BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Air Air merupakan sumber daya alam yang sangat penting untuk kehidupan setiap mahluk hidup di bumi ini. Oleh sebab itu diperlukan sumber air yang mampu menyediakan air yang baik dari segi kualitas dan kuantitas. Pertumbuhan penduduk yang begitu pesat, mengakibatkan sumber daya air di dunia menjadi salah satu kekayaan yang sangat penting. Air merupakan hal pokok bagi konsumsi dan sanitasi umat manusia, untuk produksi barang industri, serta untuk produksi makanan, kain dan sebagainya. Namun air tidak tersebar secara merata di atas permukaan bumi akan tetapi bervariasi (Suripin, M., 2001) Air di permukaan bumi ini terdiri atas 97% air asin di lautan, 2% masih berupa es, 0,0009% berupa danau, 0,00009% merupakan air tawar di sungai dan sisanya merupakan air permukaan yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan hiidup manusia, tumbuhan dan hewan yang hidup di daratan. Oleh sebab itu, air merupakan barang langka yang paling dominan dibutuhkan di permukaan bumi ini (Nugroho,A., 2006). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.907/MEN.KES/SK/VII/2002 tanggal 29 Juli 2002 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air, air minum adalah air yang melalui proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Persyaratan kesehatan air minum yaitu meliputi persyaratan bakteriologis, kimiawi, radioaktif dan fisik. 2.2. Sumur Gali Sumur gali adalah satu sarana yang paling umum digunakan oleh masyarakat kecil untuk mengambil air tanah dangkal dan dipergunakan sebagai sumber air bersih. Air tanah dangkal adalah air yang paling mudah terkontaminansi oleh rembesan yang berasal dari sarana pembuangan air kotor, jamban dan kotoran hewan. Sumur gali umumnya dibuat untuk mengambil air tanah bebas sehingga sangat dipengaruhi oleh musim (Ompusunggu,H., 2009). Sumur gali menyediakan air yang berasal dari lapisan tanah yang relatif dekat dari permukaan tanah, oleh karena itu dengan mudah terkena kontaminasi melalui rembesan. Umumnya rembesan berasal dari tempat buangan kotoran manusia kakus/jamban dan hewan, juga dari limbah sumur itu sendiri, baik karena lantainya maupun saluran air limbahnya yang tidak kedap air (Entjang,I., 2000). Keadaan konstruksi dan cara pengambilan air sumur pun dapat merupakan sumber kontaminasi, misalnya sumur dengan konstruksi terbuka dan pengambilan air dengan timba. Sumur dianggap mempunyai tingkat perlindungan sanitasi yang baik, bila tidak terdapat kontak langsung antara manusia dengan air di dalam sumur (Entjang,I., 2000). Cara pengambilan air tanah yang paling tua dan sederhana adalah dengan membuat sumur gali dengan kedalaman lebih rendah dari posisi permukaan air tanah. Jumlah air yang dapat diambil dari sumur gali biasanya terbatas, dan air yang diambil adalah air dangkal. Untuk pengambilan air yang lebih besar diperlukan luas dan kedalaman galian yang lebih besar. Kedalaman sumur gali tergantung lapisan tanah, ketinggian dari permukaan air laut, dan ada tidaknya air bebas di bawah lapisan tanah. Sumur gali biasanya dibuat dengan kedalaman tidak lebih dari 5-8 meter di bawah permukaan tanah. Cara ini cocok untuk daerah pantai dimana air tanah berada di atas air asin (Gabriel,J.F., 2001). 2.3. Logam Besi (Fe) 2.3.1. Sifat-Sifat Logam Besi Besi (Fe) merupakan logam transisi dan memiliki nomor atom 26. Bilangan oksidasi Fe adalah +3 dan +2. Fe memiliki berat atom 55,845 g/mol, titik leleh 1.5380 C, dan titik didih 2.8610 C. Fe menempati urutan sepuluh besar sebagai unsur di bumi. Fe menyusun 5-5,6 dari kerak bumi dan menyusun 35 % dari massa bumi. Konsentrasi tertinggi terdapat pada lapisan dalam dari inti bumi dan sejumlah kecil terdapat di lapisan terluar kerak bumi. Beberapa tempat di bumi bisa mengandung Fe mencapai 70%. Logam Fe ditemukan dalam inti bumi berupa hematit. Fe hampir tidak dapat ditemukan sebagai unsur bebas. Fe diperoleh dalam bentuk tidak murni sehingga harus melalui reaksi reduksi guna mendapatkan Fe murni. Fe ditemukan terutama sebagai mineral hematit (Fe2O3); magnetit (Fe3O4); mineral lain yang merupakan sumber Fe adalah limonit [FeO(OH)nH2O], siderit (FeCO3), dan takonit (Widowati,W dkk., 2008). Logam besi memiliki warna putih keperakan, yang kukuh dan liat. Asam klorida encer atau pekat dan asam sulfat encer dapat melarutkan besi. Fe(s) + 2HCl(aq) → Fe2+(aq) + 2Cl-(aq) + H2↑(g) 2Fe(s) + 3H2SO4(aq) + 6H+(aq) → 2Fe3+(aq) + 3SO2↑(g) +6H2O(l) Dengan asam nitrat encer dingin, terbentuk ion besi (II) dan amonia : 4Fe(s) + 10H+(aq) + NO-3(aq) → 4Fe2+(aq) + NH4+(aq) + 3H2O(l) Asam nitrat pekat yang panas dapat melarutkan besi dengan membentuk gas nitrogen oksida dan ion besi (III) : Fe(s) + HNO3(aq) + 3H+(aq) → Fe3+(aq) + NO↑(g) + 2H2O(l) (Svehla,G.,1979) 2.3.2. Logam Besi Dalam Air Mineral yang sering berada dalam air dengan jumlah besar adalah kandungan Fe. Apabila Fe tersebut berada dalam jumlah yang banyak akan muncul berbagai gangguan lingkungan. Beberapa wilayah perairan Indonesia tercemar Fe karena aktivitas industri. Besi dalam air tanah bisa berbentuk Fe(II) dan Fe(III) terlarut (Widowati,W dkk., 2008). Pada umumnya, besi yang ada di dalam air dapat bersifat : a. terlarut sebagai Fe2+ (ferro) atau Fe3+ (ferri) ; b. tersuspensi sebagai butir koloidal (diameter < 1 mikrometer) atau lebih besar ; c. tergabung dengan zat organis atau zat padat yang inorganis (seperti tanah liat) (Nainggolan,H., 2011). Perairan yang mengandung besi tidak diinginkan untuk keperluan rumah tangga, karena dapat menyebabkan bekas karat pada pakaian, porselin dan alatalat lainnya serta menimbulkan rasa yang tidak enak untuk air minum. Besi (II) sebagai ion berhidrat dapat larut, merupakan jenis besi yang terdapat dalam air tanah, karena air tanah tidak berhubungan dengan oksigen dari atmosfer, konsumsi oksigen bahan organik dalam media mikroorganisme akan menghasilkan keadaan reduksi dalam air tanah. Oleh karena itu, besi dengan bilangan oksidasi rendah yaitu Fe(II) umumnya ditemukan dalam air tanah dibandingkan Fe(III). Secara umum Fe(II) terdapat dalam air tanah berkisar antara 1,0-10 mg/L, dalam kondisi tidak ada oksigen air tanah mengandung Fe(II) jernih tetapi saat mengalami oksidasi oleh oksigen yang berasal dari atmosfer ion ferro akan berubah menjadi ion ferri (Effendi, 2003). Kadar besi pada perairan yang mendapat cukup aerasi (aerob) hampir tidak pernah lebih dari 0,3 mg/l, kadar besi pada perairan alami berkisar 0,05-0,2 mg/l. Pada air tanah dengan kadar oksigen yang rendah, kadar besi dapat mencapai 10100 mg/l. Kadar besi >1,0 mg/l dianggap membahayakan kehidupan organisme akuatik. Air yang diperuntukkan untuk air minum sebaiknya memiliki kadar besi kurang dari 0,3 mg/l (Effendi, 2003). 2.3.3. Akibat Kelebihan Konsentrasi Besi Terlarut Apabila kosentrasi besi terlarut dalam air melebihi batas, akan menyebabkan berbagai masalah, diantaranya : 1. Gangguan teknis Endapan Fe(OH) bersifat korosif dapat mengendap pada saluran pipa, sehingga mengakibatkan clogging dan mengotori bak/wastafel/kloset. 2. Gangguan fisik Gangguan fisik yang ditimbulkan oleh adanya besi terlarut dalam air adalah timbulnya warna, bau dan rasa. Air akan terasa tidak enak bila konsentrasi besi terlarutnya > 1,0 mg/L karena dapat menyebabkan air berbau seperti telur busuk. 3. Gangguan kesehatan Senyawa besi dalam jumlah kecil di dalam tubuh manusia berfungsi sebagai pembentuk sel-sel darah merah, dimana tubuh memerlukan 7–35 mg/hari yang sebagian diperoleh dari air. Namun zat Fe yang berlebih pada tubuh dapat menimbulkan masalah bagi kesehatan, beberapa diantaranya yaitu : a. Air minum yang mengandung besi cenderung menimbulkan rasa mual apabila dikonsumsi. b. Kadar Fe yang besar dapat merusak dinding usus. Kematian sering kali disebabkan oleh rusaknya dinding usus ini. c. Kadar Fe > 1 mg/L akan menyebabkan terjadinya iritasi pada mata dan kulit. d. Hemokromatesis primer besi akibat dari penyerapan Fe dalam jumlah berlebih di dalam tubuh. Feritin berada dalam keadaan jenuh akan besi sehingga kelebihan mineral ini akan disimpan dalam bentuk kompleks dengan mineral lain yaitu hemosiderin. Akibatnya terjadilah sirosis hati dan kerusakan pankreas sehingga menimbulkan diabetes (Widowati,W dkk., 2008). 2.4. Sel Elektrokimia Sel elektrokimia adalah sel yang menghasilkan transfer bentuk energi listrik menjadi energi kimia atau sebaliknya, melalui saling interaksi antara arus listrik dan reaksi redoks (Hiskia,A.,1992). Reaksi redoks merupakan akibat dari aliran arus listrik yang diberikan dan berlangsung pada bagian yang disebut elektroda. Pertemuan antara dua fase dengan komposisi yang berlainan akan menyebabkan perbedaaan potensial antara dua fase tersebut, sehingga terjadi pemisahan muatan listrik. Transfortasi muatan listrik antar fase dapat terjadi pada fase elektrolit dan fase elektroda. Elektroda adalah fase tempat muatan listrik dibawa oleh gerakan elektron. Sedangkan elektrolit adalah fase tempat muatan listrik dibawa oleh gerakan ion – ion (Hiskia,A.,1992). Secara umum sel elektrokimia didefinisikan sebagai 2 elektroda yang dipisahkan oleh paling sedikit satu fase elektrolit. Elektroda tempat terjadinya oksidasi disebut anoda dan elektroda tempat terjadinya reduksi disebut katoda. Oksidasi yaitu suatu perubahan kimia, jika : a.Suatu zat memberikan atau melepaskan elektron b.Suatu unsur mengalami pertambahan bilangan oksidasi atau tingkat oksidasi c.Terjadi pada anoda atau elektroda positif suatu sel elektrokimia Reduksi ialah suatu perubahan kimia, jika : a.Suatu zat menangkap atau menerima elektron b.Suatu unsur mengalami pengurangan bilangan oksidasi atau tingkat oksidasi c.Terjadi pada (Hiskia,A.,1992). katoda atau elektroda negatif suatu sel elektrokimia 2.5. Potensial Elektroda Suatu reaksi reduksi dapat menimbulkan potensial listrik tertentu yang disebut potensial elektroda (E0). Makin mudah suatu unsur mengalami reduksi, makin besar E0 yang ditimbulkannya. Terdapat perbedaan potensial antara dua elektroda pada kondisi ada arus ataupun tidak ada arus. Dengan membuat potensial elektroda lebih negatif, energi elektron akan meningkat dan akan mencapai tingkat yang cukup untuk mengisi keadaan kosong pada spesi dalam elektrolit. Dalam hal ini terjadi aliran elektron dari elektroda ke larutan sehingga menimbulkan arus reduksi. Sedangkan dengan membuat potensial elektroda lebih positif, energi elektroda dapat direndahkan. Beberapa titik elektron dalam larutan elektrolit akan mencari energi yang lebih sesuai pada elektroda dan menyebabkan terjadinya perpindahan elektron dari larutan elektrolit ke elektroda sehingga menimbulkan arus oksidasi (Putra,M., 2000). Harga E0 yang dipakai adalah harga E0 relatif yang dibandingkan terhadap suatu elektroda standar sehingga disebut harga E0 yaitu potensial elektroda standar. Sebagai standar dalam menentukan E0 adalah elektroda hidrogen. Gas hidrogen murni dialirkan pada elektroda platina yang bersentuhan dengan larutan asam (H+). Pada permukaan platina terdapat kesetimbangan : 2H+ + 2e H2 Harga E0 pada reaksi ini ditetapkan 0 Volt. Harga E0 dari semua reaksi reduksi adalah harga yang dibandingkan terhadap E0 Hidrogen ( Putra,M., 2000). Berdasarkan harga E0 yang tercantum dalam daftar, disusun suatu deret unsur-unsur yang disebut deret potensial logam (deret volta) mulai dari unsurunsur yang memiliki E0 terkecil sampai kepada unsur yang memiliki E0 terbesar (Putra,M., 2000). Reaksi katoda atau reduksi ditunjukkan dalam tabel 2.1. Dalam hal ini, apabila elektroda bertindak sebagai anoda dan menjalani oksidasi, maka reaksinya adalah kebalikan dari yang dalam tabel tersebut (Keenan,C.W., 1999). Tabel 2.1. Potensial Reduksi Standar (Keenan,C.W., 1999) Reaksi Katoda (Reduksi) E°(V) – – F2(g) + 2 e + – H2O2(aq) + 2 H (aq) + 2 e 2– PbO2(s) + SO4 (aq) + 4 H+(aq) + 2 e– + – 2 HCO(aq) + 2 H (aq) + 2 e – + – 2 F (aq) + 2.87 2 H2O() + 1.78 PbSO4(s) + 2 H2O() + 1.69 C2(g) + 2 H2O() + 1.63 2+ Mn (aq) + 4 H2O() + 1.51 Au (aq) + 3 e Au(s) + 1.50 PbO2(s) + 4 H+(aq) + 2 e– Pb2+(aq) + 2 H2O() + 1.46 MnO4 (aq) + 8 H (aq) + 5 e 3+ – – C2(g) + 2 e + – Cr2O7 (aq) + 14 H (aq) + 6 e + – O2(g) + 4 H (aq) + 4 e Br2() + 2 e– – 3+ – + 1.36 3+ 2 Cr (aq) + 7 H2O() + 1.33 2 H2O() + 1.23 – 2 Br (aq) + 1.07 Ag(s) + 0.80 2 C (aq) 2– + – Ag (aq) + e 2+ Fe (aq) + e + – O2(g) + 2 H (aq) + 2 e Fe (aq) + 0.77 H2O2(aq) + 0.68 – I2(s) + 2 e– + 0.54 2 I (aq) – – 4 OH (aq) + 0.40 2+ – Cu(s) + 0.34 + – 2 H (aq) + 2 e H2(g) 0 .00 Pb2+(aq) + 2 e– O2(g) + 2 H2O() + 4 e Cu (aq) + 2 e Pb(s) – 0.13 2+ – Sn(s) – 0.14 2+ – Ni(s) – 0.25 2+ – Co(s) Sn (aq) + 2 e Ni (aq) + 2 e Co (aq) + 2 e PbSO4(s) + 2 e– – 0.28 2– Pb(s) + SO4 (aq) – 0.36 2+ – Fe(s) – 0.44 2+ – Zn(s) Fe (aq) + 2 e Zn (aq) + 2 e – – 0.76 – 2 H2O() + 2 e H2(g) + 2 OH (aq) – 0.83 Mn2+(aq) + 2 e– Mn(s) – 1.18 A(s) – 1.66 Mg(s) – 2.37 Na(s) – 2.71 Ca(s) – 2.87 3+ – A (aq) + 3 e 2+ – Mg (aq) + 2 e + – Na (aq) + e Ca2+(aq) + 2 e– 2+ – Ba (aq) + 2 e Ba(s) – 2.90 + – K(s) – 2.93 + – Li(s) – 3.04 K (aq) + e Li (aq) + e 2.6. Elekrokoagulasi Elektrokoagulasi adalah proses penggumpalan dan pengendapan partikel-partikel halus dalam air menggunakan energi listrik. Proses elektrokoagulasi dilakukan pada bejana elektrolisis yang didalamnya terdapat dua penghantar arus listrik searah yang disebut elektroda, yang tercelup dalam larutan limbah sebagai elektrolit. Gambar 2.1 Prinsip dari Proses Elektrokoagulasi (Ni’am,M.F., 2007) Apabila dalam suatu larutan elektrolit ditempatkan dua elektroda dan dialiri arus listrik searah, maka akan terjadi peristiwa elektrokimia yaitu gejala dekomposisi elektrolit, yaitu ion positif (kation) bergerak ke katoda dan menerima elektron yang di reduksi dan ion negatif (anion) bergerak ke anoda danmenyerahkan elektron yang dioksidasi. Sehingga membentuk flok yang mampu mengikat kontaminan dan partikel-partikel dalam limbah (Sutrisno.T., 1987). Elektrokoagulasi dikenal juga sebagai elektrolisis gelombang pendek. Elektrokoagulasi merupakan suatu proses yang melewatkan arus listrik ke dalam air. Itu dapat digunakan menjadi sebuah uji nyata dengan proses yang sangat efektif untuk pemindahan bahan pengkontaminasi di dalam air. Proses ini dapat mengurangi lebih dari 99% kation logam berat. Pada dasarnya sebuah elektroda logam akan teroksidasi dari logam M menjadi kation (M+). Selanjutnya, air akan direduksi menjadi gas hidrogen dan ion hidroksil (OH). Elektrokoagulasi ini dikenal sebagai reaksi in situ kation logam (Holt,P.K. et al, 2006). Gambar 2.2. Interaksi Dalam Proses Elektrokoagulasi (Holt,P.K. et al, 2006). Interaksi yang terjadi dalam larutan : a. Migrasi menuju muatan elektroda yang berlawanan (elektroporesis) dan netralisasi muatan. b. Kation atau ion hidroksil membentuk sebuah endapan dengan pengotor. c. Interaksi kation logam dengan OH- membentuk sebuah hidroksida, dengan sifat adsorpsi yang tinggi selanjutnya berikatan dengan pollutan (bridge coagulation). d. Senyawa hidroksida yang terbentuk membentuk gumpalan (flok) yang lebih besar . e. Oksidasi polutan sehingga sifat toksiknya berkurang. f. Sesudah flok terjadi, gas H2 membantu Flotasi dengan membawa polutan kelapisan buih flok di permukaan cairan (Holt,P.K. et al, 2006). Reaksi yang terjadi pada proses ini adalah : a. Reaksi pada Katoda Reaksi pada katoda adalah reduksi terhadap kation, jadi yang diperhatikan hanya kation saja. 1.Jika larutan mengandung ion- ion logam alkali, ion – ion logam alkali tanah, ion Al3+ dan ion Mg2+, maka ion – ion logam ini tidak dapat direduksi larutan. Yang akan mengalami reduksi adalah pelarut (air) dan terbentuk gas hidrogen (H2) pada katoda. Reaksi yang terjadi di katoda tergantung pada pH air yang diolah. Pada kondisi netral atau basa, gas hidrogen terjadi dengan reaksi : 2H2O(l) + 2e− → 2OH− (aq) + H2(g) E0 = -0,83 V Dari daftar E0 diketahui bahwa reduksi terhadap air lebih mudah berlangsung dari pada reduksi terhadap ion – ion diatas. 2.Sedangkan pada kondisi asam, reaksi pembentukan gas hidrogen adalah sebagai berikut : 2H+(aq) + 2e− → H2(g) E0 = 0,00 V 3.Jika larutan mengandung ion – ion lain, maka ion – ion logam ini akan direduksi menjadi masing – masing logamnya dan logam yang terbentuk itu diendapkan pada permukaan bidang katoda (Holt,P.K. et al, 2006). Contoh : Fe2+(aq) + 2e− → Fe(s) E0 = -0,44 V Mn2+(aq) + 2e− → Mn(s) E0 = -1,18 V b.Reaksi pada Anoda Elektroda pada anoda, elektrodanya diketahui dioksidasi (bereaksi) diubah menjadi ionnya. Contoh : Al(s) → Al3+(aq) + 3e− E0 = +1,66 V Zn(s) → Zn2+(aq) + 2e− E0 = +0,76 V Dalam sistem elektrokimia dengan anoda terbuat dari aluminium, beberapa kemungkinan reaksi elektroda dapat terjadi sebagai berikut : Anoda : Al(s) → Al3+(aq) + 3e− Katoda E0 = +1,66 V : 2H2O(l) + 2e− → 2OH− (aq) + H2(g) E0 = -0,83 V 2H+(aq) + 2e− → H2(g) E0 = 0,00 V O2(g) + 4H+(aq) + 4e− → 2H2O(l) E0 = +1,23V (Holt,P.K. et al, 2006). 2.6.1. Flokulasi Flokulasi adalah penggabungan dari partikel-partikel hasil koagulasi menjadi partikel yang lebih besar dan mempunyai kecepatan mengendap yang lebih besar, dengan cara pengadukan lambat. Dalam hal ini proses koagulasi harus diikuti flokulasi yaitu penggumpalan koloid terkoagulasi sehingga membentuk flok yang mudah terendapkan atau transportasi partikel tidak stabil, sehingga kontak antar partikel dapat terjadi (Sutrisno,T., 1987). Koloid yang tidak stabil cenderung untuk menggumpal, walaupun kecepatan penggumpalannya sangat lambat. Kecepatan penggumpalan ini ditentukan oleh banyaknya kontak antar partikel koloid dan efektifitas kontak yang terjadi karena: a. Gerak Brown (perikinetik) b. Gradien kecepatan dalam media suspensi (ortokinetik) yang bergantung pada temperatur, kecepatan aliran air, jumlah partikel koloid, konsentrasi dan ukuran partikel koloid (Nainggolan,H., 2011). 2.6.2. Koagulasi Koagulasi adalah proses destabilisasi partikel – partikel koloid. Partikel – partikel tersebut membentuk lapisan secara kimia yang kemudian diikuti dengan flokulasi. Zat – zat kimia yang digunakan untuk mendestabilkan partikel koloid disebut dengan koagulan. Koagulan yang paling umum dan paling sering digunakan adalah alum (aluminium sulfat) dan garam – garam besi. Karakteristik dari kation multivalensi adalah mempunyai kemampuan menarik koagulan ke muatan partikel koloid (Proste,R.L., 1997). Pada dasarnya proses koagulasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu cara kimia dan cara fisika. Koagulasi cara kimia yaitu proses penjernihan air dilakukan dengan memberikan penambahan bahan kimia sebagai koagulan berbentuk garam (aluminium sulfat) untuk mempercepat terjadinya pembentukan flok yang dapat diendapkan. Sedangkan koagulasi secara fisika yang sering dinamakan dengan elektrokoagulasi merupakan metode pengolahan air secara elektrokimia dimana pada anoda terjadi pelepasan koagulan aktif berupa ion logam (biasanya aluminium atau besi) ke dalam larutan, sedangkan pada katoda terjadi reaksi elektrolisis berupa pelepasan gas hidrogen (Holt,P.K. et al, 2006). 2.6.3. Kelebihan Elektrokoagulasi Adapun kelebihan dari elektrokoagulasi yaitu : a. Elektrokoagulasi memerlukan peralatan sederhana dan mudah untuk dioperasikan. b. Elektrokoagulasi lebih cepat mereduksi kandungan partikel-partikel koloid yang paling kecil, hal ini disebabkan pengaplikasian listrik kedalam air akan mempercepat pergerakan partikel-partikel koloid didalam air dengan demikian akan memudahkan proses. c. Gelembung-gelembung gas yang dihasilkan pada proses elektrokoagulasi ini dapat membawa polutan ke atas air sehingga dapat dengan mudah dihilangkan. d. Dapat memberikan efisiensi proses yang cukup tinggi untuk berbagai kondisi, dikarenakan tidak dipengaruhi temperatur. e. Tidak diperlukan pengaturan pH. f. Tanpa menggunakan bahan kimia tambahan. g. Endapan yang terbentuk dari proses elektrokoagulasi lebih mudah dipisahkan dari air. h. Dapat memindahkan partikel – partikel koloid yang lebih kecil. I. Dapat diatur arus listriknya (Purwaningsih,I., 2008). 2.6.4. Kekurangan Elektrokoagulasi Selain kelebihan, elektrokoagulasi juga memiliki beberapa kekurangan yaitu : a. Tidak dapat digunakan untuk mengolah cairan yang mempunyai sifat elektrolit kuat dikarenakan akan terjadi hubungan singkat antar elektroda. b. Besarnya reduksi logam berat dalam cairan dipengaruhi oleh besar kecilnya arus voltase listrik searah pada elektroda, luas sempitnya bidang kontak elektroda dan jarak antar elektroda. c. Elektrodanya dapat terlarut sehingga dapat mengakibatkan terjadinya oksidasi. d. Penggunaan listrik yang mungkin mahal. e. Batangan anoda yang mudah mengalami korosi sehingga harus selalu diganti (Purwaningsih,I., 2008). 2.7. Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) adalah spektrofotometri atom yang lebih melibatkan pada proses penyerapan panjang gelombang yang dipancarkan oleh suatu unsur atom yang dilewatkan melalui gas pembakar. Dalam beberapa tahun terakhir ini, SSA telah menjadi salah satu teknik analisis yang banyak digunakan. Pada kenyataannya, dapat kita katakan bahwa SSA digunakan untuk menganalisa unsur-unsur anorganik (Kennedy,J.H., 1990). 2.7.1. Prinsip Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) Prinsip dasar spektrofotometer serapan atom dimana jika suatu larutan yang mengandung suatu senyawa logam dihembuskan kedalam suatu nyala (misalnya asitilena yang terbakar di udara), dapat terbentuk uap yang mengandung atom – atom logam itu. Beberapa atom logam dalam gas ini dapat dieksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi yang cukup tinggi untuk memungkinkan pemancaran radiasi yang karakteristik dari logam tersebut. Tetapi jumlah jauh lebih besar dari atom logam bentuk gas itu normalnya tetap berada dalam keadaan tak tereksitasi atau dengan perkataan lain dalam keadaan dasar. Atom – atom kedaan dasar ini mampu menyerap energi cahaya yang panjang gelombang resonansinya khas untuknya, yang pada umumnya adalah panjang gelombang radiasi yang akan dipancarkan atom – atom itu bila tereksitasi dari keadaan dasar. Jadi jika cahaya dengan panjang gelombang resonansi itu dilewatkan nyala yang mengandung atom – atom yang bersangkutan, maka sebagian cahaya itu akan diserap dan jauh penyerapan akan berbanding lurus dengan banyaknya atom keadaan dasar yang berada dalam keadaan nyala (Mulja,J.C., 1991) . 2.7.2. Instrumentasi Spektrofotometer Serapan Atom Sistem peralatan spektrofotometer serapan atom dapat dilihat pada gambar berikut ini: Gambar 2.3 Sistem Peralatan Spektrofotometer Serapan Atom 1. Sumber sinar Sumber sinar yang lazim dipakai adalah lampu katoda berongga. Lampu ini terdiri atas tabung kaca tertutup yang mengandung suatu katoda dan anoda. katoda sendiri berbentuk silinder berongga yang terbuat dari logam atau dilapisi dengan logam tertentu. Tabung logam ini diisi dengan gas mulia (neon atau argon) dengan tekanan rendah (Rohman,A., 2007). 2. Tempat sampel Dalam analisis, sampel yang akan dianalisis harus diuraikan menjadi atom-atom yang masih dalam keadaan atas. Ada beberapa macam alat yang dapat digunakan untuk mengubah suatu sampel menjadi uap atom-atom yaitu dengan nyala dan tanpa nyala. a. Nyala (Flame) Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa padatan atau cairan menjadi bentuk uap atomnya, dan juga berfungsi untuk atomisasi b. Tanpa Nyala (Flameless) Pengatoman dapat dilakukan dalam tungku dari grafit, kemudian tabung tersebut dipanaskan dengan system elektris dengan cara melewatkan arus listrik grafit.. Akibat pemanasan ini, maka zat yang akan dianalisis berubah menjadi atom-atom netral. (Rohman,A., 2007). 3. Monokromator Monokromator memisahkan, mengisolasi, dan mengontrol intensitas dari radiasi energi yang mencapai detector.(Haswell,S.J., 1991). 4. Detektor Detektor pada spektrofotometer serapan atom berfungsi mengubah intensitas radiasi yang akan datang menjadi arus listrik. Pada spektrofotometer serapan atom yang umum dipakai sebagai detektor adalah tabung penggandaan foton (PMT=Photo Multiplier Tube detektor) (Mulja,J.C., 1991). 5. Readout Sistem pencatat yang digunakan pada instrument SSA berfungsi untuk mengubah sinyal yang diterima melalui bentuk digital, berarti system pencatat menengah atau mengurangi kesalahan dalam pembacaan skala dan sebagainya, serta menyeragamkan tampilnya data, yaitu dalam satuan absorbansi (Haswell,S.J., 1991). 2.7.3. Gangguan Pada SSA dan Cara Mengatasinya Sampel dalam bentuk molekul karena disosiasi yang tidak sempurna akan cenderung mengabsorpsi radiasi dari sumber radiasi. Demikian juga terjadinya ionisasi atom akan menjadi sumber kesalahan pada SSA oleh karena spektrum radiasi oleh ion jauh berbeda dengan spektrum absorpsi atom netral yang memang akan ditentukan (Mulja,J.C., 1991). Ada beberapa cara untuk mengurangi gangguan kimia pada SSA yaitu: 1. Menaikkan temperatur nyala agar mempermudah penguraian untuk itu dipakai gas pembakar campuran C2H2 + N2O yang memberikan nyala dengan temperatur yang tinggi. 2. Menambahkan elemen pengikat gugus atom penyangga, sehingga terikat kuat akan tetapi atom yang ditentukan bebas sebagai atom netral. Misalnya, penentuan logam yang terikat sebagai garam, dengan penambahan logam, yang lainnya akan terjadi ikatan lebih kuat dengan anion pengganggu. 3. Pengeluaran unsur pengganggu dari matriks sampel dengan cara eksitasi. (Mulja,J.C., 1991).