8
Diagram alir penelitian ................................................................................... 28
9
Matriks kecocokan (Fisher 1997)................................................................... 30
10 Proses pembuatan tepung ubi jalar ................................................................. 42
11 Jalur pemasaran ubi jalar (Hafsah 2004) ........................................................ 52
12 Perkembangan produksi ubi jalar Jawa Barat tahun 1996 - 2006 .................. 54
13 Perkembangan produksi ubi jalar di Kab. Kuningan, Kab. Bogor dan
Kab Garut pada tahun 1996 - 2006................................................................ 55
14 Lokasi industri rumah tangga tepung ubi jalar ............................................... 57
15 Proses pengolahan ubi jalar menjadi tepung ubi jalar .................................... 58
16 Peta lokasi Kabupaten Kuningan (Disperindag Kab Kuningan 2009) .......... 60
17 Bangunan dan sarana pembuatan chip ubi jalar di Kab. Kuningan ................ 62
18 Agroindustri tepung ubi jalar di Kab. Kuningan ............................................ 63
19 Peralatan untuk pengolahan tepung ubi jalar .................................................. 64
20 Aneka makanan olahan berbasis tepung ubi jalar .......................................... 66
21 Rantai pasokan ubi jalar dan tepung ubi jalar di daerah Kuningan ................ 67
22 Rantai pasokan tepung ubi jalar di Kabupaten Kuningan .............................. 67
xxiii
23
Peta lokasi penghasil tepung ubi jalar ........................................................... 73
24
Pemodelan rantai pasokan tepung ubi jalar dengan program Stella® .......... 76
xxiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Teknologi budidaya ubi jalar di lahan sawah ..................................................... 85
2 Produksi ubi jalar Indonesia menurut provinsi 2005-2009 ............................... 89
3 Luas panen ubi jalar Indonesia menurut provinsi 2005-2009 ........................... 90
4 Produktivitas ubi jalar Indonesia menurut provinsi 2005-2009 ........................ 91
5 Perkembangan luas panen dan produksi ubi jalar di berbagai daerah di
Jawa Barat tahun 2003 - 2008 ........................................................................ 92
6 Luas panen ubi jalar rata-rata per bulan di Jawa Barat (ha) periode tahun
1987 - 2005 ..................................................................................................... 95
7 Persamaan dalam simulasi dengan pemrograman Stella® ............................... 96
xxv
xxvi
I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Ketahanan pangan telah menjadi isu yang sangat penting bagi hampir setiap
negara di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Masyarakat Indonesia memang telah
dikenal mengkonsumsi beras sebagai makanan pokoknya. Maka ketika
permintaan beras lebih besar daripada pasokannya, timbulah masalah yang dapat
mengancam ketahanan pangan nasional. Padahal, beras bukan satu-satunya
komoditas pemenuh kebutuhan gizi masyarakat. Upaya pemerintah dalam
membangun diversifikasi konsumsi pangan sesungguhnya telah dilakukan sejak
tahun 1960-an, saat pemerintah mulai menganjurkan konsumsi bahan makanan
pokok selain beras. Diversifikasi konsumsi pangan pada hakekatnya tidak hanya
sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan pada beras tetapi juga sebagai
upaya meningkatkan mutu gizi makanan rakyat baik dari segi kuantitas, maupun
kualitasnya. Hal ini merupakan usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia dan juga meningkatkan ketahanan pangan nasional (Ariani 2006).
Timbulnya gagasan mengenai pengembangan agroindustri tepung-tepungan
berbasis
komoditas
lokal,
seperti
ubi-ubian,
dalam
rangka
upaya
pendiversifikasian konsumsi pangan dinilai sebagai salah satu jawaban dan
langkah yang tepat dalam upaya peningkatan ketahanan pangan nasional.
Pemberdayaan
komoditas
lokal
tersebut
sesungguhnya
memang
tengah
diupayakan di beberapa daerah di Indonesia.
Tanaman ubi-ubian dikenal sebagai komoditas lokal penghasil karbohidrat
yang efisien, murah, dan dapat digunakan sebagai suplementasi bahan pangan,
pakan dan bahan baku industri. Salah satu tanaman ubi lokal yang berpotensi
untuk dikembangkan adalah ubi jalar. Indonesia sendiri menempati urutan
keempat sebagai negara penghasil ubi jalar terbesar di dunia setelah China,
Uganda, Nigeria dengan jumlah produksi mencapai 1.89 x 106 MT (FAO 2007).
Jenis ubi ini sangat mudah ditanam di wilayah Indonesia, hampir seluruh provinsi
di Indonesia memproduksi ubi jalar. Tanaman umbi ini mempunyai produktifitas
yang cukup tinggi (dapat mencapai 30 ton/ha), pemeliharaannya tidak mahal dan
harga pokok produksinya cukup rendah. Berbagai hasil penelitian menunjukan
2
bahwa ubi jalar merupakan komoditas yang memiliki potensi manfaat dan
pengembangan yang baik. Hampir seluruh bagian tanaman ubi jalar dapat
dimanfaatkan. Ubi jalar memiliki kandungan gizi yang baik, merupakan sumber
vitamin A dan vitamin C tinggi, serta karbohidratnya mengandung LGI (Low
Glycemix Index 54) yang rendah sehingga cocok dikonsumsi bagi penderita
diabetes.
Pengolahan ubi jalar menjadi bentuk tepung dapat mempermudah
penyimpanan dan menambah variasi dalam pemanfaatannya serta memperlama
penyimpanan. Seperti tepung terigu, tepung ubi jalar dapat diolah menjadi
berbagai macam makanan, seperti aneka kue kering, mie, bihun, roti dan
sebagainya. Dalam bentuk tepung, ubi jalar dapat difortifikasi dengan berbagai zat
gizi yang diinginkan. Proses pembuatan tepung ubi jalar pun dapat dikatakan
relatif sederhana, mudah dan murah.
Selain ubi jalar, beberapa komoditas yang dapat digunakan untuk tepung
antara lain sorghum, jagung, singkong, kentang, sagu, talas, garut, sukun, ganyong
dan talas belitung. Pemilihan komoditas untuk dikembangkan tersebut
dipengaruhi pertimbangan kecocokan lahan di daerah tersebut dan kebiasaan
masyarakat setempat. Tepung ubi jalar selama ini pernah diusahakan di beberapa
daerah,
diantaranya
di
kabupaten
Bogor
dan
Kabupaten
Kuningan.
Pengembangannya telah menjadi objek penelitian beberapa instansi pemerintahan
dan perguruan tinggi.
Pemberdayaan agroindustri tepung-tepungan berbasis komoditas lokal yaitu
tepung ubi jalar jelas perlu ditunjang oleh perencanaan dan pelaksanaan yang
baik. Kejelasan dan pengaturan tata rantai pasokan yang baik dapat menunjang
keberhasilan program ini. Manajemen rantai pasok atau yang lebih dikenal dengan
Supply Chain Management (SCM) menjadi penting untuk diterapkan agar
keberlangsungan agroindustri tepung ubi jalar dapat tercapai sehingga pada
akhirnya dapat turut serta berkontribusi dalam menunjang ketahanan pangan
nasional.
SCM merupakan serangkaian pendekatan yang diterapkan sebagai upaya
untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang dan tempat penyimpanan
lainnya secara efisien sehingga produk dapat dihasilkan dan didistribusikan
3
dengan kuantitas yang tepat, lokasi tepat dan waktu tepat demi memuaskan
kebutuhan pelanggan (Shimchi-Levi et al. 2003). Melalui pengaturan rantai pasok
(SCM) agroindustri tepung ubi jalar yang baik, diharapkan pasokan bahan baku,
bahan setengah jadi dan bahan jadi dalam agroindustri ini dapat terjamin sehingga
kontinuitas produksi dapat berlangsung dan kebutuhan konsumen dapat terpenuhi.
Penerapan SCM pada rangkaian pasokan berbagai produk dapat memiliki
strategi
yang
konsumennya.
berbeda-beda
Namun,
demi
secara
memenuhi
umum,
setiap
kebutuhan
dan
kepuasan
SCM
bertujuan
untuk
memaksimalkan keuntungan/surplus (selisih pendapatan yang diperoleh dari
konsumen dengan total biaya) keseluruhan rantai pasokan. Semakin besar
keuntungan yang diperoleh pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah rantai pasokan
secara keseluruhan, semakin sukses pula rantai pasokan tersebut. Sehingga
diharapkan penerapan SCM pada agroindustri tepung ubi jalar ini dapat
meningkatkan pendapatan para petani ubi jalar khususnya, dan juga meningkatkan
pendapatan para pihak yang terkait sepanjang rantai pasokan agroindustri ini.
Rantai pasokan yang ideal bagi sebuah agroindustri perlu dirancang dengan
baik. Bagi rantai pasokan yang telah ada, perlu dianalisa dan dilakukan upaya
perbaikan terhadap rantai pasokan tersebut. Perbaikan rantai pasokan yang ada
diawali dengan kegiatan penentuan strategi rantai pasok. Pengidentifikasian
pihak-pihak yang terlibat sepanjang rantai pasokan perlu dilakukan agar struktur
rantai pasok agroindustri tepung ubi jalar dapat disusun. Dalam penelitian ini,
kegiatan simulasi untuk optimasi rantai pasokan pun dilakukan untuk memperoleh
rancangan rantai pasokan yang ideal (optimal).
1.2
Perumusan Masalah
Salah satu kendala dalam pengembangan agroindustri tepung ubi jalar
adalah ketidakpastian pasokan bahan baku industri, yakni umbi ubi jalar. Di
beberapa daerah, masih terdapat keengganan para petani untuk menanam tanaman
ini. Di tengah masyarakat sendiri, ubi jalar masih dipandang sebagai makanan
yang kurang populer. Rantai tata niaga ubi jalar yang selama ini ada pun lebih
menguntungkan bagi beberapa pihak yang terlibat di dalamnya, dan seringkali
para petani penanam ubi jalar justru mengalami kerugian. Harga ubi jalar
seringkali berfluktuasi, sehingga ketika harganya jatuh, para petani memilih untuk
4
tidak menjualnya dan membiarkan hasil panen mereka membusuk (studi kasus:
Kabupaten Kuningan).
Di samping permasalahan pasokan bahan baku, pasar tepung ubi jalar yang
belum jelas menjadi salah satu kendala pengembangan agroindustri ini. Padahal
tepung ubi jalar memiliki potensi yang cukup baik sebagai bahan baku industri
makanan.
Berdasarkan berbagai hasil penelitian (Zuraida & Supriati 2001,
Irfansyah 2001, Damardjati & Widowati 1994) tepung ubi jalar dapat menjadi
substitusi tepung terigu dan jenis tepung-tepungan lainnya dalam pengolahan
makanan. Selain kurangnya sosialisasi dan promosi akan potensi dan manfaat
pengunaan tepung ubi jalar kepada pihak industri pengguna tepung, ketidakjelasan
pasokan tepung ubi jalar dari pemasok pun dinilai menjadi salah satu faktor
penyebab kurangnya pemanfaatan tepung ubi jalar ini.
Dalam membangun suatu agroindustri tepung berbasis komoditas lokal
untuk ketahanan pangan, sangat diperlukan suatu manajemen rantai pasokan
(supply chain management) yang baik. Perancangan rantai pasokan agroindustri
tepung ubi jalar dilakukan dengan mempertimbangkan sejumlah pihak yang
terlibat di dalamnya. Strategi pengaturan operasi dimulai dari petani penghasil
bahan baku –dalam hal ini ubi jalar, hingga ke industri penghasil tepung ubi jalar
ataupun industri pengguna tepung ubi jalar.
Analisa terhadap rantai pasokan tepung ubi jalar yang telah ada pada ruang
lingkup yang telah ditentukan menjadi perlu dilakukan agar dapat menjadi
masukan saat perancangan perbaikan rantai pasokan agroindustri ini.
Rantai
pasokan tepung ubi jalar yang selama ini telah ada umumnya hanyalah rantai tata
niaga yang tidak terorganisir dengan baik, sehingga lebih menguntungkan bagi
pihak tertentu saja. Informasi mengenai karakteristik potensi tepung ubi jalar,
karakteristik bahan setengah jadi maupun karakteristik umbi ubi jalar sebagai
bahan baku agroindustri perlu digali sebagai salah satu dasar saat melakukan
perbaikan rancangan rantai pasokan agroindustri tepung ubi jalar yang optimal.
Penyusunan strategi rantai pasokan perlu dilakukan berdasarkan kajian terhadap
ketidakpastian supply dan demand.
Dengan menerapkan manajemen rantai pasok yang baik dan tepat pada
agroindustri tepung ubi jalar, diharapkan agroindustri ini dapat berkembang dan
5
beroperasi secara berkesinambungan. Untuk itu, perlu dilakukan kajian dan
analisa terhadap rantai pasok tepung ubi jalar yang ada saat ini sebagai masukan
bagi perancangan model rantai pasokan yang tepat bagi agroindustri tepung ubi
jalar.
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah:
1. Mengkaji potensi dan karakteristik ubi jalar dan tepung ubi jalar.
2. Mengkaji kondisi aktual agroindustri tepung ubi jalar dan sistem rantai pasok
tepung ubi jalar saat ini di beberapa kota di Jawa Barat.
3. Merancang perbaikan rantai pasokan agroindustri tepung ubi jalar dan
memperoleh hasil simulasi terhadap model rantai pasokan yang dibangun
dengan melihat pengaruhnya terhadap biaya total rantai pasokan dalam
agroindustri tepung ubi jalar.
1.4
Ruang Lingkup Penelitian
Analisa kondisi rantai pasokan produk agroindustri dilakukan terhadap
produk tepung ubi jalar. Kondisi rantai pasok yang ada saat ini diidentifikasi dan
dideskripsikan melalui studi pustaka dan pengamatan secara langsung pada sentra
produksi ubi jalar dan tepung ubi jalar. Rantai pasok yang menjadi fokus kajian
dibatasi sampai pada industri pengguna tepung ubi jalar. Ruang lingkup
perancangan rantai pasokan diawali dari petani ubi jalar hingga industri penghasil
tepung ubi jalar, dengan mengambil studi kasus di daerah Jawa Barat.
1.5
Manfaat Penelitian
Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
mendorong berkembangnya
agroindustri tepung umbi-umbian berbasis komoditas lokal, khususnya ubi jalar,
untuk menunjang ketahanan pangan. Pengkajian terhadap karakteristik, potensi
dan kondisi aktual agroindustri tepung ubi jalar serta perbaikan model rantai
pasokannya yang efektif diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup dan
menjadi pendukung bagi pihak-pihak yang yang terlibat, baik dalam perencanaan
maupun pengembangan agroindustri tepung ubi jalar.
6
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Rantai Pasokan Agroindustri
Supply Chain Management (SCM) atau rantai pengadaan adalah suatu
sistem tempat organisasi menyalurkan barang produksi dan jasanya kepada para
pelanggan. Rantai ini juga merupakan jaringan dari berbagai organisasi yang
saling berhubungan yang mempunyai tujuan yang sama, yang sebaik mungkin
menyelenggarakan pengadaan atau penyaluran barang (Indrajit & Djokopranoto
2002). Sebuah rantai pasokan terdiri dari seluruh pihak yang terlibat, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen.
Manajemen rantai pasokan merupakan serangkaian pendekatan yang
diterapkan untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang dan tempat
penyimpanan lainnya secara efisien sehingga produk yang dihasilkan dan
didistribusikan dengan kuantitas yang tepat, lokasi tepat dan waktu tepat untuk
memperkecil biaya dan memuaskan kebutuhan pelanggan. Merancang dan
mengimplementasikan rantai pasokan yang optimal secara global cukup sulit
karena kedinamisannya serta terjadinya konflik tujuan antar fasilitas dan partner
(Shimchi-Levi et al. 2003).
Kajian dan penelitian dalam pengembangan dan pengoptimasian SCM
untuk produk hasil pertanian (agroindustri) banyak dilakukan seiring dengan
penelitian yang dilakukan pada ranah SCM untuk produk manufaktur. Produk
agroindustri meliputi produk dari perusahaan yang mengolah bahan-bahan yang
berasal dari tanaman dan hewan. Pengolahan tersebut mencakup transformasi dan
pengawetan melalui perubahan fisik atau kimia, penyimpanan, pengemasan, dan
distribusi (Brown 1994).
Istilah rantai pasokan agroindustri (agri-food supply chain) sendiri
digunakan untuk menggambarkan aktivitas mulai dari proses produksi hingga ke
proses distribusi yang membawa produk hortikultur atau produk pertanian dari
tanah pertanian ke atas meja konsumen (Ahumada & Villalobos 2009). Rantai
pasokan agroindustri dibentuk oleh serangkaian organisasi yang melakukan proses
produksi (oleh petani), proses distribusi, proses pengolahannya, dan pemasaran
produk hasil pertanian ke konsumen.
8
Perbedaan karakteristik yang jelas antara produk manufaktur dengan produk
agroindustri juga menimbulkan perbedaan dalam rantai pasokan keduanya.
Menurut Aramyan et al. (2006), yang membuat rantai pasok agroindustri berbeda
dengan rantai pasok produk lainnya adalah:
1.
Sifat produksinya, yang sebagian berbasis pada proses biologis, sehingga
meningkatkan keanekaragaman dan resiko.
2.
Sifat produknya, yang memiliki beberapa karakterisitik khusus, seperti mudah
rusak (perishablelity) dan kamba (bulky), sehingga membutuhkan rantai
pasok tipe tertentu, dan
3.
Perilaku sosial dan konsumen terhadap isu-isu keamanan pangan,
keselamatan binatang, dan tekanan lingkungan.
Tujuan dari sebuah rantai pasokan adalah untuk memaksimalkan
keseluruhan nilai yang dihasilkan, yang merupakan selisih antara nilai sebuah
produk akhir bagi konsumen dengan biaya rantai pasokan yang ditimbulkan dalam
memenuhi permintaan konsumen tersebut. Bagi hampir semua rantai pasokan,
nilai sangat berkorelasi dengan keuntungan rantai pasokan (supply chain
profitability/supply chain surplus), yaitu selisih antara pendapatan yang
didapatkan dari konsumen dengan keseluruhan biaya rantai pasokan. Keuntungan
rantai pasokan merupakan keuntungan total yang terbagi di seluruh tahap rantai
pasokan. Semakin tinggi keuntungan sebuah rantai pasokan, semakin berhasil
rantai pasokan tersebut. Keberhasilan sebuah rantai pasokan hendaknya diukur
dari segi keuntungan sebuah rantai pasokan secara keseluruhan dan bukan dari
keuntungan masing-masing pelaku. Untuk rantai pasokan manapun, terdapat satu
sumber pendapatan, yaitu konsumen. Sedangkan seluruh aliran informasi, produk
dan dana menghasilkan biaya (cost) bagi rantai pasokan. Karenanya, pengaturan
yang baik dari aliran tersebut merupakan kunci dari keberhasilan rantai pasokan.
Manajemen rantai pasokan yang efektif melibatkan manajemen aset rantai
pasokan dan produk, informasi, dan dana yang mengalir untuk memaksimumkan
keuntungan rantai pasokan (Chopra & Meindl 2007). Sebagaimana rantai pasokan
untuk produk lainnya, rantai pasokan agroindustri juga merupakan sebuah
jaringan dari berbagai organisasi yang bekerja bersama dalam aktivitas dan proses
yang berbeda-beda dalam rangka memuaskan permintaan konsumen.
9
Istilah supply chain atau rantai pasokan mengandung arti bahwa hanya ada
satu pemain yang terlibat pada setiap tahap rantai pasok. Pada kenyataanya,
sebuah pabrik dapat menerima bahan baku dari beberapa pemasok dan kemudian
memasok produk jadinya ke beberapa distributor. Berdasarkan hal ini,
sesungguhnya kebanyakan supply chain (rantai pasokan) merupakan network atau
jaringan (Chopra & Meindl 2007). Pada umumnya rantai pasokan melibatkan
beberapa pelaku (Gambar 1), yang meliputi:
1. Konsumen
2. Retailers/pengecer
3. Wholesalers/distributor
4. Manufakturer/pabrik
5. Supplier/pemasok bahan baku/komponen
supplier
manufacturer
distributor
retailer
customer
supplier
manufacturer
distributor
retailer
customer
supplier
manufacturer
distributor
retailer
customer
Gambar 1 Para pelaku dalam rantai pasokan (Chopra & Meindl 2007)
Jaringan rantai pasok terdiri dari pemasok, gudang, pusat distribusi, dan
outlet retail, termasuk bahan baku, persediaan (Work in process inventory), dan
produk jadi yang mengalir melalui fasilitas tersebut (Shimchi-Levi et al. 2003).
Konfigurasi jaringan dapat melibatkan beberapa isu terkait dengan lokasi pabrik,
gudang, dan lokasi retailer. Permasalahan konfigurasi jaringan biasanya
melibatkan banyak data, termasuk informasi lokasi pelanggan, lokasi retail, lokasi
gudang yang ada, dan pusat distribusi, fasilitas pabrik dan supplier; informasi
produk, termasuk volume, cara transportasi; permintaan tahunan menurut lokasi
10
pelanggan, biaya pabrik, termasuk biaya tenaga kerja, biaya inventory, dan biaya
operasi tetap; ukuran dan frekuensi pengiriman produk ke pelanggan; biaya
pemesanan; serta persayaratan dan tujuan pelayanan pelanggan.
Menurut Aramyan et al. (2006), terdapat dua tipe rantai pasok agroindustri,
yaitu:
1.
Rantai pasok untuk produk segar, seperti sayuran, bunga dan buah-buahan
2.
Rantai pasok untuk produk pertanian hasil pemrosesan
Gambar 2 Diagram skematik rantai pasokan dilihat dari perspektif prosesor
dalam rantai pasokan produk makanan hasil pertanian (Vorst 2000)
Gambar 2 memperlihatkan rantai pasokan hasil pertanian secara umum.
Masing-masing pelaku ditempatkan pada lapisan jaringan dan tergolong dalam
setidaknya satu rantai pasokan: sebagai contoh, biasanya suatu rantai pasokan
memiliki banyak pemasok (supplier) dan konsumen dalam suatu waktu. Pelaku
lainnya dalam jaringan mempengaruhi performa dari rantai.
Desain atau rancangan sebuah rantai pasokan yang cocok sangat tergantung
dari kebutuhan konsumen dan peran masing-masing tahap yang terlibat (Chopra
& Meindl 2007). Terdapat hubungan yang erat antara rancang bangun dan
manajemen aliran rantai pasokan (produk, informasi dan dana) dan kesuksesan
11
sebuah rantai pasokan. Keputusan mengenai rancang bangun rantai pasokan,
perencanaan dan pelaksanaannya memainkan peran yang penting dalam
kesuksesan atau kegagalan sebuah usaha. Rancang bangun atau strategi rantai
pasok merupakan fase atau kategori pertama dalam pembuatan keputusan
mengenai rantai pasok. Dua fase lainnya adalah perencanaan rantai pasok dan
pelaksanaannya. Rancang bangun rantai pasokan yang cocok tergantung pada
kebutuhan konsumen dan peranan yang berlaku pada setiap tahap yang terlibat
dalam sebuah rantai pasokan (Chopra & Meindl 2007).
Proses yang terjadi dalam sebuah rantai pasokan dibagi menjadi dua
kategori, tergantung dari pertimbangan apakah proses tersebut dilakukan sebagai
respon atas pesanan konsumen (pull processes) atau sebagai antisipasi terhadap
pesanan konsumen (push processes). Tinjauan push/pull processes dalam sebuah
rantai pasokan dapat mempengaruhi pertimbangan keputusan stategis pada saat
pembangunan desain rantai pasokan (Chopra & Meindl 2007). Faktor lain yang
mempengaruhi rancangan rantai pasokan adalah sifat dari permintaan terhadap
produk (nature of the demand), apakah termasuk produk fungsional atau produk
inovatif.
2.2
Pemodelan dan Optimasi
Sebuah model dirancang sebagai representasi dari sebuah sistem. Law dan
Kelton (2000) mengkategorikan sistem ke dalam dua tipe, yaitu sistem diskrit dan
kontinyu. Sistem diskrit adalah sebuah sistem di mana peubahnya berubah secara
instan pada titik waktu yang terpisah. Pada sistem kontinyu, peubahnya berubah
secara kontinyu seiring dengan perubahan waktu. Beberapa cara untuk
mempelajari sebuah sistem disajikan pada Gambar 3.
Model fisik atau yang disebut juga dengan model ikonik salah contohnya
adalah miniatur. Model matematis merepresentasikan sistem secara logis dan
berupa hubungan kuantitatif yang kemudian dimanipulasi dan dirubah untuk
kemudian dilihat bagaimana model tersebut bereaksi dan lalu bagaimana sistem
itu bereaksi, -jika model tersebut valid. Ketika sebuah model matematis dibangun,
model tersebut kemudian harus diperiksa untuk melihat apakah model tersebut
dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan.
12
Sistem
Percobaan
dengan
sistem aktual
Percobaan
dengan
model sistem
Model fisik
Model matematis
Penyelesaian analitis
Simulasi
Gambar 3 Cara mempelajari sistem (Law & Kelton 2000)
Jika sebuah hubungan yang membentuk sebuah model cukup sederhana,
maka dapat digunakan metode matematis untuk memperoleh informasi pasti
terhadap pertanyaan yang diajukan; proses ini disebut juga dengan penyelesaian
analitis. Namun, permasalahan di dunia nyata seringkali terlalu kompleks
sehingga model realistik yang ada menjadi sulit diselesaikan secara analitik, dan
karenanya dibutuhkan penyelesaian dengan menggunakan simulasi. Pada proses
simulasi, komputer digunakan untuk mengevaluasi sebuah model secara numerik,
dan data dikumpulkan untuk mengestimasi karakteristik nyata yang diinginkan
pada sebuah model (Law & Kelton 2000).
Cakupan dalam sebuah rantai pasokan sangat luas sehingga tidak ada satu
model pun yang dapat menjangkau seluruh aspek dalam proses rantai pasokan.
Min dan Zhou (2002) mengusulkan beberapa panduan dalam menentukan
cakupan permasalahan dalam pemodelan sebuah rantai pasokan yang dapat
meminimalisir dilema antara kompleksitas model dengan realitas. Salah satu
usulan tersebut adalah panduan yang diajukan oleh Chopra dan Meindl (2007),
yang didasari tiga level hirarki keputusan berdasarkan frekuensi dan jangka waktu
masing masing keputusan, yaitu:
13
1. Desain atau strategi rantai pasokan (competitive strategy)
Pada level ini, perusahaan menentukan bagaimana struktur rantai pasokan
untuk beberapa tahun ke depan. Konfigurasi rantai pasokan ditentukan
meliputi bagaimana alokasi sumber daya, dan proses apa saja yang terjadi
dalam masing-masing tahap. Beberapa keputusan strategis yang dibuat
perusahaan meliputi apakah perusahaan akan melakukan fungsi rantai
pasokannya secara in-house atau dengan outsource, lokasi dan kapasitas
produksi dan fasilitias penyimpanan, produk yang akan dibuat atau disimpan
dalam berbagai tempat, moda transportasi, dan tipe sistem informasi yang
akan digunakan. Sebuah perusahaan harus memastikan konfigurasi rantai
pasokannya mendukung tujuan strategisnya, dan meningkatkan surplus rantai
pasoknya selama fase ini. Keputusan mengenai strategi rantai pasokan dibuat
untuk jangka panjang (tahunan) dan sangat mahal untuk dirubah dalam
jangka pendek. Ketidakpastian pada kondisi pasar harus turut diperhitungan
dalam fase ini.
2. Perencanaan rantai pasokan (tactical plans)
Jangka waktu pada tahap ini adalah 3 bulan sampai satu tahun. Konfigurasi
rantai pasok yang ditentukan pada tahap sebelumnya sudah dibuat.
Konfigurasi ini menciptakan kendala di mana perencanaan mesti dibuat.
Perusahaan memulai fase ini dengan dengan peramalan untuk tahun yang
akan datang (atau jangka waktu tertentu) dari permintaan pada pasar yang
berbeda. Perencanaan meliputi pengambilan keputusan sehubungan dengan
pasar mana yang akan di-supply dari lokasi mana, subkontrak proses
manufaktur, peraturan penyimpanan, waktu dan ukuran pemasaran dan
promosi harga.
Pada tahap ini, perusahaan harus mengikutsertakan
ketidakpastian permintaan, nilai tukar, dan kompetisi dalam keputusannya.
3. Operasi rantai pasokan (operational routines)
Jangka waktu pelaksanaan fase ini adalah mingguan atau harian, dan selama
fase ini perusahaan melakukan keputusan mengenai pesanan individu dari
pelanggan. Tujuan dari operasi rantai pasokan pada tahap ini adalah untuk
menangani pesanan yang masuk sebaik mungkin. Karena keputusan
14
operasional dilakukan pada jangka waktu yang pendek, ketidakpastian yang
terjadi pun sangat sedikit.
Min dan Zhou (2002) mengembangkan sebuah taksonomi pemodelan rantai
pasok berdasarkan berbagai sumber (Gambar 4). Model rantai pasokan
diklasifikasikan ke dalam empat kategori:
1. Deterministic (non-probabilistik). Pada model ini diasumsikan semua
parameter model diketahui secara pasti
2. Stokastik (probabilistik). Pada model ini, ketidakpastian dan parameter acak
ikut dipertimbangkan.
3. Hibrid. Model ini mengandung elemen deterministik dan stokastik.
4. IT-Driven. Model ini melibatkan informasi dan teknologi untuk memperbaiki
efisiensi rantai pasokan.
Pemodelan rantai pasokan
Model
deterministik
Single
objective
Multiple
objective
Optimal Control
Theory
Model
stokastik
Model
hibrid
Inventory
Theoritic
Dynamic
programming
Model
IT-driven
Simulation
WMS
ERP
Gambar 4 Taksonomi model rantai pasok (Min & Zhou 2002)
Dalam merancang rantai pasokan terdapat proses optimasi terhadap
efektifitas rantai pasokan. Penentuan strategi rantai pasokan yang baik dan
perancangan rantai pasokan yang tepat akan meningkatkan surplus rantai pasokan,
yaitu margin antara pendapatan yang diperoleh dari konsumen dengan
keseluruhan biaya yang timbul dalam rantai pasokan. Menurut Chopra dan Meindl
(2007), desain rantai pasokan tergantung pada kebutuhan konsumen dan peran
GIS
15
yang dilakoni oleh setiap tahapan rantai pasok. Perancangan desain rantai pasokan
hendaknya dilakukan untuk meningkatkan profit atau surplus rantai papsok secara
keseluruhan.
Menurut Simchi-Levi et al. (2003), ketika data telah dikumpulkan,
ditabulasikan, dan diverifikasi, tahapan berikutnya yang perlu dilakukan adalah
optimasi konfigurasi jaringan rantai pasok. Secara umum, terdapat dua teknik
optimasi jaringan:
1. Optimasi matematis, meliputi:
a. Algoritma eksak yang menjamin penemuan solusi optimal, yaitu solusi
dengan biaya terendah
b. Algoritma heuristik, yang menemukan solusi yang baik, namun belum
tentu yang optimal
2. Simulasi model, menyajikan mekanisme untuk mengevaluasi alternatif
rancang bangun spesifik yang dibuat oleh perancang.
2.3
Teknik Simulasi
Jika hubungan yang membentuk sebuah model cukup sederhana, maka
dapat digunakan metode matematika (diantaranya adalah aljabar dan kalkulus)
untuk mendapatkan informasi atau penyelesaian dari model tersebut. Cara seperti
ini biasa disebut dengan penyelesaian secara analitik. Namun, banyak sistem
dalam dunia nyata yang terlalu kompleks sehingga tidak memungkinkan
dievaluasi dengan metode analitik saja. Model-model tersebut dapat dipelajari
dengan menggunakan metode simulasi. Dalam simulasi, komputer digunakan
untuk mengevaluasi sebuah model secara numerk, dan data digabungkan untuk
memperkirakan karakteristik nyata dari model tersebut (Law & Kelton 2000).
Chopra dan Meindl (2007) mengungkapkan bahwa simulasi adalah sebuah
model komputer yang mereplikasi/meniru situasi kehidupan nyata (real life
situation), yang memperkenankan penggunanya untuk mengestimasi keluaran
potensial apa saja yang akan muncul dari masing-masing set tindakan yang telah
dibuat. Simulasi merupakan sebuah alat yang dapat membantu mengevaluasi
pengaruh dari sebuah keputusan terhadap performa pada lingkungan yang tidak
pasti. Pada beberapa kasus tertentu, skenario masa depan dapat dimodelkan secara
16
matematis tanpa simulasi dan formula dapat diperoleh dari pengaruh atas
penerapan beberapa keputusan.
Pada kasus lain, seringkali formula tersebut
terlalu sulit atau bahkan tidak mungkin didapatkan dan karenanya harus
digunakan simulasi. Simulasi dikatakan kuat karena dapat mengakomodasi
berbagai komplikasi. Masalah-masalah yang tidak dapat diatasi secara analitis
seringkali dapat diatasi dengan mudah dengan menggunakan simulasi. Simulasi
yang baik adalah sebuah cara yang tidak mahal untuk menguji berbagai tindakan
dan mengidentifikasi keputusan yang paling efektif untuk masa depan yang tidak
pasti.
Menurut Stefanofic et al. (2009), simulasi komputer dan model simulasi
dapat digunakan untuk memodelkan jaringan pasokan yang rumit semirip sistem
aslinya, menjalankan model-model tersebut dan mengobservasi perilaku sistem.
Simulasi dapat didefinisikan sebagai sebuah proses perancangan model abstrak
dari sebuah sistem real (atau subsistem) dan melakukan percobaan dengan model
tersebut dalam rangka baik memahami perilaku sistem maupun mengevaluasi
berbagai strategi dalam batasan serangkaian kriteria.
Beberapa keuntungan dari simulasi komputer jaringan rantai pasok adalah
sebagai berikut (Stefanovic et al. 2009):
1. Simulasinya jelas dan fleksibel
2. Dapat menganalisis sistem real yang kompleks seperti jaringan rantai pasokan
3. Dengan simulasi, pengaruh yang terdapat pada dunia nyata (real-world
influences) dapat dipertimbangkan, sebagai contoh faktor ketidakpastian pada
permintaan (demand) atau lead time.
4. Mempersingkat waktu.
5. Simulasi dapat melakukan analisi “what-if”. Pengguna dapat menguji hasil
simulasi berdasarkan keputusan yang berbeda-beda.
6. Dengan menggunakan simulasi, efek dari kompenen, parameter dan variabel
dapat dipelajari pada level global.
7. Simulasi tidak mengganggu sistem nyata. Sebagai contoh, uji coba
konfigurasi rantai pasokan dapat dilakukan tanpa gangguan dan investasi
yang signifikan.
17
Adapun kelemahan simulasi komputer adalah sebagai berikut (Stefanovic et al.
2009):
1. Kualitas model simulasi bisa jadi mahal dan menghabiskan banyak waktu
untuk mengembangkan dan memvalidasinya.
2. Simulasi
merupakan
pendekatan
“modifikasi-mencoba”
(modify-try),
sehingga tidak menghasilkan solusi yang optimum.
3. Biasanya dibutuhkan pemodelan dan pendefinisian semua data yang relevan
agar dapat diperoleh hasil yang valid. Hal ini dapat menjadi sangat sulit pada
pengembangan skenario jaringan rantai pasokan yang kompleks.
Model simulasi dapat diklasifikasikan atas tiga dimensi yang berbeda (Law
& Kelton 2000):
1. Model Simulasi Statis dan Dinamis
Model simulasi statis adalah model yang merepresentasikan sistem pada
waktu tertentu, atau yang dapat digunakan untuk merepresentasikan sebuah
sistem di mana waktu tidak berpengaruh. Model simulasi dinamis
merepresentasikan sebuah sistem yang berubah sesuai dengan waktu.
2. Model Simulasi Deterministik dan Stokastik
Jika sebuah model simulasi tidak mengandung komponen probabilistik, maka
model tersebut disebut dengan model deterministik. Sebaliknya, bila sistem
yang dimodelkan mengandung beberapa komponen acak, maka model
tersebut termasuk model probabilistik.
3. Model Simulasi Kontinyu dan Diskrit
Model simulasi diskrit merupakan pemodelan suatu sistem yang berubah
sesuai waktu di mana peubahnya berubah secara instan pada titik waktu yang
berbeda. Model simulasi kontinyu merupakan pemodelan di mana peubahnya
berubah secara kontinyu sesuai dengan perubahan waktu.
Bahasa Pemrograman Stella®
Stella® merupakan perangkat lunak untuk pemodelan berbasis “flow-chart”
yang dikembangkan oleh isee systems inc. Stella® termasuk bahasa pemrograman
interpreter dengen pendekatan lingkungan multi-level hirarkis, baik untuk
menyusun model maupun untuk berinteraksi dengan model.
18
Dalam program Stella® terdapat tiga jenjang (layering) yang saling terkait
untuk mempermudah pengelolaan model, terutama untuk model yang sangat
kompleks. Hal ini sangat bermanfaat untuk pembuat program model maupun
untuk pengguna model tersebut. Ketiga jenjang tersebut adalah:
1. High-Level Mapping Layer, yaitu jenjang antar-muka bagi pengguna (user
interface). Pada jenjang ini pengguna model dapat bekerja, seperti mengisi
parameter model dan melihat tampilan keluaran.
2. Model Construction Layer. Jenjang ini adalah tempat model berbasis “flowchart”. Apabila pengguna model ingin memodifikasi struktur model, dapat
dilakukan dengan jenjang ini.
3. Equation Layer. Pada jenjang ini dapat dilihat persamaan-persamaan
matematika yang digunakan dalam model.
Stella® merupakan bahasa pemrograman jenis interpreter berbasis grafis.
Pemakai Stella® dapat dengan mudah menyusun model dengan merangkaikan
bentuk-bentuk geometris seperti bujursangkar, lingkaran dan panah yang dikenal
dengan building blocks. Alat bantu lain di Stella® yang diperlukan dalam
menyusun
model di antaranya adalah menu, control, toolbars, dan objects.
Banyak diantara alat bantu tersebut mirip dengan alat bantu yang digunakan
dalam Windows, akan tetapi banyak pula alat bantu yang tidak sama yang
merupakan ciri khas Stella®.
2.4
Ubi Jalar
Ubi jalar merupakan umbi dari tanaman ubi jalar (Ipomoea batatas L)
dalam keadaan utuh, segar, bersih dan aman dikonsumsi serta bebas dari
organisme pengganggu tumbuhan. Syarat mutu umum ubi jalar adalah (BSN
1998):
1. Ubi jalar tidak boleh mempunyai bau asing
2. Ubi jalar harus bebas dari bahan kimia seperti insektisida dan fungisida
3. Ubi jalar harus memiliki keseragaman warna, bentuk maupun ukuran
umbinya
4. Ubi jalar harus sudah mencapai masak fisiologis optimal
5. Ubi jalar harus dalam kondisi bersih
19
Ubi jalar memiliki sifat fisik, seperti bentuk, warna kulit dan daging, serta
tekstur yang bervariasi menurut varietasnya (Gambar 5).
Gambar 5 Ubi jalar (Ipomoea batatas)
(sumber : www.cuniculture.info, www.usm.maine.edu)
Botani ubi jalar adalah (Onwueme 1978):
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicothyledone
Ordo
: Solanaceae
Famili
: Convolvuceae
Genus
: Ipomoea L
Nama botani : Ipomoea batatas (L)
Bentuk dan ukuran ubi merupakan salah satu kriteria mutu yang langsung
mempengaruhi harga (Damardjati & Widowati 1994). Bentuk ubi yang mendekati
bulat-lonjong dan tidak banyak bengkokan akan mempermudah tahap pengupasan
dan umumnya rendemen ubi kupasnya tinggi. Ukuran ubi yang sedang, dengan
berat 200-250 g dan seragam membutuhkan waktu pengupasan relatif cepat
dibanding ubi yang kecil atau besar. Bentuk dan ukuran ideal tersebut akan
menguntungkan bagi produsen maupun bagi tenaga kerja, karena umumnya
tahapan proses pengupasan ubi-ubi dibayar dengan upah borongan (Damardjati et
al. 1991). Syarat khusus mutu ubi jalar adalah (Tabel 1):
20
Tabel 1
Spesifikasi persyaratan khusus ubi jalar
No Komponen Mutu
1
2
3
4
5
I
>200
Tidak ada
65
2
30
Berat umbi (g/umbi)
Umbi cacat (per 50 biji) maks.
Kadar air (% b/b, maks.)
Kadar serat (% b/b, maks.)
Kadar pati (% b/b, min.)
Mutu
II
100 - 200
3 biji
60
2.5
25
III
75 – 100
5 biji
60
>3.0
25
Sumber: BSN 1998
Seperti pada sifat fisik ubi jalar, sifat kimia ubi jalar bervariasi tergantung
dari jenis/varietasnya. Kandungan kimia beberapa jenis ubi jalar tersaji pada
Tabel 2.
Tabel 2
Kandungan kimia ubi jalar per 100 g bahan segar
Komposisi
Kalori (Kal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Zat besi (mg)
Natrium (mg)
Kalium (mg)
Niacin (mg)
Vitamin A (SI)
Vitamin B1 (mg)
Vitamin C (mg)
Air (g)
Serat kasar (g)
Abu (g)
Kadar gula (g)
Bagian dapat
dimakan
Ubi Jalar Putih
123.0
1.8
0.7
27.9
30.0
49.0
0.7
60.0
0.9
22.0
68.5
0.9
0.4
0.4
86.0
a
Jumlah
Ubi Jalar Meraha
123.0
1.8
0.7
27.9
30.0
49.0
0.7
7700.0
0.9
22.0
68.5
1.2
0.2
0.4
86.0
Ubi Jalar Kuningb
136.0
1.1
0.4
32.3
57.0
52.0
0.7
5.0
393.0
0.6
900.0
0.1
35.0
1.4
0.3
0.3
-
Sumber: (a) Direktorat Gizi depkes RI 1981
(b) Suismono 1995
Keterangan : -) tidak ada data
Ubi jalar memiliki potensi untuk dimanfaatkan dan dikembangkan dalam
bentuk: (1) segar maupun telah diproses untuk konsumsi manusia; (2) segar
mapun telah dikeringkan sebagai pakan binatang ternak; (3) pati dan tepung
untuk penggunaan dalam bahan pangan maupun nonpangan (Hasanuddin &
Wargiono 2003). Berbagai produk pangan maupun pakan dapat dihasilkan dari
21
ubi jalar. Hampir seluruh bagian tanaman ubi jalar dapat dimanfaatkan. Beragam
produk yang dapat dihasilkan dari tanaman ubi jalar antara lain (Gambar 6):
UBI JALAR
Ubi segar
Daun
Chip goreng, kripik kremes
Sayuran
Batang
Kulit ubi
Bahan tanam
Pakan ternak
Timus, obi, gethuk
Pakan ternak
Pakan ternak
Selai, saos
Aneka cake, bolu, kue kering
Aneka makanan tradisional
Kecap, tauco, saos
Tape
“Gari” (nigeria)
Tepung
Mie, bihun
Pekatan
untuk
minuman
ringan
Aneka cake, bolu, kue kering
Dekstrin, glukosa, fruktosa
Pati
Ampas
“almidon agrio” (Colombia)
“Azedo” (Brazil)
Pakan ternak
Asam sitrat
Gambar 6 Pohon industri ubi jalar (CRIFC 1990, diacu dalam Damardjati dan
Widowati 1994)
Selain sebagai sumber karbohidrat, ubi jalar juga mengandung vitamin A, C,
dan mineral. Ubi jalar yang daging umbinya berwarna ungu banyak mengandung
antosianin yang sangat bermanfaat bagi kesehatan, karena berfungsi mencegah
penyakit kanker. Ubi jalar yang daging ubinya berwarna kuning, banyak
mengandung vitamin A; beberapa varietas ubi jalar mengandung ubi jalar setara
22
dengan wortel. Di Jepang, Korea, Cina, Taiwan dan Amerika Serikat, ubi jalar
tidak hanya digunakan sebagai bahan pangan pokok tetapi juga diolah menjadi
pangan olahan seperti selai, saos, juice, serta sebagai bahan baku industri pakan
dan ternak (Balitkabi 2005). Teknologi budidaya ubi jalar di lahan sawah
disajikan pada Lampiran 1.
Menurut Hasanudin & Wargiono (2003) kendala teknis dan kendala sosial
dalam pengembangan pemanfaaatan ubi jalar meliputi bulkiness/perishability,
tingginya biaya produksi per unit, kandungan bahan kering, hama, penyakit, status
ubi jalar yang rendah, produsen berpenghasilan rendah, keterbatasan rantai
pasokan.
2.5
Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti lain yang
menjadi dasar dan referensi dalam tesis ini. Penelitian tersebut diantaranya adalah
mengenai simulasi dan optimasi rantai pasokan, kajian rantai pasokan tepung ubi
jalar, serta berbagai penelitian mengenai proses produksi tepung ubi jalar itu
sendiri.
Irfansyah (2001) meneliti karakteristik sifat fisiko-kimia dan fungsional
tepung ubi jalar, serta merumuskan formula dalam memanfaatkan tepung ubi jalar
sebagai bahan baku kerupuk. Pada penelitiannya, Irfansyah mengkaji perbedaan
karakteristik tepung yang dihasilkan dari dua jenis varietas yaitu ubi jalar putih
dan ubi jalar jingga, serta perbedaan bahan baku setengah jadi, yaitu ubi jalar
bentuk sawut dan bentuk pelet.
Kussuma (2008) melakukan kajian tekno-ekonomi pendirian industri tepung
ubi jalar melalui Participatory Action Research (PAR) di Desa Cikarawang
Bogor. Penelitian tersebut mencakup pelaksanaan Participatory Action Research
(PAR), analisis pasar dan pemasaran tepung ubi jalar, analisis teknis teknologis,
analisis manajemen organisasi, hingga analisis finansial.
Blackburn dan Scudder (2009) mengkaji strategi dan model rantai pasokan
untuk produk yang mudah rusak dengan contoh kasus produk segar hasil
pertanian yaitu buah melon segar dan jagung manis segar. Hasil penelitian
menunjukan model yang cocok untuk meminimumkan kehilangan nilai pada
rantai pasokan adalah dengan menerapkan model gabungan (hybrid model) antara
23
model responsif pada saat pasca panen ke saat cooling, dengan model efisien pada
rantai selanjutnya.
Ahumada dan Villalobos (2009) dalam penelitiannya meninjau berbagai
literatur yang membahas tentang rantai pasokan makanan hasil pertanian yang
telah berhasil diimplementasikan. Berdasarkan hasil analisisnya, peneliti
mengdiagnosa beberapa persyaratan dalam memodelkan rantai pasokan produk
makanan hasil pertanian.
Stefanofic et al. (2009) melakukan kajian terhadap metodologi jaringan
pasokan (supply network) dan simulasi. Hasil penelitian ini mengusulkan sebuah
pendekatan umum dalam pemodelan jaringan pasokan dengan beberapa kondisi:
jaringan mengandung sejumlah pemasok (suppliers), manufacturers, wholesalers,
dan retailers yang merepresentasikan sebuah titik dalam jaringan. Proses tertentu
terjadi pada masing-masing titik tersebut dan proses yang ada saling berhubungan
satu sama lain.
24
III METODOLOGI
3.1. Kerangka Penelitian
Sebuah manajemen rantai pasok yang baik memerlukan berbagai keputusan
yang berhubungan dengan aliran informasi, produk dan dana. Rancang bangun
rantai pasokan untuk sebuah produk menjadi sangat penting untuk dikaji dan
dibuat agar dapat meningkatkan surplus rantai pasokan. Keputusan mengenai
rancang bangun rantai pasokan mencakup bagaimana menstrukturisasi rantai
pasokan selama beberapa tahun ke depan, bagaimana konfigurasi rantai
pasokannya, bagaimana memperoleh bahan baku dan pengalokasiannya, serta
proses apa saja yang ada pada setiap tahapannya.
Tepung ubi jalar sebagai salah satu alternatif solusi terhadap permasalahan
ketahanan pangan nasional dinilai memiliki potensi yang baik untuk
dikembangkan di Indonesia. Berbagai penelitian telah dilakukan berkenaan
dengan hal ini. Formula dan resep produk pangan berbahan baku tepung ubi jalar
telah banyak dikembangkan pada penelitian-penelitian terdahulu. Kandungan gizi
tepung ubi jalar dibandingkan dengan tepung terigu membuat tepung ubi jalar
dapat dijadikan sebagai pengganti tepung terigu untuk beberapa produk pangan
tertentu, di antaranya untuk produk mie, bihun, kue, cookies dan lain-lain.
Pemanfaatan dan usaha pengembangan tepung ubi jalar dalam pengolahan pangan
diharapkan dapat mendorong berkembangnya agroindustri tepung berbasis
komoditas lokal untuk menunjang ketahanan pangan nasional.
Pada penelitian ini, analisa dan perbaikan terhadap model rantai pasokan
tepung ubi jalar dibuat dan sekaligus dilakukan optimasi terhadap model rantai
pasokan yang telah ada saat ini. Keputusan mengenai jaringan rantai pasokan
agroindustri tepung ubi jalar meliputi penugasan peran fasilitas yang ada,
penentuan lokasi proses, penyimpanan atau fasilitas lain terkait transport, dan
alokasi kapasitas serta pasar pada masing-masing-masing fasilitas.
26
Keputusan
mengenai
jaringan
rantai
pasokan
tepung
ubi
jalar
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Peran fasilitas: Peran apa sajakah yang dimainkan oleh masing-maisng
fasilitas serta proses apa saja yang dilakukan pada masing-masing fasilitas
tersebut.
2. Lokasi fasilitas: Di manakah fasilitas sebaiknya ditempatkan.
3. Alokasi kapasitas: Berapa banyak kapasitas yang mesti dialokasikan pada
masing-masing fasilitas.
4. Pasar dan alokasi pasokan/supply. Pasar mana sajakah yang mesti dipenuhi
oleh masing-masing fasilitas serta sumber pasokan mana saja yang mesti
memenuhi kebutuhan masing-masing fasilitas.
Penentuan desain jaringan memiliki pengaruh yang nyata terhadap performa
rantai pasokan tepung ubi jalar karena hal ini akan turut menentukan konfigurasi
rantai pasokan dan menetapkan batasan sehingga driver-driver lain dari rantai
pasokan tersebut dapat berfungsi untuk menurunkan biaya rantai pasokan ataupun
meningkatkan responsifitas. Keputusan mengenai lokasi fasilitas yang tepat dapat
membantu rantai pasokan menjadi responsif sambil menjaga biaya agar tetap
rendah.
Kerangka penelitian secara garis besar disajikan pada Gambar 7. Ruang
lingkup model rantai pasokan dibatasi pada petani pemasok ubi jalar hingga ke
industri pangan pengolah tepung ubi jalar. Diagram alir penelitian disajikan pada
Gambar 8 yang menjelaskan tentang tahapan yang dilakukan selama penelitian
berlangsung.
Untuk mengembangkan suatu produk, penyusunan deskripsi atau potret
kondisi riil produk perlu dilakukan. Pada penelitian ini kondisi riil usaha tepung
ubi jalar dikaji berdasarkan pengamatan pada beberapa sentra produksi ubi jalar.
Secara lebih mendalam, kajian mengenai kondisi rantai pasokan tepung ubi jalar
saat ini turut dilakukan untuk menjadi gambaran dalam perancangan model rantai
pasokan agroindustri ubi jalar. Sebelumnya, dilakukan kajian mendalam terhadap
karakteristik fisik dan mekanis dari ubi jalar yang akan menentukan tata cara
penyimpanan dan pendistribusian bahan baku, bahan setengah jadi dan produk
jadi yang baik untuk meminimalisir kerusakan yang dapat terjadi baik selama
27
penyimpanan maupun perjalanan. Kajian mengenai pasokan ubi jalar menjadi
sangat penting dilakukan demi kelangsungan agroindustri tepung ubi jalar.
Sebagai sebuah industri, industri tepung ubi jalar dituntut untuk dapat memasok
produknya secara kontinyu kepada para pelanggannya. Dalam hal ini pasokan
bahan baku ubi jalar menjadi penting untuk dipenuhi.
Tujuan
&
Manfaat
Ruang
Lingkup
Kegiatan
Perancangan desain rantai pasokan tepung ubi jalar yang tepat guna
mengembangkan agroindustri tepung ubi jalar dan membantu
para pelaku yang terlibat
Petani
Ubi jalar
Pedagang
antara
Agroindusti
tepung ubi jalar
Identifikasi
karakteristik
ubi jalar,
dan tepung
ubi jalar
Identifikasi rantai
pasokan dan kondisi
aktual agroindustri
tepung ubi jalar
Karakteristik
ubi jalar dan
tepung ubi
jalar
Kondisi aktual
rantai
pasok
tepung
ubi
jalar
Luaran
pemasok tepung
ubi jalar
Industri pengolah
tepung ubi jalar
Perancangan desain
rantai pasok tepung ubi jalar
Penyusunan peta
ketidakpastian
supply&demand
tepung ubi jalar
Penyusunan
kapabilitas rantai
pasokan tepung
ubi jalar
(efisien/responsif
)
Strategi rantai pasok tepung ubi jalar
Pebaikan rantai pasokan
tepung ubi jalar & Optimasi
biaya total rantai pasokan
Rantai Pasok Tepung Ubi jalar
yang efektif
Gambar 7 Kerangka pemikiran penelitian
Tahapan selanjutnya dalam proses perbaikan rantai pasokan tepung ubi jalar
adalah pendefinisian strategi kompetitif berdasarkan identifikasi lanskap
ketidakpastian (ketidakpastian demand dan supply). Pada tahap ini dikaji sifat
permintaan dari tepung ubi jalar untuk kemudian dicocokan dengan strategi rantai
pasokannya.
28
Secara garis besar diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 8 berikut:
Kajian karakteristik ubi jalar & identifikasi kondisi
akutual agroindustri tepung ubi jalar saat ini
Formulasi strategi rantai
pasokan tepung ubi jalar
yang ideal
Identifikasi sifat dasar
permintaan tepung ubi
jalar
Identifikasi
karakteristik rantai
pasokan yang ada
Perbaikan rantai pasokan tepung ubi jalar
Pemodelan lokasi fasilitas
(dengan metode CPI, dan
metode lokasi gravitasi)
Model simulasi biaya
total rantai pasokan
Rantai Pasokan Tepung Ubi Jalar
Gambar 8 Diagram alir penelitian
3.2. Prosedur Penelitian
Berdasarkan diagram alir penelitian (Gambar 8), terdapat beberapa kegiatan
yang dilakukan pada penelitian ini. Uraian dan prosedur mengenai kegiatan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Identifikasi karakteristik tepung ubi jalar
Analisa karakteristik fisik dan kimia secara tepung ubi jalar dilakukan secara
deskriptif. Kegiatan ini meliputi analisa terhadap karakteristik ubi jalar
sebagai bahan baku, ulasan proses pengolahaannya ke dalam bentuk tepung,
serta identifikasi potensi pengembangan tepung ubi jalar. Informasi yang
diperoleh berasal dari studi literatur/pustaka mutakhir yang pada kegiatan ini
menjadi masukan pada penentuan metode penyimpanan dan distribusi.
2. Identifikasi kondisi aktual agroindustri tepung ubi jalar.
Kegiatan dilakukan secara deskriptif meliputi analisa terhadap rantai pasok
tepung ubi jalar yang telah ada. Teknik pengambilan informasi dilakukan
29
melalui survey secara langsung pada lokasi agroindustri tepung ubi jalar yaitu
di Desa Cikarawang kabupaten Bogor, serta dengan pengambilan data
sekunder untuk agroindustri tepung ubi jalar di Kabupaten Kuningan. Hasil
dari kegiatan ini menjadi masukan pada saat perbaikan konfigurasi rantai
pasokan tepung ubi jalar agar didapat rantai pasok yang lebih efektif.
3. Penyusunan strategi rantai pasokan agorindustri tepung ubi jalar.
Penyusunan strategi rantai pasokan mengikuti panduan yang diusulkan oleh
Chopra dan Meindl (2007). Kegiatan ini diawali dengan kajian mengenai sifat
dari permintaan tepung ubi jalar, ketidakpastian permintaan dan pasokan
tepung ubi jalar, serta perumusan strategi kompetitif agroindustri.
a. Identifikasi sifat dasar permintaan tepung ubi jalar (Nature of Demand)
dan pemahaman kapabilitas rantai pasokan.
Terdapat dua jenis produk berdasarkan pola permintaannya, yaitu jenis
produk fungsional dan produk inovatif. Masing-masing kategori produk
tersebut kemudian memerlukan jenis rantai pasokan yang berbeda.
Permasalahan penting dalam hal memperoleh rancang bangun rantai
pasokan yang efektif adalah melakukan pencocokan terhadap jenis produk
dengan jenis rantai pasokannya.
Pengidentifikasian klasifikasi produk
tepung ubi jalar dilakukan berdasarkan Tabel 3 berikut (Fisher 1997):
Tabel 3
Produk fungsional versus produk inovatif: perbedaan permintaan
Aspek Permintaan
Siklus hidup produk
Produk Fungsional
(predictable demand)
Lebih dari 2 tahun
Produk Inovatif
(unpredictable demand)
3 bulan sampai 1 tahun
Kontribusi margin
5% sampai 20%
20% sampai 60%
Variasi produk
Rendah (10 sampai 20
variasi produk per
kategori)
Tinggi
Rata-rata eror
peramalan
10%
40% sampai 100%
Tingkat kekurangan
produk
1 sampai 2%
10% sampai 40%
Lead time yang
dibutuhkan untuk
produk made-to-order
6 bulan sampai 1 tahun
1 hari sampai 2 minggu
Sumber: Fisher (1997)
30
b. Analisa kapabilitas rantai pasokan
Berdasarkan karakteristiknya, rantai pasokan secara fungsional dapat
digolongkan menjadi rantai pasok dengan fungsi fisik dan fungsi mediasi
pasar. Pemahaman mengenai kapabilitas rantai pasokan tepung ubi jalar
dilakukan melalui analisa deskriptif.
c. Pemetaan ketidakpastian permintaan dan
pencocokan rantai pasokan
dengan produk (achieving strategy fit).
Setelah memetakan ketidakpastian demand dan memahami posisi rantai
pasokan pada spektrum responsivitasnya, langkah selanjutnya adalah
memastikan apakah derajat responsivitas rantai pasokan sudah konsisten
dengan ketidakpastian demand-nya. Untuk memformulasikan strategi
rantai pasokan dapat digunakan matriks berikut (Fisher 1997) (Gambar
9):
Produk fungsional
Rantai Pasok
Produk inovatif
Cocok
Tidak Cocok
Tidak Cocok
Cocok
Efisien
Rantai Pasok
Responsif
Gambar 9 Matriks kecocokan (Fisher 1997)
Berdasarkan pemetaan rantai pasokan tepung ubi jalar terhadap matriks
kecocokan yang akan dilakukan, dapat diketahuhi apakah strategi rantai
pasokan tepung ubi jalar yang diterapkan telah sesuai dengan strategi
kompetitifnya. Bila belum, perlu dilakukan upaya, berupa perumusan strategi
lebih lanjut untuk menggeser posisi kecocokan dalam matriks, apakah itu
keluar dari sel kanan atas matriks atau keluar dari sel kiri bawah matriks.
Beberapa kemungkinan strategi rantai pasokan yang dapat diterapkan
diantaranya
adalah
meningkatkan
responsivitas/kecepatan
kebutuhan konsumen atau minimisasi biaya rantai pasokan.
pemenuhan
31
4. Perbaikan rantai pasokan mencakup bagaimana menstrukturisasi rantai
pasokan selama beberapa tahun ke depan, bagaimana konfigurasi rantai
pasokannya, bagaimana memperoleh bahan baku dan pengalokasiannya, serta
proses apa saja yang ada pada setiap tahapannya.
Ketiga tahap yang dilakukan sebelumnya sangat mempengaruhi rancang
bangun rantai pasokan tapung ubi jalar ini. Rancang bangun rantai pasokan
yang dibuat harus mendukung strategi rantai pasokan dan strategi kompetitif
agar dapat memaksimalkan surplus rantai pasokannya. Pada tahap ini
dilakukan perancangan rantai pasokan tepung ubi jalar. Rancang bangun
rantai pasokan yang akan dibuat harus mendukung strategi rantai pasokan dan
strategi kompetitif agar dapat memaksimalkan surplus rantai pasokannya.
a. Pemodelan lokasi fasilitas
Lokasi fasilitas dalam hal ini adalah agroindustri tepung ubi jalar
ditentukan melalui dua metode. Metode pertama adalah untuk memilih
beberapa alternatif lokasi (kota) dari sekian banyak alternatif yang akan
dipertimbangkan sebagai lokasi agroindustri tepung ubi jalar yang ideal
dengan menggunakan metode teknik perbandingan indeks kinerja
(CPI/Comparative Performance Index). Hasil dari metode CPI berupa lima
kota alternatif pendirian agroindustri akan menjadi masukan pada metode
kedua, yaitu metode model gravitasi untuk menentukan satu lokasi
agroindustri yang paling efisien.
-
Teknik Perbandingan Indeks Kinerja (Comparative Performance
Index, CPI)
Teknik Perbandingan Indeks Kinerja(Comparative Performance Index,
CPI) merupakan indeks gabungan (Composite Index) yang dapat
digunakan untuk menentukan penilaian atau peringkat dari berbagai
alternatif (i) berdasarkan beberapa kriteria (j). Formula yang digunakan
dalam teknik CPI adalah sebagai berikut:
Aij = Xij (min) x 100 / Xij (min)
A(i+1 * j)
= (X(I+1 * j))/Xij(min) x 100
Iij = Aij x Pj
Ii
= ∑ (Iij)
32
Keterangan:
Aij = nilai alternatif ke-i pada kriteria ke-j
Xij (min) = nilai alternatif ke-i pada kriteria awal minimum ke-j
A(i+1 * j)
= nilai alternatif ke-i + 1 pada kriteria ke-j
(X(I+1 * j)) = nilai alternatif ke-i + 1 pada kriteria awal ke-j
Pj = bobot kepentingan kriteria ke-j
Iij = indeks alternatif ke-I
i
= 1, 2, 3,...., n
j
= 1, 2, 3,...., m
(Marimin 2005)
-
Model Gravitasi (Gravity Location Models)
Model gravitasi merupakan salah satu metode optimasi non linier. Model
ini digunakan untuk menentukan lokasi yang dapat meminimumkan biaya
transportasi bahan baku dari supplier dan transportasi produk akhir ke
pasar/konsumen yang dituju. Pada tahap awal, ditentukan letak geografis
dari lokasi-lokasi fasilitas potensial. Model ini dapat digunakan untuk
mengidentifikasi
lokasi
geografis
yang
cocok
untuk
mendirikan
fasilitas/industri dalam suatu daerah.
Pada model gravitasi, baik pasar maupun sumber pasokan diasumsikan
dapat ditempatkan sebagai titik-titik pada jaringan suatu bidang peta.
Model ini juga mengasumsikan biaya transportasi meningkat secara linier
sesuai dengan jumlah produk yang ditransportasikan.
Input dasar untuk model gravitasi adalah:
xn, yn : koordinat lokasi pasar atau sumber pasokan n
Fn : biaya angkut per unit per satu satuan jarak antara industri dengan
sumber pasokan n atau pasar/konsumen.
Dn : banyaknya unit yang diangkut antara industri dengan sumber pasokan
n atau pasar/konsumen.
Jika (x,y) adalah lokasi yang terpilih untuk pendirian industri, maka jarak
dn antara industri pada berbagai lokasi (xn,yn) dengan sumber pasokan n
atau pasar/konsumen adalah sebagai berikut:
33
dn = [(xn - x)2 + (yn - y)2]
maka biaya transportasi total (TC) adalah:
TC = ∑ dn Dn Fn
Lokasi optimal untuk pendirian industri adalah koordinat (x,y) yang
meminimukan TC.
Penyelesaian terhadap fungsi tujuan biaya transportasi total (TC) diperoleh
dengan menggunakan nonlinier programming, yaitu dengan menggunakan
bantuan Solver pada Excel.
b. Pembangunan model simulasi dilakukan berdasarkan strategi rantai
pasokan yang telah disusun pada tahapan sebelumnya. Model simulasi
rantai pasokan agroindustri tepung ubi jalar dirancang dengan
menggunakan pemrograman Stella®.
Bahasa Pemrograman Stella®
Perangkat lunak Stella® dapat digunakan untuk merancang model dan
simulasi dari berbagai macam disiplin. Beberapa alat penyusun model
yang sering digunakan dalam Stella® adalah sebagai berikut:
“Stock” merupakan hasil suatu akumulasi. Fungsinya
untuk menyimpan informasi berupa nilai suatu
parameter yang masuk ke dalamnya.
Flow/Pompa
di
sebelah
kiri
stock/reservoar merepresentasikan tingkat
perubahan jumlah dalam reservoar.
Fungsi dari sebuah flow seperti aliran,
yakni menambah atau mengurangi stock.
Arah anak panah menunjukkan arah
aliran tersebut. Aliran bisa satu arah
maupun dua arah
Connectors, berfungsi menghubungkan
elemen-elemen dalam satu model
Converter, mempunyai fungsi yang luas,
dapat digunakan untuk menyimpan
knstanta, input bagi suatu persamaan,
melakukan kalkulasi dari berbagai input
lainnya atau menyimpan data dalam
bentul grafis (tabulasi x dan y). Secara
umum fungsinya adalah untuk mengubah
suatu input menjadi output.
34
Persyaratan sistem Stella® untuk Sistem Operasi Windows adalah
sebagai
berikut:
233
MHz
Pentium,
Microsoft
Windows™
2000/XP/Vista/7, 128 MB RAM, 90 MB disk space, QuickTime 7.6.5
atau versi sebelumnya.
3.3. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut:
1.
Pengumpulan data primer, yaitu dengan mengadakan wawancara dengan
sumber terkait (produsen, petani, agen, industri pengolah) serta mengadakan
pengamatan langsung di lapangan. Wawancara dilakukan untuk memperoleh
informasi jumlah produksi dan penjualan, sistem transportasi, distribusi dan
pasokan serta hubungan kemitraan antara pemasok dan distributor.
2.
Pengumpulan data sekunder, yaitu dengan penelusuran buku-buku, hasil-hasil
penelitian, jurnal, dan sumber-sumber lain yang berhubungan.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisa mengenai karakteristik tepung ubi jalar dilakukan sebagai masukan
pada proses perancangan rantai pasokan agroindustri tepung ubi jalar.
Karakteristik bahan baku (umbi ubi jalar), bahan setengah jadi (sawut ubi jalar)
dan produk jadi (tepung ubi jalar) akan sangat berpengaruh pada proses
penyimpanan, pendistribusian, dan juga terhadap struktur rantai pasokan. Umbi
ubi jalar sebagai bahan baku agroindustri tepung ubi jalar memiliki beberapa
karakteristik khas komoditas pertanian diantaranya perishable (mudah rusak) dan
bulky (kamba) yang akan menjadi pertimbangan penting pada saat menyusun
strategi rantai pasokannya (SCM). Pembahasan mengenai karakteristik tepung ubi
jalar dilakukan terlebih dahulu, dilanjutkan dengan pembahasan mengenai kondisi
aktual agroindustri tepung ubi jalar di Indonesia. Pemaparan kondisi aktual
agroindustri ini merupakan masukan pada saat membuat rancangan rantai pasokan
tepung ubi jalar.
4.1 Karakteristik Tepung Ubi Jalar
4.1.1 Karakteristik Ubi Jalar
Masyarakat umumnya mengkonsumsi ubi jalar secara langsung setelah
pengolahan secara sederhana, seperti dikukus, digoreng, direbus, atau dibuat
kolak. Ubi jalar merupakan produk hasil pertanian yang memiliki sifat mudah
rusak dan banyak membutuhkan tempat untuk penyimpanan, sehingga setelah
pemanenan, para petani biasanya langsung menjual ubi jalar langsung ke
tengkulak atau pasar-pasar tradisional.
Pada program diversifikasi ubi jalar, pengolahan ubi jalar dapat
dikembangkan melalui peningkatan keragaman menu olah ubi segar (seperti ubi
rebus, obi, timus), pembuatan produk olah setengah jadi siap santap (produk
ekstrusi, manisan, saos), produk olah setengah jadi siap masak (bihun, mie, snack
food, makanan bayi), dan produk bahan baku awet (tepung, pati dan „chip‟).
Usaha pengembangan produk-produk tersebut perlu memperhatikan sifat-sifat
36
fisik fisiko-kimia dan gizi bahan baku ubi jalar untuk dapat menghasilkan produk
dan mutu produk olah sesuai dengan yang dikehendaki.
Ubi jalar memiliki sifat fisik, seperti warna kulit dan daging, serta tekstur
yang bervariasi menurut varietasnya. Berbagai jenis ubi jalar diantaranya jenis
lokal, varietas unggul dan klon harapan (calon varietas unggul) menghasilkan
keragaman pada bentuk ubi, ukuran ubi, warna ubi dan kulit, daya simpan,
komposisi kimia, sifat pengolahan dan umur panen.
Tepung ubi jalar dapat
dihasilkan dari berbagai jenis ubi jalar, namun menghasilkan mutu yang beragam
pula. Pemilihan terhadap varietas ubi jalar yang akan digunakan sebagai bahan
baku tepung ubi jalar dipengaruhi oleh pertimbangan karakteristik tepung yang
ingin dihasilkan. Ubi jalar dengan daging ubi berwarna ungu akan menghasilkan
tepung berwarna ungu. Hal ini akan mempengaruhi warna dari produk olahan
pangan berbahan baku tepung ubi jalar ungu. Sebagai contoh, bakpau ungu yang
dihasilkan dari tepung ubi jalar ungu.
Warna daging ubi jalar terdiri dari berbagai macam, di antaranya warna
putih, kuning, jingga dan ungu. Warna daging dan kulit ubi jalar yang beragam
tersebut
ternyata berhubungan dengan kandungan gizi dalam ubi. Perbedaan
warna ubi disebabkan oleh kandungan pigmen di dalamnya. Salah satu pigmen
yang terdapat di dalam ubi jalar adalah karatenoida. Ubi jalar oranye atau merah
mengandung vitamin A hingga 7700 SI per 100 g bahan segarnya. Konsumen
memiliki preferensi yang berbeda terhadap warna ubi. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Damardjati (1990), produsen makanan kremes lebih memilih
bahan baku ubi jalar segar berwarna daging kekuning-kuningan, sedangkan untuk
saos dan selai dipilih warna daging ubi kemerah-merahan. Dalam produksi tepung
ubi jalar, cenderung dipilih ubi yang memiliki warna daging maupun warna kulit
yang putih agar dihasilkan warna tepung yang putih juga. Pemilihan warna daging
ubi ini akan berpengaruh pada hasil akhir tepung.
Bentuk dan ukuran ubi merupakan salah satu kriteria mutu yang langsung
mempengaruhi harga (Damardjati & Widowati 1994). Ubi yang memiliki bentuk
mendekati bulat-lonjong dan tak banyak lekukan mempermudah proses
pengupasan sehingga umumnya rendemen ubi kupasnya tinggi. Ukuran ubi yang
sedang dan seragam, dengan berat 200 – 250 g membutuhkan waktu pengupasan
37
yang relatif lebih cepat dibanding pengupasan ubi dengan bentuk yang tidak
seragam besarnya. Bentuk ubi yang seragam tersebut merupakan bentuk yang
ideal bagi pengusaha maupun tenaga kerja karena tahapan pengupasan ubi
umumnya pekerja dibayar dengan sistem borongan.
Seperti pada sifat fisik ubi jalar, sifat kimia ubi jalar bervariasi tergantung
dari jenis/varietasnya. Ubi jalar segar mengandung 71 % air, 25 % karbohidrat,
1 - 2 % protein (Bradburry & Halloway 1988). Ubi jalar mengandung karbohidrat
dalam jumlah tinggi seperti pada Tabel 2 dan jika dibandingkan dengan
komoditas pertanian sumber karbohidrat lainnya ubi jalar memiliki potensi
sebagai komoditas pertanian sumber karbohidrat yang baik jalar (Tabel 4).
Dari segi kandungan gizinya, ubi jalar dapat memenuhi kebutuhan kalori
seseorang per harinya. Selain sebagai sumber karbohidrat, ubi jalar ternyata
mengandung vitamin A, C, dan B1 yang tinggi dibandingkan dengan beras,
jagung, maupun terigu sebagai sumber pangan. Kandungan protein dalam ubi jalar
lebih sedikit dibandingkan dengan beras giling, jagung dan terigu (Tabel 4).
Jumlah kandungan protein ini akan berpengaruh pada karakteristik tepung yang
akan dihasilkan nantinya. Ubi jalar juga mengandung lemak lebih sedikit namun
dapat menjadi makanan sumber vitamin yang baik.
Tabel 4
Kandungan gizi dalam100 g beras, jagung, terigu dan ubi jalar
Zat Makanan
Kalori (kal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Zat Kapur (mg)
Fosfor (mg)
Zat besi (mg)
VitA (SI)
Vit C (mg)
Vit B 1
Kalsium
Beras
Giling
360,00
6,80
0,70
78,90
6,00
140,00
0,80
0,26
0,12
---
Jagung
Terigu
355,00
9,2
3,90
73,70
10,00
256,00
2,40
-----
365,00
8,90
1,30
77,30
16,00
106,00
1,20
0,12
0,12
---
Ubi
Putih
123,00
1,80
0,70
27,90
-49,00
0,70
60,00
22,00
0,90
20,00
Ubi
Oranye
123,00
1,80
0,70
27,90
-49,00
0,70
7.700,00
22,00
0,90
30,00
Ubi
kuning
136,00
1,10
0,40
32,30
-52,00
0,70
900,00
35,00
0,10
57,00
Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1981)
Karakteristik ubi jalar yang berhubungan dengan kandungan karbohidrat
adalah
kecenderungan
timbulnya
flatulensi
(perut
kembung)
setelah
mengkonsumsi ubi jalar. Flatulensi disebabkan oleh gas flatus, umumnya H2 dan
CO2 (Palmer 1982), yang merupakan hasil samping fermentasi karbohidrat yang
38
tidak dicerna dalam tubuh, yang dilakukan oleh mikroflora usus. Karbohidrat
yang tidak tercerna tersebut antara lain pati tidak tercerna (resistant starch),
oligosakarida tak tercerna (non digestibility oligosaccharides), dan polisakarida
non pati (non starch polysaccharides) seperti komponen-komponen serat
makanan (Damardjati 2003). Ubi jalar juga mengandung zat anti gizi dan penurun
cita rasa yang memberikan pengaruh negatif terhadap preferensi ubi jalar. Anti
gizi utama dalam ubi jalar adalah trypsin inhibitor yang bersifat menghambat
kerja tripsin yang berperan sebagai pemecah protein. Akibat adanya anti tripsin
ini, menyebabkan pencernaan protein dalam usus terhambat, sehingga
menurunkan tingkat penyerapan protein dalam tubuh yang ditunjukkan dengan
timbulnya gejala mencret (Bradburry & Halloway 1988). Aktivitas anti tripsin
dapat berkurang dengan perebusan, pengukusan dan pemasakan (Bradburry &
Halloway 1998, Damardjati & Widowati 1994). Pada ubi jalar terdapat beberapa
senyawa yang tidak berbahaya bagi kesehatan tapi menimbulkan rasa pahit,
seperti ipomoeamarone, furanoterpen, kouramin dan polifenol yang dibentuk
dalam jaringan pada saat ubi jalar luka akibat serangan serangga (Damardjati &
Widowati 1994).
Penggunaan ubi jalar bermutu baik akan berpengaruh nyata terhadap mutu
tepung ubi. Ubi jalar sesuai diproses menjadi tepung apabila mempunyai kadar
bahan kering dan pati tinggi, serta kadar air rendah. Kadar bahan kering tinggi
menghasilkan rendemen tepung yang tinggi pula. Besarnya kadar bahan kering
tergantung pada jenis/klon, lingkungan dan umur tanaman (Bradburry dan
Halloway 1988). Antarlina (2003) melakukan pengkarakterisasian terhadap tiga
belas jenis/klon/varietas ubi jalar (Tabel 5). Kadar air dalam ubi jalar berbanding
terbalik dengan kadar bahan kering ubi dan kadar pati ubi. Semakin tinggi kadar
air ubi jalar, semakin rendah pula kadar bahan kering dan kadar pati ubi. Pada ubi
jalar varietas kawi dengan daging ubi berwarna ungu memiliki kadar bahan kering
paling tinggi (35.07 %) serta kadar pati yang tinggi (58.6 7% bk) dan memiliki
kadar air rendah (64.93 % bb).
39
Tabel 5
Klon/
Varietas
Warna ubi dan komposisi kimia beberapa klon ubi jalar
Warna
Ubi
Air
Bahan
Pati
Gula
Rdks
Abu
Gula Reduksi
(%bk)
bk)
(% bb) Kering (%) (% bk)
(%
(% bk)
Taiwan/396-6
Kuning
Taiwan/395-23
Putih
Taiwan/396-24
Kuning
Tis 5125-42
Putih
Tis 5125-82
Kuning
Ciceh 27
Putih
Ciceh 29
Krem
Ciceh 35
Krem
Ciceh 39
Krem
Lapis 30
Krem
Lapis 34
Krem
Genjah Rante
Kuning
Kawi
Ungu
Sumber: Antarlina (2003)
71.89
71.96
73.65
71.96
65.19
66.43
72.27
69.92
77.72
63.36
67.51
67.09
64.93
28.11
28.04
26.35
28.04
34.81
33.57
27.73
30.08
22.28
36.64
32.49
32.91
35.07
55.84
57.27
52.57
53.2
55.53
52.19
55.76
53.52
48.14
57.49
60.34
56.29
58.67
5.56
7.08
7.15
5.32
4.17
4.47
5.76
6.31
7.89
2.75
4.49
5.57
3.33
3.81
3.28
4.04
3.51
3.39
3.19
3.4
3.34
4.23
2.56
2.95
2.93
--
Serat
(% bk)
3.42
3.23
3.711
3.83
3.53
3.38
3.67
3.94
4.65
3.18
3.03
3.18
2.6
Kadar air dalam ubi jalar berbanding terbalik dengan kadar bahan kering
ubi dan kadar pati ubi. Semakin tinggi kadar air ubi jalar, semakin rendah pula
kadar bahan kering dan kadar pati ubi. Pada ubi jalar varietas kawi dengan daging
ubi berwarna ungu memiliki kadar bahan kering paling tinggi (35.07 %) serta
kadar pati yang tinggi (58.67% bk) dan memiliki kadar air rendah (64.93% bb).
Kadar karbohidrat dan pati yang tinggi menyebabkan ubi jalar dapat diolah
menjadi tepung-tepungan.
4.1.2 Pengolahan Ubi Jalar Menjadi Tepung Ubi Jalar, Panen dan
Pascapanen Ubi Jalar
Penentuan waktu panen ubi jalar didasarkan atas umur tanaman. Jenis atau
varietas ubi jalar berumur pendek (genjah) dipanen pada umur 3 - 3.5 bulan,
sedangkan varietas berumur panjang dipanen sewaktu berumur 4.5 – 5 bulan.
Penanganan ubi jalar yang ideal dimulai pada umur tiga bulan, dengan penundaan
paling lambat sampai umur empat bulan. Panen pada umur lebih dari empat bulan,
selain beresiko tinggi terkena serangan hama boleng juga tidak akan memberikan
kenaikan hasil ubi (Rukmana 1997). Pemanenan yang dilakukan terlalu awal
menyebabkan ubi cepat keriput dan rendemen yang rendah. Sebaliknya, bila
terlambat panen, ubi menjadi berserat, mudah rusak dan kurang menarik. Cara
panen yang dilakukan kurang hati-hati menyebabkan ubi banyak yang rusak
40
sehingga cepat busuk. Tercampurnya ubi yang rusak ke dalam ubi sehat
menyebabkan investasi hama dan penyakit.
Proses pra-panen, panen, pasca panen, penyimpanan dan distribusi dapat
menjadi hambatan dalam pemasaran ubi jalar bila tidak dilakukan dengan baik,
karena dapat menyebabkan penurunan mutu ubi jalar. Cara-cara penanganan ubi
pada saat pemanenan serta cara pengangkutan perlu mendapat perhatian yang baik
agar mengurangi kerusakan yang terjadi. Umbi ubi jalar memiliki kulit yang lunak
dan kadar air yang tinggi sehingga mudah rusak oleh pengaruh mekanis.
Kerusakan mekanis ini akan memberi peluang bagi berlangsungnya kerusakan
mikrobiologis yang akan mengakibatkan rusaknya umbi secara keseluruhan
(Muryanto et al. 1978).
Penanganan
pasca
panen
ubi
jalar
biasanya
ditujukan
untuk
mempertahankan daya simpan, dan menjaga agar ubi yang disimpan tidak turun
mutunya/rusak. Penyimpanan ubi yang paling baik dilakukan dalam pasir atau
abu. Cara penyimpanan dengan ditutup pasir atau abu dapat mempertahankan
daya simpan ubi sampai lima bulan. Ubi jalar yang mengalami proses
penyimpanan yang baik akan menghasilkan rasa ubi yang manis dan enak bila
dibandingkan dengan ubi yang baru dipanen (Pramuji 2007). Ubi jalar bila
disimpan pada tempat yang cukup kering dan aerasi yang baik dapat disimpan
relatif cukup lama bila dibandingkan dengan ubi kayu (Damardjati & Widowati
1994).
Hal yang penting diperhatikan dalam penyimpanan ubi jalar adalah
melakukan pemilihan ubi yang baik, tidak ada yang rusak atau terluka dan tempat
penyimpanan bersuhu rendah antara 27 – 30oC dengan kelembaban udara antara
85-90 % (Pramuji 2007). Untuk meningkatkan masa simpan di beberapa daerah,
penyimpanan dengan menggunakan rak agar tidak langsung di atas tanah, atau di
dalam keranjang bambu, atau di atas lantai semen. Cara-cara tersebut memberikan
masa simpan yang lebih lama dibandingkan dengan disimpan di atas tanah tanpa
rak (Widowati et al. 1991).
Untuk meningkatkan masa simpan ubi jalar, diberikan perlakuan awal
kondisi optimum untuk proses curing. Ubi jalar hasil panen, dibersihkan, disusun
dalam tempat penyimpanan (keranjang) kemudian disimpan dalam suhu hangat
41
(30 oC) dan kelembaban yang tinggi (RH 90 - 95 %) selama 10 - 15 hari. Selama
curing terjadi penggabusan dan penebalan pada lapisan kulit ubi. Ubi jalar yang
mengalami proses curing dapat disimpan hingga enam bulan tanpa kerusakan
(Damardjati & Widowati 1994).
Tepung ubi merupakan tepung yang dibuat dari ubi yang dikeringkan,
sehingga tepung mengandung seluruh komponen yang ada dalam ubi itu sendiri.
Tepung ubi berbeda dengan pati; pati adalah hasil ekstraksi bahan dalam air dan
dikeringkan. Dengan demikian, tepung ubi jalar berbeda dengan pati ubi jalar.
Bentuk tepung mempunyai beberapa keunggulan, antara lain praktis, mudah
diformulasi menjadi berbagai produk makanan, hemat ruang penyimpanan dan
mudah didistribusikan serta mempunyai nilai gizi yang baik. Bentuk tepung juga
mempermudah dan memperlama penyimpanan sampai beberapa bulan atau
tahunan.
Pembuatan tepung umbi umumnya sangat sederhana, hanya menggunakan
proses
”pengupasan,
pencucian,
pengecilan
ukuran
(pengirisan
atau
pemarutan/sawut), pengeringan, dan penepungan”. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Ningrum (1999), jenis ubi jalar, jenis pengering, dan interaksi antara
kedua faktor tersebut berpengaruh nyata terhadap kadar beta karoten, rendemen,
kadar abu, kadar serat, kadar karbohidrat, kadar lemak, derajat putih pada tepung
ubi jalar yang dihasilkan. Hasil penelitian Ningrum menunjukkan bahwa tepung
ubi jalar yang dikeringkan dengan pengering drum merupakan tepung yang baik
untuk dikonsumsi dan berpotensi untuk dikembangkan.
Proses Pembuatan Tepung Ubi Jalar
Terdapat beberapa cara pengolahan ubi jalar menjadi tepung ubi jalar.
Secara umum, produksi tepung ubi jalar dapat dilakukan secara sederhana oleh
industri rumah tangga. Pada umumnya, proses pengolahan ubi jalar menjadi
tepung ubi jalar meliputi tahapan pencucian ubi jalar, pengupasan, pemotongan
ubi jalar/pengirisan hingga berbentuk chips (penyawutan), perendaman ubi jalar
dalam larutan natrium metabisulfit, pengeringan, dan penepungan. Proses
pengolahan tepung ubi jalar disajikan pada Gambar 10 berikut ini:
42
Ubi jalar
segar
Pencucian, pengupasan dan penyawutan
Perendaman dalam larutan sodium bisulfit
Pengepresan
Pengeringan (hingga kadar air 12 – 14%)
Sinar matahari
Alat pengering
Sawut kering
Penepungan
Diayak 80 mesh
Tepung ubi
jalar
Pengemasan
Gambar 10
Proses pembuatan tepung ubi jalar (BB Pasca Panen Bogor 2000)
Pencucian, pengupasan dan penyawutan ubi jalar
Pencucian ubi jalar dilakukan untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang
melekat pada ubi jalar. Perendaman dalam larutan natrium metabisulfit 0.3 %
berfungsi untuk mencegah kontak langsgung dengan udara dan untuk m
enghambat reaksi Maillard, karena pada metabisulfit akan berikatan dengan gugus
aldehid dari gula sehingga gugus aldehid tersebut tidak dapat bereaksi dengan
43
senyawa-senyawa yang memiliki gugus NH, yaitu protein, akibatnya, kadar
protein dapat dipertahankan.
Metabisulfit digunakan juga untuk mempertahankan warna dan citarasa.
Pemakaiannya dalam pengolahan bahan pangan bertujuan untuk mencegah proses
pencoklatan pada buah sebelum diolah, menghilangkan bau dan rasa getir
terutama pada ubi kayu serta untuk mempertahankan warna agar tetap menarik.
Natrium metabisulfit dapat dilarutkan bersama-sama bahan atau diasapkan.
Prinsip pengasapan tersebut adalah mengalirkan gas SO2 ke dalam bahan sebelum
pengeringan.
Pengasapan
dilakukan
selama
+
15
menit.
Maksimum
penggunaannya sebanyak 2 g/kg bahan. Natrium metabisulfit yang berlebihan
akan hilang sewaktu pengeringan (Warintek 2010).
Pemotongan ubi jalar menjadi sawut dapat dilakukan dengan menggunakan
slicer dengan ketebalan potongan kurang lebih 1.5 mm sehingga berbentuk chips
tipis agar mempermudah dan mempercepat pengeringan.
Blansir
Proses blansir dapat dilakukan pada proses produksi tepung dari ubi jalar.
Blansir merupakan proses pemanasan dengan menggunakan suhu tinggi dalam
waktu yang singkat. Pemanasan dapat dilakukan dengan menggunakan uap air
panas atau air mendidih (Muryanto et al. 1978). Tujuan dari proses blansir adalah
untuk menginaktifkan enzim-enzim yang terdapat pada sayuran dan buah-buahan,
yang dapat menyebabkan perubahan warna yang tidak dikehendaki pada hasil
olahan.
Perlakuaan blansir pada saat proses pengolahan ubi jalar menjadi tepung
dapat mempertahankan kandungan karoten pada saat pengeringan dibandingkan
dengan bahan yang tidak diblansir. Namun, untuk memperoleh kadar pati tepung
yang lebih tinggi, dianjurkan untuk tidak menggunakan proses blansir (Muryanto
et al. 1978). Proses blansir dapat mengakibatkan pati tergelatinkan. Pati yang
telah mengalami gelatinisasi selanjutnya lebih mudah diuraikan menjadi gula
sehingga kadar pati menurun.
44
Pengeringan
Dari keseluruhan tahapan pengolahan ubi untuk tepung, pengeringan
merupakan tahapan proses yang kritis yang menentukan mutu produk dan biaya
produksi. Pengeringan ubi yang berkadar air sekitar 80 % menjadi dibawah 10 %
memerlukan energi yang relatif banyak. Pengeringan yang saat ini umum
dilakukan adalah pengeringan dengan tenaga matahari, yang biayanya amat
rendah, namun sangat tergantung pada cuaca sehingga sulit untuk menjamin mutu
produk akhirnya khususnya di musim penghujan.
Pengeringan irisan ubi jalar memerlukan waktu 48 jam dibawah sinar
matahari atau 36 jam dengan alat pengering pada suhu 60 0C untuk mencapai
kadar air 7 % (Antarlina 1993). Ubi, baik ubi jalar maupun ubi kayu termasuk
jenis hasil pertanian yang mudah rusak. Ubi kayu akan busuk (poyo) 48 jam
sesudah dipanen. Sementara itu ubi jalar lebih tahan disimpan namun tetap
mengalami penurunan kadar karbohidrat selama penyimpanan sebagai hasil
respirasi, sehingga sebaiknya tidak disimpan lebih dari tujuh hari.
Pemilihan alat dan kondisi pengering yang akan digunakan dipengaruhi oleh
jenis bahan yang akan dikeringkan, mutu hasil akhir yang dikeringkan dan
pertimbangan ekonomis. Jenis bahan padatan berbentuk lempeng maka alat yang
sesuai untuk mengeringkan bahan tersebut adalah pengering kabinet atau tray
dryer , oven, dan rotary dryer. Sedangkan untuk bahan yang berbentuk pasta atau
puree alat yang sesuai untuk mengeringkan adalah pengering drum (Honestin
2007).
Beberapa metode pengeringan yang dapat dilakukan pada proses
pengolahan tepung ubi jalar adalah sebagai berikut:
1. Pengeringan dengan sinar matahari
Keuntungan dari pengeringan dengan penjemuran di bawah sinar matahari
yaitu adanya pemutih karena sinar ultraviolet matahari dan mengurangi
degradasi kimia yang dapat menurunkan mutu bahan. Sedangkan
kelemahanan dari metode ini adalah dapat terkontaminasinya bahan oleh
debu. Dalam proses pengeringan sering timbul berbagai masalah seperti
tidak adanya pengontro suhu dan kelembaban udara, terjadinya kontaminasi
mikroba, serta ketergantungan pada kondisi cuaca setempat.
45
2. Pengeringan oven
Pengering
oven
merupakan
alat
pengering
yang
paling
mudah
pemeliharaannya dan penggunaannya serta rendah biaya operasionalnya.
Bahan yang akan dikeringkan dimasukkan ke dalam oven dan diatur pada
suhu dan waktu tertentu, untuk selanjutnya digiling. Prinsip kerja pengering
oven secara umum adalah memanaskan bahan dengan menggunakan prinsip
pindah panas secara konveksi. Elemen pemanas akan memasukkan udara
kemudian partikel-partikel udara mengenai bahan secara bergantian.
3. Pengeringan Drum (drum dryer)
Drum dryer didefiniskikan sebagai alat untuk pengeringan dengan cara
kontak bahan dengan permukaan luar alat secara kontinyu. Pengering drum
merupakan tipe alat pengering yang pada dasarnya terdiri dari satu atau
lebih silinder (drum) dari logam, yang berputar sesuai dengan as-nya pada
posisi horizontal dan dilengkapi dengan pemanasan internal oleh uap air,
air, atau medium cairan pemanasan lainnya. Produk yang akan dikeringkan
dituangkan di atas permukaan drum sebagai suatu lapisan yang tipis. Produk
yang kering dilepaskan dari permukaan drum dengan pisau pengeruk.
Pengeringan chips ubi jalar dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Pemilihan metode pengeringan sangat mempengaruhi mutu dan karakteristik
tepung ubi jalar yang akan dihasilkan. Pada proses pengeringan, kerusakan
karotenoid perlu diperhatikan, karena karoten mudahteroksidasi terutama pada
suhu tinggi (Muryanto et al. 1978). Selain pengeringan matahari, pengeringan
dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengering yang dapat diatur suhu dan
kelembabannya. Beberapa alat pengering ubi jalar di antaranya adalah cabinet
dryer (Dhania 2006, Muryanto et al. 1978), drum dryer (Simanjuntak 2001),
metode oven (Setiawan 2005).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setiawan (2005), metode
pembuatan tepung ubi jalar yang tepat untuk menghasilkan produk mie adalah
dengn metode oven. Metode ini dipilih karena dapat mengurangi biaya proses
dibandingkan dengan penggunaan drum dryer yang membutuhkan biaya cukup
mahal untuk produksi uapnya. Selain itu, tepung hasil pengeringan dengan drum
dryer telah tergelatinisasi dengan sempurna sehingga sulit dibentuk lembaran
46
adonan, karena adonan menjadi terlalu lengket. Sedangkan Simajuntak (2001)
lebih memilih menggunakan tepung ubi jalar dengan metose perebusan dan
pengeringan drum dryer dalam pembuatan mie kering. Pemilihan ini didasarkan
pada warna yang dapat dipertahankan dari reaksi pencoklatan, daya kohesi yang
terbentuk selama perebusan dan penghancuran senyawa toksik akibat panas
selama perebusan.
Penggilingan/penepungan dan pengayakan
Proses penggilingan/penepungan, dapat menggunakan disc mill (Dhania
2006) dan masih diperoleh hasil penggilingan tepung yang kasar. Untuk
memperoleh tepung yang lebih halus dilakukan pengayakan dengan menggunakan
ayakan 60 mesh (Dhania 2006).
Pengemasan dan Penyimpanan Tepung Ubi Jalar
Tepung ubi jalar bersifat higroskopis atau mudah menyerap air yang dapat
menyebabkan kadar air pada tepung ubi jalar meningkat. Kadar air berkaitan
dengan mutu dari produk tersebut. Semakin rendah kadar airnya, maka produk
tersebut semakin baik mutunya. Kadar air yang rendah dapat mencegah dan
menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak yang dapat menurunkan mutu
produk tepung. Agar kadar air tepung ubi jalar tetap rendah maka harus dikemas
dengan kemasan yang tidak mudah dilewati oleh uap air, misalnya plastik
propilen (Dhania 1989).
Rendemen tepung ubi jalar yang dihasilkan
Rendemen tepung ubi jalar yang dihasilkan dapat mencapai 30% dari berat
awal bahan. Hal ini sangat dipengaruhi oleh varietas ubi jalar yang digunakan
untuk proses penepungan, serta mutu dari ubi jalar itu sendiri. Penggunaan ubi
jalar bermutu baik akan berpengaruh nyata terhadap mutu tepung ubi. Ubi jalar
sesuai diproses menjadi tepung apabila mempunyai kadar bahan kering dan pati
tinggi, serta kadar air rendah. Kadar bahan kering tinggi menghasilkan rendemen
tepung yang tinggi pula. Besarnya kadar bahan kering tergantung pada jenis/klon,
lingkungan dan umur tanaman (Bradburry dan Halloway 1988).
Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Antarlina (2003) dan
Dhania (2006), kadar air dengan kadar bahan kering dan pati ubi jalar berkorelasi
47
negatif. Semakin tinggi kadar air maka kadar bahan kering dan kadar patinya
makin rendah. Kadar bahan kering dengan kadar pati berkorelasi positif, makin
tinggi kadar bahan kering maka makin tinggi pula kadar pati ubi jalar. Korelasi
antara kadar pati dengan gula reduksi, abu dan serat kasar, adalah negatif.
Semakin tinggi kadar pati ubi jalar maka kadar gula reduksi dan serat kadarnya
makin rendah. Korelasi antara kadar air dan kadar bahan kering ubi jalar dapat
dilihat pada Tabel 5.
Rendemen tepung dihasilkan sangat tergantung pada kadar bahan kering
ubi. Semakin tinggi bahan kering ubi, semakin tinggi pula rendemen tepung yang
dihasilkan. Besarnya kadar bahan kering tergantung pada varietas/klon,
lingkungan (radiasi sinar matahari,suhu, pemupukan,kelembaban tanah) dan umur
tanaman (Bradburry dan Hollway 1998).
4.1.3 Karakteristik Tepung Ubi Jalar
Sifat fisik dan kimia tepung ubi jalar berbeda-beda tergantung jenis, usia,
keadaan tumbuh dan tingkat kematangan ubi jalar yang diolah menjadi tepung.
Perbandingan komposisi kimia dan karakteristik tepung ubi jalar dengan berbagai
jenis tepung lainnya disajikan pada Tabel 6 dan Tabel 7.
Tabel 6
Komposisi kimia tepung terigu, tepung ubi kayu dan tepung ubi jalar
Komposisi
Kadar air
Karbohidrat
Protein
Lemak
Abu
Serat
Sumber:
1)
Marzempi et al. (1996)
2)
Utomo dan Antarlina (1999)
Terigu1)
Ubi Kayu1)
Ubi Jalar2)
11,89 %
74,28 %
12,83 %
1,27 %
0,50 %
0,51 %
13,50 %
81,64 %
1,60 %
0,53 %
1,62 %
1,43 %
7,56 %
85,21 %
2,42 %
0,50 %
2,80 %
2,22 %
48
Tabel 7
Perbandingan karakteristik beberapa jenis tepung
Karakteristik
Bentuk granula pati
Tapioka
Bulat
terpotong1)
3-231)
Ukuran granula pati
Komposisi kimia
- air
11.47
- abu
0.06
- protein
0.76
- lemak
0.19
- karbohidrat
87.531)
Amilosa
173)
SAG
65.35
VM
835
V95oC
440
VD
650
Sumber
1)
Febriyanti (1990)
2)
Moorthy (2000)
3)
Glicksman (1969)
4)
Swinkels (1985)
5)
Djuanda (2003)
di dalam Honestin (2007)
Beras
Poligonal
3-81)
12.0
0.15
7.0
0.5
80.01)
16-173)
66
240
240
5551)
Jagung
Bulat,
poligonal1)
5-151)
Gandum
Oval,
bulat1)
2-351)
Ubi Jalar
Bulat,
poligonal2)
5-402)
10.0
1.4
10.3
4.8
73.51)
20-283)
62
470
470
8301)
12.0
0.11
8.9
1.3
77.31)
223)
65
65
60
3001)
3.74
2.31
1.92
1.20
90.835)
204)
60-80
480
3002)
Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu tepung ubi jalar adalah;
1. Bahan baku. Keragaman bahan baku (ubi jalar) sangat tinggi, sehingga
masing-masing jenis dapat menghasilkan mutu tepung ubi jalar yang berbeda
faktor yang mempengaruhi mutu ini adalah umur tanaman, ukuran, bentuk
bahan kering dan warna umbi.
2. Cara Pengolahan. Semua tahapan proses pembuatan tepung ubi jalar dapat
mempengarui mutu tepung ubi yang dihasilkan. Pengupasan kulit benar-benar
sempurna terutama kulit yang berwarna merah. Air yang digunakan harus
bersih, proses pengeringan harus segera dilakukan pada sawut.
3. Serangan hama boleng. Ubi yang terserang hama boleng, tidak dianjurkan
untuk diolah karena akan mempengaruhi aroma boleng yang terikut pada
tepung ubi jalar.
4. Cara Penyimpanan Tepung Ubi Jalar. Tepung harus tersimpan dalam keadan
tertutup rapat (kantong plastik atau kaleng toples) karena sifat tepung yang
mudah menyerap air dan mencegah dari serangan hama.
49
4.1.4 Potensi Pengembangan Tepung Ubi Jalar
Tepung ubi jalar dapat dimanfaatkan secara luas dalam pengolahan
makanan. Bentuk olahan ubi jalar sebagai tepung memudahkan penggunaannya
dalam membuat berbagai jenis makanan. Sesuai dengan karakteristiknya, tak
jarang tepung ubi jalar digunakan sebagai bagian dari tepung komposit (tepung
campuran) dengan jenis tepung lainnya guna menghasilkan makanan olahan yang
lebih baik dan enak. Dari segi proses produksinya, teknologi pengolahan tepung
sangat mudah dikuasai dengan biaya murah (Pramuji 2007). Dengan demikian
para pelaku usaha skala kecil dan menengah bisa terlibat dalam mengembangkan
usaha ini.
Sebagai salah satu produk olahan berbahan dasar ubi jalar, upaya
pemberdayaan tepung ubi jalar memiliki beberapa manfaat, antara lain:
1. Bahan baku ubi jalar segar relatif mudah didapat karena tanaman ini banyak
diusahakan petani, baik di lahan sawah maupun tegal
2. Proses pembuatan tepung ubi jalar relatif mudah dan sederhana, dapat
dilakukan oleh industri rumah tangga sampai industri besar
3. Tepung ubi jalar dapat digunakan sebagai bahan subtitusi terigu untuk produk
makanan olahan, dimana daya substitusinya tergantung dari produk yang
dihasilkan
4. Kemampuan daya substitusi tersebut diperkirakan akan mampu menekan biaya
produksi untuk industri makanan olahan
5. Untuk produk-produk makanan yang manis (misalkan kue/cookies) dapat
menghemat penggunaan gula sekitar 20 %, berkaitan dengan sifat tepung ubi
jalar yang mengandung kadar gula tinggi
6. Mutu bahan baku produk yang dihasilkan dan penerimaan konsumen tidak
turun secara nyata (Damardjati dan Widowati 1994).
Penelitian mengenai pemanfaatan tepung ubi jalar telah banyak dilakukan di
Indonesia. Widowati et al. (1994) mengkaji penggunaan tepung ubi jalar sebagai
salah satu bahan baku dalam pembuatan bihun. Ubi jalar juga diujicobakan untuk
mensubstitusi berbagai jenis tepung dalam beragam resep makanan (Suismono
2003, Djami 2007). Daya substitusi ubi jalar terhadap beragam makanan tersebut
50
tergantung dari hasil olahan yang ingin dihasilkan. Keragaman hasil olahan
tepung ubi jalar disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8
Keragaman hasil olahan tepung ubi jalar
No Nama Produk
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Roti tawar
Mie
Cake
Cookies
Chiffon cake
Pukis
Cheese stick
Marmer cake
Kue tambang
Kue lapis
Spekoek
Barongko pisang
Cucur
Domino cookies
Brownies kukus
Bolu kukus
Putu ayu
Substitusi tepung ubi
jalar (%)
10 - 20
10 - 20
50 – 100
50 - 100
50
50
30
50
30
50
50
50
50
50
100
20
100
Tepung yang
disubstitusi
Terigu
Terigu
Terigu
Terigu
Terigu
Terigu
Terigu
Terigu
Terigu
Tepung beras
Terigu
Tepung beras
Tepung beras
Terigu
Terigu
Terigu
Terigu
Sumber: Suismono (2003) dan Djami (2007)
Dalam pembuatan beberapa jenis kue tersebut, masih diperlukan campuran
tepung terigu agar kue dapat mengembang dengan baik. Sedangkan pada beberapa
jenis kue, tepung terigu dapat disubstiusi oleh tepung ubi jalar hingga 100 %
(cake, cookies, putu ayu). Hal ini disebabkan karena tepung ubi jalar tidak
mempunyai gluten sebagaimana tepung terigu yang dapat membantu dalam proses
pengembangan adonan kue (Djami 2007). Produksi kue yang berasal dari tepung
ubi jalar dapat mengurangi jumlah gula yang ditambahkan, karena kandungan
gula yang terdapat pada ubi jalar.
Kendala
Pramuji (2007) mengidentifikasi beberapa kendala yang menghambat
perkembangan agroindustri tepung ubi jalar skala kecil di daerah Bogor (Unit
Pengolahan Tepung Ubi Jalar di Desa Giri Mulya Kecamatan Cibungbulang),
yaitu:
51
1. Hambatan teknis/teknologis, yaitu belum optimalnya kinerja mesin dan
peralatan pengolah ubi jalar.
2. Hambatan kelembagaan, yaitu belum adanya kesepahaman diantara pihakpihak yang terkait mengenai model kelembagaan yang diinginkan sehingga
program antar sektor yang menangani komoditas ubi jalar belum benar-benar
serasi.
3. Hambatan input bahan baku, yaitu belum adanya kontinyuitas suplai bahan
baku yang memenuhi standar kualitas dan tingkat harga yang diinginkan oleh
pabrik.
4.2 Kondisi Aktual Agroindustri Tepung Ubi Jalar di Indonesia
Secara umum jalur pemasaran ubi jalar di Indonesia dapat dilihat pada
Gambar 11. Ubi jalar segar dibeli oleh tengkulak dari petani yang kemudian dijual
lagi ke pedagang pengumpul. Dari pedagang pengumpul ubi jalar segar tersebut
dijual kepada pedagang besar/grosir, industri makanan ternak, pedagang pengecer
dan ke industri pengolahan tepung. Ubi jalar segar dijual kepada konsumen secara
langsung melalui pedagang pengecer. Ubi jalar segar sebagai bahan baku industri
makanan dan tepung ubi jalar dipasok ke industri makanan. Hasil makanan olahan
ubi jalar untuk selanjutnya diekspor ke luar negeri atau dipasok ke distributor
untuk selanjutnya dijual ke konsumen akhir.
4.2.1 Produksi Ubi Jalar di Jawa Barat
Hampir seluruh provinsi di Indonesia memproduksi ubi jalar, kecuali DKI
Jakarta. Hal ini terlihat pada data produksi ubi jalar nasional dari tahun 2005
hingga 2009 (Lampiran 2). Tujuh provinsi penghasil ubi jalar terbesar adalah
Jawa Barat, Papua, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara
Timur dan Bali. Luas lahan tanam ubi jalar nasional hingga tahun 2008
menunjukkan kecenderungan menurun (Lampiran 3), namun produktivitas ubi
jalar memiliki kecenderungan meningkat (Lampiran 4).
Jawa Barat merupakan provinsi penghasil ubi jalar terbesar di Indonesia,
dengan total produksi mencapai 389043 ton ubi jalar pada tahun 2006. Tabel 9
menyajikan data jumlah produksi ubi jalar masing-masing kabupaten di Jawa
Barat pada tahun 2006. Kabupaten Kuningan merupakan produsen terbesar
52
dengan pangsa 25.75 persen, disusul oleh Kabupaten Garut 16.85 persen dan
Kabupaten/Kota Bogor 15.87 persen dari total produksi ubi kayu di Jawa Barat.
Sementara itu, daerah-daerah yang produksi ubi kayunya relatif kecil adalah
Karawang dan Ciamis.
Petani
Ubi
Segar
Tengkulak
Pengolahan
tepung
Pedagang
Pengumpul
Tepung
Pedagang
Besar/Grosir
Industri
Makanan
Industri Makanan
Ternak
Makanan
olahan
Pakan
ternak
Pedagang
Pengecer
Distributor
Konsumen
Gambar 11 Jalur pemasaran ubi jalar (Hafsah 2004)
Eksportir
53
Tabel 9
Jumlah produksi dan pangsa produksi ubi jalar di Jawa Barat
tahun 2006
Kabupaten
Produksi
Pangsa (%)
1
Bogor
61 753
15.87
2
Sukabumi
22 712
5.84
3
Cianjur
20 943
5.38
4
Bandung
34 329
8.82
5
Garut
65 566
16.85
6
Tasikmalaya
24 316
6.25
7
Ciamis
5 854
1.50
8
Kuningan
100 169
25.75
9
Cirebon
2 038
0.52
10
Majalengka
9 300
2.39
11
Sumedang
20 410
5.25
12
Indramayu
85
0.02
13
Subang
2 521
0.65
14
Purwakarta
17 775
4.57
15
Karawang
453
0.12
16
Bekasi
819
0.21
389 043
100
Jumlah
Sumber : BPS Provinsi Jabar (2007)
Pada periode tahun 1998 – 2007, produksi ubi jalar di Provinsi Jawa Barat
cenderung sangat berfluktuasi. Puncak produksi terjadi pada tahun 2005 dengan
jumlah produksi 390 ribu ton. Pada periode 2004 – 2006, produksi ubi jalar
cenderung stagnan.
Hal ini terlihat dari produksi tahun 2006 yang hanya
mencapai 389 ribu ton. Perkembangan produksi ubi jalar di Provinsi Jawa Barat
pada periode tahun 1996 – 2006 dapat dilihat pada Gambar 12.
54
Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat (2007)
Gambar 12
Perkembangan produksi ubi jalar Jawa Barat tahun 1996 - 2006
Kabupaten Kuningan, sebagai penghasil terbesar ubi jalar di Provinsi Jawa
Barat, pada periode tahun 1996 – 2006 cenderung mengalami peningkatan
produksi. Pada tahun 2006, produksi ubi jalar di Kabupaten Kuningan mencapai
100 ribu ton. Pada periode tersebut, produksi terendah adalah pada tahun 1996
yang mencapai 29 ribu ton.
Kabupaten Garut, sebagai penghasil terbesar kedua ubi jalar di Provinsi
Jawa Barat, pada periode tahun 1996 – 2006 mengalami fluktuasi dalam hal
produksi. Pada tahun 2006, produksi ubi jalar di daerah ini mencapai 65 ribu ton.
Pada periode tersebut, produksi terendah adalah pada tahun 2001 yang mencapai
36 ribu ton.
Kabupaten/Kota Bogor, sebagai penghasil terbesar ketiga ubi jalar di
Provinsi Jawa Barat, pada periode tahun 1996 – 2006 mengalami fluktuasi dengan
kecenderungan terjadi peningkatan produksi. Pada tahun 2006, produksi ubi jalar
di daerah ini mencapai 61 ribu ton. Pada periode tersebut, produksi terendah
adalah pada tahun 1996 yang mencapai 44 ribu ton.Perkembangan produksi ubi
jalar di Kabupaten Kuningan, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Garut pada
periode tahun 1996 – 2006 dapat dilihat pada Gambar 13:
55
Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat (2007)
Gambar 13
Perkembangan produksi ubi jalar di Kab. Kuningan, Kab. Bogor
dan Kab Garut pada tahun 1996 - 2006
Jika dilihat dari masa panen secara rata-rata dengan menggunakan data luas
tanam dan luas panen tahun 1987 – 2005, menunjukkan bahwa produksi ubi jalar
cenderung tidak terlalu bervariasi pada hampir semua bulan dengan luas panen
tertinggi pada bulan Maret dan Oktober. Sementara itu untuk puncak masa tanam,
terjadi pada bulan Oktober, November dan Desember. Dengan pola seperti ini,
diperkirakan masa tanam ubi jalar rata-rata mencapai 4 bulan.
4.2.2 Agroindustri Tepung Ubi Jalar di Kabupaten Bogor
Kabupaten Bogor merupakan salah satu sentra produksi ubi jalar di Propinsi
Jawa Barat. Pada tahun 2000 sampai dengan 2005, rata-rata tingkat produksi ubi
jalar di kabupaten ini mencapai 61 030 ton dan produktivitas rata-rata mencapai
15 ton/ha. Rincian mengenai data produksi, luas panen dan produktivitas ubi jalar
di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 10.
Dua lokasi pengembangan agroindustri tepung ubi jalar di Bogor di
antaranya adalah industri kecil tepung ubi jalar yang berlokasi di desa Cikarawang
Kecamatan Dramaga, dan Desa Giri Mulya Kecamatan Cibungbulang.
56
Tabel 10 Luas panen, produksi dan produktivitas ubi jalar di Kabupaten Bogor
(tahun 2000 – 2005)
Tahun
Luas Panen (Ha)
Produksi (ton) Produktivitas
(Ton/Ha)
2000
4 219
57 329
14
2001
4 306
65 202
15
2002
4 144
67 515
16
2003
3 882
67 159
17
2004
3 656
56 213
15
2005
3 662
52 762
14
Sumber: BPS Kabupaten Bogor (2000-2005, data diolah)
Model pengembangan agroindustri ubi jalar yang saat ini dikembangkan
oleh pihak Pemda Kabupaten Bogor masih tergolong ke dalam industri kecil.
Realisasi pengembangannya dimulai pada tahun 2004 melalui pembangunan Unit
Pengolahan Tepung Ubi jalar di Desa Giri Mulya, Kecamatan Cibungbulang,
dengan produk yang dihasilkan adalah tepung ubi jalar (Pramuji 2007). Proses
pengembangan agroindustri ini melibatkan berbagai pihak, diantaranya Pemda
Kabupaten Bogor (melalui Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Perindustrian
dan Perdagangan, serta Kantor Koperasi), pihak swasta/industri (PT Bogasari/PT
Lippo), petani dan perguruan tinggi.
Salah satu agro industri berskala rumah tangga yang terletak di Kabupaten
Bogor adalah agroindustri yang dikelola oleh Kelompok Tani di Desa
Cikarawang, yaitu Kelompok Tani Hurip. Kelompok Tani tersebut memproduksi
tepung ubi jalar hasil tanam sendiri, dengan mencoba membidik pasar di wilayah
Bogor dengan fokus utama konsumen yaitu
industri kecil pengolah pangan.
Industri-industri kecil pengolahan pangan tersebut mempunyai tingkat konsumsi
tepung terigu yang tinggi, sehingga dengan kemiripan kandungan yang dimiliki
antara tepung terigu dan tepung ubi jalar, diasumsikan tepung ubi jalar dapat
menggantikan penggunaan tepung terigu oleh industri pengolah pangan tersebut.
Tepung ubi jalar diposisikan sebagai tepung yang berkualitas, berbasis sumber
daya lokal dengan kandungan gizi yang tinggi cocok sebagai tepung kesehatan.
Agroindustri tepung ubi jalar berskala kecil yang dikelola Kelompok Tani
hurip terdiri dari rumah salah satu warga yang merupakan ketua kelompok petani,
tempat dilangsungkannya sebagian besar proses produksi, yaitu proses
penyawutan, pemerasan sawut, pengeringan, penepungan, pengayakan dan
pengemasan. Gudang bahan baku terletak tak jauh dari rumah produksi, yaitu
57
sekitar 4 m dari depan rumah. Lokasi industri rumah tangga tepung ubi jalar yang
terletak di Desa Cikarawang dapat dilihat pada Gambar 14.
Proses produksi tepung di Desa Cikarawang ini menggunakan bahan baku
ubi jalar hasil produksi warga sekitar yang berukuran kecil dan tak laku jual. Hal
ini dilakukan dengan maksud memanfaatkan umbi ubi jalar yang tak laku jual
yang diproduksi masyarakat sekitar -agar tak terbuang dengan meningkatkan nilai
tambahnya dengan pengolahan lebih lanjut. Harga ubi jalar berukuran normal
berkisar Rp 1000.00 /kg sedangkan ubi jalar berukuran kecil dihargai sekitar
Rp 400.00 - 500.00 /kg. Upaya ini jelas dapat menghemat biaya perolehan bahan
baku dan memperbesar margin keuntungan dari penjualan tepung ubi jalar.
Gambar 14
Lokasi industri rumah tangga tepung ubi jalar
Proses produksi tepung ubi jalar yang dilakukan oleh poktan Hurip di Desa
Cikarawang secara garis besar dapat dilihat pada Gambar 15. Proses diawali
dengan penyortiran bahan baku ubi yang akan dijadikan tepung. Ubi ditimbang
(A), dikupas (B) dan dihitung susut pengupasannya. Selanjutnya dilakukan proses
penyawutan (C) dengan alat penyawut, dengan kapasitas penyawutan 60 kg
ubi/jam. Selanjutnya sawut ubi jalar diperas untuk mengurangi kadar airnya, dan
air sisa perasan yang mengandung pati ubi jalar akan diendapkan semalam untuk
kemudian dikeringkan. Sawut ubi jalar selanjutnya dikeringkan dalam alat
58
pengering khusus (D, E), dengan kapasitas alat 10 kg per satu kali pengeringan.
Bila cuaca mendukung, proses pengeringan ini memakan waktu sekitar 2 hari.
Setelah didapatkan sawut kering (F), selanjutnya dilakukan proses penepungan
(G). Tepung yang dihasilkan (H) kemudian diayak untuk mendapatkan tepung
dengan tingkat kehalusan yang diinginkan (I). Tepung hasil ayakan kemudian
dikemas (J) dan siap untuk dipasarkan.
C
B
A
A
A
E
D
A
A
G
H
A
F
A
A
I
J
Gambar 15
A
Proses pengolahan ubi jalar menjadi tepung ubi jalar
4.2.3 Agroindustri Tepung Ubi Jalar di Kabupaten Kuningan
Kabupaten Kuningan saat ini lebih mengembangkan tanaman ubi jalar
sebagai program prioritas mengingat lahannya sangat sesuai untuk tanaman
tersebut dibanding dengan tanaman singkong. Mengingat ubi jalar menjadi
prioritas, saat ini penggunaannya sudah dalam bentuk tepung.
59
Agribisnis ubi jalar di kabupaten Kuningan sudah berjalan sejak lama
namun belum tertata dengan baik. Pada tahun 2007 - 2008 melalui program
Pendanaan Kompetisi-Indeks Pembangunan Manusia (PPK-IPM) Pemprov Jawa
Barat, dilakukan program pengembangan agribisnis ubi jalar yang melibatkan
seluruh pemangku kepentingan (stake holder) yaitu mulai dari pemerintah, pihak
swasta, petani/kelompok tani, kelompok usaha industri pengolah ubi jalar, Bank
Perkreditan Rakyat, koperasi dan pihak lainnya. Tabel 11 menyajikan gambaran
keunggulan komparatif ubi jalar dengan komoditas unggulan lain di Kabupaten
Kuningan, yang menunjukkan bahwa tanaman ubi jalar merupakan komoditas
pangan yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Dengan luas tanam setara
dengan luas tanam komoditas jagung, namun ubi jalar memiliki produktivitas
paling tinggi (20 ton/ha) dibandingkan dengan produktivitas berbagai komoditas
pertanian lainnya yang ditanam di Kabupaten Kuningan.
Tabel 11
No.
Data luas tanam, luas panen, produksi dan produktivitas berbagai
komoditas pertanian di Kabupaten Kuningan
Komoditas
Luas Tanam Luas Panen
Produksi Produktivitas
(Ha)
(Ha)
(Ha)
(Ton)
(Ton/Ha)
1
Padi sawah
59.641
60.017
355.902
5.90
2
Padi Gogo
3.875
4778
14.261
3.00
3
Jagung
6.065
8.841
20.223
3.50
4
Kedelai
1.324
1.281
1.217
1.00
5
Kacang tanah
3.177
3.333
5.459
1.60
6
Kacang hijau
948
515
575
1.10
7
Ubi kayu
3.078
3.517
42.529
12.10
8
Ubi jalar
6.130
6.130
122.600
20.00
Sumber: Disperindag Kab. Kuningan (2009)
Pemerintah Daerah Kab. Kuningan menetapkan kebijakan agribisnis ubi
jalar sebagai produk kompetensi inti daerah dengan berbagai pertimbangan.
Permintaan ubi jalar dinilai akan terus meningkat karena merupakan bahan baku
tepung bagi berbagai makanan olahan yang memiliki kelebihan dalam nilai
nutrisinya. Produksi ubi jalar di Kabupaten Kuningan paling tinggi dibandingkan
60
dengan komoditas palawija lainnya, memberikan kontribusi 26 % produksi ubi
jalar Jawa Barat. Ubi jalar dapat tumbuh di lahan yang tidak terlalu subur dan
penanamannya sudah banyak dikenal masyarakat terutama varietas lokal AC
merah dan AC putih.
Pembudidayaan ubi jalar di Kabupaten Kuningan dilakukan secara kontinyu
dengan melibatkan 10 460 petani, 78 kelompok tani di 78 desa pada sebelas
kecamatan penghasil ubi jalar utama yaitu Kecamatan Cilimus, Cigandamekar,
Kramatmulya, Jalaksana, Pancalang, Cipicung, Japara, Sindang Agung,
Paswahan, Mandiracan dan Kuningan dengan potensi areal ubi jalar seluas 6 130
ha dengan hasil produksi per tahun rata-rata 111 602 ton (Disperindag Kab
Kuningan 2009). Peta wilayah Kabupaten Kuningan disajikan pada Gambar 16.
Gambar 16 Peta lokasi Kabupaten Kuningan (Disperindag Kab Kuningan 2009)
Melalui PPK-IPM Pemprov Jawa Barat diharapkan pendapatan petani dapat
meningkat, kelompok-kelompok usaha industri yang mengolah chip ubi jalar
menjadi tepung ubi jalar
dan
produk-produk makanan olahan dari ubi
61
jalar/tepung ubi jalar dapat terwujud dalam suatu sistem mata rantai yang tak
terpisahkan.
Program pengembangan agribisnis ubi jalar dilakukan melalui berbagai
upaya; diantaranya peningkatan produktivitas hasil melalui sentuhan teknologi
(kegiatan intensifikasi budi daya ubi jalar), pengolahan ubi jalar menjadi produk
chip ubi jalar (kegiatan produktivitas industri agro ubi jalar), pelatihan
keterampilan, pemberian bantuan stimulan dana bergilir dan peningkatan
pemasaran produk tepung ubi jalar.
Program kegiatan PPK-IPM telah
melaksanakan intensifikasi budidaya ubi jalar di sebelas kecamatan, membangun
enam pabrik chip ubi jalar yang telah dilengkapi dengan mesin dan peralatan yang
cukup memadai untuk memproduksi chip dan tepung ubi jalar yang dikelola oleh
enam kelompok usaha chip ubi jalar di enam lokasi yaitu Desa Kalapagunung
Kec. Kramatmulya, Cimaranten Kec. Cipicung, Manislor Kec. Jalaksana,
Bandorasawetan Kec. Cilimus, Panawuan Kec. Cigandamekar dan Desa
Pancalang Kec. Pancalang (Disperindag Kab Kuningan 2009).
Masing-masing kelompok dilengkapi dengan sarana produksi yaitu satu
unit mesin pencuci ubi jalar, satu unit mesin slicer/pengiris, satu unit mesin rotary
drying (pengering chip ubi jalar). Pada tahun 2007, melalui Dinas Perindustrian
dan Perdagangan Agro Provinsi Jawa Barat dibangun satu unit pabrik dan sarana
produksi mesin tepung ubi jalar (non PPK-IPM) di Desa Panuwuan Kecamatan
Cigandamekar. Pabrik dikelola oleh kelompok Panajaya Agro Lestari dengan
kapasitas produksi tepung ubi jalar 5-7 ton per hari dengan tujuan menampung
bahan baku chip ubi jalar untuk diproses menjadi tepung ubi jalar dari enam
kelompok usaha chip ubi jalar yang dibentuk melalui PPK-IPM (Gambar 17 dan
Gambar 18).
62
Bangunan Pabrik Chip Ubi Jalar
Mesin Pencuci Ubi Jalar
Mesin Slicer Ubi Jalar
Mesin Pengering Awal
Mesin Rotary Drying
Chip Ubi Jalar
(Pengering Akhir)
Pedal Sealer
Timbangan Duduk
Gambar 17 Bangunan dan sarana pembuatan chip ubi jalar di Kab. Kuningan
63
Pabrik Tepung Ubi Jalar
Mesin Penepung
Produk Tepung Ubi Jalar
Gambar 18 Agroindustri tepung ubi jalar di Kab. Kuningan
64
Pada tahun 2008, diberikan fasilitas penyempurnaan mesin dan pabrik chip
yang lebih higenis. Pemberian bantuan mesin di masing-masing kelompok usaha
chip ubi jalar berupa satu buah timbangan, satu buah pedal sealer, satu buat alat
tes kadar air, satu unit pengering awal yang berfungsi agar pada saat musim hujan
proses produksi tetap berjalan. Bantuan peralatan juga diberikan pada dua puluh
kelompok makanan yang diarahkan mengolah berbagai diversifikasi produk
makanan olahan berbasis ubi jalar/tepung ubi jalar. Bantuan bagi masing-masing
kelompok berupa satu buah oven, satu buah kompor gas, satu buah tabung gas,
satu buah timbangan kue, satu buah mixer dan satu set loyang, sedangkan bagi
dua kelompok usaha es krim yang diarahkan menggunakan bahan baku tepung ubi
jalar, masing-masing kelompok mendapatkan satu buah mesin es krim, satu buah
timbangan dan satu buah mixer (Gambar 19).
Gambar 19 Peralatan untuk pengolahan tepung ubi jalar
65
Menurut Disperindag Kab Kuningan (2009), terdapat banyak hal yang
masih harus ditindaklanjuti setelah program PPK-IPM berakhir di Kab Kuningan,
diantaranya yang paling penting adalah kepastian pasar produk olahan berbasis
ubi jalar khususnya tepung ubi jalar. Terdapat dua kendala yang menghambat
keberlanjutan usaha produksi tepung ubi jalar di Kabupaten Kuningan. Pertama;
naiknya harga chip/tepung ubi jalar setelah pabrik chip/tepung ubi jalar terbangun
tahun 2007. Sebelum pabrik dibangun, harga ubi jalar berkisar antara Rp 400.00
sd. Rp 600.00 /kg, setelah pabrik dibangun harga ubi jalar rata-rata di atas Rp
1000.00 /kg. Peningkatan harga ubi jalar di satu sisi berdampak terhadap
peningkatan pendapatan petani, akan tetapi di sisi lain meningkatkan biaya
produksi chip/tepung ubi jalar. Namun demikian, diharapkan harga ubi jalar
menjadi harga yang wajar (berkisar Rp 800.00 /kg) maka harga tepung ubi jalar
dapat bersaing dengan harga tepung terigu di pasaran. Kendala kedua adalah
belum adanya kepastian pemasaran tepung ubi jalar. Diharapkan terdapat
distributor, agen, industri pengguna tepung ubi jalar yang secara riil dapat
membeli tepung ubi jalar.
Berdasarkan laporan dari Disperindag Kabupaten Kuningan (2009), pada
tahun 2009 indikator keberhasilan sistem pengembangan agribisnis ubi jalar di
Kabupaten Kuningan baru mencapai peningkatan pendapatan petani jika harga ubi
jalar meningkat, serta terbangunnya enam pabrik chip ubi jalar, satu pabrik tepung
ubi jalar, dua puluh kelompok makanan olahan dan dua kelompok es krim
berbasis ubi jalar/tepung ubi jalar. Pabrik tepung ubi jalar belum berproduksi
karena menghadapi kendala belum adanya pemasaran yang jelas. Kunci utama
dari optimalisasi berjalannya sistem pengembangan agribisnis ubi jalar di
Kabupaten Kuningan adalah terjualnya tepung ubi jalar baik kepada industri
pengguna tepung ubi jalar, distributor, atau pihak-pihak yang berminat lokal
maupun ekspor. Beberapa kegiatan pemasaran yang dipertimbangkan dapat
dilakukan di antaranya adalah melalui upaya promosi, sosialisasi atau
berhubungan langsung dengan industri pengguna tepung ubi jalar potensial,
seperti pabrik biskuit, mie, kue kering/basah. Beberapa contoh makanan hasil
olahan tepung ubi jalar disajikan pada Gambar 20.
66
Gambar 20 Aneka makanan olahan berbasis tepung ubi jalar
Secara umum rantai pasokan ubi jalar di daerah Kuningan dapat dilihat pada
Gambar 21. Ubi jalar yang dihasilkan oleh petani disalurkan ke industri pengolah
ubi jalar, pedagang pengumpul dan industri chips untuk kemudian diolah menjadi
tepung ubi jalar. Pasokan bahan baku yang diterima oleh industri chip juga
diperoleh melalui pedagang pengumpul. Tepung ubi jalar yang dihasilkan
kemudian disalurkan ke industri makanan pengguna tepung ubi jalar.
Rantai pasokan tepung ubi jalar di Kabupaten Kuningan dapat dilihat pada
Gambar 22, yang merupakan contoh kasus industri manufaktur Agro Chips Ubi
Jalar Desa Kapalagunung Kec. Kramat Mulya. Pabrik tepung ubi jalar (PT
Panajaya Agrolestari) memiliki kapasitas: 1,5 kwintal tepung/hari. Pasokan bahan
baku berupa chip ubi jalar dari produsen chip ubi jalar di Kabupaten Kuningan,
67
dengan sistem kontrak. Pada tahun 2009 harga tepung ditawar hanya Rp 3000.00
sehingga menyebabkan kerugian pada pabrik ini.
Gambar 21 Rantai pasokan ubi jalar dan tepung ubi jalar di daerah Kuningan
Gambar 22 Rantai pasokan tepung ubi jalar di Kabupaten Kuningan
4.3 Perbaikan Rantai Pasokan Agroindustri Tepung Ubi Jalar
4.3.1 Identifikasi Sifat Dasar Permintaan Tepung Ubi Jalar
Dalam perancangan sebuah rantai pasokan, supply dan demand disesuaikan
untuk memaksimumkan pemenuhan kebutuhan konsumen dan kompetisi pasar.
68
Tabel 12 Penggolongan ketidakpastian permintaan dalam sebuah produk
(Waddington 2002)
Pertanyaan pembanding
Unit
Seberapa tak stabilnya kah Persentase
jadwal
permintaan eror
konsumen?
prakiraan
bulanan
Seberapa banyak jenis Jumlah
varian
produk
yang varian
diinginkan konsumen?
Berapa lama delivery lead Satuan waktu
time?
Berapa durasi umur hidup Tahun
produk?
Ketidakpastian permintaan
1
2
3
4
Rendah Di bawah
Di atas
Tinggi
rata-rata
rata-rata
0-10
11-30
31-50
>50
1-3
4-10
11-20
>21
>1
bulan
>5
1-4
minggu
2-5
1-7 hari
1 hari
1-2
<1
Analisa berdasarkan penggolongan ketidakpastian permintaan berdasarkan
Tabel 12 adalah sebagai berikut: Tepung ubi jalar merupakan salah satu bahan
baku produk olahan makanan, yang dapat berfungsi mensubstitusi penggunaan
tepung terigu hingga 100 %. Diperkirakan tepung ubi jalar memiliki persentase
eror yang rendah per bulannya, mengingat tepung ubi jalar dapat digolongkan
sebagai produk fungsional.
Terdapat dua jenis varian tepung ubi jalar yang banyak diminta oleh
konsumen, yaitu tepung ubi jalar berwarna putih dan tepung ubi jalar berwarna
ungu. Jenis varian berdasarkan warna tepung ubi jalar ini sangat mempengaruhi
terhadap warna produk makanan yang dihasilkan dari tepung ubi jalar tersebut.
Sebagaimana tepung terigu, tepung ubi jalar diperkirakan memiliki durasi
umur hidup lebih dari lima tahun. Berdasarkan program dan promosi yang gencar
dilakukan oleh pemerintah di daerah-daerah wilayah Indonesia, tepung ubi jalar
dicanangkan sebagai salah satu alternatif pemecah masalah ketahanan pangan.
Hasil analisa dengan menggunakan parameter yang disajikan Fisher (1990)
dinyatakan bahwa tepung ubi jalar digolongkan sebagai produk fungsional,
dengan perkiraan siklus hidup produk lebih dari dua tahun, kontribusi margin di
bawah 20 %, dengan variasi produk rendah. Berdasarkan hal tersebut,
disimpulkan bahwa tepung ubi jalar merupakan produk dengan tingkat ketidak
pastian yang rendah.
69
4.3.2 Analisa Kapabilitas Rantai Pasokan
Kapabilitas rantai pasokan dapat dilihat dari responsivitas rantai pasokan
yang ada. Berdasarkan fungsi yang dilakoni, rantai pasokan dapat dibagi menjadi
dua jenis, yaitu rantai pasokan physically efficient dan rantai pasokan marketresponsive.
4.3.3
Pemetaan Ketidakpastian Permintaan dan Pencocokan Rantai
Pasokan dengan Produk (achieving strategic fit)
Setelah mengidentifikasi ketidakpastian permintaan produk yang dihadapi
oleh agroindustri, pertanyaan selanjutnya untuk dijawab adalah bagaimana
agroindustri
tersebut
dapat
memenuhi
permintaan
konsumen
dengan
ketidakpastiannya. Menciptakan kecocokan strategi adalah tentang menciptakan
strategi rantai pasokan yang dapat memenuhi permintaan konsumen yang telah
ditargetkan oleh industri. Berdasarkan matriks kecocokan Fisher (Gambar 9)
tepung ubi jalar sebagai produk fungsional memerlukan rantai pasok yang efisien
agar terjadi kecocokan antara strategi rantai pasokan dengan strategi kompetitif
agroindustri tepung ubi jalar. Strategi rantai pasokan yang dikembangkan untuk
tepung ubi jalar adalah rantai pasokan yang meminimumkan biaya, dengan fokus
optimasi pada minimisasi total biaya rantai pasokan.
4.4 Pemodelan dan Simulasi
4.4.1 Pemodelan Lokasi Fasilitas
Penentuan lokasi fasilitas merupakan salah satu kegiatan dalam tahapan
desain/perancangan sebuah rantai pasokan. Penentuan lokasi fasilitas yang berupa
pabrik pengolah ubi jalar menjadi tepung ubi jalar memiliki peran yang sangat
penting dalam penentuan keefektifan atau keefisienan sebuah jaringan rantai
pasokan agroindustri tepung ubi jalar. Terdapat beberapa hal yang menjadi bahan
pertimbangan saat menentukan lokasi agroindustri tepung ubi jalar, yaitu
1. Letak sumber bahan baku (ubi jalar)
2. Letak industri pengguna tepung (sebagai konsumen langsung dari tepung ubi
jalar)
70
4.4.1.1 Penentuan Alternatif Lokasi Agroindustri Penghasil Tepung (dengan
Metode CPI)
Sesuai dengan fokus penelitian yang mengkaji perancangan model rantai
pasokan tepung ubi jalar yang mengambil daerah Jawa Barat sebagai contoh
pengembangan, data mengenai sumber bahan baku agroindustri tersaji pada Tabel
9 (Tabel Jumlah Produksi Ubi Jalar). Konsumen langsung tepung ubi jalar
merupakan industri pengolah tepung. Jumlah pabrik pengolahan tepung di daerah
Jawa Barat disajikan pada Tabel 13 berikut ini.
Tabel 13 Jumlah industri tepung dan industri roti dan kue pada setiap
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat
No.
1
2
3
4
5
6
7
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Wilayah
Kab. Ciamis
Kab. Kuningan
Kota Bogor
Kab. Cirebon
Kab. Sumedang
Kab. Tasikmalaya
Kab. Sukabumi
Kota Banjar
Kab. Bekasi
Kab. Bogor
Kota Tasikmalaya
Kab. Bandung
Kab. Cianjur
Kab. Majalengka
Kab. Karawang
Kab. Purwakarta
Kota Bekasi
Kab. Garut
Kab. Indramayu
Kota Bandung
Kota Cirebon
Kota Depok
Industri
Tepung
47
15
13
12
11
11
6
6
3
3
3
2
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
Industri
roti & kue
50
17
13
15
18
19
20
7
5
19
54
7
11
0
3
2
6
27
7
24
19
10
Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat 2007
Dari 16 daerah penghasil ubi jalar (Tabel 14), selanjutnya dipilih lima
daerah yang menjadi fokus dalam penentuan lokasi agroindustri penghasil tepung
ubi jalar. Fokus dalam penentuan lokasi agroindustri tersebut dilakukan dengan
mempertimbangkan kedekatan agroindustri dengan sumber bahan baku, dan jarak
agroindustri dengan konsumennya, dengan tujuan agar agroindustri dapat
71
memenuhi permintaan konsumen potensialnya secara optimal. Pemilihan tersebut
dilakukan dengan menggunakan kriteria produksi ubi jalar, banyaknya industri
tepung dan banyaknya industri kue dan roti yang menggunakan bahan baku
tepung. Bobot yang digunakan adalah 40 % untuk produksi ubi jalar, 30 % untuk
banyaknya industri tepung, serta 30 % untuk industri roti dan kue. Pembobotan
yang lebih tinggi pada kriteria produksi ubi jalar dilakukan dengan pertimbangan
pentingnya kedekatan sumber bahan baku dengan industri pengolah ubi jalar
menjadi tepung ubi jalar. Penanganan pasca panen ubi jalar yang tepat serta
minimasi jarak antara agroindustri dengan ubi jalar sebagai bahan bakunya
diharapkan dapat mengurangi susut kualitas bahan baku. Pemilihan selanjutnya
dilakukan
dengan
menggunakan
teknik
Perbandingan
Indeks
Kinerja
(Comparative Performance Index/CPI). Data yang digunakan dalam pemilihan
daerah ini dapat dilihat pada tabel berikut ini. Modifikasi data dilakukan dengan
mengganti data jumlah industri tepung dan kue yang nilainya 0 menjadi 1, agar
dapat diolah selanjutnya dengan teknik CPI.
Tabel 14 Data yang digunakan dalam pemilihan daerah sebagai lokasi industri
penghasil tepung
Kabupaten (i)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Bogor
Sukabumi
Cianjur
Bandung
Garut
Tasikmalaya
Ciamis
Kuningan
Cirebon
Majalengka
Sumedang
Indramayu
Subang
Purwakarta
Karawang
Bekasi
Minimum
Jumlah Produksi
Jumlah Industri
Jumlah Industri
Ubi Jalar
(ribu ton)
61 753
22 712
20 943
34 329
65 566
24 316
5 854
10 0169
2 038
9 300
20 410
85
2 521
17 775
453
819
85
Tepung
(unit industri)
16
6
1
2
1
14
47
15
12
1
11
1
1
1
1
4
1
Kue
(unit industri)
32
20
11
31
27
73
50
17
34
1
18
7
1
2
3
11
1
72
Pengolahan selanjutnya, adalah mengkonversi nilai minimum pada setiap
kriteria dengan angka 100 dan nilai-nilai yang lain dikonversi dengan cara
membagi nilai awal dengan nilai minimum pada setiap kriteria dan dikalikan
dengan 100. Nilai minimum untuk jumlah produksi ubi jalar adalah 85 ribu ton
untuk daerah Indramayu.
Pengolahan selanjutnya, adalah mengalikan nilai-nilai setiap kriteria untuk
masing-masing daerah dengan bobot kriteria yang sudah disebutkan sebelumnya.
Hasilnya dijumlahkan untuk masing-masing daerah dan diurutkan dari yang
tertinggi sampai dengan yang terendah. Peringkat daerah dengan menggunakan
teknik CPI dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Pengolahan data dan pemilihan daerah sebagai lokasi industri penghasil
tepung menggunakan teknik CPI
Jumlah Produksi Jumlah Industri Jumlah Industri
Ubi Jalar
Tepung
Kue
(ribu ton)
(unit industri) (unit industri)
1
Bogor
72 650.58
1 600.00
3 200.00
2
Sukabumi
26 720.00
600.00
2 000.00
3
Cianjur
24 638.82
100.00
1 100.00
4
Bandung
40 387.05
200.00
3 100.00
5
Garut
77 136.47
100.00
2 700.00
6
Tasikmalaya
28 607.05
1 400.00
7 300.00
7
Ciamis
6 887.05
4 700.00
5 000.00
8
Kuningan
11 7845.88
1 500.00
1 700.00
9
Cirebon
2 397.64
1 200.00
3 400.00
10 Majalengka
10 941.17
100.00
100.00
11 Sumedang
24 011.76
1 100.00
1 800.00
12 Indramayu
100.00
100.00
700.00
13 Subang
2 965.88
100.00
100.00
14 Purwakarta
20 911.76
100.00
200.00
15 Karawang
532.94
100.00
300.00
16 Bekasi
963.52
400.00
1 100.00
Minimum
100
100
100
Bobot Kriteria
0.4
0.3
0.3
Kabupaten (i)
Nilai
Peringkat
30 500.00
11 468.00
10 216.00
17 145.00
31 695.00
14 053.00
5 665.00
48 098.00
2 339.00
4 436.00
10 475.00
280.00
1 246.00
8 455.00
333.00
835.00
3
Berdasarkan Metode CPI, beberapa lokasi yang dipilih sebagai alternatif
penentuan lokasi agroindustri penghasil tepung menurut peringkatnya adalah
Kabupaten Kuningan, Garut, Bogor, Bandung, dan Tasikmalaya, dengan
pembobotan 40 % untuk produksi ubi jalar, 30 % untuk banyaknya industri
4
2
5
1
73
tepung, dan 30 % untuk industri roti dan kue. Pendirian agroindustri tepung ubi
jalar pada kelima alternatif lokasi tersebut dapat mengoptimalkan usaha dinilai
dari kedekatan dengan bahan baku, dan kedekatan dengan pasar.
4.4.1.2 Penentuan Lokasi Agroindustri Penghasil Tepung Ubi jalar dengan
Metode Non Linier Programming (metode gravitasi)
Pada tahap ini, dilakukan penentuan lokasi agroindustri penghasil tepung
ubi jalar yang dapat melayani konsumen (industri pengolah tepung) dengan
meminimumkan jarak antara industri penghasil tepung dengan konsumennya.
Gambar peta lokasi provinsi Jawa Barat beserta alternatif kota lokasi agroindustri
penghasil tepung ubi jalar (ditandai dengan gambar bintang) tersaji sebagai
berikut Gambar 23.
Gambar 23 Peta lokasi penghasil tepung ubi jalar
74
Persamaan jarak antara lokasi industri yang diusulkan dengan lokasi konsumen
adalah sebagai berikut:
di = [(xi - x)2 + (yi - y)2]
dimana
(x,y) = koordinat lokasi industri yang diusulkan
(xi,yi) = koordinat industri konsumen i
Fungsi tujuan dari model lokasi industri adalah sebagai berikut:
Minimumkan total perjalanan d =
diti
di = jarak ke kota i
ti = jumlah perjalanan (dalam satu tahun ) ke kota i
diasumsikan nilai ti adalah sama dengan jumlah produksi bahan baku per tahun
pada masing-masing daerah i.
Koordinat masing-masing alternatif kota adalah:
Kota
Bogor
Garut
Tasik
Bandung
Kuningan
KOORDINAT
X
Y
2.625
8.75
10.4
7.25
11.6
5.37
2.25
1.9
3.75
3.6
ASUMSI
Frekuensi
Perjalanan
61753
65566
24316
34329
110169
Hasil olahan nonlinier programming dengan menggunakan Solver adalah sebagai
berikut:
Kota
Bogor
Garut
Tasik
Bandung
Kuningan
KOORDINAT
X
Y
2.625
8.75
10.4
7.25
11.6
5.37
2.25
1.9
3.75
3.6
ASUMSI
Frekuensi
Jarak tempuh
perjalanan
(km)
61753 6.990852859
65566 0.715938421
24316 1.572518261
34329 2.098860455
110169 2.568007706
Dengan koordinat lokasi industri penghasil tepung yang optimum sebagai berikut
x=
y=
9.144796
2.847247
Koordinat tersebut terletak pada sebelah timur laut kota Garut.
75
Dan total jarak tempuh antara industri penghasil tepung dengan konsumen dalam
satu tahun adalah 871 851,3 km.
4.4.2 Optimasi dengan Simulasi pemodelan Stella®
Simulasi dengan menggunakan pemodelan Stella® dilakukan guna mencari
total biaya rantai pasokan agroindustri tepung ubi jalar. Rantai pasokan yang
diperhitungkan ke dalam pemodelan dimulai dari pasokan umbi ubi jalar dari para
petani dan berakhir di konsumen yang meruapakan industri makanan pengguna
tepung ubi jalar.
Beberapa asumsi yang dipakai dalam pemodelan adalah sebagai berikut:
Harga ubi jalar per kilogram Rp 500.00
Pasokan bahan baku ubi jalar 2000 kg/hari
Konversi praperlakuan dari persediaan umbi ubi jalar menjadi ubi jalar siap
olah yang merupakan proses pencucian dan pencucian adalah 90 %, yaitu terjadi
susut berat bahan sebesar 10 % dari persediaan bahan awal. Susut bahan yang
terjadi pada saat proses penyawutan diasumsikan sebesar 15 %. Susut berat akibat
adanya proses penjemuran (pengeringan) adalah 25 % dari berat bahan sebelum
pengeringan, dan susut berat bahan yang terjadi selama proses penepungan adalah
15 %. Beberapa komponen biaya yang mempengaruhi biaya total rantai pasokan
tepung ubi jalar adalah biaya persediaan, biaya pembelian umbi ubi jalar, biaya
angkut, biaya penyimpanan dan biaya distribusi tepung ubi jalar.
Secara lengkap pemodelan rantai pasokan agroindustri tepung ubi jalar
disajikan pada Gambar 24. Berdasarkan hasil running terhadap model tersebut,
maka diperoleh total biaya rantai pasokan tepung ubi jalar sebesar Rp 2 752
534.53 per hari. Dengan simulasi pemodelan ini, harga bahan baku umbi ubi jalar
dapat disimulasikan antara Rp 400.00 sampai Rp 600.00 /kg yang akan
mempengaruhi biaya total rantai pasokannya.
Rancangan pemodelan dengan menggunakan pemrograman Stella adalah sebagai berikut:
persediaan ubi jalar
ubi jalar siap olah
sawut kering
sawut ubi jalar
tepung ubi jalar
~
umbi ubi jalar
praperlakuan
proses peny awutan
pengeringan
konv ersi pengeringan
konv ersi praperlakuan
distribusi
penepungan
Susut penepungan
susut peny awutan
pasokan dari petani
Permintaan konsumen
Biay a distribusi produk
Biay a pembelian
Biay a Angkut
Biay a Peny impanan
Total biay a rantai pasokan
persediaan ubi jalar
2,222.2
Biay a pembelian
1,000,000.0
Biay a Angkut
Total biay …tai pasokan
439,277.9
2,752,534.53
Gambar 24 Pemodelan rantai pasokan tepung ubi jalar dengan program Stella®
Biay a Peny impanan
913,769.7
Biay a distribusi produk
399,487.0
VI KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil kajian terhadap potensi dan karakteristik sifat fisik dan
kimia ubi jalar serta karakteristik tepung ubi jalar, potensi pengembangan tepung
ubi jalar terbuka luas. Pengolahan ubi jalar ke dalam bentuk tepung memudahkan
penggunaan dan pengolahannya
menjadi bahan makanan. Industri olahan
makanan rata-rata membutuhkan bahan baku berupa tepung. Diharapkan tepung
ubi jalar dapat menjadi salah satu pemenuh kebutuhan tersebut. Salah satu jenis
ubi jalar yang cocok diolah sebagai tepung ubi jalar adalah jenis ubi jalar putih
(sukuh) yang dapat menghasilkan rendemen tepung di atas 30%.
Berdasarkan hasil analisa terhadap rantai pasokan agroindustri tepung ubi
jalar yang saat ini telah ada dengan menggunakan studi kasus di wilayah Jawa
Barat, dapat dilihat bahwa pada umumnya industri tepung ubi jalar didirikan tidak
jauh dari sumber bahan baku (petani penghasil umbi ubi jalar). Agroindustri
tepung ubi jalar di Desa Cikarawang Bogor melakukan proses konversi umbi ubi
jalar menjadi bahan setengah jadi (berbentuk chips maupun sawut) pada lokasi
yang sama dengan lokasi penepungannya, sedangkan agroindustri tepung ubi jalar
di daerah kab. Kuningan melakukannya pada lokasi yang terpisah. Titik kritis
proses pengolahan terletak pada proses penyawutan/pembuatan bahan setengah
jadi.
Berdasarkan pengkajian terhadap lokasi fasilitas yang cocok sebagai
industri penghasil tepung ubi jalar terletak di timur laut kota Garut, dengan
pertimbangan kedekatan dengan sumber permintaan dan sumber pasokan ubi
jalarnya. Peran pemerintah baik pusat maupun lokal tak dapat dipungkiri sangat
penting bagi pengembangan agroindustri ini.
Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan sebagai upaya perbaikan
terhadap rancangan rantai pasokan yang telah ada, strategi rantai pasokan untuk
tepung ubi jalar yang dianjurkan adalah strategi efisiensi rantai pasokan dengan
optimasi minimisasi total biaya rantai pasokan. Dengan bahan baku 2 ton ubi jalar
per hari, maka diperoleh besaran total biaya rantai pasokan tepung ubi jalar
sebesar Rp 2 752 534.00.
78
Rantai pasokan terdiri dari petani penghasil ubi jalar, industri pembuat
sawut kering yang berlokasi berdekatan. Selanjutnya, sawut kering dikirimkan ke
industri penepung yang terletak di daerah timur laut kota Garut untuk menjangkau
dan secara maksimal memenuhi kebutuhan konsumen.
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah perlunya dilakukan identifikasi
secara lebih detail mengenai lokasi pabrik penepung ubi jalar, dengan
mempertimbangkan lokasi real.
DAFTAR PUSTAKA
Antarlina SS. 2003. Teknologi Pengolahan Tepung Komposit Terigu-Ubijlar
sebagai Bahan Baku Industri Pangan. Kumpulan Hasil Penelitian Terbaik
Bogasari Nugraha 1998-2001. PR & Communication Dept. PT ISM
Bogasari Flour Mills, Jakarta.
Ahumada O, Villalobos JR. 2009. Application of planning models in the agri-food
supply chain: a review. Eur J of Operational Research 195:1-20.
Ariani M. 2006. Diversifikasi konsumsi pangan di Indonesia: antara harapan dan
kenyataan. Di dalam Suradisastra K, Yusdja Y, Siregar M, dan Kariyasa K,
editor. Diversifikasi Usahatani dan Konsumsi: Suatu Alternatif Peningkatan
Kesejahteraan Rumah Tangga Petani. PSE Litbang Deptan Monograf 27:
118-131.
[Balitkabi] Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umubi-Umbian.
2005. Teknologi Produksi Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. Malang:
Balitkabi.
Blackburn J, Scudder G. 2009. Supply chain strategies for perishable products: the
case of fresh produce. Product and Operations Mgmt 18:2.
[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2007. Jumlah produksi ubi jalar
di Jawa Barat tahun 2006. Bandung: BPS Jabar.
Bradbury JH, Holloway WD. 1988. Chemistry of tropical root crops: significance
for nutrition and agriculture in the Pacific. ACIAR Monograf 6.
Brown JG. 1994. Agroindustrial Investment and Operations. Washington: The
World Bank.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1998. SNI 01-4493-1998 Ubi Jalar.
Chopra S, Meindl P. 2007. Supply Chain Management: Strategy, Planning, and
Operation. Ed ke-3. Ney Jersey: Pearson Education.
Dhania S. 2006. Langkah awal penggandaan skala tepung ubi jalar dan beberapa
karakteristiknya [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Damardjati DS, Widowati S. 1994. Pemanfaatan Ubi jalar dalam Program
Diversifikasi Guna Mensukseskan Swasembada Pangan. Balittan Malang
Edisi Khusus 3 : 1 - 25.
80
Djami SA. 2007. Prospek pemasaran tepung ubi jalar ditinjau dari potensi
permintaan industri kecil di wilayah Bogor (studi kasus: Kelompok Tani
Hurip Desa Cikarawang) [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2007. Top production sweet potatoes
2007.
http://faostat.fao.org/DesktopDefault.aspx?PageID=339&lang=en
&country=101. [24 Mei 2010]
Fisher ML. 1997. What is the right supply chain for your product? Harvard
Bussiness review (Maret-April): 83-93.
Hafsah MJ. 2004. Prospek Bisnis Ubi jalar. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Hasanuddin A, Wargiono J. 2003. Research priorities for sweetpotato in
Indonesia. Di dalam: Fuglie KO, editor. Progress in Potato and Sweetpotato
Reserach in Indonesia. Proceedings of the CIP-Indonesia Research Review
Workshop; Bogor, 26-27 Mar 2002. Bogor: International Potato Center. hlm
20-27.
Honestin T. 2007. Karakterisasi sifat fisikokimia tepung ubi jalar (Ipomoea
batatas) [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Indrajit RE., Djokopranoto R. 2002. Konsep Manajemen Supply Chain : Cara
Baru Memandang Mata Rantai Penyediaan Barang. Jakarta: PT Grasindo.
Kumalaningsih S. 1994. Peluang pengembangan agroindustri dari bahan baku ubi
jalar. Balittan Malang Edisi Khusus 3 : 26 - 35.
Kussuma I. 2008. Kajian tekno ekonomi pendirian industri tepung ubi jalar
(Ipomoea batatas L) melalui participatory action research (PAR) di desa
Cikarawang Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Irfansyah. 2001. Karakterisasi fisiko-kimia dan fungsional tepung ubi jalar
(Ipomoea batatas L) serta pemanfaatannya untuk pembuatan kerupuk
[tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Juarsa MI. 2007. Daya saing ubi jalar di Kabupaten Kuningan Jawa Barat
[skirpsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Law AM. 2009. How to build valid and credible simulation models. Di dalam:
Fuglie KO, editor. Progress in Potato and Sweetpotato Reserach in
Indonesia. Proceedings of the CIP-Indonesia Research Review Workshop;
Bogor, 26-27 Mar 2002. Bogor: International Potato Center. hlm 129-147.
Law AM, Kelton WD. 2000. Simulation Modeling and Analysis. Ed ke-3. Boston:
Mc Graw Hill.
81
Lestari HN. 2006. Analisis penetapan harga pokok produksi pasta ubi jalar
(Ipomoea batatas) kaitannya dengan perencanaan laba jangka pendek
perusahaan (kasus: PT Galih Estetika di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat)
[skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.
Jakarta: PT Grasindo.
Min H, Zhou G. 2002. Supply chain modeling: past, present, and future. Comp &
Ind Eng 43:231-249.
Muchtadi D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Bogor: PAU IPB.
Muryanto, Hardjo S, Sjachri M, Jenie BSL. 1978. Mempelajari Pembuatan
Tepung Ubi Jalar dengan Berbagai Cara Persiapan Bahan dan Suhu
Pengeringan. Bogor: Proyek Peningkatan/Pengembangan Perguruan Tinggi,
Institut Pertanian Bogor.
Onwueme IC. 1978. The Tropical Tuber Crops. New York: John Wiley & Sons.
Palmer JK. 1982. Carbohydrates in sweet potato. Di dalam: Villareal RL, Griggs
TD, editor. Sweet Potato. Proceedings of the firsst International
Symposium. Tainan: Asian Vegetable Research and Development Center.
No. 82-172, hlm 135-140.
Pramuji I. 2007. Analisis kelayakan usaha agroindustri ubi jalar (studi kasus pada
agroindustri pengolahan tepung ubi jalar di Desa Giri Mulya, Kecamatan
Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor: Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Saleh N, Hartojo K. 2003. Present status and future research in sweetpotato in
Indonesia. Di dalam: Fuglie KO, editor. Progress in Potato and Sweetpotato
Reserach in Indonesia. Proceedings of the CIP-Indonesia Research Review
Workshop; Bogor, 26-27 Mar 2002. Bogor: International Potato Center. hlm
129-147.
Setiawan E. 2005. Pembuatan mie kering dari ubi jalar (Ipomoea batatas)dan
penentuan umur simpan dengan metode akselerasi [skripsi]. Bogor: Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Simanjuntak FLMT. 2001. Pemanfaatan ubi jalar (Ipomoea batatas) sebagai
bahan dasar pembuatan mie kering [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Simchi-Levi D, Kaminsky P, Simchi-Levi E. 2003. Designing, and Managing the
Supply Chain: Concepts, Strategies, and Case Studies. New York: Mc.
Graw-Hill.
Sisson KD. 2003. Indonesia grain and feed annual 2003. Global Agricultural
Information Network. US Embassy, Jakarta.
82
Suismono. 1995. Kajian teknologi pembuatan tepung ubi jalar (Ipomoea batatas)
dan manfaatnya untuk produk ekstrusi mie basah [tesis]. Bogor: Pasca
Sarjana, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Vorst JGAJ van der. 2006. Performance measurement in agri-food supply-chain
networks. Di dalam: Ondersteijn CJM, Wijnands JHM, Huirne RBM,
Kooten O van, editor. Quantifying the Agri-food Supply Chain. Netherland.
hlm 13-24.
Waddington T, Childerhouse P, Towill DR. 2002. Engineer your supply chain to
cope with demand under uncertainty. Int j of Operations Management &
Control 27 (10): 14 – 18.
[Warintek] Warung Informasi Teknologi – Ristek. 2010. Pengawetan dan bahan
kimia. [terhubung berkala]. http://www.warintek.ristek.go.id/pangan/
umum/pengawetan.pdf. [9 April 2010]
Widowati S, Santosa BAS, Damardjati DS. 1994. Penggunaan tepung ubi jalar
sebagai salah satu bahan baku dalam pembuatan bihun. Balittan Malang
Edisi Khusus 3: 115-119.
Widowati S, Damardjati SS, Suismono. 1991. Research activites on post harvest
and utilization of sweet potato in CRIFC, Indonesia, 1989-1991 [Laporan
hasil penelitian]. Bogor: CRIFC dan SAPPRAD.
Winarno FG. 1981. Bahan pangan terfermentasi. Kumpulan pikiran dan gagasan
tertulis. Pusbangtepa IPB, Bogor.
Yenni E. 2007. Perumusan strategi pemasaran tepung ubi jalar produksi usaha
kecil (studi kasus: Kelompok Tani Hurip Desa Cikarawang) [skripsi].
Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
85
Lampiran 1 Teknologi budidaya ubi jalar di lahan sawah
Komoditas ini ditanam baik pada lahan sawah maupun lahan tegalan.
Dengan teknik budidaya yang tepat, beberapa varietas unggul ubi jalar dapat
menghasilkan lebih dari 30 ton umbi basah per hektar.
1. Penggunaan bibit unggul
a. Variets unggul yang telah dilepas selain produktivitasnya tinggi, juga
memiliki sifat agak tahan terhadap hama boleng Cylas formicarus dan
penyakit kudis Sphaceloma batatas seperti Sari, Boko, Sukuh, Jago dan
Kidal
b. Untuk menjaga potensi hasil, stek yang ditanam harus bebas dari
hama/penyakit
c. Kebutuhan bibit 35000 – 50000 stek/ha
2. Penyiapan lahan
a. Tanah diolah, dibuat guludan selebar 40-60 cm dan tinggi 25-30 cm. Jarak
antar guludan 80 cm atau 100 cm.
b. Pada tanah berat (berlempung) untuk membuat guludan yang gembur
perlu ditambah 10 ton bahan organik/ha
3. Penanaman
a. Ubi jalar ditanam setelah padi yaitu awal hingga pertengahan musim
kemarau
b. Stek pucuk ditanam di guludan dengan jarak dalam baris 20 -30 cm, jarak
antar gulud 100 cm, populasi tanaman sekitar 35000 – 50000 tanaman/ha
c. Ubi jalar dapat ditanam dalam sistem tumpang sari dengan tingkat
naungan tidak lebih 30%
4. Pemupukan dan mulsa
a. Takaran pupuk 100 -200 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl. Sangat
baik bila ditambahkan pupuk kandang yang diberikan bersamaan
pembuatan guludan.
b. Sepertiga dari urea dan KCl serta seluruh SP36 diberikan pada saat tanam.
Sedangkan sisanya, dua pertiga urea dan KCl diberikan pada saat tanaman
berumur 1.5 bulan.
86
c. Pupuk diberikan dalam larikan, kemudian ditutup dengan tanah
d. Untuk pertanaman di lahan sawah setelah padi, pemanfaatan jerami padi
sebagai mulsa dapat menekan biaya, karena selain meringankan
penyiangan, dengan mulsa tidak perlu pembalikan batang
5. Penyiangan gulma dan pembalikan batang
a. Penyiangan gulma dilakukan sebelum atau selambat-lambatnya bersamaan
dengan pemupukan ke dua
b. Perbaikan gulud dan pembalikan batang perlu dilakukan untuk mencegah
munculnya akar dari ruas batang
6. Pengairan
a. Pada musim kemarau, pengairan merupakan kunci untuk mencapai
produktivitas tinggi. Pengairan yang cukup dapat menghindarkan ubi jalar
dari serangan hama boleng Cylas formacarius.
7. Pengendalian hama
a. Hama utama adalah hama boleng Cylas formicarius, penggerek batang
Omphisa anastomasalis serta nematoda Meloidogyne sp. yang merugikan
ubi jalar.
b. Hama tersebut dapat dikendalikan secara terpadu dengan:
-
Menanam varietas yang agak tahan
-
Menanam stek bahan tanaman yang sehat atau mencelup stek ke
dalam larutan insektisida 10 menit
-
Rotasi tanaman
-
Pembumbunan
-
Penangkapan serangga jantan dewasa dengan hormon feromon
-
Penyemprotan insektisida nabati (ekstrak daun atau biji mimba,
Azadirachta indica dengan konsentrasi 4%).
8. Panen
a. Ubi jalar dapat dipanen jika umbi sudah tua dan besar. Panen dapat
serentak maupun bertahap
b. Secara fisik ubi jalar siap dipanen apabila daun dan batang mulai
menguning. Di dataran rendah, ubi jalar umumnya dipanen pada umur 3.5
87
– 5 bulan. Sedangkan di dataran tinggi ubi jalar dipanen pada umur 5 – 8
bulan
9. Pascapanen
Selain dikonsumsi langsung, ubi jalar dapat diolah menjadi produk antara
dalam bentuk pati maupun tepung. Pati dibuat dengan mengekstrak ubi yang
telah diparut. Sedangkan tepung diperoleh dengan cara mencuci ubi,
mengupas, mengiris, menjemur dan menghancurkan (menepungkan) diayak
pada ukuran 80 mesh. Pati dan tepung ubi jalar dapat digunakan untuk
membuat aneka jenis kue, mie, hingga es krim.
Sumber : Balitkabi (2005)
89
Lampiran 2 Produksi ubi jalar Indonesia menurut provinsi 2005-2009
Provinsi
1. Nanggroe Aceh D.
2. Sumatera Utara
3. Sumatera Barat
4. R i a u
5. J a m b i
6. Sumatera Selatan
7. Bengkulu
8. Lampung
9. Bangka Belitung
10. Riau Kepulauan
11. D.K.I. Jakarta
12. Jawa Barat
13. Jawa Tengah
14. D.I. Yogyakarta
15. Jawa Timur
16. Banten
17. B a l i
18. Nusa Tenggara Barat
19. Nusa Tenggara Timur
20. Kalimantan Barat
21. Kalimantan Tengah
22. Kalimantan Selatan
23. Kalimantan Timur
24. Sulawesi Utara
25. Sulawesi Tengah
26. Sulawesi Selatan
27. Sulawesi Tenggara
28. Gorontalo
29. Sulawesi Barat
30. Maluku
31. Maluku Utara
32. Papua Barat
33. Papua
Total produksi Indonesia
2005
22,985
115,728
50,392
10,848
28,370
24,465
45,921
44,602
4,117
1,540
0
390,386
144,598
6,522
150,564
41,276
88,510
19,430
99,748
12,364
9,711
24,106
22,574
38,671
23,768
53,513
24,823
3,309
9,475
16,701
34,533
19,543
273,876
1,856,969
Sumber: BPS (2010), diolah
Produksi (ton)
2006
2007
16,238
15,187
102,712
117,641
53,758
53,793
11,123
12,814
29,261
36,363
20,747
21,515
51,184
32,131
42,586
46,772
3,820
5,144
1,463
1,472
0
0
389,043
375,714
123,485
143,364
6,236
5,496
150,540
149,811
34,373
33,694
92,078
91,187
19,372
13,007
111,279
102,375
14,356
13,882
9,645
8,619
26,335
31,143
26,334
30,855
37,345
35,475
26,886
29,079
54,303
58,819
24,432
27,588
3,557
2,974
6,194
9,304
20,081
20,929
33,673
35,199
21,375
18,702
290,424
306,804
1,854,238
1,886,852
2008
13,172
114,186
61,817
11,330
21,825
19,621
30,682
48,191
4,653
1,490
0
376,490
117,159
7,656
136,556
33,793
88,201
10,985
107,316
12,871
12,153
25,903
29,372
42,062
27,689
66,546
30,892
3,947
15,895
21,778
35,094
15,340
337,096
1,881,761
2009
15,711
142,602
69,253
10,219
22,800
20,657
31,341
49,835
5,006
1,536
0
389,851
119,670
6,499
144,659
35,841
84,469
17,472
112,765
12,112
10,698
31,954
33,662
43,261
29,392
63,287
28,721
3,854
14,381
21,999
26,640
12,929
334,235
1,947,311
90
Lampiran 3 Luas panen ubi jalar Indonesia menurut provinsi 2005-2009
Provinsi
1. Nanggroe Aceh D.
2. Sumatera Utara
3. Sumatera Barat
4. R i a u
5. J a m b i
6. Sumatera Selatan
7. Bengkulu
8. Lampung
9. Bangka Belitung
10. Riau Kepulauan
11. D.K.I. Jakarta
12. Jawa Barat
13. Jawa Tengah
14. D.I. Yogyakarta
15. Jawa Timur
16. Banten
17. B a l i
18. Nusa Tenggara Barat
19. Nusa Tenggara Timur
20. Kalimantan Barat
21. Kalimantan Tengah
22. Kalimantan Selatan
23. Kalimantan Timur
24. Sulawesi Utara
25. Sulawesi Tengah
26. Sulawesi Selatan
27. Sulawesi Tenggara
28. Gorontalo
29. Sulawesi Barat
30. Maluku
31. Maluku Utara
32. Papua Barat
33. Papua
Total luas lahan ubi jalar
di Indonesia
Sumber: BPS 2010, diolah
2005
2,330
12,014
4,266
1,375
3,325
3,739
4,818
4,617
532
217
0
30,794
11,179
617
13,835
3,638
7,105
1,702
12,930
1,569
1,416
2,432
2,393
4,457
2,510
4,890
2,993
352
849
1,942
3,950
1,991
27,559
Luas Panen (ha)
2006
2007
1,661
1,542
10,630
12,129
4,146
3,769
1,413
1,627
3,407
4,026
2,950
3,033
5,366
3,372
4,400
4,813
481
647
190
191
0
0
29,805
28,096
9,384
10,592
611
515
13,818
13,975
3,020
2,904
7,241
7,037
1,693
1,135
14,480
12,940
1,853
1,779
1,383
1,232
2,603
2,691
2,859
3,217
3,755
3,617
2,771
2,996
5,029
5,549
3,058
3,357
378
314
573
846
2,355
2,448
3,860
4,035
2,167
1,874
29,167
30,634
2008
1,325
10,316
4,082
1,429
2,263
2,829
3,217
4,953
578
193
0
27,252
8,467
610
13,750
2,884
6,424
953
13,437
1,643
1,735
2,417
3,114
4,277
2,616
6,235
3,587
412
1,442
2,546
4,023
1,524
34,028
2009
1,556
12,841
4,461
1,291
2,360
3,013
3,293
5,120
623
199
0
28,617
8,606
591
14,729
3,051
6,407
1,506
14,044
1,632
1,526
2,918
3,623
4,396
2,737
5,899
3,458
399
1,310
2,559
3,062
1,278
34,078
178,336
176,507
174,561
181,183
176,932
91
Lampiran 4 Produktivitas ubi jalar Indonesia menurut provinsi 2005-2009
Provinsi
1. Nanggroe Aceh D.
2. Sumatera Utara
3. Sumatera Barat
4. R i a u
5. J a m b i
6. Sumatera Selatan
7. Bengkulu
8. Lampung
9. Bangka Belitung
10. Riau Kepulauan
11. D.K.I. Jakarta
12. Jawa Barat
13. Jawa Tengah
14. D.I. Yogyakarta
15. Jawa Timur
16. Banten
17. B a l i
18. Nusa Tenggara Barat
19. Nusa Tenggara Timur
20. Kalimantan Barat
21. Kalimantan Tengah
22. Kalimantan Selatan
23. Kalimantan Timur
24. Sulawesi Utara
25. Sulawesi Tengah
26. Sulawesi Selatan
27. Sulawesi Tenggara
28. Gorontalo
29. Sulawesi Barat
30. Maluku
31. Maluku Utara
32. Papua Barat
33. Papua
Total produktivitas ubi
jalar Indonesia
Sumber: BPS 2010, diolah
2005
98.65
96.33
118.12
78.89
85.32
65.43
95.31
96.60
77.39
70.97
0.00
126.77
129.35
105.71
108.83
113.46
124.57
114.16
77.14
78.80
68.58
99.12
94.33
86.76
94.69
109.43
82.94
94.01
111.60
86.00
87.43
98.16
99.38
Produktivitas (Ku/ha)
2006
2007
2008
97.76
98.49
99.41
96.62
96.99
110.69
129.66
142.72
151.44
78.72
78.76
79.29
85.88
90.32
96.44
70.33
70.94
69.36
95.39
95.29
95.38
96.79
97.18
97.30
79.42
79.51
80.50
77.00
77.07
77.20
0.00
0.00
130.53
133.73
138.15
131.59
135.35
138.37
102.06
106.72
125.51
108.94
107.20
99.31
113.82
116.03
117.17
127.16
129.58
137.30
114.42
114.60
115.27
76.85
79.12
79.87
77.47
78.03
78.34
69.74
69.96
70.05
101.17
115.73
107.17
92.11
95.91
94.32
99.45
98.08
98.34
97.03
97.06
105.84
107.98
106.00
106.73
79.90
82.18
86.12
94.10
94.71
95.80
108.10
109.98
110.23
85.27
85.49
85.54
87.24
87.23
87.23
98.64
99.80
100.66
99.57
100.15
99.06
2009
100.97
111.05
155.24
79.16
96.61
68.56
95.17
97.33
80.35
77.19
0.00
136.23
139.05
109.97
98.21
117.47
131.84
116.02
80.29
74.22
70.10
109.51
92.91
98.41
107.39
107.28
83.06
96.59
109.78
85.97
87.00
101.17
98.08
104.13
105.05
107.48
106.64
107.80
92
Lampiran 5 Perkembangan luas panen dan produksi ubi jalar di berbagai daerah
di Jawa Barat tahun 2003 - 2008
Perkembangan Luas Panen dan Produksi Ubi Jalar di Kabupaten Majalengka
Tahun
Luas Panen (ha)
Produksi (ton)
Produktivitas
ton/ha/tahun
2003
747
8.931
119,56
2004
1.027
12.961
126,20
2005
1.429
19.583
138,90
2006
779
9.300
119,38
2007
1.111
12.305
110,76
2008
734
10.554
143,79
Trend (%)
-1,30
-0,19
Rata-rata (%)
126,43
Perkembangan Luas Panen dan Produksi Ubi Jalar di Kabupaten Ciamis
Tahun
Luas Panen (ha)
Produksi (ton)
2003
1.163
8.649
Produktivitas
ton/ha/tahun
74,37
2004
1.143
10.465
91,56
2005
942
7.869
83,54
2006
603
5.441
90,23
2007
730
6.341
86,86
2008
867
7.517
86,70
Trend (%)
-8,89
-7,09
Rata-rata (%)
85,54
93
Perkembangan Luas Panen dan Produksi Ubi Jalar di Kabupaten Tasikmalaya
Tahun
Luas Panen (ha)
Produksi (ton)
2003
1.687
12.743
Produktivitas
ton/ha/tahun
75,54
2004
1.873
16.859
90,01
2005
3.208
30.516
95,12
2006
2.461
23.636
96,04
2007
2.476
20.251
81,79
2008
2.101
17.914
85,26
Trend (%)
4,89
5,87
Rata-rata (%)
87,29
Perkembangan Luas Panen dan Produksi Ubi Jalar Di Kabupaten Garut
Tahun
Luas Panen (ha)
Produksi (ton)
2003
5.538
48.413
Produktivitas
ton/ha/tahun
87,42
2004
5.640
57.966
102,78
2005
4.952
51.856
104,72
2006
5.545
65.566
118,24
2007
5.679
70.764
124,61
2008
5.534
68.363
123,53
Trend (%)
0,37
7,58
Rata-rata (%)
110,22
94
Perkembangan Luas Panen dan Produksi Ubi Jalar di Kabupaten Kuningan
Tahun
Luas Panen (ha)
Produksi (ton)
Produktivitas
ton/ha/tahun
2003
6.498
92.890
142,95
2004
6.287
94.256
149,92
2005
5.367
89.985
167,66
2006
5.991
100.169
167,20
2007
5.664
105.610
186,46
2008
5.936
110.428
186,03
Trend (%)
-1,86
3,82
Rata-rata (%)
166,70
95
Lampiran 6 Luas panen ubi jalar rata-rata per bulan di Jawa Barat (ha) periode
tahun 1987 - 2005
Tahun
Jan
Febr
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agust
Sept
Okt
Nop
Des
Jumlah
1987
4 544
5 438
3 752
2 831
2 906
3 401
3 158
3 383
3 465
3 838
2 606
1 911
41 233
1988
2 469
3 750
4 518
4 561
3 446
3 117
3 230
3 869
4 859
4 771
4 049
3 357
45 996
1989
5 181
4 888
5 486
4 168
3 140
3 118
3 797
3 907
4 302
4 015
3 521
3 105
48 628
1990
2 992
4 599
4 809
3 920
2 787
3 028
3 689
3 678
5 043
4 221
3 758
2 911
45 435
1991
2 802
3 383
4 823
4 891
3 250
3 243
3 398
3 972
3 444
2 283
2 666
1 255
39 410
1992
1 997
4 435
4 820
4 683
2 890
3 385
3 820
3 767
4 984
5 134
3 649
4 314
47 878
1993
4 393
4 339
4 365
4 568
3 143
2 741
3 853
3 508
4 000
3 434
3 609
2 687
44 640
1994
2 925
3 547
4 401
3 589
3 501
2 857
3 634
4 605
3 330
2 087
2 062
1 798
38 336
1995
2 221
3 182
5 127
4 348
3 313
3 513
3 464
4 649
4 791
4 593
2 892
2 750
44 843
1996
3 043
4 140
5 148
2 986
2 016
2 502
3 074
3 940
3 354
2 769
2 265
2 533
37 770
1997
3 048
4 381
3 339
2 764
3 086
2 355
3 727
3 268
3 355
1 959
1 922
1 567
34 771
1998
1 285
2 149
3 562
3 514
2 813
2 369
3 262
4 222
4 408
4 465
3 979
4 546
40 574
1999
4 690
4 397
4 330
2 527
2 143
2 701
4 099
3 480
3 230
3 200
2 747
1 705
39 249
2000
2 380
3 579
3 574
3 055
2 337
3 015
3 093
3 020
3 122
3 492
2 266
2 438
35 371
2001
1 997
2 919
2 860
2 247
1 435
2 448
2 799
2 999
2 194
2 347
2 101
2 284
28 630
2002
5 339
3 652
2 853
2 594
2 236
2 569
3 064
2 775
2 420
2 514
2 479
1 575
34 070
2003
1 114
2 053
2 908
3 230
2 591
3 017
3 233
3 272
2 395
2 197
2 181
1 760
29 951
2004
2 280
2 993
3 018
3 163
2 735
2 627
2 628
2 590
2 778
2 630
2 018
1 954
31 414
2005
1 848
2 328
3 165
2 779
2 340
2 766
2 516
2 752
2 689
3 073
2 195
2 343
30 794
2 976
3 692
4 045
3 496
2 743
2 883
3 344
3 561
3 588
3 317
2 788
2 463
38 894
RataRata
Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2007 (Diolah)
96
97
Lampiran 7 Persamaan dalam simulasi dengan pemrograman Stella®
persediaan_ubi_jalar(t) = persediaan_ubi_jalar(t - dt) + (umbi_ubi_jalar praperlakuan) * dt
INIT persediaan_ubi_jalar = umbi_ubi_jalar
INFLOWS:
umbi_ubi_jalar = GRAPH(pasokan_dari_petani)
(0.00, 0.00), (200, 250), (400, 450), (600, 660), (800, 820), (1000, 1060), (1200,
1250), (1400, 1430), (1600, 1580), (1800, 1810), (2000, 2000)
OUTFLOWS:
praperlakuan = konversi_praperlakuan*persediaan_ubi_jalar
sawut_kering(t) = sawut_kering(t - dt) + (pengeringan - penepungan) * dt
INIT sawut_kering = pengeringan
INFLOWS:
pengeringan = sawut_ubi_jalar*konversi_pengeringan
OUTFLOWS:
penepungan = sawut_kering*Susut_penepungan
sawut_ubi_jalar(t) = sawut_ubi_jalar(t - dt) + (proses_penyawutan - pengeringan)
* dt
INIT sawut_ubi_jalar = proses_penyawutan
INFLOWS:
proses_penyawutan = ubi_jalar_siap_olah*susut_penyawutan
OUTFLOWS:
pengeringan = sawut_ubi_jalar*konversi_pengeringan
tepung_ubi_jalar(t) = tepung_ubi_jalar(t - dt) + (penepungan - distribusi) * dt
INIT tepung_ubi_jalar = penepungan
INFLOWS:
penepungan = sawut_kering*Susut_penepungan
OUTFLOWS:
distribusi = tepung_ubi_jalar*Permintaan_konsumen
ubi_jalar_siap_olah(t) = ubi_jalar_siap_olah(t - dt) + (praperlakuan proses_penyawutan) * dt
98
INIT ubi_jalar_siap_olah = praperlakuan
INFLOWS:
praperlakuan = konversi_praperlakuan*persediaan_ubi_jalar
OUTFLOWS:
proses_penyawutan = ubi_jalar_siap_olah*susut_penyawutan
Biaya_Angkut = (persediaan_ubi_jalar*15)+(sawut_kering*200)
Biaya_distribusi_produk = (distribusi*200)
Biaya_pembelian = umbi_ubi_jalar*500
Biaya_Penyimpanan =
(persediaan_ubi_jalar*100)+(sawut_kering*100)+(sawut_ubi_jalar*100)+(tepung
_ubi_jalar*100)
konversi_pengeringan = 0.75
konversi_praperlakuan = 0.9
pasokan_dari_petani = 2000
Permintaan_konsumen = 0.9
Susut_penepungan = 0.985
susut_penyawutan = 0.985
Total_biaya_rantai_pasokan =
Biaya_Angkut+Biaya_distribusi_produk+Biaya_pembelian+Biaya_Penyimpanan
Download