91 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian 4.1.1 Perkembangan Pertumbuhan Produk Industri Pengolahan Selama era orde baru (periode 1966-1998) hingga saat ini, perkembangan industri telah mengubah struktur perekonomian Indonesia. Transformasi struktur ekonomi suatu negara menunjukkan pola bahwa sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita, perekonomian suatu negara akan bergeser dari yang semula mengandalkan sektor pertanian menuju ke sektor industri, hal tersebut dibuktikan oleh transformasi yang amat pesat dengan laju pertumbuhan industri rata-rata tahunan dua digit, yang pada umumnya lebih pesat dari negara ASEAN lainnya. Berkat pertumbuhan industri pengolahan pesat yang dipacu oleh pertumbuhan ekspor hasil-hasil industri yang lebih pesat sejak akhir 1980-an, Indonesia bersama-sama dengan Malaysia dan Thailand, disebut ‘ekonomi industri baru’. Menurut Hill dalam Mudrajat Kuncoro, 2007, dalam sejarah industri Indonesia, setidaknya dikenal empat tahapan pertumbuhan tinggi dan transformasi struktural yang cepat, yang masing-masing memiliki tekanan kebijakan dan tekanan lingkungan internasional yang berbeda meliputi: 1. Periode pertumbuhan yang sangat cepat pada periode tahun 1967-1973 yang disebabkan oleh liberalisasi di segala sektor dan pulihnya kondisi perekonomian. Inflasi menurun dengan cepat, saluran perdagangan dibuka 92 kembali yang menyebabkan pengeluaran konsumsi meningkat tajam dan menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. 2. Periode Bonanza Minyak (Oil Boom) pada periode 1973-1981, yang ditandai dengan industrialisasi yang diarahkan oleh pemerintah, peran BUMN yang menonjol, dan pembiayaan oleh bank-bank pemerintah. 3. Fase tahun 1981 hingga 1985, harga minyak dunia terus menurun sehingga memaksa pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan industri, terutama investasi di proyek-royek mega dan industri migas. Baru pada tahun 1985 4. Pemerintah mengubah investasi pemerintah, campur tangan pemerintah, dan industri substitusi impor menjadi investasi swasta yang berorientasi pasar dan bersifat promosi ekspor. Pada fase tersebut sektor swasta menjadi mesin penggerak utama dari pertumbuhan industri. Industri pengolahan memang memegang peranan penting dalam menyokong pembangunan Indonesia. Peranan yang paling utama adalah sebagai penyumbang terbesar bagi PDB nasional dan sebagai sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. Selain itu sektor industri pengolahan yang semakin berorientasi ekspor telah menopang ekonomi Indonesia. Ekspor industri pengolahan menyumbang sekitar 83-85 persen terhadap ekspor nonmigas dan sekitar 64-67 persen terhadap total ekspor Indonesia selama periode 1994-2005. Bahkan kontribusi ekspor industri ini telah melampaui ekspor sektor pertanian dan migas sejak awal dasawarsa 1990-an. Boleh dikata industri pengolahan menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebelum krisis, industri pengolahan mampu tumbuh dengan dua digit, yaitu rata-rata sekitar 11 persen selama 1974-1997. 93 Namun, sejak krisis pertumbuhan sektor industri relatif rendah hanya berkisar antara 3,5 persen hingga 7,7 persen. Perkembangan pertumbuhan Produk industri pengolahan di Indonesia selama periode 1988-2008 mengalami fluktuasi seperti ditunjukan pada tabel 4.2 berikut ini: Tabel 4.1 Perkembangan Indeks Produksi Industri Pengolahan di Indonesia Periode 1988-2008 Tahun 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Indeks produksi (%) 164.24 184.08 186.66 157.89 132.29 125.43 108.95 119.33 120.04 126.54 103.46 105.44 100.08 104.27 107.68 113.56 117.33 118.85 116.92 123.44 127.15 Pertumbuhan (%) 12.08 1.4 -15.41 -16.21 -5.19 -13.14 9.53 0.59 5.41 -18.24 1.91 -5.08 4.19 3.27 5.46 3.32 1.3 -1.62 5.58 3.01 Sumber: Indikator Industri Besar Dan Sedang Indonesia, BPS (data diolah) 94 Terjadinya krisis moneter di tahun 1997/1998 yang berkelanjutan menjadi krisis ekonomi berdampak negatif terhadap hampir semua sektor ekonomi tidak terkecuali sektor industri hal tersebut terindikasi dari penurunan pertumbuhan produksi. Pada tahun 1998 pertumbuhan produksi industri mengalami kontraksi sekitar -18,24 persen dibandingkan tahun 1997. Akibat krisis ekonomi tersebut pertumbuhan produksi sektor industri pada tahun 1998 mengalami titik terendah. Sejak krisis ekonomi, industri pengolahan mengalami pertumbuhan yang lambat. Produksi sektor pengoalahan hanya tumbuh rata-rata 1,5 persen per tahun selama periode 1998-2003, jauh dibawah pertumbuhan yang dihasilkan sebelum krisis yang mencapai rata-rata 12,8 persen per tahun. Tahun 1999 mulai mengalami peningkatan sekalipun relatif kecil yaitu hanya meningkat sekitar 1,91 persen dan tahun 2000 kembali mengalami penurunan sebesar 5,08 persen, kemudian pada tahun 2000 hingga 2005 pertumbuhannya mengalami mulai menunjukkan indikasi perbaikan namun masih bersifat lambat. Sejalan dengan perlambatan pertumbuhannya, perannya dalam mendorong pertumbuhan PDB makin berkurang. Peran industri pengolahan makin tergeser oleh sektor jasa, terutama jasa modern di perkotaan. Pada 2008, industri pengolahan menyumbang 1 poin pada 6,1 persen pertumbuhan PDB. Lebih rendah dari rata-rata selama 2000-2008 (menyumbang 1,4 poin pada 5,7 persen pertumbuhan PDB). Secara grafik pergerakan indeks produksi industri pengolahan dapat dilihat pada gambar 4.2, berikut: 95 Gambar 4.1 Perkembangan Indeks Produksi Industri Pengolahan di Indonesia Periode 1988-2008 Sumber: Indikator Industri Besar Dan Sedang Indonesia, BPS (data diolah) Prospek indonesia di sektor industri pengolahan tahun 2006 yang diperkirakan dapat lebih meningkat dan mencapai terget ternyata meleset, justru di tahun tersebut pertumbuhannya mengalami penurunan sebesar 1,62 persen. Kondisi ini tidak terlepas dari melemahnya kinerja sejumlah industri yang selama ini memberikan kontribusi besar bagi perekonomian nasional sehingga rata-rata perkembangan dan pertumbuhan industri secara umum terhambat. (Perkembangan Indeks Produksi Industri (BPS), 2007:10) Berbeda dengan tahun 2006, di tahun 2007 pertumbuhan produk industri pengolahan kembali menggeliat dengan peningkatan sebesar 5,58. Namun ternyata peningkatan tidak dapat ditunjukkan di tahun 2008, meskipun angka indeks produksinya mengalami peningkatan namun ternyata pertumbuhannya mengalami penurunan. Pada tahun 2008, pertumbuhan produk industri pengolahan mencapai 3,01 persen, lebih rendah dari tahun 2007 sebesar 5,58 96 persen. Sektor usaha yang mencatatkan pertumbuhan pada 2008 adalah industri mesin dan pengolahan lain sebesar 34,16%, alat angkutan selain kendaraan bermotor roda empat/lebih 33,80%, serta industri kendaraan bermotor 20,78%. Sebaliknya, industri yang tumbuh negatif yaitu pakaian jadi sebesar minus 28,49% dan barang dari logam, kecuali mesin dan peralatannya, minus 13,76%. (Perkembangan Indeks Produksi Industri (BPS), 2007:10) Penurunan pertumbuhan produk industri pengolahan tahun 2008 merupakan salah satu akibat dari krisis keuangan dunia yang melanda Indonesia, krisis global memengaruhi aktivitas ekspor, sehingga berdampak pada kegiatan produksi di dalam negeri. Penurunan produksi sangat dipengaruhi oleh total permintaan produk. Krisis ekonomi membuat permintaan akan barang konsumsi termasuk juga bahan baku dan barang produksi menjadi menurun, hal itu akan menurunkan nilai ekspor dan menurunkan total produksi perusahaan dalam negeri. Sekalipun kondisi sektor industri terasa terpuruk akibat dampak dari krisis ekonomi tersebut, ternyata sektor ini tetap melakukan berbagai upaya untuk dapat bangkit kembali sekalipun belum sepenuhnya dapat kembali seperti kondisi sebelum terjadinya krisis ekonomi. 4.1.2 Perkembangan Daya Saing Produk Sektor industri pengolahan memang memiliki peranan yang sangat penting, hal tersebut dapat dilihat dari kontribusinya terhadap PDB nasional dimana sektor ini memberikan sumbangan paling besar dibandingkan dengan sektor lainnya, selain itu sektor ini banyak menyerap tenaga kerja sehingga dapat mengurangi angka pengangguran di Indonesia. Namun hal tersebut tidak cukup 97 menunjukkan bahwa kinerja sektor industri benar-benar tangguh, faktor penting lain yang harus dapat dimiliki oleh sektor industri pengolahan adalah kemampuan bersaing baik dalam konteks regional maupun internasional. Fenomena yang terjadi saat ini adalah semakin sulitnya keadaan pasar yang dapat diprediksi, mulai dari trend permintaan konsumen yang cepat berubah hingga perilaku konsumen yang selalu berbeda, dimana pasar menuntut harga yang kompetitif dan barang dengan kualitas terbaik. Ditambah lagi dengan persaingan yang semakin ketat dengan konsekuensinya pada harga yang harus kompetitif. Persaingan tersebut terjadi bukan saja antar-sesama negara berkembang, tetapi juga antara negara berkembang dengan negara-negara maju dan negara-negara industri baru. Keadaan ini dapat dipastikan akan terus berlangsung sebagai dampak perkembangan dan perubahan tata perdagangan dunia. Dengan situasi yang kian tidak tertata, industri pengolahan mengalami kemunduran relatif. Salah satu indikasinya ialah peringkat daya saing Indonesia dalam lima tahun terakhir terus menerus turun. Pada tahun 2003 kita berada pada peringkat 57 dari 60 negara dan pada tahun 2008 terperosok ke urutan 51 dari 55 negara. Indikasi kedua terlihat dari komposisi ekspor yang semakin didominasi oleh komoditas primer dan produk-produk pengolahan berbasis sumber daya alam dengan tingkat pengolahan yang minim. Hal inilah yang menyebabkan indeks perdagangan intra-industri kita sangat rendah dan jauh tertinggal dibandingkan negara-negara Asean-4 lainnya (Malaysia, Filipina, dan Thailand). (Faisal Basri, 2008). 98 Ketika Indonesia mulai memasuki era industrialisasi yang mulai digulirkan sekitar 1970-an Indonesia sudah mampu untuk menjalankan kegiatan industrinya. Setelah 1982, sejalan dengan upaya pengembangan broadbase industri, produk ekspor nonmigas Indonesia semakin beragam. Namun, komoditi industri pengolahan Indonesia yang meningkat pangsa pasarnya di dunia masih didominasi oleh produk berteknologi sederhana seperti karet, plastik, tekstil, kulit, kayu, dan gabus. Ini mencerminkan masih lambatnya proses perubahan struktur ekspor pengolahan, rendahnya divesifikasi produk dan pasar ekspor Indonesia (Tambunan, 2001: 104-6). Namun memasuki era reformasi, arah kebijakan pengembangan industri menjadi tidak jelas. Industri terus dibebani berbagai pungutan dan pajak-pajak yang terkadang tumpang tindih sehingga membuat daya saing menjadi lemah. Pungutan liar sejak barang keluar dari pabrik hingga menuju pelabuhan ekspor kian menggila, bahkan diperkirakan mencapai US$ 180 juta pada semester I/2008. Di sisi lain, pasar domestik seolah dibiarkan kebanjiran produk impor ilegal yang tidak jelas mutunya. Sumber-sumber bahan baku dan energi yang merupakan aset dasar dari pembangunan industri pengolahan ternyata justru lebih banyak dinikmati negara lain yang justru menjadi pesaing Indonesia di pasar ekspor. Kinerja ekspor industri pengolahan nasional semakin mengkhawatirkan. (Depperindag, 2009). Menurut Mudrajad Kuncoro (2007), berdasarkan hasil survei, industri pengolahan yang berorientasi ekspor bahkan harus menyisihkan dana sekitar Rp3 triliun per tahun (sekitar US$300 juta) untuk uang pelicin (grease money). Uang 99 ini digunakan untuk membayar pungli, upeti, dan biaya ekstra lainnya. Lokasi yang dituding rawan pungli terutama jalan raya dan pelabuhan. Keunggulan komparatif atau daya saing ekspor suatu komoditas di kancah perdagangan internasional dicerminkan oleh nilai Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA). Perkembangan daya saing produk industri pengolahan dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4.2 Perkembangan Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) Industri Pengolahan di Indonesia periode 1988-2008 Tahun 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Indeks RCA (%) 0.68 0.78 0.57 0.65 0.72 0.83 0.87 0.87 0.91 0.91 0.92 0.96 0.91 0.91 0.85 0.85 0.78 0.90 0.92 0.96 0.97 Sumber: BI, BPS dan WTO.org (data diolah) 100 Secara grafik perkembangan indeks RCA industri pengolahan dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar 4.2 Perkembangan Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) Industri Pengolahan di Indonesia periode 1988-2008 Sumber: BI, BPS dan WTO.org (data diolah) Daya saing industri pengolahan Indonesia periode penelitian tergolong rendah hal tersebut ditunjukkan dengan nilai indeks kurang dari satu (1). Suatu negara dapat dikatakan memiliki daya saing yang bagus jika indeks RCA yang dimiliki adalah lebih dari satu. Ada beberapa faktor yang menyebabkan menurunnya daya saing produk Indonesia: (1) kurs efektif yang tidak menguntungkan. Depresiasi rupiah pada tahun 1997/1998 di satu sisi berhasil meningkatkan daya saing produk Indonesia, tetapi karena inflasi dalam negeri lebih tinggi dari negara-negara pesaing, keuntungan karena depresiasi sudah tidak besar lagi. (2) peningkatan biaya tenaga kerja yang disebabkan kenaikan gaji (UMR) yang lebih tinggi dari produktivitas, dan berbagai permasalahan penerapan UU Tenaga Kerja yang menghambat mobilitas tenaga kerja, serta permasalahan hubungan dengan buruh. Menurut satu estimasi, biaya tenaga kerja Indonesia 101 dalam USD saat ini 35 persen lebih tinggi dibanding sebelum krisis. (3) peningkatan biaya ekonomi tinggi yang disebabkan adanya korupsi, pungutanpungutan tambahan yang berkaitan dengan birokrasi, dan meningkatnya birokrasi/peraturan-peraturan yang harus dipenuhi. Perkembangan daya saing periode 1988-1995 indeks RCA hanya mencapai angka tertinggi sebesar 0.87 persen saja, masih cukup jauh dari standar daya saing. Salah satu sebab utamanya adalah masih terkonsentrasinya produk ekspor nonmigas yang tergolong hasil dari industri yang padat sumber daya alam (NRI) dan berbasis tenaga kerja yang tidak terampil (ULI). Produk yang menanjak pertumbuhannya pada periode tersebut (pertumbuhan nilai ekspornya 50 persen dan nilai ekspornya minimum US$ 100 juta) adalah produk dari industri TI dan HCI, diantaranya barang-barang elektronik, kimia dan mesin non-elektronik termasuk peralatan telekomunikasi, komputer dan komponennya. Ketika krisis melanda Indonesia pada tahun 1997- 1999, peranan industri pengolahan terhadap total ekspor mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Banyak perusahaan industri terpaksa mem-PHK buruhnya, mengurangi kapasitas produksi, dan tidak sedikit yang terpaksa menutup usahanya. Gejala deindustrialisasi mulai terlihat di sentra-sentra industri utama khususnya di pulau Jawa. Meskipun permasalahan penurunan daya saing ini berawal sebelum krisis ekonomi tahun 1997/1998, perkembangan industri semakin memburuk. Banyak pengamat mengindikasikan terjadinya “deindustrialisasi”, gejala ini ditunjukkan dengan mengamati perkembangan tingkat realisasi kapasitas produksi (utilisasi 102 kapasitas), jumlah perusahaan, dan indeks produksi. Pemanfaatan kapasitas terpasang industri pengolahan tahun 2002 hanya berkisar di 60 persen, menurun jauh dibandingkan dengan kondisi sebelum krisis yang berkisar di 80 persen. Dalam periode 1996 sampai 2002, jumlah perusahaan industri berskala sedang dan besar menurun hampir 1.800 unit usaha atau sekitar 8 persen dari 22.997 unit usaha yang ada tahun 1996. Sementara itu, indeks produksi industri pengolahan berskala besar dan sedang juga mengalami penurunan cukup signifikan, sekitar 15 persen, dari 126,54 persen pada tahun 1997 menjadi 100,29 persen pada tahun 2002. (Draft Pidato Presiden, 12 Desember 2004) Selain itu sejak krisis ekonomi Asia tahun 1997/1998 kinerja ekspor hasilhasil industri Indonesia kurang menggembirakan. Kemerosotan yang paling tajam dalam pertumbuhan ekspor dialami oleh hasil-hasil industri pengolahan di mana Indonesia sejak lama mempunyai keunggulan komparatif, yaitu minyak sawit, kayu lapis, mebel, alas kaki, dan kain tenun. Kinerja ekspor yang lemah ini lebih banyak mencerminkan masalah-masalah domestik ketimbang perkembangan eksternal yang kurang menguntungkan. Hal ini tercermin dari pertumbuhan perdagangan dunia yang tumbuh dari hampir 5 persen dalam 2003 sampai 10 persen dalam 2004, sedangkan pertumbuhan ekspor Indonesia selama masa ini hanya mencapai 3 persen. (World Bank, 2004). Kondisi perkembangan daya saing Indonesia setelah krisis juga didukung oleh pangsa pasar ekspor Indonesia di dunia relatif tidak mengalami perkembangan, tetap berkisar pada angka 0,8 persen. Padahal, pada kurun waktu yang sama pangsa pasar RRC di pasar dunia mengalami peningkatan cukup tajam 103 dari 3 persen menjadi 6 persen. Untuk 30 komoditi ekspor utama, semua mengalami penurunan pertumbuhan dan kehilangan pangsa pasar kepada pesaingnya, terutama RRC dan Vietnam (terutama untuk sektor yang padat karya seperti pakaian jadi dan sepatu). Meskipun demikian, dari gambaran yang kurang menggembirakan ini, masih terdapat beberapa titik cerah, yaitu pertumbuhan yang cukup tinggi untuk beberapa produk yang berbasiskan sumber daya alam seperti minyak kelapa sawit dan pertambangan, serta pertumbuhan pasar dari ekspor komponen elektronika. Penyebab utama fenomena tersebut adalah daya saing produk-produk pengolahan yang terus melemah. Di dalam negeri, produk pengolahan seperti elektronika rumah tangga kalah bersaing dengan produk impor, keadaan itu diperburuk dengan banyaknya produk impor illegal. Di pasar internasional, produk tekstil (TPT) dan produk kayu yang sesungguhnya masih menjadi primadona ekspor kalah bersaing dengan produk dari Cina dan negara ASEAN lainnya. Terpuruknya daya saing kita juga disebabkan karena membengkaknya biaya overhead produksi. Dari hasil identifikasi oleh perusahaan Jepang, bila biaya produksi pengolahan kita diberi indeks 100, maka Cina hanya sekitar 62, Filipina 77, Malaysia 79, dan Thailand 89. Struktur biaya produksi pengolahan kita juga sangat rentan dimana biaya overhead mencapai 33,4 dan biaya untuk material mencapai 58,3. Sebagai bandingannya: overhead di Cina hanya 17,1 dan material hanya 39,9. Menurut kajian Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) terhadap tingginya pos pembiayaan menyimpulkan beberapa permasalahan 104 spesifik di sektor industri pengolahan sehingga memiliki daya saing yang tergolong rendah, yaitu; (1). KKN dan layanan umum yang buruk mengakibatkan tingginya biaya overhead, (2). Cost of money yang relatif tinggi. (3). Administrasi perpajakan yang belum optimal. Hal tersebut mengakibatkan daya saing produk ekspor menjadi berkurang karena pengusaha pada akhirnya membebankan ke harga jualnya. (4). Kandungan impor sangat tinggi, tingginya kandungan impor ini mengakibatkan rentannya biaya produksi terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah dan kecilnya nilai tambah yang mengalir pada perekonomian domestik. (5). Lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi. (6). Kualitas SDM relatif rendah. (7). Iklim persaingan yang kurang sehat. Banyak sub-sektor industri yang beroperasi dalam kondisi mendekati ”monopoli”. 4.1.3 Perkembangan Investasi Sektor Industri Pengolahan Walaupun industri pengolahan mengalami penurunan pertumbuhan produk, terdapat beberapa indikator yang menunjukkan bahwa industri pengolahan tetap dapat tumbuh dengan baik, indikator tersebut adalah investasi sektor industri pengolahan. Kemampuan industri pengolahan untuk dapat tumbuh ditentukan oleh besarnya penanaman modal, baik modal yang berasal dari dalam negeri (PMDN) maupun modal asing (PMA). Perkembangan realisasi investasi sektor industri pengolahan dapat dilihat pada tabel berikut: 105 Tabel 4.3 Perkembangan Investasi Sektor Industri Pengolahan di Indonesia periode 1988-2008 Tahun 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 PMDN (miliar rupiah) 8922.2 14336.1 43239.5 26464.5 19079.2 24032.1 31921.7 43341.8 59200.7 12823.8 9937.6 10271.1 17664.2 5760.6 9968.9 6586.4 10662.6 20932.0 13152.2 26289.8 15911.5 PMA (miliar rupiah) 34680 42653 56469 39703 56574 34228 187383 268921 132411 26298 40285 56370 47599 21985 15493 18760 28045 35065 36045 46970 45153 Jumlah 43602.2 56989.1 99708.5 66167.5 75653.2 58260.1 219304.7 312262.8 191611.7 39121.8 50222.6 66641.1 65623.2 27745.6 25461.9 25346.4 38707.6 55997 49197.2 73259.8 61064.5 Pertumbuhan (%) 30,7 74,9 -33,6 14,3 -22,9 276,4 42,4 -38,6 -79,6 28,4 32,7 -1,5 -57,7 -8,2 -0,5 52,7 44,7 -12,1 48,9 -16,6 Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) dan Laporan Tahunan Bank Indonesia (data diolah) Sejak tahun 1988 hingga tahun 1995 pertumbuhan investasi sektor industri pengolahan cukup menggembirakan hal tersebut ditunjukkan dengan jumlah realisasi investasi baik dari PMDN maupun PMA bernilai cukup besar. Investasi sektor industri pengolahan mengalami perkembangan tertinggi pada tahun 1995 dengan nilai investasi sebesar Rp. 312262.8 miliar. Namun pada tahun 1996 pertumbuhan realisasinya menurun sebesar -38.6 persen. Penurunan tersebut terjadi pada investasi dalam negeri dan investasi asing. Terjadinya krisis ekonomi 106 di tahun 1997/1998 ternyata membawa dampak terhadap investasi sektor industri pengolahan, dimana realisasi investasi mengalami penurunan yang sangat tajam. Setelah terjadi krisis ekonomi perkembangan investasi sektor industri pengolahan terjadi perbaikan namun pertumbuhannya relatif lambat. Jika dibandingkan besarnya realisasi investasi sektor industri pengolahan sebelum dan sesudah terjadinya krisis cukup besar. Gambar 4.3 Perkembangan Investasi Sektor Industri Pengolahan di Indonesia periode 1988-2008 Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) dan Laporan Tahunan Bank Indonesia (data diolah) Perkembangan penanaman modal dalam negeri (PMDN) di sektor industri pengolahan dalam periode 2004–2008 terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, kecuali pada tahun 2006 dan 2008. Pada tahun 2004 terdapat sebanyak 97 izin usaha tetap (IUT) dengan nilai realisasi sebesar Rp10,7 triliun, pada tahun 2005 menjadi 148 IUT dengan nilai Rp20,9 triliun, pada tahun 2006 (turun) menjadi 98 IUT dengan nilai Rp13,1 triliun, pada tahun 2007 menjadi 101 IUT dengan nilai Rp26,3 triliun, dan pada tahun 2008 menjadi 189 IUT dengan nilai Rp15,9 triliun. Sementara itu penanaman modal asing di sektor industri 107 pengolahan dalam periode 2004 – 2008 terus meningkat dari tahun ke tahun, yaitu pada tahun 2004 sebanyak 248 izin usaha tetap (IUT) dengan nilai realisasi investasi sebesar USD 2,8 miliar, pada tahun 2005 sebanyak 336 IUT dengan nilai USD 3,5 miliar, pada tahun 2006 sebanyak 361 IUT dengan nilai USD 3,6 miliar, pada tahun 2007 sebanyak 390 IUT dengan nilai USD 4,6 miliar, dan pada tahun 2008 sebanyak 495 IUT dengan nilai USD 4,5 miliar. Survei iklim investasi di Indonesia menunjukkan bahwa faktor-faktor utama yang membuat iklim investasi Indonesia buruk lebih berkaitan dengan kelembagaan dan governance. Sementara survai Bank Dunia dan ADB (Asean Development Bank) menonjolkan tiga faktor utama penyebab buruknya iklim investasi di Indonesia yakni ketidakstabilan makro, relatif tingginya korupsi dan ketidakpastian. Survei lain juga memberikan hasil yang lebih kurang sama. Permasalahan yang seringkali dikeluhkan adalah permasalahan tenaga kerja, pajak dan bea cukai (serta lembaga-lembaga yang berkaitan dengan permasalahan tersebut). Senada dengan pernyataan BPS, yang menyatakan terjadinya penurunan realisasi investasi membuktikan bahwa iklim penanaman modal masih jauh dari kondusif. Ekonomi biaya tinggi yang bersumber sejak proses perizinan usaha hingga pemasaran produk, stabilitas keamanan dan kapasitas hukum masih menjadi hal yang menakutkan bagi kegiatan investasi. (Perkembangan Indeks Produksi Industri (BPS), 2007:12). 108 4.1.4 Pengembangan Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pencapaian pertumbuhan produk industri yang tinggi. Modal yang dikeluarkan untuk tenaga kerja merupakan dana individu yang diinvestasikan untuk memperoleh keahlian, pengetahuan dan pengalaman. Selain itu dengan tenaga kerja yang berkualitas dan berkompeten diyakini suatu industri akan mampu untuk dapat bersaing bukan hanya di dalam negeri bahkan di dunia internasional. Kualitas tenaga kerja ini dapat dilihat dari tingkat pendidikan, kesehatan, ataupun indikator-indikator lainnya. Oleh sebab itu, dalam rangka memacu pertumbuhan produk industri pengolahan maka perlu dilakukan pembangunan manusia yang bergerak dibidang industri. Kebijakan perusahaan yang tidak mendorong peningkatan kualitas tenaga kerjanya hanya akan membuat industri yang bersangkutan tertinggal dibandingkan dengan industri lain. Dengan kata lain, peningkatan kualitas tenaga kerja akan memberikan manfaat bagi suatu industri agar lebih maju dan memiliki keunggulan bersaing. Kondisi tenaga kerja pada industri pengolahan pada saat ini masih memprihatinkan. Hal ini disebabkan karena kualitas tenaga kerja yang ada masih jauh dari harapan, sebagaimana tercermin dari tingkat pendidikan tenaga kerja industri yang rata-rata hanya lulusan sekolah menengah atas menyebabkan rendahnya produktivitas tenaga kerja dan praktek manajerial yang belum profesional, pada akhirnya mempengaruhi perkembangan industri dalam negeri. Dari hampir 4,2 juta orang tenaga kerja industri dalam 22.894 perusahaan pada tahun 1996, hanya 2 persen berpendidikan sarjana, sekitar 0,1 persen 109 berpendidikan master, dan 0,005 persen (hanya 225 orang) berpendidikan doktor. Sementara itu, intensitas pelatihan yang dilaksanakan oleh industri belum juga menggembirakan. Hasil survei tahun 1990-an menunjukkan hanya 18,9 persen perusahaan di Indonesia melaksanakannya. Di Malaysia, kegiatan yang sama dilakukan oleh hampir 84 persen perusahaan-perusahaannya. Sumber daya manusia dengan kualitas ini akan sulit diharapkan menghasilkan peningkatan produktivitas apalagi inovasi-inovasi yang bermutu untuk teknologi produksinya. (Draft Pidato Presiden, 12 Desember 2004). Secara nasional, terutama di bidang pendidikan, Indonesia masih mempunyai masalah besar mengenai ketidakseimbangan antara bidang ilmu sosial dengan eksakta di tingkat pendidikan tinggi. SDM berpendidikan tinggi masih timpang, dan agak menyimpang dari komposisi bidang keahlian yang dibutuhkan untuk mendukung proses industrialisasi. Demikian pula dengan kondisi pendidikan kejuruan (vocational training) yang ada. Sebagian besar kurikulum pendidikan dan pelatihan yang diberikan pada sekolah-sekolah kejuruan masih kurang memperhatikan manfaat langsung yang bisa diperoleh dan akan diterima oleh siswa-siswa didiknya. Akibatnya, setelah lulus mereka masih belum siap pakai. Mereka tidak dapat langsung mengisi berbagai kesempatan kerja yang semakin menuntut banyak keahlian dan semakin dinamis sifatnya. Pembangunan industri dapat mencapai titik yang maksimal apabila perusahaan/industri melakukan perbaikan kinerja dari tenaga kerja, hal itu dapat dilakukan dengan pemberian pendidikan maksimum berupa pemberian diklat, pelatihan, dll sehingga dapat mencetak output tenaga kerja yang lebih handal dan 110 mampu untuk menghasilkan produk yang bernilai tinggi dan mampu bersaing di pasaran baik dalam negeri maupun luar negeri. Untuk itu perlu perhatian yang lebih dari perusahaan/industri tersebut dalam pemberian anggaran khususnya untuk anggaran pendidikan bagi tenaga kerjanya. Untuk mengetahui besarnya anggaran pengembangan tenaga kerja periode 1988-2008 dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4.4 Anggaran Pengembangan Tenaga Kerja Industri Pengolahan Periode 1988-2008 Tahun 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Anggaran Pengembangan Tenaga Kerja (dalam miliar rupiah) 28.36 34.42 46.08 62.13 68.43 97.43 112.14 136.27 157.52 186.42 286.43 304.43 364.64 562.39 464.05 605.52 530.65 678.98 831.55 1031.46 1075.26 Sumber: badan pusat statistik (BPS), data diolah Pertumbuhan (%) 21,4 33,9 34,8 10,1 42,4 15,1 21,5 15,6 18,3 53,6 6,3 19,8 54,2 -17,5 30,4 -12,4 27,9 22,5 24,0 4,25 111 Data diatas menunjukkan bahwa persentase anggaran pengembangan tenaga kerja industri yang diberikan masih relatif kecil. Jika dilihat tingkat pertumbuhannya ternyata anggaran untuk tenaga kerja industri mengalami fluktuatif memang cenderung meningkat namun perubahannya masih sangat kecil. Hal ini disebabkan karena seringnya terjadi perubahan-perubahan kebijakan industri dalam hal pengembangan kualitas tenaga kerja serta masih kurangnya fasilitas yang maksimum terhadap kemajuan pengelolaan tenaga kerja yang membawa dampak negatif terhadap output industri yang dihasilkan. Secara grafik pengembangan anggaran untuk tenaga kerja industri pengolahan adalah sebagai berikut: Gambar 4.4 Anggaran Pengembangan Tenaga Kerja Industri Pengolahan Periode 1988-2008 Sumber: badan pusat statistik, BPS (data diolah) Dari tahun yang diteliti rata-rata yang dana yang dialokasikan untuk pengembangan tenaga kerja hanya sebesar 4,76 persen atau sekitar Rp. 364,98 miliar. Perkembangan anggaran yang diberikan untuk tenaga kerja cenderung meningkat namun realisasi anggaran masih belum optimal. Peningkatan yang 112 cukup signifikan terjadi dari tahun 2004 hingga 2008, dapat dilihat pada grafik bahwa perkembangannya terus meningkat. Fenomena tersebut menunjukkan peningkatan mutu tenaga kerja masih belum optimal, walaupun dilihat dari perkembangan anggaran yang dikeluarkan mengalami peningkatan namun masih cenderung kurang signifikan. Jika industri pengolahan di Indonesia tidak segera mengubah paradigma penyiapan SDM-nya dikhawatirkan tenaga kerja di bidang industri pengolahan akan semakin tertinggal dan kalah bersaing dengan tenaga kerja dari negara-negara lainnya. Kalau ini terjadi, tidak saja akan kehilangan pangsa pasar di luar negeri, tetapi juga pangsa pasar di dalam negeri akan direbut oleh tenaga kerja asing dari negara-negara lain. 4.1.5 Pengembangan Teknologi Banyak negara semakin menyadari bahwa pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah merupakan bagian dari pembangunan nasionalnya. Oleh karena itu nerara-negara berkembang termasuk Indonesia saling berpacu dalam meningkatkan kemampuan mereka untuk menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pembangunan industri nasionalnya. Upaya yang dilakukan saat ini lebih ditekankan kepada peningkatan daya saing dalam rangka membuka akses menuju pasar internasional (market pull production). (Rahardi Ramelan, 2004) Globalisasi sistem perekonomian ini mau tidak mau akan memberikan dampak tersendiri dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yanp pesat dan canggih. Untuk menghasilkan produk yang kompetitif dari segi harga mutu dan waktu penyerahan sudah barang tentu produsen/industri perlu menguasai 113 teknologi yang dibutuhkan dengan dukungan berbagai fasilitas litbang yang memadai dan tangguh Menurut Boediono (1999: 134), kemajuan teknologi dapat ditunjukkan oleh dua hal, yaitu: 1. Peningkatan produktivitas manusia (tenaga kerja). Peningkatan ini dapat dilihat dari tingkat kesehatan, keterampilan, pendidikan, dan motivasi kerja. 2. Peningkatan produktivitas dari mesin. Perubahan mesin lama menjadi mesin tipe baru yang lebih baik dan lebih produktif. Dari pendapat diatas faktor utama yang menentukan kemajuan teknologi adalah sumber daya manusia (tenaga kerja). Perubahan teknologi yang semakin berkembang hanya mampu dikelola dan ditangani oleh tenaga kerja yang berkompeten. Selain itu faktor lain yang berpengaruh adalah produktivitas dari mesinnya, perubahan teknologi lama menjadi teknologi baru tentunya memerlukan anggaran. Anggaran teknologi berperan untuk meningkatkan kemampuan teknologi industri yang bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah produk industri dan secara bertahap mengubah struktur kandungan nilai tambah yaitu bersumber dari kemampuan teknologi dan sumber daya manusia yang berkualitas, dengan demikian efisiensi produksi, mutu produk dan daya saing produk dapat meningkat. Fenomena yang terjadi di Indonesia sekarang ini adalah pengelolaan industri nasional belum memandang kegiatan pengembangan dan penerapan teknologi layak dilakukan, karena dianggap memiliki eksternalitas yang tinggi 114 berjangka panjang, dan dengan tingkat kegagalan yang tinggi. Hal ini dapat ditunjukkan dari miskinnya industri nasional dalam hal pemilikan sumberdaya teknologi. Masih lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi pada sektor industri di Indonesia karena industri kita masih banyak yang bertipe “tukang jahit” dan “tukang rakit” hal itu ditunjukkan dari nilai tambah industri nasional yang masih relative rendah. Pengembangan dan penerapan iptek terutama untuk kepentingan produksi di industri masih sangat terbatas. Dengan urutan Indonesia di posisi ke 60 dari 72 negara dalam Indeks Pencapaian Teknologi (IPT), hal tersebut mengindikasikan bahwa integrasi peningkatan iptek untuk produksi masih akan banyak mengalami hambatan. (Draft Pidato Presiden, 12 Desember 2004) Sebagian besar keluaran industri pengolahan Indonesia, menurut standar internasional masih diklasifikasikan sebagai industri dengan kandungan teknologi rendah. kinerja produk industri pengolahan bernilai teknologi rendah lebih disebabkan oleh proses relokasi industri, Keadaan ini diantaranya disebabkan dunia industri belum terintegrasi secara kuat dengan dunia riset dan pendidikan nasional, demikian pula sebaliknya. Situasi seperti ini kurang membangkitkan suasana sinergis antara industri dan dunia penelitian serta pendidikan. Di samping itu, Indonesia juga belum memiliki lembaga riset di lingkungan industri yang memiliki kemampuan kreatif, inventif, dan inovatif tercermin antara lain pada masih rendahnya jumlah paten dan produk yang bernilai tambah tinggi. Pengembangan teknologi industri pengolahan periode 1988-2008 dapat dilihat pada tabel berikut: 115 Tabel 4.5 Anggaran Pengembangan Teknologi Industri Pengolahan Periode 1988-2008 Tahun Anggaran Pengembangan Teknologi (dalam miliar rupiah) Pertumbuhan (%) 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 3570,21 3225,68 3663,73 3773,28 3793,65 3624,84 3706,03 3821,29 4047,13 3772,73 3684,07 3640,97 3878,36 4087,79 4397,65 4010,65 4247,28 4085,89 4478,13 5002,07 5527,29 -9.65 13.58 2.99 0.54 -4.45 2.24 3.11 5.91 -6.78 -2.35 -1.17 6.52 5.40 7.58 -8.8 5.9 -3.8 9.6 11.7 10.5 Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), data diolah Perkembangan biaya teknologi pada industri pengolahan Indonesia periode 19882008 cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahunnya. Biaya pengembangan teknologi merupakan biaya yang dikeluarkan oleh industri pengolahan untuk meningkatkan kualitas teknologi yang akan digunakan dalam proses produksi. Rata-rata biaya teknologi yang harus dikeluarkan per tahun selama periode penelitian oleh industri ini adalah sebesar Rp. 4001,85 miliar. 116 Dalam periode 1988-1996 anggaran yang direalisasikan untuk pengembangan teknologi terus meningkat dengan rata-rata anggaran Rp. 6780,44 miliar. Krisis ekonomi pada tahun 1997/1998 berdampak pada realisasi anggaran untuk pengembangan teknologi dimana pertumbuhan anggaran menunjukkan angka negatif. Perkembangan anggaran teknologi setelah krisis ekonomi tahun 1997/1998 terlihat membaik, dimana realisasinya cenderung meningkat. Penurunan hanya terjadi di tahun 2003 dan 2005 saja. Secara grafik perkembangan anggaran untuk teknologi dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar 4.5 Anggaran Pengembangan Teknologi Industri Pengolahan Periode 1988-2008 Sumber: Badan Pusat Statistik BPS (data diolah) Dilihat dari realisasi anggaran pengembangan teknologi memang cenderung stabil namun jika dirinci, hasil industri pengolahan yang termasuk "kadar teknologi yang tinggi" ternyata hanya diwakili oleh industri logam dan alat listrik yang kontribusinya relatif sangat kecil. Hal ini menunjukkan bahwa 117 peningkatan hasil ekspor industri pengolahan belum menggambarkan kemampuan dalam menguasai teknologi proses dan teknologi produk. Perkembangan industri pengolahan di Indonesia selama ini masih berkembang ke arah teknologi pengolahan proses yang menghasilkan barangbarang kebutuhan dalam negeri maupun untuk di ekspor, dan sedikit sekali industri-industri yang berkembang ke arah teknologi produk untuk menghasilkan produk inovatif' baru yang mampu bersaing di pasaran. Dengan demikian pengembangan teknologi pengolahan pada industri nasional sudah berkembang cukup baik dengan level teknologi yang rnemadai. Hal ini disebabkan selama ini departemen Perindustrian telah memberikan pembinaan terhadap industri nasional dengan dukungan Balai-Balai Penelitian dan Pengembangan miliknya dalam rangka peningkatan mutu dan daya saing produk yang dihasilkan. Sedangkan perkembangan teknologi produk untuk menghasilkan produk inovatif baru perlu terus ditingkatkan mengingat bila industri kita ingin bersaing di pasaran internasional yang semakin kompetitif. (Rahardi Ramelan, 2004). 4.2 Analisis Data dan Pengujian Hipotesis 4.2.1 Uji Identifikasi Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis statistik parametrik dengan analisis model persamaan simultan dengan menggunakan metode Two-Stage Least Square (2-SLS) atau metode kuadratik terkecil dua tahap. Dalam menganalisis metode 2-SLS ini perlu untuk dilakukan pengujian identifikasi terlebih dahulu hal itu akan menentukan apakah persamaan yang sedang diteliti 118 tidak bisa diidentifikasikan (underidentification), tepat diidentifikasikan (Just identification), atau terlalu diidentifikasikan (overidentification). Terdapat dua kondisi yang harus dipenuhi suatu persamaan simultan untuk dapat dianggap dapat diidentifikasikan, yaitu: A. Kondisi Order (Order Condition) Kondisi ini didasarkan atas kaidah perhitungan variabel-variabel yang dimasukkan dan dikeluarkan dari suatu persamaan tertentu. Suatu persamaan dapat dianggap diidentifikasikan apabila jumlah variabel endogen yang dikeluarkan dari persamaan ini tetapi dimasukkan kedalam persamaan lain minimal sama dengan jumlah persamaan dalam sistem persamaan simultan dikurangi satu, yaitu: K–M≥G–1 Dimana K = banyaknya variabel dalam model (variabel endogen dan eksogen) M =jumlah variabel endogen dan eksogen yang dimasukan dalam persamaan G = jumlah persamaan (jumlah variabel endogen) Dengan ketentuan: - jika K-M < G-1 maka persamaan tidak bisa diidentifikasikan (underidentification) - K–M = G–1, persamaan tepat diidentifikasikan (Just identification) - K–M > G–1 persamaan terlalu di indentifikasikan (overidentification) (Sritua Arief, 1993: 79) Model dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 119 = Π0 + Π1lnX1 + Π2lnX2 + Π3lnX3 + ei …………. (Fungsi pertumbuhan produk) ……………………….………………… (Fungsi Daya Saing Produk) dan lnY2 adalah variabel endogen, lnX1, lnX2, dan Dalam model ini lnX3 adalah variabel eksogen, maka diperoleh: - Untuk fungsi pertumbuhan produk: K – M ≥ G – 1 maka 5 – 4 ≥ 2 – 1 hasilnya adalah 1 = 1, artinya Tepat diidentifikasikan (Just identification). - Untuk fungsi daya saing produk: K – M ≥ G – 1 maka 5 – 2 ≥ 2 – 1 hasilnya adalah 3 > 1, artinya Terlalu diidentifikasikan (overidentification). B. Kondisi Tingkat (Rank Condition) Suatu persamaan dalam sistem persamaan simultan yaitu sistem persamaan yang terdiri dari G persamaan dapat diidentifikasikan apabila ada kemungkinan untuk membentuk sekurang-kurangnya satu determinan bukan nol yang berukuran G -1 dari variabel-variabel yang dikeluarkan dari persamaan tertentu tetapi dimasukkan ke dalam persamaan-persamaan lain dalam model structural yang diteliti. (Sritua Arief, 1993: 80). - Π0 - Π1lnX1 - Π2lnX2 - Π3lnX3 = ei …………. (Fungsi pertumbuhan produk) ……………………….………………… (Fungsi Daya Saing Produk) Maka diperoleh koefisien-koefisien dari persamaan diatas yaitu sebagai berikut: Tabel 4.6 Kondisi Tingkat (Rank Condition) Persamaan 1 Y1 Y2 X1 X2 X3 (1) - Π0 1 0 - Π1 - Π2 - Π3 (2) - 1 0 0 0 - 120 Sumber: Model persamaan Penelitian, data diolah Persamaan dapat diidentifikasikan, jika sekurang-kurangnya satu penentu tidak sama dengan nol dari ordo 1x1. Untuk persamaan pertama tidak memasukan variabel Y2, maka matriknya adalah: A= [1], artinya bahwa matrik A adalah G-1. Dilihat dari kondisi order (order condition) kondisi tingkat (rank condition) diatas maka dapat disimpulkan bahwa: - Persamaan pertumbuhan produk diperoleh K – M = G – 1 dan tingkat dari matrik A adalah G-1 sehingga persamaan Tepat diidentifikasikan (Just identification). - Persamaan Daya Saing diperoleh K – M > G – 1 dan tingkat dari matrik A adalah G-1 sehingga persamaan Terlalu diidentifikasikan (overidentification). Hal ini sejalan dengan model penelitian yang digunakan yaitu Two-Stage Least Square (2-SLS), dimana 2-SLS menguji persamaan yang terlalu diidentifikasikan (overidentification) dan tepat diidentifikasikan (Just identification). 4.2.2 Analisis Data dan Pengujian Hipotesis Persamaan Pertama 4.2.2.1 Pengujian Model Pertama Analisis data dalam pengujian model pertama ini menggunakan EViews (Econometric Views) 3.1, data yang diperoleh dari hasil pengujian EViews adalah sebagai berikut: 121 Tabel 4.7 Pengujian Model Pertama Variable C LNI LNL LNT R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat Coefficient -1.672225 -0.067260 -0.209011 1.009804 0.689349 0.634528 0.109457 0.203675 18.87770 1.196500 Std. Error t-Statistik 2.592249 -0.645086 0.040073 -1.678414 0.037182 -5.621223 0.336549 3.000467 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) Prob. 0.5275 0.1116 0.0000 0.0080 4.826335 0.181058 -1.416924 -1.217967 12.57459 0.000141 Sumber: Pengujian model EViews 3.1 Dari hasil regresi diatas maka diperoleh persamaan model sebagai berikut: ln = -1.672225 - 0.067260 lnI - 0.209011 lnL + 1.009804 lnT t = (-0.645086) (-1.678414) (-5.621223) (3.000467) R2 = 0.689349 Berdasarkan hasil pengujian di atas, nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.689349 atau 68.9349%, artinya dalam model tersebut variabel bebas Investasi sektor industri pengolahan (I), Pengembangan Tenaga Kerja (L), dan Pengembangan Teknologi (T) dapat menjelaskan variabel dependen Pertumbuhan Produk Industri Pengolahan (M) sebesar 68,9349%. Nilai Adjusted R-squared sebesar 0.634528 menunjukkan bahwa semakin banyak variabel independen yang dimasukkan ke dalam persamaan, akan semakin memperkecil nilai 2 sebesar 0.634528. Nilai S.E. of regression sebesar 0.109457 menunjukkan bahwa Standar Error dari persamaan regresi pertama ini adalah 0.109457. Sum squared resid sebesar 0.203675 menunjukkan jumlah nilai residual kuadrat dalam persamaan. 122 Nilai fungsi Log likelihood yang dihitung dengan nilai koefisien estimasian sebesar 18.87770. Nilai uji Durbin-Watson stat digunakan untuk mengetahui apakah terdapat autokorelasi (hubungan antarresidual), dalam model persamaan Nilai Durbin-Watson stat sebesar 1.196500 menunjukkan tidak adanya autokorelasi. Sementara itu mean dependen variable atau nilai rata-rata variabel dependen (pertumbuhan produk) adalah sebesar 4.826335. Standar deviasi variable dependen (pertumbuhan produk) sebesar 0.181058. Nilai Akaike info criterion (AIC) dan Schwarz criterion memiliki fungsi yang sama yaitu untuk mengetahui kualitas model, semakin kecil nilainya maka akan semakin baik modelnya. F-Statistik berfungsi untuk mengetahui secara serempak pengaruh semua variabel independen (X) terhadap variabel dependen (Y). dan probabilitas dalam model pertama ini adalah 0.000141. Untuk mengetahui penyakit dalam model ini harus diuji dengan Uji Asumsi Klasik, yaitu: A. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas adalah situasi dimana terdapat korelasi antara variabel bebas. Dalam hal ini variabel tersebut dapat disebut variabel yang tidak ortogonal. Variabel yang bersifat ortogonal adalah variabel bebas yang nilai korelasi antarsesamanya sama dengan nol. Untuk menguji multikolinearitas di dalam model yaitu dengan melakukan Uji Kolerasi. Dengan melihat nilai koefisien korelasi antar variabel independen, dapat diputuskan apakah data terkena multikolinearitas atau tidak menguji koefisien korelasi antar variabel independen. Terjadinya 123 multikoliniearitas apabila nilai R2 antara 0,7 sampai 1,0.(Ashton de Silva, 2003: 6). Untuk menguji multikolinearitas dapat diketahui dengan melakukan regresi parsial antara variabel penjelas, bertujuan untuk mendapatkan nilai R2-nya. Maka model yang digunakan yaitu: LNX1= f(LNX2,LNX3); LNX2 = f(LNX1,LNX3,), dan LNX3= f(LNX1,LNX2,). Kemudian nilai R2 masing-masing regresi parsial dibandingkan dengan nilai R2 model estimasi awal, apabila R2 regresi parsial > R2 estimasi terjadi multikolinearitas. Tabel 4.8 Pengujian Regresi Parsial Variabel LN-I LN-L LN-T R2 regresi parsial 0.141903 0.668498 0.636175 Kriteria < < < R2 estimasi 0.689352 0.689352 0.689352 Multikolinearitas Tidak Terdapat Tidak Terdapat Tidak Terdapat Sumber: Pengujian regresi parsial EViews Berdasarkan hasil pengujian regresi parsial seperti pada Tabel 4.8 di atas, dalam model estimasi secara umum tidak terdapat multikolinearitas karena nilai R2 regresi parsial < R2 estimasi. Tabel 4.9 Matriks Korelasi Antarvariabel Variabel LN_M LN_I LN_L LN_T LN_M 1.000000 0.090627 -0.708304 -0.332009 Sumber: Pengujian Korelasi EViews LN_I 0.090627 1.000000 -0.330636 -0.149913 LN_L -0.708304 -0.330636 1.000000 0.788898 LN_T -0.332009 -0.149913 0.788898 1.000000 124 Berdasarkan hasil analisis diperoleh data seperti pada Tabel 4.9 di atas menunjukan korelasi antar variabel penelitian, diketahui bahwa seluruh variabel tidak terjadi multikolinearitas, hal tersebut terlihat dari korelasi atau hubungan antar variabel bebas yang relatif kecil. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam model ini tidak terdapat atau terbebas dari multikolinearitas. B. Uji Heteroskedastisitas Salah satu asumsi pokok dalam model regresi linier klasik ialah bahwa varian-varian setiap distubance term yang dibatasi oleh nilai tertentu mengenai variabel-variabel bebas adalah berbentuk suatu nilai konstan yang sama dengan σ 2 . Inilah yang disebut sebagai asumsi homoskedastisitas. (Gujarati, 1995: 177). Berdasarkan hasil pengujian melalui White Heteroscedasticity Test Eviews 3.1 didapat hasil perhitungan sebagai berikut: Tabel 4.10 Pengujian White Heteroskedasticity White Heteroskedasticity Test: F-statistic 2.135132 Probability 0.123554 Obs*R-squared 7.308364 Probability 0.120463 Sumber: Pengujian White Heteroskedastis EViews 3.1 Hasil penghitungan melalui White Heteroscedasticity Test menghasilkan nilai R2 yang telah disesuaikan (R-Squared) sebesar 7.308364. Jika nilai R2 yang telah disesuaikan (R-Squared) lebih kecil dari nilai χ2tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat masalah heteroskedastisitas dalam model empiris yang sedang diestimasi adalah ditolak. nilai χ2tabel dengan df= 21-4= 17 sebesar 27,5871, maka dapat disimpulkan bahwa R2 yang telah disesuaikan (R-Squared) < χ2tabel (7.308364 < 27,5871) berarti hipotesis yang menyatakan terdapat 125 persoalan heteroskedastisitas dalam model empiris yang sedang diestimasi adalah ditolak. Ini berarti dalam model estimasi tidak terdapat heteroskedastisitas, atau dengan kata lain gangguan (disturbance) yang muncul dalam fungsi regresi populasi adalah homoskedastis. C. Uji Autokorelasi Autokorelasi merupakan gangguan pada fungsi regresi yang berupa korelasi antar faktor gangguan antaranggota sampel atau data pengamatan yang diurutkan berdasarkan waktu (time series), sehingga muncul suatu data dipengaruhi oleh data sebelumnya. Model regresi linier mengandung asumsi tidak terdapat autokorelasi atau korelasi serial diantara disturbance term-nya. (Gujarati, 1995: 201). Dalam penelitian ini untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi, maka peneliti menggunakan metode Durbin-Watson dua sisi dengan kriteria dU < d4 – dU. Tabel 4.11 Pengujian Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 4.359328 Probability Obs*R-squared 4.285991 Probability Variable Coefficient Std. Error t-Statistic C -0.161794 0.324242 -0.498993 LNI 0.010551 0.025788 0.409141 LNL 0.009384 0.015261 0.614914 RESID(-1) 0.595642 0.285283 2.087900 R-squared 0.204095 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.063641 S.D. dependent var S.E. of regression 0.070372 Akaike info criterion Sum squared resid 0.084189 Schwarz criterion Log likelihood 28.15409 F-statistic Durbin-Watson stat 1.849715 Prob(F-statistic) Sumber: Pengujian autokorelasi Eviews 0.052166 0.038428 Prob. 0.6242 0.6875 0.5468 0.0522 -1.74E-16 0.072725 -2.300389 -2.101432 1.453109 0.262553 126 Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh hasil dhitung sebesar 1.849715 dengan du sebesar 1.81 dan dl sebesar 0.93 sehingga 1.81<1.849715<2.19 sehingga dalam model yang diujikan tidak terdapat autokorelasi. D. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah variabel pengganggu terdistribusi normal atau tidak. Untuk mendeteksi normal tidaknya faktor pengganggu dapat dipergunakan metode Jarque-Bera Test (JB-Test). Selanjutnya nilai JBhitung = χ2hitung dibandingkan dengan χ2tabel. Jika JBhitung > χ2tabel maka H0 yang menyatakan residual berdistribusi normal ditolak, begitupun sebaliknya, Jika JBhitung < χ2tabel maka H1 diterima berarti residual berdistribusi normal diterima. (Gujarati, 1995:68). Gambar 4.6 Uji Normalitas Jarque-Bera Model Pertama (Sumber: Pengujian normalitas Jarque-Bera EViews 3.1) Berdasarkan Gambar 4.6 di atas, nilai J-Bhitung diperoleh sebesar 1,966923. Nilai JBhitung kemudian dibandingkan dengan χ2tabel dengan probabilitas 0,05 dan df= 21-4=17, sehingga diperoleh nilai χ2tabel sebesar 27,5871. oleh karena nilai 127 JBhitung = 1,966923 < χ2tabel = 27,5871 dan nilai probabilitasnya sebesar 0.374014 > α (0,05) maka H1 diterima yang berarti residual berdistribusi normal. E. Uji Linearitas Uji linieritas digunakan untuk mengetahui apakah fungsi yang digunakan dalam penelitian berbentuk linier, kuadrat, atau kubik. Untuk menguji linieritas Penulis menggunakan uji Ramsey RESET Test, uji ini dikembangkan oleh Ramsey tahun 1969 yang menyarankan suatu uji yang disebut general test of spesification atau RESET. Ramsey RESET Test bertujuan untuk menghasilkan nilai Fhitung. Fhitung yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan Ftabel, apabila Fhitung > Ftabel maka H0 yang menyatakan bahwa spesifikasi model yang digunakan dalam bentuk fungsi linier ditolak, dan sebaliknya bila Fhitung < Ftabel maka H1 yang menyatakan bahwa spesifikasi dalam fungsi linier diterima. (Ashton de Silva, 2003: 14). Dengan menggunakan perhitungan Eviews 3.1 maka diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 4.12 Uji Liniaritas Data Ramsey Model Pertama Ramsey RESET Test: F-statistic 9.889468 Log likelihood ratio 9.628948 Variable Coefficient C -278.5943 LNI -1.857810 LNL -7.208106 FITTED^2 5.041144 R-squared 0.769984 Adjusted R-squared 0.729392 S.E. of regression 0.062720 Sum squared resid 0.066874 Log likelihood 30.57167 Durbin-Watson stat 1.547872 Probability Probability Std. Error t-Statistic 90.99584 -3.061616 0.598432 -3.104465 2.319979 -3.106970 1.603033 3.144752 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) Sumber: Pengujian Linieritas Data Ramsey Eviews 3.1 0.005909 0.001915 Prob. 0.0071 0.0064 0.0064 0.0059 8.287278 0.120569 -2.530635 -2.331679 18.96925 0.000011 128 Dari hasil pengolahan data diperoleh nilai Fhitung sebesar 9.889468 dengan probabilitas 0.005909. Karena Fhitung (9.889468 > Ftabel (3,20), Jadi Fhitung > Ftabel maka hipotesis yang menyatakan bahwa spesifikasi model yang digunakan dalam bentuk fungsi linier adalah ditolak. 4.2.2.2 Pengujian Hipotesis Model Pertama Pengujian hipotesis dalam penelitian ini yaitu dengan pengujian satu sisi (one side) atau satu ujung (one tail), hal ini dilakukan karena pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat sudah ditetapkan. Tingkat keyakinan yang digunakan sebesar 95% atau residu sebesar 5% (α = 5%). Pengujian hipotesis dialakukan dengan kriteria t hitung > t tabel H0 ditolak dan H1 diterima. A. Pengujian Hipotesis Regresi Majemuk Secara Individual (Uji t) Model Pertama Pengujian hiotesis secara individu dengan uji t bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing variabel bebas X terhadap variabel terikat Y. (Gujarati, 1995: 74). Dalam hal ini ingin diketahui apakah investasi sektor industri pengolahan pengolahan, pengembangan tenaga kerja dan pengembangan teknologi berpengaruh secara parsial terhadap pertumbuhan produk industri pengolahan Indonesia. Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan EViews 3.1 maka diperoleh hasil sebagai berikut: 129 Tabel.4.13 Pengujian Hipotesis Secara Parsial (Uji t) Model Pertama Variabel Investasi sektor industri pengolahan (I) t hitung t tabel Keputusan Pengaruh -1.678414 > -1,740 Menerima H0 Tidak Signifikan Pengembangan Tenaga Kerja (L) -5.621223 < -1,740 Menolak H0 Signifikan Pengembangan Teknologi (T) 3.000467 > 1,740 Menolak H0 Signifikan Sumber : Pengujian Model Eviews 3.1 Investasi sektor industri pengolahan (I) memiliki nilai thitung sebesar 1,678414 sedangkan t tabel dengan df (degree of freedom) sebanyak df= n-4 = 21-4 = 17 buah adalah -1,740 maka -thitung > -ttabel. Hipotesis ini menerima H0 dan menolak H1 yang berarti Investasi sektor industri pengolahan (I) tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan produk industri pengolahan Indonesia, hal ini dapat juga diketahui dengan melihat nilai probabilitasnya pada tabel 4.7 sebelumnya yaitu sebesar 0.1116 atau ketidak yakinan sebesar 11,16%. Untuk thitung variabel Pengembangan Tenaga Kerja (L) sebesar -5.621223 dan ttabel = -1,740, maka -thitung < -ttabel. Hipotesis ini menolak H0 dan menerima H1 yang berarti Pengembangan Tenaga Kerja (L) berpengaruh negatif secara signifikan terhadap pertumbuhan produk industri Pengolahan Indonesia, terbukti dengan nilai probabilitasnya (pada Tabel 4.7) sebesar 0.0000 atau tingkat ketidak yakinan sebesar 00,00%. Sementara itu untuk nilai thitung Pengembangan Teknologi (T) sebesar 3.000467 dan nilai t tabel = 1,740, maka thitung < ttabel. Hipotesis ini menolak H0 dan menerima H1 , berarti Pengembangan Teknologi (T) berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan produk industri Pengolahan Indonesia, hal ini terbukti dengan tingkat probabilitasnya sebesar 0,0080 atau tingkat ketidak yakinan sebesar 0,80%. 130 B. Pengujian Hipotesis Regresi Majemuk Secara Keseluruhan (Uji F) Model Pertama Uji F digunakan untuk menguji variabel independen secara keseluruhan dan bersama-sama; untuk melihat apakah variabel independen secara keseluruhan mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. Kriteria pengujian nilai F adalah jika nilai Fhitung > Ftabel dengan taraf keyakinan 95%, maka H0 ditolak yang berarti ada pengaruh secara serempak atau secara bersama-sama dari keseluruhan variabel independen terhadap variabel dependen, begitupun sebaliknya. Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan EViews 3.1 maka diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 4.14 Pengujian Hipotesis Secara Simultan (Uji F) Model Pertama F hitung 12.57459 > F tabel Keputusan Pengaruh 3,20 Menolak H0 Berpengaruh secara simultan Sumber: Hasil pengujian model Eviews Berdasarkan hasil pengujian pada Tabel 4.7, diperoleh nilai Fhitung sebesar 12.57459 dan untuk nilai Ftabel = 3,20 dari df pembilang 3, penyebut 17, dengan tingkat signifikan α = 5%. Dapat disimpulkan bahwa Fhitung > Ftabel berarti H0 ditolak dan H1 diterima, yang menunjukan bahwa variabel bebas secara bersamasama berpengaruh terhadap variabel terikat Pertumbuhan Produk Industri Pengolahan. C. Koefisien Determinasi Majemuk (R2) Model Pertama Uji R 2 atau disebut juga koefisien regresi adalah angka yang menunjukkan besarnya derajat kemampuan atau distribusi variabel bebas dalam menjelaskan 131 atau menerangkan variabel terikatnya dalam fungsi yang bersangkutan. Besarnya nilai R 2 diantara nol dan satu (0 < R 2 <1). Jika nilainya semakin mendekati satu, maka model tersebut baik dan tingkat kedekatan antara variabel bebas dan variabel terikat pun semakin dekat pula. Dalam penelitian ini R2 sebesar 0.689349 atau 68.9349%. Artinya sebesar 68.9349% pertumbuhan produk industri Pengolahan Indonesia dipengaruhi oleh Investasi Sektor Industri Pengolahan, Pengembangan Tenaga Kerja dan Pengembangan Teknologi sedangkan sisanya sebesar 31.0651% dipengaruhi oleh faktor lain diluar model. 4.2.3 Analisis Data dan Pengujian Hipotesis Persamaan Kedua 4.2.3.1 Pengujian Model Kedua Analisis data dalam pengujian model kedua ini menggunakan EViews (Econometric Views) 3.1, data yang diperoleh dari hasil pengujian EViews adalah sebagai berikut: Tabel 4.15 Pengujian Model Kedua Dependent Variable: LNCM Method: Two-Stage Least Squares Sample: 1988 2008 Included observations: 21 Instrument list: LNM C LNI LNL LNT Variable Coefficient Std. Error t-Statistic C 2.755855 0.545420 5.052720 LNM -0.608056 0.112934 -5.384194 R-squared 0.604080 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.583243 S.D. dependent var S.E. of regression 0.091444 Sum squared resid F-statistic 28.98954 Durbin-Watson stat Prob(F-statistic) 0.000034 Sumber: Pengujian model EViews 3.1 Prob. 0.0001 0.0000 -0.178826 0.141649 0.158878 1.366821 132 Dari hasil regresi diatas maka diperoleh persamaan model sebagai berikut: lnCm = 2.755855 - 0.608056 ln t = (5.052720) (-5.384194) R2 = 0.604080 Berdasarkan hasil pengujian di atas, nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.604080 atau 60,4080%, artinya dalam model tersebut variabel bebas Pertumbuhan Produk Industri pengolahan (M) dapat menjelaskan variabel dependen Daya Saing Produk (Cm) sebesar 60,4080%. Nilai Adjusted R-squared sebesar 0.583243 menunjukkan bahwa semakin banyak variable independen yang dimasukkan ke dalam persamaan, akan semakin memperkecil nilai 2 sebesar 0.583243. Nilai S.E. of regression sebesar 0.091444 menunjukkan bahwa Standar Error dari persamaan regresi pertama ini adalah 0.091444. F-Statistik berfungsi untuk mengetahui secara serempak pengaruh semua variable independen (X) terhadap variabel dependen (Y). dan probabilitas dalam model pertama ini adalah 0.000034. Sementara itu mean dependen variable atau nilai rata-rata variabel dependen (Daya saing produk) adalah sebesar -0.178826. Standar deviasi variable dependen (daya saing produk) sebesar 0.141649. Sum squared resid sebesar 0.158878 menunjukkan jumlah nilai residual kuadrat dalam persamaan. Nilai uji Durbin-Watson stat digunakan untuk mengetahui apakah terdapat autokorelasi (hubungan antarresidual), dalam model persamaan Nilai Durbin-Watson stat sebesar 1.366821 menunjukkan tidak adanya autokorelasi. Selain itu dalam model persamaan kedua ini digunakan uji sebagai berikut: 133 A. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah variabel pengganggu terdistribusi normal atau tidak. Untuk mendeteksi normal tidaknya faktor pengganggu dapat dipergunakan metode Jarque-Bera Test (JB-Test). Selanjutnya nilai JBhitung = χ2hitung dibandingkan dengan χ2tabel. Jika JBhitung > χ2tabel maka H0 yang menyatakan residual berdistribusi normal ditolak, begitupun sebaliknya, Jika JBhitung < χ2tabel maka H1 diterima berarti residual berdistribusi normal diterima. Gambar 4.7 Uji Normalitas Jarque-Bera Model Kedua (Sumber: Pengujian normalitas Jarque-Bera EViews 3.1) Berdasarkan Gambar 4.7 di atas, nilai J-Bhitung diperoleh sebesar 0,971356. Nilai JBhitung kemudian dibandingkan dengan χ2tabel dengan probabilitas 0,05 dan df= 21-2=19, sehingga diperoleh nilai χ2tabel sebesar 30,1435. oleh karena nilai JBhitung = 0,971356 < χ2tabel = 30,1435 dan nilai probabilitasnya sebesar 0,615280 > α (0,05) maka H1 diterima yang berarti residual berdistribusi normal. 134 B. Uji Linearitas Uji linieritas digunakan untuk mengetahui apakah fungsi yang digunakan dalam penelitian berbentuk linier, kuadrat, atau kubik. Untuk menguji linieritas Penulis menggunakan uji Ramsey RESET Test, uji ini dikembangkan oleh Ramsey tahun 1969 yang menyarankan suatu uji yang disebut general test of spesification atau RESET. Ramsey RESET Test bertujuan untuk menghasilkan nilai Fhitung. Fhitung yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan Ftabel, apabila Fhitung > Ftabel maka H0 yang menyatakan bahwa spesifikasi model yang digunakan dalam bentuk fungsi linier ditolak, dan sebaliknya bila Fhitung < Ftabel maka H1 yang menyatakan bahwa spesifikasi dalam fungsi linier diterima. Dengan menggunakan perhitungan Eviews 3.1 maka diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 4.16 Uji Liniaritas Data Ramsey Model Kedua Ramsey RESET Test: F-statistic 1.154634 Variabel Coefficient C -2.389039 LNM 0.492526 FITTED^2 -3.834436 R-squared 0.585067 Adjusted R-squared 0.538963 S.E. of regression 0.096179 F-statistic 13.67996 Prob(F-statistic) 0.000244 Probability 0.296775 Std. Error t-Statistic Prob. 4.822245 -0.495421 0.6263 1.031101 0.477670 0.6386 3.568447 -1.074539 0.2968 Mean dependent var -0.178826 S.D. dependent var 0.141649 Sum squared resid 0.166508 Durbin-Watson stat 1.388117 Sumber: Pengujian Linieritas Data Ramsey Eviews 3.1 Dari hasil pengolahan data diperoleh nilai Fhitung sebesar 1,154634 dengan probabilitas 0,296775. Karena Fhitung (1,154634 > Ftabel (4,38), Jadi Fhitung <Ftabel maka H0 yang menyatakan bahwa spesifikasi model yang digunakan dalam bentuk fungsi linier diterima. 135 4.2.3.2 Pengujian Hipotesis Model Kedua Pengujian hipotesis dalam penelitian ini yaitu dengan pengujian satu sisi (one side) atau satu ujung (one tail), hal ini dilakukan karena pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat sudah ditetapkan. Tingkat keyakinan yang digunakan sebesar 95% atau residu sebesar 5% (α = 5%). Pengujian hipotesis dialakukan dengan kriteria t hitung > t tabel H0 ditolak dan H1 diterima. A. Pengujian Hipotesis Regresi Majemuk Secara Individual (Uji t) Model Kedua Pengujian hipotesis secara individu dengan uji t bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari variabel Y1 terhadap variabel Y2. Dalam hal ini ingin diketahui apakah Pertumbuhan Produk berpengaruh secara parsial terhadap Daya Saing produk. Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan EViews 3.1 maka diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel.4.17 Pengujian Hipotesis Secara Parsial (Uji t) Model Kedua Variabel t hitung Pertumbuhan Produk (M) -5.384194 < t tabel Keputusan Pengaruh -1,729 Menolak H0 Signifikan Sumber : Pengujian Model Eviews 3.1 Variabel Pertumbuhan Produk (M) memiliki nilai thitung sebesar -5.384194 sedangkan t tabel dengan df (degree of freedom) sebanyak df= n-2 = 21-2 = 19 buah adalah -1,729 maka -thitung < -ttabel. Hipotesis ini menolak H0 dan menerima H1 yang berarti Pertumbuhan Produk (M) berpengaruh negatif secara signifikan terhadap Daya Saing Produk, hal ini dapat juga diketahui dengan melihat nilai 136 probabilitasnya pada Tabel 4.15 sebelumnya yaitu sebesar 0,0000 atau ketidak yakinan sebesar 0,0000 %. B. Pengujian Hipotesis Regresi Majemuk Secara Keseluruhan (Uji F) Model Kedua Uji F digunakan untuk menguji variabel independen secara keseluruhan dan bersama-sama; untuk melihat apakah variabel independen secara keseluruhan mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. Kriteria pengujian nilai F adalah jika nilai Fhitung > Ftabel dengan taraf keyakinan 95%, maka H0 ditolak yang berarti ada pengaruh secara serempak atau secara bersama-sama dari keseluruhan variabel independen terhadap variabel dependen, begitupun sebaliknya. Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan EViews 3.1 maka diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 4.18 Pengujian Hipotesis Secara Simultan (Uji F) Model Kedua F hitung 28.98954 > F tabel Keputusan Pengaruh 4,38 Menolak H0 Berpengaruh secara simultan Sumber: Hasil pengujian model Eviews Berdasarkan hasil pengujian pada Tabel 4.18, diperoleh nilai Fhitung sebesar 28.98954 dan untuk nilai Ftabel = 4,38 dari df pembilang 1, penyebut 19, dengan tingkat signifikan α = 5%. Dapat disimpulkan bahwa Fhitung > Ftabel berarti H0 ditolak dan H1 diterima, yang menunjukan bahwa variabel bebas secara simultan berpengaruh terhadap variabel terikat Daya Saing produk. 137 C. Koefisien Determinasi Majemuk (R2) Model Kedua Uji R2 atau disebut juga koefisien regresi adalah angka yang menunjukkan besarnya derajat kemampuan atau distribusi variabel bebas dalam menjelaskan atau menerangkan variabel terikatnya dalam fungsi yang bersangkutan. Besarnya nilai R 2 diantara nol dan satu (0 < R 2 <1). Jika nilainya semakin mendekati satu, maka model tersebut baik dan tingkat kedekatan antara variabel bebas dan variabel terikat pun semakin dekat pula. Dalam model penelitian kedua ini R2 sebesar 0.604080 atau 60.4080%. Artinya sebesar 60.4080% Daya Saing produk industri pengolahan dipengaruhi oleh Pertumbuhan Produk Industri Pengolahan, sedangkan sisanya sebesar 39.592% dipengaruhi oleh faktor lain diluar model. 4.3 Pembahasan Hasil Penelitian Berdasarkan pengujian penelitian dengan menggunakan metode kuadrat terkecil dua tahap (Two-Stage Least Square atau 2-SLS) diperoleh persamaan sebagai berikut: Model persamaan 1: ln = -1.672225 - 0.067260 lnI - 0.209011 lnL + 1.009804 lnT Model persamaan 2: lnCm = 2.755855 - 0.608056 ln a. Model Persamaan 1 Berdasarkan hasil pengujian hipotesis model persamaan pertama menunjukan bahwa variabel-variabel bebas yaitu Investasi Sektor Industri 138 Pengolahan (I), Pengembangan Tenaga Kerja (L) dan Pengembangan Teknologi (T) secara bersama-sama atau simultan berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan produk industri Pengolahan di Indonesia. Namun secara parsial tidak semua variabel bebas berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat. Dari pengolahan data tersebut dapat dilihat bahwa variabel investasi sektor industri pengolahan (I) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat, sedangkan variabel lainnya menunjukkan bahwa secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat. Untuk koefisien β0 (konstanta) menunjukan jika pertumbuhan produk industri pengolahan tidak dipengaruhi oleh investasi sektor industri pengolahan, pengembangan tenaga kerja, dan pengembangan teknologi, maka nilai pertumbuhan Produk adalah -1.672225%. Koefisien variabel Pengembangan Tenaga Kerja (lnL) sebesar -1.672225; hal ini menunjukan bahwa jika terjadi peningkatan Pengembangan Tenaga Kerja sebesar Rp. 1%, maka Pertumbuhan Produk akan menurun sebesar 1.672225%. Untuk koefisien Pengembangan Teknologi (lnT) sebesar 1.009804, hal ini menunjukan bahwa jika pengembangan teknologi meningkat sebesar 1%, maka Pertumbuhan Produk akan meningkat sebesar 1.009804%. Berdasarkan hasil pengujian, terlihat bahwa semua variabel bebas yaitu investasi sektor industri pengolahan, pengembangan tenaga kerja dan pengembangan tekologi dapat dikatakan baik, hal tersebut dapat terlihat dari koefisien determinasi (R2) yang cukup tinggi yaitu sebesar 0.689349, yang berarti tingkat kecocokan model sebesar 68,9349% investasi sektor industri pengolahan, 139 pengembangan tenaga kerja dan pengembangan teknologi berpengaruh terhadap pertumbuhan produk industri pengolahan di Indonesia sedangkan sisanya 31.0651% dipengaruhi oleh faktor lain di luar model yang mempengaruhi pertumbuhan produk industri pengolahan di Indonesia. b. Model Persamaan 2 Koefisien variabel Pertumbuhan Produk (lnM) sebesar -0.608056 menunjukkan bahwa jika terjadi peningkatan pertumbuhan produk sebesar 1%, maka Daya Saing produk akan menurun sebesar 0.608056%. Berdasarkan hasil pengujian, terlihat bahwa pertumbuhan produk dapat dikatakan baik, hal tersebut dapat terlihat dari koefisien determinasi (R2) yang cukup tinggi yaitu sebesar 0.604080, yang berarti tingkat kecocokan model sebesar 60.4080% pertumbuhan produk industri pengolahan berpengaruh terhadap daya saing produk sedangkan sisanya 39.592% dipengaruhi oleh faktor lain di luar model yang mempengaruhi daya saing produk industri pengolahan di Indonesia. 4.3.1 Pengaruh Investasi Sektor Industri Pengolahan terhadap Pertumbuhan Produk Dari hasil pengujian menunjukan bahwa Investasi sektor industri pengolahan tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan produk industri Pengolahan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari probabilitasnya sebesar 0.1116 atau lebih dari 0,05. berbeda dengan hipotesis yang telah dikemukakan, bahwa terdapat pengaruh yang positif antara investasi sektor industri pengolahan terhadap pertumbuhan produk. Dengan demikian Selama periode penelitian investasi sektor industri pengolahan bukan merupakan estimator yang baik untuk 140 menentukan tinggi rendahnya Pertumbuhan Produk Industri Pengolahan Indonesia. Masih ada faktor lain yang lebih dominan yang tidak dimasukan dalam penelitian. Hal ini tidak sejalan dengan Teori Harod-Domar bahwa setiap tambahan netto terhadap stok modal dalam bentuk investasi baru akan menghasilkan kenaikan arus output nasional. Kenaikan output tersebut dipengaruhi oleh tabungan dan investasi. (M.P Todaro. 2000:96). Industri pengolahan di Indonesia terbagi kedalam empat kategori yaitu industri padat sumber daya alam, industri padat tenaga kerja, industri padat modal, dan industri padat teknologi. Investasi sektor industri pengolahan seharusnya dialokasikan secara seimbang kepada setiap jenis industrinya untuk menunjang pertumbuhan produk yang tinggi. Fenomena saat ini menunjukkan bahwa investasi sektor industri pengolahan adalah investasi bersifat padat modal bukan investasi bersifat padat karya. Hal tersebut dapat dilihat dari investasi padat modal mengalami peningkatan setiap tahunnya yang disebabkan oleh transformasi perekonomian indonesia yang semula mengandalkan sektor pertanian beralih ke sektor industri. Peralihan sistem perekonomian ini menuntut industri dalam negeri untuk dapat mengikuti era yang lebih modern. Industri padat modal lebih banyak menggunakan peranan teknologi dibandingkan dengan tenaga kerja, oleh karena itu industri lebih banyak menggunakan investasi yang bersifat padat modal. (Thoso Priharnowo, 2006). Hal tersebut dapat dilihat dari tabel proporsi investasi pada setiap sub-sektor industri pengolahan berikut: 141 Tabel 4.19 Proporsi Investasi Sub-Sektor Industri Pengolahan Kode 15 16 20 21 22 25 36 17 18 19 28 30 33 37 23 Kelompok Industri Industri Padat Sumber Daya Alam Makanan dan minuman Pengolahan tembakau Kayu, barang-barang dari kayu (tidak termasuk furnitur), dan barang-barang-barang anyaman Kertas dan barang dari kertas Penerbitan, percetakan dan reproduksi media rekaman Karet, barang dari karet dan barang dari plastik Furnitur dan pengolahan lainnya Industri Padat Tenaga Kerja Tekstil Pakaian jadi Kulit, barang dari kulit dan alas kaki Barang barang dari logam, kecuali mesin dan peralatannya Peralatan kantor, akuntansi, dan pengolahan data Peralatan kedokteran, alat-alat ukur, peralatan navigasi, peralatan optik, jam, dan lonceng Daur Ulang Industri Padat Modal Batu bara, pengilangan minyak bumi dan pengolahan gas bumi, barang-barang dari hasil pengilangan minyak bumi dan bahan bakar nuklir 2006 Investasi Kontribusi (PMA+PMDN) (%) 9468.3 19.2 4069.6 8.4 1185.3 2.4 2007 Investasi Kontribusi (PMA+PMDN) (%) 28462.7 38.85 7373.9 10.07 338.5 0.46 2008 Investasi Kontribusi (PMA+PMDN) (%) 16965.4 27.8 8651.72 14.17 385.4 0.63 1103.5 2.2 793.5 1.08 968.7 1.59 1312 777.3 826.1 194.5 2.7 1.6 1.7 0.4 13075.3 4862.2 1497.7 523.9 17.85 6.64 2.04 0.74 2076.38 1656.2 2792.6 434.4 3.4 2.71 4.57 0.71 2266.2 392 113.7 522 707.9 526.3 4.6 0.8 0.2 1.1 1.4 1.1 6118.2 1137.9 407.3 1017.5 900 2531.3 8.35 1.55 0.56 1.39 1.23 3.46 5967.2 1882.8 938.8 1468.1 943.7 546.2 9.8 3.08 1.54 2.4 1.55 0.89 2 0.004 109 0.15 164 0.27 2.3 0.005 15.2 0.21 23.6 0.04 35200.7 71.6 36447.4 49.75 34929.1 57.2 9760.7 19.8 5038.8 6.88 4451.8 7.29 142 24 26 27 29 31 34 Kimia dan barang-barang dari bahan kimia Barang galian bukan logam Logam dasar Mesin dan perlengkapannya Mesin listrik lainnya dan perlengkapannya Kendaraan bermotor Industri Padat Teknologi 32 Radio, televisi dan peralatan komunikasi serta perlengkapannya 35 Alat angkutan, selain kendaraan bermotor roda empat atau lebih TOTAL INVESTASI SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), 2009 5894.9 2333.8 6219.8 4528.9 1989.1 4473.5 12 4.7 12.6 9.2 4 9.1 17285.2 402.2 4852.8 3885.1 1690.5 3292.8 23.6 0.55 6.62 5.3 2.31 4.36 6781.7 3509.3 4779 6597 3596.6 5213.7 11.11 5.75 7.83 10.8 5.89 8.54 2261.7 1112.4 1149.3 49196.9 4.6 2.3 2.3 100 2229.2 789.6 1439.6 73259.8 3.04 1.07 1.97 100 3203.8 540.8 2663 61065.5 5.25 0.89 4.36 100 143 Dilihat dari proporsi investasi sektor industri pengolahan pada setiap subsektornya selama tiga tahun terakhir, proporsi tertinggi ditunjukkan oleh industri padat modal dengan rata-rata investasi sebesar Rp. 83291.31 miliar, meskipun persentase proporsi investasi terlihat menurun selama tiga tahun terakhir namun angka investasi yang ditunjukkan masih paling tinggi jika dibandingkan dengan kelompok industri yang lain. Angka proporsi terendah ditunjukkan oleh kelompok industri padat teknologi yang hanya mendapat ratarata investasi sebesar Rp. 5558.83 miliar atau hanya sekitar 9.82 persen pertahun. Sementara itu untuk kelompok industri padat sumber daya alam dan industri padat tenaga kerja rata-rata investasi masing-masing adalah sebesar Rp. 43586.13 miliar dan Rp. 10373.47 miliar, dimana angka-angka tersebut menunjukkan proporsi yang didapatkan kelompok industri tersebut masih lebih baik dibandingkan dengan kelompok industri padat teknologi namun masih tergolong memiliki proporsi yang rendah jika dibandingkan dengan kelompok industri padat modal. Data tersebut menunjukkan bahwa realisasi investasi sektor industri pengolahan terlihat lebih dominan diberikan pada industri yang bersifat padat modal dibandingkan dengan kelompok industry lainnya. Padahal jika dilihat dari jumlah output yang dihasilkan, kontribusi output yang tinggi bukan hanya ditunjukkan oleh kelompok industri padat modal saja, tetapi oleh kelompok industri lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dari kontribusi output berdasarkan kelompok industri pengolahan terhadap total output industri pengolahan yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini: 144 Tabel 4.20 Kontribusi Output Berdasarkan Kelompok Industri Pengolahan 2006 Kelompok Industri Output (miliar Rp) Kontribusi (%) 2007 Output (miliar Rp) Kontribusi (%) 1. Industri padat sumber daya 630199 46.03 688269 43.42 alam 2. Industri padat 225695 16.49 275695 18.71 tenaga kerja 3. Industri padat 440600 32.19 499814 31.52 modal 4. Industri padat 72144 5.27 121275 7.65 teknologi Total Output 1368638 100 985946 100 Sumber : Perkembangan Indeks Produksi Industri (BPS) 2009, data diolah 2008 Output (miliar Rp) Kontribusi (%) 900326 45.77 298966 15.19 622511 31.64 145411 7.39 1967214 100 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa selama periode 2006-2008, jumlah output tertinggi ditunjukkan oleh industri padat sumber daya alam dengan ratarata output sebesar Rp.1618577 miliar, dan output terendah yaitu industri padat teknologi dengan rata-rata sebesar Rp. 241889.3 miliar. Sementara itu jika dilihat dari kontibusinya terhadap output total industri pengolahan, kelompok industri padat sumber daya alam menunjukkan angka tertinggi rata-rata kontribusinya sebesar 104.71 persen, diikuti oleh industri padat modal dengan rata-rata kontribusi sebesar 74.26 persen, dan industri padat tenaga kerja rata-rata kontribusi sebesar 40.26 persen. Sementara itu rata-rata kontribusi industri padat teknologi hanya sebesar 15.38 persen saja. Investasi memiliki peranan penting untuk meningkatkan output dari setiap subsektor industri pengolahan namun jika dilihat dari fenomena sekarang yang menunjukkan bahwa investasi sektor industri pengolahan lebih banyak dialokasikan untuk subsektor industri yang padat modal dibandingkan dengan 145 subsektor industri lainnya, tentu saja dapat membuat pertumbuhan produk industri pengolahan mangalami pertumbuhan yang lambat. Data output diatas menunjukkan bahwa industri padat sumber daya alam, industri padat tenaga kerja, industri padat modal dan industri padat teknologi memiliki potensi untuk meningkatkan pertumbuhan produk industri pengolahan. Dalam hal ini pihak industri harus mampu untuk mengalokasikan investasi sektor industri pengolahan secara seimbang antara investasi padat modal dengan investasi padat sumber daya alam, investasi padat karya, dan investasi padat teknologi sehingga subesktor industri pengolahan dapat berkembang dan pertumbuhan produk industri pengolahan yang diharapkan tumbuh lebih baik dapat tercapai. 4.3.2 Pengaruh Pengembangan Tenaga Kerja terhadap Pertumbuhan produk Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan tenaga kerja yang diukur dari anggaran yang dikeluarkan untuk pengembangan tenaga kerja, berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan produk industri pengolahan hal tersebut dapat dilihat dari nilai profitabitasnya yaitu 0.0000, namun pengaruhnya menunjukkan arah negatif dengan koefisien -0.209011, artinya setiap penambahan biaya pengembangan tenaga kerja sebesar Rp. 1% maka pertumbuhan produk industri pengolahan akan mengalami penurunan sebesar 0.209011%. Industri memerlukan peranan dari tenaga kerja terutama tenaga kerja yang memiliki kemampuan dan keahlian bidang industri untuk dapat melakukan kegiatan produksi. Peningkatkan kualitas tenaga kerja industri dapat diwujudkan 146 dari anggaran yang dialokasikan untuk pengembangan meliputi pendidikan, pelatihan kerja, maupun diklat. Jika dilihat dari realisasinya, anggaran pengembangan tenaga kerja setiap tahunnya mengalami peningkatan hal itu sudah menunjukkan bahwa ada perhatian khusus terhadap pengembangan tenaga kerja, namun pengalokasian anggaran masih belum seimbang dan efisien sehingga dalam penelitian ini pengembangan tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan produk industri pengolahan Indonesia. Kenaikan biaya pengembangan tenaga kerja yang terus terjadi akan berdampak langsung pada biaya produksi secara umum, sehingga biaya produksi yang secara keseluruhan akan mengalami kenaikan akibatnya industri akan mengurangi jumlah barang yang diproduksi. Jika kondisi ini terus terjadi dalam jangka panjang pertumbuhan sebuah industri atau perusahaan akan mengalami penurunan karena tidak bisa menghadapi tekanan biaya produksi. Pertumbuhan produk industri pengolahan perlu ditingkatkan salah satunya dengan pengendalian anggaran pengembangan tenaga kerja, hal ini dilakukan karena sistem birokrasi yang belum bersih dari tidak KKN atau adanya penyelewengan-penyelewengan anggaran pengembangan. Lambatnya pertumbuhan industri pengolahan di Indonesia disebabkan oleh belum mampunya industri ini untuk menanggung biaya produksi yang semakin membumbung tinggi sementara persaingan semakin ketat menuntut biaya produksi yang kompetitif. Hal ini menunjukkan bahwa pada industri pengolahan berlaku hukum hasil lebih yang semakin berkurang (law of diminishing return). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lincoln Arsyad (1996:215) bahwa : ”hukum ini 147 menyatakan jika jumlah penggunaan satu input variabel meningkat sementara jumlah penggunaan faktor-faktor produksi lainnya tidak berubah, maka pada mulanya kenaikan penggunaan input tersebut akan menyebabkan kenaikan output, tetapi kemudian mulai menurun (berkurang). Atau dengan kata lain, hukum ini menyatakan bahwa MP (marginal product) dari faktor produksi variabel akhirnya akan menurun, jika input tersebut dikombinasikan dengan satu input lainya atau lebih yang jumlahnya tetap”. Dengan demikian untuk menghasilkan produksi yang optimum, maka peningkatan pengembangan tenaga kerja harus diiringi dengan penambahan atau peningkatan input lain, seperti teknologi yang memadai sehingga dapat meningkatkan kapasitas produksi. Permasalahan penting yang dihadapi sektor industri saat ini adalah masih rendahnya kualitas sumber daya manusia-nya, sebagaimana tercermin dari tingkat pendidikan tenaga kerja industri, menyebabkan rendahnya produktivitas tenaga kerja industri. Senada dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan bahwa tantangan pertama bagi industri kita ialah masalah produktivitas tenaga kerja Indonesia. Pada tahun 1990, diukur dengan Produk Domestik Bruto setiap pekerja, adalah sekitar US$1.600. Tingkat produktivitas ini sangat tidak optimal dibandingkan dengan negara lain misalnya Thailand US$ 2.600, Malaysia US$ 5.400, dan Korea Selatan US$ 12.000. Masalah ini yang banyak berkait dengan kemampuan penguasaan dan pengembangan iptek, pengetahuan, inovasi, dan keterampilan SDM dengan sendirinya mempengaruhi daya saing kita dalam percaturan ekonomi internasional. (Perkembangan Indeks Produksi Industri (BPS), 2007:19). 148 Era globalisasi dan persaingan yang semakin ketat menuntut tenaga kerja yang lebih professional dan mampu memberdayagunakan industri. Salah satu resiko masih rendahnya produktivitas tenaga kerja industri adalah output yang dihasilkan kurang maksimal, sehingga masih kalah bersaing dengan negara lain. Pengendalian anggaran pengembangan tenaga kerja sangatlah penting mengingat bahwa akan berpengaruh langsung terhadap kelancaran dan mutu produksi. Sangat disayangkan ketika karena alasan anggaran pengembangan tenaga kerja yang belum seimbang menyebabkan kualitas produksi rendah. Optimalisasi pengembangan tenaga kerja sangat penting mengingat perannya terhadap pertumbuhan suatu industri. Oleh karena itu pemerintah harus lebih bijaksana lagi dalam mengalokasikan anggaran untuk pengembangan tenaga kerja. Karena segala bentuk pembangunan seperti apapun tidak akan terwujud tanpa didukung oleh kualitas sumber daya manusia yang unggul. Sehingga jelas sesuai dengan teori bahwa pendidikan guna menghasilkan suatu investasi sumber daya manusia yang handal akan berpengaruh terhadap maju mundurnya pertumbuhan produk industri di Indonesia. 4.3.3 Pengaruh Pengembangan Teknologi terhadap Pertumbuhan produk Berdasarkan hasil pengujian, menunjukkan bahwa pengembangan teknologi yang diukur dari perkembangan anggaran perubahan teknologi berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan produk. Terlihat dari profitabilitas sebesar 0.0080 dan koefisiennya sebesar 1.009804, artinya semakin tinggi pengembangan teknologi maka pertumbuhan produk juga akan naik. Hal ini sejalan dengan Teori yang dikemukakan oleh Solow yang menyatakan bahwa 149 “Salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan adalah tingkat teknologi dan perbaikannya dari tahun ke tahun”. Meningkatnya pengembangan industri pengolahan berkaitan dengan berkembangnya teknologi industri. Dengan peluang dan tantangan pertumbuhan industri yang begitu pesat, maka kemampuan industri perlu ditingkatkan, melalui peningkatan kemampuan pemanfaatan dan penguasaan teknologi. Teknologi merupakan salah satu unsur penting dalam pembangunan ekonomi dan merupakan elemen pokok dalam pengembangan industri selain itu teknologi dapat memperluas tingkat produksi dengan input yang sama dari modal dan tenaga kerja. Penguasaan pengetahuan dan teknologi merupakan modal dasar untuk inovasi. Menurut Sadono Sukirno (2002 :352) Terdapat dua alasan dalam melakukan pengembangan dan penguasaan teknologi yaitu, 1) adanya keuntungan yang lebih besar dan 2) menekankan pada persaingan harga akan menimbulkan efek yang kurang menguntungkan industri. Penggunaan teknologi berdasarkan nilai ekonomis dalam jangka waktu tertentu. Penggunaan teknologi yang baik akan menghasilkan produk yang berkualitas dan dapat bersaing dengan produk-produk lain yang ada di pasar. Selain itu teknologi yang digunakan dalam proses produksi bertujuan untuk efisiensi produksi sehingga penguasaan teknologi modern dalam proses produksi diharapkan semakin lebih efisien dalam penggunaan input produksi sehingga biaya produksi dapat ditekan. Sejalan dengan pernyataan Porter dalam Tumar Sumihardjo (2008:8) yang menerangkan bahwa perubahan teknologi dilakukan perusahaan akan 150 memelihara keunggulan yang telah ada jika perubahan teknologi itu dapat menurunkan biaya atau meningkatkan differensiasi dan kepeloporan perusahaan dalam teknologi bersangkutan bersifat tahan lama. Suatu perubahan teknologi akan meningkatkan keunggulan bersaing jika ini cenderung menurunkan biaya atau meningkatkan differensiasi serta dapat terlindung dari peniruan. Peningkatan anggaran untuk pengembangan teknologi beberapa terakhir ini menunjukkan secara nyata komitmen industri terhadap pembangunan teknologi industri. Apabila anggaran pembangunan teknologi digabungkan dengan anggaran rutin, maka perkembangan anggaran teknologi 2001-2004 adalah Rp. 10.701,2 miliar, Rp. 10.871,2 miliar dan Rp. 11.182,6 miliar, atau meningkat dengan rata-rata 30 persen per tahun. (BPS, 2007). Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh kemajuan teknologi untuk meningkatkan pertumbuhan produk Indonesia sudah mulai ditunjukkan oleh industri Indonesia, dengan pemberian alokasi anggaran yang memadai. Hal yang masih jadi kendala adalah kemampuan tenaga kerja yang mampu untuk mengelola dan menjalankan teknologi industri yang ada terbukti dengan masih terbatasnya tenaga kerja industri profesional, yang tercermin dari rendahnya kualitas SDM dan kesenjangan pendidikan di bidang iptek menunjukkan rasio tenaga peneliti Indonesia pada tahun 2001 adalah 4,7 peneliti per 10.000 penduduk, jauh lebih kecil dibandingkan Jepang sebesar 70,7. (Rahardi Ramelan, 2004). Hal itu menunjukkan bahwa masih minimnya tenagatenaga professional yang dimiliki oleh industri Indonesia. Padahal jika di negeri ini banyak terdapat tenaga kerja ahli, industri akan mapu menghasilkan produk- 151 produk yang berkualitas dan memiliki daya saing di kancah internasional. Seperti yang diutarakan oleh Vincent Gaspersz (2001: 266) dalam kenyataannya pengembangan teknologi, termasuk keterampilan tenaga kerja, kerampilan manajerial sangat memainkan peranan penting untuk menciptakan suatu skala usaha ekonomi, perkembangan teknologi akan menciptakan proses produksi yang makin efisien sehingga biaya produksi total akan makin rendah dan itu meningkatkan penerimaan bersih/laba. Oleh karena itu perkembangan teknologi harus disertai dengan pengembangan tenaga kerja agar proses produksi dapat menghasilkan produk-produk yang unggul. 4.3.4 Pengaruh Pertumbuhan Produk Industri Pengolahan terhadap Daya Saing Produk Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan produk industri pengolahan berpengaruh signifikan terhadap daya saing hal tersebut dapat dilihat dari nilai profitabitasnya yaitu 0.0000, namun pengaruhnya menunjukkan arah negatif dengan koefisien -0.608056, artinya jika pertumbuhan produk industri pengolahan meningkat sebesar 1% maka daya saing produk akan turun sebesar 0.608056%. Pertumbuhan produk industri pengolahan memang berpengaruh terhadap daya saing produk, senada dengan teori yang dikemukakan oleh Porter bahwa salah satu pendukung daya saing industri adalah kondisi industri terkait dan pendukung, kemajuan dalam industri nasional dan perdagangan internasional menunjukkan bahwa suatu negara maju karena juga didukung oleh industri terkait dan industri pendukung yang maju dan kompetitif. Suatu industri hilir di suatu negara akan semakin kompetitif di pasar dunia jika industri-industri terkait dan 152 pendukungnya di dalam negeri juga mempunyai keunggulan kompetitif di tingkat internasional. (Mudjarat Kuncoro, 2007). Artinya bahwa pertumbuhan produk industri pengolahan akan mendukung daya saing produk di kancah internasional. Kontribusi pertumbuhan produk industri pengolahan terhadap daya saing dapat dilihat dari nilai ekspornya dan dibandingkan dengan ekspor dunia. Meningkatnya produksi akan berpengaruh terhadap kuantitas ekspor yang berkaitan dengan daya saing produk. Ketika suatu industri mampu memproduksi komoditas yang baik dan unggul maka akan dengan mudah untuk mendapat tempat dalam perdagangan internasional, dan frekuensi ekspor akan meningkat tidak kalah dengan produk-produk impor. Sektor industri pengolahan yang semakin berorientasi ekspor telah menopang ekonomi Indonesia. Ekspor industri pengolahan menyumbang sekitar 83-85% terhadap ekspor nonmigas dan sekitar 64-67 persen terhadap total ekspor Indonesia, bahkan kontribusi ekspor industri ini telah melampaui ekspor sektor lainnya. Dengan kata lain sektor industri pengolahan telah menjadi penopang perekonomian Indonesia. (BPS, 2007) Namun pertumbuhan produk industri pengolahan yang tinggi tidak dapat menjamin industri tersebut memiliki daya saing yang baik pula, jika tidak disertai dengan kualitas dan harga yang bersaing. Seperti hasil dari penelitian ini yang menunjukkan bahwa pertumbuhan produk industri pengolahan berpengaruh secara negatif terhadap daya saing produk. Jika dilihat dari angka indeks produksinya, industri pengolahan memang mengalami peningkatan namun hal tersebut justru berpengaruh negatif terhadap daya saing produk. Struktur ekspor nonmigas Indonesia telah berubah berdasarkan intensitas 153 input, yang dikelompokkan menjadi 5 kategori, yaitu: (a) NRI (Natural Resource Intensive), (b) ULI (Unskilled Labour Intensive), (c) PCI (Physical Capital Intensive), (d) HCI (Human Capital Intensive), dan (e) TI (Technological Intensive). (Mudjarat Kuncoro, 2007) Seperti yang dikemukakan oleh Rahardi Ramelan (2004), saat ini produk yang memiliki keunggulan komparatif tinggi adalah produk industri padat teknologi (TI) dan padat tenaga ahli (HCI) seperti barang-barang elektronik, kimia dan mesin non-elektronik termasuk peralatan telekomunikasi, komputer dan komponennya. Sementara itu industri pengolahan Indonesia masih terkonsentrasi pada komposisi produk ekspor industri pengolahan yang tergolong produk padat sumber daya alam (NRI) dan berbasis tenaga kerja yang tidak terampil (ULI) seperti karet, plastik, tekstil, kulit, kayu, dan gabus. Sebagaimana tercantum dalam tabel komposisi ekspor berikut: Tabel 4.21 Komposisi Ekspor Berdasarkan Intensitas Input 1. 2. 3. 4. 5. Kategori Natural Resource Intensive (NRI) Unskilled Labour Intensive (ULI) Physical Capital Intensive (PCI) Human Capital Intensive (HCI) Technological Intensive (TI) Total Nilai Ekspor (miliar US$) 2003 36.5 24.7 10.1 14.9 13.8 100 40.9 2004 36.9 26.0 10.2 15.2 11.7 100 48.7 Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), Trade Statistic, data diolah Catatan: - NRI: SITC 19, 20, 25 27 - ULI: SITC 17, 18, 22, 29 - PCI: SITC 15, 16, 31, 35, 36, 37 - HCI: SITC 26, 28, 33 - TI: SITC 21, 23, 24, 30, 32, 34 2005 38.9 24.9 10.7 13.2 12.4 100 55.6 2006 35.6 25.8 10.6 14.7 13.4 100 65.0 154 Dari tabel diatas terlihat bahwa ekspor industri pengolahan tertinggi ditunjukkan oleh kategori produk padat sumber daya alam (NRI) dan berbasis tenaga kerja yang tidak terampil (ULI). Hal ini mencerminkan masih lambatnya proses perubahan struktur ekspor industri pengolahan dan rendahnya divesifikasi produk pada industri pengolahan. Hal itulah yang menyebabkan masih rendahnya daya saing produk industri pengolahan Indonesia. Pengamatan selama ini sejak krisis ekonomi 1997/98 menunjukkan ada sejumlah faktor penting yang membuat kemerosotan daya saing industri pengolahan di Indonesia. Diantaranya yang terpenting adalah lemahnya penguasaan teknologi yang selanjutnya membuat posisi Indonesia lemah dalam inovasi baik produk maupun proses produksi, buruknya infrastruktur, rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM), termasuk entrepreneurship, dan ekonomi biaya tinggi, yang semakin parah disebabkan oleh banyaknya perda-perda yang mengharuskan pembayaran berbagai macam retribusi. (Tulus Tambunan, 2006) Selain itu Membludaknya produk-produk impor yang menawarkan kualitas dan harga yang bagus di dalam negeri membuat produk dalam negeri kurang laku di pasaran. Pertumbuhan produk industri pengolahan dapat menjadi andalan dan penentu daya saing jika kondisi permintaan/pasar domestik yang dapat dikatakan sebagai sumber utama pertumbuhan industri di dalam negeri selama ini membaik, kondisi infrastruktur dan SDM yang berkualitas. Produk industri pengolahan Indonesia masih bisa terus berkembang, meskipun permintaan pasar internasional turun yang menyebabkan daya saing produk turun. Tidak semua produk industri pengolahan memiliki daya saing yang 155 buruk terdapat beberapa produk memiliki keunggulan kompetitif berupa keunikan dan harga yang bersaing, produk tersebut sudah termasuk unggulan dan diterima oleh pasar internasional. 4.4 Implikasi Pendidikan Era globalisasi saat ini menimbulkan berbagai polemik terutama bagi negara-negara yang belum siap menghadapi persaingan bebas. Untuk itu keunggulan kompetitif suatu negara terhadap negara lain adalah faktor yang menentukan agar mampu bertahan, berperan, dan bersaing. Seperti kita ketahui bahwa peranan dunia pendidikan sangat penting dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Globalisasi memang tidak dapat dihindari, dimulai dari globalisasi tingkat regional dan berlanjut hingga ke tingkat internasional, maka dampak globalisasi memacu dunia pendidikan untuk berperan utama dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Keunggulan kompetitif atau daya saing dapat diartikan ke dalam 2 (dua) hal, yaitu memenuhi kebutuhan diri sendiri dan tidak tergantung kepada negara lain (mandiri), dan mampu berkompetisi dalam memenuhi kebutuhan negara dan bangsa lain. Suatu bangsa akan berdaya saing tinggi bila bangsa tersebut menerapkan dua hal tersebut. Pendidikan disetiap tahapan menjadi hal penting dalam peningkatan daya saing bangsa. Penanaman karakter keunggulan kompetitif pada seseorang dilakukan melalui proses pendidikan karakter untuk mulai dari tahapan pendidikan Dasar hingga atas dan menjadi tanggung jawab 156 bersama guru disekolah maupun orang tua. Pada tahapan inilah, anak bangsa dilatih agar mempunyai karakter independen dan keberanian berkompertisi. Dalam hal ini, tujuan pembelajaran harus berdasarkan pada kebutuhan masyarakat dan industri itu sendiri. Kesenjangan yang selama ini terjadi antara dunia pendidikan dan kebutuhan dunia kerja sudah saatnya diminimalisasi. Hasil dari proses pembelajaran tidak hanya cukup membuat siswa menguasai ilmu pengetahuan (transfer knowledge) tetapi juga bagaimana memanfaatkan dan mengimplementasikan ilmu pengetahuan tersebut untuk mengatasi berbagai problematika hidup setelah mereka menjadi bagian dari masyarakat. Dalam mengimplementasikan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari di sekolah, untuk dapat bermasyarakat dan meningkatkan taraf hidup disamping kemampuan akademik, perlu didukung oleh kemampuan bersosialisasi, bersikap, dan berfikir. Menurut Tim Board Based Education (2001) siswa perlu memiliki kecakapan hidup yang terdiri dari: 1. Kecakapan personal yang mencakup kecakapan mengenal diri dan kecakapan berpikir rasional 2. Kecakapan sosial 3. Kecakapan akademik 4. Kecakapan vokasional Sedangkan Dalin dan Rust (1996) menyatakan bahwa kecakapan hidup terdiri dari communication skills, numeracy skills, information skills, problem solving skills, self management and competitive skills, social and co-operation skills, physical skills, work and study skills, serta attitude and values. Di pihak 157 lain persyaratan yang ditetapkan oleh industri dalam merekrut tenaga kerja yang dibutuhkan adalah siswa yang dituntut memiliki keterampilan berfikir dan keterampilan social dalam menjawab tantangan dunia kerja. Berdasarkan pengertian kecakapan hidup di atas maka ukuran kualitas sumber daya manusia dapat ditinjau dari seberapa banyak seseorang memiliki keunggulan dari setiap aspek kecakapan hidup tersebut. Oleh karena itu system pendidikan dan pola pembelajaran harus disesuaikan dengan pendekatan kecakapan hidup. Dimana kecakapan hidup adalah kecakapan yang dimiliki oleh seseorang untuk berani menghadapi problematika hidup secara wajar tanpa merasa tertekan dan memiliki solusi sehingga mampu memecahkan persoalan hidup (Tim BBE, Depdiknas, 2001). Maka setiap pelajaran seharusnya memasukan aspek kecakapan hidup yang tidak perlu mengubah kurikulum yang ada, artinya bahwa pendidikan kecakapan hidup tidak tertuang secara eksplisit dalam kurikulum melainkan bagaimana guru sebagai pendidik mampu membekali peserta didik dengan pendidikan kecakapan hidup agar menghasilkan kualitas pendidikan yang unggul dan daya saing bangsa di era global. Selain itu peranan guru sebagai pendidik dalam menanamkan nilai keunggulan bersaing yang baik adalah melalui teladan dari guru itu. Hal tersebut dapat memudahkan peserta didik dalam memahami makna dari kemampuan bersaing yang baik yang ditunjukkan melalui tingkah laku dan perbuatan dari pendidiknya.