BAB II PENGATURAN TENTANG HIBAH DALAM HUKUM ISLAM A

advertisement
29
BAB II
PENGATURAN TENTANG HIBAH DALAM HUKUM ISLAM
A. Hibah Dalam Fikih Islam
1.
Definisi Hibah
Hibah merupakan kata Arab yang berarti pemberian, yaitu “perlewatannya
untuk melewatkannya dari tangan kepada yang lain.” Adapula pendapat yang
menyebutkan bahwa al-hibah diambil dari katahaba,yang berarti bangun (istaiqazha),
yaitu sesuai dengan kalimat, “terbangun dari tidurnya”. Al-hibah diartikan
bangun(istiqazha),karena “prilaku hibah bangkit untuk berbuat kebaikan setelah ia
lupa akan kebaikan.”100 Hibah juga secara bahasa berasal dari kata wahaba, yang
berarti lewat dari satu tangan ke tangan yang lain atau dengan kata lain, kesadaran
untuk melakukan kebaikan atau diambil dari kata hubu ar-rih (angin yang
menghembus) atau ibra (membebaskan utang).101
Secara istilah, al-hibah diartikan sebagai“pemilikan yang sunnat ketika
hidup.” Di samping itu, al-hibah juga berarti “pemilikan yang munjiz (selesai) dan
mutlak pada suatu benda ketika hidup tanpa penggantian, meskipun dari yang lebih
tinggi”.102 Menurut Jumhur Ulama, hibah adalah akad yang menjadikan kepemilikan
tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela.103 Dalam
makna yang lain, hibah merupakan pemberian hak milik secara langsung dan mutlak
100
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 209.
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 344.
102
Hendi Suhendi, Op.Cit.,hlm. 210.
103
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 82.
101
29
Universitas Sumatera Utara
30
terhadap suatu benda saat masih hidup tanpa ganti walaupun dari orang yg lebih
tinggi.
Sedangkan menurut pandangan Muhammad Daud Ali, hibah merupakan
pengeluaran harta semasa hidup atau dasar kasih sayang, untuk kepentingan
seseorang maupun untuk kepentingan suatu badan sosial keagamaan dan ilmiah, serta
kepada seseorang yang berhak menjadi ahli warisnya. Inti dari hibah adalah
pemberian,
yaitu
pemberian
suatu
benda
semasa
hidup
seseorang tanpa
mengharapkan balasan.104 Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
hibah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain dengan penuh kerelaan dan
tanpa pamrih dan dilakukan semasa hidupnya.
Dasar hukumpensyariatan hibah terdapat dalam Alquran dan hadis Nabi
SAW. Sumber Alquran di antaranya:
Artinya: “ Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhannya. Dia berkata, “Ya
Tuhanku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu,
sesungguhnya
Engkau
Maha
Mendengar
doa.”
(QS.
Ali
Imran:38)105
Ayat tersebut memberikan pemahaman tentang bentuk hibah yang berarti
memberi dengan obyek seorang anak. Dasar hukum lainnya adalah:
Artinya: “…Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat anak
yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan
104
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1988),
hlm. 24-25.
105
Lajnah Pentashih Mushaf Alquran, Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an dan
Terjemah, edisi tahun 2002, (Jakarta: Penerbit Al-Huda, 2005), hlm. 56.
Universitas Sumatera Utara
31
(musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya,
yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, orang-orang yang
menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam
kemelaratan, Penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah
orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177)106
Di samping itu, dasar hukum hibah juga terdapatdalam hadits:
Artinya: “Dari Abi Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “saling
memberi hadiahlah engkau sekalian, agar kalian saling mencintai”
(HR. Bukhari).107
Ayat-ayat Alquran maupunHadis lainnya juga banyak yang menganjurkan
penganutnya untuk berbuat baik dengan cara tolong-menolong. Salah satu bentuk
tolong-menolong tersebut adalah memberikan harta kepada orang lain yang benarbenar membutuhkannya.108 Sebagaimana firman Allah SWT, “...dan tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa ...” (QS. Al-Maidah:
2).
Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Abu Dawud
dari Asiyah r.a. berkata, “Pernah Nabi SAW menerima hadiah dan balasannya hadiah
tersebut.”Hadis mengandung makna bahwa pemberian berupa hadiah tidaklah boleh
ditolak. Begitu pula hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Tirmidzi dari Abu
Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda,
106
107
Ibid., hlm. 28.
TM Hasbi As-Shiddieqy, Koleksi Hadits-hadits Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1990),
hlm. 186.
108
Hendi Suhendi, Op.Cit.,hlm. 212.
Universitas Sumatera Utara
32
Artinya: “Kalau aku diundang untuk menyantap kaki kambing depan dan
belakang, niscaya aku penuhi dan kalau dihadiahkan kepadaku kaki
kambing
depan
dan
kaki
kambing
belakang,
niscaya
aku
menerimanya.”109
2.
Rukun dan Syarat-Syarat Hibah
Ada beberapa rukun hibah yang harus terpenuhi, agar pemberian menjadi sah,
di antaranya:
(1) Pemberi hibah, yaitu pemilik sah barang yang dihibahkan dan pada waktu
pemberian itu dilakukan, berada dalam keadaan sehat, baik jasmani maupun
rohaninya.
(2) Penerima hibah, yaitu setiap orang, baik perorangan maupun badan hukum.
(3) Perbuatan menghibahkan itu diiringi dengan ijab kabul, yaitu serah terima
antara pemberi dan penerima hibah.
(4) Benda yang dihibahkan dapat terdiri dari segala macam barang, baik yang
bergerak maupun yang tidak bergerak. Bahkan manfaat atau hasil sesuatu
barang dapat dihibahkan.110
Barang yang dihibahkan (mauhub), menurut Mazhab Syafi’iah terdapat
kaidah, “Sesuatu yang boleh diperjual belikan, boleh pula untuk dihibahkan.” Atas
dasar kaidah ini, maka syarat-syaratbarang yang dhibahkan di antaranya:
(1) Barang hibah ada pada saat transaksi.
109
110
Ibid.
Muhammad Daud Ali, Op.Cit.,hlm. 24-25.
Universitas Sumatera Utara
33
(2) Barang yang dihibahkan harus harta yang halal (mutaqawwamin).
(3) Barang yang dihibahkan harus milik orang yang menghibahkannya.
(4) Barang yang dihibahkan hendaknya barang mandiri, tidak terkait atau tidak
dipergunakan bersama dengan harta lain yang tidak dihibahkan.111
Di samping itu, akad dalam hibah merupakan hal terpenting yang harus
dipahami. Berdasarkan Hukum Islam, akad yang berisikan tiga hal penting, di
antaranya:
(1) Akad merupakan keterkaitan antara ijab dan kabul yang berakibat pada
timbulnya akibat hukum.
(2) Akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad adalah pertemuan
ijab yang merepresentasikan kehendak dari satu pihak dan kabul yang
menyatakan kehendak pihak lain.
(3) Akad bertujuan untuk melahirkan akibat hukum atau hukum akad (hukm al‘aqd).112
Dalam kaitannya dengan rukun hibah ini. Pertama, pihak penghibah
disyarakatkan tiga hal, di antaranya:
(1) Penghibah haruslah sebagai pemilik sempurna atas benda atau materi yang
dihibakan.
111
Musthafa Dib al-Bugha, Fiqh Al-Mu’awadhah/Buku Pintar Transaksi Syariah: Menjalin
Kerja Sama Bisnis dan Menyelesaikan Sengketanya Berdasarkan Panduan Islam (terjemahan),
(Jakarta: Penerbit Hikmah, 2010), hlm. 208.
112
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih
Muamalat, (Jakarta: PT RajaGrapindo Persada, 2007), hlm. 68-69.
Universitas Sumatera Utara
34
(2) Penghibah haruslah seorang yang cakap dan sempurna, yaitu baligh dan
berakal.
(3) Penghibah hendaknya melakukan perbuatan atas dasar kemauan sendiri
dengan penuh kerelaan dan tidak dalam keadaan terpaksa.113
Kedua, pihak penerima hibah juga disyaratkan sudah wujud, dalam arti yang
sesungguhnya ketika akad hibah dilaksanakan.Ketiga, objek yang dijadikan hibah.
Keenam, ijab dan qabul antara pemberi dan penerima hibah. Dalam hubungannya
dengan objek yang dijadikan hibah, haruslah memenuhi beberapa persyaratan, di
antaranya:
(1) Benda yang dihibahkan harus milik sempurna dari penghibah.
(2) Benda yg dihibahkan telah ada dalam arti sesungguhnya saat pelaksanaan
akad dilakukan.
(3) Objek yang dihibahkan merupakan sesuatu yang dibolehkan untuk dimiliki
oleh agama.
(4) Harta yang dihibahkan harus telah terpisah secara jelas dari harta
penghibah.114
Objek hibah merupakan hal terpenting yang harus diperjelas dalm sebuah
transaksi hibah, karena Hukum Islam sangat menekankan kejelasan dari objek akad
dalam sebuah perjanjian, termasuk perjanjian hibah. Para ahli Hukum Islam
mensyaratkan beberapa syarat pada obyek akad, di antaranya
113
114
Mardani, Op.Cit.,hlm. 343.
Ibid.,hlm. 344.
Universitas Sumatera Utara
35
(1) Obyek akad dapat diserahkan atau dapat dilaksanakan.
Sebuah objek akad disyaratkan harus dapat diserahkan jika obyek tersebut
berupa barang, seperti dalam akad jual beli, akad penyerahan barang hibah.
Termasuk pula dapat dinikmati atau diambil manfaatnya, jika obyek berasal
dari
manfaat benda, seperti dalam sewa menyewa benda (ijārah al-
manāfi’).Hal ini sesuai dengan hadis berikut ini:
Artinya: “Dari Hakim Ibn Hizam ia berkata: aku bertanya kepada Nabi SAW,
Wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku untuk memintaku menjual
suatu yang tidak ada padaku. Kemudian aku menjual kepadanya, dan aku
membelinya dipasar untuk aku serahkan kepadanya. Beliau menjawab: jangan
engkau menjual barang yang tidak ada padamu ”. (HR. an-Nasa’i)
(2) Obyek akad harus tertentu atau dapat ditentukan
Sebuah objek akad disyaratkan harus tertentu dan dapat ditentukan, Hal ini
sesuai dengan pelarangan Rasulullah SAW dalam jual beli kerikil dengan cara
melempar batu kerikil tersebut pada objek jual beli.
(3) Obyek akad dapat ditransaksikan menurut syara’
Suatu obyek dapat ditransaksikan menurut Hukum Islam, jikamemenuhi
beberapa kriteria. Pertama,tujuan obyek tersebut tidak bertentangan dengan
transaksi. Kedua, sifat atau hakikat dari obyek itu tidak bertentangan dengan
transaksi. Ketiga, obyek akad tidak bertentangan dengan ketertiban umum.115
Menurut Muhammad Daud Ali, di antara syarat-syarat hibah selain rukunrukun hibah yang harus dipenuhi adalah:
115
Syamsul Anwar, Op.Cit.,hlm. 205-209.
Universitas Sumatera Utara
36
(1) Pemberi hibah haruslah orang yang telah dewasa dan cakap melakukan
tindakan hukum serta memiliki barang yang dihibahkan. Pada dasarnya,
pemberi hibah adalah setiap yang cakap melakukan perbuatan hukum. Dalam
perkembangannya saat ini, tidak hanya orang, tetapi juga badan hukum,
bahkan negara dapat menjadi pemberi hibah (grant) kepada negara lain.
(2) Barang yang dihibahkan harus mempunyai nilai yang jelas, tidak terikat
dengan harta pemberi hibah.
(3) Penerima hibah adalah orang yang cakap melakukan perbuatan hukum. Jika ia
masih di bawah umur, makadiwakili oleh walinya atau seseorang yang
diwasiatkan untuk menerimanya.
(4) Ijab qabul atau serah terima antara pemberi dan penerima.
(5) Hibah tidak dapat dibatalkan, kecuali hibah yang dilakukan oleh seorang ayah
kepada anaknya, selama barang yang dihibahkan tersebut belum dikuasai oleh
pihak ketiga.
(6) Hibah merupakan pemberian yanng tidak ada kaitannya dengan kewarisan,
kecuali jika ternyata hibah tersebut akan mempengaruhi kepentingan dan hakhak ahli waris. Dalam hal demikian, perlu ada batas maksimal hibah, tidak
melebihi sepertiga harta seseorang, selaras dengan batas wasiat yang tidak
boleh melebihi sepertiga harta peninggalan.
(7) Hibah dapat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi yang
memenuhi syarat.116
116
Muhammad Daud Ali, Op.Cit., hlm. 25.
Universitas Sumatera Utara
37
Namun demikian, untuk kepastian hukum, sebaiknya pelaksanaannya
dilakukan secara tertulis sesuai dengan anjuran Alquran:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menulisnya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menulisnya dengan adil. Dan janganlah penulis enggan menulisnya
sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau
dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika bukan dua oang lelaki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang
kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang lagi
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu
menulis hutang itu, baik kecil maupun besar, sampai batas waktu
membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguan kamu. Tetapi jika ia merupakan perdagangan
tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi
kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila
kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi memudharatkan
yang bermuamalah (dan jangan juga yang bermuamalah
memudharatkan para saksi dan penulis). Jika kamu lakukan (yang
demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada
diri kamu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan
Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”(QS. Al-Baqarah: 282)117
Begitu pula dalam ayat lain disebutkan:
Artinya:“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah
ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan
117
Lajnah Pentashih Mushaf Alquran, Departemen Agama RI, Op.Cit., hlm. 49.
Universitas Sumatera Utara
38
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah
kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa
yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”(QS. Al-Baqarah:283)118
Hibah mencakup hadiah dan sedekah. Hal ini ini dikarenakan keduanya
menyerahkan kepemilikan barang tanpa ada pengganti semasa hidup sebagai sunah,
sekalipun dalam ketiga istilah ini terdapat perbedaan dari segi makna dan hukum.
Perbedaan mendasar dari ketiga istilah tersebut adalah:
(1) Hibah berdasarkan pengertian sebelumnya bersifat umum, baik dari orang
kaya kepada orang fakir maupun sebaliknya. Tujuan hibah adalah untuk
memperoleh pahala di akhirat ataupun tidak dan barang yang dihibahkan
tersebut berpindah kepada orang lain yang menerima hibah atau tidak.
(2) Sedekah, secara lahiriah yaitu memberikan sesuatu kepada orang yang
membutuhkan untuk mendekatkan diri kepada Allah agar memperoleh pahala
di akhirat kelak.
(3) Hadiah, secara lahiriah yaitu memberikan sesuatu kepada seseorang karena
rasa cinta atau kedekatan dan galibnya barangnya yang dihadiahkan berpindah
ke tempat penerima barang.119
Perbedaan mendasar antara sedekah dan hadiah terdapat dalam sabda Nabi
SAW ketika beliau meminta daging yang telah dimasak, kemudian dikatakan
118
119
Ibid.,hlm. 50.
Musthafa Dib al-Bugha, Op.Cit., hlm. 94-95.
Universitas Sumatera Utara
39
kepadanya, “Daging tersebut merupakan sedekah kepada Burairah.” Nabi bersabda,
“Baginya daging itu adalah sedekah, sedangkan bagi kami adalah bhagia” (HR.
Bukhari dan Muslim).Ini berarti bahwa adanya perbedaan maksud pada pemberian
daging tersebut, sehingga nama dan hukumnya juga berbeda. Dalam pemahaman
hadis ini, Rasulullah SAW menerima hadiah dan memakannya, tetapi beliau tidak
memakan harta sedekah.120
Selain dari hadis di atas, Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu
Hurairah ra. Nabi SAW ketika diberi makanan, ia bertanya
bertanya tentang
makanan itu. Jika dikatakan itu adalah hadiah, belau memakannya. Namun demikian,
jika dikatakan bahwa itu adalah sedekah, beliau tidak memakannya (HR. Bukhari dan
Muslim).121
Perbedaan lainnya, dalam hibah mengharuskan adanya ijab kabul. Sementara
dalam sedekah dan hadiah tidak mengharuskan adanya ijab kabul. Dalam hal
sedekah, Rasulullah SAW dan para sahabatnya sering bersedekah, tetapi tidak
diketahui atau tidak diriwayatkan terjadi ijab kabul antara orang yang bersedekah dan
orang yang menerima sedekah. Begitu pula pada hadiah, diriwayatkan bahwa para
sahabat Nabi SAW memilih hadiah-hadiah mereka di hadapan Aisyah r.a. ketika
Rasulullah SAW masih hidup, namun tidak diriwayatkan terjadi ijab kabul di antara
para sahabat dan Aisyah r.a. atau di antara para sahabat dengan Nabi SAW.122
120
Ibid., hlm. 95.
Ibid.
122
Ibid.
121
Universitas Sumatera Utara
40
3.
Bentuk-bentuk Hibah
Dalam hukum Islam, terdapat beberapa bentuk hibah yang memiliki aturan
hukumnya, di antaranya:
(1) Hibah dalam bentuk ‘umra dan ruqbah
‘Umra secara bahasa berarti umur dan ruqbah artinya mengintai. Pemberian
hibah dengan ‘umra dan ruqbah merupakan perbuatan orang-orang Arab sejak
zaman jahiliyah dan kemudian ditetapkan keberlakuannya dalam Islam. Hibah
dalam bentuk ini dilakukan dengan menyebutkan masa usia kehidupan
seseorang atau kematiannya saat memberikan barang hibahnya. Misalnya,
pemberi hibah menyatakan kepada penerima hibah bahwa benda yang
dihibahkan selama hidup penerima hibah atau menyebutkan bahwa barang
yang dihibahkan baru akan diberikan saat pemberi hibah meninggal. Kedua
akad tersebut merupakan benrik pemberian hibah dengan cara ‘umra. Menurut
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Jabir r.a.
berkata bahwa “Nabi SAW telah menghukum dengan ‘umra, bahwa
sesungguhnya ‘umra adalah milik orang yang diberinya.”123
Sedangkan hibah dalam bentuk ruqbah adalah pemberi hibah menyatakan dan
penerima hibah sama-sama mengintai kematian. Saat seseorang berkata, “Jika
engkau mati sebelumku, pemberian itu tetap kembalikan kepadamu”. Syarat
ini batal ka rena pemberian tetap menjadi milik orang yang diberi. Bila yang
diberi meninggal dunia, maka benda-benda itu menjadi milik para ahli
warisnya. Pemberian semacam ini dinamakan pemberian secara ruqbah,
karena masing-masing mengintai kematian yang lain Sesungguhnya ‘umra
123
Hendi Suhendi, Op.Cit., hlm. 215.
Universitas Sumatera Utara
41
yang dibolehkan oleh Rasulullah SAW ialah bahwa seseorang berkata,
“Barang ini pemberian bagi engkau dan bagi ahli waris engkau”. Apabila ada
yang berkata, “Pemberian itu bagi engkau selama engkau hidup’, maka
pemberian itu kembali kepada yang memiliki.” (HR. Muslim dari Jabir r.a.).
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Nasai dari
Jabir, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu mengatakan ruqbah dan
jangan pula mengatakan ‘umra, maka sesuatu yang diruqbahkan atau
di’umrakan itu untuk ahli warisnya.”124
(2) Hibah dalam Bentuk Al-Musya atau Dibagi-bagi
Hibah dalam bentuk ini adalah hibah yang terjadi saat seseorang memiliki
bagian harta yang tidak pasti, baik ukuran maupun jumlahnya, kemudian
menghibahkannya kepada orang lain atau orang tersebut memiliki sesuatu
yang kemudian menghibahkannya kepada dua orang atau lebih. 125 Keabsahan
hibah dalam bentuk al-Musya, terdapat beberapa pendapat di antara para
ulama, di antaranya:
a.
Menurut ulama Mazhab Syafi’i, hibah semacam ini sah dan dibolehkan,
karena sahnya transaksi jual-belial-musya berdasarkan ijma’ para ulama
bahwa penguasaan barang hibah terjadi jika penerima hibah menerima
barang hibah tersebut, meskipun menghibahkan satu barang kepada
banyak orang. Di samping itu, tujuan hibah adalah penyerahan
124
125
Ibid.,hlm. 216.
Musthafa Dib al-Bugha, Op.Cit.,hlm. 111.
Universitas Sumatera Utara
42
kepemilikan dan kepemilikan dapat terwujud dalam hibah
al-
musyasebagaimana halnya kepemilikan pada hibah kepada orang tertentu
yang dipilih dan barang-barang yang dibagi tersebut pun sah untuk
diperjualbelikan. Dasar hukum yang digunakan adalah hadis berikut ini:
Artinya: “Dari Umair bin Salamah Al-Dlumairi dari Zaid bin Ka’b AlBahzi ra. bahwa Rasulullah SAW keluar untuk pergi ke
Mekkah dalam keadaan ihram. Ketika sampai di Al-Rauha’,
tiba-tiba datang seekor Keledai liar buruan. Ia beritahukan hal
itu kepada Rasulullah SAW. Kemudian beliau bersabda,
“Biarkanlah Keledai itu, karena ia hampir menemui
pemiliknya.” Al-Bahzi, pemilik Keledai itu datang menemui
Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya berikan
Keledai ini kepada kalian.” Kemudian, beliau menyuruh Abu
Bakar membagikannya kepada para sahabatnya.” (HR. Imam
Malik dan Al-Nasa’i).126
b.
Ulama Mazhab Hanafiah berpendapat bahwa hibah dalam bentuk almusya hukumnya sah pada harta yang tidak dapat dibagi, seperti mobil
dan rumah yang kecil. Namun, tidak sah pada harta hibah yang dapat
dibagi, seperti rumah. Alasan pendapat ini adalah penguasaan barang (alqabdh) merupakan syarat sah dan sempurnanya hibah. Sementara
pembagian kepada orang banyak menghalangi bagian yang tercecer saja,
sehingga tidak dapat dibayangkan pula penguasaan harta tersebut. Oleh
karena itu, aka hibah semacam ini tidak sah. Argumentasi mazhab
Hanafiah dilandasi juga pada hadis yang diriwayatkan dari Ali ra. ia
berkata, “Siapa yang menghibahkan sepertiga atau seperempat (harta
126
Ibid.,hlm. 112.
Universitas Sumatera Utara
43
tertentu), maka hal ini tidak boleh selama harta tersebut tidak dapat
dibagi.” Ulama Mazhab Hanafiah membolehkan hibah dalam bentuk
almusya untuk harta yang tidak dapat dibagi karena alasan darurat.
c.
Abu Hanifah berpendapat bahwa tersebarnya kepemilikan bagi orang
banyak (syuyu’)
yang terjadi ketika pengambilan barang akan
menghalangi sahnya hibah. Namun, jika terjadi pada saat akad saja, maka
tidak mengakibatkan batal. Hibah seseorang kepada dua orang adalah
menyerahkan kepemilikan setengah harta hibah tersebut kepada masingmasing pihak. Oleh karena itu, kepemilikan bagi banyak orang (syuyu’)
terjadi pada akad yang sama dan inilah yang disebut dengan hibah dalam
bentuk al-musya.127
(3)Hibah dalam Bentuk Iwadh
Hibah dalam bentuk ini adalah memberikan kepada orang lain yang bertujuan
untuk mengharapkan imbalan atau pengganti atas sesuatu yang dihibahkan
kepadanya. Menurut ulama Mazhab Hanafiah, jika orang yang diberi memberi
hibah balasan dan ia menerimanya, maka pemberi hibah tidak boleh
mengambil kembali barang hibahnya. Hal ini berdasarkan hadis Nabi SAW
yang bersabda, “Orang yang memberi hibah paling berhak atas harta yang
dihibahkannya selama ia belum dibalas atas hibahnya tersebut.” Kata “belum
dibalas” dalam hadis ini bermakan belum diberi ganti rugi atas hibahnya.
Dipersyaratkan agar pemberian gantinya diserahkan dengan kalimat yang
127
Ibid.,hlm. 113-115.
Universitas Sumatera Utara
44
menunjukkan perbandingannya untuk hibah, karena jika tidak dikatakan
sebagai pengganti, maka barang yang diberikan merupakan hibah baru yang
memerlukanadanya akad sebagai bagian dari syarat sahnya hibah. 128
(4) Hibah Bersyarat
Hibah bersyarat adalah hibah yang dihubungkan dengan suatu persyaratan.
Misalnya, syarat pembatasan penggunaan barang oleh pihak penghibah
kepada penerima hibah, maka syarat yang disebutkan dalam hibah tersebut
tidak sah, meskipun hibahnya itu sendiri sah. 129
B. Hibah dalam Kompilasi Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah
Pengaturan tentang ketentuan hibah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)130
tidak diatur secara rinci, namun ada beberapa pasal yang menjelaskan tentang
persoalan hibah. Dalam aspek definitif, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 171: (g),
“hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari
seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.”131 Dari redaksi pasal
ini, dapat diartikan bahwa hibah merupakan pemberian suatu benda kepada orang lain
atas dasar kerelaan tanpa mengharapkan imbalan dari benda yang diberikan tersebut.
Orang lain dalam pasal ini dapat dimaknai lebih luas, bukan hanya ahli waris pemberi
hibah, tetapi juga dapat diberikan kepada selain ahli waris. Pemberian tersebut juga
128
Ibid.,hlm. 134-135.
Asymuni A. Rahman, dkk. Ilmu Fiqh, (Jakarta: Depag, 1986), hlm. 206.
130
Kompilasi Hukum Islam (KHI) ditetapkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun
129
1991.
131
Cik Hasan Basri, et.al.,Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem
Hukum Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 195.
Universitas Sumatera Utara
45
harus dilakukan semasa hidup, baik yang memberi hibah, maupun orang yang
menerima hibah tersebut.
Selain itu, Kompilasi Hukum Islam juga mengatur tentang hubungan hak di
antara suami isteri terhadap harta mereka dalam kaitannya dengan hibah.Dalam
sebuah perkawinan yang sah, setiap suami-isteri memiliki hak untuk menggunakan
atau memberikan harta yang dimiliki secara bersama untuk berbagai kepentingan
yang disepakati secara bersama-sama pula, termasuk perbuatan dalam bentuk
hibah.Ketentuan ini terdapat dalamBab XIII tentang Harta Kekayaan Dalam
Perkawinan, Pasal 87 ayat (2) yang menyebutkan, “Suami dan isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa
hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.”132
Sebuah hibah, menurut Kompilasi Hukum Islam, mensyaratkan pemberi hibah
telah berumur sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun.133 Dalam hubungan
dengan harta yang dihibahkan, Kompilasi Hukum Islam membatasi harta yang
dihibahkan sebanyak-banyaknya sepertiga (1/3) dari harta milik penghibah,
sebagaimana tersebut dalam Pasal 210, yaitu:
(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat
tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta
bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi
untuk dimiliki.
(2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.134
132
Ibid.,hlm. 168.
Pasal 210 ayat (1), Kompilasi Hukum Islam.
134
Cik Hasan Basri, et.al., Op.Cit., hlm. 206.
133
Universitas Sumatera Utara
46
Dari pasal tersebut di atas dijelaskan pula bahwa Kompilasi Hukum Islam
mensyaratkan adanya 2 (dua) orang saksi yang harus hadir pada saat
hibahdilaksanakan dan harta benda yang akan dihibahkan harus menjadi hak yang
semestinya dimiliki penghibah.
Selain Kompilasi Hukum Islam, dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES) juga disebutkan secara jelas yang terkait dengan pengaturan hibah.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ini ditetapkan berdasarkan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 02 tahun 2008 yang dijadikan pedoman bagi hakim pengadilan di
lingkungan Peradilan Agama yang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara
yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah.135
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) disebutkan secara jelas bahwa
hibah adalah “penyerahan kepemilikan suatu barang kepada orang lain tanpa imbalan
apapun.
136
Dalam aturan ini juga disebutkan definisi pemberi hibah atau penghibah,
penerima hibah dan barang yang dihibahkan. Seperti yang yang disebutkan berikut ini:
Pasal 668:
(10) Penghibah adalah orang yang memberikan barang
menghibahkan.
(11) Penerima hibah adalah orang yang menerima hibah.
(12) Mauhuub adalah barang yang dihibahkan.137
dengan
cara
Ketentuan lebih rinci tentang pengaturan hibah dalam Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES) terdapat dalam Bab IV. Keabsahan hibah sangat ditentukan
135
Ditjen Badilag, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Mahkamah Agung RI.,
2013), hlm. xxxii.
136
Pasal 668 ayat (9), Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Ibid.,hlm. 204.
137
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
47
oleh terpenuhinya rukun-rukun yang ada pada hibah,sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 685, yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
Wahib/pemberi
Mauhub lah/penerima
Mauhub bih/benda yang dihibahkan
Iqrar/pernyataan; dan
Qabd/penyerahan.138
Dalam pasal berikutnya dijelaskan tentang aspek keabsahan akad139,
kepemilikan atas barang yang dihibahkan dan bentuk-bentuk ijab yang dapat
dinyatakan dalam penyerahan hibah.Ijab atau pernyataan merupakan syarat utama
sebuah akad hibah yang dapat dilakukan dengan lisan, tulisan, maupun isyarat.Semua
bentuk ijab tersebut berisikan peralihan kepemilikan harta dari pemberi hibah kepada
penerima hibah dengan penuh kerelaan.Namun demikian, agar kepemilikan peralihan
harta hibah tersebut menjadi sempurna, maka harus dipastikan barang hibah diterima
oleh penerima hibah. Hal-hal tersebut terdapat dalam beberapa ayat dari pasal dalam
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, yaitu:
Pasal 686
(1) Suatu akad hibah dapat terjadi dengan adanya ijab/pernyataan.
(2) Kepemilikan menjadi sempurna setelah barang hibah diterima oleh
penerima hibah.
(3) Ijab dalam hibah dapat dinyatakan dengan kata-kata, tulisan, atau isyarat,
yang mengandung arti beralihnya kepemilikan harta secara cumacuma.140
138
Ibid.,hlm. 212.
Akad dalam bahasa Arab berarti al-rabth, yaitu ikatan atau mengikat. Maksudnya,
menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah-satu dari tali tersebut pada tali
yang lain sampai keduanya tersambung dan menjadi seutas tali yang satu. Ghufron A. Mas’adi, Fiqh
Muamalah Kontekstual, Cet I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.75.
140
Ditjen Badilag, Op.Cit., hlm. 213.
139
Universitas Sumatera Utara
48
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ini juga disebutkan tentang
pengaturan transaksi hibah, pengiriman dan penerimaan barang yang dihibahkan,
serta penjualan atau pemberian barang hibah kepada orang lain atau pihak ketiga.
Sebagaimana disebutkan padaPasal 687 bahwa “Transaksi hibah juga dapat terjadi
dengan suatu tindakan seperti seseorang penghibah memberikan sesuatu dan diterima
oleh penerima hibah.” Berikutnya, pada Pasal 688 dijelaskan bahwa pengiriman dan
penerimaan barang yang dihibahkan, termasuk juga shadaqah dapat disamakan
dengan pernyataan lisan dalam ijab dan kabul. Ini berarti bahwa barang yang hibah
yang dikirim kepada penerima hibah telah dianggap sah meskipun tidak diucapkan
secara lisan dalam ijab dan kabul antara pemberi hibah dan penerima hibah. Begitu
pula pada Pasal 689, yang menerangkan bahwa penerimaan barang yang dihibahkan
disamakan pula dengan transaksi jual beli pada umumnya.
Meskipun demikian, dalam penerimaan barang hibah, adanya izin dari
pemberi hibah harus menjadi syarat mutlak dalam transaksi barang hibah. Hal ini
sebagaimana disebutkan dalam pasal-pasal Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
berikut ini:
Pasal 690
Dalam penerimaan barang hibah, diharuskan ada izin dari penghibah baik
secara tegas ataupun samar dalam penerimaan barang.
Pasal 691
Penghibah dengan menyerahkan barang dianggap telah memberi izin kepada
penerima hibah untuk menerima barang yang diserahkan sebagai hibah,
dengan menyerahkan obyek hibah.
Universitas Sumatera Utara
49
Pasal 692
Apabila penghibah telah memberi izin dengan jelas untuk penerimaan barang
hibah, maka penerima berhak mengambil barang yang diberikan sebagai
hibah, baik di tempat pertemuan ke kedua belah pihak, atau setelah mereka
berpisah.Apabila izin itu hanya berupa isyarat atau tersamar, hal itu hanya
berlaku sepanjang mereka belum berpisah di tempat itu.141
Berdasarkan Pasal 690, 691 dan 692 di atas.dapat disimpulkan bahwa izin
pemberi hibah diharuskan pada saat penerimaan barang hibah, baik izin tersebut
secara tegas maupun sacara samar. Artinya, pada saat pemberi hibah menyerahkan
barang kepada penerima hibah, maka pemberi hibah dianggap telah memberikan izin
untuk mengambil barang hibah yang diberikan kepada penerima hibah, baik di tempat
pertemuan kedua pihak tersebut, maupun pada saat mereka berpisah.
Dalam kaitannya dengan penjualan atau pemberian barang hibah yang belum
diberikan pemberi hibah kepada pihak ketiga, diatur secara khusus dalam Pasal 693
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, yaitu ”Seorang pembeli boleh secara sah
memberikan suatu hibah kepada pihak ketiga, meskipun ia belum menerima
penyerahan barang itu dari penjual, dan ia meminta penerima hibah untuk
mengambilnya.” Dari redaksi pasal tersebut secara jelas membenarkan bahwa barang
hibah yang dibeli dan diberikan kepada pihak ketiga dapat dilakukan, meskipun
barang hibah tersebut belum diterima penjual dari penerima hibah atau penerima
hibah belum menyerahkan barang tersebut kepada penjual atau pembeli barang hibah
tersebut.
141
Ibid.,hlm. 213-214.
Universitas Sumatera Utara
50
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah juga membuat ketentuan tentang aspek
penerimaan dan penyerahan barang hibah yang telah ada sebelumnya pada penerima
hibah sebelum perjanjian hibah dilakukan. Sebagaimana tertera pada Pasal 694,
“Barangsiapa yang menghibahkan barang kepada seseorang yang barang tersebut
telah ada di tangan sipenerima hibah, maka penyerahan itu sudah lengkap, tidak
diperlukan penerimaan dan penyerahan kedua kalinya.” Pasal ini memberikan
kejelasan bahwa barang yang telah ada pada penerima hibah, tidak diperlukan lagi
transaksi penerimaan dan penyerahan barang hibah tersebut saat perjanjian hibah
dilakukan, karena barang yang telah dipegang atau berada pada penerima hibah
dianggap telah lengkap penyerahannya.
Sedangkan hubungan hibah dengan hutang dan pemberian harta hibah kepada
orang lain, dijelaskan tersendiri dalam dua pasal Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES) berikut ini:
Pasal 695
Hibah dapat terjadi dengan cara pembebasan utang dari orang yang memiliki
piutang terhadap orang yang berutang dengan syarat orang yang berutang
tidak menolak pembebasan utang tersebut.
Pasal 696
Hibah dapat terjadi dengan cara seseorang memberikan harta kepada orang
lain padahal harta tersebut merupakan hibah yang belum diterimanya dengan
syarat penerima hibah yang terakhir telah menerima hibah tersebut.142
Atas dasar kedua pasal tersebut di atas, dapat disarikan bahwa membebaskan
utang seseorang dengan cara hibah dibenarkan secara hukum Islam selama orang
142
Ibid.,hlm. 215-216.
Universitas Sumatera Utara
51
yang berutang tersebut mengakui adanya utang tersebut dan tidak menolak
pembebasan utang tersebut dari hibah yang langsung diberikan kepada orang yang
memiliki piutang. Harta hibah juga dapat diberikan seseorang kepada orang lain
secara langsung, meskipun harta tersebut belum diterima pemberi hibah, tetapi
penerima hibah yang terakhir telah menerima terlebih dahulu harta hibah tersebut.
Selain mengenai hutang dan keabsahan pemberian harta hibah kepada orang
lain, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) mengatur pula secara khusus
mengenai keabsahan transaksi hibah, sebagaimanadisebutkan dalam pasal-pasal
berikut ini:
Pasal 697
Transaksi hibah dinyatakan batal jika salah seorang dari penghibah atau
penerima hibah meninggal dunia sebelum penyerahan hibah dilaksanakan.
Pasal 702
Suatu hibah yang baru akan berlaku pada waktu yang akan datang, maka
transaksihibah itu tidak sah.
Pasal 703
Transaksi hibah adalah sah dengan syarat dan syarat tersebut mengikat
penerima hibah.143
Dari pasal-pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan beberapa hal yang
berhubungan dengan transaksi hibah yang dinyatakan batal atau tidak sah. Di
antaranya adalah:
1. Pemberi atau penerima hibah meninggal sebelum pelaksanaan penyerahan
hibah.
143
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
52
2. Hibah yang baru diserahkan tidak diberlakukan pada waktu setelah
penyerahan tersebut atau pengunduran waktu pemberlakukan.
3. Syarat-syarat hibah tidak mengikat penerima hibah.
Demi tercapainya keabsahan dan kesempurnaan transaksi hibah, maka akad
hibah menjadi suatu yang sangat penting untuk diperhatikan.Menurut Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah, akad hibah menjadi sah jika memenuhi beberapa
persyaratan, di antaranya:
1. Harta hibah ada saat akad hibah
2. Harta hibah merupakan milik penghibah
a.
Harta hibah pasti dan diketahui
b.
Pemberi hibah sehat akal dan dewasa
c.
Tidak ada paksaan
Keempat persyaratan tersebut terdapat dalam pasal 704-708 Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah berikut ini:
Pasal 704
Harta yang diberikan sebagai hibah disyaratkan harus sudah ada pada saat
akad hibah.
Pasal 705
1. Harta yang diberikan sebagai hibah disyaratkan harus berasal dari harta
penghibah.
2. Harta yang bukan milik penghibah jika dihibahkan dapat dianggap sah
apabila pemilik harta tersebut mengizinkannya meskipun izin tersebut
diberikan setelah harta tersebut diserahkan.
Pasal 706
Suatu harta yang dihibahkan harus pasti dan diketahui.
Universitas Sumatera Utara
53
Pasal 707
Seorang penghibah diharuskan sehat akalnya dan telah dewasa.
Pasal 708
Hibah yang terjadi karena ada paksaan batal.144
Ketentuan memakan barang hibah, diatur dalam Pasal 722 Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES), yaitu “Apabila seseorang mengizinkan orang lain untuk
memakan suatu makanan,maka orang yang diberi izin setelahmendapatkannya tidak
boleh bertindakseolah-olah barang itu miliknya; misalnyadengan cara menjualnya,
atau menghibahkanbarang itu untuk diberikankepada orang ketiga, tetapi ia
bolehmemakan makanan itu dan pemiliknyatidak dapat menuntut harga barang
yangtelah dimakannya.” Berdasarkan kandungan pasal ini, maka seseorang dapat
memberikan izin untuk memakan suatu makanan atau hasil dari barang hibah yang
telah diberikan kepada penerima hibah. Namun demikian, izin tersebut tidak dapat
diartikan sebagai kepemilikan barang hibah tersebut, termasuk tidak dapat diperjual
belikan kepada pihak lain atau diberikan kepada orang lain.
Hibah dalam bentuk hadiah yang diberikan pada kegiatan keagamaan atau
sosial dalam kehidupan masyarakat,memiliki aturan tersendiri dalam ketentuan
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.Dalam Pasal 723 disebutkan bahwa hadiah yang
diberikan pada acara selamatan khitanan atau pesta pernikahan merupakan milik
orang yang diniatkan oleh pemberi hadiah tersebut.Namun, apabila pihak keluarga
tidak mengetahui untuk siapa ditujukan hadiah tersebut atau pihak keluarga terjadi
perbedaan pendapat atas pemberian tersebut, maka diberikan kewenangan adat atau
144
Ibid.,hlm. 216-217.
Universitas Sumatera Utara
54
budaya setempat untuk menyelesaikan masalah hadiah yang diterima tersebut.Hal ini
sesuatu yang sering terjadi dalam budaya kegiatan keagamaan atau sosial di tengah
masyarakat yang mempunyai perbedaan dalam mengelola pemberian yang diberikan
pada saat kegiatan-kegiatan tersebut.Ketentuan tersebut, secara jelas disebutkan
dalam redaksi pasal 723, yaitu:
Hadiah yang diberikan pada saat selamatan khitanan atau pesta
pernikahanadalah milik orang-orang yangdiniatkan untuk diberi oleh si
pemilik itu.Apabila mereka tidak mampu mengetahuiuntuk siapa dan masalah
itu tidakdapat diselesaikan oleh mereka, makamasalah itu harus diselesaikan
denganberpegang kepada adat kebiasaansetempat.145
Di bagian akhir Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dijelaskan tentang hibah
orang yang sedang sakit keras. Ada beberapa pengelompokkan tentang hibah orang
yang sakit keras, di antaranya:
1. Pemberi hibah yang sakit keras dan tidak memiliki ahli waris
Hibah dianggap sah bagi pemberi hibah yang tidak memiliki ahli waris dan
menyerahkan hibah tersebut kepada orang lain ketika dalam keadaan sakit.
Badan baitul mal atau yang serupa dengannya tidak memiliki kewenangan
untuk mencampuri harta peninggalan dari penghibah tersebut
saat
meninggal.Hal ini dikarenakanbahwa harta yang dihibahkan tersebut telah
menjadi milik penerima hibah. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 724, yaitu:
Apabila seseorang yang tidak punya ahli waris menghibahkan seluruh
kekayaannya pada orang lain ketika sedang menderita sakit keras lalu
menyerahkan hibah itu, maka hibah tersebut adalah sah, dan bait al-mal (balai
145
Ibid.,hlm. 220.
Universitas Sumatera Utara
55
harta peninggalan) tidak mempunyai hak untuk campur tangan dengan barang
peninggalan tersebut setelah yang bersangkutan meninggal.146
2. Suami atau isteri yang sakit keras dan tidak memiliki ahli waris
Hibah dianggap sah bagi suami atau isteri yang menghibahkan harta yang
dimilikinya kepada suami atau isteri, meskipun di antara keduanya tidak
memiliki keturunan atau ahli waris dan menderita sakit.Saat di antara
keduanya meninggal dunia, maka baitul mal147 atau lembaga yang serupa
dengannya, tidak memiliki kewenangan untuk mencampuri harta peninggalan
dari salah seorang dari suami atau isteri tersebut.Ketentuan keabsahan ini
berdasarkan ketentuan Pasal 725 berikut ini:
Apabila seorang suami yang tidak memiliki keturunan atau ahli waris lainnya,
atau seorang isteri yang tidak mempunyai keturunan dari suaminya atau ahli
waris lainnya menghibahkan seluruh kekayaannya kepada isteri atau suami,
ketika salah seorang dari mereka sedang menderita sakit keras dan lalu
menyerahkannya, pemberian hibah itu adalah sah, dan bait al-mal tidak
mempunyai hak untuk campur tangan pada harta peninggalan dari salah
seorang dari mereka yang meninggal.148
3. Pemberi hibah yang sakit keras dan memiliki ahli waris
Hibah dianggap tidak sah bagi pemberi hibah yang menyerahkan harta hibah
kepada seorang ahli waris saat menderita sakit keras dan kemudian akibat
sakit menyebabkan pemebri hibah meninggal dunia.Namun demikian, hibah
146
Ibid.
Baitul Mal di Indonesia termasuk Badan Amal Zakat, Infak dan Sadaqah (BAZIS).Menurut
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Pasal 4 ayat (2) menyebutkan
bahwa Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk
lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana
sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.
148
Ditjen Badilag, Op.Cit., hlm. 220.
147
Universitas Sumatera Utara
56
dalam situasi ini dianggap sah manakala terdapat persetujuan dari ahli waris
lainnya, dengan ketentuan bahwa hibah tersebut tidak lebih dari sepertiga dari
seluruh harta peninggalan.Hal ini sesuai dengan Pasal 726 berikut ini:
Apabila seseorang memberi hibah kepada salah seorang ahli warisnya ketika
orang itu sedang menderita sakit keras, dan kemudian meninggal, hibah itu
tidak sah kecuali ada persetujuan dari ahli waris yang lain. Tetapi jika hibah
itu diberi dan diserahkan kepada orang lain yang bukan ahli warisnya dan
hibah itu tidak melebihi sepertiga harta peninggalannya, maka hibah itu
adalah sah. Tetapi bila hibah itu melebihi sepertiganya dan para ahli waris
tidak menyetujui hibah tersebut, hibah itu masih sah, untuk sepertiga dari
seluruh harta peninggalan dan orang yang diberi hibah harus mengembalikan
kelebihannya dari sepertiga harta itu.149
4. Pemberi hibah yang sakit keras dan berhutang
Hibah yang diberikan oleh pemberi hibah dalam keadaan sakit keras dan
memiliki hutang serta meninggal setelah pemberian hibah, maka barang hibah
tersebut dapat diabaikan dan dijadikan sebagai modal untuk pembayaran
hutang yang dimiliki pemberi hibah. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal
727 berikut ini:
Apabila seseorang yang harta peninggalannya habis untuk membayar utang,
dan orang tersebut waktu sakit keras menghibahkan hartanya kepada
ahliwarisnya atau kepada orang lain, lalu menyerahkannya dan kemudian
meninggal, maka kreditor berhak mengabaikan penghibahan tersebut, dan
memasukkan barang yang dihibahkan tadi untuk pembayaran utangnya.150
Berdasarkan penjelasan pasal-pasal yang disebutkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa hibah dalam sistem hukum Islam di Indonesia, secara rinci
149
150
Ibid.,hlm. 221.
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
57
pengaturannya terdapat dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), karena
hibah merupakan bagian dari hukum perekonomian Islam (muamalah). Sementara
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), hanya menyebutkan definisi tentang hibah,
pengaturan tentang hubungan hak di antara suami isteri terhadap harta mereka dalam
kaitannya dengan hibah, persyaratan usia pemberi hibah, batasan harta yang
dihibahkan serta persyaratan adanya dua orang saksi pada saat penyerahan hibah
dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
Download