relevansi sociological jurisprudence

advertisement
RELEVANSI TEORI SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
DALAM UPAYA PEMBAHARUAN HUKUM DI INDONESIA
OL E H ,
MULHADI,SH.M.HUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Mulhadi: Relevansi Teori Sociological Jurisprudence dalam Upaya Pembaharuan Hukum di Indonesia, 2005
USU Repository©2006
MEDAN 2005
DAFTAR ISI
I.
PENDAHULUAN..............................................................................................
II.
PANDANGAN SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE TENTANG PEMBAHARUAN
1
(PEMBENTUKAN) HUKUM ...............................................................................
4
III.
PEMBAHARUAN (PEMBENTUKAN) HUKUM DI INDONESIA ...............................
9
IV.
KESIMPULAN .................................................................................................
14
DAFTAR PUSTAKA
Mulhadi: Relevansi Teori Sociological Jurisprudence dalam Upaya Pembaharuan Hukum di Indonesia, 2005
USU Repository©2006
RELEVANSI TEORI SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
DALAM UPAYA PEMBAHARUAN HUKUM DI INDONESIA
Oleh: Mulhadi 1
ABSTRAKSI
Renewal of law in Indonesia the core important addressed to realize social construction which is
welfare, quiet and peace and also bring good changes to life structure. But on the other side,
renewal of this law also become impeller to fluency of development process. Therefore, existing
weakness in effort of renewal of law during the time must be overcome. This matter to create a
national law contruction ideally, have harmony among society interests with the goals of
national development.
PENDAHULUAN
Pembangunan merupakan upaya sadar yang dilakukan untuk merubah suatu
kondisi dari suatu tingkat yang dianggap kurang baik ke kondisi baru pada tingkat
kualitas yang dianggap baik atau paling baik. 2 Pembangunan yang dilaksanakan tentu
saja
pembangunan
yang
memiliki
pijakan
hukum
yang
jelas,
bisa
dipertanggungjawabkan, terarah serta proporsional antara aspek fisik (pertumbuhan)
dan non- fisik.
Apabila diteliti, semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan
oleh perubahan, bagaimanapun kita mendefinisikan pembangunan itu dan apapun
ukuran yang kita pergunakan bagi masyarakat dalam pembangunan. Peranan hukum
1
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU)
Niniek Suparni, Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika,
1992), hal.36
Mulhadi: Relevansi Teori Sociological Jurisprudence dalam Upaya Pembaharuan Hukum di Indonesia, 2005
2
USU Repository©2006
dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan
suasana damai dan teratur. 3
Istilah “pembaharuan hukum” sebenarnya mengandung makna yang luas
mencakup sistem hukum. Menurut Friedman, sistem hukum terdiri atas struktur hukum
(structure), substansi/materi hukum (substance), dan budaya hukum (legal culture). 4
Sehingga, ketika bicara pembaharuan hukum maka pembaharuan yang dimaksudkan
adalah pembaharuan sistem hukum secara keseluruhan yang meliputi struktur hukum,
materi hukum dan budaya hukum. Karena luasnya cakupan sistem hukum, maka dalam
tulisan ini, hanya dibatasi pada salah satu elemen sistem hukum yakni substansi/materi
hukum.Namun demikian, dalam uraian berikutnya istilah “pembaharuan hukum” tetap
dipertahankan yang sebenarnya mengandung makna lebih khusus atau sepadan
dengan istilah “pembentukan hukum”.
Dalam prosesnya, pembangunan ternyata ikut membawa konsekuensi
terjadinya perubahan-perubahan atau pembaharuan pada aspek-aspek sosial lain
termasuk di dalamnya pranata hukum. Artinya, perubahan yang dilakukan (dalam
bentuk pembangunan) dalam perjalanannya menuntut adanya perubahan-perubahan
dalam bentuk hukum. Perubahan hukum ini memiliki arti yang positif dalam rangka
menciptakan hukum baru yang sesuai dengan kondisi pembangunan dan nilai-nilai
hukum masyarakat.
Pada satu pihak, pembaharuan hukum merupakan upaya untuk merombak
struktur hukum lama (struktur hukum pemerintahan jajahan) yang umumnya dianggap
3
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, (Bandung: Bina Cipta,
1986), hal. 1
4
Lawrence M. Friedman, American Law, (New York: W.W. Norton & Company, 1930), pg.5-6
Mulhadi: Relevansi Teori Sociological Jurisprudence dalam Upaya Pembaharuan Hukum di Indonesia, 2005
USU Repository©2006
bersifat eksploitatif dan diskriminatif. Sedangkan pada pihak lain pembaharuan hukum
dilaksanakan dalam kerangka atau upaya memenuhi
tuntutan pembangunan
masyarakat.
Bidang hukum diakui memiliki peran yang sangat strategis dalam memacu
percepatan pembangunan suatu negara. Usaha ini tidak semata-mata dalam rangka
memenuhi tuntutan pembangunan jangka pendek tetapi juga meliputi pembangunan
jangka menegah dan jangka panjang, walaupun disadari setiap saat hukum bisa
berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang menghendakinya.
Di negara-negara berkembang pembaharuan hukum merupakan prioritas
utama, terlebih jika negara dimaksud merupakan negara yang baru merdeka dari
penjajahan bangsa/negara lain. Oleh karena itu, di negara-negara berkembang
pembaharuan hukum senantiasa mengesankan adanya peranan ganda. Pertama,
merupakan upaya untuk melepaskan diri dari lingkaran struktur hukum kolonial. Upaya
tersebut terdiri atas penghapusan, penggantian, dan penyesuaian ketentuan hukum
warisan kolonial guna memenuhi tuntutan masyarakat nasional. Kedua, pembaharuan
hukum berperan pula dalam mendorong proses pembangunan, terutama pembangunan
ekonomi yang memang diperlukan dalam rangka mengejar ketertinggalan dari negaranegara maju, dan yang lebih penting adalah demi peningkatan kesejahteraan
masyarakat warga negara. 5
Saat ini di Indonesia masih terdapat banyak peraturan-peraturan hukum
yang sudah tidak up to date namun tetap dipertahankan. Dalam rangka menyongsong
5
Abdul Hakim Nusantara dan Nasroen Yasabari, Pembangunan Hukum: Sebuah Orientasi (Pengantar Editor)
dalam Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Idonesia, Abdul Hakim Nusantara dan Nasroen Yasabari
(Ed.) (Bandung : Penerbit Alumni, 1980), hal. 2
Mulhadi: Relevansi Teori Sociological Jurisprudence dalam Upaya Pembaharuan Hukum di Indonesia, 2005
USU Repository©2006
era global dan pasar bebas mendatang jelas peraturan-peraturan hukum tersebut
memerlukan revisi dan jika perlu dirubah total dengan bobot materi yang
mencerminkan gejala dan fenomena masyarakat saat ini. Masalahnya adalah apakah
proses perubahan atau pembaharuan hukum yang berlangsung di Indonesia telah
dilakukan sesuai dengan kaedah-kaedah normatif dan atau sesuai dengan nilai-nilai
hukum dalam masyarakat? Sebagaimana disarankan oleh para ahli hukum Sociological
jurisprudence. Pertanyaan ini perlu diajukan mengingat fungsi hukum tidak sematamata sebagai alat kontrol sosial (control social) tetapi juga memiliki fungsi sebagai
sarana rekayasa atau pembaharuan sosial atau lebih dikenal sebagai “law as a tool of
social engineering”.
PANDANGAN
SOCIOLOGICAL
JURISPRUDENCE
PEMBAHARUAN (PEMBENTUKAN) HUKUM
Banyak
teori
yang
mencoba
menemukan
skema
TENTANG
atau
ide
dasar
pembentukan atau pembaharuan hukum.Masing-masing teori berupaya mengemukakan
argumentasi atas pendapatnya dengan menonjolkan sisi keunggulan masing-masing.
Biasanya teori yang disusun tersebut dipengaruhi oleh teori-teori lama atau bisa juga
sebagai bentuk kritik (penyempurnaan) dan dukungan terhadap teori-teori sebelumnya.
Aspek waktu, kondisi psikologis masyarakat/negara maupun tempat memiliki peran
yang signifikan bagi perumusan bentuk/materi dari teori tersebut. Sehingga sering
terjadi bahwa teori-teori itu memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing
manakala teori itu dihadapkan pada kondisi atau situasi masyarakat yang berbeda.
Teori Sociological Jurisprudence yang dikemukakan oleh Eugen Erlich misalnya,
Mulhadi: Relevansi Teori Sociological Jurisprudence dalam Upaya Pembaharuan Hukum di Indonesia, 2005
USU Repository©2006
merupakan hasil dari sintesa dari teori-teori atau pandangan-pandangan hukum yang
lahir sebelumnya seperti aliran historical maupun positivisme.
Menurut Erlich dalam bukunya yang berjudul “grundlegung der sociological
rechts” (1913), mengatakan bahwa masyarakat adalah ide umum yang dapat
digunakan untuk menandakan semua hubungan sosial, yakni keluarga, desa, lembagalembaga sosial, negara, bangsa, sistem ekonomi maupun sistem hukum dan
sebagainya. Erlich memandang semua hukum sebagai hukum sosial, tetapi dalam arti
bahwa semua hubungan hukum ditandai oleh faktor-faktor sosial ekonomis. Sistem
ekonomis yang digunakan dalam produksi, distribusi dan konsumsi bersifat menentukan
bagi pembentukan hukum. 6
Dari uraiannya mengenai timbulnya hukum kelihatan bahwa Erlich mengaku
sebagai suatu proses naturalisme belaka. Semua gejala dunia termasuk hukum didekati
seperti benda-benda alam, dan hubungan antara gejala-gejala itu dianggap bersifat
alamiah juga. Dengan demikian, hukum merupakan kenyataan saja, dengan kata lain
bahwa norma-norma hukum berasal dari kenyataan dalam masyarakat. 7 Jika demikian
menurut Erlich dapat disimpulkan bahwa hukum yang baik (ideal) adalah hukum yang
dasar
(ide)
pembentukannya
berasal
atau
sesuai
dengan
kenyataan
hukum
masyarakat. 8
Teori Erlich yang mengambil masyarakat sebagai ide dasar pembentukan
hukum tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Leon Duguit (18391928) yang mengatakan bahwa semua hukum positif berakar dalam suatu hukum
6
7
8
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta : Penerbit Kanisuius, 2001), hal. 213
Ibid.
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
2001), hal.66
Mulhadi: Relevansi Teori Sociological Jurisprudence dalam Upaya Pembaharuan Hukum di Indonesia, 2005
USU Repository©2006
fundamental masyarakat. Hukum fundamental adalah apa yang menguasai seluruh
hidup bersama. Seluruh hidup bersama pada masyarakat modern dikuasai oleh
solidaritas sosial. Maka solidaritas sosial merupakan hukum fundamental masyarakat
sekarang. 9
Namun demikian terdapat perbedaan pendapat antara Duguit dan Erlich
terutama menyangkut peran negara dalam pembentukan hukum. Jika Duguit
menyatakan bahwa tidak ada tempat bagi suatu kehendak dari seorang yang berkuasa
yang berdaulat yang dipandang satu-satunya sumber hukum positif. Kekuasaan yang
berdaulat sama sekali tidak ada. Lebih lanjut Duguit mengatakan, bahwa negara tidak
mempunyai kedudukan sendiri sebagai kolektivitas social. Jika demikian kata Duguit,
maka
negara tidak memiliki fungsi/kewenangan sebagai lembaga tertinggi yang
mengesahkan hukum, yang menetapkan (memutuskan) keberlakuan hukum yang nilainilai dasarnya berasal dari masyarakat. Akhirnya pendapat Duguit ini membawa
konsekuensi tidak danya hukum publik yang mengatur kehidupan bernegara juga
hukum privat sebagai sarana perolehan hak sipil subjektif atas barang pribadi yang
dikenal dalam konsep hukum modern saat ini.
Erlich tidak spendapat dengan mereka yang menganggap negara sebagai
alat kekuasaan yang harus dihapus atau ditiadakan. Menurut Erlich, fungsi negara yang
semula ialah menjadi alat yang wajar untuk menguasai hubungan social masyarakat
melalui paksaan, lama kelamaan negara menjadi berwibawa juga dalam bidang-bidang
lain, seperti dalam bidang pembentukan uu dan pengadilan. Sebab hubungan-
9
Theo Huijbers, Op.Cit.,hal.210
Mulhadi: Relevansi Teori Sociological Jurisprudence dalam Upaya Pembaharuan Hukum di Indonesia, 2005
USU Repository©2006
hubungan social yang bermacam-macam bidang tersebut satu sama lain hidup saling
terjalin.
Bukti adanya pengakuan atas fungsi negara dalam menetapkan dan/atau
mengesahkan aturan hukum, dapat dilihat dari pembagian norma-norma hukum yang
diajukan Erlich, yaitu rechtsnormen sebagai aturan-aturan/norma-norma hukum yang
hidup dan lahir dari kenyataan sosial masyarakat, dan entscheidungnormen sebagai
norma-norma keputusan yang tidak termasuk hukum yang hidup. Peraturan-peraturan
tersebut katanya berasal dari karya-karya ilmiah para hakim, sarjana, anggota MPR,
pegawai negara dan sebagainya. Ia mengatakan baik norma-norma hukum maupun
norma-norma keputusan dapat menjadi peraturan-peraturan hukum atas penetapan
atau pengesahan dari suatu instansi yang bernama negara.
Pandangan paling moderat dalam sociological jurisprudence adalah yang
lahir/berkembang di Amerika, dikemukakan oleh Roscoe pound (1870-1964). Ia
mengatakan bahwa hukum sebagai suatu unsur dalam hidup masyarakat harus
memajukan kepentingan umum. 10 Kalimat “hukum sebagai suatu unsur dalam hidup
masyarakat” menandakan konsistensi Pound dengan pandangan ahli sebelumnya
seperti Erlich maupun Duguit. Artinya hukum harus dilahirkan dari konstruksi hukum
masyarakat yang dilegalisasi oleh penguasa. Ia harus berasal dari konkretisasi nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat.
Kemajuan pandangan Pound dibandingkan dengan ahli-ahli sebelumnya, ia
lebih banyak menekankan arti dan fungsi pembentukan hukum. Dimana hal itu bisa
dilihat dari pernyataan di atas yaitu “bahwa hukum harus memajukan kepentingan
10
Ibid., hal. 180
Mulhadi: Relevansi Teori Sociological Jurisprudence dalam Upaya Pembaharuan Hukum di Indonesia, 2005
USU Repository©2006
umum”. Statement inilah yang kemudian dikenal dengan teorinya “law as a tool of
social engineering” (hukum sebagai alat atau sarana ekayasa/pembaharuan sosial). 11
Hukum itu ditandai olehnya sebagai suatu teknik (rekayasa) sosial (social
engineering) di dalam suatu masyarakat politik yakni negara. Tujuannya ialah untuk
sebaik-baiknya mengimbangi kebutuhan-kebutuhan sosial dan individual yang satu
dengan yang lain. Cita-cita keadilan yang hidup dalam hati rakyat dan yang ditujui oleh
pemerintah
merupakan
simbol
dari
harmonisasi
yang
tidak
memihak
antara
kepentingan-kepentingan individual yang satu terhadap yang lain. Ideal keadilan ini
didukung oleh paksaan. Paksaan disini digunakan oleh negara demi kontrol sosial yaitu
untuk menjamin keamanan sosial, dan dengan demikian memajukan kepentingan
umum sebaik-baiknya. Pentingnya peran negara dalam mewujudkan kontrol sosial
sama dengan apa yang dikemukakan Erlich, karena dalam kondisi masyarakat modern
yang ditandai beragamnya kepentingan, penguasa memegang peranan penting agar
tercipta stabilitas sosial.
Baik Erlich maupun Pound tidak setuju dengan pandangan Duguit apalagi
pandangan ahli historical yang mengatakan bahwa kewenangan itu hanya ada pada
masyarakat, dan negara tidak diperlukan campur tangannya.
Dari pandangan Pound ini dapat disimpulkan bahwa unsur normatif (ratio)
dan empiric (pengalaman) dalam suatu peraturan hukum harus ada. Kedua-duanya
adalah sama perlunya. Artinya, hukum yang pada dasarnya berasal dari gejala-gejala
atau nilai-nilai dalam masyarakat sebagai suatu pengalaman, kemudian dikonkretisasi
menjadi norma-norma hukum melalui tangan-tangan para ahli hukum sebagai hasil
Roescoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, (New Heaven : Yale University Press, 1954),
pg.47
Mulhadi: Relevansi Teori Sociological Jurisprudence dalam Upaya Pembaharuan Hukum di Indonesia, 2005
11
USU Repository©2006
kerjanya ratio, yang seterusnya di legalisasi atau diberlakukan sebagai hukum oleh
negara. Yang penting adalah bahwa cita-cita keadilan masyarakat dengan cita-cita
keadilan yang ingin dituju oleh penguasa harus selaras dan itu termanifestasikan dalam
hukum.
PEMBAHARUAN (PEMBENTUKAN) HUKUM DI INDONESIA
Erlich sebagaimana dikemukakan di atas menyatakan bahwa hukum yang
ideal adalah hukum yang sesuai dengan ide-ide hukum masyarakat; cita-cita hukum
masyarakat yang dikonkretisasi dari nilai-nilai sosial budaya masyarakat.
Atas dasar pernyataan Erlich tersebut, apakah pembaharuan (pembentukan)
hukum dalam kaitannya dengan pembangunan di Indonesia telah sejalan dan selaras
dengan nilai-nilai hukum masyarakat? Apakah masyarakat sebagai warga negara tetap
masih diberi kewenangan untuk menyatakan persetujuannya atas suatu produk hukum
yang baru dikeluarkan oleh pemerintah, sebagaimana diinginkan oleh teori perjanjian
masyarakat dari Hobbes dan Locke? Sudahkah muatan materi peraturan hukum itu
dipastikan dapat mengkompromikan konflik-konflik kepentingan di dalam masyarakat,
sehingga tidak ada satu
golongan masyarakat
pun yang merasa dirugikan
sebagaimana dicita-citakan Pound ?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan ungkapan kekhwatiran yang
senantiasa muncul di kalangan ahli-ahli hukum hingga saat ini. Jika hukum dipandang
sebagai kebudayaan yang merupakan suatu refleksi dari cara berpikir, pandangan dan
kharakter bangsa, mestinya hukum harus mengandung muatan materi tentang apa
Mulhadi: Relevansi Teori Sociological Jurisprudence dalam Upaya Pembaharuan Hukum di Indonesia, 2005
USU Repository©2006
yang menjadi harapan masyarakat tanpa mengenyampingkan soal-soal baru yang
menuntut untuk diadaptasikan demi mengisi kekosongan aturan hukum yang saat ini
(beberapa persoalan hukum) telah menjadi bagian dari kesepakatan dunia atau telah
diterima dan diaplikasikan lebih dahulu oleh negara-negara lain dalam konteks
hubungan atau kerjasama internasional.
Sampai hari ini hukum yang berlaku di negara kita sebagian masih bukan
refleksi dari cara berpikir, pandangan hidup dan kaharakter bangsa kita, yakni masih
peninggalan hukum kolonial. Pentingnya ungkapan ini karena dalam upaya menyusun
hukum nasional mau tidak mau, suka atau tidak, kita harus melihat atau bercermin
pada kebudayaan masyarakat sendiri. Seberapa pun megahnya kebudayaan orang lain,
itu tetap tidak akan sesuai dengan kondisi masyarakat kita. Apalagi di bidang hukum, ia
harus dapat menampung aspirasi masyarakat Indonesia.
12
Albert Hasibuan dalam sebuah wawancara dengan wartawan Kompas
mengatakan, “dulu orang merumuskan rule of law sukup sebagai ketaatan pada
hukum”, artinya segala sesuatu harus didasarkan pada hukum. Tetapi sebenarnya rule
of law juga mengandung makna bahwa hukum yang ditaati itu harus berisi aspirasi
masyarakat, bukan aspirasi golongan masyarakat tertentu, atau hukum itu harus benarbenar dirasakan adil oleh masyarakat.
Jika dikaitkan dengan kondisi masyarakat saat ini, apakah hukum yang
berlaku
sekarang telah berstruktur sosial Indonesia
serta adaptif dengan
situasi
globalisasi yang melingkupinya sebagaimana dimaksudkan oleh Albert. 13 Realitas yang
ada di Indonesia saat ini adalah adanya mis-sinkronisasi antara nilai-nilai dengan
12
13
O.K. Chairuddin, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 1999), hal.109
Ibid.
Mulhadi: Relevansi Teori Sociological Jurisprudence dalam Upaya Pembaharuan Hukum di Indonesia, 2005
USU Repository©2006
norma-norma hukum yang berlaku. Antara nilai-nilai dan norma-norma hukum tidak
“jumbuh”. Nilai-nilai yang ingin dimunculkan adalah nilai-nilai sosial budaya Indonesia,
tetapi norma-norma hukum yang muncul adalah norma-norma yang bernuansa Eropah
yang nota bene adalah liberal-kapitalis. Contoh faktualnya adalah Peraturan Pemerintah
Nomor 20 tahun 1994, yang memperlihatkan menguatnya konglomerasi, monopoli,
buruh yang digaji di bawah UMR dan lain-lain. 14 Ini semua adalah gambaran belum
sinkronnya antara nilai-nilai yang dikehendaki dengan norma-norma yang muncul.
Apabila
hal ini tidak disadari, maka bangsa kita akan menjadi bangsa dengan
“kepribadian terbelah”, dimana terjadi ketimpangan antara nilai-nilai yang dikehendaki
dengan struktur dan normanya. 15
Pada kesempatan yang sama Adnan Buyung mengatakan, “dalam negara
hukum yang dianut sekarang ada kecendrungan terjadinya pergeseran ke arah formal
legalitas, tanpa melihat segi substansinya”. 16
Ungkapan Buyung inilah yang dimaksudkan dengan hukum telah kehilangan
makna. Penguasa melalui aparat pembentuk hukumnya lebih mengedepankan segi
keberlakuan hukum dengan mengabaikan materi yang diatur. Penguasa sudah tidak
mau tahu apakah materi yang diatur dalam aturan hukum dimaksud sesuai dengan
aspirasi masyarakat atau tidak. Ini juga sekaligus menandakan bahwa faktor
aksesibilitas (campur tangan)
masyarakat dalam pembentukan hukum sudah tidak
dipertimbangkan, apalagi untuk menyatakan persetujuannya. Padahal secara teori
sudah diketahui bahwa aksesibilitas
masyarakat merupakan faktor yang sangat
14
Zudan Arif Fakrulloh, Membangun Hukum yang Berstruktur Sosial Indonesia dalam Kancah Trends
Globalisasi, dalam Wajah Hukum di Era Reformasi (Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun Prof. Dr.
Satjipto Rahardjo,SH) : (Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal.55
15
16
Ibid.
O.K. Chairuddin, Loc.Cit.
Mulhadi: Relevansi Teori Sociological Jurisprudence dalam Upaya Pembaharuan Hukum di Indonesia, 2005
USU Repository©2006
penting serta menentukan di dalam menilai keberhasilan sebuah usaha pembaharuan
hukum. Berkaitan dengan hal ini Romli
pernah mengatakan bahwa masalah
aksesibilitas masyarakat dalam pembangunan hukum di Indonesia sudah harus
dipertimbangkan sejak tahap penyusunan Prolegnas (Program Legislasi Nasional)
hingga ke tahap implementasi peraturan perundang-undangan dan pemberlakuannya di
tengah-tengah masyarakat. Menurutnya, ada 3 (tiga) tolok ukur etika dan moral yang
patut dijadikan pertimbangan dalam pembangunan hukum di Indonesia terutama dalam
rangka mewujudkan fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan sosial (law as atool of
social engineering), yaitu hak asasi manusia, keadilan, dan aksesibilitas masyarakat ke
dalam Prolegnas. 17
Pengabaian campur tangan masyarakat dalam pembentukan hukum dewasa
ini terlihat jelas, dimana tuntutan agar materi tertentu di masukkan atau dihapuskan
dari rancangan peraturan perundang-undangan ataupun dari peraturan perundangundangan yang sudah jadi tidak diperhatikan. Kondisi ini berimplikasi pada munculnya
demonstrasi di mana-mana sebagai wujud penolakan masyarakat yang dikomandai oleh
Mahasiswa dan LSM menentang
keangkuhan penguasa
pemberlakuan beberapa
kebijakan di bidang hukum. Contoh kecil bisa dilihat pada kasus privatisasi atau
penjualan BUMN kepada investor swasta yang jelas-jelas merugikan negara dan rakyat.
Kembali pada pernyataan dua orang tokoh hukum di atas dan kaitannya
dengan teori social engineering Pound, maka hukum seideal mungkin mewujudkan apa
yang menjadi tuntutan dan rasa keadilan masyarakat atau setidak-tidaknya antara cita17
Romli Atmasasmita, “Moral dan Etika Pembangunan Hukum Nasional : Reorientasi Politik Perundangundangan RI”, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh BPHN (Bali:
14 – 18 Juli 2003), hal.342
Mulhadi: Relevansi Teori Sociological Jurisprudence dalam Upaya Pembaharuan Hukum di Indonesia, 2005
USU Repository©2006
cita hukum masyarakat harmonis dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah,
sehingga karenanya persoalan substansi hukum perlu mendapat perhatian lebih.
Bagaimana mungkin hukum bisa difungsikan sebagai sarana pembaharuan sosial yang
intinya merobah watak dan perilaku masyarakat jika materinya bertolak belakang
dengan cita-cita hukum masyarakat itu sendiri.
Di Indonesia, pembaharuan (pembentukan) hukum itu memang lebih
menampakkan wujudnya dalam bentuk undang-undang. Walaupun bentuk-bentuk lain
juga tidak semestinya diabaikan, seperti putusan pengadilan (yurisprudensi) yang
menjadi konsepsi hukum utama yang berlaku di negara-negara Anglo Saxon seperti
Amerika.
Namun yang pasti, pengembangan konsepsionil daripada hukum sebagai
sarana pembaharuan sosial di Indonesia lebih luas jangkauan dan ruang lingkupnya
daripada di tempat kelahirannya sendiri (Amerika), karena beberapa hal:
1. Lebih menonjolnya perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum di
Indonesia, walaupun yurisprudensi juga memegang peranan, berlainan dengan
di Amerika Serikat dimana teori Pound itu ditujukan terutama pada peranan
pembaharuan yang diharapkan dari keputusan-keputusan pengadilan,
khususnya keputusan Supreme Court sebagai mahkamah tertinggi.
2. Sikap yang menunjukkan kepekaan terhadap kenyataan masyarakat menolak
aplikasi “mechanistis” dari konsepsi “law as a tool of social engineering”.
Aplikasi mekanistis demikian yang digambarkan dengan kata “tool” akan
mengakibatkan hasil yang tidak banyak berbeda dengan penerapan “legisme”
yang dalam sejarah hukum di Indonesia (Hindia Belanda) telah ditentang
dengan keras.
Dalam penegembangannya di Indonesia, maka konsepsi
(teoritis) hukum sebagai alat/sarana pembaharuan ini dipengaruhi pula oleh
pendekatan-pendekatan filsafat budaya dari Northrop dan pendekatan “policyoriented” dari Laswell dan Mc.Dougal. 18
18
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Putra Bardin,
1976), hal. 9
Mulhadi: Relevansi Teori Sociological Jurisprudence dalam Upaya Pembaharuan Hukum di Indonesia, 2005
USU Repository©2006
Jika persoalan-persoalan dalam rangka pembaharuan hukum tidak diatasi,
mustahil hukum sebagai sarana yang berfungsi mengkompromikan konflik-konflik sosial
masyarakat sebagaimana dikehendaki Pound akan terwujud. Padahal ke depan
menurut Pound, hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat kontrol semata melainkan
lebih dari itu berfungsi membawa atau menggerakkan masyarakat ke suasanan yang
lebih baik. Hal ini bisa dipahami dari pernyataannya yang mengatakan bahwa tugas
pokok pemikiran modern mengenai hukum adalah tugas rekayasa sosial, 19 yakni to
construct as efficient a society as possible, one which ensures the satisfaction of the
maximum of interests with minimal friction and waste
of resources (menata
masyarakat secara efisien dan baik, dimana kepada setiap warga masyarakat dijamin
pemuasan
maksimum
dari
setiap
kepentingan-kepentingannya
dengan
friksi
(pertentangan) dan pemborosan sumber daya seminimal mungkin). 20
KESIMPULAN
Pembaharuan hukum di Indonesia utamanya ditujukan untuk mewujudkan
tatanan sosial yang adil-sejahtera, tentram dan damai serta membawa perubahanperubahan yang baik pada struktur kehidupan. Tetapi disisi lain, pembaharuan hukum
ini juga menjadi pendorong bagi lancarnya proses pembangunan. Oleh karena itu,
kelemahan-kelemahan yang ada dalam proses pembaharuan hukum selama ini mesti
ditanggulangi. Hal ini guna menciptakan suatu tatanan hukum nasional yang ideal,
selaras
antara
19
kepentingan-kepentingan
masyarakat
dengan
tujuan-tujuan
W.Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum (Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan), (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1994), hal.141
20
Raymond Wacks, Jurisprudence, (Great Britain – London: Blackstone Press Limited 1995), pg.155.
Bandingkan dengan Sir Carleton Kemp Allen, Law in The Making, 6th Edition (Oxford: The Clarendon Press,
1958), pg. 36
Mulhadi: Relevansi Teori Sociological Jurisprudence dalam Upaya Pembaharuan Hukum di Indonesia, 2005
USU Repository©2006
pembangunan nasional yang diidamkan, dan lebih penting lagi memiliki dampak
internasional. Jika tidak, maka ketertinggalan Indonesia dalam kompetisi global dengan
segala macam perangkat hukumnya akan terlihat.
Dengan demikian, jalannya pembaharuan hukum dalam kaitannya dengan
pembangunan di Indonesia boleh jadi belum relevan sebagaimana dikehendaki dalam
konsep sociological jurisprudence.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, Sir Carleton Kemp, Law in The Making, 6th Edition (Oxford : The Clarendon Press,
1958)
Atmasasmita, Romli, “Moral dan Etika Pembangunan Hukum Nasional : Reorientasi Politik
Perundang-undangan RI”, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional
VIII yang diselenggarakan oleh BPHN (Bali: 14 – 18 Juli 2003)
Chairuddin, O.K., Sosiologi Hukum, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 1999)
Fakrulloh, Zudan Arif, Membangun Hukum yang Berstruktur Sosial Indonesia dalam Kancah
Trends Globalisasi, dalam Wajah Hukum di Era Reformasi (Kumpulan Karya
Ilmiah Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,SH), (Jakarta: PT.
Citra Aditya Bakti, 2000)
Friedman, Lawrence M., American Law, (New York: W.W. Norton & Company, 1930)
Friedmann, W., Teori dan Filsafat Hukum (Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan),
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994)
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta : Penerbit Kanisuius,
2001)
Kusumaatmadja,Mochtar, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional,
(Bandung: Bina Cipta, 1986)
___________________ Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung:
Putra Bardin, 1976)
Nusantara, Abdul Hakim dan Nasroen Yasabari, Pembangunan Hukum: Sebuah Orientasi
(Pengantar Editor) dalam Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di
Idonesia, Abdul Hakim Nusantara dan Nasroen Yasabari (Eds.) (Bandung :
Penerbit Alumni, 1980)
Pound, Roescoe, An Introduction to the Philosophy of Law, (New Heaven : Yale University
Press, 1954)
Mulhadi: Relevansi Teori Sociological Jurisprudence dalam Upaya Pembaharuan Hukum di Indonesia, 2005
USU Repository©2006
Rasjidi, Lili dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: Penerbit PT.
Citra Aditya Bakti, 2001)
Suparni, Niniek, Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta:
Sinar Grafika, 1992)
Wacks, Raymond, Jurisprudence, (Great Britain – London: Blackstone Press Limited 1995),
Mulhadi: Relevansi Teori Sociological Jurisprudence dalam Upaya Pembaharuan Hukum di Indonesia, 2005
USU Repository©2006
Download