makalah - WordPress.com

advertisement
MAKALAH
Stimulus Kebijakan Moneter dan Makroprudensial Dalam Menjaga
Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia
Disusun oleh:
Santi Rizkiyanti
120810101013
JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS JEMBER
2015
MAKALAH
diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi
Moenter II, Fakultas Ekonomi, Universitas Jember
Disusun oleh:
Santi Rizkiyanti
120810101013
JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS JEMBER
2015
i
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat meyelesaikan makalah yang berjudul “Stimulus Kebijakan
Moneter Dan Makroprudensial Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan
Indonesia”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi
Moneter II, Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan.
Krisis finansial yang pernah meruntuhkan perekonomian Amerika Serikat
(krisis subprime mortgage) merupakan sebuah gambaran maze ekonomi yang
cukup rumit, dimana pemerintah ataupun otoritas moneter telah menerapkan
berbagai kebijakan moneter, namun masih belum mampu mengangkat
perekonomian Negeri Paman Sam tersebut dari krisis. Hal ini menunjukkan
bahwa permainan maze dalam ekonomi sangat menakjubkan dan menantang
(sukar) bahkan bagi negara-negara adidaya seperti AS.
Perekonomian pada dasarnya tidak mudah untuk diekspektasi bahkan oleh para
ahli. Hal ini dikarenakan sifat ekonomi yang dinamis dan selalu menghadirkan
permasalan baru. Kebijakan-kebijakan yang hadir dalam perekonomian bukan
sebuah jalan akhir, namun kebijakan tersebut adalah sebuah media dalam proses
mencari jalan keluar dari maze ekonomi. Hal ini sejalan dengan pemikiran Francis
Bacon Sr (1561-1626) seorang filsuf Inggris, “Alam adalah labirin. Apabila
(dalam hidup) kamu terlalu tergesa-gesa mencari jalan, malah akan tersesat”. Hal
tersebut menunjukkan bahwa krisis yang cenderung bersifat berulang-ulang,
mengharuskan pemangku kebijakan untuk terus memutar otak dalam mencari
strategi dalam membuat kebijakan dan membangun stabilitas sistem yang mampu
mengendalikan krisis (bukan untuk menghilangkannya).
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membuat makalah ini, guna mengurai
masalah tetang dinamika ekonomi yang rumit tersebut. Secara garis besar
makalah ini memuat tentang pengertian, fungsi dan tujuan dari kebijakan
makroprudensial, menganalisis efisiensi kebijakan tersebut berdasarkan data dari
beberapa negara yang telah menerapkan kebijakan makroprudensial.
ii
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang berperan
dalam penyusunan makalah ini. Penulis juga menerima segala kritik dan saran
dari semua pihak demi kesempuranaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap,
semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk pembaca.
Jember, 19 Mei 2015
Penulis,
iii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Sampul .............................................................................................
i
Prakata ..............................................................................................................
ii
Daftar Isi ..........................................................................................................
iv
Bab I Pendahuluan ..........................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................................
4
1.3 Tujuan .................................................................................................
4
1.4 Landasan Teori dan Penelitian Sebelumnya .......................................
5
Bab II Pembahasan ..........................................................................................
8
2.1 Stabilitas Sistem Keuangan .................................................................
8
2.2 Peranan Lembaga Keuangan Termasuk Otoritas Moneter ..................
13
2.2.1 Financial Intermediaries .............................................................
13
2.2.2 Otoritas Moneter ........................................................................
18
2.2.3 Pemerintah dan Fiskal ................................................................
25
2.3 Teori Regulasi Keuangan ....................................................................
28
2.4 Kebijakan Makroprudensial dan Perkembangannya ............................
31
Bab III Penutup ...............................................................................................
34
3.1 Kesimpulan .........................................................................................
34
3.2 Saran ....................................................................................................
35
Daftar Pustaka .................................................................................................
36
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Krisis ekonomi yang sempat mengganggu kestabilan perekonomian
beberapa negara, masih menjadi bayang-bayang ketakutan sebagian negara.
Perilaku pelaku ekonomi sangat mempengaruhi mekanisme perekonomian suatu
negara, khususnya dalam kegiatan perdagangan dan pada sektor keuangan.
Ketidakpastian kondisi ekonomi lokal dan global dapat menciptakan moral hazard,
dan diperkirakan pelaku ekonomi akan melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat
merugikan dan memperburuk kondisi perekonomian negara. Subprime mortgage
merupakan salah satu bukti empiris yang menggambarkan bahwa kepercayaan dan
rasa nasionalisme memegang kunci penting terhadap keberlangsungan suatu
perekonomian. Krisis 2008 yang berawal dari kebijakan bank sentral Amerika
Serikat dalam upaya mendorong konsumsi dan perekonomian domestik, yakni
dengan menurunkan suku bunga acuan. Pada kenyataannya hal tersebut membuat
perbankan di AS terlalu agresif dalam menerima seluruh permohonan kredit
(khususnya kredit perumahan atau KPR), tanpa melihat dan mengukur
kemampuan atau kelayakn dari pemohon KPR. Permasalahan tersebut pada
akhirnya bermuara pada kredit macet, karena The Fed menaikkan suku bunga
sedangkan warga AS melakukan spekulasi dengan menjual rumah kreditnya,
sehingga permasalahan tersebut menjalar ke sektor rill dan menjadi krisis
ekonomi.
Gelembung ekonomi yang berasal dari kebijakan pemerintah dan perilaku
spekulan, memberikan dukungan terhadap pecahnya gelembung tersebut sebagai
krisis. Ketidakstabilan pasar keuangan di AS kian menjalar dan menciptakan
gejolak yang lebih luas seperti di kawasan Eropa, Islandia, dan Asia. (Mishkin:
2012)
menyatakan
bahwa
pasar
dan
lembaga
keuangan
tidak
hanya
mempengaruhi kehidupan individu, tetapi juga berpengaruh terhadap aliran dana
dan perekonomian secara keseluruhan, baik perekonomian dalam negeri maupun
luar negeri. Pasar keuangan memiliki peranan penting dalam mendorong lalu
lintas atau aliran dana di masyarakat. Gangguan dalam pasar keuangan
1
mengindikasikan bahwa perekonomian cenderung rentan terhadap terjadinya
krisis ekonomi.
Salah satu kunci penting penyebab runtuhnya perekonomian AS dan sistem
keuangan global pada umumnya adalah terjadinya ketidakseimbangan global
(global imbalances) yang berimplikasi cukup kompleks. Menurut Hyman Minsky,
stabilitas finansial itu sendiri sebagai pencipta kepastian dan kepercayaan investor
yang pada gilirannya akan mendorong spekulasi yang berisiko atau risk-taking
behavior (Prasetyantoko: 2010). Pada dasarnya krisis finansial dan ekonomi
memiliki sifat recurrent (berulang-ulang), artinya gangguan kecil yang didukung
oleh kepanikan yang berlebihan oleh pasar dapat menciptakan krisis baru dan
seterusnya. Oleh karena itu, pemerintah atau otoritas moneter memerlukan
penguatan stimulus kebijakan dalam menstabilkan sistem keuangan domestik
maupun secara keselurah (global).
Stabilitas ekonomi dan finansial merupakan main goal yang selalu ingin
dicapai setiap negara di dunia. Untuk mencapai perekonomian mungkin dapat
dilakukan
dengan
berbagai
berbagai
cara,
namun
hal
tersulit
adalah
mempertahankannya. Sehingga, dewasa ini pemerintah tiap negara tengah
berusaha untuk membangun stabilitas dalam menekan (mitigasi) risiko yang dapat
berdampak sistemik. perekonomian kerap menyajikan masalah-masalah yang
sukar di pahami dan di alami, namun disisi lain setiap masalah yang muncul selalu
memiliki keunikan dari masalah-masalah sebelumnya. Hal inilah yang
menyebabkan berbagai jenis penelitian dikerahkan guna menjawab berbagai
dinamika masalah ekonomi tersebut.
Pelaku-pelaku ekonomi di pasar turut berkontribusi dalam mempengaruhi iklim
suatu perekonomian, baik domestik maupun global. Dimana, pasar memiliki
pengaruh yang cukup signifikan bagi stabilitas ekonomi, maupun terhadap
efisiensi kebijakan. Permasalahan dalam perekonomian modern saat ini cenderung
mengarah pada kepanikan pasar, karena pelaku ekonomi mudah terserah oleh
rumor-rumor dalam perekonomian yang mampu menciptakan moral hazard. Hasil
dari kepanikan pasar telah digambarkan pada berbagai krisis dunia seperti
subprime mortgage, krisis Yunani, Islandia, hingga perekonomian dalam negari
yang terguncang krisis di tahun 1997/1998.
2
Umumnya, masyarakat atau pasar akan mulai menunjukkan kepanikan dengan
cara ambil untung (spekulasi), sehingga hal ini akan memperburuk dan kian
memompa gelembung-gelembung ekonomi yang akhirnya pecah dalam bentuk
krisis. Beban yang dihadapi para pemangku kebijakan tidak hanya masalah
regulasi terhadap makroekonomi, namun juga harus mulai berfokus menciptakan
kridibilitas untuk pasar. Karena, pasar cenderung membutuhkan informasi yang
cukup meyakinkan mengenai iklim perekonomian.
Dinamika ekonomi domestik dan global mirip dengan maze (labirin) ekonomi,
dimana kita memiliki banyak jalan untuk mencapai tujuan yakni stabilitas di
sektor keuangan dan riil, dan kesejahteraan. Namun, pada umumnya dalam maze
memiliki sejumlah jalan buntu. Hal tersebut difilosofikan sebagai hambatan
ketidakseimbangan perekonomian, yang digambarkan dengan tidak efisien atau
tidak bekerjanya suatu kebijakan, karena pasar telah mengalami titik kelesuan.
Hal yang wajar terjadi di dalam permainan maze pada umumnya adalah kita
sering pergi dan sampai pada tempat yang sama (berulang), sehingga krisis
ekonomi juga memiliki sifat tersebut yakni recurrence atau berulang-ulang,
dimana krisis tidak dapat dihilangkan atau dihindari namun hanya mampu
diredam atau dijinakkan.
Makroprudensial merupakan kebijakan yang akhir-akhir ini mendapat
sorotan
dari
seluruh
otoritas
moneter
di
dunia,
termasuk
Indonesia.
Makroprudensial memiliki peranan dalam membangun stabilitas sistem keuangan
suatu negara. Menurut Janet Yellen (Gubernur Federal Reserve) dan Christine
Legarde (Direktur IMF) dalam acara “Michel Camdessus Central Banking
Lecture on Financial Stability”, bahwa risiko stabilitas sistem keuangan akibat
kekhawatiran terjadinya bubble yang berasal dari kebijakan Quantitative Easy
(QE) dapat diatasi melalui kebijkaan makroprudensial. Makro-prudential
regulation (MPR) merupakan kata kunci baru dalam dunia reformasi regulasi,
dengan tujuan untuk mengurangi risiko dalam sistem keuangan secara
keseluruhan (Gerard Lyopns: 2011). Sedangkan Bank Indonesia mendefinisikan
sebagai kebijakan utama yang ditetapkan dan dilaksanakan untuk mencegah dan
mengurangi risiko sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang seimbang bagi
sektor perekonomian, serta meningkatkan akses dan efisiensi sistem keuangan
3
dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan serta mendukung stabilitas
moneter dan stabilitas sistem pembayaran. Beberapa negara di dunia telah
menerapkan kebijakan makroprudensial untuk membangun stabilitas keuangannya,
seperti New Zealand.
Untuk memperoleh kebijakan yang efisien adalah dengan melakukan
koordinasi kebijakan (termasuk koordinasi internasional), dan melakukan combine
atau mengkombinasikan berbagai kebijakan guna mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Kematangan strategi dan menejemen risiko juga dibutuhkan guna
memitigasi risiko kepanikan dan sebagainya dalam maze ekonomi. Oleh karena
itu, dalam makalah ini akan mengurai sedemikian rupa mengenai stabilitas sistem
keuangan, peranan lembaga intermediasi dalam menjaga stabilitas ekonomi, serta
menjelaskan mengenai teoritikal regulasi keuangan dan perkembangan atau
dinamika ekonomi dan kebijakan makroprudensial dalam dunia keuangan, baik
domestik maupun global.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini dapat
dirumuskan permasalah sebagai berikut:
1. Apa arti, fungsi dan tujuan stabilitas sistem keuangan di suatu negara?
2. Bagaimana peranan otoritas moneter dan pemerintah dalam stabilitas
sistem keuangan di Indonesia?
3. Apakah teori mengenai regulasi keuangan?
4. Apakah yang dimaksud dengan kebijakan makroprudensial dan
moneter? Dan bagaimana perkembangan kebijakan makroprudensial
dalam dunia keuangan?
1.3 Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dipaparkan
sebelumnya, maka diketahui tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui arti, fungsi dan tujuan stabilitas sistem keuangan di suatu
negara.
4
2. Menganalisis bagaimana peranan otoritas moneter dan pemerintah
dalam stabilitas sistem keuangan di Indonesia.
3. Mengetahui teori mengenai regulasi keuangan.
4. Menganalisis kebijakan makroprudensial dan moneter termasuk
perkembangannya dalam dunia keuangan.
1.4 Penelitian Sebelumnya
1.
A Model of Shadow Banking oleh Nicola Gennaioli, Andrei Shleifer, dan
Robbert W. Vishny yang menggunakan modal shadow banking (bank bayangan)
dimana bank dan pinjaman perdagangan disatukan dalam portofolio yang
diversifikasi dan membiayai portofolio tersebut dengan utang tanpa risiko. Jadi,
dalam model tersebut menggambarkan sekuritas tanpa transfer risiko di luar bank
inti. Model yang digunakan adalah GVS yakni model yang dikembangkan oleh
Gennaioli, Shleifer, dan
Vishny (2012) yang berpendapat bahwa pengabaian
risiko penting untuk memahami aspek krisis. GSV menunjukkan bahwa dengan
risiko yang diabaikan maka produk keuangan baru menjadi pengganti palsu dari
obligasi yang benar-benar aman, dan sebagai akibatnya dapat mengurangi tingkat
kesejahteraan. Dapat disimpulkan bahwa shadow banking merupakan ancaman
yang cukup besar bagi dunia perbankan dan dapat berpotensi mengganggu
stablitias keuangan nasional. Oleh karena itu, perlu adanya regulator yang
mengawasi terhadap kegiatan inovasi keuangan seperti reksa dana yang
menawarkan keuntungan di atas rata-rata (memiliki risiko). Model GVS
menunjukkan bahwa lebih baik mengendalikan bank secara keseluruhan, daripada
mengandalkan kebutuhan modal yang berisiko.
2.
Macroprudential Policy in a Fisherian Model of Financial Innovation oleh
Javier Bianchi, Emine Boz, dan Enrique Gabriel Mendoza. Jurnal tersebut
mengembangkan sebuah kerangka kerja ekuilibrium umum kualitatif yang
mendorong mekanisme keuangan untu mempelajari efek dari kebijakan
makroprudensial. Analisis kuantitatif menunjukkan bahwa efektivitas kebijakan
makroprudensial tergantung pada informasi pemerintah dunia, ketatnya kendala
kredit, kecepatan pada inovasi keuangan. Hasil dari jurnal menunjukkan bahwa
pentingnya
mempertimbangkan
informasi
dalam
pembuatan
kebijakan
5
makroprudensial. Jika regulator beroperasi dengan informasi yang minim maka
dampak dari kebijakan tersebut tidak akan terasa atau kurang efektif. Dengan
melihat penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan kebijakan makroprudensial
memiliki potensi yang baik dalam menghadapi boom-bust cycle.
3.
The effect of macroprudential policy on endogenous credit cycles oleh
Daragh Clancy and Rossana Merola, sektor keuangan merupakan pemain kunci
dari timbulnya sebuah krisis. ketidakseimbangan antara sektor finansial dan sektor
riil ekonomi dapat menjadi ketakutan dan meluas pada penurunan perekonomian.
Dalam jurnal ini memfokuskan pada makro finansial yakni pasar properti yang
cenderung berfluktuatif dan menciptakan gelembung yang sering disebut dengan
property bubble. Model yang digunakan dalam jurnal ini adalah DSGE, hasil dari
penelitian menunjukkan bahwa kebijakan makroprudensial dapat mengendalikan
risiko kredit tersebut.
4.
Monitoring shadow banking and its challenges: the Malaysian experience,
oleh Muhamad Amar Mohd Farid, menjelaskan bahwa karekteristik dan ukuran
kegiatan kredit yang dilakukan oleh lembaga intermediasi non-bank dalam sistem
keuangan di Malaysia dan menguraikan pendekatan yang dilakukan dalam
memantau perkembangan dan menilai potensi penularan risiko dalam sistem
keuangan. Jurnal ini juga menggambarkan tantangan yang dihadapi dalam
mengidentifikasi dan memahami sistem shadow banking. Jenis metodologi yang
digunakan dalam jurnal adalah OLS, yang menunjukkan bahwa perumbuhan
nominal PDB menjelaskan penyaluran pembiayaan ke sektor rumah tangga oleh
lembaga keuangan non-bank. Sementara, koefisien pada laju pertumbuhan
pembiayaan bahwa ada kemungkinan bagi penyedia kredit non-bank untuk
mengambil pangsa pasar bank dalam pembiayaan untuk rumah tangga, meski
tidak terjadi secara langsung.
5.
Sejumlah inisiatif untuk meningkatkan pengawasan pada sistem yang
dilakukan oleh badan peraturan internasional. Malaysia melalui bank sentral telah
memulai beberapa langkah-langkah untuk meningkatkan pengawasan terhadap
sistem shadow banking domestik. Lembaga Keuangan Non-Bank (LKNB) yang
secara sistemik penting dalam sistem keuangan diwajibkan untuk menyerahkan
dan melaporkan data granulat secara periodik (triwulan) untuk tujuan penilaian
6
risiko. Pengalaman di Malaysia telah menunjukkan bahwa kurangnya data
granular menghambat inisiatif bank sentral dalam mengembangkan lebih keuat
kerangka pengawasannya
7
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Stabilitas Sistem Keuangan
Kondisi perekonomian nasional maupun global (termasuk iklim pasar dan
lembaga keuangan) akan mencerminkan stabilitas dari sistem keuangan suatu
negara. Keseimbangan dalam keuangan memiliki peranan yang penting bagi
kelangsungan suatu perekonomian negara. Ketidakseimbangan dalam sistem
keuangan telah ditunjukkan oleh runtuhnya perekonomian raksasa Negeri Paman
Sam di tahun 2007/2008, sehingga stabilisasi atau keseimbangan selalu menjadi
tujuan dari seluruh arah kebijakan baik moneter maupun fiskal.
Menurut Bank Indonesia, Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) sebenarnya
belum memiliki definisi baku yang telah diterima secara internasional. Oleh
karena itu, muncul beberapa definisi mengenai SSK yang pada intinya
mengatakan bahwa suatu sistem keuangan memasuki tahap tidak stabil pada saat
sistem tersebut telah membahayakan dan menghambat kegiatan ekonomi.
Sedangkan, Bank Central of Sri Lanka mendifinisakan stabilitas sistem keuangan
sebagai ketahanan sistem keuangan pada guncangan internal dan eksternal, baik
ekonomi, keuangan, politik atau yang lainnya. Hal ini juga dapat digambarkan
sebagai tidak adanya gangguan dari biaya ekonomi makro dalam pertukaran
keuangan antara rumah tangga, bisnis, dan lembaga keuangan. Tujuan dari
stabilitas sistem keuangan pada dasarnya jauh daripada tujuan dalam pengawasa
sektor keuangan.
Rose, PS (Dalam Sawaldjo: 2004) menyatakan pentingnya sistem keuangan
dalam kehidupan masyarakat dapat dilakukan dengan meyorotinya dari berbagai
fungsi dasar dalam perekonomian modern, yaitu:
1. Fungsi Tabungan, dana yang berasal dari
masyarakat akan dialirkan
melalui pasar keuangan menjadi investasi sehingga lebih banyak barang dan
jasa dapat di produksi di masa depan, dan pada gilirannya akan
meningkatkan standar hidup masyarakat.
2. Fungsi penyimpanan kekayaan, Intrumen keuangan yang diperjualbelikan
dalam pasar uang dan pasar modal menyediakan suatu cara yang terbaik
8
untuk menyimpan kekayaan (yaitu menahan nilai aset yang dimilik) sampai
dana tersebut dibutuhkan untuk dibelanjakan.
3. Fungsi likuiditas, Kekayaan yang disimpan dalam bentuk instrumen
keuangan dapat dengan mudah dicairkan melalui mekanisme pasar
keuangan. Obligasi atau saham dan instrumen keuangan lainnya menjajikan
keuantungan dengan risiko yang relative kecil. Pasar uang dan pasar modal
menyediakan suatu cara untuk mengkonversi instrumen-instrumen tersebut
menjadi uang tunai. Lembaga keuangan depositori menyediakan berbagai
alternative instrumen simpanan yang memiliki likuiditas yang tinggi.
4. Fungsi kredit, Pasar keuangan menyediakan kredit untuk membiayai
kebutuhan konsumsi dan investasi dalam ekonomi. Kredit merupakan
pinjaman yang disertai dengan janji untuk membayar kembali di masa yang
akan dating. Konsumen membutuhkan kredit untuk membeli barang-barang
misalnya rumah, mobil dsb. Sedangkan pengusaha menggunakan fasilitas
kredit (credit line) untuk membeli barang untuk tujuan produksi,
membangun gedung, membeli mesin, membayar gaji atau membayar
dividen kepada pemegang saham dsb.
5. Fungsi
pembayaran, Sistem
keuangan
menyediakan
mekanisme
pembayaran atas transaksi barang dan jasa-jasa. Instrumen pembayaran
yang tersedia antara lain cek, giro bilyet, kartu kredit, termasuk mekanisme
kliring dalam perbankan.
6. Fungsi risiko, Pasar keuangan menawarkan kepada unit usaha dan
konsumen proteksi terhadap jiwa, kesehatan dan risiko pendapatan atau
kerugian. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menjual berbagai polis
asuransi.
7. Fungsi kebijakan, Pasar keuangan telah telah menjadi instrumen pokok
yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk melakukan kebijakan guna
menstabilkan ekonomi dan mempengaruhi inflasi melalui kebijakan moneter.
Stabilitas sistem keuangan dalam perspektif mikro ekonomi memeriksa
setiap kinerja lembaga keuangan dan kesehatan untuk melindungi kepentingan
deposan dan untuk mempromosikan kesehatan lembaga keuangan. Dalam
9
persepktif makro ekonomi memeriksa fungsi keseluruhan dan stabilitas sistem
keuangan termasuk sistem kliring, Payment and Settlement System (PSS) serta
pertukaran dan sekuritas dan sebagainya. Lingkungan atau kondisi ekonomi
makro, baik internasional dan domestik mampu mempengaruhi lembaga keuangan
dan pelaku ekonomi serta sistem keuangan secara keseluruhan, sehingga setiap
instrumen dalam perekonomian saling mempengaruhi dan kinerjanya akan
mencerminkan bagaimana kondisi dari stabilitas sistem keuangan (Figur 2.1).
Stabilitas sistem keuangan karena beberapa hal, tergantung oleh beberapa faktor
yang saling bergantung dan saling berhubungan, yakni:
a. Lingkungan ekonomi makro yang stabil,
b. Peraturan dan kinerja dari lembaga keuangan,
c. Pasar keuangan yang efisien,
d. Pengawasan, dan
e. Pembayaran yang aman dan dapat diandalkan serta settlement system.
Figur 2.1 Komponen Sistem Keuangan (Components of the Financial System)
Negara-negara berkembang menghadapi tantangan tambahan karena kondisi
sistem keuangan yang cenderung tertinggal (terbelakang) dan kerentanan terhadap
arus modal internasional yang mudah menguap, terutama “sudden stops” atau
modal yang tiba-tiba terhenti mengalir pada sektor-sektor perekonomian di negara
tersebut (Masahiro dan Peter: 2012). Capital inflow merupakan sebuah suntikan
10
dana yang sangat berperan dalam menggerakkan roda perekonomian negara
khususnya negara berkembang, sehingga gangguan pada capital baik inflow
maupun outflow dapat mempengaruhi arus modal di suatu negara dan pada
akhrinya berpengaruh pada stabilitas keuangan. European Central Bank atau ECB
(Dalam Masahiro dan Peter: 2012) mendifinisikan tiga kondisi tertentu yang
terkain dengan stabilitas keuangan:
1. Sistem keuangan harus dapat secara efisien dan lancar mentransfer sumber
modal atau dana dari penabung kepada investor.
2. Risiko keuangan harus dinilai, ditentukan, dijaga, dan dikelola secara baik.
3. Sistem keuangan harus dalam kondisi sedemikian rupa sehingga dapat
menyerap gejolak keuangan dan ekonomi riil.
Ketiga kondisi stabilitas sistem keuangan di atas menunjukkan bahwa perlu
adanya regulasi ulang untuk membangun sistem keuangan yang lebih kuat dan
efisien. Dikarenakan pada kenyataannya setiap waktu, perekonomian akan
dihadapkan pada permasalahan ekonomi baru yang tidak mudah untuk
diekspektasikan. Hal tersebut sejalan dengan pandangan Hyman Minsky, bahwa
krisis ekonomi dan finansial memiliki sifat recurrent atau berulang-ulang, artinya
krisis yang pernah terjadi sebelumnya memiliki potensi untuk terjadi di masa yang
akan datang dengan penyebab yang beragam. Menurut Prasetyantoko (2010) pada
intinya, setiap krisis memiliki tingkat kerumitannya sendiri yang unik, tetapi bisa
jadi mengandung persoalan mendasar yang polanya lebih kurang sama dengan
krisis yang lain pada umumnya.
Keseimbangan terjadi apabila antara sektor riil dan sektor finansial memiliki
porsi yang optimal, artinya tidak terjadi ketimpangan dari salah satu sektor
penting tersebut. Krisis subprime mortgage AS dilatar belakangi oleh
ketidakseimbangan pada sektor ekonomi, dimana sektor finansial relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan sektor riil. Hal tersebut membuat sektor riil sempat
berhenti dan menyebabkan perekonomian AS kurang mampu bersaing dengan
perekonomian negara lain. Krisis tersebut dapat menjadi pelajaran bagi seluruh
negara dalam membuat kebijakan untuk menjaga stabilitas keuangan dan menjaga
pertumbuhan ekonomi yang diharapkan.
11
Kestabilan sistem keuangan Indonesia dipengaruhi oleh dinamika yang
terjadi di pasar keuangan global dan domestik. Gejolak pasar keuangan global
yang terjadi pada triwulan IV 2008 hingga triwulan I 2009 memengaruhi kinerja
pasar keuangan Indonesia. Gejolak perekonomian global tersebut lebih banyak
disebabkan
oleh
faktor-faktor
di
sektor
keuangan
daripada
karena
ketidakseimbangan internal dan eksternal di perekonomian makro Indonesia.
Risiko antar bank meningkat, likuiditas mengetat, pertumbuhan kredit turun
drastis dari 38 persen di akhir triwulan III-2008 menjadi 10 persen di akhir tahun
2009 (Juda: 2010). Permasalahan likuiditas cukup berpengaruh terhadap perilaku
bank, yaitu bank yang semula cukup agresif dalam melakukan ekspansi kredit
pada tahun 2008 menjadi lebih berhati-hati. Sikap kehati-hatian bank dan
kekhawatiran terjadinya peningkatan kredit bermasalah NPL mendorong bank
untuk menempatkan dananya pada SBI dan FASBI (Figur 2.2). Menurut Bank
Indonesia, paska krisis 2008 ketahanan perbankan Indonesia secara umum
membaik, didukung oleh permodalan yang cenderung tumbuh meningkat (Figur
2.3).
Figur 2.2 Porsi Kredit dan SBI plus FASBI terhadap Aktiva Produktif Bank
12
Figur 2.3 Perkembangan CAR Perbankan Indonesia
Sumber: Bank Indonesia
2.2 Peranan Lembaga Keuangan Termasuk Otoritas Moneter
2.3.1 Financial Intermediaries
Pasar keuangan merupakan wadah atau media bertemunya antara borrower
(peminjam) dan saver (penabung) untuk melakukan transaksi keuangan ataupun
kegiatan pembiayaan dan lain-lain. Sebuah pasar keuangan akan terdapat sebuah
sistem yang melekat di dalamnya, yakni sistem finansial. Menurut Herman (2006)
mendefinisikan sistem finansial sebagai sebuah sistem yang menggerakkan dana
dari penabung (unit masyarakat yang surplus) ke pihak yang memerlukan dana
(unit yang defisit) untuk keperluan konsumsi dan investasi di bidang yang
produktif. Dengan terlaksananya investasi akan menyebabkan perekonomian
tumbuh yang pada gilirannya akan meningkatkan standar hidup (kemakmuran)
penduduk.
Perekonomian global juga memiliki sistem yang mengatur keuangan secara
global, dimana sistem keuangan tersebut terdiri dari institusi dan regulator yang
bertindak pada tingkat internasional. Berdasarkan definisi sebelumnya, dapat
digambarkan bahwa pasar dan sistem keuangan sangat penting dalam
perekonomian, sehingga untuk memperlancar jalannya kegiatan keuangan di pasar
13
keuangan maka dibutuhkan sebuah lembaga perantara (financial intermediaries).
Menurut ECB sistem keuangan terdiri dari:
1. Pasar keuangan (seperti pasar uang dan pasar modal) yang menyalurkan
dana berlebih dari pemberi pinjaman (yakni bisnis atau individu yang ingin
menginvestasikan uangnya) untuk peminjam (yaitu orang-orang yang
membutuhkan modal);
2. Perantara keuangan (seperti bank dan perusahaan asuransi), yang secara
tidak langsung membawa pemberi pinjaman dan peminjam bersa,a-sama
(meskipun peminjam juga dapat memperoleh dana secara langsung dari
pasar keuangan dengan menerbitkan surat berharga, misalnya saham atau
obligasi;
3. Infrastruktur keuangan, yang memungkinkan transfer pembayaran dan
perdagangan, kliring dan penyelesaian surat berharga.
Di dalam sistem keuangan global telah terdapat lembaga yang berperan sebagai
pelaku utama dalam menjaga dan mengatur sistem keuangan global yakni
International Monetary Fund (IMF), Bank of International Settlement, lembaga
global dan departemen pemerintahan, seperti bank sentral dan kementerian
keuangan;
institusi
swasta
yang
beroperasi
di
tingkat
global,
misalnya bank dan dana lindung nilai; dan institusi regional, seperti Zona Euro.
Lebih dari peranannya dalam menjaga dan mengatur sistem keuangan global,
lembaga keuangan internasional (misalnya IMF) juga berperan dalam membantu
menyalurkan dana (boilout) kepada beberapa negara anggota yang tengah
menghadapi kesulitan (khususnya negara berkembang) dengan menetapkan
beberapa persyaratan. Sebagian besar negara berkembang masih bergantung pada
dana tersebut guna membiayai kegiatan ekonominya, termasuk yang dilakukan
Indonesia.
Dalam sistem keuangan domestik, pemain utamanya yakni pemerintah pusat
dan pemerintah daerah; supranasional (bank dunia); dan perusahaan finansial
(lembaga finansial). Lembaga finansial merupakan perusahaan yang bisnisnya
berkenaan dengan salah satu atau kedua dari kegiatan berikut:
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam berbagai bentuk dan cara.
2. Meminjamkan dana kepada masyarakat dalam berbagai bentuk dan cara.
14
Berdasarkan kategorinya, lembaga perantara keuangan dibagi menjadi:
1. Bank yang meliputi bank konvensional, BPR, dan lembaga simpan pinjam.
2. Lembaga finansial yang bersifat kontrak yang meliputi perusahaan asuransi
dan perusahaan dana pensiun.
3. Perantara investasi yang meliputi perusahaan pembiayaan dan perusahaan
reksadana (Herman: 2006).
Selain lembaga-lembaga tersebut, pada kenyataannya masih terdapat sejumlah
lembaga keuangan yang berperan dalam pasar dan sistem keuangan seperti
lembaga keuangan non bank bahkan lembaga yang bergerak dalam bidang
keuangan seperti bank, namun tidak berada dibawah naungan Otoritas Jasa
Keuangan (tidak berpayung hukum) yang disebut dengan shadow banking atau
perbankan bayangan (Figur 2.4). Lembaga finansial yang memiliki peranan
terbesar adalah bank sentral selaku pembuat kebijakan dan menjaga serta
mencitpakan kestabilan harga (inflasi) dan nilai tukar (kurs).
Figur 2.4 Lembaga Kunci dalam Sistem Keuangan
Lembaga perantara keuangan yang paling banyak berperan dalam pasar keuangan
di Indonesia adalah perbankan. Scholtens dan van Wensveen (Dalam Franklin
Allen dan M. Santomero: 1999) mengamati bahwa persentase total aset finansial
15
dari PDB sebagian besar berasal dari sektor perbankan. Secara umum perbankan
memiliki 3 hal yang berkaitan dengan fungsi dan peranan bank secara umum:
1. Pehimpunan dana yang bersumber dari masyarakat luas dalam bentuk
produk yang beragam seperti simpanan, tabungan, deposito, dan giro. Selain
dari masyarakat biasanya bank menerima dana melalui lembaga keuangan
lain/ bank lain, investor, ataupun dari bank sentral.
2. Penyaluran dana dalam bentuj kredit atau bentuk lainnya kepada masyarakat
yang memerlukan, seperti pembelian surat-surat berharga, penyertaan,
pemilikan harta tetap, dan sebagainya.
3. Pelayanan jasa keuangan, seperti pengiriman uang/ transfer, inkaso,
penagihan surat berharga, kartu debit-kredit, ATM, e-banking, dan layanan
perbankan yang lainnya.
Banyaknya jenis lembaga perantara keuangan, seperti bank tabungan, bank
komersial, koperasi simpan pinjam dan perusahaan asuransi dan cara-cara
beroperasi mereka yang sangat berbeda. Tetapi mereka mempunyai persamaan
yaitu mereka semua menerbitkan surat hutang kepada masyarakat dan kemudian
menggunakan dana yang diperolehnya untuk membeli surat berharga langsung
seperti obligasi dan saham (Stephen dan Lester: 1990).
Lembaga perantara keuangan lahir karena adanya kebutuhan pasar.
Kebutuhan masyarakat pada dasarnya terus meningkat baik dari kebutuhan pokok
maupun kebutuhan akan informasi dan aksesbilitas keuangan. Kebutuhan yang
tinggi tidak sebanding dengan kemampuan masyarakat dalam memenuhinya misal,
kebutuhan akan modal untuk meningkatkan dan memperluas kegiatan usahanya,
sedangkan dana atau modal yang dimiliki tidak mampu menutupi kekurangan
modal usahanya. Hal ini sejalan dengan teori kelangkaan dalam ilmu ekonomi
yang mempelajari perilaku manusia di dalam memenuhi kebutuhannya yang
relatif tidak terbatas dengan menggunakan sumber daya yang terbatas dan masingmasing sumber daya mempunyai alternatif penggunaan (opportunity cost).
Permasalahan tersebut menjadi salah satu faktor pendorong lahirnya lembaga
perantara keuangan. Keberadaan lembaga keuangan dapat menekan risiko dan
ketidakefisienan (biaya) dalam kegiatan keuangan, seperti informasi asimetris,
moral hazard, dan sebagainya.
16
Dalam Bukunya Financial Markets and Institutions, Minshkin (2012)
mengatakan bahwa intermediasi keuangan memiliki peran yang penting dalam
pasar keuangan, yakni:
1. Biaya Transaksi
Perantara keuangan secara substansial dapat mengurangi biaya transaksi,
sehingga memungkinkan untuk memberikan dan langsung ke pihak yang
memiliki peluang investasi produktif dan dapat memberikan peuanan likuid
sehingga memudahkan pelanggan untuk transaksi.
2. Berbagi Risiko
Lembaga keuangan membantu para investor untukk mengadapi risiko, yaitu
dengan melalui proses risk sharing. Dimana, aset yang berisiko
diubahmenjadi aset yang aman bagi investor.
3. Informasi Asimetris: Seleksi Kerugian dan Moral Hazard
Dalam pasar keuangan, salah satu pihak sering tidak tahu tentang pihak lain
dalam membuat keputusan. Ketidakpastian ini disebut informasi asimetris,
yang akan menciptakan masalah dalam sistem keuangan. Seleksi kerugian
merupakan masalah yang diciptakan oleh informasi asimetris sebelum
terjadi transaksi. Karena berbagi risiko mungkin akan menyebabkan kredit
macet, maka kreditur memutuskan untuk tidak membuat pinjaman meski
ada risiko kredit yang baik di pasar.
Sedangkan, moral hazard adalah masalah yang diciptakan oleh informasi
asimetris setelah terjadi transaksi. Dalam pasar keuangan moral hazard
cukup berisiko, karena peminjam mungkin terlibat dalam kegiatan yang
tidak diinginkan oleh pemberi pinjaman. Sehingga, pemberi pinjaman akan
memutuskan untuk tidak membuat pinjaman.
Masalah-masalah tersebut dapat ditekan dengan menggunakan lembaga
intermediasi keuangan. Pada dasarnya gejolak ekonomi ataupun finansial dapat
menjadi krisis, apabila ekspektasi atau perilaku pelaku ekonomi cenderung panik
ataupun ambil untung (spekulasi). Perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi juga berperan dalam siklus ekonomi, termasuk dalam menyebarkan
rumor negatif yang dapat bermuara pada krisis.
17
Peran Perbankan Dalam Sistem Keuangan
Dalam menjalankan kegiatannya, bank mempunyai peran penting dalam
sistem keuangan nasional, yakni:
1. Pengalihan Aset yakni pengalihan aset dari unit surplus (penabung) ke unit
defisit (peminjam), yang jangka waktunya dapat diatur sesuai keinginan
pemilik dana.
2. Transaksi, yakni memberikan berbagai kemudahan kepada pelaku ekonomi
untuk melakukan transaksi keuangan.
3. Likuiditas, dimana bank menjada likuiditas masyarakat dengan membantu
aliran dana dari unit surplus ke unit defisit.
4. Efisiensi, yakni perbankan berperan dalam menjebatani dua pihak yang
saling berkepentingan untuk menyamakan informasi yang tidak sempurna
sehingga terjadi efisiensi biaya ekonomi (IBI dan LSPP: 2013).
Sesuai dengan Fifur 2.4, bahwa dalam pasar dan lembaga keuangan tidak
hanya perbankan yang memiliki peran dan dampak bagi stabilitas keuangan secara
keseluruhan. Namun, dalam pasar dan sistem keuangan masih terdapat berbagai
instrumen lain yang juga penting untuk di perhatikan dan dijaga, seperti
perusahaan sekuritas, perusahaan asuransi, reksadana, bahkan shadow banking.
Jika salah satu instrumen keuangan tersebut mengalami kerusakan, khususnya jika
terjadi ketika perekonomian domestik maupun global kurang stabil dan perilaku
masyarakat yang cenderung panik, maka kerusakan tersebut diperkirakan
berdampak sistemik terhadap instrumen keuangan yang lain dan pada akhirnya
berpotensi menimbulkan krisis.
2.3.2 Otoritas Moneter
Menurut OECD Glossary of Statistical Terms, sektor otoritas moneter
meliputi unit kelembagaan bank sentral (lembaga keuangan/ moneter dan lainlain) dan operasi tertentu yang biasanya dikaitkan dengan bank sentral namun
dalam beberapa kasus, dilakukan oleh lembaga pemerintah lainnya (dalam
beberapa contoh yaitu bank komersial). Lexicon Financial Time mendefinisikan
otoritas moneter sebagai entitas (biasanya bank sentral) yang diberi wewenang
oleh pemerintah atau parlemen untuk mengendalikan uang beredar dengan
18
menaikkan atau menutunkan suku bunga, mengawasi kebijakan nilai tukar dan
biasanya juga mengawasi sektor perbankan. Belajar pada gambaran luas dari
ekonomi dan sistem keuangan serta peranannya dalam sektor finansial, terdapat
konsensus luas bahwa bank sentral memainkan peran kunci dalam memantau dan
mengatur stabilitas keuangan (Masahiro dan Peter: 2012). Sedangkan menurut
Dirk Schoenmaker (2011), fungsi stabilitas keuangan tidak hanya dipegang oleh
satu bank sentral di dalam negari (dalam jurnalnya bank sentral yang dimaksud
adalah European Central Bank atau ECB), tetapi juga dipegang oleh bank sentral
lain yakni Federal Reserve (The Fed) yang merupakan bank sentral Amerika
Serikat. Pendapat Dirk tersebut dapat diterjemahkan bahwa stabilitas keuangan
suatu negara juga bergantung pada sistem keuangan serta kebijakan-kebijakan
yang lebih kuat yakni The Fed.
Berdasarkan penjelasan di atas, bank sentral merupakan instrumen terkuat
dalam menjaga stabilitas sistem keuangan negara. Menurut Bank Indonesia, bank
sentral sebagai otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran. Keberhasilan
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dalam menjaga stabilitas moneter tanpa
diikuti oleh stabilitas sistem keuangan, tidak akan banyak dalam mendukung
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Artinya kedua sistem tersebut
(moneter dan sistem keuangan) tidak dapat dipisahkan. Bank Indonesia (bank
sentral) memiliki lima peran utama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan,
yaitu:
Pertama, Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter
antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank
Indonesia dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan
berimbang.
Bank
Indonesia
telah
menerapkan
suatu
kebijakan
yang
disebut inflation targeting framework.
Kedua, Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja
lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga
perbankan seperti itu dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi.
Untuk menciptakan stabilitas di sektor perbankan secara berkelanjutan, Bank
Indonesia
telah
menyusun Arsitektur
Perbankan
Indonesia dan
rencana implementasi Basel II.
19
Ketiga, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada
salah satu peserta dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko
potensial yang cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran.
Bank Indonesia mengembangkan mekanisme dan pengaturan untuk mengurangi
risiko dalam sistem pembayaran yang cenderung semakin meningkat. Antara lain
dengan menerapkan sistem pembayaran yang bersifat real time atau dikenal
dengan nama sistem RTGS (Real Time Gross Settlement) yang dapat lebih
meningkatkan keamanan dan kecepatan sistem pembayaran.
Keempat, melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia
dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas
keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya akan menjadi
rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat
untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan.
Kelima, Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim
keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR).
Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral
dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem
keuangan. Fungsi sebagai LoLR mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi
normal maupun krisis.
Indenpendensi Bank Sentral
Bank sentral sebgai otoritas moneter memiliki kendali dan wewenang atas
stablitas sistem kaungan di suatu negara. Sikap indenpendensi memiliki peran
penting bagi bank sentral dalam merumuskan dan menjalankan tugasnya melalui
berbagai bauran kebijakan yang ada. (Veithzal Rivai, Andria, dan Reffry: 2007)
menjelaskan bahwa terdapat dua alasan mengapa sikap indenpendensi bank
sentral sangat penting, yakni:
a. Terdapatnya kecenderungan pemerintah dan kalangan politisi untuk
mendorong tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam waktu
tingkat tanpa menghitung secara matang kapasitas ekonomi yang ada,
sehingga dapat menimbulkan overheating.
20
b. Terdapatnya kecenderungan pemerintah untuk mengutamakan dana bank
sentral guna membiayai defisit anggaran bila tidak ada aturan yang
melarangnya.
Indenpendesi bank sentral memang harus dijaga, namun tidak menutup
kemungkinan bank sentral untuk tetap menjalin hubungan koordinasi dengan
pemerintah (merupakan otoritas kebijakan fiskal). Kebijakan moneter dan fiskal
tidak dapat berjalan sendri-sendiri, melainkan kedua kebijakan tersebut harus
saling melengkapi untuk mencapai stabilitas di sektor finansial dan sektor riil.
Keseimbangan antara kedua kebijakan tersebut akan menciptakan pertumbuhan
ekonomi dan sistem keuangan yang sehat. (Veithzal Rivai, Andria, dan Reffry:
2007) Bank Indonesia ditunjuk sebagai pemegang kas pemerintah, selain itu untuk
dan atas nama pemerintah dapat menerima pinjaman luar negeri, menatausahakan,
serta menyelesaikan tagihan dan kewajiban keuangan pemerintah terhadap luar
negeri. Sedangkan pemerintah, wajib meminta pendapat dan atau mengundang BI
dalam sidang Kabinet dalam membahas tugas BI yakni masalah ekonomi,
perbankan, dan keuangan.
Meskipun kedua pihak tersebut (pemerintah dan bank sentral) menjalankan
tugas secara terpisah, namun pada dasarnya tujuan dari tugas tersebut adalah sama
yanki untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan stabilitas pada
sistem dan sektor keuangan. Pemerintah melalui kebijakan fiskal akan berupaya
mengadakan kebutuhan pada sektor riil, seperi barang dan jasa. Sedangkan
otoritas moneter melalui kebijakan moneter akan berupaya mengadakan likuiditas
bagi masyarakat, agar memiliki kemampuan atau daya beli. Oleh karena itu,
kedua pihak yang mewakili masing-masing sektor penting tersebut harus saling
berkoordinasi untuk menciptakan kebijaksanaan yang efisien dan efektif.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Sejak perubahan peraturan (Undang-undang) tentang Bank Indonesia yakni
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 digantikan dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2004 yang di dalamnya berisi mengenai perubahan peraturan
yang menyebutkan bahwa telah dibentuk pengawasan sektor jasa keuangan yang
21
independen selambat-lambatnya akhir tahun 2010 dengan nama Otoritas Jasa
Keuangan. Lembaga tersebut mempunyai tugas melakukan pengaturan dan
pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, sektor Pasar
Modal, dan sektor IKNB. Jadi, dalam hal pengawasan perbankan telah di pindah
tangankan kepada OJK selaku lembaga pengawas di sektor keuangan.
Ryan Kiryanti (Dalam Ramadhana: 2015) menyatakan bahwa tujuan
pembentukan OJK ini agar BI fokus kepada pengelolaan moneter dan tidak perlu
mengurusi pengawasan bank karena bank itu merupakan sektor dalam
perekonomian. Badan pengawas keuangan atau regulatory agency of financial
seperti OJK, tidak hanya ada di Indonesia, melainkan juga terdapat di negaranegara lain. Jepang, Jerman, Inggris, Korea merupakan sebagian kecil dari negaranegara yang memiliki badan pengawasan keuangan seperti OJK di Indonesia.
Jerman
Bundesanstalt
fur
Finanzdienstleistungsaufsicht
(BaFin),
merupakan
institusi mirip OJK yang ada di Jerman. BaFin dibentuk pada 2002, dan kini
mengawasi 2.700 bank, 800 lembaga jasa keuangan, dan lebih dari 700
perusahaan asuransi. Tujuan pendirian BaFin adalah menciptakan satu regulator
yang mengawasi dan mengatur seluruh industri keuangan. Ini dipercaya mampu
meningkatkan transparansi dan kemampuan dalam mengelola sistem keuangan.
Jepang
Sementara JFSA (Japan Financial Services Authority) di Jepang merupakan
lembaga yang mengawasi perbankan, pasar modal, dan asuransi. Namun, lembaga
ini tidak independen karena menginduk kepada Kementerian Keuangan Jepang.
Di negara Sakura ini, fungsi pengawasan perbankan merupakan kewenangan
pemerintah Jepang yang dalam pelaksanaannya dilakukan FSA (Financial
Services Agency). Secara umum, fungsi FSA di Jepang mencakup beberapa hal
pokok. Satu, menyusun rencana dan mengambil keputusan di bidang sistem
keuangan. Dua, memeriksa dan mengawasi lembaga keuangan swasta, termasuk
perbankan, perusahaan sekuritas, perusahaan asuransi, dan pelaku lain di pasar
modal seperti broker.
22
Tiga, membuat ketentuan terkait dengan perdagangan di pasar uang
(securities markets). Empat, menetapkan standar akuntansi dan keuangan
perusahaan. Lima, mengawasi kantor akuntan publik dan perusahaan audit. Enam,
berpartisipasi pada berbagai forum internasional, baik bilateral maupun
multilateral, terkait dengan isu keuangan dalam rangka mengembangkan tata
kelola administrasi keuangan sesuai dengan standar internasional. Terakhir,
mengawasi pelaksanaan ketentuan di pasar keuangan (surveillance of compliance
of rules in securities markets). Hal itu penting dilakukan dalam rangka menjaga
stabilitas sistem keuangannya dan sebagai dasar dalam perumusan serta
implementasi kebijakan moneter di Jepang.
Untuk menghindari overlapping pemeriksaan dan beban yang belebihan
(overburden) dari lembaga keuangan yang akan diperika, dibutuhkan adanya
koordinasi pengawasan antara Bank of Japan dan FSA setiap periode. Koordinasi
yang harmonis antar bank sentral dan otoritas jasa keuangan yang mengawasi
lembaga keuangan sangat penting untuk menentukan keberhasilan suatu kebijakan
dan perekonomian yang ingin dicapai.
UK (United Kingdom)
Banyak negara yang berhasil, tetapi ada pula yang gagal menjalankan
unified supervisory model. Salah satunya adalah kasus Financial Services
Authority (FSA) di Inggris. FSA dibentuk pada 2001. Seperti halnya OJK, FSA
pun berwenang untuk mengawasi dan mengatur perbankan, pasar modal, dan
lembaga keuangan non-bank. Namun dalam perjalannya, Negeri Ratu Elizabeth
menilai keberadaan FSA tidak terlalu berdampak positif. Buktinya, FSA dinilai
lemah dan tidak aktif sehingga perbankan masih bisa menjalankan bisnis secara
tidak bertanggung jawab. Ini menyebabkan perbankan Inggris sempat mengalami
masalah keketatan kredit (credit crunch) pada 2007.
Korea Selatan
Pemerintah Korea Selatan memutuskan untuk memisahkan fungsi
pengawasan perbankannya dari Bank of Korea (BOK) dengan membentuk
Financial Supervisory Service (FSS) pada 1999. Walaupun pada awalnya
23
sebagian besar staf dan pemimpin FSS berasal dari satuan kerja di BOK yang
menangani fungsi pengawasan perbankan, nyatanya itu tidak menjadi jaminan
bahwa aliran informasi terkait dengan kondisi perbankan dan keuangan di Korea
Selatan dapat diakses BOK. Penyebabnya, tidak terdapatnya mekanisme kerja dan
dasar hukum yang kuat bagi BOK untuk dapat mengakses berbagai informasi
yang diperlukan terkait dengan perbankan dan lembaga keuangan.
BOK telah menempuh berbagai upaya dan telah mengusulkan kepada
pemerintah untuk mengamandemen UU BOK agar dapat memperoleh
kewenangan dan akses informasi terkait dengan perbankan di Korea, seperti yang
dilakukan BOJ. Namun, sejauh ini berbagai upaya tersebut mendapat penolakan
dari pihak FSS.
Kajian Koordinasi
Dapat dilihat dari beberapa negara yang menganut atau menggunakan
instrument badan pengawas keuangan diatas, sebagian besar mengalami
kegagalan. Kegagalan tersebut, bermuara dari ketidakharmonisan antara bank
sentral dengan otoritas jasa keuangan yang menaungi lembaga-lembaga keuangan.
Oleh karena itu, perlu adanya kajian ulang terhadap koordinasi antar pemain besar
dalam perekonomian tersebut, karena setiap tindakan ataupun kebijakan yang
dilakukan akan memberikan pengaruh kepada sektor-sektor keuangan yang lain,
dan pada akhirnya akan berdampak pada perekonomian secara keseluruhan. Bank
sentral dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Indonesia perlu bercermin dari
kegagalan-kegagalan koordinasi, untuk saat ini perlu adanya kerjasama baik yang
harus dibangun dan dijaga antar kedua belah pihak tersebut, demi terciptanya
pasar keuangan yang sehat dan pertumbuhan ekonomi yang optimal.
Dalam pelaksanaan sistem dan pasar keuanagan tidak dapat terlepas dari
masalah atau risiko seperti risiko pada lembaga perantara keuangan yang
insolvabel, yaitu nilai aktivanya akan turun di bawah nilai pasivanya. Sehingga
dibutuhkan intervensi dalam bentuk regulasi. Regulasi menimbulkan pengaruh
yang luas terhadap struktur lembaga perantara keuangan dengan menciptakan
sistem keuangan yang aman yaitu sistem yang bebas dari kepanikan finansial.
Selain itu perlu mengembangkan suatu sistem keuangan yang efisien, yaitu sistem
24
yang menyalurkan dana dari dan ke masyarakat dengan biaya sekecil mungkin
(Stephen dan Lester: 1990).
Peralihan dalam hal pengawasan dan wewenang mengenai regulatory
agency of financial tidak menutup kemungkinan bahwa Bank Indonesia melepas
sektor perbankan tersebut dalam arti sebenarnya. Meskipun wewenang tersebut
telah dipegang oleh OJK, Bank Indonesia masih tetap melakukan pengawasan
dengan selalu menjaga koordinasi dengan OJK. Disisi lain tugas Bank Indonesia
masih cukup berat, karena harus menjaga stabilitas sistem keuangan secara
keseluruhan.
2.3.3 Pemerintah dan Fiskal
Kebijakan moneter tidak terlepas dari kebijakan makro lainnya seperti
kebijakan fiskal. Kebijakan moneter dan fiskal difilosofikan sebagai kaki,
sedangkan perekonomian adalah tubuhnya. Apabila salah satu kaki tersebut cacat,
artinya tidak dapat berfungsi maka perekonomian tidak akan dapat meningkat atau
bahkan akan mengalami penurunan. Stephen Cecchetti (2011) menyatakan bahwa
terdapat salah satu pelajaran penting dari krisis keuangan adalah peningkatan
apresiasi pada kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan kebijakan stabilitas
keuangan. Kapasitas pemerintah untuk mendukung sektor keuangan, melalui
paket penyelamatan dan ekonomi riil melalui stimulus fiskal sangat penting dalam
mencegah krisis keuangan dan ekonomi keseluruhan. Menurut Stephen, kebijakan
fiskal sendiri dianggap sebagai risiko utama dalam stabilitas keuangan dan
moneter. Hal ini sejalan dengan pendapat Prasetyantoko dalam bukunya “Ponzi
Ekonomi Prospek Indonesia Di Tengah Instabilitas Global” yang menyatakan
bahwa faktor penyebab kebangkrutan sistem finansial global tidak hanya
bersumber dari sisi moneter, tetapi juga dari sisi fiskal.
Dari sisi fiskal pada umumnya karena adanya defisit neraca pembayaran
(current account), yang diilustrasikan dengan arus impor lebih besar daripada
ekspor sehingga balance sheet pemerintah harus menanggung pengeluasan lebih
banyak daripada pemasukan. Faktor lainnya adalah kemampuan daya saing
dengan produk-produk negara lain melemah, hal ini ditandai dengan produk
negara lain yang telah membanjiri pasar domestik, sehingga perekonomian dapat
25
dikatakan mengalami kelesuan. Tekanan dari sisi fiskal kemudian memaksa
pelonggaran kebijakan moneter dalam mengendalikan peredaran uang untuk
memasok likuiditas lebih besar pada perekonomian. Oleh karena itu, suatu negara
membutuhkan kerangka stabilitas dimana moneter, fiskal dan kebijakan
prudensial saling bekerja sama untuk membangun makro ekonomi dan sistem
keuangan yang kuat dan stabil, yang akan membuat krisis cenderung mudah
dikendalikan.
Mekanisme kebijakan moneter dan fiskal dapat dijelaskan lebih sederhana,
yakni diasumsikan bahwa sisi fiskal merupakan kebijakan pemerintah dalam
mengendalikan penawasan (supply side) dengan mengatur pasar barang dan jasa.
Kebijakan fiskal juga ditujukan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi suatu
negara, seperti infrastruktur yang nantinya dapat mendukung kegiatan ekonomi.
Menurut Ionela Popa dan Dian (2010), sistem fiskal merupakan faktor kunci
untuk mempengaruhi efisiensi ekonomi. Lebih dari itu, peran kebijakan fiskal di
negara maju adalah untuk mempertahankan kesempatan kerja dan menstabilkan
pertumbuhan. Sebaliknya di negera-negara berkembang, kebijakan fiskal
digunakan untuk menciptakan lingkungan dalam mempercepat pertumbuhan
ekonomi dengan berbagai aspek, seperti mobilisasi sumber daya, percepatan
pertumbuhan ekonomi, minimalisasi kesenjangan pendapatan dan kekayaan,
meningkatkan kesempatan kerja, dam stabilitas harga.
Kebijakan fiskal dapat mempromosikan stabilitas makroekonomi dengan
mempertahankan permintaan agregat dan pendapatan sektor swasta selama
periode pertumbuhan ekonomi yang kuat. Fungsi penting dari stabilisasi kebijakan
fiskal beroperasi melalui apa yang disebut "stabilisator otomatis fiskal". Hal ini
bekerja melalui dampak fluktuasi ekonomi pada anggaran pemerintah dan tidak
memerlukan keputusan jangka pendek oleh para pembuat kebijakan. Stabilisator
otomatis memiliki sejumlah fitur yang diinginkan. Pertama, mereka merespon
secara tepat waktu yang akan datang. Hal ini membantu pelaku ekonomi untuk
membentuk harapan yang benar dan meningkatkan kepercayaan diri mereka.
Kedua, mereka bereaksi dengan intensitas yang disesuaikan dengan ukuran
penyimpangan kondisi ekonomi dari apa yang diharapkan ketika rencana
anggaran disetujui. Ketiga, stabilisator otomatis beroperasi secara simetris selama
26
siklus ekonomi, moderat overheating dalam periode booming dan mendukung
kegiatan ekonomi selama kemerosotan ekonomi tanpa mempengaruhi tingkat
kesehatan yang mendasari posisi anggaran, selama fluktuasi tetap seimbang.
Pada prinsipnya, stabilisasi juga dapat berasal dari kebijaksanaan fiskal,
dimana pemerintah secara aktif memutuskan untuk menyesuaikan pengeluaran
atau pajak dalam menanggapi perubahan dalam kegiatan ekonomi. Kebijakan
diskresi diperlukan untuk menerapkan perubahan struktural jangka panjang dalam
keuangan publik dan untuk menghadapi situasi yang luar biasa, terutama ketika
perekonomian mengalami guncangan luar biasa. Kebijakan diskresioner
sebenarnya mencerminkan perubahan selera tentang ukuran yang diinginkan dari
sektor publik, tentang prioritas belanja publik, dan tentang tingkat dan
karakteristik perpajakan. Kebijakan ini menentukan struktur keuangan publik dan
secara substansial mempengaruhi fungsi ekonomi tetapi juga fitur stabilisator
otomatis suatu negara. Keputusan kebijakan fiskal diskresioner juga diperlukan
untuk menjaga keberlanjutan keuangan publik dalam jangka menengah. Ini adalah
prasyarat bagi stabilisator untuk beroperasi secara bebas, seperti kebijakan fiskal
hanya dapat bertindak sebagai alat efektif dalam menstabilkan ,bila ada ruang
yang diperlukan untuk manuver.
Pengalaman negara-negara industri dalam beberapa dekade terakhir jelas
menunjukkan bahwa ketidakseimbangan fiskal yang terus-menerus membatasi
ruang
bagi
kebijakan
fiskal
untuk
menstabilkan
perekonomian.
Ketidakseimbangan sering memerlukan kebijakan fiskal yang ketat selama
kemerosotan untuk mencegah defisit tidak berkelanjutan dan perkembangan utang.
Langkah-langkah konsolidasi kemudian dapat membangun kembali kepercayaan
diri dan meningkatkan harapan tentang prospek jangka panjang keuangan publik
yang disebut efek ini 'non-Keynesian' mungkin memiliki hasil yang konsolidasi
fiskal bahkan memiliki dampak ekspansif terhadap perekonomian.
Pemerintah menggunakan kebijakan fiskal untuk mempengaruhi tingkat
permintaan agregat dalam perekonomian, dalam upaya untuk mencapai tujuan
ekonomi:
1. Stabilitas harga
2. Kerja penuh
27
3. Pertumbuhan ekonomi
Ekonomi Keynesian menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah
dan penurunan tarif pajak adalah cara terbaik untuk merangsang permintaan
agregat, dan penurunan pengeluaran dan meningkatkan pajak setelah ledakan
ekonomi dimulai.
Keynesian berpendapat bahwa metode ini dapat digunakan di masa resesi
atau kegiatan ekonomi yang rendah sebagai alat penting untuk membangun
kerangka kerja untuk pertumbuhan ekonomi yang kuat dan bekerja menuju
kesempatan kerja penuh. Secara teori, defisit dihasilkan akan dibayar oleh
ekonomi berkembang selama booming yang akan mengikuti; ini adalah alasan di
balik New Deal. Pemerintah dapat menggunakan surplus anggaran untuk
melakukan dua hal:
a. Untuk memperlambat laju pertumbuhan ekonomi yang kuat
b. Untuk menstabilkan harga ketika inflasi terlalu tinggi
Teori Keynesian berpendapat bahwa menghapus pengeluaran dari ekonomi akan
mengurangi tingkat permintaan agregat dan kontrak ekonomi, sehingga
menstabilkan harga.
Sisi moneter merupakan kebijakan otoritas moneter dalam mengendalikan
permintaan (demand side) dengan mengatur dan menyediakan likuiditas kepada
masyarakat (pasar uang), hal ini ditujukan agar masyarakat memiliki daya beli
pada pasar barang dan jasa atau melakukan kegiatan keuangan lainnya.
Muchdarsyah (1987). Kebijakan moneter dalam arti luas bertujuan untuk
melakukan pengendalian atas jumlah uang yang beredar, pengendalian tingkat
bunga dan tingkat inflasi serta mendorong perbaikan pendapatan nasional. Tidak
ada yang lebih penting dari kedua kebijakan ekonomi tersebut selain koornidasi,
dengan menjalankan tugas masing-masing dan saling berkoordinasi untuk
mencapai stabilitas keuangan dan perekonomian yang optimal.
2.3 Teori Regulasi Keuangan
2.3.1 Pengawasan Microprudential
Peraturan microprudential tradisional bank didasarkan pada logika. Bank
membiayai dirinya dengan deposito - diasuransikan pemerintah. Sementara
28
deposito asuransi memiliki efek yang cukup, menciptakan insentif bagi manajer
bank untuk mengambil risiko yang berlebihan, mengetahui bahwa kerugian akan
ditanggung oleh wajib pajak. Tujuan dari peraturan modal adalah untuk memaksa
bank untuk menginternalisasi kerugian, sehingga melindungi asuransi deposito
mendanai dan mengurangi moral hazard. Dengan demikian, jika kerugian
probabilitas asuransi deposito berkurang ke tingkat yang cukup rendah, regulasi
microprudential akan melakukan tugasnya (Samuel G. Hanson, Ani K Kashyap,
and Jeremy C. Stein: 2011).
Menurut Core Principles Basel (Dalam Jacek Osinski, Katharine Seal, and
Lex Hoogduin: 2013) untuk Pengawasan Perbankan Efektif (Komite Basel
Pengawasan Perbankan, 2011), “tujuan akhir” pengawasan (yaitu, kebijakan
microprudensial) adalah untuk mempromosikan “keselamatan dan kesehatan bank
dan sistem perbankan”. Secara yuridis, pengawasan perbankan secara eksplesit
bertugas dengan tanggung jawab stabilitas keuangn atau untuk berkontibusi
terhadap stabilitas keuangan yang biasanya dipegang oleh bank sentral. Secara
umum, kebijakan mikroprudensial memeriksa tanggapan dari setiap bank untuk
setiap risiko eksogen dan tidak memasukkan risiko endogen dan keterkaitan
dengan seluruh sistem. (Alan Bollard, Bernard Hodgetts and Mike Hannah: 2011)
Peraturan mikroprudensial atau pengawasan mikroprudensial mengacu pada
perusahaan dengan tingkat pengawasan atau regulasi keuangan oleh regulator
lembaga keuangan, yakni memastikan neraca lembaga individu yang kuat
terhadap guncangan.
Pelajaran penting dari krisis (Amerika Serikat). Tingkat keparahan krisis
bukan karena beberapa perusahaan keuangan non bank yang tertekan karena
peningkatan tingkat gagal bayar (secara keseluruhan). Sebaliknya, krisis
diakibatkan karena kerugian meluas perusahaan keuangan yang timbul dari faktor
risiko umum, dalam hal ini hipotek perumahan (residential mortgages) AS.
Pengetatan pangawasan microprudensial dari satu likngkup yang lebih besar dari
perusahaan keuangan akan mengurangi risiko ketidakstabilan. Tetapi jika
pembuat kebijakan ingin mendapatkan akar penyebab ketidakstabilan tersebut,
penekanan yang lebih besar perlu menempatkan pengawasan makroprudensial di
pasar keuangan (Larry D. Wall: 2014).
29
Figur 2.5 Daerah Pengawasan (Regulasi)
Sumber: ECB
Figur 2.5 menunjukkan bagaimana struktur dari kebijakan moneter dan
kebijakan regulasi (makro dan mikro-prudensial), dimana:

Stabilitas harga dan stabilitas keuangan saling menguntungkan dan
menegakkan kembali.

Kebijakan moneter menetapkan kondisi keuangan umum.

Kebijakan makro-prudensial lebih spesifik dan ditargetkan untuk sektor
dan ketidakseimbangan (Sabine Lautenschläger: 2014).
2.3.2 Pengawasan Makroprudensial
Berdasarkan pasal 7 UU OJK, Peraturan dan pengawasan mengenai
kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan
lingkup pengaturan dan pengawasan microprudential yang menjadi tugas dan
wewenang OJK. Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan mancroprudential,
yakni pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam pasal ini,
merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Dalam rangka pengaturan dan
pengawasan macroprudential, OJK membantu Bank Indonesia untuk melakukan
himbauan moral kepada Perbankan.
30
Kebijakan makroprudensial, bagian dari kebijakan utama yang ditetapkan
dan dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk mencegah dan mengurangi risiko
sistemik,
mendorong
fungsi
intermediasi
yang
seimbang
bagi
sektor
perekonomian, serta mengingkatkan akses dan efisiensi sistem keuangan dalam
rangka menjaga stabilitas sistem keuangan, serta mendukung stabilitas moneter
dan stabilitas sistem pembayaran. Pada dasarnya antar kebijakan memiliki benang
merah satu dengan lainnya, dimana tujuan utama adalah mencipatakan stabilitas
sistem keuangan dan petumbuhan ekonomi yang stabil.
2.4 Kebijakan Makroprudensial dan Perkembangannya
Makroprudensial memiliki peranan dalam membangun stabilitas sistem
keuangan suatu negara. Menurut Janet Yellen (Gubernur Federal Reserve) dan
Christine Legarde (Direktur IMF) dalam acara “Michel Camdessus Central
Banking Lecture on Financial Stability”, bahwa risiko stabilitas sistem keuangan
akibat kekhawatiran terjadinya bubble yang berasal dari kebijakan Quantitative
Easy (QE) dapat diatasi melalui kebijkaan makroprudensial. Makro-prudential
regulation (MPR) merupakan kata kunci baru dalam dunia reformasi regulasi,
dengan tujuan untuk mengurangi risiko dalam sistem keuangan secara
keseluruhan (Gerard Lyopns: 2011). Berkaca dari pengalaman krisis global seperti
krisis subprime mortgage, bahwa kebijakan moneter belum mampu menekan
ataupun mengangkat perekonomian dari krisis tersebut, sehingga kebijakan
makroprudensial lahir sebagai kebijakan yang melengkapi dari beberapa
kelemahan kebijakan moneter.
Kebijakan moneter dan kebijakan stabilitas keuangan secara intrinsik terkait
satu sama lain, dan sehingga dikotomi antara kebijakan stabilitas moneter dan
keuangan adalah palsu. Kebijakan moneter dapat mempengaruhi stabilitas
keuangan, sedangkan kebijakan makroprudensial untuk mempromosikan stabilitas
keuangan yang berdampak pada kebijakan moneter. Koordinasi kebijakan
moneter dan makroprudensial akan membuat lebih mudah untuk mengejar tiga
tujuan yakni stabilitas harga, stabilitas output, dan stabilitas keuangan (Joon-Ho
Hahm, dkk: 2012). Kebijakan makroprudensial tidak hanya sebagai pelengkap
atau alternatif dari kebijakan moneter, namun kedua kebijakan tersebut tetap harus
31
saling melakukan koordinasi, karena mereka memiliki hubungan intrinsik satu
sama lain.
Kebijakan makroprudensial dalam perkembangannya telah dan mulai
banyak di-adope oleh beberapa negara, baik negara maju maupun emerging
market. Amerika Latin (Brazil) dan Korea merupakan potret kecil dari negaranegara yang menggunakan kebijakan makroprudensial. Juan Ruiz, et al (2014)
menyatakan bahwa negara-negara utama di Amerika Latin seperti Brazil,
merupakan negara yang menggunakan kebijakan makroprudensial dengan tujuan
untuk mengelola risiko makro ekonomi dan finansial seperti nilai tukar dan
capital inflow. Kebijakan makroprudensial kemudian diikuti oleh Argentina, yang
juga telah menetapkan dan menyoroti penggunaan persyaratan cadangan.
Argentina juga sedang mengambil beberapa langkah untuk mengimplementasikan
Basel III yang akan memberntuk kebijakan makroprudensial masa depan,
khususnya yang berhubungan dengan kebutuhan modal.
Fokus dari kebijakan makroprudensial mengenai tiga hal pokok yakni
menjaga sirkulasi arus modal, pengawasan pada kredit macet dan persyaratan
likuiditas. Ketiga fokus pengawasan tersebut juga telah diadopsi di negara-negara
Andean, seperti Boluvia, Kolombia, Ekuador, dan Peru. Meskipun terdapat
perbedaan yang signifikan antar negara tersebut, wilayah Andean relatif
menunjukkan perkembangan
yang baik
dalam
pelaksanaan peraturan
makroprudensial (Arturo J. Galindo, et al: 2013). Sedangkan In huh, dkk (2013)
menyatakan bahwa peraturan makroprudensial di negaranya (Korea) pada tahun
2000-an tidak berdampak pada investasi obligasi, namun mempengaruhi struktur
liabilitas bank asing. Pengetatan pajak atas investasi asing tidak banyak
berpengaruh kecuali pajak dengan tenor pendek.
Retribusi makroprudensial ditujukan untuk meringankan masalah-masalah
liabilitas luar negeri jangka pendek, yang diklaim sebagai kelemahan ekonomi
Korea selama krisis keuangan global. Masalah makro ekonomi yang cukup
kompleks tidak dapat dikendalikan hanya dengan kebijakan moneter tradisional
ataupun fiskal. Dalam kondisi tersebut dibutuhkan sebuah stimulus baru yang
dapat di-combine atau disatukan dengan kebijakan yang tersedia. Penguatan dari
32
berbagai sektor (makro, finansial, dan sistem stabilitas) menjadi main goal dari
keseluruhan kebijakan ekonomi di setiap negara.
Mengapa ketahanan dan stabilitas ekonomi sangat penting, khususnya
sistem yang mengaturnya? Karena, tidak selalu ekspektasi mengenai prospek
perekonomian akan berjalan sesuai dengan harapan. Permasalah terbesar dalam
perekonomian modern adalah kepanikan pasar. Jika, perekonomian mulai
terserang rumor negatif yang meskipun relatif kecil, dampaknya dapat menyebar
dengan cepat dan menyebabkan gejolak yang luar biasa. Sehingga, sistem yang
mampu mengendalikan iklim perekonomian (khususnya mampu mempertahankan
kepercayaan pasar) menjadi sistem yang selalu diandalkan dan terus
dikembangkan.
Dewasa ini, perdagangan dan sistem perekonomian mulai terbuka lebar,
artinya lalu lintas perdagangan baik barang, arus modal, teknologi, maupun
culture akan meciptakan dinamika-dinamika ekonomi yang menuntut adanya
kekebalan atas sistem perekonomian.
33
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Regulasi atau kebijakan lahir karena dinamika ekonomi dan krisis global.
Sifat dasar krisis yang berulang-ulang, mengimplikasikan bahwa krisis tidak dapat
dihilangkan melainkan hanya dapat dikendalikan sedemikian rupa agar tidak
menciptakan gejolak yang berlebihan. Regulasi melalui paket penyelamatan tidak
hanya di sektor finansial, tetapi sektor riil juga perlu dilakukan regulasi karena
pada dasarnya sisi moneter dan fiskal saling berhubungan dan menjadi kaki pada
tubuh perekonomian suatu negara.
Krisis terus memberikan pelajaran bagi setiap negara untuk berusaha
mencari stimulus kebijakan dalam meredam gejolak ekonomi. Makroprudensial
merupakan sebuah stimulus yang diperkirakan mampu untuk mewujudkan tujuan
tersebut. Makro-prudential regulation (MPR) merupakan kata kunci baru dalam
dunia reformasi regulasi, dengan tujuan untuk mengurangi risiko dalam sistem
keuangan secara keseluruhan (Gerard Lyopns: 2011). Meskipun dalam hal ini,
regulasi makroprudensial memberikan hasil yang berbeda-beda di setiap negara,
tidak
menutup
kemungkinan
negara
lain
juga
dapat
mengaplikasikan
makroprudensial tersebut.
Banyaknya jenis lembaga perantara keuangan, seperti bank tabungan, bank
komersial, koperasi simpan pinjam dan perusahaan asuransi dan cara-cara
beroperasi mereka yang sangat berbeda. Tetapi mereka mempunyai persamaan
yaitu mereka semua menerbitkan surat hutang kepada masyarakat dan kemudian
menggunakan dana yang diperolehnya untuk membeli surat berharga langsung
seperti obligasi dan saham (Stephen dan Lester: 1990).
Lembaga perantara keuangan lahir karena adanya kebutuhan pasar.
Kebutuhan masyarakat pada dasarnya terus meningkat baik dari kebutuhan pokok
maupun kebutuhan akan informasi dan aksesbilitas keuangan. setiap fluktuasi
pasar, baik kelesuan atau apresiasi akan menciptakan risiko atau kepanikan.
Kepanikan merupakan permasalahan yang ada dalam perekonomian modern
34
dewasa ini. Sehingga diperlukan stabilitas baik sistem maupun peranan lembaga
intermadiasi dalam menyikapi masalah krusial tersebut.
Setiap lembaga intermediasi baik domestik maupun internasional tidak
dapat berdiri sendiri, artinya mereka memerlukan koordinasi satu dengan yang
lain guna menciptakan stabilitas di regionalnya masing-masing. Terciptanya IMF,
World Bank, GATT, dan sebagainya adalah alternatif untuk menekan risiko
fluktuasi perekonomian global dan untuk menciptakan kesejahteraan bagi negaranegara anggotanya, khususnya negara miskin.
3.2 Saran
Permasalahan
ekonomi
serupa
dengan
mmze
atau
labirin,
yang
menggambarkan pola rumit dan menakjubkan. Berbagai penelitian menganai
masalah tersebut (ekonomi) sangat membantu otoritas moneter suatu negara
dalam mengambil keputusan untuk menetapkan kebijakan mana yang lebih efisien
diterapkan di negaranya. Karena, setiap negara di dunia memiliki sistem dan ciri
khas yang berbeda-beda dalam mengatur perekonomiannya, namun memiliki
main goal yang sama yakni menciptakan stabilitas sistem finansial dan
mendorong perekonomian yang optimal.
Harapannya, akan banyak peneliti atau mahasiswa yang tertarik untuk
mengangkat permasalah tersebut sebagai bahan studi, kajian, ataupun untuk
membantu pemerintah dalam menjalankan kewajibannya.
35
DAFTAR PUSTAKA
Allena, Franklin and Elena Carletti. 2011. New theories to underpin financial
reform. Elsevier.
Allena, Franklin and M. Santomero. 2001. What do financial intermendiaries do?.
Elsevier. Journal of Banking and Finance 25.
Bollard, Alan., at al. 2011. Where we are going with macro and micro-prudential
policies in New Zealand.
Central Bank of Sri Lanka. 2005. Financial System Stability. Pamphlet Series
No.2.
Darmawi, Herman. 2006. Pasar Financial dan Lembaga-lembaga Keuangan.
Jakarta: Bumi Aksara.
Canuto, Otaviano. 2013. Brazil, Korea: Two Tales of a Macroprudential
Regulation. The World Bank.
Deliarnov. 2014. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada.
Frederic S. Mishkin, Stanley G. Eakins. 2012. Financial Markets and Institutions
7th ed. Boston: Prentice Hall.
Galindo, Arturo J., et al. 2013. Macroprudential Regulations in Andean Countries.
Center for Global Development. Working Paper 319.
Goldfeld, Stephen M., and Lester V. Chandler. 1990. Ekonomi Uang dan Bank.
Jakarta: Erlangga
Hahm, JH., et al. 2012. Macroprudential Policies in Open Emerging Economies.
Working Paper 17780. National Bureau of Economic Reserch, Cambrige.
Hanson, Samuel G., Anil K Kashyap and Jeremy C. Stein. 2011. A
Macroprudential Approach to Financial Regulation. Journal of Economic
Perspectives. Volume 25, Number 1.
Ikatan Bankir Indonesia. 2012. Memahami Bisnis Bank. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama dan Kompas Gramedia.
Kawai, Masahiro and Peter J. Morgan. 2012. Central Banking for Financial
Stability in Asia. Policy Research Institute, Ministry of Finance, Japan,
Public Policy Review. Vol 8, No3.
36
Lautenschläger, Sabine. 2014. The interplay between macro-prudential,
microprudential
and
monetary
policies
at
the
ECB.
Stockholm:
International Monetary Fund.
Lyopns, Gerard. 2011. Macro-prdential regulation-Lessons from Asia. Standard
Chartered.
Mishkin, Frederic S., Stanley G. Eakins. 2012. Financial Markets and Institutions
7th ed. Boston: Prentice Hall.
Mu’ruf, Muhammad. 2008. Tsunami Finansial Peluang Bisnis dan Investasi
Indonesia dan Setiap Individu di Tahun 2009. Jakarta: Hikmah.
Pandia, Frianto., et al. 2009. Lembaga Keuangan. Jakarta: Rineka Cipta.
Prasetyantoko, A.. 2010. Ponzi Ekonomi Prospek Indonesia di Tengah Instabilitas
Global. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Popa, Ionela and Dian. 2010. Fiscal policy and its role in ensuring economic
stability. MPRA Paper No. 20820.
Puspopranoto, Sawaldjo. 2004. Keuangan Perbankan dan Pasar Keuangan.
Jakarta: LP3ES.
Osinski, Jacek., et al. 2013. Macroprudential and Microprudential Policies:
Toward Cohabitation. Internarional Monetary Fund (IMF).
Rivai, Veithzal., Andria Permatan Veithzal, Ferry N. Idroes. 2007. Bank and
Financial Institution Management Conventional & Syar’i System. Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada.
Sinungan, Muchdarsyah. 1987. Kebijakan Moneter Orde Baru. Jakarta: Bina
Aksara.
Wall,
Lerry
D.
2014.
Stricter
Microprudential
Supervision
Versusu
Macroprudential Supervision. Federal Reserve Bank of Atlanta.
W. Ramadhan. 2015. Peranan Otoritas Keuangan Sebagai Regulator Kegiatan
Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal. Universitas Sumatra Utara.
Yellen, Janet and Christine Legarde. 2014. At the 2014 Michel Camdessus Central
Banking Lecture, International Monetary Fund, Washington, D.C.
37
Download