MAKALAH Stimulus Kebijakan Moneter dan Makroprudensial Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia Disusun oleh: Santi Rizkiyanti 120810101013 JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS JEMBER 2015 MAKALAH diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Moenter II, Fakultas Ekonomi, Universitas Jember Disusun oleh: Santi Rizkiyanti 120810101013 JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS JEMBER 2015 i PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat meyelesaikan makalah yang berjudul “Stimulus Kebijakan Moneter Dan Makroprudensial Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Moneter II, Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. Krisis finansial yang pernah meruntuhkan perekonomian Amerika Serikat (krisis subprime mortgage) merupakan sebuah gambaran maze ekonomi yang cukup rumit, dimana pemerintah ataupun otoritas moneter telah menerapkan berbagai kebijakan moneter, namun masih belum mampu mengangkat perekonomian Negeri Paman Sam tersebut dari krisis. Hal ini menunjukkan bahwa permainan maze dalam ekonomi sangat menakjubkan dan menantang (sukar) bahkan bagi negara-negara adidaya seperti AS. Perekonomian pada dasarnya tidak mudah untuk diekspektasi bahkan oleh para ahli. Hal ini dikarenakan sifat ekonomi yang dinamis dan selalu menghadirkan permasalan baru. Kebijakan-kebijakan yang hadir dalam perekonomian bukan sebuah jalan akhir, namun kebijakan tersebut adalah sebuah media dalam proses mencari jalan keluar dari maze ekonomi. Hal ini sejalan dengan pemikiran Francis Bacon Sr (1561-1626) seorang filsuf Inggris, “Alam adalah labirin. Apabila (dalam hidup) kamu terlalu tergesa-gesa mencari jalan, malah akan tersesat”. Hal tersebut menunjukkan bahwa krisis yang cenderung bersifat berulang-ulang, mengharuskan pemangku kebijakan untuk terus memutar otak dalam mencari strategi dalam membuat kebijakan dan membangun stabilitas sistem yang mampu mengendalikan krisis (bukan untuk menghilangkannya). Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membuat makalah ini, guna mengurai masalah tetang dinamika ekonomi yang rumit tersebut. Secara garis besar makalah ini memuat tentang pengertian, fungsi dan tujuan dari kebijakan makroprudensial, menganalisis efisiensi kebijakan tersebut berdasarkan data dari beberapa negara yang telah menerapkan kebijakan makroprudensial. ii Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang berperan dalam penyusunan makalah ini. Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi kesempuranaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk pembaca. Jember, 19 Mei 2015 Penulis, iii DAFTAR ISI Halaman Halaman Sampul ............................................................................................. i Prakata .............................................................................................................. ii Daftar Isi .......................................................................................................... iv Bab I Pendahuluan .......................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ............................................................................ 4 1.3 Tujuan ................................................................................................. 4 1.4 Landasan Teori dan Penelitian Sebelumnya ....................................... 5 Bab II Pembahasan .......................................................................................... 8 2.1 Stabilitas Sistem Keuangan ................................................................. 8 2.2 Peranan Lembaga Keuangan Termasuk Otoritas Moneter .................. 13 2.2.1 Financial Intermediaries ............................................................. 13 2.2.2 Otoritas Moneter ........................................................................ 18 2.2.3 Pemerintah dan Fiskal ................................................................ 25 2.3 Teori Regulasi Keuangan .................................................................... 28 2.4 Kebijakan Makroprudensial dan Perkembangannya ............................ 31 Bab III Penutup ............................................................................................... 34 3.1 Kesimpulan ......................................................................................... 34 3.2 Saran .................................................................................................... 35 Daftar Pustaka ................................................................................................. 36 iv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Krisis ekonomi yang sempat mengganggu kestabilan perekonomian beberapa negara, masih menjadi bayang-bayang ketakutan sebagian negara. Perilaku pelaku ekonomi sangat mempengaruhi mekanisme perekonomian suatu negara, khususnya dalam kegiatan perdagangan dan pada sektor keuangan. Ketidakpastian kondisi ekonomi lokal dan global dapat menciptakan moral hazard, dan diperkirakan pelaku ekonomi akan melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat merugikan dan memperburuk kondisi perekonomian negara. Subprime mortgage merupakan salah satu bukti empiris yang menggambarkan bahwa kepercayaan dan rasa nasionalisme memegang kunci penting terhadap keberlangsungan suatu perekonomian. Krisis 2008 yang berawal dari kebijakan bank sentral Amerika Serikat dalam upaya mendorong konsumsi dan perekonomian domestik, yakni dengan menurunkan suku bunga acuan. Pada kenyataannya hal tersebut membuat perbankan di AS terlalu agresif dalam menerima seluruh permohonan kredit (khususnya kredit perumahan atau KPR), tanpa melihat dan mengukur kemampuan atau kelayakn dari pemohon KPR. Permasalahan tersebut pada akhirnya bermuara pada kredit macet, karena The Fed menaikkan suku bunga sedangkan warga AS melakukan spekulasi dengan menjual rumah kreditnya, sehingga permasalahan tersebut menjalar ke sektor rill dan menjadi krisis ekonomi. Gelembung ekonomi yang berasal dari kebijakan pemerintah dan perilaku spekulan, memberikan dukungan terhadap pecahnya gelembung tersebut sebagai krisis. Ketidakstabilan pasar keuangan di AS kian menjalar dan menciptakan gejolak yang lebih luas seperti di kawasan Eropa, Islandia, dan Asia. (Mishkin: 2012) menyatakan bahwa pasar dan lembaga keuangan tidak hanya mempengaruhi kehidupan individu, tetapi juga berpengaruh terhadap aliran dana dan perekonomian secara keseluruhan, baik perekonomian dalam negeri maupun luar negeri. Pasar keuangan memiliki peranan penting dalam mendorong lalu lintas atau aliran dana di masyarakat. Gangguan dalam pasar keuangan 1 mengindikasikan bahwa perekonomian cenderung rentan terhadap terjadinya krisis ekonomi. Salah satu kunci penting penyebab runtuhnya perekonomian AS dan sistem keuangan global pada umumnya adalah terjadinya ketidakseimbangan global (global imbalances) yang berimplikasi cukup kompleks. Menurut Hyman Minsky, stabilitas finansial itu sendiri sebagai pencipta kepastian dan kepercayaan investor yang pada gilirannya akan mendorong spekulasi yang berisiko atau risk-taking behavior (Prasetyantoko: 2010). Pada dasarnya krisis finansial dan ekonomi memiliki sifat recurrent (berulang-ulang), artinya gangguan kecil yang didukung oleh kepanikan yang berlebihan oleh pasar dapat menciptakan krisis baru dan seterusnya. Oleh karena itu, pemerintah atau otoritas moneter memerlukan penguatan stimulus kebijakan dalam menstabilkan sistem keuangan domestik maupun secara keselurah (global). Stabilitas ekonomi dan finansial merupakan main goal yang selalu ingin dicapai setiap negara di dunia. Untuk mencapai perekonomian mungkin dapat dilakukan dengan berbagai berbagai cara, namun hal tersulit adalah mempertahankannya. Sehingga, dewasa ini pemerintah tiap negara tengah berusaha untuk membangun stabilitas dalam menekan (mitigasi) risiko yang dapat berdampak sistemik. perekonomian kerap menyajikan masalah-masalah yang sukar di pahami dan di alami, namun disisi lain setiap masalah yang muncul selalu memiliki keunikan dari masalah-masalah sebelumnya. Hal inilah yang menyebabkan berbagai jenis penelitian dikerahkan guna menjawab berbagai dinamika masalah ekonomi tersebut. Pelaku-pelaku ekonomi di pasar turut berkontribusi dalam mempengaruhi iklim suatu perekonomian, baik domestik maupun global. Dimana, pasar memiliki pengaruh yang cukup signifikan bagi stabilitas ekonomi, maupun terhadap efisiensi kebijakan. Permasalahan dalam perekonomian modern saat ini cenderung mengarah pada kepanikan pasar, karena pelaku ekonomi mudah terserah oleh rumor-rumor dalam perekonomian yang mampu menciptakan moral hazard. Hasil dari kepanikan pasar telah digambarkan pada berbagai krisis dunia seperti subprime mortgage, krisis Yunani, Islandia, hingga perekonomian dalam negari yang terguncang krisis di tahun 1997/1998. 2 Umumnya, masyarakat atau pasar akan mulai menunjukkan kepanikan dengan cara ambil untung (spekulasi), sehingga hal ini akan memperburuk dan kian memompa gelembung-gelembung ekonomi yang akhirnya pecah dalam bentuk krisis. Beban yang dihadapi para pemangku kebijakan tidak hanya masalah regulasi terhadap makroekonomi, namun juga harus mulai berfokus menciptakan kridibilitas untuk pasar. Karena, pasar cenderung membutuhkan informasi yang cukup meyakinkan mengenai iklim perekonomian. Dinamika ekonomi domestik dan global mirip dengan maze (labirin) ekonomi, dimana kita memiliki banyak jalan untuk mencapai tujuan yakni stabilitas di sektor keuangan dan riil, dan kesejahteraan. Namun, pada umumnya dalam maze memiliki sejumlah jalan buntu. Hal tersebut difilosofikan sebagai hambatan ketidakseimbangan perekonomian, yang digambarkan dengan tidak efisien atau tidak bekerjanya suatu kebijakan, karena pasar telah mengalami titik kelesuan. Hal yang wajar terjadi di dalam permainan maze pada umumnya adalah kita sering pergi dan sampai pada tempat yang sama (berulang), sehingga krisis ekonomi juga memiliki sifat tersebut yakni recurrence atau berulang-ulang, dimana krisis tidak dapat dihilangkan atau dihindari namun hanya mampu diredam atau dijinakkan. Makroprudensial merupakan kebijakan yang akhir-akhir ini mendapat sorotan dari seluruh otoritas moneter di dunia, termasuk Indonesia. Makroprudensial memiliki peranan dalam membangun stabilitas sistem keuangan suatu negara. Menurut Janet Yellen (Gubernur Federal Reserve) dan Christine Legarde (Direktur IMF) dalam acara “Michel Camdessus Central Banking Lecture on Financial Stability”, bahwa risiko stabilitas sistem keuangan akibat kekhawatiran terjadinya bubble yang berasal dari kebijakan Quantitative Easy (QE) dapat diatasi melalui kebijkaan makroprudensial. Makro-prudential regulation (MPR) merupakan kata kunci baru dalam dunia reformasi regulasi, dengan tujuan untuk mengurangi risiko dalam sistem keuangan secara keseluruhan (Gerard Lyopns: 2011). Sedangkan Bank Indonesia mendefinisikan sebagai kebijakan utama yang ditetapkan dan dilaksanakan untuk mencegah dan mengurangi risiko sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang seimbang bagi sektor perekonomian, serta meningkatkan akses dan efisiensi sistem keuangan 3 dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan serta mendukung stabilitas moneter dan stabilitas sistem pembayaran. Beberapa negara di dunia telah menerapkan kebijakan makroprudensial untuk membangun stabilitas keuangannya, seperti New Zealand. Untuk memperoleh kebijakan yang efisien adalah dengan melakukan koordinasi kebijakan (termasuk koordinasi internasional), dan melakukan combine atau mengkombinasikan berbagai kebijakan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kematangan strategi dan menejemen risiko juga dibutuhkan guna memitigasi risiko kepanikan dan sebagainya dalam maze ekonomi. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan mengurai sedemikian rupa mengenai stabilitas sistem keuangan, peranan lembaga intermediasi dalam menjaga stabilitas ekonomi, serta menjelaskan mengenai teoritikal regulasi keuangan dan perkembangan atau dinamika ekonomi dan kebijakan makroprudensial dalam dunia keuangan, baik domestik maupun global. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan permasalah sebagai berikut: 1. Apa arti, fungsi dan tujuan stabilitas sistem keuangan di suatu negara? 2. Bagaimana peranan otoritas moneter dan pemerintah dalam stabilitas sistem keuangan di Indonesia? 3. Apakah teori mengenai regulasi keuangan? 4. Apakah yang dimaksud dengan kebijakan makroprudensial dan moneter? Dan bagaimana perkembangan kebijakan makroprudensial dalam dunia keuangan? 1.3 Tujuan Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka diketahui tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui arti, fungsi dan tujuan stabilitas sistem keuangan di suatu negara. 4 2. Menganalisis bagaimana peranan otoritas moneter dan pemerintah dalam stabilitas sistem keuangan di Indonesia. 3. Mengetahui teori mengenai regulasi keuangan. 4. Menganalisis kebijakan makroprudensial dan moneter termasuk perkembangannya dalam dunia keuangan. 1.4 Penelitian Sebelumnya 1. A Model of Shadow Banking oleh Nicola Gennaioli, Andrei Shleifer, dan Robbert W. Vishny yang menggunakan modal shadow banking (bank bayangan) dimana bank dan pinjaman perdagangan disatukan dalam portofolio yang diversifikasi dan membiayai portofolio tersebut dengan utang tanpa risiko. Jadi, dalam model tersebut menggambarkan sekuritas tanpa transfer risiko di luar bank inti. Model yang digunakan adalah GVS yakni model yang dikembangkan oleh Gennaioli, Shleifer, dan Vishny (2012) yang berpendapat bahwa pengabaian risiko penting untuk memahami aspek krisis. GSV menunjukkan bahwa dengan risiko yang diabaikan maka produk keuangan baru menjadi pengganti palsu dari obligasi yang benar-benar aman, dan sebagai akibatnya dapat mengurangi tingkat kesejahteraan. Dapat disimpulkan bahwa shadow banking merupakan ancaman yang cukup besar bagi dunia perbankan dan dapat berpotensi mengganggu stablitias keuangan nasional. Oleh karena itu, perlu adanya regulator yang mengawasi terhadap kegiatan inovasi keuangan seperti reksa dana yang menawarkan keuntungan di atas rata-rata (memiliki risiko). Model GVS menunjukkan bahwa lebih baik mengendalikan bank secara keseluruhan, daripada mengandalkan kebutuhan modal yang berisiko. 2. Macroprudential Policy in a Fisherian Model of Financial Innovation oleh Javier Bianchi, Emine Boz, dan Enrique Gabriel Mendoza. Jurnal tersebut mengembangkan sebuah kerangka kerja ekuilibrium umum kualitatif yang mendorong mekanisme keuangan untu mempelajari efek dari kebijakan makroprudensial. Analisis kuantitatif menunjukkan bahwa efektivitas kebijakan makroprudensial tergantung pada informasi pemerintah dunia, ketatnya kendala kredit, kecepatan pada inovasi keuangan. Hasil dari jurnal menunjukkan bahwa pentingnya mempertimbangkan informasi dalam pembuatan kebijakan 5 makroprudensial. Jika regulator beroperasi dengan informasi yang minim maka dampak dari kebijakan tersebut tidak akan terasa atau kurang efektif. Dengan melihat penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan kebijakan makroprudensial memiliki potensi yang baik dalam menghadapi boom-bust cycle. 3. The effect of macroprudential policy on endogenous credit cycles oleh Daragh Clancy and Rossana Merola, sektor keuangan merupakan pemain kunci dari timbulnya sebuah krisis. ketidakseimbangan antara sektor finansial dan sektor riil ekonomi dapat menjadi ketakutan dan meluas pada penurunan perekonomian. Dalam jurnal ini memfokuskan pada makro finansial yakni pasar properti yang cenderung berfluktuatif dan menciptakan gelembung yang sering disebut dengan property bubble. Model yang digunakan dalam jurnal ini adalah DSGE, hasil dari penelitian menunjukkan bahwa kebijakan makroprudensial dapat mengendalikan risiko kredit tersebut. 4. Monitoring shadow banking and its challenges: the Malaysian experience, oleh Muhamad Amar Mohd Farid, menjelaskan bahwa karekteristik dan ukuran kegiatan kredit yang dilakukan oleh lembaga intermediasi non-bank dalam sistem keuangan di Malaysia dan menguraikan pendekatan yang dilakukan dalam memantau perkembangan dan menilai potensi penularan risiko dalam sistem keuangan. Jurnal ini juga menggambarkan tantangan yang dihadapi dalam mengidentifikasi dan memahami sistem shadow banking. Jenis metodologi yang digunakan dalam jurnal adalah OLS, yang menunjukkan bahwa perumbuhan nominal PDB menjelaskan penyaluran pembiayaan ke sektor rumah tangga oleh lembaga keuangan non-bank. Sementara, koefisien pada laju pertumbuhan pembiayaan bahwa ada kemungkinan bagi penyedia kredit non-bank untuk mengambil pangsa pasar bank dalam pembiayaan untuk rumah tangga, meski tidak terjadi secara langsung. 5. Sejumlah inisiatif untuk meningkatkan pengawasan pada sistem yang dilakukan oleh badan peraturan internasional. Malaysia melalui bank sentral telah memulai beberapa langkah-langkah untuk meningkatkan pengawasan terhadap sistem shadow banking domestik. Lembaga Keuangan Non-Bank (LKNB) yang secara sistemik penting dalam sistem keuangan diwajibkan untuk menyerahkan dan melaporkan data granulat secara periodik (triwulan) untuk tujuan penilaian 6 risiko. Pengalaman di Malaysia telah menunjukkan bahwa kurangnya data granular menghambat inisiatif bank sentral dalam mengembangkan lebih keuat kerangka pengawasannya 7 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Stabilitas Sistem Keuangan Kondisi perekonomian nasional maupun global (termasuk iklim pasar dan lembaga keuangan) akan mencerminkan stabilitas dari sistem keuangan suatu negara. Keseimbangan dalam keuangan memiliki peranan yang penting bagi kelangsungan suatu perekonomian negara. Ketidakseimbangan dalam sistem keuangan telah ditunjukkan oleh runtuhnya perekonomian raksasa Negeri Paman Sam di tahun 2007/2008, sehingga stabilisasi atau keseimbangan selalu menjadi tujuan dari seluruh arah kebijakan baik moneter maupun fiskal. Menurut Bank Indonesia, Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) sebenarnya belum memiliki definisi baku yang telah diterima secara internasional. Oleh karena itu, muncul beberapa definisi mengenai SSK yang pada intinya mengatakan bahwa suatu sistem keuangan memasuki tahap tidak stabil pada saat sistem tersebut telah membahayakan dan menghambat kegiatan ekonomi. Sedangkan, Bank Central of Sri Lanka mendifinisakan stabilitas sistem keuangan sebagai ketahanan sistem keuangan pada guncangan internal dan eksternal, baik ekonomi, keuangan, politik atau yang lainnya. Hal ini juga dapat digambarkan sebagai tidak adanya gangguan dari biaya ekonomi makro dalam pertukaran keuangan antara rumah tangga, bisnis, dan lembaga keuangan. Tujuan dari stabilitas sistem keuangan pada dasarnya jauh daripada tujuan dalam pengawasa sektor keuangan. Rose, PS (Dalam Sawaldjo: 2004) menyatakan pentingnya sistem keuangan dalam kehidupan masyarakat dapat dilakukan dengan meyorotinya dari berbagai fungsi dasar dalam perekonomian modern, yaitu: 1. Fungsi Tabungan, dana yang berasal dari masyarakat akan dialirkan melalui pasar keuangan menjadi investasi sehingga lebih banyak barang dan jasa dapat di produksi di masa depan, dan pada gilirannya akan meningkatkan standar hidup masyarakat. 2. Fungsi penyimpanan kekayaan, Intrumen keuangan yang diperjualbelikan dalam pasar uang dan pasar modal menyediakan suatu cara yang terbaik 8 untuk menyimpan kekayaan (yaitu menahan nilai aset yang dimilik) sampai dana tersebut dibutuhkan untuk dibelanjakan. 3. Fungsi likuiditas, Kekayaan yang disimpan dalam bentuk instrumen keuangan dapat dengan mudah dicairkan melalui mekanisme pasar keuangan. Obligasi atau saham dan instrumen keuangan lainnya menjajikan keuantungan dengan risiko yang relative kecil. Pasar uang dan pasar modal menyediakan suatu cara untuk mengkonversi instrumen-instrumen tersebut menjadi uang tunai. Lembaga keuangan depositori menyediakan berbagai alternative instrumen simpanan yang memiliki likuiditas yang tinggi. 4. Fungsi kredit, Pasar keuangan menyediakan kredit untuk membiayai kebutuhan konsumsi dan investasi dalam ekonomi. Kredit merupakan pinjaman yang disertai dengan janji untuk membayar kembali di masa yang akan dating. Konsumen membutuhkan kredit untuk membeli barang-barang misalnya rumah, mobil dsb. Sedangkan pengusaha menggunakan fasilitas kredit (credit line) untuk membeli barang untuk tujuan produksi, membangun gedung, membeli mesin, membayar gaji atau membayar dividen kepada pemegang saham dsb. 5. Fungsi pembayaran, Sistem keuangan menyediakan mekanisme pembayaran atas transaksi barang dan jasa-jasa. Instrumen pembayaran yang tersedia antara lain cek, giro bilyet, kartu kredit, termasuk mekanisme kliring dalam perbankan. 6. Fungsi risiko, Pasar keuangan menawarkan kepada unit usaha dan konsumen proteksi terhadap jiwa, kesehatan dan risiko pendapatan atau kerugian. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menjual berbagai polis asuransi. 7. Fungsi kebijakan, Pasar keuangan telah telah menjadi instrumen pokok yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk melakukan kebijakan guna menstabilkan ekonomi dan mempengaruhi inflasi melalui kebijakan moneter. Stabilitas sistem keuangan dalam perspektif mikro ekonomi memeriksa setiap kinerja lembaga keuangan dan kesehatan untuk melindungi kepentingan deposan dan untuk mempromosikan kesehatan lembaga keuangan. Dalam 9 persepktif makro ekonomi memeriksa fungsi keseluruhan dan stabilitas sistem keuangan termasuk sistem kliring, Payment and Settlement System (PSS) serta pertukaran dan sekuritas dan sebagainya. Lingkungan atau kondisi ekonomi makro, baik internasional dan domestik mampu mempengaruhi lembaga keuangan dan pelaku ekonomi serta sistem keuangan secara keseluruhan, sehingga setiap instrumen dalam perekonomian saling mempengaruhi dan kinerjanya akan mencerminkan bagaimana kondisi dari stabilitas sistem keuangan (Figur 2.1). Stabilitas sistem keuangan karena beberapa hal, tergantung oleh beberapa faktor yang saling bergantung dan saling berhubungan, yakni: a. Lingkungan ekonomi makro yang stabil, b. Peraturan dan kinerja dari lembaga keuangan, c. Pasar keuangan yang efisien, d. Pengawasan, dan e. Pembayaran yang aman dan dapat diandalkan serta settlement system. Figur 2.1 Komponen Sistem Keuangan (Components of the Financial System) Negara-negara berkembang menghadapi tantangan tambahan karena kondisi sistem keuangan yang cenderung tertinggal (terbelakang) dan kerentanan terhadap arus modal internasional yang mudah menguap, terutama “sudden stops” atau modal yang tiba-tiba terhenti mengalir pada sektor-sektor perekonomian di negara tersebut (Masahiro dan Peter: 2012). Capital inflow merupakan sebuah suntikan 10 dana yang sangat berperan dalam menggerakkan roda perekonomian negara khususnya negara berkembang, sehingga gangguan pada capital baik inflow maupun outflow dapat mempengaruhi arus modal di suatu negara dan pada akhrinya berpengaruh pada stabilitas keuangan. European Central Bank atau ECB (Dalam Masahiro dan Peter: 2012) mendifinisikan tiga kondisi tertentu yang terkain dengan stabilitas keuangan: 1. Sistem keuangan harus dapat secara efisien dan lancar mentransfer sumber modal atau dana dari penabung kepada investor. 2. Risiko keuangan harus dinilai, ditentukan, dijaga, dan dikelola secara baik. 3. Sistem keuangan harus dalam kondisi sedemikian rupa sehingga dapat menyerap gejolak keuangan dan ekonomi riil. Ketiga kondisi stabilitas sistem keuangan di atas menunjukkan bahwa perlu adanya regulasi ulang untuk membangun sistem keuangan yang lebih kuat dan efisien. Dikarenakan pada kenyataannya setiap waktu, perekonomian akan dihadapkan pada permasalahan ekonomi baru yang tidak mudah untuk diekspektasikan. Hal tersebut sejalan dengan pandangan Hyman Minsky, bahwa krisis ekonomi dan finansial memiliki sifat recurrent atau berulang-ulang, artinya krisis yang pernah terjadi sebelumnya memiliki potensi untuk terjadi di masa yang akan datang dengan penyebab yang beragam. Menurut Prasetyantoko (2010) pada intinya, setiap krisis memiliki tingkat kerumitannya sendiri yang unik, tetapi bisa jadi mengandung persoalan mendasar yang polanya lebih kurang sama dengan krisis yang lain pada umumnya. Keseimbangan terjadi apabila antara sektor riil dan sektor finansial memiliki porsi yang optimal, artinya tidak terjadi ketimpangan dari salah satu sektor penting tersebut. Krisis subprime mortgage AS dilatar belakangi oleh ketidakseimbangan pada sektor ekonomi, dimana sektor finansial relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sektor riil. Hal tersebut membuat sektor riil sempat berhenti dan menyebabkan perekonomian AS kurang mampu bersaing dengan perekonomian negara lain. Krisis tersebut dapat menjadi pelajaran bagi seluruh negara dalam membuat kebijakan untuk menjaga stabilitas keuangan dan menjaga pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. 11 Kestabilan sistem keuangan Indonesia dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi di pasar keuangan global dan domestik. Gejolak pasar keuangan global yang terjadi pada triwulan IV 2008 hingga triwulan I 2009 memengaruhi kinerja pasar keuangan Indonesia. Gejolak perekonomian global tersebut lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor di sektor keuangan daripada karena ketidakseimbangan internal dan eksternal di perekonomian makro Indonesia. Risiko antar bank meningkat, likuiditas mengetat, pertumbuhan kredit turun drastis dari 38 persen di akhir triwulan III-2008 menjadi 10 persen di akhir tahun 2009 (Juda: 2010). Permasalahan likuiditas cukup berpengaruh terhadap perilaku bank, yaitu bank yang semula cukup agresif dalam melakukan ekspansi kredit pada tahun 2008 menjadi lebih berhati-hati. Sikap kehati-hatian bank dan kekhawatiran terjadinya peningkatan kredit bermasalah NPL mendorong bank untuk menempatkan dananya pada SBI dan FASBI (Figur 2.2). Menurut Bank Indonesia, paska krisis 2008 ketahanan perbankan Indonesia secara umum membaik, didukung oleh permodalan yang cenderung tumbuh meningkat (Figur 2.3). Figur 2.2 Porsi Kredit dan SBI plus FASBI terhadap Aktiva Produktif Bank 12 Figur 2.3 Perkembangan CAR Perbankan Indonesia Sumber: Bank Indonesia 2.2 Peranan Lembaga Keuangan Termasuk Otoritas Moneter 2.3.1 Financial Intermediaries Pasar keuangan merupakan wadah atau media bertemunya antara borrower (peminjam) dan saver (penabung) untuk melakukan transaksi keuangan ataupun kegiatan pembiayaan dan lain-lain. Sebuah pasar keuangan akan terdapat sebuah sistem yang melekat di dalamnya, yakni sistem finansial. Menurut Herman (2006) mendefinisikan sistem finansial sebagai sebuah sistem yang menggerakkan dana dari penabung (unit masyarakat yang surplus) ke pihak yang memerlukan dana (unit yang defisit) untuk keperluan konsumsi dan investasi di bidang yang produktif. Dengan terlaksananya investasi akan menyebabkan perekonomian tumbuh yang pada gilirannya akan meningkatkan standar hidup (kemakmuran) penduduk. Perekonomian global juga memiliki sistem yang mengatur keuangan secara global, dimana sistem keuangan tersebut terdiri dari institusi dan regulator yang bertindak pada tingkat internasional. Berdasarkan definisi sebelumnya, dapat digambarkan bahwa pasar dan sistem keuangan sangat penting dalam perekonomian, sehingga untuk memperlancar jalannya kegiatan keuangan di pasar 13 keuangan maka dibutuhkan sebuah lembaga perantara (financial intermediaries). Menurut ECB sistem keuangan terdiri dari: 1. Pasar keuangan (seperti pasar uang dan pasar modal) yang menyalurkan dana berlebih dari pemberi pinjaman (yakni bisnis atau individu yang ingin menginvestasikan uangnya) untuk peminjam (yaitu orang-orang yang membutuhkan modal); 2. Perantara keuangan (seperti bank dan perusahaan asuransi), yang secara tidak langsung membawa pemberi pinjaman dan peminjam bersa,a-sama (meskipun peminjam juga dapat memperoleh dana secara langsung dari pasar keuangan dengan menerbitkan surat berharga, misalnya saham atau obligasi; 3. Infrastruktur keuangan, yang memungkinkan transfer pembayaran dan perdagangan, kliring dan penyelesaian surat berharga. Di dalam sistem keuangan global telah terdapat lembaga yang berperan sebagai pelaku utama dalam menjaga dan mengatur sistem keuangan global yakni International Monetary Fund (IMF), Bank of International Settlement, lembaga global dan departemen pemerintahan, seperti bank sentral dan kementerian keuangan; institusi swasta yang beroperasi di tingkat global, misalnya bank dan dana lindung nilai; dan institusi regional, seperti Zona Euro. Lebih dari peranannya dalam menjaga dan mengatur sistem keuangan global, lembaga keuangan internasional (misalnya IMF) juga berperan dalam membantu menyalurkan dana (boilout) kepada beberapa negara anggota yang tengah menghadapi kesulitan (khususnya negara berkembang) dengan menetapkan beberapa persyaratan. Sebagian besar negara berkembang masih bergantung pada dana tersebut guna membiayai kegiatan ekonominya, termasuk yang dilakukan Indonesia. Dalam sistem keuangan domestik, pemain utamanya yakni pemerintah pusat dan pemerintah daerah; supranasional (bank dunia); dan perusahaan finansial (lembaga finansial). Lembaga finansial merupakan perusahaan yang bisnisnya berkenaan dengan salah satu atau kedua dari kegiatan berikut: 1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam berbagai bentuk dan cara. 2. Meminjamkan dana kepada masyarakat dalam berbagai bentuk dan cara. 14 Berdasarkan kategorinya, lembaga perantara keuangan dibagi menjadi: 1. Bank yang meliputi bank konvensional, BPR, dan lembaga simpan pinjam. 2. Lembaga finansial yang bersifat kontrak yang meliputi perusahaan asuransi dan perusahaan dana pensiun. 3. Perantara investasi yang meliputi perusahaan pembiayaan dan perusahaan reksadana (Herman: 2006). Selain lembaga-lembaga tersebut, pada kenyataannya masih terdapat sejumlah lembaga keuangan yang berperan dalam pasar dan sistem keuangan seperti lembaga keuangan non bank bahkan lembaga yang bergerak dalam bidang keuangan seperti bank, namun tidak berada dibawah naungan Otoritas Jasa Keuangan (tidak berpayung hukum) yang disebut dengan shadow banking atau perbankan bayangan (Figur 2.4). Lembaga finansial yang memiliki peranan terbesar adalah bank sentral selaku pembuat kebijakan dan menjaga serta mencitpakan kestabilan harga (inflasi) dan nilai tukar (kurs). Figur 2.4 Lembaga Kunci dalam Sistem Keuangan Lembaga perantara keuangan yang paling banyak berperan dalam pasar keuangan di Indonesia adalah perbankan. Scholtens dan van Wensveen (Dalam Franklin Allen dan M. Santomero: 1999) mengamati bahwa persentase total aset finansial 15 dari PDB sebagian besar berasal dari sektor perbankan. Secara umum perbankan memiliki 3 hal yang berkaitan dengan fungsi dan peranan bank secara umum: 1. Pehimpunan dana yang bersumber dari masyarakat luas dalam bentuk produk yang beragam seperti simpanan, tabungan, deposito, dan giro. Selain dari masyarakat biasanya bank menerima dana melalui lembaga keuangan lain/ bank lain, investor, ataupun dari bank sentral. 2. Penyaluran dana dalam bentuj kredit atau bentuk lainnya kepada masyarakat yang memerlukan, seperti pembelian surat-surat berharga, penyertaan, pemilikan harta tetap, dan sebagainya. 3. Pelayanan jasa keuangan, seperti pengiriman uang/ transfer, inkaso, penagihan surat berharga, kartu debit-kredit, ATM, e-banking, dan layanan perbankan yang lainnya. Banyaknya jenis lembaga perantara keuangan, seperti bank tabungan, bank komersial, koperasi simpan pinjam dan perusahaan asuransi dan cara-cara beroperasi mereka yang sangat berbeda. Tetapi mereka mempunyai persamaan yaitu mereka semua menerbitkan surat hutang kepada masyarakat dan kemudian menggunakan dana yang diperolehnya untuk membeli surat berharga langsung seperti obligasi dan saham (Stephen dan Lester: 1990). Lembaga perantara keuangan lahir karena adanya kebutuhan pasar. Kebutuhan masyarakat pada dasarnya terus meningkat baik dari kebutuhan pokok maupun kebutuhan akan informasi dan aksesbilitas keuangan. Kebutuhan yang tinggi tidak sebanding dengan kemampuan masyarakat dalam memenuhinya misal, kebutuhan akan modal untuk meningkatkan dan memperluas kegiatan usahanya, sedangkan dana atau modal yang dimiliki tidak mampu menutupi kekurangan modal usahanya. Hal ini sejalan dengan teori kelangkaan dalam ilmu ekonomi yang mempelajari perilaku manusia di dalam memenuhi kebutuhannya yang relatif tidak terbatas dengan menggunakan sumber daya yang terbatas dan masingmasing sumber daya mempunyai alternatif penggunaan (opportunity cost). Permasalahan tersebut menjadi salah satu faktor pendorong lahirnya lembaga perantara keuangan. Keberadaan lembaga keuangan dapat menekan risiko dan ketidakefisienan (biaya) dalam kegiatan keuangan, seperti informasi asimetris, moral hazard, dan sebagainya. 16 Dalam Bukunya Financial Markets and Institutions, Minshkin (2012) mengatakan bahwa intermediasi keuangan memiliki peran yang penting dalam pasar keuangan, yakni: 1. Biaya Transaksi Perantara keuangan secara substansial dapat mengurangi biaya transaksi, sehingga memungkinkan untuk memberikan dan langsung ke pihak yang memiliki peluang investasi produktif dan dapat memberikan peuanan likuid sehingga memudahkan pelanggan untuk transaksi. 2. Berbagi Risiko Lembaga keuangan membantu para investor untukk mengadapi risiko, yaitu dengan melalui proses risk sharing. Dimana, aset yang berisiko diubahmenjadi aset yang aman bagi investor. 3. Informasi Asimetris: Seleksi Kerugian dan Moral Hazard Dalam pasar keuangan, salah satu pihak sering tidak tahu tentang pihak lain dalam membuat keputusan. Ketidakpastian ini disebut informasi asimetris, yang akan menciptakan masalah dalam sistem keuangan. Seleksi kerugian merupakan masalah yang diciptakan oleh informasi asimetris sebelum terjadi transaksi. Karena berbagi risiko mungkin akan menyebabkan kredit macet, maka kreditur memutuskan untuk tidak membuat pinjaman meski ada risiko kredit yang baik di pasar. Sedangkan, moral hazard adalah masalah yang diciptakan oleh informasi asimetris setelah terjadi transaksi. Dalam pasar keuangan moral hazard cukup berisiko, karena peminjam mungkin terlibat dalam kegiatan yang tidak diinginkan oleh pemberi pinjaman. Sehingga, pemberi pinjaman akan memutuskan untuk tidak membuat pinjaman. Masalah-masalah tersebut dapat ditekan dengan menggunakan lembaga intermediasi keuangan. Pada dasarnya gejolak ekonomi ataupun finansial dapat menjadi krisis, apabila ekspektasi atau perilaku pelaku ekonomi cenderung panik ataupun ambil untung (spekulasi). Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga berperan dalam siklus ekonomi, termasuk dalam menyebarkan rumor negatif yang dapat bermuara pada krisis. 17 Peran Perbankan Dalam Sistem Keuangan Dalam menjalankan kegiatannya, bank mempunyai peran penting dalam sistem keuangan nasional, yakni: 1. Pengalihan Aset yakni pengalihan aset dari unit surplus (penabung) ke unit defisit (peminjam), yang jangka waktunya dapat diatur sesuai keinginan pemilik dana. 2. Transaksi, yakni memberikan berbagai kemudahan kepada pelaku ekonomi untuk melakukan transaksi keuangan. 3. Likuiditas, dimana bank menjada likuiditas masyarakat dengan membantu aliran dana dari unit surplus ke unit defisit. 4. Efisiensi, yakni perbankan berperan dalam menjebatani dua pihak yang saling berkepentingan untuk menyamakan informasi yang tidak sempurna sehingga terjadi efisiensi biaya ekonomi (IBI dan LSPP: 2013). Sesuai dengan Fifur 2.4, bahwa dalam pasar dan lembaga keuangan tidak hanya perbankan yang memiliki peran dan dampak bagi stabilitas keuangan secara keseluruhan. Namun, dalam pasar dan sistem keuangan masih terdapat berbagai instrumen lain yang juga penting untuk di perhatikan dan dijaga, seperti perusahaan sekuritas, perusahaan asuransi, reksadana, bahkan shadow banking. Jika salah satu instrumen keuangan tersebut mengalami kerusakan, khususnya jika terjadi ketika perekonomian domestik maupun global kurang stabil dan perilaku masyarakat yang cenderung panik, maka kerusakan tersebut diperkirakan berdampak sistemik terhadap instrumen keuangan yang lain dan pada akhirnya berpotensi menimbulkan krisis. 2.3.2 Otoritas Moneter Menurut OECD Glossary of Statistical Terms, sektor otoritas moneter meliputi unit kelembagaan bank sentral (lembaga keuangan/ moneter dan lainlain) dan operasi tertentu yang biasanya dikaitkan dengan bank sentral namun dalam beberapa kasus, dilakukan oleh lembaga pemerintah lainnya (dalam beberapa contoh yaitu bank komersial). Lexicon Financial Time mendefinisikan otoritas moneter sebagai entitas (biasanya bank sentral) yang diberi wewenang oleh pemerintah atau parlemen untuk mengendalikan uang beredar dengan 18 menaikkan atau menutunkan suku bunga, mengawasi kebijakan nilai tukar dan biasanya juga mengawasi sektor perbankan. Belajar pada gambaran luas dari ekonomi dan sistem keuangan serta peranannya dalam sektor finansial, terdapat konsensus luas bahwa bank sentral memainkan peran kunci dalam memantau dan mengatur stabilitas keuangan (Masahiro dan Peter: 2012). Sedangkan menurut Dirk Schoenmaker (2011), fungsi stabilitas keuangan tidak hanya dipegang oleh satu bank sentral di dalam negari (dalam jurnalnya bank sentral yang dimaksud adalah European Central Bank atau ECB), tetapi juga dipegang oleh bank sentral lain yakni Federal Reserve (The Fed) yang merupakan bank sentral Amerika Serikat. Pendapat Dirk tersebut dapat diterjemahkan bahwa stabilitas keuangan suatu negara juga bergantung pada sistem keuangan serta kebijakan-kebijakan yang lebih kuat yakni The Fed. Berdasarkan penjelasan di atas, bank sentral merupakan instrumen terkuat dalam menjaga stabilitas sistem keuangan negara. Menurut Bank Indonesia, bank sentral sebagai otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran. Keberhasilan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dalam menjaga stabilitas moneter tanpa diikuti oleh stabilitas sistem keuangan, tidak akan banyak dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Artinya kedua sistem tersebut (moneter dan sistem keuangan) tidak dapat dipisahkan. Bank Indonesia (bank sentral) memiliki lima peran utama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, yaitu: Pertama, Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank Indonesia dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan berimbang. Bank Indonesia telah menerapkan suatu kebijakan yang disebut inflation targeting framework. Kedua, Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan seperti itu dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi. Untuk menciptakan stabilitas di sektor perbankan secara berkelanjutan, Bank Indonesia telah menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia dan rencana implementasi Basel II. 19 Ketiga, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah satu peserta dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial yang cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Bank Indonesia mengembangkan mekanisme dan pengaturan untuk mengurangi risiko dalam sistem pembayaran yang cenderung semakin meningkat. Antara lain dengan menerapkan sistem pembayaran yang bersifat real time atau dikenal dengan nama sistem RTGS (Real Time Gross Settlement) yang dapat lebih meningkatkan keamanan dan kecepatan sistem pembayaran. Keempat, melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan. Kelima, Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR). Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi sebagai LoLR mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis. Indenpendensi Bank Sentral Bank sentral sebgai otoritas moneter memiliki kendali dan wewenang atas stablitas sistem kaungan di suatu negara. Sikap indenpendensi memiliki peran penting bagi bank sentral dalam merumuskan dan menjalankan tugasnya melalui berbagai bauran kebijakan yang ada. (Veithzal Rivai, Andria, dan Reffry: 2007) menjelaskan bahwa terdapat dua alasan mengapa sikap indenpendensi bank sentral sangat penting, yakni: a. Terdapatnya kecenderungan pemerintah dan kalangan politisi untuk mendorong tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam waktu tingkat tanpa menghitung secara matang kapasitas ekonomi yang ada, sehingga dapat menimbulkan overheating. 20 b. Terdapatnya kecenderungan pemerintah untuk mengutamakan dana bank sentral guna membiayai defisit anggaran bila tidak ada aturan yang melarangnya. Indenpendesi bank sentral memang harus dijaga, namun tidak menutup kemungkinan bank sentral untuk tetap menjalin hubungan koordinasi dengan pemerintah (merupakan otoritas kebijakan fiskal). Kebijakan moneter dan fiskal tidak dapat berjalan sendri-sendiri, melainkan kedua kebijakan tersebut harus saling melengkapi untuk mencapai stabilitas di sektor finansial dan sektor riil. Keseimbangan antara kedua kebijakan tersebut akan menciptakan pertumbuhan ekonomi dan sistem keuangan yang sehat. (Veithzal Rivai, Andria, dan Reffry: 2007) Bank Indonesia ditunjuk sebagai pemegang kas pemerintah, selain itu untuk dan atas nama pemerintah dapat menerima pinjaman luar negeri, menatausahakan, serta menyelesaikan tagihan dan kewajiban keuangan pemerintah terhadap luar negeri. Sedangkan pemerintah, wajib meminta pendapat dan atau mengundang BI dalam sidang Kabinet dalam membahas tugas BI yakni masalah ekonomi, perbankan, dan keuangan. Meskipun kedua pihak tersebut (pemerintah dan bank sentral) menjalankan tugas secara terpisah, namun pada dasarnya tujuan dari tugas tersebut adalah sama yanki untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan stabilitas pada sistem dan sektor keuangan. Pemerintah melalui kebijakan fiskal akan berupaya mengadakan kebutuhan pada sektor riil, seperi barang dan jasa. Sedangkan otoritas moneter melalui kebijakan moneter akan berupaya mengadakan likuiditas bagi masyarakat, agar memiliki kemampuan atau daya beli. Oleh karena itu, kedua pihak yang mewakili masing-masing sektor penting tersebut harus saling berkoordinasi untuk menciptakan kebijaksanaan yang efisien dan efektif. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sejak perubahan peraturan (Undang-undang) tentang Bank Indonesia yakni Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 digantikan dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 yang di dalamnya berisi mengenai perubahan peraturan yang menyebutkan bahwa telah dibentuk pengawasan sektor jasa keuangan yang 21 independen selambat-lambatnya akhir tahun 2010 dengan nama Otoritas Jasa Keuangan. Lembaga tersebut mempunyai tugas melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, sektor Pasar Modal, dan sektor IKNB. Jadi, dalam hal pengawasan perbankan telah di pindah tangankan kepada OJK selaku lembaga pengawas di sektor keuangan. Ryan Kiryanti (Dalam Ramadhana: 2015) menyatakan bahwa tujuan pembentukan OJK ini agar BI fokus kepada pengelolaan moneter dan tidak perlu mengurusi pengawasan bank karena bank itu merupakan sektor dalam perekonomian. Badan pengawas keuangan atau regulatory agency of financial seperti OJK, tidak hanya ada di Indonesia, melainkan juga terdapat di negaranegara lain. Jepang, Jerman, Inggris, Korea merupakan sebagian kecil dari negaranegara yang memiliki badan pengawasan keuangan seperti OJK di Indonesia. Jerman Bundesanstalt fur Finanzdienstleistungsaufsicht (BaFin), merupakan institusi mirip OJK yang ada di Jerman. BaFin dibentuk pada 2002, dan kini mengawasi 2.700 bank, 800 lembaga jasa keuangan, dan lebih dari 700 perusahaan asuransi. Tujuan pendirian BaFin adalah menciptakan satu regulator yang mengawasi dan mengatur seluruh industri keuangan. Ini dipercaya mampu meningkatkan transparansi dan kemampuan dalam mengelola sistem keuangan. Jepang Sementara JFSA (Japan Financial Services Authority) di Jepang merupakan lembaga yang mengawasi perbankan, pasar modal, dan asuransi. Namun, lembaga ini tidak independen karena menginduk kepada Kementerian Keuangan Jepang. Di negara Sakura ini, fungsi pengawasan perbankan merupakan kewenangan pemerintah Jepang yang dalam pelaksanaannya dilakukan FSA (Financial Services Agency). Secara umum, fungsi FSA di Jepang mencakup beberapa hal pokok. Satu, menyusun rencana dan mengambil keputusan di bidang sistem keuangan. Dua, memeriksa dan mengawasi lembaga keuangan swasta, termasuk perbankan, perusahaan sekuritas, perusahaan asuransi, dan pelaku lain di pasar modal seperti broker. 22 Tiga, membuat ketentuan terkait dengan perdagangan di pasar uang (securities markets). Empat, menetapkan standar akuntansi dan keuangan perusahaan. Lima, mengawasi kantor akuntan publik dan perusahaan audit. Enam, berpartisipasi pada berbagai forum internasional, baik bilateral maupun multilateral, terkait dengan isu keuangan dalam rangka mengembangkan tata kelola administrasi keuangan sesuai dengan standar internasional. Terakhir, mengawasi pelaksanaan ketentuan di pasar keuangan (surveillance of compliance of rules in securities markets). Hal itu penting dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangannya dan sebagai dasar dalam perumusan serta implementasi kebijakan moneter di Jepang. Untuk menghindari overlapping pemeriksaan dan beban yang belebihan (overburden) dari lembaga keuangan yang akan diperika, dibutuhkan adanya koordinasi pengawasan antara Bank of Japan dan FSA setiap periode. Koordinasi yang harmonis antar bank sentral dan otoritas jasa keuangan yang mengawasi lembaga keuangan sangat penting untuk menentukan keberhasilan suatu kebijakan dan perekonomian yang ingin dicapai. UK (United Kingdom) Banyak negara yang berhasil, tetapi ada pula yang gagal menjalankan unified supervisory model. Salah satunya adalah kasus Financial Services Authority (FSA) di Inggris. FSA dibentuk pada 2001. Seperti halnya OJK, FSA pun berwenang untuk mengawasi dan mengatur perbankan, pasar modal, dan lembaga keuangan non-bank. Namun dalam perjalannya, Negeri Ratu Elizabeth menilai keberadaan FSA tidak terlalu berdampak positif. Buktinya, FSA dinilai lemah dan tidak aktif sehingga perbankan masih bisa menjalankan bisnis secara tidak bertanggung jawab. Ini menyebabkan perbankan Inggris sempat mengalami masalah keketatan kredit (credit crunch) pada 2007. Korea Selatan Pemerintah Korea Selatan memutuskan untuk memisahkan fungsi pengawasan perbankannya dari Bank of Korea (BOK) dengan membentuk Financial Supervisory Service (FSS) pada 1999. Walaupun pada awalnya 23 sebagian besar staf dan pemimpin FSS berasal dari satuan kerja di BOK yang menangani fungsi pengawasan perbankan, nyatanya itu tidak menjadi jaminan bahwa aliran informasi terkait dengan kondisi perbankan dan keuangan di Korea Selatan dapat diakses BOK. Penyebabnya, tidak terdapatnya mekanisme kerja dan dasar hukum yang kuat bagi BOK untuk dapat mengakses berbagai informasi yang diperlukan terkait dengan perbankan dan lembaga keuangan. BOK telah menempuh berbagai upaya dan telah mengusulkan kepada pemerintah untuk mengamandemen UU BOK agar dapat memperoleh kewenangan dan akses informasi terkait dengan perbankan di Korea, seperti yang dilakukan BOJ. Namun, sejauh ini berbagai upaya tersebut mendapat penolakan dari pihak FSS. Kajian Koordinasi Dapat dilihat dari beberapa negara yang menganut atau menggunakan instrument badan pengawas keuangan diatas, sebagian besar mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut, bermuara dari ketidakharmonisan antara bank sentral dengan otoritas jasa keuangan yang menaungi lembaga-lembaga keuangan. Oleh karena itu, perlu adanya kajian ulang terhadap koordinasi antar pemain besar dalam perekonomian tersebut, karena setiap tindakan ataupun kebijakan yang dilakukan akan memberikan pengaruh kepada sektor-sektor keuangan yang lain, dan pada akhirnya akan berdampak pada perekonomian secara keseluruhan. Bank sentral dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Indonesia perlu bercermin dari kegagalan-kegagalan koordinasi, untuk saat ini perlu adanya kerjasama baik yang harus dibangun dan dijaga antar kedua belah pihak tersebut, demi terciptanya pasar keuangan yang sehat dan pertumbuhan ekonomi yang optimal. Dalam pelaksanaan sistem dan pasar keuanagan tidak dapat terlepas dari masalah atau risiko seperti risiko pada lembaga perantara keuangan yang insolvabel, yaitu nilai aktivanya akan turun di bawah nilai pasivanya. Sehingga dibutuhkan intervensi dalam bentuk regulasi. Regulasi menimbulkan pengaruh yang luas terhadap struktur lembaga perantara keuangan dengan menciptakan sistem keuangan yang aman yaitu sistem yang bebas dari kepanikan finansial. Selain itu perlu mengembangkan suatu sistem keuangan yang efisien, yaitu sistem 24 yang menyalurkan dana dari dan ke masyarakat dengan biaya sekecil mungkin (Stephen dan Lester: 1990). Peralihan dalam hal pengawasan dan wewenang mengenai regulatory agency of financial tidak menutup kemungkinan bahwa Bank Indonesia melepas sektor perbankan tersebut dalam arti sebenarnya. Meskipun wewenang tersebut telah dipegang oleh OJK, Bank Indonesia masih tetap melakukan pengawasan dengan selalu menjaga koordinasi dengan OJK. Disisi lain tugas Bank Indonesia masih cukup berat, karena harus menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. 2.3.3 Pemerintah dan Fiskal Kebijakan moneter tidak terlepas dari kebijakan makro lainnya seperti kebijakan fiskal. Kebijakan moneter dan fiskal difilosofikan sebagai kaki, sedangkan perekonomian adalah tubuhnya. Apabila salah satu kaki tersebut cacat, artinya tidak dapat berfungsi maka perekonomian tidak akan dapat meningkat atau bahkan akan mengalami penurunan. Stephen Cecchetti (2011) menyatakan bahwa terdapat salah satu pelajaran penting dari krisis keuangan adalah peningkatan apresiasi pada kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan kebijakan stabilitas keuangan. Kapasitas pemerintah untuk mendukung sektor keuangan, melalui paket penyelamatan dan ekonomi riil melalui stimulus fiskal sangat penting dalam mencegah krisis keuangan dan ekonomi keseluruhan. Menurut Stephen, kebijakan fiskal sendiri dianggap sebagai risiko utama dalam stabilitas keuangan dan moneter. Hal ini sejalan dengan pendapat Prasetyantoko dalam bukunya “Ponzi Ekonomi Prospek Indonesia Di Tengah Instabilitas Global” yang menyatakan bahwa faktor penyebab kebangkrutan sistem finansial global tidak hanya bersumber dari sisi moneter, tetapi juga dari sisi fiskal. Dari sisi fiskal pada umumnya karena adanya defisit neraca pembayaran (current account), yang diilustrasikan dengan arus impor lebih besar daripada ekspor sehingga balance sheet pemerintah harus menanggung pengeluasan lebih banyak daripada pemasukan. Faktor lainnya adalah kemampuan daya saing dengan produk-produk negara lain melemah, hal ini ditandai dengan produk negara lain yang telah membanjiri pasar domestik, sehingga perekonomian dapat 25 dikatakan mengalami kelesuan. Tekanan dari sisi fiskal kemudian memaksa pelonggaran kebijakan moneter dalam mengendalikan peredaran uang untuk memasok likuiditas lebih besar pada perekonomian. Oleh karena itu, suatu negara membutuhkan kerangka stabilitas dimana moneter, fiskal dan kebijakan prudensial saling bekerja sama untuk membangun makro ekonomi dan sistem keuangan yang kuat dan stabil, yang akan membuat krisis cenderung mudah dikendalikan. Mekanisme kebijakan moneter dan fiskal dapat dijelaskan lebih sederhana, yakni diasumsikan bahwa sisi fiskal merupakan kebijakan pemerintah dalam mengendalikan penawasan (supply side) dengan mengatur pasar barang dan jasa. Kebijakan fiskal juga ditujukan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi suatu negara, seperti infrastruktur yang nantinya dapat mendukung kegiatan ekonomi. Menurut Ionela Popa dan Dian (2010), sistem fiskal merupakan faktor kunci untuk mempengaruhi efisiensi ekonomi. Lebih dari itu, peran kebijakan fiskal di negara maju adalah untuk mempertahankan kesempatan kerja dan menstabilkan pertumbuhan. Sebaliknya di negera-negara berkembang, kebijakan fiskal digunakan untuk menciptakan lingkungan dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan berbagai aspek, seperti mobilisasi sumber daya, percepatan pertumbuhan ekonomi, minimalisasi kesenjangan pendapatan dan kekayaan, meningkatkan kesempatan kerja, dam stabilitas harga. Kebijakan fiskal dapat mempromosikan stabilitas makroekonomi dengan mempertahankan permintaan agregat dan pendapatan sektor swasta selama periode pertumbuhan ekonomi yang kuat. Fungsi penting dari stabilisasi kebijakan fiskal beroperasi melalui apa yang disebut "stabilisator otomatis fiskal". Hal ini bekerja melalui dampak fluktuasi ekonomi pada anggaran pemerintah dan tidak memerlukan keputusan jangka pendek oleh para pembuat kebijakan. Stabilisator otomatis memiliki sejumlah fitur yang diinginkan. Pertama, mereka merespon secara tepat waktu yang akan datang. Hal ini membantu pelaku ekonomi untuk membentuk harapan yang benar dan meningkatkan kepercayaan diri mereka. Kedua, mereka bereaksi dengan intensitas yang disesuaikan dengan ukuran penyimpangan kondisi ekonomi dari apa yang diharapkan ketika rencana anggaran disetujui. Ketiga, stabilisator otomatis beroperasi secara simetris selama 26 siklus ekonomi, moderat overheating dalam periode booming dan mendukung kegiatan ekonomi selama kemerosotan ekonomi tanpa mempengaruhi tingkat kesehatan yang mendasari posisi anggaran, selama fluktuasi tetap seimbang. Pada prinsipnya, stabilisasi juga dapat berasal dari kebijaksanaan fiskal, dimana pemerintah secara aktif memutuskan untuk menyesuaikan pengeluaran atau pajak dalam menanggapi perubahan dalam kegiatan ekonomi. Kebijakan diskresi diperlukan untuk menerapkan perubahan struktural jangka panjang dalam keuangan publik dan untuk menghadapi situasi yang luar biasa, terutama ketika perekonomian mengalami guncangan luar biasa. Kebijakan diskresioner sebenarnya mencerminkan perubahan selera tentang ukuran yang diinginkan dari sektor publik, tentang prioritas belanja publik, dan tentang tingkat dan karakteristik perpajakan. Kebijakan ini menentukan struktur keuangan publik dan secara substansial mempengaruhi fungsi ekonomi tetapi juga fitur stabilisator otomatis suatu negara. Keputusan kebijakan fiskal diskresioner juga diperlukan untuk menjaga keberlanjutan keuangan publik dalam jangka menengah. Ini adalah prasyarat bagi stabilisator untuk beroperasi secara bebas, seperti kebijakan fiskal hanya dapat bertindak sebagai alat efektif dalam menstabilkan ,bila ada ruang yang diperlukan untuk manuver. Pengalaman negara-negara industri dalam beberapa dekade terakhir jelas menunjukkan bahwa ketidakseimbangan fiskal yang terus-menerus membatasi ruang bagi kebijakan fiskal untuk menstabilkan perekonomian. Ketidakseimbangan sering memerlukan kebijakan fiskal yang ketat selama kemerosotan untuk mencegah defisit tidak berkelanjutan dan perkembangan utang. Langkah-langkah konsolidasi kemudian dapat membangun kembali kepercayaan diri dan meningkatkan harapan tentang prospek jangka panjang keuangan publik yang disebut efek ini 'non-Keynesian' mungkin memiliki hasil yang konsolidasi fiskal bahkan memiliki dampak ekspansif terhadap perekonomian. Pemerintah menggunakan kebijakan fiskal untuk mempengaruhi tingkat permintaan agregat dalam perekonomian, dalam upaya untuk mencapai tujuan ekonomi: 1. Stabilitas harga 2. Kerja penuh 27 3. Pertumbuhan ekonomi Ekonomi Keynesian menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah dan penurunan tarif pajak adalah cara terbaik untuk merangsang permintaan agregat, dan penurunan pengeluaran dan meningkatkan pajak setelah ledakan ekonomi dimulai. Keynesian berpendapat bahwa metode ini dapat digunakan di masa resesi atau kegiatan ekonomi yang rendah sebagai alat penting untuk membangun kerangka kerja untuk pertumbuhan ekonomi yang kuat dan bekerja menuju kesempatan kerja penuh. Secara teori, defisit dihasilkan akan dibayar oleh ekonomi berkembang selama booming yang akan mengikuti; ini adalah alasan di balik New Deal. Pemerintah dapat menggunakan surplus anggaran untuk melakukan dua hal: a. Untuk memperlambat laju pertumbuhan ekonomi yang kuat b. Untuk menstabilkan harga ketika inflasi terlalu tinggi Teori Keynesian berpendapat bahwa menghapus pengeluaran dari ekonomi akan mengurangi tingkat permintaan agregat dan kontrak ekonomi, sehingga menstabilkan harga. Sisi moneter merupakan kebijakan otoritas moneter dalam mengendalikan permintaan (demand side) dengan mengatur dan menyediakan likuiditas kepada masyarakat (pasar uang), hal ini ditujukan agar masyarakat memiliki daya beli pada pasar barang dan jasa atau melakukan kegiatan keuangan lainnya. Muchdarsyah (1987). Kebijakan moneter dalam arti luas bertujuan untuk melakukan pengendalian atas jumlah uang yang beredar, pengendalian tingkat bunga dan tingkat inflasi serta mendorong perbaikan pendapatan nasional. Tidak ada yang lebih penting dari kedua kebijakan ekonomi tersebut selain koornidasi, dengan menjalankan tugas masing-masing dan saling berkoordinasi untuk mencapai stabilitas keuangan dan perekonomian yang optimal. 2.3 Teori Regulasi Keuangan 2.3.1 Pengawasan Microprudential Peraturan microprudential tradisional bank didasarkan pada logika. Bank membiayai dirinya dengan deposito - diasuransikan pemerintah. Sementara 28 deposito asuransi memiliki efek yang cukup, menciptakan insentif bagi manajer bank untuk mengambil risiko yang berlebihan, mengetahui bahwa kerugian akan ditanggung oleh wajib pajak. Tujuan dari peraturan modal adalah untuk memaksa bank untuk menginternalisasi kerugian, sehingga melindungi asuransi deposito mendanai dan mengurangi moral hazard. Dengan demikian, jika kerugian probabilitas asuransi deposito berkurang ke tingkat yang cukup rendah, regulasi microprudential akan melakukan tugasnya (Samuel G. Hanson, Ani K Kashyap, and Jeremy C. Stein: 2011). Menurut Core Principles Basel (Dalam Jacek Osinski, Katharine Seal, and Lex Hoogduin: 2013) untuk Pengawasan Perbankan Efektif (Komite Basel Pengawasan Perbankan, 2011), “tujuan akhir” pengawasan (yaitu, kebijakan microprudensial) adalah untuk mempromosikan “keselamatan dan kesehatan bank dan sistem perbankan”. Secara yuridis, pengawasan perbankan secara eksplesit bertugas dengan tanggung jawab stabilitas keuangn atau untuk berkontibusi terhadap stabilitas keuangan yang biasanya dipegang oleh bank sentral. Secara umum, kebijakan mikroprudensial memeriksa tanggapan dari setiap bank untuk setiap risiko eksogen dan tidak memasukkan risiko endogen dan keterkaitan dengan seluruh sistem. (Alan Bollard, Bernard Hodgetts and Mike Hannah: 2011) Peraturan mikroprudensial atau pengawasan mikroprudensial mengacu pada perusahaan dengan tingkat pengawasan atau regulasi keuangan oleh regulator lembaga keuangan, yakni memastikan neraca lembaga individu yang kuat terhadap guncangan. Pelajaran penting dari krisis (Amerika Serikat). Tingkat keparahan krisis bukan karena beberapa perusahaan keuangan non bank yang tertekan karena peningkatan tingkat gagal bayar (secara keseluruhan). Sebaliknya, krisis diakibatkan karena kerugian meluas perusahaan keuangan yang timbul dari faktor risiko umum, dalam hal ini hipotek perumahan (residential mortgages) AS. Pengetatan pangawasan microprudensial dari satu likngkup yang lebih besar dari perusahaan keuangan akan mengurangi risiko ketidakstabilan. Tetapi jika pembuat kebijakan ingin mendapatkan akar penyebab ketidakstabilan tersebut, penekanan yang lebih besar perlu menempatkan pengawasan makroprudensial di pasar keuangan (Larry D. Wall: 2014). 29 Figur 2.5 Daerah Pengawasan (Regulasi) Sumber: ECB Figur 2.5 menunjukkan bagaimana struktur dari kebijakan moneter dan kebijakan regulasi (makro dan mikro-prudensial), dimana: Stabilitas harga dan stabilitas keuangan saling menguntungkan dan menegakkan kembali. Kebijakan moneter menetapkan kondisi keuangan umum. Kebijakan makro-prudensial lebih spesifik dan ditargetkan untuk sektor dan ketidakseimbangan (Sabine Lautenschläger: 2014). 2.3.2 Pengawasan Makroprudensial Berdasarkan pasal 7 UU OJK, Peraturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan microprudential yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan mancroprudential, yakni pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam pasal ini, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan macroprudential, OJK membantu Bank Indonesia untuk melakukan himbauan moral kepada Perbankan. 30 Kebijakan makroprudensial, bagian dari kebijakan utama yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk mencegah dan mengurangi risiko sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang seimbang bagi sektor perekonomian, serta mengingkatkan akses dan efisiensi sistem keuangan dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan, serta mendukung stabilitas moneter dan stabilitas sistem pembayaran. Pada dasarnya antar kebijakan memiliki benang merah satu dengan lainnya, dimana tujuan utama adalah mencipatakan stabilitas sistem keuangan dan petumbuhan ekonomi yang stabil. 2.4 Kebijakan Makroprudensial dan Perkembangannya Makroprudensial memiliki peranan dalam membangun stabilitas sistem keuangan suatu negara. Menurut Janet Yellen (Gubernur Federal Reserve) dan Christine Legarde (Direktur IMF) dalam acara “Michel Camdessus Central Banking Lecture on Financial Stability”, bahwa risiko stabilitas sistem keuangan akibat kekhawatiran terjadinya bubble yang berasal dari kebijakan Quantitative Easy (QE) dapat diatasi melalui kebijkaan makroprudensial. Makro-prudential regulation (MPR) merupakan kata kunci baru dalam dunia reformasi regulasi, dengan tujuan untuk mengurangi risiko dalam sistem keuangan secara keseluruhan (Gerard Lyopns: 2011). Berkaca dari pengalaman krisis global seperti krisis subprime mortgage, bahwa kebijakan moneter belum mampu menekan ataupun mengangkat perekonomian dari krisis tersebut, sehingga kebijakan makroprudensial lahir sebagai kebijakan yang melengkapi dari beberapa kelemahan kebijakan moneter. Kebijakan moneter dan kebijakan stabilitas keuangan secara intrinsik terkait satu sama lain, dan sehingga dikotomi antara kebijakan stabilitas moneter dan keuangan adalah palsu. Kebijakan moneter dapat mempengaruhi stabilitas keuangan, sedangkan kebijakan makroprudensial untuk mempromosikan stabilitas keuangan yang berdampak pada kebijakan moneter. Koordinasi kebijakan moneter dan makroprudensial akan membuat lebih mudah untuk mengejar tiga tujuan yakni stabilitas harga, stabilitas output, dan stabilitas keuangan (Joon-Ho Hahm, dkk: 2012). Kebijakan makroprudensial tidak hanya sebagai pelengkap atau alternatif dari kebijakan moneter, namun kedua kebijakan tersebut tetap harus 31 saling melakukan koordinasi, karena mereka memiliki hubungan intrinsik satu sama lain. Kebijakan makroprudensial dalam perkembangannya telah dan mulai banyak di-adope oleh beberapa negara, baik negara maju maupun emerging market. Amerika Latin (Brazil) dan Korea merupakan potret kecil dari negaranegara yang menggunakan kebijakan makroprudensial. Juan Ruiz, et al (2014) menyatakan bahwa negara-negara utama di Amerika Latin seperti Brazil, merupakan negara yang menggunakan kebijakan makroprudensial dengan tujuan untuk mengelola risiko makro ekonomi dan finansial seperti nilai tukar dan capital inflow. Kebijakan makroprudensial kemudian diikuti oleh Argentina, yang juga telah menetapkan dan menyoroti penggunaan persyaratan cadangan. Argentina juga sedang mengambil beberapa langkah untuk mengimplementasikan Basel III yang akan memberntuk kebijakan makroprudensial masa depan, khususnya yang berhubungan dengan kebutuhan modal. Fokus dari kebijakan makroprudensial mengenai tiga hal pokok yakni menjaga sirkulasi arus modal, pengawasan pada kredit macet dan persyaratan likuiditas. Ketiga fokus pengawasan tersebut juga telah diadopsi di negara-negara Andean, seperti Boluvia, Kolombia, Ekuador, dan Peru. Meskipun terdapat perbedaan yang signifikan antar negara tersebut, wilayah Andean relatif menunjukkan perkembangan yang baik dalam pelaksanaan peraturan makroprudensial (Arturo J. Galindo, et al: 2013). Sedangkan In huh, dkk (2013) menyatakan bahwa peraturan makroprudensial di negaranya (Korea) pada tahun 2000-an tidak berdampak pada investasi obligasi, namun mempengaruhi struktur liabilitas bank asing. Pengetatan pajak atas investasi asing tidak banyak berpengaruh kecuali pajak dengan tenor pendek. Retribusi makroprudensial ditujukan untuk meringankan masalah-masalah liabilitas luar negeri jangka pendek, yang diklaim sebagai kelemahan ekonomi Korea selama krisis keuangan global. Masalah makro ekonomi yang cukup kompleks tidak dapat dikendalikan hanya dengan kebijakan moneter tradisional ataupun fiskal. Dalam kondisi tersebut dibutuhkan sebuah stimulus baru yang dapat di-combine atau disatukan dengan kebijakan yang tersedia. Penguatan dari 32 berbagai sektor (makro, finansial, dan sistem stabilitas) menjadi main goal dari keseluruhan kebijakan ekonomi di setiap negara. Mengapa ketahanan dan stabilitas ekonomi sangat penting, khususnya sistem yang mengaturnya? Karena, tidak selalu ekspektasi mengenai prospek perekonomian akan berjalan sesuai dengan harapan. Permasalah terbesar dalam perekonomian modern adalah kepanikan pasar. Jika, perekonomian mulai terserang rumor negatif yang meskipun relatif kecil, dampaknya dapat menyebar dengan cepat dan menyebabkan gejolak yang luar biasa. Sehingga, sistem yang mampu mengendalikan iklim perekonomian (khususnya mampu mempertahankan kepercayaan pasar) menjadi sistem yang selalu diandalkan dan terus dikembangkan. Dewasa ini, perdagangan dan sistem perekonomian mulai terbuka lebar, artinya lalu lintas perdagangan baik barang, arus modal, teknologi, maupun culture akan meciptakan dinamika-dinamika ekonomi yang menuntut adanya kekebalan atas sistem perekonomian. 33 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Regulasi atau kebijakan lahir karena dinamika ekonomi dan krisis global. Sifat dasar krisis yang berulang-ulang, mengimplikasikan bahwa krisis tidak dapat dihilangkan melainkan hanya dapat dikendalikan sedemikian rupa agar tidak menciptakan gejolak yang berlebihan. Regulasi melalui paket penyelamatan tidak hanya di sektor finansial, tetapi sektor riil juga perlu dilakukan regulasi karena pada dasarnya sisi moneter dan fiskal saling berhubungan dan menjadi kaki pada tubuh perekonomian suatu negara. Krisis terus memberikan pelajaran bagi setiap negara untuk berusaha mencari stimulus kebijakan dalam meredam gejolak ekonomi. Makroprudensial merupakan sebuah stimulus yang diperkirakan mampu untuk mewujudkan tujuan tersebut. Makro-prudential regulation (MPR) merupakan kata kunci baru dalam dunia reformasi regulasi, dengan tujuan untuk mengurangi risiko dalam sistem keuangan secara keseluruhan (Gerard Lyopns: 2011). Meskipun dalam hal ini, regulasi makroprudensial memberikan hasil yang berbeda-beda di setiap negara, tidak menutup kemungkinan negara lain juga dapat mengaplikasikan makroprudensial tersebut. Banyaknya jenis lembaga perantara keuangan, seperti bank tabungan, bank komersial, koperasi simpan pinjam dan perusahaan asuransi dan cara-cara beroperasi mereka yang sangat berbeda. Tetapi mereka mempunyai persamaan yaitu mereka semua menerbitkan surat hutang kepada masyarakat dan kemudian menggunakan dana yang diperolehnya untuk membeli surat berharga langsung seperti obligasi dan saham (Stephen dan Lester: 1990). Lembaga perantara keuangan lahir karena adanya kebutuhan pasar. Kebutuhan masyarakat pada dasarnya terus meningkat baik dari kebutuhan pokok maupun kebutuhan akan informasi dan aksesbilitas keuangan. setiap fluktuasi pasar, baik kelesuan atau apresiasi akan menciptakan risiko atau kepanikan. Kepanikan merupakan permasalahan yang ada dalam perekonomian modern 34 dewasa ini. Sehingga diperlukan stabilitas baik sistem maupun peranan lembaga intermadiasi dalam menyikapi masalah krusial tersebut. Setiap lembaga intermediasi baik domestik maupun internasional tidak dapat berdiri sendiri, artinya mereka memerlukan koordinasi satu dengan yang lain guna menciptakan stabilitas di regionalnya masing-masing. Terciptanya IMF, World Bank, GATT, dan sebagainya adalah alternatif untuk menekan risiko fluktuasi perekonomian global dan untuk menciptakan kesejahteraan bagi negaranegara anggotanya, khususnya negara miskin. 3.2 Saran Permasalahan ekonomi serupa dengan mmze atau labirin, yang menggambarkan pola rumit dan menakjubkan. Berbagai penelitian menganai masalah tersebut (ekonomi) sangat membantu otoritas moneter suatu negara dalam mengambil keputusan untuk menetapkan kebijakan mana yang lebih efisien diterapkan di negaranya. Karena, setiap negara di dunia memiliki sistem dan ciri khas yang berbeda-beda dalam mengatur perekonomiannya, namun memiliki main goal yang sama yakni menciptakan stabilitas sistem finansial dan mendorong perekonomian yang optimal. Harapannya, akan banyak peneliti atau mahasiswa yang tertarik untuk mengangkat permasalah tersebut sebagai bahan studi, kajian, ataupun untuk membantu pemerintah dalam menjalankan kewajibannya. 35 DAFTAR PUSTAKA Allena, Franklin and Elena Carletti. 2011. New theories to underpin financial reform. Elsevier. Allena, Franklin and M. Santomero. 2001. What do financial intermendiaries do?. Elsevier. Journal of Banking and Finance 25. Bollard, Alan., at al. 2011. Where we are going with macro and micro-prudential policies in New Zealand. Central Bank of Sri Lanka. 2005. Financial System Stability. Pamphlet Series No.2. Darmawi, Herman. 2006. Pasar Financial dan Lembaga-lembaga Keuangan. Jakarta: Bumi Aksara. Canuto, Otaviano. 2013. Brazil, Korea: Two Tales of a Macroprudential Regulation. The World Bank. Deliarnov. 2014. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Frederic S. Mishkin, Stanley G. Eakins. 2012. Financial Markets and Institutions 7th ed. Boston: Prentice Hall. Galindo, Arturo J., et al. 2013. Macroprudential Regulations in Andean Countries. Center for Global Development. Working Paper 319. Goldfeld, Stephen M., and Lester V. Chandler. 1990. Ekonomi Uang dan Bank. Jakarta: Erlangga Hahm, JH., et al. 2012. Macroprudential Policies in Open Emerging Economies. Working Paper 17780. National Bureau of Economic Reserch, Cambrige. Hanson, Samuel G., Anil K Kashyap and Jeremy C. Stein. 2011. A Macroprudential Approach to Financial Regulation. Journal of Economic Perspectives. Volume 25, Number 1. Ikatan Bankir Indonesia. 2012. Memahami Bisnis Bank. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Kompas Gramedia. Kawai, Masahiro and Peter J. Morgan. 2012. Central Banking for Financial Stability in Asia. Policy Research Institute, Ministry of Finance, Japan, Public Policy Review. Vol 8, No3. 36 Lautenschläger, Sabine. 2014. The interplay between macro-prudential, microprudential and monetary policies at the ECB. Stockholm: International Monetary Fund. Lyopns, Gerard. 2011. Macro-prdential regulation-Lessons from Asia. Standard Chartered. Mishkin, Frederic S., Stanley G. Eakins. 2012. Financial Markets and Institutions 7th ed. Boston: Prentice Hall. Mu’ruf, Muhammad. 2008. Tsunami Finansial Peluang Bisnis dan Investasi Indonesia dan Setiap Individu di Tahun 2009. Jakarta: Hikmah. Pandia, Frianto., et al. 2009. Lembaga Keuangan. Jakarta: Rineka Cipta. Prasetyantoko, A.. 2010. Ponzi Ekonomi Prospek Indonesia di Tengah Instabilitas Global. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Popa, Ionela and Dian. 2010. Fiscal policy and its role in ensuring economic stability. MPRA Paper No. 20820. Puspopranoto, Sawaldjo. 2004. Keuangan Perbankan dan Pasar Keuangan. Jakarta: LP3ES. Osinski, Jacek., et al. 2013. Macroprudential and Microprudential Policies: Toward Cohabitation. Internarional Monetary Fund (IMF). Rivai, Veithzal., Andria Permatan Veithzal, Ferry N. Idroes. 2007. Bank and Financial Institution Management Conventional & Syar’i System. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Sinungan, Muchdarsyah. 1987. Kebijakan Moneter Orde Baru. Jakarta: Bina Aksara. Wall, Lerry D. 2014. Stricter Microprudential Supervision Versusu Macroprudential Supervision. Federal Reserve Bank of Atlanta. W. Ramadhan. 2015. Peranan Otoritas Keuangan Sebagai Regulator Kegiatan Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal. Universitas Sumatra Utara. Yellen, Janet and Christine Legarde. 2014. At the 2014 Michel Camdessus Central Banking Lecture, International Monetary Fund, Washington, D.C. 37