Artikulasi Baru Story Telling Whani Darmawan

advertisement
Pertunjukan Teater “Pandita in Love” :
Artikulasi Baru Story Telling Whani Darmawan
Aktor Whani Darmawan kembali menjelajahi eksplorasinya dengan memproduksi
pertunjukan story telling di sebuah museum. Museum yang selama ini dipandang sebagai ruang
yang “bisu dan hampa” telah direspon dengan sentuhan yang lain. Sebuah rumah karya lukisanlukisan ekspresionisme mastero Affandi malam itu disapa penonton. Pengunjung yang biasanya
datang lalu disajikan sebuah karya-karya lukisan, namun malam itu tanggal 12-13 Mei 2014
pukul 19.30 di Museum Affandi Yogyakarta menyajikan sebuah pertunjukan yang lain dari
biasanya. Adalah Whani Darmawan Project Management sebuah komunitas yang menginisiasi
sebuah pertunjukan teater berupa story telling. Project ini dibuat sebagai media publikasi
proses kreatif dan keaktoran Whani Darmawan. Seorang aktor dan penulis yang sudah
berpengalaman di dunia panggung teater dan film Indonesia.
“Pandita in Love” sebuah cerita yang diadaptasi dari novel The Priest of Shiga Temple
and His Love karya Yukio Mishima dan diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono. Cerita ini
berlatar belakang sebuah tokoh pandita yang menjatuhkan pilihan dan rasa cintanya pada
seorang selir kerajaan. Pilihan yang dirasa tidak mungkin dirasakan oleh seorang pendeta yang
tidak mungkin menikmati anugerah cinta. Ini hal mustahil sebagai seorang yang memilih hidup
selibat. Sementara sang selir kerajaan justru merasakan kebimbangan dengan perasaan
cintanya yang mulai tumbuh kepada seorang yang tak berhak mendapatkan cintanya. Refleksi
cinta dari peristiwa dalam cerita ini, yaitu ketika manusia dihadapkan pada sebuah kesadaran
dalam mengambil suatu keputusan. Ya atau tidak, bahwa keduanya bukanlah suatu pilihan yang
abadi namun keduanya adalah kesadaran total manusia dalam mengambil keputusan.
Whani Darmawan memainkan story telling dengan mantap secara alur cerita dan
pembawaan adegan yang tertata secara rapi. Gaya berceritanya menjadi semakin hidup ketika
suasana didukung sebuah musik choir acapela Mlenuk Voice. Kostum para choir menggunakan
jubah putih dengan kerudung. Suara dan bunyi yang dilantunkan melalui lagu dan melodi
mereka menambah situasi kekalutan pendeta di pinggiran danau. Danau dalam pertunjukan
dihadirkan oleh videografi Dab Genthong yang ditembakkan pada lantai pertunjukan tepat
dimana aktor Whani Darmawan berdiri sambil membawakan cerita pendeta dari Kuil Siga.
Artistik pertunjukan story telling di tangani oleh Eko Ompong. Bertempat di halaman
samping timur museum yang berbatasan dengan sungai gajah wong, tempat yang biasa dipakai
untuk kursus melukis diubah menjadi tempat pertunjukan yang lebih representatif dan
komunikatif sekaligus edukatif. Menara yang menjulang tinggi disebelahnya terdapat setting
lingga yoni sebagai simbol seksualitas manusia. Bukan sekedar penggambaran simbol manusia,
namun menjadi pendukung aktor untuk menyampaikan inti dari pesan tersirat bahwa
pergulatan pendeta tentang spiritualitas karena adanya kesadaran lain yaitu seksualitas.
Museum menjadi pilihan artikulasi baru bagi kreativitas seorang aktor dalam memilih
ruang pertunjukkannya. Panggung bukan lagi pengertian soal ketergantungan dan bagaimana
proses komunikasi teater bisa berlangsung, namun panggung dalam bentuk pengertian yang
lain bisa juga dijadikan pijakan baru dalam rangka eksplorasi dan keaktoran. Aktor dan museum
adalah dua elemen yang berbeda, namun keduanya mempunyai nilai responsif sejarah dan
berusaha menjadi saksi sejarah yang berbicara melalui narasi atau artefak.
Di tengah situasi sosial politik yang memanas, cerita pandita dan selirnya ini
diproyeksikan sebagai tawaran refleksi nilai atas kesadaran manusia. Terlebih lagi untuk para
pemimpin yang mempunyai pilihan atas keputusan-keputusan yang akan dipilihnya.
[Elyandra Widharta]
Download