II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertumbuhan dan Kebutuhan Nutrien Ikan Gurame Pertumbuhan didefinisikan sebagai perubahan ukuran, dimana variabel yang mengalami perubahan dapat berupa panjang atau dimensi fisik lainnya, termasuk volume, berat atau massa, baik pada keseluruhan tubuh organisme atau pada berbagai jaringan. Perubahan itu juga bias berkaitan dengan kandungan protein, lemak, atau komponen kimia lainnya dari tubuh; perubahan kandungan kalori (energi) dari keseluruhan tubuh atau dari komponen ja ringannya (Weatherley dan Gill 1987). Ikan membutuhkan materi dan energi untuk pertumbuhan yang diperoleh dari pakan. Komponen pakan yang berkontribusi terhadap penyediaan materi dan energi untuk tumbuh adalah protein, karbohidrat, dan lemak. Protein adalah nutrien yang sangat dibutuhkan untuk perbaikan jaringan tubuh yang rusak, pemeliharaan protein tubuh, penambahan protein tubuh untuk pertumbuhan, dan sebagai sumber energi. Kebutuhan ikan akan protein dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya ukuran ikan, temperatur air, kadar pemberian pakan, kandungan energi dalam pakan yang dapat dicerna dan kualitas protein. K ualitas protein bergantung pada kecernaan dan nilai biologis yang dilihat dari jumlah dan kualitas asam-asam aminonya. Fungsi protein sebagai sumber energi dapat digantikan oleh nutrien penghasil energi lain yaitu karbohidrat dan lemak. Peningkatan ketersediaan karbohidrat dan lemak dapat menurunkan oksidasi protein untuk menghasilkan energi sehingga dapat meningkatkan pemanfaatan protein pakan untuk pertumbuhan (Furuichi 1988). Lemak merupakan sumber energi yang sangat efektif untuk ikan. Lemak juga mempunyai berberapa peran penting lainnya yaitu sebagai media transpor senyawa-senyawa yang larut dalam lemak, sebagai bagian dari struktur membran sel dan sebagai prekursor senyawa-senyawa penting, misalnya hormon dan pigmen (Steffens 1989; Jobling 1994). Karbohidrat merupakan salah satu sumber energi yang murah untuk ikan, tetapi kemampuan untuk memanfaatkan karbohidrat bervariasi antar spesies ikan. Pemanfaatan karbohidrat pakan oleh ikan dikaitkan dengan sistem pencernaan dan 5 metaboliknya, yang bergantung pada kadar dan kompleksitas karbohidrat (Lee dan Lee 2004). Karbohidrat berperan dalam pembentukan rangka karbon asamasam lemak non esensial dan juga sintesis lemak. Sintesis de novo C 16:0 dan C 18:1 ? 9 asam lemak dimulai dari asetil-koenzim A yang berasal dari katabolik aerobik dekomposisi karbohidrat pakan. Selain itu, karbohidrat juga penting pada pembentukan oksaloasetat dan NADPH2. Fungsi ini hanya dapat digantikan oleh protein dan tidak dapat digantikan oleh lemak (Steffens 1989). Efisiensi pemanfaatan pakan untuk pertumbuhan bergantung pada beberapa faktor penting. Komposisi pakan sesuai dengan kebutuhan untuk pertumbuhan merupakan faktor yang paling penting. P akan yang kekurangan nutrien-nutrien esensial untuk tumbuh seperti asam-asam amino esensial, asam lemak, vitamin, dan mineral akan menyebabkan penurunan efisiensi pemanfaatan pakan (Hepher 1990). Oleh karena itu, dalam upaya peningkatan efisiensi pemanfaatan pakan maka dalam penyusunan pakan perlu mempertimbangkan kebutuhan nutrisi dari spesies ikan yang akan dipelihara, di antaranya adalah kebutuhan energi, protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral. Ikan memenuhi sebagian besar kebutuhan energinya dari protein pakan. Dengan demikian, rasio energi/protein (rasio E/P) sangat berpengaruh pada efisiensi pemanfaatan protein dan energi (Kim dan Kaushik 1994). Rasio energi/protein yang tepat dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan pakan. Pakan yang kandungan energinya kurang akan menyebabkan ikan menggunakan sebagian protein sebagai sumber energi, sehingga bagian protein yang digunakan untuk pertumbuhan menjadi berkurang. Sebaliknya, kandungan energi pakan yang terlalu tinggi akan membatasi konsumsi pakan sehingga akan membatasi jumlah nutrien lain termasuk protein yang dimakan ikan. Penelitian intensif tentang kebutuhan energi total, rasio energi/protein dan tingkat kebutuhan karbohidrat pada ikan gurame telah dilakukan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa larva ikan gurame yang berukuran berkisar antara 0,1 dan 0,7 g membutuhkan ka dar protein pakan sebesar 43,29% dengan rasio E/P 8,0 Kkal DE/g protein (Mokoginta et al. 1995), sedangkan untuk ikan gurame yang berukuran berkisar antara 25 dan 30 g membutuhkan kadar protein sebesar 32,14%, dengan rasio E/P 8 Kkal DE/g protein (Suprayudi et al. 1994). Tingkat 6 kebutuhan karbohidrat pakan pada ikan gurame dengan bobot tubuh berkisar antara 29 dan 32 g adalah 20,8%, sedangkan ikan gurame dengan bobot tubuh berkisar antara 79 dan 80 g dapat menggunakan karbohidrat pakan sampai kadar 47,5% (Mokoginta et al. 2004) 2.2 Enzim Pencernaan dan Perannya dalam Proses Pencernaan Pemanfaatan materi dan energi pakan untuk pertumbuhan terlebih dahulu melalui suatu proses pencernaan dan metabolisme. Dalam proses pencernaan, makanan yang tadinya merupakan senyawa kompleks akan dipecah menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah diserap melalui dinding usus dan disebarkan ke seluruh tubuh melalui sistem peredaran darah. Protein dihidrolisis menjadi asam amino bebas dan peptida -peptida pendek, karbohidrat dipecah menjadi gula -gula sederhana dan lemak menjadi asam-asam lemak dan gliserol. Proses-proses di atas dilakukan oleh enzim-enzim pencernaan (Tillman et al. 1991). Enzim protease menguraikan rantai-rantai peptida dari protein. Bergantung pada letak ikatan peptida pada tengah atau akhir molekul, peptidase diklasifikasikan menjadi endopeptidase dan eksopeptidase. Endopeptidase menghidrolisis protein dan peptida -peptida rantai pa njang menjadi peptida- peptida pendek. Endopeptidase penting antara lain pepsin yang dihasilkan dari zimogen pepsinogen, tripsin dari tripsinogen, dan kimotripsin dari kimotripsinogen. Eksopeptidase menghidrolisis peptida menjadi asam-asam amino. Karboksipeptidase, aminopeptidase, dan dipeptidase termasuk dalam kelompok eksopeptidase. Alfa-am ilase adalah enzim yang bertanggung jawab menghidrolisis pati menjadi glukosa. Enzim ini memutuskan ikatan 1,4’-a- glukosidik dan mengubah pati menjadi glukosa dan maltosa. Sedangkan lipase adalah enzim penting dalam pencernaan lemak. Lipase memecah lemak menjadi gliserol dan asam lemak (Steffens 1989; Hepher 1990). Kemampuan ikan dalam mencerna makanan sangat bergantung pada kelengkapan organ pencernaan dan ketersediaan enzim pencernaan. Perkembangan saluran pencernaan tersebut berlangsung secara bertahap dan setelah mencapai ukuran/umur tertentu saluran pencernaan mencapai 7 kesempurnaannya. Perkembangan struktur alat pencernaan ini diikuti oleh perkembangan enzim pencernaan dan perubahan kebiasaan makan (food habit). Berdasarkan penelitian Affandi (1993) diketahui adanya perubahan pola kebiasaan makan pada ikan gurame yang berukuran kecil dan pada ikan yang berukuran besar, yaitu dari karakter ikan karnivora ke omnivora hingga akhirnya menjadi herbivora. Aktivitas protease umumnya tinggi pada ikan-ikan karnivora dan aktivitas karbohidrase umumnya tinggi pada ikan-ikan herbivora dan omnivora (Ugolev dan Kuz’mina 1994). Hasil penelitian Affandi et al. (1994) menunjukkan bahwa perkembangan alat pencernaan yang sempurna pada ikan gurame dicapai pada ukuran 2,4 cm atau sekitar 40 hari sehingga benih ikan gurame tersebut siap memakan pakan buatan. Kandungan nutrien pakan nampaknya berpengaruh pada aktivitas enzim pencernaan. Ku’zmina (1996) mengungkapkan bahwa tersedianya substrat merupakan faktor yang nyata dalam pengaturan aktivitas enzim pada ikan dan mamalia. Kandungan protein pakan yang tinggi dikaitkan dengan kandungan selulosa yang rendah umumnya meningkatkan aktivitas protease pada ikan rainbow trout (Hepher 1990). Peningkatan proporsi pati kentang dalam pakan dari 10 menjadi 90% yang diikuti penurunan proporsi tepung ikan akan meningkatkan aktivitas enzim maltase dan amilase pada ikan mas, dan adaptasi enzim karbohidrase ini terhadap komposisi pakan sudah terlihat kurang dari satu minggu (Kawai dan Ikeda 1972). Peningkatan protein pakan dan penurunan kadar selulose pakan menyebabkan peningkatan aktivitas enzim amilase pada ikan rainbow trout (Kawai dan Ikeda 1973). Kecernaan (digestibility) dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu (1) jenis pakan yang dimakan dan kadar kepekaan pakan terhadap pengaruh enzim pencernaan, (2) aktivitas enzim-enzim pencernaan, (3) lama waktu pakan yang dimakan terkena aksi enzim pencernaan. Masing-masing faktor di atas dipengaruhi oleh berbagai faktor sekunder yang berkaitan dengan ikan itu sendiri (spesies, umur, ukuran) dan kondisi fisiologis, yang berkaitan dengan lingkungan (temperatur), dan yang berkaitan denga n pakannya (komposisi pakan, ukuran partikel dan jumlah pakan yang dimakan). Kecernaan berbeda antar spesies ikan, hal ini terjadi akibat perbedaan sistem dan enzim-enzim pencernaannya serta perbedaan 8 jenis pakan yang dikonsumsi. Selain itu, kecernaan juga dipengaruhi oleh umur ikan. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan aktivitas enzim pada umur yang berbeda. Komposisi pakan berpengaruh pada kecernaan. Nutrien dalam bahan pakan yang berbeda akan dicerna dengan tingkat yang berbeda . Hal ini berkaitan dengan sumber dan komposisi bahan tersebut. Bahan pakan yang berasal dari tumbuhan biasanya dicerna lebih lambat dibandingkan bahan pakan yang berasal dari hewan. Kandungan selulosa yang tinggi juga mempengaruhi kecernaan pakan. Kemampuan cerna juga dipengaruhi oleh bentuk pakan dan cara pengolahannya (Hepher 1990). 2.3 Insulin dan Perannya dalam Metabolisme Insulin adalah hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel-sel ß pulaupulau Langerhans dalam pankreas. Peran utama insulin adalah mengatur kadar glukosa darah melalui peningkatan pengambilan glukosa ke jaringan dan penyimpanannya dalam bentuk glikogen dan lemak. Insulin terdiri atas dua polipeptida yaitu rantai A terdiri atas 21 asam amino dan rantai B terdiri atas 30 asam amino, yang dih ubungkan oleh jembatan disulfida. Susunan asam amino insulin hampir sama pada semua vertebrata, dengan demikian insulin yang diisolasi dari satu spesies masih tetap aktif pada spesies lain. Insulin bekerja pada hati untuk meningkatkan pengambilan glukosa dan pembentukan glukosa 6-fosfat serta untuk mengaktifkan enzim glikogen sintetase. Pada jaringan adiposa, glukosa diubah menjadi gliserol dan gliserol ini diesterifikasi dengan asam lemak bebas membentuk trigliserida. Sintesis lemak meningkat melalui peningkatan perangsangan sitrat lipase, asetil-KoA, karboksilase, asam lemak sintase dan gliserol 3-fosfat dehidrogenase. Pada otot , insulin merangsang pengambilan glukosa dan asam amino dan merangsang sintesis glikogen dan protein. Insulin juga mempunyai efek vasodilatori untuk me ningkatkan aliran darah dan suplai nutrien ke otot (Squires 2003). Asam-asam amino bebas yang dibawa darah akan mengalami metabolisme pada dua arah yaitu anabolik dan katabolik. Arah anabolik adalah biosintesis protein-protein baru baik yang fungsional seperti hormon dan enzim maupun yang struktural seperti pembentukan jaringan tubuh baru (pertumbuhan) , dan 9 penggantian jaringan tubuh yang rusak. Arah katabolik diawali dengan deamina si molekul-molekul asam amino yang kemudian digunakan untuk menghasilkan energi atau lipogenesis (Hepher 1990) . Pada ikan, sebagaimana pada mamalia, sintesis protein (khususnya pada otot) dan translokasi asam-asam amino dari hati ke otot dikontrol oleh insulin. Peran insulin pada ikan terutama pada metabolisme protein dan lemak. Keterlibatan insulin dalam homoestasis glukosa mungkin hanya merupakan peran sekunder (Jobling 1994). Peningkatan asam amino dalam plasma setelah pemberian pakan akan merangsang sekresi insulin. Insulin yang disekresikan ini kemudian akan meningkatkan deposisi asam amino dalam sel dan penggabungannya ke dalam protein otot (Cowey dan Walton 1989; Mommsen dan Plisetskaya 1991). Glukosa hasil pencernaan karbohidrat diserap ke dalam aliran darah, dan selanjutnya akan akan digunakan untuk metabolisme. sangat dikontrol oleh hormon. Metabolisme glukosa Pada hewan-hewan endotermik, homoestasis glukosa darah dikontrol sangat baik. Homoestasis ini terutama dikontrol oleh insulin dan glukagon yang disekresikan oleh pankreas. Hormon-hormon tersebut juga terdapat pada ikan, tetapi homoestasi glukosa darah pada ikan masih belum jelas. Insulin dan somatostatin menye babkan penurunan kadar glukosa darah (hipoglikemia). Glukosa ini akan digunakan secara cepat pada jaringan atau diubah menjadi glikogen yang disimpan di hati. Jika insulin kurang, kadar glukosa darah meningkat (hiperglikemia), dan metabolisme glukosa ter ganggu danmenyebabkan kondisi diabetik. Pada kondisi seperti ini, glikogene sis dan lipogenesis juga akan terhambat. Kebutuhan energi akan disediakan melalui peningkatan glukoneogenesis dari lemak dan protein (Hepher 1990). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kemampuan ikan untuk memanfaatkan karbohidrat, yaitu dengan melihat respons glukosa dan insulin plasma terhadap suatu uji toleransi glukosa. Furuichi dan Yone (1981) melakukan uji toleransi glukosa pada tiga spesies ikan, yaitu ikan mas, red seabream dan yellowtail dengan cara memberi pakan berupa kapsul gelatin yang berisi glukosa 167 mg/100 g bobot ikan. Hasilnya menunjukkan bahwa glukosa darah ikan mas mencapai puncak 1 jam setelah pemberian glukosa , yaitu meningkat dari 40 mg/100 ml menjadi 180 mg/100 ml. Pada ikan red seabream 10 puncak glukosa darah yang sama seperti pada ikan mas terjadi 2 jam setelah pemberian glukosa, sedangkan pada ikan yellowtail terjadi 3 jam setelah pemberian glukosa, meningkat dari 120 mg/100 ml menjadi 210 mg/100 ml. Ikan mas membutuhkan waktu kira-kira 5 jam untuk kembali ke kadar glukosa awal (pada saat pemuasaan) dan ikan red seabream belum kembali ke kadar glukosa awal setelah 5 jam. Pada ikan yellowtail. kadar glukosa darah masih sangat tinggi setelah 5 jam. Peres et al. (1999) juga melakukan uji toleransi glukosa pada ikan gilthead seabream dan European seabass. Sebelumnya , ikan diadaptasikan dengan pakan berkadar protein 50% dan lemak 12% selama 3 minggu. Setelah dipuasakan selama 24 jam, ikan diinjeksi secara intraperitonial denga n 1 g glukosa/kg bobot tubuh. Hasilnya menunjukkan bahwa kadar glukosa darah ikan seabream mencapai puncak 3 jam setelah injeksi, meningkat dari 67,9 mg/100 ml menjadi 323,3 mg/100 ml, sementara ikan seabass mencapai puncak kadar glukosa darah 6 jam setelah injeksi, meningkat dari 63,9 mg/100 ml menjadi 279,6 mg/100 ml. Mokoginta et al. (2004) juga mengamati pemanfaatan karbohidrat pakan pada ikan gurame dengan bobot tubuh awal berkisar antara 29 dan 32 g yang diberi pakan mengandung 20,8; 35,6; 49,8 dan 57% karbohidrat dan ikan gurame dengan bobot tubuh awal berkisar antara 79 dan 80 g yang diberi pakan 21,2; 30,1; 38,6 dan 47,5% karbohidrat. Hasil penelitia n pada ikan gurame berukuran berkisar antara 29 dan 32 g menunjukkan bahwa kadar glukosa darah pada ikan yang mengkonsumsi paka n yang mengandung karbohidrat tinggi (49,8 dan 57,0%) lebih rendah dibandingkan ikan yang mengkonsumsi pakan yang mengandung karbohidrat rendah (20,8 dan 35,6%). Perubahan kadar glukosa darah antar perlakuan menunjukkan pola yang sama yaitu puncak glukosa terjadi pada jam ke 5 setelah pemberian pakan (postprandial) dan kembali ke kadar glukosa awal (pemuasaan) pada jam ke 18 setelah pemberia n pakan (postprandial). Pada ikan gurame berukuran berkisar antara 79 dan 80 g, kadar glukosa darah tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar semua perlakuan dan kadar glukosa darah mencapai puncak pada jam ke -9 setelah pemberian pakan dan kembali ke kadar glukosa awal (pemuasaan) pada jam ke 18 setelah pemberian pakan (postprandial). Hal ini menunjukkan bahwa pada ikan gurame 11 berukuran berkisar antara 29 dan 32 g jumlah glukosa yang diabsorbsi tidak diikuti dengan transfer glukosa yang cepat ke sel-sel sehingga kadar glukosa darah mencapai puncak lebih cepat dibandingkan ikan gurame berukuran berkisar antara 79 dan 80 g. Hal ini juga menunjukkan adanya perbedaan kemampuan menggunakan karbohidrat yang diabsorbsi pada kedua ukuran ikan gurame tersebut. Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa toleransi glukosa berbeda antar spesies dan juga antar ukuran ikan. menunjukkan toleransi glukosa yang Seba gian besar spesies ikan rendah, dan ikan-ikan karnivora menunjukkan toleransi glukosa yang paling rendah dibandingkan ikan-ikan omnivora dan herbivora. Toleransi glukosa yang rendah pada ikan awalnya dikaitkan dengan ketidakcukupan sekresi insulin. Furuichi dan Yone (1981) mengamati perubahan kadar insulin pada ikan mas, red seabream, yellowtail setelah diberi glukosa 167 mg/100 g bobot ikan. Ketiga ikan ini menunjukkan pola perubahan kadar insulin darah yang sama seperti hewan diabetik. Kadar insulin darah maksimum pada ikan lebih rendah dibandingkan dengan manusia normal dan waktu untuk mencapai kadar insulin maksimum yang lebih lama. Selain itu. kadar maksimum insulin darah berbeda antar ketiga spesies ikan ini, yaitu kadar insulin tertinggi pada ikan mas, diikuti oleh red seabream dan yellowtail. Hasil penelitian ini menegaskan bahwa ikan mempunyai sifat pote nsial diabetik dan perbedaan kemampuan memanfaatkan karbohidrat disebabkan oleh perbedaan sekresi insulin. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa ikan tidak diabetik dan mempunyai kadar insulin darah yang sama seperti yang diamati pada mamalia (Mommsen dan Plisetskaya 1991). Namun demikian, respons insulin terhadap suplai glukosa pada ikan tidak secepat mamalia, tetapi membutuhkan waktu beberapa jam untuk berkembang (Furuichi dan Yone 1981). Beberapa studi telah menunjukkan keterlambatan sekresi insulin ini berkaitan dengan sekresi somatostatin. Sekresi somatostatin nampaknya lebih sensitif terhadap glu kosa dibandingkan dengan insulin. Somatostatin ternyata diketahui menghambat sekresi insulin. Hiperglikaemia berkepanjangan pada ikan juga disebabkan oleh kegagalan satu atau lebih post-reseptor insulin (Harmon et al. 1991; Peres et al. 1999). 12 Pada mamalia , insulin umumnya dikenal sebagai pemicu enzim-enzim glikolitik hati dan penghambat enzim-enzim glukoneogenik hati. Furuichi dan Yone (1982) mengama ti perubahan enzim-enzim metabolik karbohidrat pada hati yaitu dua enzim glikolitik (heks okinase dan fosfofruktokinase) dan dua enzim glukoneogenik (glukosa 6-fosfatase dan fruktosa 1,6-difosfatase ) pada ikan mas, red seabream, yellowtail setelah pemberian secara oral glukosa 167 mg/100 g bobot ikan. Aktivitas enzim-enzim glikolitik dan glukoneogenik meningkat mencapai kadar maksimum selama 2 – 3 jam setelah pemberian glukosa, sedikit lebih lambat jika dibandingkan waktu peningkatan kadar insulin darah mencapai maksimum . Aktivitas enzim-enzim glikolitik (heksokinase dan fosfofruktokinase ) dan enzim glukoneogenik (glukosa 6-fosfatase dan fruktosa 1,6-difosfatase) pada semua spesies ikan ini meningkat setelah pemberian glukosa. Aktivitas heksokinase sedikit berbeda antara sebelum dan setelah pemberian glukosa pada semua spesies ikan uji. Aktivitas fosfofrukt okinase sebelum dan sesudah pemberian glukosa paling tinggi ditemukan pada ikan mas, yang diikuti oleh red seabream dan yellowtail. Aktivitas enzim glukosa 6-fosfatase dan fruktosa 1,6difosfatase paling tinggi ditemukan pada ikan yellowtail dan terendah pada ikan mas. Injeksi insulin menyebabkan peningkatan aktivitas enzim heksokinase dan fosfofruktokinase, sedangkan aktivitas enzim fruktosa 1,6-difosfatase dihambat pada ketiga spesies ikan ini. Injeksi insulin menyebabkan pe ningkatan aktivitas enzim fruktosa 1,6-difosfatase pada ikan yellowtail dan red seabream, sedangkan aktivitas enzim ini pada ikan mas ditekan. Penelitian tersebut menegaskan bahwa sejumlah besar glukosa masuk ke hati dan otot sebelum adanya peningkatan aktivitas enzim-enzim glikolitik dan mungkin dieksresikan tanpa digunakan oleh ikan. Furuichi dan Yone (1982) juga menegaskan bahwa pada ikan mas yang mengkonsumsi pakan yang mengandung glukosa sebagai satu-satunya sumber karbohidrat tumbuh kurang baik jika dibandingkan dengan ikan mas yang mengkonsumsi karbohidrat rantai panjang (maltosa, dekstrin, dan pati). Karbohidrat rantai panjang diabsorbsi (sebagai glukosa) lebih lambat sehingga lebih sinkron dengan sekresi insulin dan aktivits enzim-enzim glikolitik. Beberapa penelitian juga telah dilakukan untuk mengetahui respons metabolik ikan terhadap rasio karbohidrat dan lemak pakan. Shimeno et al. 13 (1993) menguji respons metabolik ikan nila (Oreochromis niloticus) terhadap rasio karbohidrat dan lemak pakan. Ikan nila diberi pakan selama 30 hari dengan pakan isoenergi yang mengandung kadar karbohidrat (3 sampai 48%) dan lemak (5 sampai 25%). Aktivitas enzim-enzim glikolitik dan siklus pentosafosfat yaitu glukosafosfat isomerase (PGI), glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PDH), fosfoglukosanat dehidrogenase (PGDH), meningkat dengan meningkatnya karbohidrat pakan. Aktivitas enzim glukoneogenik, glukosa-6-fosfatase (G6Pase) dan enzim yang mendegradasi asam amino yaitu aspartat aminotranferase (GOT) dan alanin aminotransferase (GPT) cenderung menurun dengan meningkatnya kadar karbohidrat pakan. Hal ini menegaskan bahwa karbohidrat pakan memacu glikolisis dan lipogenesis dan menekan degradasi asam-asam amino dan glukoneogenesis pada hati.