Studi Efisiensi Pemanfaatan Karbohidrat Pakan

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pertumbuhan dan Kebutuhan Nutrien Ikan Gurame
Pertumbuhan didefinisikan sebagai perubahan ukuran, dimana variabel
yang mengalami perubahan dapat berupa panjang atau dimensi fisik lainnya,
termasuk volume, berat atau massa, baik pada keseluruhan tubuh organisme atau
pada berbagai jaringan. Perubahan itu juga bias berkaitan dengan kandungan
protein, lemak, atau komponen kimia lainnya dari tubuh; perubahan kandungan
kalori (energi) dari keseluruhan tubuh atau dari komponen ja ringannya
(Weatherley dan Gill 1987).
Ikan membutuhkan materi dan energi untuk pertumbuhan yang diperoleh
dari pakan. Komponen pakan yang berkontribusi terhadap penyediaan materi dan
energi untuk tumbuh adalah protein, karbohidrat, dan lemak.
Protein adalah
nutrien yang sangat dibutuhkan untuk perbaikan jaringan tubuh yang rusak,
pemeliharaan protein tubuh, penambahan protein tubuh untuk pertumbuhan, dan
sebagai sumber energi. Kebutuhan ikan akan protein dipengaruhi oleh berbagai
faktor, di antaranya ukuran ikan, temperatur air, kadar pemberian pakan,
kandungan energi dalam pakan yang dapat dicerna dan kualitas protein. K ualitas
protein bergantung pada kecernaan dan nilai biologis yang dilihat dari jumlah dan
kualitas asam-asam aminonya. Fungsi protein sebagai sumber energi dapat
digantikan oleh nutrien penghasil energi lain yaitu karbohidrat dan lemak.
Peningkatan ketersediaan karbohidrat dan lemak dapat menurunkan oksidasi
protein untuk menghasilkan energi sehingga dapat meningkatkan pemanfaatan
protein pakan untuk pertumbuhan (Furuichi 1988).
Lemak merupakan sumber energi yang sangat efektif untuk ikan. Lemak
juga mempunyai berberapa peran penting lainnya yaitu sebagai media transpor
senyawa-senyawa yang larut dalam lemak, sebagai bagian dari struktur membran
sel dan sebagai prekursor senyawa-senyawa penting, misalnya hormon dan
pigmen (Steffens 1989; Jobling 1994).
Karbohidrat merupakan salah satu sumber energi yang murah untuk ikan,
tetapi kemampuan untuk memanfaatkan karbohidrat bervariasi antar spesies ikan.
Pemanfaatan karbohidrat pakan oleh ikan dikaitkan dengan sistem pencernaan dan
5
metaboliknya, yang bergantung pada kadar dan kompleksitas karbohidrat (Lee
dan Lee 2004). Karbohidrat berperan dalam pembentukan rangka karbon asamasam lemak non esensial dan juga sintesis lemak. Sintesis de novo C 16:0 dan C
18:1 ? 9 asam lemak dimulai dari asetil-koenzim A yang berasal dari katabolik
aerobik dekomposisi karbohidrat pakan. Selain itu, karbohidrat juga penting pada
pembentukan oksaloasetat dan NADPH2. Fungsi ini hanya dapat digantikan oleh
protein dan tidak dapat digantikan oleh lemak (Steffens 1989).
Efisiensi pemanfaatan pakan untuk pertumbuhan bergantung pada beberapa
faktor penting. Komposisi pakan sesuai dengan kebutuhan untuk pertumbuhan
merupakan faktor yang paling penting. P akan yang kekurangan nutrien-nutrien
esensial untuk tumbuh seperti asam-asam amino esensial, asam lemak, vitamin,
dan mineral akan menyebabkan penurunan efisiensi pemanfaatan pakan (Hepher
1990). Oleh karena itu, dalam upaya peningkatan efisiensi pemanfaatan pakan
maka dalam penyusunan pakan perlu mempertimbangkan kebutuhan nutrisi dari
spesies ikan yang akan dipelihara, di antaranya adalah kebutuhan energi, protein,
karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral.
Ikan memenuhi sebagian besar kebutuhan energinya dari protein pakan.
Dengan demikian, rasio energi/protein (rasio E/P) sangat berpengaruh pada
efisiensi pemanfaatan protein
dan energi (Kim dan Kaushik 1994).
Rasio
energi/protein yang tepat dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan pakan.
Pakan yang kandungan energinya kurang akan menyebabkan ikan menggunakan
sebagian protein sebagai sumber energi, sehingga bagian protein yang digunakan
untuk pertumbuhan menjadi berkurang.
Sebaliknya, kandungan energi pakan
yang terlalu tinggi akan membatasi konsumsi pakan sehingga akan membatasi
jumlah nutrien lain termasuk protein yang dimakan ikan.
Penelitian intensif tentang kebutuhan energi total, rasio energi/protein dan
tingkat kebutuhan karbohidrat pada ikan gurame telah dilakukan. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa larva ikan gurame yang berukuran berkisar antara
0,1 dan 0,7 g membutuhkan ka dar protein pakan sebesar 43,29% dengan rasio E/P
8,0 Kkal DE/g protein (Mokoginta et al. 1995), sedangkan untuk ikan gurame
yang berukuran berkisar antara 25 dan 30 g membutuhkan kadar protein sebesar
32,14%, dengan rasio E/P 8 Kkal DE/g protein (Suprayudi et al. 1994). Tingkat
6
kebutuhan karbohidrat pakan pada ikan gurame dengan bobot tubuh berkisar
antara 29 dan 32 g adalah 20,8%, sedangkan ikan gurame dengan bobot tubuh
berkisar antara 79 dan 80 g dapat menggunakan karbohidrat pakan sampai kadar
47,5% (Mokoginta et al. 2004)
2.2 Enzim Pencernaan dan Perannya dalam Proses Pencernaan
Pemanfaatan materi dan energi pakan untuk pertumbuhan terlebih dahulu
melalui suatu proses pencernaan dan metabolisme. Dalam proses pencernaan,
makanan yang tadinya merupakan senyawa kompleks akan dipecah menjadi
senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah diserap melalui dinding usus dan
disebarkan ke seluruh tubuh melalui sistem peredaran darah. Protein dihidrolisis
menjadi asam amino bebas dan peptida -peptida pendek, karbohidrat dipecah
menjadi gula -gula sederhana dan lemak menjadi asam-asam lemak dan gliserol.
Proses-proses di atas dilakukan oleh enzim-enzim pencernaan (Tillman et al.
1991).
Enzim
protease
menguraikan
rantai-rantai
peptida
dari
protein.
Bergantung pada letak ikatan peptida pada tengah atau akhir molekul, peptidase
diklasifikasikan menjadi endopeptidase dan eksopeptidase. Endopeptidase
menghidrolisis protein
dan peptida -peptida rantai pa njang menjadi peptida-
peptida pendek. Endopeptidase penting antara lain pepsin yang dihasilkan dari
zimogen
pepsinogen,
tripsin
dari
tripsinogen,
dan
kimotripsin
dari
kimotripsinogen. Eksopeptidase menghidrolisis peptida menjadi asam-asam
amino. Karboksipeptidase, aminopeptidase, dan dipeptidase termasuk dalam
kelompok eksopeptidase. Alfa-am ilase adalah enzim yang bertanggung jawab
menghidrolisis pati menjadi glukosa.
Enzim ini memutuskan ikatan 1,4’-a-
glukosidik dan mengubah pati menjadi glukosa dan maltosa. Sedangkan lipase
adalah enzim penting dalam pencernaan lemak. Lipase memecah lemak menjadi
gliserol dan asam lemak (Steffens 1989; Hepher 1990).
Kemampuan ikan dalam mencerna makanan sangat bergantung pada
kelengkapan
organ
pencernaan
dan
ketersediaan
enzim
pencernaan.
Perkembangan saluran pencernaan tersebut berlangsung secara bertahap dan
setelah
mencapai
ukuran/umur
tertentu
saluran
pencernaan
mencapai
7
kesempurnaannya.
Perkembangan struktur alat pencernaan ini diikuti oleh
perkembangan enzim pencernaan dan perubahan kebiasaan makan (food habit).
Berdasarkan penelitian Affandi (1993) diketahui adanya perubahan pola
kebiasaan makan pada ikan gurame yang berukuran kecil dan pada ikan yang
berukuran besar, yaitu dari karakter ikan karnivora ke omnivora hingga akhirnya
menjadi herbivora. Aktivitas protease umumnya tinggi pada ikan-ikan karnivora
dan aktivitas karbohidrase umumnya tinggi pada ikan-ikan herbivora dan
omnivora (Ugolev dan Kuz’mina 1994). Hasil penelitian Affandi et al. (1994)
menunjukkan bahwa perkembangan alat pencernaan yang sempurna pada ikan
gurame dicapai pada ukuran 2,4 cm atau sekitar 40 hari sehingga benih ikan
gurame tersebut siap memakan pakan buatan.
Kandungan nutrien pakan nampaknya berpengaruh pada aktivitas enzim
pencernaan. Ku’zmina (1996) mengungkapkan bahwa tersedianya substrat
merupakan faktor yang nyata dalam pengaturan aktivitas enzim pada ikan dan
mamalia. Kandungan protein pakan yang tinggi dikaitkan dengan kandungan
selulosa yang rendah umumnya meningkatkan aktivitas protease pada ikan
rainbow trout (Hepher 1990). Peningkatan proporsi pati kentang dalam pakan
dari 10 menjadi 90% yang diikuti
penurunan proporsi tepung ikan akan
meningkatkan aktivitas enzim maltase dan amilase pada ikan mas, dan adaptasi
enzim karbohidrase ini terhadap komposisi pakan sudah terlihat kurang dari satu
minggu (Kawai dan Ikeda 1972). Peningkatan protein pakan dan penurunan kadar
selulose pakan menyebabkan peningkatan aktivitas enzim amilase pada ikan
rainbow trout (Kawai dan Ikeda 1973).
Kecernaan (digestibility) dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu (1) jenis pakan
yang dimakan dan kadar kepekaan pakan terhadap pengaruh enzim pencernaan,
(2) aktivitas enzim-enzim pencernaan, (3) lama waktu pakan yang dimakan
terkena aksi enzim pencernaan. Masing-masing faktor di atas dipengaruhi oleh
berbagai faktor sekunder yang berkaitan dengan ikan itu sendiri (spesies, umur,
ukuran) dan kondisi fisiologis, yang berkaitan dengan lingkungan (temperatur),
dan yang berkaitan denga n pakannya (komposisi pakan, ukuran partikel dan
jumlah pakan yang dimakan). Kecernaan berbeda antar spesies ikan, hal ini
terjadi akibat perbedaan sistem dan enzim-enzim pencernaannya serta perbedaan
8
jenis pakan yang dikonsumsi. Selain itu, kecernaan juga dipengaruhi oleh umur
ikan. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan aktivitas enzim pada umur
yang berbeda. Komposisi pakan berpengaruh pada kecernaan.
Nutrien dalam
bahan pakan yang berbeda akan dicerna dengan tingkat yang berbeda . Hal ini
berkaitan dengan sumber dan komposisi bahan tersebut. Bahan pakan yang
berasal dari tumbuhan biasanya dicerna lebih lambat dibandingkan bahan pakan
yang berasal dari hewan. Kandungan selulosa yang tinggi juga mempengaruhi
kecernaan pakan. Kemampuan cerna juga dipengaruhi oleh bentuk pakan dan
cara pengolahannya (Hepher 1990).
2.3 Insulin dan Perannya dalam Metabolisme
Insulin adalah hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel-sel ß pulaupulau Langerhans dalam pankreas. Peran utama insulin adalah mengatur kadar
glukosa darah melalui peningkatan pengambilan glukosa ke jaringan dan
penyimpanannya dalam bentuk glikogen dan lemak. Insulin terdiri atas dua
polipeptida yaitu rantai A terdiri atas 21 asam amino dan rantai B terdiri atas 30
asam amino, yang dih ubungkan oleh jembatan disulfida. Susunan asam amino
insulin hampir sama pada semua vertebrata, dengan demikian
insulin yang
diisolasi dari satu spesies masih tetap aktif pada spesies lain. Insulin bekerja pada
hati untuk meningkatkan pengambilan glukosa dan pembentukan glukosa 6-fosfat
serta untuk mengaktifkan enzim
glikogen sintetase.
Pada jaringan adiposa,
glukosa diubah menjadi gliserol dan gliserol ini diesterifikasi dengan asam lemak
bebas membentuk trigliserida. Sintesis lemak meningkat melalui peningkatan
perangsangan sitrat lipase, asetil-KoA, karboksilase, asam lemak sintase dan
gliserol 3-fosfat dehidrogenase. Pada otot , insulin merangsang
pengambilan
glukosa dan asam amino dan merangsang sintesis glikogen dan protein. Insulin
juga mempunyai efek vasodilatori untuk me ningkatkan aliran darah dan suplai
nutrien ke otot (Squires 2003).
Asam-asam amino bebas yang dibawa darah akan mengalami metabolisme
pada dua arah yaitu anabolik dan katabolik. Arah anabolik adalah biosintesis
protein-protein baru baik yang fungsional seperti hormon dan enzim maupun yang
struktural seperti pembentukan jaringan tubuh baru (pertumbuhan) , dan
9
penggantian jaringan tubuh yang rusak.
Arah katabolik diawali dengan
deamina si molekul-molekul asam amino yang kemudian digunakan untuk
menghasilkan energi atau lipogenesis (Hepher 1990) . Pada ikan, sebagaimana
pada mamalia, sintesis protein (khususnya pada otot) dan translokasi asam-asam
amino dari hati ke otot dikontrol oleh insulin. Peran insulin pada ikan terutama
pada metabolisme protein dan lemak. Keterlibatan insulin dalam homoestasis
glukosa mungkin hanya merupakan peran sekunder (Jobling 1994). Peningkatan
asam amino dalam plasma setelah pemberian pakan akan merangsang sekresi
insulin.
Insulin yang disekresikan ini kemudian akan meningkatkan deposisi
asam amino dalam sel dan penggabungannya ke dalam protein otot (Cowey dan
Walton 1989; Mommsen dan Plisetskaya 1991).
Glukosa hasil pencernaan karbohidrat diserap ke dalam aliran darah, dan
selanjutnya akan akan digunakan untuk metabolisme.
sangat dikontrol oleh hormon.
Metabolisme glukosa
Pada hewan-hewan endotermik, homoestasis
glukosa darah dikontrol sangat baik. Homoestasis ini terutama dikontrol oleh
insulin dan glukagon yang disekresikan oleh pankreas. Hormon-hormon tersebut
juga terdapat pada ikan, tetapi homoestasi glukosa darah pada ikan masih belum
jelas. Insulin dan somatostatin menye babkan penurunan kadar glukosa darah
(hipoglikemia). Glukosa ini akan digunakan secara cepat pada jaringan atau
diubah menjadi glikogen yang disimpan di hati.
Jika insulin kurang, kadar
glukosa darah meningkat (hiperglikemia), dan metabolisme glukosa ter ganggu
danmenyebabkan kondisi diabetik.
Pada kondisi seperti ini, glikogene sis dan
lipogenesis juga akan terhambat. Kebutuhan energi akan disediakan
melalui
peningkatan glukoneogenesis dari lemak dan protein (Hepher 1990).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kemampuan ikan
untuk memanfaatkan karbohidrat, yaitu dengan melihat respons glukosa dan
insulin plasma terhadap suatu uji toleransi glukosa. Furuichi dan Yone (1981)
melakukan uji toleransi glukosa pada tiga spesies ikan, yaitu ikan mas, red
seabream dan yellowtail dengan cara memberi pakan berupa kapsul gelatin yang
berisi glukosa 167 mg/100 g bobot ikan. Hasilnya menunjukkan bahwa glukosa
darah ikan mas mencapai puncak 1 jam setelah pemberian glukosa , yaitu
meningkat dari 40 mg/100 ml menjadi 180 mg/100 ml. Pada ikan red seabream
10
puncak glukosa darah yang sama seperti pada ikan mas terjadi 2 jam setelah
pemberian glukosa, sedangkan pada ikan yellowtail terjadi 3 jam setelah
pemberian glukosa, meningkat dari 120 mg/100 ml menjadi 210 mg/100 ml.
Ikan mas membutuhkan waktu kira-kira 5 jam untuk kembali ke kadar glukosa
awal (pada saat pemuasaan) dan ikan red seabream belum kembali ke kadar
glukosa awal setelah 5 jam. Pada ikan yellowtail. kadar glukosa darah masih
sangat tinggi setelah 5 jam.
Peres et al. (1999) juga melakukan uji toleransi glukosa pada ikan gilthead
seabream dan European seabass. Sebelumnya , ikan diadaptasikan dengan pakan
berkadar protein 50% dan lemak 12% selama 3 minggu. Setelah dipuasakan
selama 24 jam, ikan diinjeksi secara intraperitonial denga n 1 g glukosa/kg bobot
tubuh.
Hasilnya menunjukkan bahwa kadar glukosa darah ikan seabream
mencapai puncak 3 jam setelah injeksi, meningkat dari 67,9 mg/100 ml menjadi
323,3 mg/100 ml, sementara ikan seabass mencapai puncak kadar glukosa darah 6
jam setelah injeksi, meningkat dari 63,9 mg/100 ml menjadi 279,6 mg/100 ml.
Mokoginta et al. (2004) juga mengamati pemanfaatan karbohidrat pakan
pada ikan gurame dengan bobot tubuh awal berkisar antara 29 dan 32 g yang
diberi pakan mengandung 20,8; 35,6; 49,8 dan 57% karbohidrat dan ikan gurame
dengan bobot tubuh awal berkisar antara 79 dan 80 g yang diberi pakan 21,2;
30,1; 38,6 dan 47,5% karbohidrat. Hasil penelitia n pada ikan gurame berukuran
berkisar antara 29 dan 32 g menunjukkan bahwa kadar glukosa darah pada ikan
yang mengkonsumsi paka n yang mengandung karbohidrat tinggi (49,8 dan
57,0%) lebih rendah dibandingkan ikan yang mengkonsumsi pakan yang
mengandung karbohidrat rendah (20,8 dan 35,6%). Perubahan kadar glukosa
darah antar perlakuan menunjukkan pola yang sama yaitu puncak glukosa terjadi
pada jam ke 5 setelah pemberian pakan (postprandial) dan kembali ke kadar
glukosa awal (pemuasaan) pada jam ke 18 setelah pemberia n pakan
(postprandial). Pada ikan gurame berukuran berkisar antara 79 dan 80 g, kadar
glukosa darah tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar semua perlakuan
dan kadar glukosa darah mencapai puncak pada jam ke -9 setelah pemberian pakan
dan kembali ke kadar glukosa awal (pemuasaan) pada jam ke 18 setelah
pemberian pakan (postprandial). Hal ini menunjukkan bahwa pada ikan gurame
11
berukuran berkisar antara 29 dan 32 g jumlah glukosa yang diabsorbsi tidak
diikuti dengan transfer glukosa yang cepat ke sel-sel sehingga kadar glukosa darah
mencapai puncak lebih cepat dibandingkan ikan gurame berukuran berkisar antara
79 dan 80 g.
Hal ini juga menunjukkan adanya perbedaan kemampuan
menggunakan karbohidrat yang diabsorbsi pada kedua ukuran ikan gurame
tersebut. Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa toleransi glukosa berbeda
antar spesies dan juga antar ukuran ikan.
menunjukkan
toleransi
glukosa
yang
Seba gian besar spesies ikan
rendah,
dan
ikan-ikan
karnivora
menunjukkan toleransi glukosa yang paling rendah dibandingkan ikan-ikan
omnivora dan herbivora.
Toleransi glukosa yang rendah pada ikan awalnya dikaitkan dengan
ketidakcukupan sekresi insulin. Furuichi dan Yone (1981) mengamati perubahan
kadar insulin pada ikan mas, red seabream, yellowtail setelah diberi glukosa 167
mg/100 g bobot ikan. Ketiga ikan ini menunjukkan pola perubahan kadar insulin
darah yang sama seperti hewan diabetik. Kadar insulin darah maksimum pada
ikan lebih rendah dibandingkan dengan manusia normal dan waktu untuk
mencapai kadar insulin maksimum yang lebih lama. Selain itu. kadar maksimum
insulin darah berbeda antar ketiga spesies ikan ini, yaitu kadar insulin tertinggi
pada ikan mas, diikuti oleh red seabream dan yellowtail. Hasil penelitian ini
menegaskan bahwa ikan mempunyai sifat pote nsial diabetik dan perbedaan
kemampuan memanfaatkan karbohidrat disebabkan oleh perbedaan sekresi
insulin. Penelitian selanjutnya menunjukkan
bahwa ikan tidak diabetik dan
mempunyai kadar insulin darah yang sama seperti yang diamati pada mamalia
(Mommsen dan Plisetskaya 1991). Namun demikian, respons insulin terhadap
suplai glukosa pada ikan tidak secepat mamalia, tetapi membutuhkan waktu
beberapa jam untuk berkembang (Furuichi dan Yone 1981). Beberapa studi telah
menunjukkan keterlambatan sekresi insulin ini berkaitan dengan sekresi
somatostatin. Sekresi somatostatin
nampaknya lebih sensitif terhadap glu kosa
dibandingkan dengan insulin. Somatostatin ternyata diketahui menghambat
sekresi insulin. Hiperglikaemia berkepanjangan pada ikan juga disebabkan oleh
kegagalan satu atau lebih post-reseptor insulin (Harmon et al. 1991; Peres et al.
1999).
12
Pada mamalia , insulin umumnya dikenal sebagai pemicu enzim-enzim
glikolitik hati dan penghambat enzim-enzim glukoneogenik hati. Furuichi dan
Yone (1982) mengama ti perubahan enzim-enzim metabolik karbohidrat pada hati
yaitu dua enzim glikolitik (heks okinase dan fosfofruktokinase) dan dua enzim
glukoneogenik (glukosa 6-fosfatase dan fruktosa 1,6-difosfatase ) pada ikan mas,
red seabream, yellowtail setelah pemberian secara oral glukosa 167 mg/100 g
bobot ikan. Aktivitas enzim-enzim glikolitik dan glukoneogenik
meningkat
mencapai kadar maksimum selama 2 – 3 jam setelah pemberian glukosa, sedikit
lebih lambat jika dibandingkan waktu peningkatan kadar insulin darah mencapai
maksimum . Aktivitas enzim-enzim glikolitik (heksokinase dan fosfofruktokinase )
dan enzim glukoneogenik (glukosa 6-fosfatase dan fruktosa 1,6-difosfatase) pada
semua spesies ikan ini meningkat setelah pemberian glukosa.
Aktivitas
heksokinase sedikit berbeda antara sebelum dan setelah pemberian glukosa pada
semua spesies ikan uji.
Aktivitas fosfofrukt okinase sebelum dan sesudah
pemberian glukosa paling tinggi ditemukan pada ikan mas, yang diikuti oleh red
seabream dan yellowtail. Aktivitas enzim glukosa 6-fosfatase dan fruktosa 1,6difosfatase paling tinggi ditemukan pada ikan yellowtail dan terendah pada ikan
mas. Injeksi insulin menyebabkan peningkatan aktivitas enzim heksokinase dan
fosfofruktokinase, sedangkan aktivitas enzim fruktosa 1,6-difosfatase dihambat
pada ketiga spesies ikan ini. Injeksi insulin menyebabkan pe ningkatan aktivitas
enzim fruktosa 1,6-difosfatase pada ikan yellowtail dan red seabream, sedangkan
aktivitas enzim ini pada ikan mas ditekan. Penelitian tersebut menegaskan bahwa
sejumlah besar glukosa masuk ke hati dan otot sebelum adanya peningkatan
aktivitas enzim-enzim glikolitik dan mungkin dieksresikan tanpa digunakan oleh
ikan. Furuichi dan Yone (1982) juga menegaskan bahwa pada ikan mas yang
mengkonsumsi pakan yang mengandung glukosa sebagai satu-satunya sumber
karbohidrat tumbuh kurang baik jika dibandingkan dengan
ikan mas yang
mengkonsumsi karbohidrat rantai panjang (maltosa, dekstrin, dan pati).
Karbohidrat rantai panjang diabsorbsi (sebagai glukosa) lebih lambat sehingga
lebih sinkron dengan sekresi insulin dan aktivits enzim-enzim glikolitik.
Beberapa penelitian juga telah dilakukan untuk mengetahui respons
metabolik ikan terhadap rasio karbohidrat dan lemak pakan. Shimeno et al.
13
(1993) menguji respons metabolik ikan nila (Oreochromis niloticus) terhadap
rasio karbohidrat dan lemak pakan. Ikan nila diberi pakan selama 30 hari dengan
pakan isoenergi yang mengandung kadar karbohidrat (3 sampai 48%) dan lemak
(5 sampai 25%). Aktivitas enzim-enzim glikolitik dan siklus pentosafosfat yaitu
glukosafosfat isomerase (PGI), glukosa-6-fosfat
dehidrogenase
(G6PDH),
fosfoglukosanat dehidrogenase (PGDH), meningkat dengan meningkatnya
karbohidrat pakan. Aktivitas enzim glukoneogenik, glukosa-6-fosfatase (G6Pase)
dan enzim yang mendegradasi asam amino yaitu aspartat aminotranferase (GOT)
dan alanin aminotransferase (GPT) cenderung menurun dengan meningkatnya
kadar karbohidrat pakan. Hal ini menegaskan bahwa karbohidrat pakan memacu
glikolisis dan lipogenesis dan menekan degradasi asam-asam amino dan
glukoneogenesis pada hati.
Download