File

advertisement
0
HUKUM ISLAM, TOKOH DAN TEORINYA
PADA MASA KEMUNDURAN
Oleh:
HAYATUL KIROM
NPM : 1123010008
Mata Kuliah :
Sejarah perkembangan, pemikiran hukum Islam
Dosen
Prof. Dr. H. Said Aqil Siradj, MA
Dr. H.Moh. Mukri, M.Ag
Dr. Alamsyah, M.Ag
PROGRAM STUDI ILMU SYARI’AH
PROGRAM PASCASARJANA
IAIN RADEN INTAN LAMPUNG
2011 M/1432 H
1
HUKUM ISLAM, TOKOH DAN TEORINYA
PADA MASA KEMUNDURAN
A. Pendahuluan
Hukum Islam disamping sarat akan muatan sosiologis tak dapat dipungkiri
memiliki juga dimensi teologis dan inilah yang membedakan hukum Islam dengan
hukum dalam terminologi ilmu hukum modern, akan tetapi penempatan cara pandang
yang keliru terhadap dimensi teologis yang dikandungnya bisa mengakibatkan
anggapan bahwa hkum Islam merupakan aturan yang sakral, bahkan dalam keadaan
tertentu orang akan merasa takut untuk melakukan revaluasi terhadap aturan-aturan
hkum Islam yang ada, karena secara psikologis sudah terbebani oleh nilai-nilai
kesakralan tersebut, untuk itu perlu kajian yang mampu mengantarkan pada cara
pandang yang benar mengenai aspek teologis dalam hkum Islam ini. Dalam
Perjalanan sejarahnya yang awal, hukum Islam merupakan suatu kekuatan yang
dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah mazhab hukum
yang memiliki corak sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang sosiokultural dan
politik dimana mazhab hukum itu tumbuh dan berkembang.
Dalam paradigma usul fiqh klasik terdapat lima prinsip yang
memungkinkan Hukum Islam bisa berkembang mengikuti masa: 1) Prinsip
Ijma’; 2) Prinsip Qiyas; 3) Prinsip Maslahah Mursalah; 4) Prinsip memelihara
Urf’; dan 5) berubahnya hukum dengan berubahnya masa. Kelima prinsip ini
dengan jelas memperlihatkan betapa pleksibelnya hukum Islam. 1
1
Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan modernitas, studi atas pemikiran Hukum Fazlur
Rahman, (Bandung: Mizan, 1989) hlm 33-35
2
Dengan Berlalunya waktu, perkembangan Hukum Islam yang dinamis dan
kreatif pada masa awal kemudian menjelma kedalam bentuk mazhab-mazhab atas
inisiatif beberapa ahli hukum terkenal, tetapi dengan terjadinya kristalisasi mazhabmazhab tersebut, hak untuk berijtihad mulai dibatasi dan pada gilirannya dinyatakan
tertutup.2
Selanjutnya dalam makalah ini dibahas tentang hukum Islam pada masa
kemunduran atau dikenal dengan istilah masa ‘ahdul jumuud wa al-wuquuf yakni
periode kebekuan dan statis yan berlangsung mulai pertengahan abad keempat hijrah
(350 H)
B. Situasi Umum Dunia Islam
Harun Nasution, menjelaskan bahwa Dunia Islam terbagi kepada dua bagian,
yaitu Arab yang terdiri atas Arabia, Irak, Suriah, Palestina, Mesir dan Afrika Utara
Periode ini disebut juga sebagai periode taqlid yakni ‘ahdul jumuud wa al-wuquuf yakni
periode kebekuan dan statis yan berlangsung mulai pertengahan abad keempat hijrah (350 H) dan
hanya Allah yang Maha Tahun kapan periode ini akan berakhir. Diantara penyebab terhentinya
gerakan ijtihad a.l : 1) terbagi-baginya Daulah Islamiyyah dalam berbagai kerajaan yang saling
bermusuhan sehingga atau terjebak dalam peperangan demi peperangan. Dalam kondisi yang demikian
ini maka ‘ulama pada masa itupun terbagai dalam berbagai tingkatan. 1) tingkat pertama ahli ijihad
dalam mazhab, 2) tingkat kedua, mujtahid dalam beberapa masalah yang tidak ada riwayat dari imam
mazhab, 3) tingkat ketiga, ahlu at-tahriej yang tidak melakukan ijtihad untuk mengambil hukum pada
beberapa masalah dan hanya melakukan pembatasan mazhab yang dianutnya dalam menafsiri
pendapat-pendapat imamnya, 4) tingkat keempat ahlu at-tarjiehyang sanggup mempertimbangkan dan
membandingkan diantara riwayat-riwayat dari para imam dan kemudian menetakan pilihan yang
dinilai paling shahih.
Secara hampir mirip, A. Hanafi mendeskripsikan perkembangan hukum Islam dalam 5 (lima)
periode. Pertama, periode permulaan hukum Islam, dimulai sejak kebangkitan Rasulullah saw hingga
waftanya. Kedua, periode persiapan hukum Islam, dimulai dari khalifah pertama hingga berakhirnya
masa shahabat (1 H – akhir abad I H). Ketiga periode pembinaan dan pembukuan hukum Islam serta
munculnya para imam mujtahid, berlangsung kurang lebih 250 tahun. Keempat periode kemunduran
hukum Islam, sebagai akibat merajalelanya taqlid dan kebekuan hingga lahirnya kitabMajallah alAhkam al-‘Adliyyah, suatu kitab yang mengintrodusir perundang-undangan modern dalam hukum
Islam. Kelima, periode kebangunan yang dimulai dari lahirnya kitab al-Majallah hingga sekarang.
2
3
dengan Mesir sebagai pusatnya dan bagian Persia yang terdiri atas Balkan, Asia
Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusatnya. Pada waktu ini
kebudayaan Persia mengambil bentuk Internasional dan mendesak kebudayaan
lapangan kebudayaan Arab. Pendapat bahwa pintu ijtihad tertutup semakin meluas
dikalangan umat Islam. 3
Ketika ajaran tarekat semakin merajalela dengan pengaruh negatifnya.
Perhatian pada ilmu pengetahuan sangat kurang sekali. Umat Islam di Sepanyol-yang tadinya merupakan satu kekuatan tersendiri--dipaksa masuk Kristen dan atau
keluar dari darah itu. Di samping itu, kondisi dunia Islam semakin mengalami
kemunduran, meskipun pada masa ini-- tahun 1500 – 1700--munculnya tiga kerajaan
besar Islam dengan kemanjuannya masing-masing yaitu Kerajaan Usmani di Turki,
Kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India.
Bersamaan dengan kenyataan ini penetrasi bangsa Barat dengan kekuatannya
semakin meningkat dan meluas ke dunai Islam. Pada tahun 1798 M, Mesir sebagai
pusat Islam terpenting berada di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte, seorang
jenderal Perancis yang memimpin pasukuannya menaklukan Mesir. Demikian pula,
Inggeris telah mulai menanamkan kekuasaannya di India.4 Sampai pada tingkat ini,
umat Islam mengalami kemunduran yang paling buruk dalam sejarah perjalanannya.
Paham keagamaan terpecah belah kepada beberapa mazhab dimana antara satu
dengan yang lainnya saling mengklaim merekalah yang benar dan saling
3
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan). (Jakarta ;
Bulan Bintang, Cet. II, 1982) hlm 14
4
Ibid, hlm 15
4
menyalahkan. Demikian juga kekuatan politik umat Islam semakin melemah dan
perhatian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan sudah jauh menurun. Akibatnya
masyarakat menjadi jumud dan statis yang hanya menyerah kepada nasib.
Di Turki Asia berdiri sebuah kerajaan besar yaitu kerajaan Bani Saljuk dan
pada akhirnya kerajaan ilmiah yang menghancurkan negeri Islam lainnya. Pada saat
ini juga munculnya pemberontakan yang berasal dari keturunan Bani Hasim, dan
kelompok ini dinamakan partai Alawiyah. Dengan munculnya kekerasan dan
peperangan terus menerus membawa akibat yang tidak baik bagi umat Islam, mereka
menjadi lemah untuk berbuat. Rasa putus asa muncul menyelimuti akibatnya
kemunduran dan keterbelakanganlah karena pada masa itu para ulama tidak lagi
mempelajari kitab-kitab tertentu yang diperlukan lain halnya dengan ulama-ulama
terdahulu, mereka pergi kenegara-negara besar sehingga terwujud dan terjalin
hubungan yanng harmonis antara ulama dan pemerintahannya.5
Siapapun yang mengamati kejadian dan sejarah Islam pada periode ini tentu
melihat bahwa yang menyebabkan para fuqaha’ memilih jalan taqlid adalah
pergolakan yang menyebabkan para fuqaha’ memilih jalan taqlid adalah pergolakan
politik yang menyebabkan negara Islam terpecah menjadi beberapa negara kecil.
Dimana setiap negri mempunyai penguasaan sendiri yang diberi gelar Amirul
Mukmin. Dari sini bisa dilihat lemahnya negara Islam ketika sudah terkena penyakit
perpecahan mengganmtikan posisi persaudaraan dan keamanan, negara yang besar
5
Amir Muallim-Yusdani, Ijtihad Suatu Kontroversi Antara Teori dan Fungsi. (Yogyakarta;
Titian Ilahi Press. Cet. I, 1997) hlm 38.
5
terbagi beberapa negara yang kecil. Di timur ada negara Sasai dengan Ibukota
Bukhara, dan di Anfuleusia ada negara Letak yang didirikan oleh Abdurahman AnNashir,
demikian
juga
negara
Fatimiyah
yang
ada
di
utara
Afrika.
Pada masa kemunduan ini juga disebut periode penutup ijtihad atau periode tadwin
(pembekuan), mula-mula dalam bidanag kebudayaan Islam, kemudian berhentilah
perkembangan hukum Islam fiqih-fiqih Islam. Pada umumnya ulama pada masa ini
sudah lemah kemauannya untuk mencapai tingkat mujtahid sebagaimana yang
dilakukan pendahulu mereka.
C. Sebab-sebab kemunduran Pemikiran Hukum Islam
Dilihat dari segi sejarah pemikiran hukum Islam dan gerakan ijtihad, maka
masa ini merupakan masa yang dipandang sebagai situasi yang tidak menguntungkan
bagi umat Islam. Dikatakan demikian, karena pada masa ini kegiatan ijtihad sudah
mulai menurun dan mengendur, dan bahkan statis. Kemunduran gerakan ijtihad pada
masa ini lebih disebabkan oleh tiga faktor penting.
a. Lahirnya Mazhab-mazhab fiqh, dimana pada awalnya memang menunjukkan
semaraknya gerakan ijtihad,6 tetapi pada akhirnya menimbulkan suasana atau
citra yang tidak kondusif, sehingga terjadi perbedaan-perbedaan antar mazhab
yang cenderung kontra produktif. Tidak jarang terjadi pertentangan antar
mazhab, yang kadang-kadang membawa dampak negative dalam masyarakat
(pengikut mazhab). Masyarakat terkotak-kotak ke dalam berbagai mazhab
Sofi Hasan Abu Thalib, Tatbiq al-Syari’’ah Al-Islamiyah Fi Bilad Al-Arabiyah. (Kairo ; Dar
al-Nahdah Al-arabiyah, Cet. III)1990, hlm 152-163
6
6
dan masing-masing mengkalaim mazhab merekalah yang benar dan
menyalahkan yang lainnya.
b. Menurunnya semangat ijtihad dan kuatnya pengaruh ajaran mazhab, sehingga
para ulama tidak mau dan tidak sanggup melampaui ketentuan-ketentuan
yang telah digariskan oleh mazhab yang mereka anut. Parahnya lagi, di
kalangan pengikut mazhab muncul sikap ta’asub mazhab dan taqlid.
Akibatnya, para ualam yang ada disetiap mazhab menjadi tidak kreatif dan
mandul. Suasana seperti inilah yang menyebabkan mundurnya gerakan ijtihad
dan pemikiran dalam Islam. Pada waktu ini, kalaupun ada ijtihad yang
dilakukan oleh ulama, namun tidak lebih dari sekedar mensyarah pemikiranpemikiran imam-imam mazhab mereka dan mengintrodusir ajaran mazhab
kepada masyarakat. Kemandirian ulama untuk melakukan ijtihad menjadi
hilang, mereka hanya mengikuti apa yang ada dalam mazhab mereka.
Disamping itu, di kalangan mazhab sendiri telah membuat berbagai macam
persyaratan untuk dijadikan acuan dalam melakukan ijtihad. Persyaratanpersyaratan ijtihad itu, pada umumnya ditetapkan sangat ketat, sehingga
dalam operasionalnya tidak gampang untuk dilakukan. Ketatnya persyaratan
ijtihad ini, semula tujuannya adalah agar tidak muncul orang-orang yang tidak
memiliki otoritas dalam melakukan ijtihad dan menganggap gampang ijtihad
itu. Diakui bahwa ketika ini, memang ada semacam kecenderungan dari
sebagian orang yang menggampangkan persoalan ijtihad ini, dan dapat
dilakukan oleh semua orang. Melihat kecenderungan ini, ulama-ulama
7
mazhab merasa khawatir jika ijtihad dilakukan oleh orang-orang jahil yang
tidak memiliki persyaratan, maka akan menimbulkan malapetaka bagi umat
Islam, sehingga akhirnya pintu ijtihad ditutup.
c. Disintegrasi dan dominasi bangsa asing faktor yang paling parah yang
menyebabkan kemunduran umat Islam ialah terjadinya disintegrasi dan
perpecahan umat Islam. Seperti dijelaskan oleh Harun Nasution,7 bahwa pada
fase ini keutuhan umat Islam dibidang politik mulai pecah, kekuasaan
khalifah mulai menurun dan bahkan khilafah sebagai symbol dan lambing
kesatuan Politik umat Islam menjadi hilang. Di zaman ini desentralisasi dan
disintegrasi semakin meningkat. Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah dan
demikian juga antara Arab dan Persia bertambah nyata kelihatan.
D. Tokoh-tokoh dan ajaran Hukum Islam masa kemunduran
Pada masa kemunduran pemikiran hukum Islam muncul tokoh-tokoh penting
yang hidup pada zamannya dan mewarnai aktivitas pemikiran hukum Islam dengan
dengan munculnya teori maqashid al-Syari’ah.
Maqasid syari’ah berarti tujuan
Allah dan Rasulnya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat
ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan sunah Rosulullah sebagai alasan logis bagi
rumusan, suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.
Kegiatan penelitian tujuan hukum (maqashid al-Syari’ah) telah dilakukan
oleh para ahli ushul fikih terdahulu. Al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli ushul
7
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan). (Jakarta ;
Bulan Bintang, Cet. II, 1982) hlm 13
8
fikih pertama yang menekankan pentingnya memahami maqashid aI-Syari’ah dalam
menetapkah hukum. Ia secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak dikatakan
mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia dapat memahami benar tujuan
Allah menetapkan perintah-perintah dan larang-laranganNya.
Kerangka berpikir al-Juwaini di atas kelihatannya dikembangan oleh
muridnya al-Ghazali(450H./1058M.-505H./IIIIM.) dalam kitabnya Syifa al-Ghazali
ia menjelaskan maksud syari’at dalam kaitannya dengan al-munasabat almaslhahiyyat al-qiyas. Sebagai seorang pemikir Islam terbesar, A1-Ghazali, tidak
hanya dikenal di dunia Islam, tetapi juga di luar Islam, maka sangat wajar jika banyak
penulis tertarik untuk-menulis dan mengkaji pemikiran-pemikiran Al-Ghazali, baik
dari kalangan Muslim, maupun dari kalangan Orientalis. Al-Ghazali (1058/1111M.) 8
Sebagai pemikir besar Islam, maka hasil pemikiran Al-Ghazali masih tetap
menjadi warisan umat Islam, meskipun sepuluh abad berlalu. Kebesaran pengaruh
Al-Ghazali tersebut dapat dilihat dan gelar hujjah al-Islam yang disandangnya.
Berbagai pujian dilontarkan oleh penulis dan pemikir kepadanya, juga cercaan dan
orang-orang yang tidak senang kepadanya. Semua itu merupakan bukti kebesaran
nama seorang Al-Ghazali.9
Pada masa al-Ghazali, tidak saja terjadi disintegrasi umat Islam di bidang
politik, melainkan juga di bidang sosial-keagamaan. Umat Islam ketika itu terpilahpilah dalam beberapa golongan mazhab fiqh dan aliran kalam yang masing-masing
8
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm 13.
Nurcholish Madjid, Khazanah lntelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm 34.
9
9
tokoh ulamanya dengan sadar menanamkan fanatisrne golongan kepada umat.
Sebenarnya tindakan serupa juga diperankan oleh pihak penguasa. Setiap penguasa
menanamkan pahamnya kepada rakyat dengan segala daya upaya, bahkan dengan
cara kekerasan. Sebagai contoh, apa yang dilakukan oleh Al-Kundury, Perdana
Menteri Dinasti Saljuk pertama yang beraliran Mu’tazilah sehingga mazhab dan
aliran lainnya (seperti mazhab Syifi’i dan Asy’ari) menjadi tertekan, bahkan banyak
korban dan tokoh-tokohya.
Akibat dari fanatisme golongan yang melibatkan pada masa itu, sering timbul
konflik antara golongan mazhab dan aliran, malah meningkat sampai menjadi konflik
fisik yang meminta korban jiwa. Konflik tersebut terjadi antara berbagai mazhab dan
aliran, masing-masing mempunyai wilayah penganutnya- Khurasan, mayoritas
penduduknya bermazhab Syafi’i, dan Transoxiana dan Balkah bermazhab Hanafi dan
Hanbali, sedangkan di Bagdad dan wilayah Iraq, mazhab Hambali lebih dominan.
Menelusuri tentang karya-karya Al-Ghazali, maka dia digolongkan cukup
produktif dalam hal penulisan karya ilmiah, karena ia memiliki kecenderungan
intelektual yang sangat luas (gemar akan ilmu pengetahuan), dia juga memiliki
kemampuan menulis yang sangat tinggi, hal ini dibuktikan oleh al-Ghazali, menulis
sejak umur 20 tahun.
Dari keterangan yang diperoleh, nampaknya memang wajar, jika dikatakan
bahwa al-Ghazali merupakan salah seorang pemikir Islam yang memiliki
kecenderungan intelektualitas yang tinggi, sebab ia masih relatif muda, dan tulisan
pertamanya mendapat pujian dari gurunya al-Juwaini.
10
Tentang jumlah karangan al-Ghazali, sampai saat ini belum terdapat kata
pasti. Besar kemungkinan disebabkan karena masih adanya karya-karya al-Ghazali
yang belum diterbitkan dan masih dalam bentuk naskah yang tersimpan di
perpustakaan, baik di negeri Arab maupun di Eropa. Sebab lain, karena sebahagian di
antara karya-karyanya telah lenyap dibakar pada saat tentara Monggol berkuasa, juga
sebahagian dibuang penguasa Spanyol atas perintah Qadhi Abdullah Muhammad ibn
Hamdi.10 Kategori ini terdiri dan sejumlah 72 buku, 22 buku yang diragukan sebagai
karya al-Ghazali, karya-karya yang mengatakan secara pasti buku al-Ghazali,
sebanyak 31 buah.
Adapun landasan pemikiran Al-Ghazali, bahwa sebagai seorang muslim tetap
mendasari pemikiran-pemikirannya kepada pokok ajaran Islam, yaitu al-Quran dan
Hadis. Di samping itu juga ia mempergunakan akal (al-ma’quI) sebagai landasan
berpikirnya. Di dalam kitabnya Qanun al-Ta’wil, Al-Ghazali mengungkapkan
kesetujuannya terhadap golongan yang menggabungkan antara wahyu dengan akal
sebagai dasar penting dalam membahas sesuatu.
Ketika Al-Ghazali membahas dalil-dalil pokok (yang utama) untuk ijma’ ia
menempuh 3 (tiga) jalan, sebagai berikut:
a. Berpegang pada Al-Qur’an
b. Berpegang pada pendapat Rasulullah Saw, bahwa umat tidak akan bersepakat
pada kesalahan (kesesatan)
Ahmad Syafi Ma’arif, Peta Bumi intelektuat Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), hlm
10
57
11
c. Berpegang teguh pada metode ma’nawy.
Dalam kitab al-Mustashfa, Al-Ghazali menyebutkan bahwa rukun Ijtihad ada
tiga; Fi Nafs al-Ijtihadi, Al-Mujtahad, Al-Mujtahidu Fihi. Menurut al-Ghazali bahwa
Ijtihad ialah menggambarkan sesuatu yang diperjuangkan dan menghabiskan usaha
dalam sebuah aktifitas dan tidak bekerja kecuali pada hal-hal berupa beban
(kesulitan) secara menyeluruh.
Menurut al-Ghazali Orang yang berijtihad, mempunyai dua syarat, Pertama :
mengetahui seluk-beluk syari’at, mana yang didahulukan dan mana yang wajib
dikemudiankan.. Kedua : seseorang mujtahid harus adil dan menjauhi dosa,
persyaratan inilah sebagai landasan dalam berfatwa, jika tidak adil, maka sama sekali
tidak diterima fatwanya. Jadi keadilan seseorang mujtahid sebagai syarat sahnya
ijtihad, juga selalu memperhatikan Al-Quran dan As-Sunnah. Di samping itu tidak
dijadikan syarat seorang mujtahid bahwa dia harus mengetahui semua kitab yang
berhubungan dengan hukum-hukum, tetapi mengetahui sekitar 500 ayat, juga tidak
disyaratkan menghafalnya; tetapi mengetahui tempat ayat ketika dibutuhkan.
Adapun tentang hadis, harus mengetahui hadis-hadis yang terkait dengan
hukum. Tidak diharuskan untuk menghafalnya, seperti Sunan Abu Daud, Sunan
Ahmad dan Al-Baihaqy. Adapun ijma’ diharuskan menghafal semua kejadian ijma’
dan perbedaanperbedaannya, tetapi sebaliknya mengetahui fatwa-fatwa yang mana
tidak bertentangan dengan ijma’
Al-Mujtahidu Fihi, atau persoalan Ijtihad ini sendiri, di sini dijelaskan bahwa
semua hukum agama yang tidak mempunyai dalil-dalil qathy, bahkan ada pendapat
12
(secara dzanni) bahwa syarat mujtahid bukan Nabi, maka tidak diharuskan berijtihad
bagi Nabi dan juga sebagai syarat Ijtihad tidak terjadi pada zaman Nabi; maka timbul
dua masalah: terjadi perbedaan pendapat dalam kebolehan taabud dengnan qiyas dan
ber Ijtihad pada zaman Rasulullah Saw. dalam hal ini terjadi dua versi: Sekelompok
yang melarangnya, dan sekelompok yang membolehkannya. Pendapat pertama :
boleh dalam hal memutuskan perkara dan hal pemerintahan dalam keadaan
Raasulullah tidak ada. Pendapat kedua: yang membolehkan dengan mengatakan
dengan izin Rasulullah cukup dengan diamnya Rasulullah Saw.
Menurut Al-Ghazali dalam mendapatkan hukum ada tiga cara: Secara ijmali
(global) menurutnya ada ke-ijmalan, sebagai contoh pada Firman Allah Swt;
‫ وامسحوا بر ء وسكم‬dalam hal ini Imam Malik dan Abu Bakr dan Ibnu Jany, (dari Nahat)
meniadakan al-Urf, mewajibkan membasuh seluruh rambut pada setiap berwudhu,
sementara itu Imam Syafi’i dan Abd. Jabbar dan Abu al-Huzain keduanya dari
Mu’tazilah menetapkan membasuh tangan degan saputangan, itu berarti membasuh
tangan dari sebahagian saputangan, maka wajib membasuh sebahagian rambut.
Karena itu Imam Syafi’i dan pendapat-pendapat yang lain: bahwa membasuh dari
segi bahasa adalah sebahagian seperti halnya mandi yang berarti keseluruhan.
Secara Al-Bayan, dengan mengambil contoh sah keterangan dengan perbuatan
sama kalau memakai dengan perbuatan. Contoh yang lain, Rasulullah Saw.,
menjelaskan shalat dan haji dengan perbuatannya (dengan contohnya), pada
13
kebanyakan orang mukallaf sebagaimana sabda Rasulullah saw., dalam riwayat
Bukhary:
‫صلوا كمارايتموىن ا صلى خذوا على مناسككم‬
Dari sini menunjukkan bahwasanya Rasulullah saw., menjelaskan melalui
perbuatan.
Dalam hal mengambil suatu hukum, Al-Ghazali mengandalkan hadis-hadis
mutawatir, dengan syarat antara lain sebagai berikut:
harus mendahulukan ilmu pada hadis itu, harus mendahulukan sanadnya yang
banyak dan tidak berbohong. Kalau bertentangan al-Jarhu wa Ta‘dil, maka yang
didahulukan adalah naqd al-sanad (kritik sanad); hadis yang diriwayatkan satu jalur
tetapi dengan syarat harusadil maka itu dapat diterima.
Terkait dengan hal ini, maka dia mensyaratkan keadilan di dalam ber-Ijma’
menggantungkan diri, tetapi tetap melegitimasi yang tidak adil seperti di dalam kitab
Al-Amidi dan Al-Ghazali menjelaskan bahwa adil yang menunjukkan kehujjahan
Ijma’ itu bersifat umum, mutlak, lepas, beda dengan Abu Hanifah, bahwa orang fasiq
tidak boleh dijadikan hujjah.
Al-Ghazali secara etimologi memberi penjelasan bahwa kata qiyas berarti
mengukur, membanding sesuatu dengan yang semisalnya. Dalam Al-Mustashfa, ia
membari definisi qiyas, sebagai berikut : “Menanggungkan sesuatu yang di ketahui
kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapakan hukum pada keduanya atau
14
meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya,
dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”
Dari definisi yang diberikan oleh Al-Ghazali, secara panjang dan rumit,
demikian juga penggunaan kata: hamala (menanggungkan), ada juga pakai isbath
(menetapkan), ilhaq (menghubungkan) dan sebagainya. tersebut mengandung arti
bahwa qiyas itu merupakan usaha atau mujtahid.
Penggunaan kata ma’lum, oleh Al-Ghazali adalah dimaksudkan untuk
menjangkau kepada sesutu yang belum diketahui (ma’düm), karena kalau dikatakan
kata “sesuatu” menurut mereka, hanya berlaku yang diketahui (maujud). Terlihat lagi
Al-Ghazali difinisinya menghubungkan antara ashal dan furu’ dengan kata (dalam
menetapkan hukum atau peniadaan hukum), maksudnya supaya qiyas itu dapat
mencapai qiyas ‘aks’ yaitu menghasilkan lawan hukum dari sesautu yang diketahui
pada tempat lain karena keduanya berbeda dalam illat, hukum.
Dalam praktek Usul Fiqh, qiyas dapat dirumuskan sebagai cara untuk
menetapkan hukum yang kasusnya tidak terdapat dalam nash dengan cara
menyamakannya (menganologikan) dengan kasus hokum yang ada pada nash,
disebabkan adanya persamaan illat hukum.
Selain al-Ghazali muncul Al-Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin
Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Gharnati asy-Syatibi merupakan salah seorang
cendekiawan muslim yang belum banyak diketahui latar belakang kehidupannya.
Yang jelas, ia berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama asy-Syatibi dinisbatkan ke
daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatiba atau Jativa), yang terletak di kawasan
15
Spanyol
bagian
timur.1
Asy-Syatibi
dibesarkan
dan
memperoleh
seluruh
pendidikannya di ibukota kerajaan Nashr, Granada, yang merupakan benteng terakhir
umat Islam di Spanyol. Masa mudanya bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan
Muhammad V al-Ghani Billah yang merupakan masa keemasan umat Islam setempat
karena Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah dengan berdirinya Universitas
Granada. Suasana ilmiah yang berkembang dengan baik di kota tersebut sangat
menguntungkan bagi asy-Syatibi dalam menuntut ilmu serta mengembangkannya di
kemudian hari. Dalam meniti pengembangan intelektualitasnya, tokoh yang
bermazhab Maliki ini mendalami berbagai ilmu, baik yang berbentuk ‘ulum alwasa’il (metode) maupun ‘ulum maqashid(esensi dan hakikat). Asy-Syatibi memulai
aktivitas ilmiahnya dengan belajar dan mendalami bahasa Arab dari Abu Abdillah
Muhammad ibn Fakhkhar al- Biri, Abu Qasim Muhammad ibn Ahmad al-Syabti, dan
Abu Ja’far Ahmad al- Syaqwari. Selanjutnya, ia belajar dan mendalami hadis dari
Abu Qasim ibn Bina dan Syamsuddin al-Tilimsani, ilmu kalam dan falsafah dari Abu
Ali Mansur al-Zawawi, ilmu ushul fikih dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad
al-Miqarri dan Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Syarif al- Tilimsani, ilmu
sastra dari Abu Bakar al-Qarsyi al-Hasymi, serta berbagai ilmu lainnya, seperti ilmu
falak, mantiq, dan debat. Di samping bertemu langsung, ia juga melakukan hubungan
korespondensi untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuannya, seperti
mengirim surat kepada seorang sufi, Abu Abdillah ibn Ibad al-Nafsi al-Rundi.
Meskipun mempelajari dan mendalami berbagai ilmu, asy-Syatibi lebih berminat
untuk mempelajari bahasa Arab dan, khususnya, ushul fikih. Ketertarikannya
16
terhadap ilmu ushul fikih karena, menurutnya, metodologi dan falsafah fikih Islam
merupakan faktor yang sangat menentukan kekuatan dan kelemahan fikih dalam
menanggapi perubahan sosial. Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai,
asy-Syatibi mengembangkankan potensi keilmuannya dengan mengajarkan kepada
para generasi berikutnya, seperti Abu Yahya ibn Asim, Abu Bakar al-Qadi dan Abu
Abdillah al-Bayani. Di samping itu, ia juga mewarisi karya-karya ilmiah, seperti
Syarh Jalil ‘ala al-Khulashah fi al-Nahw dan Ushul al-Nahw dalam bidang bahasa
Arab dan al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah dan al-I’tisham dalam bidang ushul
fikih. Asy-Syatibi wafat pada tanggal 8 Sya’ban 790 H (1388 M).
Dalam kerangka ini, asy-Syatibi mengemukakan konsep maqashid al-syariah.
Secara bahasa, Maqashid al-Syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan alsyari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-syariah berarti jalan
menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok
kehidupan. Menurut istilah, asy-Syatibi menyatakan, “Sesungguhnya syariah
bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat”
Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syariah menurut asy-Syatibi
adalah kemaslahatan umat manusia. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak satu pun
hukum Allah swt yang tidak mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai
tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan.
Kemaslahatan, dalam hal ini, diartikannya sebagai segala sesuatu yang menyangkut
rezeki manusia, pemenuhan Penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang
dituntut oleh kualitaskualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang
17
mutlak. Dengan demikian, kewajiban-kewajiban dalam syariah menyangkut
perlindungan maqashid al-syari’ah yang pada gilirannya bertujuan melindungi
kemaslahatan manusia. Asy-Syatibi menjelaskan bahwa syariah berurusan dengan
perlindungan mashalih, baik dengan cara yang positif, seperti demi menjaga
eksistensi mashalih, syariah mengambil berbagai tindakan untuk menunjang
landasan-landasan mashalih, maupun dengan cara preventif, seperti syariah
mengambil berbagai tindakan untuk melenyapkan unsur apa pun yang yang secara
aktual atau potensial merusak mashalih.
Menurut al-Syatibi
11
maqasidul syariah terbagi kepada tiga tingkatan
kebutuhan:
a. Kebutuhan Dharuriyat. Ialah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut
dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan
terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akherat
kelak. Menurut al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini
yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, kehormatan,
keturunan serta harta.
b. Kebutuhan Hajiyat ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder dimana bila tak
terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan
mengalami kesulitan. Syari’at Islam menghilangkan segala kesulitan itu.
11
Khairul Uman, Achyar Amitudin, Ushul Fiqh II, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1998) hlm 75
18
c. Kebutuhan Tahsiniyat ialah tingkat kebutuhan yang apabuila tidak
terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok diatas dan
tida pula menimbulkan kesulitan. Tingkat ini berupa kebutuhan pelengkap.
Menurut al-Syatibi hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat
istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan
berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.
Pengetahuan tentang maqasid syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd-Alwahhab
Khalaf, adalah hak sangat penting yang dapat dijadikan alat abntu untuk memahami
redaksi Al-Qur’an dan sunnah menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan
sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak
bertampung oleh Al-Qur’an dan sunah secara kajian kebahasan. 12
Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum
dari menasyri’kan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu :
-
Memelihara segala sesuatu yang dharuri bagi manusia dalam penghidupan
mereka. Urusan-urusan yang dharuri itu ialah segala yang diperlukan untuk
hidup manusia, yang apabila tidak diperoleh akan mengakibatkan rusaknya
undang-undang kehidupan, timbullah kekacauan, dan berkembangnya
kerusakan. Urusan-urusan yang dharuri itu kembali pada lima pokok : Agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta
Menyempurnakan segala yang dihayati manusia. Urusan yang dihayati
manusia ialah segala sesuatu yang diperlukan manusia untuk memudahkan
dan menanggung kesukaran-kesukaran taklif dan beban hidup. Apabila urusan
itu tidak diperoleh, tidak merusak peraturan hidup dan tidak menimbulkan
kekacauan, melainkan hanya tertimpa kesempitan dan kesukaran saja.
Mewujudkan keindahan bagi perseorangan dan masyarakat. Ialah segala yang
diperlukan oleh rasa kemanusiaan, kesusilaan, dan keseragaman hidup.
-
-
Djazuli, Fiqh Siyasah, Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari’ah,
(Jakarta : Pustaka Media, 2003) hlm 16
12
19
Apabila yang demikian ini tidak diperoleh tidaklah cidera peraturan hidup dan
tidak pula ditimpa kepicikan. Hanya dipandang tidak boleh oleh akal yang
kuat dan fitrah yang sejahtera. Urusan-urusan yang mewujudkan keindahan
ini dalam arti kembali kepada soal akhlak dan adat istiadat yang bagus dan
segala sesuatu untuk mencapai keseragaman hidup melalui jalan-jalan yang
utama.
Urusan dharuri merupakan sepenting-pentingnya maksud, karena apabila
urusan-urusan dharuri itu ridak diperoleh akan menimbulkan kerusakan dalam
kehidupan, menghilangkan keamanan dan merajalelalah keganasan. Dalam padi itu,
tidak dipelihara hukum yang bersifat mewujudkan keindahan apabila mencederakan
suatu dalam memeliharanya mencederakan hukum dharuri. Karena itu boleh kita
membuka aurat untuk keperluan berobat. Menutup aurat merupakan urusan yang
mengindahkan, sedangkan berobat suatu urusan dharuri. Boleh kita makan najis
untuk obat dan dalam keadaan terpaksa. Tidak boleh makan (memegang) najis adalah
urusan yang mengindahkan sedangkan menolak kemudharatan adalah urusan
dharuri13
Wajib kita mengerjakan segala yang wajib walaupun menimbulkan sedikit
kesukaran, karena wajib kita termasuk golongan dharuri. Sedangkan urusan menolak
kesukaran dan kepicikan merupakan urusan tahsini yang mengindhkan. Karena itu
tidaklah dipelihara urusan yang mengindahkan, mendatangkan kesewenangan,
apabila merusak dharuri. Segala hukum dharuri ridak boleh dicederakan, terkecuali
kalau suatu dharuri yang lebih penting dari padanya. Atas dasar inilah kita diwajibkan
berjihad untuk memeliharanya sebab memelihara agama adalah lebih penting dari
13
Satria Efendi, M. Zein. Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008) hlm 19
20
pada memelihara jiwa. Meminum arak dibolehkan, terhadap orang yang dipaksa atau
karena terpaksa, karena memelihara jiwa lebih penting dari pada memelihara akal.
Apabila perlu untuk memelihara jiwa, kita boleh membinasakan harta orang karena
memelihara jiwa lebih penting dari pada memelihara harta.
21
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syafi Ma’arif, Peta Bumi intelektuat Islam Indonesia, Bandung: Mizan, 1993
Amir Muallim-Yusdani, Ijtihad Suatu Kontroversi Antara Teori dan Fungsi.
Yogyakarta; Titian Ilahi Press. Cet. I, 1997
Djazuli, Fiqh Siyasah, Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu
Syari’ah, Jakarta : Pustaka Media, 2003
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan.
Jakarta ; Bulan Bintang, Cet. II, 1982
Khairul Uman, Achyar Amitudin, Ushul Fiqh II, Bandung : CV Pustaka Setia, 1998
Nurcholish Madjid, Khazanah lntelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Satria Efendi, M. Zein. Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008
Sofi Hasan Abu Thalib, Tatbiq al-Syari’’ah Al-Islamiyah Fi Bilad Al-Arabiyah.
Kairo ; Dar al-Nahdah Al-arabiyah, Cet. III1990
Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan modernitas, studi atas pemikiran Hukum
Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1989
Download