BERITA TERKINI Perbandingan Rocuronium dengan Succinylcholine untuk Intubasi I ntubasi endotrakeal merupakan salah satu tindakan yang sering dilakukan, khususnya pada pasien yang menjalani operasi dengan anestesi umum. Intubasi endotrakeal dilakukan dengan memasukkan pipa endotrakeal ke dalam trakea. Tujuan intubasi endotrakeal ini adalah membebaskan jalan napas, pemberian napas buatan, menghisap sekret secara adekuat, mencegah aspirasi asam lambung, dan pemberian oksigen dosis tinggi. Keberhasilan pemasangan pipa endotrakeal bergantung beberapa hal seperti derajat relaksasi otot, dalamnya anestesia dan keterampilan pelaksananya. Relaksasi otot yang baik akan memudahkan pemasangan pipa endotrakeal. Obat pelumpuh otot yang sering digunakan untuk relaksasi otot secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu pelumpuh CDK-192/ vol. 39 no. 4, th. 2012 CDK-192_vol39_no4_th2012 ok.indd 275 otot depolarisasi (succinylcholine) dan pelumpuh otot non-depolarisasi (rocuronium dan vecuronium). Succinylcholine memiliki mula kerja cepat (lumpuh otot muncul dalam 60 detik) sehingga sangat cocok untuk intubasi endotrakeal. Meta-analisis Cochrane (2003) juga menyimpulkan bahwa succinylcholine memberikan kondisi intubasi yang lebih baik dibandingkan rocuronium. Namun, succinylcholine memiliki efek samping serius, seperti hiperkalemia, hipertermia maligna, bradikardia, disritmia, dan dikontraindikasikan pada pasien tertentu. Oleh sebab itu, mulai dikembangkan berbagai teknik menggunakan pelumpuh otot non-depolarisasi untuk menghasilkan kondisi intubasi yang sama dengan succinylcholine tetapi dengan efek samping lebih minimal. Salah satu teknik yang baik adalah menggunakan “prinsip waktu” atau timing principle. Pemberian pelumpuh otot non-depolarisasi dengan prinsip waktu dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan pelumpuh otot (non-depolarisasi) hingga terjadi relaksasi otot kemudian dilanjutkan dengan induksi (obat untuk membuat pasien tidak sadar) dan tindakan intubasi endotrakeal. Hal ini berbeda dengan intubasi menggunakan succinylcholine yaitu pasien diinduksi terlebih dahulu kemudian diberi pelumpuh otot succinylcholine dan dilanjutkan dengan intubasi endotrakeal. Studi Sang Kyu Lee dkk. (2010) dilakukan terhadap 67 pasien anak yang secara acak mendapatkan pelumpuh otot rocuronium 0,6 mg/ kg dan propofol 2,5 mg/kg 20 detik setelah pemberian rocuronium (kelompok A) atau 275 4/10/2012 4:21:45 PM BERITA TERKINI Beats per minute 140 130 120 110 100 90 80 70 60 50 40 Kondisi intubasi sangat baik ditemukan secara bermakna lebih tinggi pada kelompok A dan C dibandingkan kelompok B (p <0,05). Tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok A dan C. Rerata waktu untuk relaksasi otot 109,44 + 21,60 detik pada kelompok A, sedangkan pada kelompok B 254 + 26,8 detik (p <0,000) (Tabel 1). HR 0 HR 1 HR 3 HR 5 Group A 76.72 90.52 85.16 77.02 Group B 75.8 89.2 82 76.03 Group C 77.52 103.44 93.28 88.8 Gambar 1 Perubahan denyut nadi setelah 1, 3, dan 5 menit intubasi pada ketiga kelompok 140 120 mm of H dan Succinylcholine Group Excellent Good Poor Rocuronium 21 (84%) 4 (16%) 0 Vecuronium 12 (48%) 12 (48%) 1 (4%) Succinylcholine 22 (88%) 3 (12%) 0 P < 05 Significant 160 100 80 60 40 Tabel 1 Kondisi Intubasi dengan Rocuronium, Vecuronium, SEP 5 SEP 0 SEP 1 SEP 3 Group A 122.4 138.44 131.8 123 Group B 123.68 138.64 132.88 124.5 Group C 125.44 148.6 141.16 134.16 Gambar 2 Perubahan tekanan darah sistolik setelah 1, 3, dan 5 menit intubasi pada ketiga kelompok propofol 2,5 mg/kg diikuti dengan rocuronium 0,6 mg/kg 10-20 detik setelah pemberian propofol (kelompok B); disimpulkan bahwa kondisi intubasi sangat baik ditemukan pada 87% pasien kelompok A dan pada 61% pasien kelompok B. Hal ini membuktikan pemberian pelumpuh otot non-depolarisasi dengan prinsip waktu memberikan efek yang lebih baik dibandingkan teknik konvensional. Chatrath dkk. (2010) membandingkan intubasi dengan pelumpuh otot non-depolarisasi rocuronium dan vecuronium menggunakan prinsip waktu dengan intubasi dengan succinylcholine. Sebanyak 75 pasien yang menjalani operasi secara acak dibagi menjadi tiga Kondisi hemodinamik dilihat dari denyut nadi dan tekanan darah, secara bermakna meningkat 1 menit setelah intubasi pada ketiga kelompok (p <0,05). Semua variabel hemodinamik mengalami penurunan 3 menit setelah intubasi. Namun, status hemodinamik 5 menit setelah intubasi telah kembali mendekati keadaan sebelum intubasi pada kelompok A dan B, sedangkan pada kelompok C secara bermakna lebih tinggi dibandingkan kelompok A dan B (p <0,05). Tidak ada laporan sesak napas selama proses induksi. Tidak ada keluhan nyeri otot pasca-operasi pada kelompok A dan B, tetapi ditemukan 1 keluhan nyeri otot pada kelompok C. kelompok: Kelompok A: Rocuronium 0,6 mg/kg dan induksi propofol 2,5 mg/kg setelah muncul tanda kelumpuhan otot (dilihat dari menutupnya kelompak mata). Kelompok B: Vecuronium 0,6 mg/kg dan induksi propofol 2,5 mg/kg setelah muncul tanda kelumpuhan otot (dilihat dari menutupnya kelopak mata). Kelompok C: Induksi propofol 2,5 mg/kg dilanjutkan dengan pemberian succinylcholine 2 mg/kg. Hasil studi Chatrath ini konsisten dengan hasil studi sebelumnya oleh Koyama et al (1993) yang melaporkan peningkatan status hemodinamik (denyut nadi dan tekanan darah) secara bermakna lebih rendah pada kelompok yang mendapat rocuronium dengan prinsip waktu dibandingkan kelompok yang mendapat succinylcholine. Sebagai simpulan, intubasi menggunakan rocuronium dengan prinsip waktu dapat membe-rikan kondisi intubasi yang sama dengan intubasi menggunakan succinylcholine dengan efek samping hemodinamik lebih minimal. (STO) REFERENSI: 1. Perry JJ, Lee JS, Sillberg VAH, Wells GA. Rocuronium versus succinylcholine for rapid sequence induction intubation. Cochrane Database of Systematic Reviews 2008. DOI: 10.1002/14651858. CD002788 2. Lee SK, Hong JH, Kim AR. Is the rapid sequence induction possible with 0.6 mg/kg rocuronium in pediatric patient. Korean J Aneshesiol. 2010;58(1):20-4. 3. Chatrath V, Singh I, Chatrath R, Arora N. Comparison of intubating conditions of rocuronium bromide and vecuronium bromide with succinylcholine using “timing principle”. J Anaesth Clin Pharmacol. 2010;26(4):493-7. 4. Koyama K, Kakoi H, Miyao H, Kawasaki J, Kawazoe T. The circulatory responses to tracheal intubation using the timing principle. Masui 1993;42(5):690-3. 276 CDK-192_vol39_no4_th2012 ok.indd 276 CDK-192/ vol. 39 no. 4, th. 2012 4/10/2012 4:21:45 PM