RI Ajukan Lagi Pinjaman ke IMF Anggito Abimanyu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal. Selasa, 18 Nopember 2008 JAKARTA (Suara Karya): Indonesia mengusulkan pinjaman kepada Dana Moneter Internasional (IMF) untuk membiayai APBN, sebagai antisipasi terjadinya krisis ekonomi global. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Anggito Abimanyu mengatakan, pinjaman tersebut untuk neraca pembayaran (balance of payment/BOP) APBN tahun 2009. Pinjaman tersebut dilakuan tanpa Letter of Intent (LoI). "Usulan ini disetujui, tetapi ini untuk emergency funding APBN. Kita belum mengusulkan menggunakan paket ini," katanya di Departemen Keuangan (Depkeu), Jakarta, Senin (17/11). Pinjaman ini untuk mengantisipasi kalau sumber pembiayaan dari penjualan obligasi tidak dapat terserap pasar. Sebab, saat ini dana di pasar tersedot ke AS dan Eropa. Pinjaman tersebut disediakan oleh IMF dan Bank Dunia untuk negara-negara yang fundamental ekonominya kuat. Indikatornya adalah cadangan devisa banyak dan ekspornya masih tinggi. "Usulan ini didukung oleh 10 negara lain seperti Argentina, Brasil, Turki, Meksiko, dan lain-lain. Jumlahnya belum ditentukan, yang penting kalau kita pinjam tidak ada lagi LoI seperti dulu," ujarnya. Paket ini disediakan saat Indonesia membutuhkan, jadi tinggal mengambilnya. Namun, tingkat bunga dan jangka waktunya belum ditentukan. Penjelasan Anggito ini bertentangan dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Usai mengikuti sidang G-20, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan tegas mengatakan, tidak akan meminta bantuan kepada IMF jika dampak krisis keuangan semakin membebani perekonomian nasional. "Kita memilih format di luar kerja sama langsung dengan IMF. Itu sudah saya sampaikan dan sudah berlaku sebagai suatu policy choice. Kita punya pengalaman 10 tahun lalu hubungan dengan IMF. Banyak yang tidak pas dan inilah pelajaran yang sangat berharga agar IMF, Bank Dunia, ADB, dan lembaga-lembaga lain ke depan betul-betul bisa berperan dengan baik," kata Presiden di Washington DC, Minggu (16/11) waktu setempat. Presiden mengatakan, IMF dan lembaga internasional lainnya sebetulnya sudah dipertanyakan berbagai pihak tentang keberadaannya yang dianggap kurang efektif dalam mengatasi persoalan yang bersifat global ini. Presiden mengatakan, lembaga ini membantu dengan country by country yang memerlukan bantuan dengan persyaratan tertentu dan dengan kondisi-kondisi tertentu sehingga sering tidak tepat atau terlambat. Lembaga tersebut diharapkan dapat berfungsi dengan baik, kemudian betul-betul menjadi solusi bagi semuanya. "Dan, menurut pendapat saya, jangan menggunakan satu resep untuk mengatasi semua persoalan. Kemudian harus melihat secara utuh dunia, kawasan, dan bukan hanya persoalan negara demi negara." kata Presiden. Presiden menambahkan, dalam pertemuan G-20 semua bicara mengenai revitalisasi lembaga keuangan, termasuk IMF dan World Bank, atas dasar pengalaman Indonesia. Sementara itu, Direktur IMF Dominique Strauss-Kahn menyatakan lembaganya memerlukan dana lebih besar, jika diharapkan memainkan peran lebih besar untuk membantu pemulihan ekonomi. Menurut Kahn, IMF mungkin memerlukan dana tambahan sekurang-kurangnya 100 miliar dolar dalam masa enam bulan ke depan. Dia juga mengatakan, jumlah negara yang meminta bantuan mengalami kenaikan dramatis. Dia menambahkan, sebagai syarat pemberian bantuan, IMF menuntut pemerintah memberikan jaring pengaman bagi warga negara yang paling rentan. Direktur IMF menyerukan suku bunga diturunkan terus dan lebih banyak dana negara disalurkan ke bank, untuk membantu meredakan krisis keuangan global. Strauss-Kahn mengatakan, dia melihat Bank Sentral Eropa, ECB, masih berpeluang untuk melakukan pemangkasan suku bunga lagi. Senior Economist dari The Indonesia Economic Intelligence Djoko Retnadi mengapresiasi atas keputusan KTT G-20. "Niatnya baik, untuk mengatasi tujuan bersama. Karena, semua mengetahui, masalah ini bukan masalah satu atau dua negara saja," tuturnya. Keputusan yang dikeluarkan KTT G-20, lanjut Djoko, sudah cukup bagus. Sebab, keputusan yang diambil berdasarkan keputusan yang paling penting dan mendesak. Ditekankan oleh Djoko, bahwa kemampuan negara-negara maju untuk membantu negara-negara yang berkembang. "Yang paling urgent adalah yang kuat mau membantu yang lemah," tuturnya. Dia mencontohkan, bahwa apa yang diputuskan oleh KTT G-20 sama seperti perbankan Indonesia yang juga membantu kredit bagi masyarakat. "Sama seperti situasi di perbankan Indonesia, yang kuat bersedia membantu yang lemah," kata Djoko. Namun begitu, dia tidak mengelak jika memang dalam memberikan bantuan tersebut masih ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh negara penerima bantuan. "Kalau orang meminjam dalam situasi apa pun, meskipun dikatakan menolong yang lemah, maka akan meminta kepastian bahwa (yang dipinjamkan) akan kembali," kata Djoko. Kondisi seperti itu, menurut Djoko, adalah merupakan kondisi yang wajar, kecuali jika bantuan tersebut berupa hibah (grant). "Karena bentuknya dalam bentuk pinjam-meminjam maka tidak ada yang tidak ada syarat apa pun," kata Djoko. Lebih tegas dia mengatakan, kondisi seperti saat ini di mana terjadi gejolak pasar finansial global, tidak akan mudah bagi kelompok G-20 dapat mengatasi masalah yang timbul akibat krisis kredit macet rumah berisiko tinggi (subprime mortgage). "Tidak akan teratasi dengan memudahkan masalah. Karena permasalahan cukup besar. Kalau satu ditutup masih ada masalah yang lainnya," katanya. Sedangkan, pengamat ekonomi dari Cides ,Umar Juoro. mengatakan, keputusan yang diambil kelompok G-20 masih bersifat umum. Karena itu, tidak bersifat operasional. Untuk itu, perlu ada penjelasan-penjelasan secara rinci dan teknis terkait dengan penanganan krisis finansial global. (AP/Agus/Indra/Kentos)