Pemanfaatan Mikoriza dan Rhizobium untuk

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lahan pasca tambang semen
Kegiatan pertambangan mempunyai karakteristik yang khas dibandingkan
dengan karakteristik kegiatan lainnya, terutama menyangkut sifat, jenis dan
lokasi. Dimana kegiatannya melibatkan eksploitasi sumberdaya alam yang tidak
dapat diperbaharui dan sering ditemukan pada lokasi yang terpencil. Selain itu
pembangunannya membutuhkan investasi yang besar terutama untuk membangun
fasilitas infrastruktur.
Karakteristik yang penting lainnya bahwa jumlah
cadangan sumber daya alam tidak dapat diketahui dengan pasti, pasar dan harga
sumber daya mineral menyebabkan industri pertambangan dioperasikan pada
tingkat resiko yang tinggi baik dari segi aspek fisik, perdagangan, sosial ekonomi
maupun aspek politik.
Bahan dasar pembuatan semen adalah kapur kembang (CaO), silika
(SiO2), aluminium oksida (Al2O3), pasir besi (Fe2O3), gips dan tanah liat. Limbah
yang dihasilkan oleh industri semen adalah:
a. Limbah padat, yang berasal dari penambangan dan peledakan bahan
baku di quarry, penghancuran (crusher), proses dalam pabrik
(penggilingan, pembakaran, pendinginan, pemotongan).
b. Limbah gas, yang berasal dari proses pendinginan, mesin – mesin
pembangkit listrik dan mobilitas kendaraan truk pengangkut.
c. Limbah cair, yang berasal dari air lumpur di quarry, buangan minyak
aktifitas transportasi, diesel pembangkit tenaga listrik, air pencucian batu
bara, kegiatan perbengkelan, buangan air dari proses pendinginan
(Anonim 1985) dalam Azwir (2001).
Lahan pasca penambangan sering disebut juga sebagai tailing. Tailing
adalah bagian dari produksi pertambangan yang tidak berguna dan perlu dibuang.
Tailing ini terutama terdapat pada produksi mineral yang dihasilkan dari
penambangan di batuan keras setelah bagian mineralnya diambil.
Jadi
pengelolaan tailing terkait dengan tahap produksi dari suatu perusahaan
(Cahyono 2001).
7
2.2. Bakteri fiksasi nitrogen rhizobium (BFN)
Salah satu mikroba tanah yang bersimbiosis dengan jenis - jenis pohon
legum adalah bakteri bintil akar rhizobia. Didalam bintil akar bakteri ini mampu
memfiksasi N2 dari atmosfer menjadi protein tumbuhan yang selanjutnya tersedia
untuk jenis tanaman lainnya melalui proses daur ulang (Postage 1978).
Penggunaan bakteri rhizobium sebagai inokulan telah populer digunakan
pada tanaman pertanian seperti kedelai dan jenis polong - polongan lainnya.
Akhir - akhir bakteri ini mulai diperkenalkan penggunaannya juga untuk pohon pohon leguminosa yang sering dipakai untuk kegiatan reboisasi dan agroforestri
(Setiadi 1990).
Bakteri rhizobium mempunyai kemampuan untuk menginfeksi akar dan
membentuk bintil akar (nodul) dengan simbiosisnya dengan tanaman
leguminosa. Di dalam bintil akar tersebut mikroba ini mampu secara kimia untuk
menambat nitrogen bebas (N2) dari atmosfir dan merubahnya menjadi amonia
(NH3), produk yang terakhir ini dapat dimanfaatkan oleh tanaman inang (host)
untuk pertumbuhannya. Sedangkan rhizobium sendiri memperoleh karbohidrat
dari tanaman inang.
Penambahan nitrogen oleh tanaman leguminosa sebenarnya merupakan
proses alami yang tingkat efektifitasnya dapat dimanipulasi dan ditingkatkan
dengan cara mengintrodusir galur - galur rhizobia unggul yang telah teruji.
Dengan cara demikian maka tidak saja laju pertumbuhan pohon tersebut dapat
hidup dalam kondisi tanah yang miskin nitrogen. Selain itu adanya asosiasi
leguminosa - Rhizobium yang harmonis memungkinkan kontribusi penambahan
N pada tanah cukup tinggi. Sistem tersebut diatas dalam jangka waktu panjang
secara tidak langsung dapat mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah
sehingga memungkinkan tanaman lain (non - legum) dapat tumbuh, dan
kekhawatiran akan mundurnya produktifitas hutan pada rotasi berikutnya dapat
diatasi.
2.3. Fungi mikoriza arbuskula (FMA)
Mikoriza adalah suatu bentuk hubungan simbiosis mutualisme antara fungi
(myke) dan perakaran (rhiza) tumbuhan tingkat tinggi. De Hulster (1972) dan
Richards (1976) dalam Badri (2004) menyatakan bahwa mikoriza adalah suatu
8
struktur yang terbentuk pada kebanyakkan pohon - pohon hutan, jika akar – akar
pohon tersebut terinfeksi oleh fungi tanah tertentu yang tidak bersifat patogenik.
Menurut Soekotjo (1985), mikoriza merupakan suatu hubungan timbal balik yang
saling menguntungkan antara akar - akar pohon dengan fungi, baik secara
ektotrofik maupun endotropik.
Berdasarkan struktur tumbuh dan cara infeksinya pada sistem perakaran
inang (host) mikoriza dikelompokkan kedalam dua golongan besar yaitu
ektomikoriza dan endomikoriza.
Di dalam kelompok endomikoriza terdapat
enam subtipe yaitu : mikoriza arbuskula, ectendo, arbutoid, monotropoid, ericoid,
dan orchid.
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) adalah salah satu tipe fungi
pembentuk mikoriza yang akhir – akhir ini menjadi perhatian para ahli
lingkungan dan biologis (Setiadi 1999).
Fungi mikoriza arbuskula memiliki beberapa peran penting sebagai berikut
(Setiadi 1999) :
1. Sebagai pelindung hayati (bio - protection)
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) mampu meningkatkan daya tahan
tanaman terhadap serangan patogen luar tanah. FMA juga dapat membantu
pertumbuhan tanaman pada tanah – tanah yang tercemar logam berat
(Linderman dan Pfleger 1994) seperti pada lahan – lahan pasca tambang.
Dengan demikian FMA, selain berguna untuk bio – protection, juga
berfungsi penting sebagai bio – remediator bagi tanah yang tercemar logam
berat (Hetrick et al. 1994) diacu dalam Badri (2004). Selain itu tipe fungi
ini juga mampu meningkatkan resistensi tanaman terhadap kekeringan
(Gupta 1991).
2. Perbaikan nutrisi dan peningkatan pertumbuhan tanaman
Fungi ini memiliki kemampuan untuk berasosiasi hampir 90% jenis
tanaman dan telah terbukti mampu memperbaiki nutrisi dan meningkatkan
pertumbuhan tanaman. Marschner (1994) menyatakan bahwa FMA yang
menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi jalinan
hifa secara intensif sehingga tanaman mampu meningkatkan kapasitas
penyerapan unsur hara utama yang dapat diserap oleh tanaman
bermikoriza serta unsur – unsur mikro seperti Cu, Zn, dan Bo.
9
3. Sinergis dengan mikroorganisme lain
FMA pada tanaman leguminose diperlukan karena pembentukan
bintil akar dan efektifitas penambahan nitrogen oleh bakteri rhizobium
yang terdapat di dalamnya dapat ditingkatkan.
FMA juga dapat
bersinergis dengan mikroba potensial lainnya, seperti bakteri penambat N
bebas dan bakteri pelarut fosfat (Barea et al. 1992). Serta sinergis dengan
jasad – jasad renik selulotik seperti Trichoderma sp. Berdasarkan
kemampuan tersebut, maka FMA dapat berfungsi untuk meningkatkan
biodiversitas mikroba potensial di sekitar perakaran tanaman.
4. Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan
FMA berperan penting dalam mempertahankan keanekaragaman
tumbuhan dengan cara transfer nutrisi dari satu akar tanaman ke akar
tanaman yang lain yang berdekatan melalui sturktur yang disebut “brige
hypha” (Allen dan Allen 1992). Sehingga aplikasi FMA tidak terbatas
pada pola tanaman monokultur, tetapi dapat diintegrasikan dalam unit
manajemen pola tanaman campuran.
5. Terlibat dalam siklus bio - geo - kimia
FMA di alam dapat mempercepat terjadinya suksesi secara alami
pada habitat yang mendapat gangguan ekstrim (Allen dan Allen 1992).
Keberadaan FMA juga mutlak diperlukan karena berperan penting dalam
mengefektifkan daur ulang unsur hara (nutrient cycle) sehingga dianggap
sebagai alat yang paling untuk mempertahankan stabilitas ekosistem hutan
dan keanekaragaman hayati.
2.4. Paraserianthes falcataria
Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) termasuk sub famili
Mimosacae, famili Leguminose, ordo Rosales, kelas Dicotyledone dan sub divisi
Angiospermae (Samingan 1983). Dahulu dikenal dengan nama Albizia falcataria
(L) Fosberg atau A. back atau A. mollucana Miq. Di Indonesia pohon ini dikenal
dengan nama sengon. Nama daerah pohon ini adalah sengon sebrang atau sengon
laut (Jawa Timur dan Jawah Tengah), jeunjing (Jawa Barat), jing laut (Madura)
(Alrassyid 1973), tadehu pute (Sulawesi), rare (Sahu), selawoku, selawoku merah
(Maluku), seka (Alfur) dan tawa sela (Ternate) (Anonimus 1976).
10
P. falcataria dikenal sebagai tumbuhan tropik, tergolong suku Fabaceae
dan merupakan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini berasal dari Indonesia timur
dan penyebarannya meliputi seluruh Jawa, Maluku, Sulawesi Selatan, dan Irian
Jaya. P. falcataria mempunyai beberapa nama lokal yaitu, sengon, jeungjing,
tangkal ambon, albisos, dan kayu machis.
Tanaman ini memiliki daya adaptasi yang kuat terhadap lingkungan karena
dapat tumbuh pada tanah yang tidak subur, tanah kering dan becek/ agak asin
pada ketinggian 1500 m diatas permukaan laut (Vademikum 1992). Sumiarsi et
al. (1990) menyatakan P. falcataria dapat tumbuh pada tanah aluvial, tanah
bertekstur pasir dan pasir putih. Meskipun tanaman ini mudah patah bila terkena
angin kencang, tetapi merupakan tanaman serba guna dan hampir semua bagian
tanamannya dapat dimanfaatkan, diantaranya sebagai venir kayu lapis, pulp,
konstruksi rumah, papan semen wol kayu, papan partikel dan lain – lain.
Hasil penelitian yang dilakukan Setiadi (1996) pada lahan bekas
penambangan
nikel
menunjukan
bahwa
aplikasi
FMA
secara
efektif
meningkatkan pertumbuhan dan kualitas bibit P. falcataria. Dalam simbiosis
ini, fungi memperoleh karbohidrat dari tanaman P. falcataria sedangkan
P. falcataria mendapatkan unsur P dari tanah.
Kayu P. falcataria termasuk kelas kuat IV sampai V dan kelas awet IV
sampai V, Berat jenis 0,24 hingga 0,49 serta mempunyai nilai kalor 4.464 Kkal
per kg. Kayu lunak dan mudah dikerjakan, disamping itu P. falcataria
mempunyai sifat daya kembang susut dan daya retak yang agak besar. Biasanya
dipakai untuk peti, balok, papan, perumahan dan bahan pulp. Pemanfaatan yang
baik untuk kayu P. falcataria ialah untuk bahan pulp, campuran papan partikel
atau papan wool kayu (Samingan 1983).
2.5. Enterolobium cyclocarpum
Enterolobium cyclocarpum Griseb termasuk famili Leguminosae. Di
beberapa negara jenis ini dikenal dengan nama guanacasta (Guantemala,
Honduras,
Nicaragua);
Cuanacaztle,
huanacaxtle,
huinecaztle,
nacaxle,
cuaunacaztli cascale sonaya, orejon, parota piche (Mexico); Genisero, jenizero
(Nicaragua); Conacaste (Guatemala); Conacaste, caro, caro hembra, arbol de
orejas (Salvador); Coratu jarina; Harina (Panama); Anjera, carits, carito, oriera,
11
pinon (Colombia); Caro hembra (Venezuela); Oreja de judio, Arbol de las orejas,
algarrobo carretera, cabelos de venus (Cuba).
Dalam perdagangan jenis ini
dikenal dengan nama pichwood, South American walnut, Mexican walnut,
Conacasta, Jenisero (Record and Mell 1924).
Pohon ini mempunyai bebas cabang yang pendek, lebih - lebih kalau
berada ditempat terbuka. Kulit pohonnya agak tebal yaitu sekitar 3 – 4 cm
tebalnya terutama pohon yang tua, karena itu pohon yang sudah tua agak tahan
terhadap kebakaran.
Tajuknya besar berbentuk seperti payung dan lebarnya
dapat mencapai antara 15,24 – 30,48 m (Record and Mell 1924). Susunan daun
pinnate, kecil dan gugur daun sebagian untuk beberapa bulan dalam satu tahun.
Menurut laporan Anonimus (1936) terjadinya gugur daun pada E. cyclocarpum
terutama periode musim bunga atau periode musim panas. Selain dari pada itu
menurut hasil pengamatan di kebun percobaan, ternyata pada periode musim
buah pun masih berlangsung pengguguran daun. Dengan adanya masa gugur
daun dan daunnya mudah hancur/ dekomposisi dalam tanah (Anonimus 1936),
berarti kemampuan untuk memperbaiki kesuburan tanah dari pohon ini cukup
baik.
Pada waktu yang muda yaitu pada umur 9 bulan panjang akar
tunggangnya berkisar 39 cm untuk seedling yang tingginya 56 cm, dan sampai
mencapai 208 cm untuk seedling yang tingginya 306 cm.
Pada umur 10 tahun pohon ini mempunyai perakaran yang intensif,
dengan akar tunggang yang dalam.
Akar cabangnya dapat mencapai 30 m
panjangnya dan ada beberapa dari akar tersebut yang bermunculan dipermukaan
tanah. Di daerah yang iklim kering dan bermusim, pohon ini mulai berbunga
pada umur 5 – 11 tahun dan mulai berbuah pada umur 6 – 11 tahun. Sedang di
daerah agak basah sampai basah pohon ini mulai berbunga dan berbuah pada
umur 8 – 16 tahun.
Genus pohon ini terdiri dari 7 species yang tersebar di seluruh Amerika
tropis dan jenis yang terbaik adalah E. cyclocarpum dan E. timbouva (Record
dan Mell 1924). E. cyclocarpum umumnya banyak terdapat di Amerika tropis
bagian utara, Amerika tengah, dan sebelah selatan Mexico (Record dan Mell
1924). Selanjutnya menurut Anonimus (1936), pohon ini juga ditanam di salah
satu negara Afrika dan Indocina, sebagai tanaman percobaan.
12
Di Indonesia penanaman pertama tahun 1916 di kebun raya Bogor dan
bijinya berasal dari Brazil. Dari sini disebar luaskan ke seluruh Jawa yaitu
ditanam di kebun - kebun percobaan Lembaga Penelitian Hutan. Penanaman di
Jawa dilakukan diberbagai tempat tumbuh pada ketinggian 30 – 1.185 meter di
atas permukaan laut dengan keadaan tanah dan iklim yang berbeda. Menurut
Cahyono (2008) jenis E. cyclocarpum mempunyai nilai kalor 4.132 Kkal per kg.
2.6. Calliandra calothyrsus
Calliandra calothyrsus,
merupakan salah satu jenis tanaman herba
berkayu dengan tinggi 12 m dengan diameter 30 cm. Warna daun hijau gelap
sedangkan batang berwarna coklat kehitaman.
kesamping.
Bercabang banyak melebar
Daun bipinate/ berpasangan dan tumbuh bersilangan. Rachisnya
dapat mencapai panjang 10 – 17 cm sedang rachillaenya mencapai 4 – 7 cm dan
berjumlah tiap 15 – 20 pasang tiap daunnya. Butiran daun menempel pada
rachillae berbentuk lonjong dengan panjang 5 – 8 mm. Jumlah butiran daun
dalam satu rachillae mencapai 25 – 60 pasang butiran daun biasanya menguncup
waktu malam dan hujan.
Bunga muncul pada ujung ranting, berwarna merah atau putih dengan
panjang 406 cm. Buah C. calothyrsus berupa polongan berwarna coklat hitam
dengan panjang 8 – 11 cm, setiap buah mempunyai 3 – 15 biji yang kalau sudah
tua berwarna coklat, berbentuk elips dan pipih dengan jumlah biji perkilo
mencapai 13.000 – 19.000 ribu buah.
C. calothyrsus dapat tumbuh baik pada berbagai macam tipe tanah, tidak
tahan terhadap genangan air. Tingkat adaptasi terhadap kekeringan dikategorikan
sedang (1 – 7 bulan kering/ tahun) dapat tumbuh baik pada daerah dengan rata –
rata curah hujan 700 – 4000 mm. Tumbuh secara ideal pada ketinggian 1.300 m
dpl dan secara umum tanaman ini membutuhkan temperatur rataan tahunan 20 –
28 0C untuk tumbuh ideal, walaupun demikian dapat pula tumbuh pada
temperatur rendah (9 0C). Menurut Ayensu (1980) kayu ini memiliki berat jenis
dari 0,51 - 0,78 dengan nilai kalor 4.500 - 4.750 Kkal per kg. Dan kandungan abu
1,8 %. Jenis ini digunakan untuk memasak seperti bahan untuk industri kecil
untuk pembuatan industri minuman, tile dan briket.
13
2.7. Leucaena leucocephala
Leucaena leucocephala merupakan salah satu jenis tanaman penghasil
kayu bakar yang mempunyai prospek baik untuk dikembangkan sebab
pertumbuhannya cepat dan hampir semua bagian tanaman bermanfaat bagi
manusia. Selain itu tanaman ini dapat meningkatkan kesuburan tanah (National
Academy of Sciences).
Wilde (1958) menyatakan L. leucocephala juga
merupakan salah satu jenis tanaman yang diprioritaskan dalam pembangunan
hutan tanaman industri, dimana jenis ini bermanfaat sebagai penghasil kayu
pertukangan dan kayu serat/ pulp. L. leucocephala termasuk jenis tanaman yang
cepat tumbuh dan dapat ditanam pada lahan kritis. Pemanfaatanya sudah lama
dikenal oleh masyarakat, terutama masyarakat di Jawa.
L. leucocephala adalah strain lamtoro yang berbatang tunggal dan mampu
mencapai ketinggian 20 m. Strain lamtoro yang berasal dari Amerika Tengah
dikenal pula sebagai tipe guatemala. Tipe ini mampu menghasilkan biomassa
lebih dari dua kali yang dihasilkan oleh lamtoro strain kecil yang bercabang
banyak dan berbentuk semak (tipe 3 Hawaii).
Tanaman ini juga diketahui
bersimbiosis dengan bakteri rhizobium, yang ditandai dengan adanya bintil akar.
Menurut Ayensu (1980) kayu ini memiliki berat jenis dari 0,51 - 0,78
dengan nilai kalor 4.200 - 4.600 Kkal per kg. Dan kandungan abu 1,8 %. Jenis
ini digunakan untuk memasak seperti bahan untuk industri kecil untuk pembuatan
industri minuman, tile dan briket.
Download