29 BAB II PENGATURAN TENTANG HIBAH DALAM HUKUM ISLAM A. Hibah Dalam Fikih Islam 1. Definisi Hibah Hibah merupakan kata Arab yang berarti pemberian, yaitu “perlewatannya untuk melewatkannya dari tangan kepada yang lain.” Adapula pendapat yang menyebutkan bahwa al-hibah diambil dari katahaba,yang berarti bangun (istaiqazha), yaitu sesuai dengan kalimat, “terbangun dari tidurnya”. Al-hibah diartikan bangun(istiqazha),karena “prilaku hibah bangkit untuk berbuat kebaikan setelah ia lupa akan kebaikan.”100 Hibah juga secara bahasa berasal dari kata wahaba, yang berarti lewat dari satu tangan ke tangan yang lain atau dengan kata lain, kesadaran untuk melakukan kebaikan atau diambil dari kata hubu ar-rih (angin yang menghembus) atau ibra (membebaskan utang).101 Secara istilah, al-hibah diartikan sebagai“pemilikan yang sunnat ketika hidup.” Di samping itu, al-hibah juga berarti “pemilikan yang munjiz (selesai) dan mutlak pada suatu benda ketika hidup tanpa penggantian, meskipun dari yang lebih tinggi”.102 Menurut Jumhur Ulama, hibah adalah akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela.103 Dalam makna yang lain, hibah merupakan pemberian hak milik secara langsung dan mutlak 100 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 209. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 344. 102 Hendi Suhendi, Op.Cit.,hlm. 210. 103 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 82. 101 29 Universitas Sumatera Utara 30 terhadap suatu benda saat masih hidup tanpa ganti walaupun dari orang yg lebih tinggi. Sedangkan menurut pandangan Muhammad Daud Ali, hibah merupakan pengeluaran harta semasa hidup atau dasar kasih sayang, untuk kepentingan seseorang maupun untuk kepentingan suatu badan sosial keagamaan dan ilmiah, serta kepada seseorang yang berhak menjadi ahli warisnya. Inti dari hibah adalah pemberian, yaitu pemberian suatu benda semasa hidup seseorang tanpa mengharapkan balasan.104 Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa hibah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain dengan penuh kerelaan dan tanpa pamrih dan dilakukan semasa hidupnya. Dasar hukumpensyariatan hibah terdapat dalam Alquran dan hadis Nabi SAW. Sumber Alquran di antaranya: Artinya: “ Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhannya. Dia berkata, “Ya Tuhanku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.” (QS. Ali Imran:38)105 Ayat tersebut memberikan pemahaman tentang bentuk hibah yang berarti memberi dengan obyek seorang anak. Dasar hukum lainnya adalah: Artinya: “…Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan 104 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1988), hlm. 24-25. 105 Lajnah Pentashih Mushaf Alquran, Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an dan Terjemah, edisi tahun 2002, (Jakarta: Penerbit Al-Huda, 2005), hlm. 56. Universitas Sumatera Utara 31 (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, Penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177)106 Di samping itu, dasar hukum hibah juga terdapatdalam hadits: Artinya: “Dari Abi Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “saling memberi hadiahlah engkau sekalian, agar kalian saling mencintai” (HR. Bukhari).107 Ayat-ayat Alquran maupunHadis lainnya juga banyak yang menganjurkan penganutnya untuk berbuat baik dengan cara tolong-menolong. Salah satu bentuk tolong-menolong tersebut adalah memberikan harta kepada orang lain yang benarbenar membutuhkannya.108 Sebagaimana firman Allah SWT, “...dan tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa ...” (QS. Al-Maidah: 2). Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Abu Dawud dari Asiyah r.a. berkata, “Pernah Nabi SAW menerima hadiah dan balasannya hadiah tersebut.”Hadis mengandung makna bahwa pemberian berupa hadiah tidaklah boleh ditolak. Begitu pula hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Tirmidzi dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, 106 107 Ibid., hlm. 28. TM Hasbi As-Shiddieqy, Koleksi Hadits-hadits Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hlm. 186. 108 Hendi Suhendi, Op.Cit.,hlm. 212. Universitas Sumatera Utara 32 Artinya: “Kalau aku diundang untuk menyantap kaki kambing depan dan belakang, niscaya aku penuhi dan kalau dihadiahkan kepadaku kaki kambing depan dan kaki kambing belakang, niscaya aku menerimanya.”109 2. Rukun dan Syarat-Syarat Hibah Ada beberapa rukun hibah yang harus terpenuhi, agar pemberian menjadi sah, di antaranya: (1) Pemberi hibah, yaitu pemilik sah barang yang dihibahkan dan pada waktu pemberian itu dilakukan, berada dalam keadaan sehat, baik jasmani maupun rohaninya. (2) Penerima hibah, yaitu setiap orang, baik perorangan maupun badan hukum. (3) Perbuatan menghibahkan itu diiringi dengan ijab kabul, yaitu serah terima antara pemberi dan penerima hibah. (4) Benda yang dihibahkan dapat terdiri dari segala macam barang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Bahkan manfaat atau hasil sesuatu barang dapat dihibahkan.110 Barang yang dihibahkan (mauhub), menurut Mazhab Syafi’iah terdapat kaidah, “Sesuatu yang boleh diperjual belikan, boleh pula untuk dihibahkan.” Atas dasar kaidah ini, maka syarat-syaratbarang yang dhibahkan di antaranya: (1) Barang hibah ada pada saat transaksi. 109 110 Ibid. Muhammad Daud Ali, Op.Cit.,hlm. 24-25. Universitas Sumatera Utara 33 (2) Barang yang dihibahkan harus harta yang halal (mutaqawwamin). (3) Barang yang dihibahkan harus milik orang yang menghibahkannya. (4) Barang yang dihibahkan hendaknya barang mandiri, tidak terkait atau tidak dipergunakan bersama dengan harta lain yang tidak dihibahkan.111 Di samping itu, akad dalam hibah merupakan hal terpenting yang harus dipahami. Berdasarkan Hukum Islam, akad yang berisikan tiga hal penting, di antaranya: (1) Akad merupakan keterkaitan antara ijab dan kabul yang berakibat pada timbulnya akibat hukum. (2) Akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad adalah pertemuan ijab yang merepresentasikan kehendak dari satu pihak dan kabul yang menyatakan kehendak pihak lain. (3) Akad bertujuan untuk melahirkan akibat hukum atau hukum akad (hukm al‘aqd).112 Dalam kaitannya dengan rukun hibah ini. Pertama, pihak penghibah disyarakatkan tiga hal, di antaranya: (1) Penghibah haruslah sebagai pemilik sempurna atas benda atau materi yang dihibakan. 111 Musthafa Dib al-Bugha, Fiqh Al-Mu’awadhah/Buku Pintar Transaksi Syariah: Menjalin Kerja Sama Bisnis dan Menyelesaikan Sengketanya Berdasarkan Panduan Islam (terjemahan), (Jakarta: Penerbit Hikmah, 2010), hlm. 208. 112 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, (Jakarta: PT RajaGrapindo Persada, 2007), hlm. 68-69. Universitas Sumatera Utara 34 (2) Penghibah haruslah seorang yang cakap dan sempurna, yaitu baligh dan berakal. (3) Penghibah hendaknya melakukan perbuatan atas dasar kemauan sendiri dengan penuh kerelaan dan tidak dalam keadaan terpaksa.113 Kedua, pihak penerima hibah juga disyaratkan sudah wujud, dalam arti yang sesungguhnya ketika akad hibah dilaksanakan.Ketiga, objek yang dijadikan hibah. Keenam, ijab dan qabul antara pemberi dan penerima hibah. Dalam hubungannya dengan objek yang dijadikan hibah, haruslah memenuhi beberapa persyaratan, di antaranya: (1) Benda yang dihibahkan harus milik sempurna dari penghibah. (2) Benda yg dihibahkan telah ada dalam arti sesungguhnya saat pelaksanaan akad dilakukan. (3) Objek yang dihibahkan merupakan sesuatu yang dibolehkan untuk dimiliki oleh agama. (4) Harta yang dihibahkan harus telah terpisah secara jelas dari harta penghibah.114 Objek hibah merupakan hal terpenting yang harus diperjelas dalm sebuah transaksi hibah, karena Hukum Islam sangat menekankan kejelasan dari objek akad dalam sebuah perjanjian, termasuk perjanjian hibah. Para ahli Hukum Islam mensyaratkan beberapa syarat pada obyek akad, di antaranya 113 114 Mardani, Op.Cit.,hlm. 343. Ibid.,hlm. 344. Universitas Sumatera Utara 35 (1) Obyek akad dapat diserahkan atau dapat dilaksanakan. Sebuah objek akad disyaratkan harus dapat diserahkan jika obyek tersebut berupa barang, seperti dalam akad jual beli, akad penyerahan barang hibah. Termasuk pula dapat dinikmati atau diambil manfaatnya, jika obyek berasal dari manfaat benda, seperti dalam sewa menyewa benda (ijārah al- manāfi’).Hal ini sesuai dengan hadis berikut ini: Artinya: “Dari Hakim Ibn Hizam ia berkata: aku bertanya kepada Nabi SAW, Wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku untuk memintaku menjual suatu yang tidak ada padaku. Kemudian aku menjual kepadanya, dan aku membelinya dipasar untuk aku serahkan kepadanya. Beliau menjawab: jangan engkau menjual barang yang tidak ada padamu ”. (HR. an-Nasa’i) (2) Obyek akad harus tertentu atau dapat ditentukan Sebuah objek akad disyaratkan harus tertentu dan dapat ditentukan, Hal ini sesuai dengan pelarangan Rasulullah SAW dalam jual beli kerikil dengan cara melempar batu kerikil tersebut pada objek jual beli. (3) Obyek akad dapat ditransaksikan menurut syara’ Suatu obyek dapat ditransaksikan menurut Hukum Islam, jikamemenuhi beberapa kriteria. Pertama,tujuan obyek tersebut tidak bertentangan dengan transaksi. Kedua, sifat atau hakikat dari obyek itu tidak bertentangan dengan transaksi. Ketiga, obyek akad tidak bertentangan dengan ketertiban umum.115 Menurut Muhammad Daud Ali, di antara syarat-syarat hibah selain rukunrukun hibah yang harus dipenuhi adalah: 115 Syamsul Anwar, Op.Cit.,hlm. 205-209. Universitas Sumatera Utara 36 (1) Pemberi hibah haruslah orang yang telah dewasa dan cakap melakukan tindakan hukum serta memiliki barang yang dihibahkan. Pada dasarnya, pemberi hibah adalah setiap yang cakap melakukan perbuatan hukum. Dalam perkembangannya saat ini, tidak hanya orang, tetapi juga badan hukum, bahkan negara dapat menjadi pemberi hibah (grant) kepada negara lain. (2) Barang yang dihibahkan harus mempunyai nilai yang jelas, tidak terikat dengan harta pemberi hibah. (3) Penerima hibah adalah orang yang cakap melakukan perbuatan hukum. Jika ia masih di bawah umur, makadiwakili oleh walinya atau seseorang yang diwasiatkan untuk menerimanya. (4) Ijab qabul atau serah terima antara pemberi dan penerima. (5) Hibah tidak dapat dibatalkan, kecuali hibah yang dilakukan oleh seorang ayah kepada anaknya, selama barang yang dihibahkan tersebut belum dikuasai oleh pihak ketiga. (6) Hibah merupakan pemberian yanng tidak ada kaitannya dengan kewarisan, kecuali jika ternyata hibah tersebut akan mempengaruhi kepentingan dan hakhak ahli waris. Dalam hal demikian, perlu ada batas maksimal hibah, tidak melebihi sepertiga harta seseorang, selaras dengan batas wasiat yang tidak boleh melebihi sepertiga harta peninggalan. (7) Hibah dapat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat.116 116 Muhammad Daud Ali, Op.Cit., hlm. 25. Universitas Sumatera Utara 37 Namun demikian, untuk kepastian hukum, sebaiknya pelaksanaannya dilakukan secara tertulis sesuai dengan anjuran Alquran: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menulisnya dengan adil. Dan janganlah penulis enggan menulisnya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika bukan dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar, sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguan kamu. Tetapi jika ia merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi memudharatkan yang bermuamalah (dan jangan juga yang bermuamalah memudharatkan para saksi dan penulis). Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada diri kamu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”(QS. Al-Baqarah: 282)117 Begitu pula dalam ayat lain disebutkan: Artinya:“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan 117 Lajnah Pentashih Mushaf Alquran, Departemen Agama RI, Op.Cit., hlm. 49. Universitas Sumatera Utara 38 tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-Baqarah:283)118 Hibah mencakup hadiah dan sedekah. Hal ini ini dikarenakan keduanya menyerahkan kepemilikan barang tanpa ada pengganti semasa hidup sebagai sunah, sekalipun dalam ketiga istilah ini terdapat perbedaan dari segi makna dan hukum. Perbedaan mendasar dari ketiga istilah tersebut adalah: (1) Hibah berdasarkan pengertian sebelumnya bersifat umum, baik dari orang kaya kepada orang fakir maupun sebaliknya. Tujuan hibah adalah untuk memperoleh pahala di akhirat ataupun tidak dan barang yang dihibahkan tersebut berpindah kepada orang lain yang menerima hibah atau tidak. (2) Sedekah, secara lahiriah yaitu memberikan sesuatu kepada orang yang membutuhkan untuk mendekatkan diri kepada Allah agar memperoleh pahala di akhirat kelak. (3) Hadiah, secara lahiriah yaitu memberikan sesuatu kepada seseorang karena rasa cinta atau kedekatan dan galibnya barangnya yang dihadiahkan berpindah ke tempat penerima barang.119 Perbedaan mendasar antara sedekah dan hadiah terdapat dalam sabda Nabi SAW ketika beliau meminta daging yang telah dimasak, kemudian dikatakan 118 119 Ibid.,hlm. 50. Musthafa Dib al-Bugha, Op.Cit., hlm. 94-95. Universitas Sumatera Utara 39 kepadanya, “Daging tersebut merupakan sedekah kepada Burairah.” Nabi bersabda, “Baginya daging itu adalah sedekah, sedangkan bagi kami adalah bhagia” (HR. Bukhari dan Muslim).Ini berarti bahwa adanya perbedaan maksud pada pemberian daging tersebut, sehingga nama dan hukumnya juga berbeda. Dalam pemahaman hadis ini, Rasulullah SAW menerima hadiah dan memakannya, tetapi beliau tidak memakan harta sedekah.120 Selain dari hadis di atas, Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Nabi SAW ketika diberi makanan, ia bertanya bertanya tentang makanan itu. Jika dikatakan itu adalah hadiah, belau memakannya. Namun demikian, jika dikatakan bahwa itu adalah sedekah, beliau tidak memakannya (HR. Bukhari dan Muslim).121 Perbedaan lainnya, dalam hibah mengharuskan adanya ijab kabul. Sementara dalam sedekah dan hadiah tidak mengharuskan adanya ijab kabul. Dalam hal sedekah, Rasulullah SAW dan para sahabatnya sering bersedekah, tetapi tidak diketahui atau tidak diriwayatkan terjadi ijab kabul antara orang yang bersedekah dan orang yang menerima sedekah. Begitu pula pada hadiah, diriwayatkan bahwa para sahabat Nabi SAW memilih hadiah-hadiah mereka di hadapan Aisyah r.a. ketika Rasulullah SAW masih hidup, namun tidak diriwayatkan terjadi ijab kabul di antara para sahabat dan Aisyah r.a. atau di antara para sahabat dengan Nabi SAW.122 120 Ibid., hlm. 95. Ibid. 122 Ibid. 121 Universitas Sumatera Utara 40 3. Bentuk-bentuk Hibah Dalam hukum Islam, terdapat beberapa bentuk hibah yang memiliki aturan hukumnya, di antaranya: (1) Hibah dalam bentuk ‘umra dan ruqbah ‘Umra secara bahasa berarti umur dan ruqbah artinya mengintai. Pemberian hibah dengan ‘umra dan ruqbah merupakan perbuatan orang-orang Arab sejak zaman jahiliyah dan kemudian ditetapkan keberlakuannya dalam Islam. Hibah dalam bentuk ini dilakukan dengan menyebutkan masa usia kehidupan seseorang atau kematiannya saat memberikan barang hibahnya. Misalnya, pemberi hibah menyatakan kepada penerima hibah bahwa benda yang dihibahkan selama hidup penerima hibah atau menyebutkan bahwa barang yang dihibahkan baru akan diberikan saat pemberi hibah meninggal. Kedua akad tersebut merupakan benrik pemberian hibah dengan cara ‘umra. Menurut sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Jabir r.a. berkata bahwa “Nabi SAW telah menghukum dengan ‘umra, bahwa sesungguhnya ‘umra adalah milik orang yang diberinya.”123 Sedangkan hibah dalam bentuk ruqbah adalah pemberi hibah menyatakan dan penerima hibah sama-sama mengintai kematian. Saat seseorang berkata, “Jika engkau mati sebelumku, pemberian itu tetap kembalikan kepadamu”. Syarat ini batal ka rena pemberian tetap menjadi milik orang yang diberi. Bila yang diberi meninggal dunia, maka benda-benda itu menjadi milik para ahli warisnya. Pemberian semacam ini dinamakan pemberian secara ruqbah, karena masing-masing mengintai kematian yang lain Sesungguhnya ‘umra 123 Hendi Suhendi, Op.Cit., hlm. 215. Universitas Sumatera Utara 41 yang dibolehkan oleh Rasulullah SAW ialah bahwa seseorang berkata, “Barang ini pemberian bagi engkau dan bagi ahli waris engkau”. Apabila ada yang berkata, “Pemberian itu bagi engkau selama engkau hidup’, maka pemberian itu kembali kepada yang memiliki.” (HR. Muslim dari Jabir r.a.). Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Nasai dari Jabir, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu mengatakan ruqbah dan jangan pula mengatakan ‘umra, maka sesuatu yang diruqbahkan atau di’umrakan itu untuk ahli warisnya.”124 (2) Hibah dalam Bentuk Al-Musya atau Dibagi-bagi Hibah dalam bentuk ini adalah hibah yang terjadi saat seseorang memiliki bagian harta yang tidak pasti, baik ukuran maupun jumlahnya, kemudian menghibahkannya kepada orang lain atau orang tersebut memiliki sesuatu yang kemudian menghibahkannya kepada dua orang atau lebih. 125 Keabsahan hibah dalam bentuk al-Musya, terdapat beberapa pendapat di antara para ulama, di antaranya: a. Menurut ulama Mazhab Syafi’i, hibah semacam ini sah dan dibolehkan, karena sahnya transaksi jual-belial-musya berdasarkan ijma’ para ulama bahwa penguasaan barang hibah terjadi jika penerima hibah menerima barang hibah tersebut, meskipun menghibahkan satu barang kepada banyak orang. Di samping itu, tujuan hibah adalah penyerahan 124 125 Ibid.,hlm. 216. Musthafa Dib al-Bugha, Op.Cit.,hlm. 111. Universitas Sumatera Utara 42 kepemilikan dan kepemilikan dapat terwujud dalam hibah al- musyasebagaimana halnya kepemilikan pada hibah kepada orang tertentu yang dipilih dan barang-barang yang dibagi tersebut pun sah untuk diperjualbelikan. Dasar hukum yang digunakan adalah hadis berikut ini: Artinya: “Dari Umair bin Salamah Al-Dlumairi dari Zaid bin Ka’b AlBahzi ra. bahwa Rasulullah SAW keluar untuk pergi ke Mekkah dalam keadaan ihram. Ketika sampai di Al-Rauha’, tiba-tiba datang seekor Keledai liar buruan. Ia beritahukan hal itu kepada Rasulullah SAW. Kemudian beliau bersabda, “Biarkanlah Keledai itu, karena ia hampir menemui pemiliknya.” Al-Bahzi, pemilik Keledai itu datang menemui Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya berikan Keledai ini kepada kalian.” Kemudian, beliau menyuruh Abu Bakar membagikannya kepada para sahabatnya.” (HR. Imam Malik dan Al-Nasa’i).126 b. Ulama Mazhab Hanafiah berpendapat bahwa hibah dalam bentuk almusya hukumnya sah pada harta yang tidak dapat dibagi, seperti mobil dan rumah yang kecil. Namun, tidak sah pada harta hibah yang dapat dibagi, seperti rumah. Alasan pendapat ini adalah penguasaan barang (alqabdh) merupakan syarat sah dan sempurnanya hibah. Sementara pembagian kepada orang banyak menghalangi bagian yang tercecer saja, sehingga tidak dapat dibayangkan pula penguasaan harta tersebut. Oleh karena itu, aka hibah semacam ini tidak sah. Argumentasi mazhab Hanafiah dilandasi juga pada hadis yang diriwayatkan dari Ali ra. ia berkata, “Siapa yang menghibahkan sepertiga atau seperempat (harta 126 Ibid.,hlm. 112. Universitas Sumatera Utara 43 tertentu), maka hal ini tidak boleh selama harta tersebut tidak dapat dibagi.” Ulama Mazhab Hanafiah membolehkan hibah dalam bentuk almusya untuk harta yang tidak dapat dibagi karena alasan darurat. c. Abu Hanifah berpendapat bahwa tersebarnya kepemilikan bagi orang banyak (syuyu’) yang terjadi ketika pengambilan barang akan menghalangi sahnya hibah. Namun, jika terjadi pada saat akad saja, maka tidak mengakibatkan batal. Hibah seseorang kepada dua orang adalah menyerahkan kepemilikan setengah harta hibah tersebut kepada masingmasing pihak. Oleh karena itu, kepemilikan bagi banyak orang (syuyu’) terjadi pada akad yang sama dan inilah yang disebut dengan hibah dalam bentuk al-musya.127 (3)Hibah dalam Bentuk Iwadh Hibah dalam bentuk ini adalah memberikan kepada orang lain yang bertujuan untuk mengharapkan imbalan atau pengganti atas sesuatu yang dihibahkan kepadanya. Menurut ulama Mazhab Hanafiah, jika orang yang diberi memberi hibah balasan dan ia menerimanya, maka pemberi hibah tidak boleh mengambil kembali barang hibahnya. Hal ini berdasarkan hadis Nabi SAW yang bersabda, “Orang yang memberi hibah paling berhak atas harta yang dihibahkannya selama ia belum dibalas atas hibahnya tersebut.” Kata “belum dibalas” dalam hadis ini bermakan belum diberi ganti rugi atas hibahnya. Dipersyaratkan agar pemberian gantinya diserahkan dengan kalimat yang 127 Ibid.,hlm. 113-115. Universitas Sumatera Utara 44 menunjukkan perbandingannya untuk hibah, karena jika tidak dikatakan sebagai pengganti, maka barang yang diberikan merupakan hibah baru yang memerlukanadanya akad sebagai bagian dari syarat sahnya hibah. 128 (4) Hibah Bersyarat Hibah bersyarat adalah hibah yang dihubungkan dengan suatu persyaratan. Misalnya, syarat pembatasan penggunaan barang oleh pihak penghibah kepada penerima hibah, maka syarat yang disebutkan dalam hibah tersebut tidak sah, meskipun hibahnya itu sendiri sah. 129 B. Hibah dalam Kompilasi Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pengaturan tentang ketentuan hibah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)130 tidak diatur secara rinci, namun ada beberapa pasal yang menjelaskan tentang persoalan hibah. Dalam aspek definitif, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 171: (g), “hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.”131 Dari redaksi pasal ini, dapat diartikan bahwa hibah merupakan pemberian suatu benda kepada orang lain atas dasar kerelaan tanpa mengharapkan imbalan dari benda yang diberikan tersebut. Orang lain dalam pasal ini dapat dimaknai lebih luas, bukan hanya ahli waris pemberi hibah, tetapi juga dapat diberikan kepada selain ahli waris. Pemberian tersebut juga 128 Ibid.,hlm. 134-135. Asymuni A. Rahman, dkk. Ilmu Fiqh, (Jakarta: Depag, 1986), hlm. 206. 130 Kompilasi Hukum Islam (KHI) ditetapkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 129 1991. 131 Cik Hasan Basri, et.al.,Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 195. Universitas Sumatera Utara 45 harus dilakukan semasa hidup, baik yang memberi hibah, maupun orang yang menerima hibah tersebut. Selain itu, Kompilasi Hukum Islam juga mengatur tentang hubungan hak di antara suami isteri terhadap harta mereka dalam kaitannya dengan hibah.Dalam sebuah perkawinan yang sah, setiap suami-isteri memiliki hak untuk menggunakan atau memberikan harta yang dimiliki secara bersama untuk berbagai kepentingan yang disepakati secara bersama-sama pula, termasuk perbuatan dalam bentuk hibah.Ketentuan ini terdapat dalamBab XIII tentang Harta Kekayaan Dalam Perkawinan, Pasal 87 ayat (2) yang menyebutkan, “Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.”132 Sebuah hibah, menurut Kompilasi Hukum Islam, mensyaratkan pemberi hibah telah berumur sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun.133 Dalam hubungan dengan harta yang dihibahkan, Kompilasi Hukum Islam membatasi harta yang dihibahkan sebanyak-banyaknya sepertiga (1/3) dari harta milik penghibah, sebagaimana tersebut dalam Pasal 210, yaitu: (1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki. (2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.134 132 Ibid.,hlm. 168. Pasal 210 ayat (1), Kompilasi Hukum Islam. 134 Cik Hasan Basri, et.al., Op.Cit., hlm. 206. 133 Universitas Sumatera Utara 46 Dari pasal tersebut di atas dijelaskan pula bahwa Kompilasi Hukum Islam mensyaratkan adanya 2 (dua) orang saksi yang harus hadir pada saat hibahdilaksanakan dan harta benda yang akan dihibahkan harus menjadi hak yang semestinya dimiliki penghibah. Selain Kompilasi Hukum Islam, dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) juga disebutkan secara jelas yang terkait dengan pengaturan hibah. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ini ditetapkan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 tahun 2008 yang dijadikan pedoman bagi hakim pengadilan di lingkungan Peradilan Agama yang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah.135 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) disebutkan secara jelas bahwa hibah adalah “penyerahan kepemilikan suatu barang kepada orang lain tanpa imbalan apapun. 136 Dalam aturan ini juga disebutkan definisi pemberi hibah atau penghibah, penerima hibah dan barang yang dihibahkan. Seperti yang yang disebutkan berikut ini: Pasal 668: (10) Penghibah adalah orang yang memberikan barang menghibahkan. (11) Penerima hibah adalah orang yang menerima hibah. (12) Mauhuub adalah barang yang dihibahkan.137 dengan cara Ketentuan lebih rinci tentang pengaturan hibah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) terdapat dalam Bab IV. Keabsahan hibah sangat ditentukan 135 Ditjen Badilag, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Mahkamah Agung RI., 2013), hlm. xxxii. 136 Pasal 668 ayat (9), Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Ibid.,hlm. 204. 137 Ibid. Universitas Sumatera Utara 47 oleh terpenuhinya rukun-rukun yang ada pada hibah,sebagaimana disebutkan dalam Pasal 685, yaitu: a. b. c. d. e. Wahib/pemberi Mauhub lah/penerima Mauhub bih/benda yang dihibahkan Iqrar/pernyataan; dan Qabd/penyerahan.138 Dalam pasal berikutnya dijelaskan tentang aspek keabsahan akad139, kepemilikan atas barang yang dihibahkan dan bentuk-bentuk ijab yang dapat dinyatakan dalam penyerahan hibah.Ijab atau pernyataan merupakan syarat utama sebuah akad hibah yang dapat dilakukan dengan lisan, tulisan, maupun isyarat.Semua bentuk ijab tersebut berisikan peralihan kepemilikan harta dari pemberi hibah kepada penerima hibah dengan penuh kerelaan.Namun demikian, agar kepemilikan peralihan harta hibah tersebut menjadi sempurna, maka harus dipastikan barang hibah diterima oleh penerima hibah. Hal-hal tersebut terdapat dalam beberapa ayat dari pasal dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, yaitu: Pasal 686 (1) Suatu akad hibah dapat terjadi dengan adanya ijab/pernyataan. (2) Kepemilikan menjadi sempurna setelah barang hibah diterima oleh penerima hibah. (3) Ijab dalam hibah dapat dinyatakan dengan kata-kata, tulisan, atau isyarat, yang mengandung arti beralihnya kepemilikan harta secara cumacuma.140 138 Ibid.,hlm. 212. Akad dalam bahasa Arab berarti al-rabth, yaitu ikatan atau mengikat. Maksudnya, menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah-satu dari tali tersebut pada tali yang lain sampai keduanya tersambung dan menjadi seutas tali yang satu. Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Cet I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.75. 140 Ditjen Badilag, Op.Cit., hlm. 213. 139 Universitas Sumatera Utara 48 Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ini juga disebutkan tentang pengaturan transaksi hibah, pengiriman dan penerimaan barang yang dihibahkan, serta penjualan atau pemberian barang hibah kepada orang lain atau pihak ketiga. Sebagaimana disebutkan padaPasal 687 bahwa “Transaksi hibah juga dapat terjadi dengan suatu tindakan seperti seseorang penghibah memberikan sesuatu dan diterima oleh penerima hibah.” Berikutnya, pada Pasal 688 dijelaskan bahwa pengiriman dan penerimaan barang yang dihibahkan, termasuk juga shadaqah dapat disamakan dengan pernyataan lisan dalam ijab dan kabul. Ini berarti bahwa barang yang hibah yang dikirim kepada penerima hibah telah dianggap sah meskipun tidak diucapkan secara lisan dalam ijab dan kabul antara pemberi hibah dan penerima hibah. Begitu pula pada Pasal 689, yang menerangkan bahwa penerimaan barang yang dihibahkan disamakan pula dengan transaksi jual beli pada umumnya. Meskipun demikian, dalam penerimaan barang hibah, adanya izin dari pemberi hibah harus menjadi syarat mutlak dalam transaksi barang hibah. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam pasal-pasal Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah berikut ini: Pasal 690 Dalam penerimaan barang hibah, diharuskan ada izin dari penghibah baik secara tegas ataupun samar dalam penerimaan barang. Pasal 691 Penghibah dengan menyerahkan barang dianggap telah memberi izin kepada penerima hibah untuk menerima barang yang diserahkan sebagai hibah, dengan menyerahkan obyek hibah. Universitas Sumatera Utara 49 Pasal 692 Apabila penghibah telah memberi izin dengan jelas untuk penerimaan barang hibah, maka penerima berhak mengambil barang yang diberikan sebagai hibah, baik di tempat pertemuan ke kedua belah pihak, atau setelah mereka berpisah.Apabila izin itu hanya berupa isyarat atau tersamar, hal itu hanya berlaku sepanjang mereka belum berpisah di tempat itu.141 Berdasarkan Pasal 690, 691 dan 692 di atas.dapat disimpulkan bahwa izin pemberi hibah diharuskan pada saat penerimaan barang hibah, baik izin tersebut secara tegas maupun sacara samar. Artinya, pada saat pemberi hibah menyerahkan barang kepada penerima hibah, maka pemberi hibah dianggap telah memberikan izin untuk mengambil barang hibah yang diberikan kepada penerima hibah, baik di tempat pertemuan kedua pihak tersebut, maupun pada saat mereka berpisah. Dalam kaitannya dengan penjualan atau pemberian barang hibah yang belum diberikan pemberi hibah kepada pihak ketiga, diatur secara khusus dalam Pasal 693 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, yaitu ”Seorang pembeli boleh secara sah memberikan suatu hibah kepada pihak ketiga, meskipun ia belum menerima penyerahan barang itu dari penjual, dan ia meminta penerima hibah untuk mengambilnya.” Dari redaksi pasal tersebut secara jelas membenarkan bahwa barang hibah yang dibeli dan diberikan kepada pihak ketiga dapat dilakukan, meskipun barang hibah tersebut belum diterima penjual dari penerima hibah atau penerima hibah belum menyerahkan barang tersebut kepada penjual atau pembeli barang hibah tersebut. 141 Ibid.,hlm. 213-214. Universitas Sumatera Utara 50 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah juga membuat ketentuan tentang aspek penerimaan dan penyerahan barang hibah yang telah ada sebelumnya pada penerima hibah sebelum perjanjian hibah dilakukan. Sebagaimana tertera pada Pasal 694, “Barangsiapa yang menghibahkan barang kepada seseorang yang barang tersebut telah ada di tangan sipenerima hibah, maka penyerahan itu sudah lengkap, tidak diperlukan penerimaan dan penyerahan kedua kalinya.” Pasal ini memberikan kejelasan bahwa barang yang telah ada pada penerima hibah, tidak diperlukan lagi transaksi penerimaan dan penyerahan barang hibah tersebut saat perjanjian hibah dilakukan, karena barang yang telah dipegang atau berada pada penerima hibah dianggap telah lengkap penyerahannya. Sedangkan hubungan hibah dengan hutang dan pemberian harta hibah kepada orang lain, dijelaskan tersendiri dalam dua pasal Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) berikut ini: Pasal 695 Hibah dapat terjadi dengan cara pembebasan utang dari orang yang memiliki piutang terhadap orang yang berutang dengan syarat orang yang berutang tidak menolak pembebasan utang tersebut. Pasal 696 Hibah dapat terjadi dengan cara seseorang memberikan harta kepada orang lain padahal harta tersebut merupakan hibah yang belum diterimanya dengan syarat penerima hibah yang terakhir telah menerima hibah tersebut.142 Atas dasar kedua pasal tersebut di atas, dapat disarikan bahwa membebaskan utang seseorang dengan cara hibah dibenarkan secara hukum Islam selama orang 142 Ibid.,hlm. 215-216. Universitas Sumatera Utara 51 yang berutang tersebut mengakui adanya utang tersebut dan tidak menolak pembebasan utang tersebut dari hibah yang langsung diberikan kepada orang yang memiliki piutang. Harta hibah juga dapat diberikan seseorang kepada orang lain secara langsung, meskipun harta tersebut belum diterima pemberi hibah, tetapi penerima hibah yang terakhir telah menerima terlebih dahulu harta hibah tersebut. Selain mengenai hutang dan keabsahan pemberian harta hibah kepada orang lain, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) mengatur pula secara khusus mengenai keabsahan transaksi hibah, sebagaimanadisebutkan dalam pasal-pasal berikut ini: Pasal 697 Transaksi hibah dinyatakan batal jika salah seorang dari penghibah atau penerima hibah meninggal dunia sebelum penyerahan hibah dilaksanakan. Pasal 702 Suatu hibah yang baru akan berlaku pada waktu yang akan datang, maka transaksihibah itu tidak sah. Pasal 703 Transaksi hibah adalah sah dengan syarat dan syarat tersebut mengikat penerima hibah.143 Dari pasal-pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan beberapa hal yang berhubungan dengan transaksi hibah yang dinyatakan batal atau tidak sah. Di antaranya adalah: 1. Pemberi atau penerima hibah meninggal sebelum pelaksanaan penyerahan hibah. 143 Ibid. Universitas Sumatera Utara 52 2. Hibah yang baru diserahkan tidak diberlakukan pada waktu setelah penyerahan tersebut atau pengunduran waktu pemberlakukan. 3. Syarat-syarat hibah tidak mengikat penerima hibah. Demi tercapainya keabsahan dan kesempurnaan transaksi hibah, maka akad hibah menjadi suatu yang sangat penting untuk diperhatikan.Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, akad hibah menjadi sah jika memenuhi beberapa persyaratan, di antaranya: 1. Harta hibah ada saat akad hibah 2. Harta hibah merupakan milik penghibah a. Harta hibah pasti dan diketahui b. Pemberi hibah sehat akal dan dewasa c. Tidak ada paksaan Keempat persyaratan tersebut terdapat dalam pasal 704-708 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah berikut ini: Pasal 704 Harta yang diberikan sebagai hibah disyaratkan harus sudah ada pada saat akad hibah. Pasal 705 1. Harta yang diberikan sebagai hibah disyaratkan harus berasal dari harta penghibah. 2. Harta yang bukan milik penghibah jika dihibahkan dapat dianggap sah apabila pemilik harta tersebut mengizinkannya meskipun izin tersebut diberikan setelah harta tersebut diserahkan. Pasal 706 Suatu harta yang dihibahkan harus pasti dan diketahui. Universitas Sumatera Utara 53 Pasal 707 Seorang penghibah diharuskan sehat akalnya dan telah dewasa. Pasal 708 Hibah yang terjadi karena ada paksaan batal.144 Ketentuan memakan barang hibah, diatur dalam Pasal 722 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), yaitu “Apabila seseorang mengizinkan orang lain untuk memakan suatu makanan,maka orang yang diberi izin setelahmendapatkannya tidak boleh bertindakseolah-olah barang itu miliknya; misalnyadengan cara menjualnya, atau menghibahkanbarang itu untuk diberikankepada orang ketiga, tetapi ia bolehmemakan makanan itu dan pemiliknyatidak dapat menuntut harga barang yangtelah dimakannya.” Berdasarkan kandungan pasal ini, maka seseorang dapat memberikan izin untuk memakan suatu makanan atau hasil dari barang hibah yang telah diberikan kepada penerima hibah. Namun demikian, izin tersebut tidak dapat diartikan sebagai kepemilikan barang hibah tersebut, termasuk tidak dapat diperjual belikan kepada pihak lain atau diberikan kepada orang lain. Hibah dalam bentuk hadiah yang diberikan pada kegiatan keagamaan atau sosial dalam kehidupan masyarakat,memiliki aturan tersendiri dalam ketentuan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.Dalam Pasal 723 disebutkan bahwa hadiah yang diberikan pada acara selamatan khitanan atau pesta pernikahan merupakan milik orang yang diniatkan oleh pemberi hadiah tersebut.Namun, apabila pihak keluarga tidak mengetahui untuk siapa ditujukan hadiah tersebut atau pihak keluarga terjadi perbedaan pendapat atas pemberian tersebut, maka diberikan kewenangan adat atau 144 Ibid.,hlm. 216-217. Universitas Sumatera Utara 54 budaya setempat untuk menyelesaikan masalah hadiah yang diterima tersebut.Hal ini sesuatu yang sering terjadi dalam budaya kegiatan keagamaan atau sosial di tengah masyarakat yang mempunyai perbedaan dalam mengelola pemberian yang diberikan pada saat kegiatan-kegiatan tersebut.Ketentuan tersebut, secara jelas disebutkan dalam redaksi pasal 723, yaitu: Hadiah yang diberikan pada saat selamatan khitanan atau pesta pernikahanadalah milik orang-orang yangdiniatkan untuk diberi oleh si pemilik itu.Apabila mereka tidak mampu mengetahuiuntuk siapa dan masalah itu tidakdapat diselesaikan oleh mereka, makamasalah itu harus diselesaikan denganberpegang kepada adat kebiasaansetempat.145 Di bagian akhir Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dijelaskan tentang hibah orang yang sedang sakit keras. Ada beberapa pengelompokkan tentang hibah orang yang sakit keras, di antaranya: 1. Pemberi hibah yang sakit keras dan tidak memiliki ahli waris Hibah dianggap sah bagi pemberi hibah yang tidak memiliki ahli waris dan menyerahkan hibah tersebut kepada orang lain ketika dalam keadaan sakit. Badan baitul mal atau yang serupa dengannya tidak memiliki kewenangan untuk mencampuri harta peninggalan dari penghibah tersebut saat meninggal.Hal ini dikarenakanbahwa harta yang dihibahkan tersebut telah menjadi milik penerima hibah. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 724, yaitu: Apabila seseorang yang tidak punya ahli waris menghibahkan seluruh kekayaannya pada orang lain ketika sedang menderita sakit keras lalu menyerahkan hibah itu, maka hibah tersebut adalah sah, dan bait al-mal (balai 145 Ibid.,hlm. 220. Universitas Sumatera Utara 55 harta peninggalan) tidak mempunyai hak untuk campur tangan dengan barang peninggalan tersebut setelah yang bersangkutan meninggal.146 2. Suami atau isteri yang sakit keras dan tidak memiliki ahli waris Hibah dianggap sah bagi suami atau isteri yang menghibahkan harta yang dimilikinya kepada suami atau isteri, meskipun di antara keduanya tidak memiliki keturunan atau ahli waris dan menderita sakit.Saat di antara keduanya meninggal dunia, maka baitul mal147 atau lembaga yang serupa dengannya, tidak memiliki kewenangan untuk mencampuri harta peninggalan dari salah seorang dari suami atau isteri tersebut.Ketentuan keabsahan ini berdasarkan ketentuan Pasal 725 berikut ini: Apabila seorang suami yang tidak memiliki keturunan atau ahli waris lainnya, atau seorang isteri yang tidak mempunyai keturunan dari suaminya atau ahli waris lainnya menghibahkan seluruh kekayaannya kepada isteri atau suami, ketika salah seorang dari mereka sedang menderita sakit keras dan lalu menyerahkannya, pemberian hibah itu adalah sah, dan bait al-mal tidak mempunyai hak untuk campur tangan pada harta peninggalan dari salah seorang dari mereka yang meninggal.148 3. Pemberi hibah yang sakit keras dan memiliki ahli waris Hibah dianggap tidak sah bagi pemberi hibah yang menyerahkan harta hibah kepada seorang ahli waris saat menderita sakit keras dan kemudian akibat sakit menyebabkan pemebri hibah meninggal dunia.Namun demikian, hibah 146 Ibid. Baitul Mal di Indonesia termasuk Badan Amal Zakat, Infak dan Sadaqah (BAZIS).Menurut Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Pasal 4 ayat (2) menyebutkan bahwa Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. 148 Ditjen Badilag, Op.Cit., hlm. 220. 147 Universitas Sumatera Utara 56 dalam situasi ini dianggap sah manakala terdapat persetujuan dari ahli waris lainnya, dengan ketentuan bahwa hibah tersebut tidak lebih dari sepertiga dari seluruh harta peninggalan.Hal ini sesuai dengan Pasal 726 berikut ini: Apabila seseorang memberi hibah kepada salah seorang ahli warisnya ketika orang itu sedang menderita sakit keras, dan kemudian meninggal, hibah itu tidak sah kecuali ada persetujuan dari ahli waris yang lain. Tetapi jika hibah itu diberi dan diserahkan kepada orang lain yang bukan ahli warisnya dan hibah itu tidak melebihi sepertiga harta peninggalannya, maka hibah itu adalah sah. Tetapi bila hibah itu melebihi sepertiganya dan para ahli waris tidak menyetujui hibah tersebut, hibah itu masih sah, untuk sepertiga dari seluruh harta peninggalan dan orang yang diberi hibah harus mengembalikan kelebihannya dari sepertiga harta itu.149 4. Pemberi hibah yang sakit keras dan berhutang Hibah yang diberikan oleh pemberi hibah dalam keadaan sakit keras dan memiliki hutang serta meninggal setelah pemberian hibah, maka barang hibah tersebut dapat diabaikan dan dijadikan sebagai modal untuk pembayaran hutang yang dimiliki pemberi hibah. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 727 berikut ini: Apabila seseorang yang harta peninggalannya habis untuk membayar utang, dan orang tersebut waktu sakit keras menghibahkan hartanya kepada ahliwarisnya atau kepada orang lain, lalu menyerahkannya dan kemudian meninggal, maka kreditor berhak mengabaikan penghibahan tersebut, dan memasukkan barang yang dihibahkan tadi untuk pembayaran utangnya.150 Berdasarkan penjelasan pasal-pasal yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa hibah dalam sistem hukum Islam di Indonesia, secara rinci 149 150 Ibid.,hlm. 221. Ibid. Universitas Sumatera Utara 57 pengaturannya terdapat dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), karena hibah merupakan bagian dari hukum perekonomian Islam (muamalah). Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), hanya menyebutkan definisi tentang hibah, pengaturan tentang hubungan hak di antara suami isteri terhadap harta mereka dalam kaitannya dengan hibah, persyaratan usia pemberi hibah, batasan harta yang dihibahkan serta persyaratan adanya dua orang saksi pada saat penyerahan hibah dilakukan. Universitas Sumatera Utara