BAB VI Kesimpulan

advertisement
BAB VI
Kesimpulan
Pada perempat pertama abad-20, buruh-buruh kereta api tergerak dan semakin radikal
memperjuangkan perbaikan nasib karena rasa keadilan mereka semakin dalam dilukai oleh
majikan dan penguasa kolonial. Perbedaan terkait hal yang mendasari rasa ketidakadilan dapat
dibuat antara pegawai yang sepenuhnya tidak terampil, tidak terdidik, dan paling papa—
seperti kuli angkut barang, tukang cuci kereta, tukang pompa air, dan seterusnya—dengan
pegawai terampil dan semi terampil—awak stasiun, juru tulis, teknisi, juru api, tukang rem,
masinis, kondektur, kontrolir kereta, pengawas lintasan, kepala stasiun, dan seterusnya. Pada
kelompok yang disebut pertama rasa ketidakadilan tersebut lebih disebabkan oleh hak-hak
ekonomis mereka yang terinjak-injak. Sebab upah mereka yang terlalu rendah bahkan
seringkali tidak cukup untuk sekadar memenuhi kebutuhan beras mereka. Sedang kesadaran
ketidakadilan kelompok yang disebut terakhir lebih disebabkan oleh hak-hak sosial-politis
mereka yang terlukai. Mayoritas dari mereka memang juga berpendapatan rendah dengan
sedikit tunjangan dan fasilitas, sekalipun masih lebih baik ketimbang buruh yang sama sekali
tidak terampil. Namun keluhan kelompok yang menjadi kepala dan tulang punggung serikat
sekaligus yang paling aktif dan radikal ini umumnya lebih dari sekadar persoalan mengisi
perut. Merekalah yang paling banyak berteriak mengenai upah, fasilitas, dan perlakuan yang
tidak layak untuk memenuhi standar hidup higienis, sehat, modern, dan manusiawi, di samping
tentang diskriminasi rasial yang berlaku di segala lini kehidupan mereka—baik di tempat kerja
maupun di lingkungan tempat tinggal mereka di kota.
Pengkotaan yang berlangsung relatif cukup cepat pada awal adab-20 berpengaruh pada
kesadaran akan ketidakadilan dan karakter radikalisme gerakan buruh kereta api.
Terbentuknya cadangan tenaga kerja yang semakin membesar karena arus urbanisasi
mengakibatkan proletarisasi yang berguna bagi perusahaan-perusahaan kereta api untuk
mengeksploitasi tenaga kerja secara berkelanjutan. Namun begitu buruknya kondisi kerja
buruh-buruh kereta api juga disebabkan oleh ketiadaan perlindungan hukum yang memadai,
yang dapat melindungi mereka dari kesewenangan majikan dan atasan. Meskipun demikian
223
kondisi hidup buruh-buruh kereta api terjadi tidak hanya karena apa yang mereka alami dan
dapatkan di tepat kerja. Tetapi juga karena peningkatan tajam beaya hidup di kota karena
perang dan malaise, diskriminasi rasial di segala bidang, dan sejumlah permasalah perkotaan
lainnya. Masalah ini membuat banyak buruh-buruh kereta api tinggal di pemukiman yang
buruk dan jauh dari hal-hal yang mereka anggap layak dan manusiawi. Masalah ini
menimbulkan keresahan di antara mereka, tetapi juga menjadi dorongan yang baik bagi
mereka untuk memetakan persoalan, mencari solusi, dan bergerak untuk mengatasinya.
Difasilitasi oleh perkembangan kota sebagai pusat pendidikan dan akses pengetahuan serta
pusat pergerakan dan persuratkabaran, masalah tersebut pada akhirnya tidak sekadar
mempengaruhi perubahan alam pikir buruh-buruh kereta api—sebagai kelompok pekerja yang
paling banyak melek huruf dengan aksesibilitas dan mobilitas yang tinggi—tetapi juga
membentuk karakter gerakan mereka. Namun karakter gerakan buruh kereta api juga didukung
oleh sifat perkotaan dari pekerjaan perkeretaapian itu sendiri: banyaknya pegawai tetap yang
dipekerjakan langsung oleh perusahaan, tingginya melek huruf, banyaknya pekerja terampil,
tingginya mobilitas, dan kenyataan bahwa mereka bekerja dekat dengan orang Eropa, juga
berpengaruh terhadap loyalitas buruh-buruh kereta api pada serikat, kuatnya gerakan dan
keorganisasian, serta karakter radikalisme mereka.
Gerakan buruh kereta api dapat dibagi ke dalam tiga periode berdasarkan karakter dan
radikalismenya: pembentukan, radikalisasi, dan penindasan. Periode pembentukan dimulai
dengan didirikannya SS-Bond pada 1905 hingga 1913. Dalam kurun itu telah ada dua serikat
buruh kereta api terbesar, SS-Bond dan VSTP. Namun keduanya masih tampak dalam proses
mencari bentuk. Kedua serikat tersebut masih belum memiliki program perjuangan yang jelas
apalagi memiliki tindakan nyata untuk merealisasikannya. Organ gerakan masih belum berisi
kecaman terhadap tindak-tanduk perusahaan maupun atasan yang merugikan kepentingan
mereka, apalagi berisi ajakan untuk mengadakan aksi langsung, sebagaimana menjadi
mayoritas isi Si Tetap maupun De Volharding yang terbit pada periode berikutnya. Pemogokan
juga telah terjadi dalam periode pembentukan ini. Namun, selain hanya melibatkan segelintir
orang, pemogokan pada masa ini juga tidak terorganisasi serta tidak dimulai dan diakhiri
dengan negosiasi antara perwakilan buruh (serikat) dengan perusahaan. Periode radikalisasi
224
ditandai dengan perubahan haluan VSTP pada 1914, ketika serikat itu menggunakan segenap
tenaganya untuk mengagitasi, merekrut anggota, dan menyerang musuh kepentingan buruh.
Sejak saat itu pula serikat menerima dan menggunakan pemogokan dan cara-cara keras lain
dalam perjuangan mereka. Periode ini diakhiri dengan kekalahan telak pemogokan umum
1923. Sejak saat itu dan dalam waktu yang singkat pemerintah mengeluarkan pelbagai macam
aturan yang menindas gerakan buruh. Gerakan buruh memasuki periode penindasan. Serikat
buruh menjadi begitu sulit bergerak dan buruh kereta api menjadi takut untuk bergabung ke
dalam serikat. Tidak ada lagi pemogokan besar dan terorganisasi, yang tersisa hanyalah
sabotase dan perlawanan bawah tanah dengan kekerasan lain yang juga semakin sulit
dilakukan. Periode ini berpuncak pada pelarangan VSTP serta penangkapan dan pembuangan
banyak aktivisnya pada 1926-1927. Gerakan radikal pekerja kereta api telah mati, yang tersisa
hanyalah De Spoorbond dan PBST yang lembek dan alergi radikalisme.
225
Download