91 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi

advertisement
91
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Objek Penelitian
4.1.1
Perkembangan Pertumbuhan Produk Industri Pengolahan
Selama era orde baru (periode 1966-1998) hingga saat ini, perkembangan
industri telah mengubah struktur perekonomian Indonesia. Transformasi struktur
ekonomi suatu negara menunjukkan pola bahwa sejalan dengan peningkatan
pendapatan per kapita, perekonomian suatu negara akan bergeser dari yang
semula mengandalkan sektor pertanian menuju ke sektor industri, hal tersebut
dibuktikan oleh transformasi yang amat pesat dengan laju pertumbuhan industri
rata-rata tahunan dua digit, yang pada umumnya lebih pesat dari negara ASEAN
lainnya. Berkat pertumbuhan industri pengolahan pesat yang dipacu oleh
pertumbuhan ekspor hasil-hasil industri yang lebih pesat sejak akhir 1980-an,
Indonesia bersama-sama dengan Malaysia dan Thailand, disebut ‘ekonomi
industri baru’.
Menurut Hill dalam Mudrajat Kuncoro, 2007, dalam sejarah industri
Indonesia, setidaknya dikenal empat tahapan pertumbuhan tinggi dan transformasi
struktural yang cepat, yang masing-masing memiliki tekanan kebijakan dan
tekanan lingkungan internasional yang berbeda meliputi:
1. Periode pertumbuhan yang sangat cepat pada periode tahun 1967-1973
yang disebabkan oleh liberalisasi di segala sektor dan pulihnya kondisi
perekonomian. Inflasi menurun dengan cepat, saluran perdagangan dibuka
92
kembali yang menyebabkan pengeluaran konsumsi meningkat tajam dan
menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
2. Periode Bonanza Minyak (Oil Boom) pada periode 1973-1981, yang
ditandai dengan industrialisasi yang diarahkan oleh pemerintah, peran
BUMN yang menonjol, dan pembiayaan oleh bank-bank pemerintah.
3. Fase tahun 1981 hingga 1985, harga minyak dunia terus menurun sehingga
memaksa pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan industri, terutama
investasi di proyek-royek mega dan industri migas. Baru pada tahun 1985
4. Pemerintah mengubah investasi pemerintah, campur tangan pemerintah,
dan industri substitusi impor menjadi investasi swasta yang berorientasi
pasar dan bersifat promosi ekspor. Pada fase tersebut sektor swasta
menjadi mesin penggerak utama dari pertumbuhan industri.
Industri pengolahan
memang memegang peranan penting dalam
menyokong pembangunan Indonesia. Peranan yang paling utama adalah sebagai
penyumbang terbesar bagi PDB nasional dan sebagai sektor yang banyak
menyerap tenaga kerja. Selain itu sektor industri pengolahan yang semakin
berorientasi ekspor telah menopang ekonomi Indonesia. Ekspor industri
pengolahan menyumbang sekitar 83-85 persen terhadap ekspor nonmigas dan
sekitar 64-67 persen terhadap total ekspor Indonesia selama periode 1994-2005.
Bahkan kontribusi ekspor industri ini telah melampaui ekspor sektor pertanian dan
migas sejak awal dasawarsa 1990-an. Boleh dikata industri pengolahan menopang
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebelum krisis, industri pengolahan mampu
tumbuh dengan dua digit, yaitu rata-rata sekitar 11 persen selama 1974-1997.
93
Namun, sejak krisis pertumbuhan sektor industri relatif rendah hanya berkisar
antara 3,5 persen hingga 7,7 persen.
Perkembangan pertumbuhan Produk industri pengolahan di Indonesia
selama periode 1988-2008 mengalami fluktuasi seperti ditunjukan pada tabel 4.2
berikut ini:
Tabel 4.1
Perkembangan Indeks Produksi Industri Pengolahan di Indonesia Periode
1988-2008
Tahun
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Indeks produksi
(%)
164.24
184.08
186.66
157.89
132.29
125.43
108.95
119.33
120.04
126.54
103.46
105.44
100.08
104.27
107.68
113.56
117.33
118.85
116.92
123.44
127.15
Pertumbuhan
(%)
12.08
1.4
-15.41
-16.21
-5.19
-13.14
9.53
0.59
5.41
-18.24
1.91
-5.08
4.19
3.27
5.46
3.32
1.3
-1.62
5.58
3.01
Sumber: Indikator Industri Besar Dan Sedang Indonesia, BPS (data diolah)
94
Terjadinya krisis moneter di tahun 1997/1998 yang berkelanjutan menjadi
krisis ekonomi berdampak negatif terhadap hampir semua sektor ekonomi tidak
terkecuali sektor industri hal tersebut terindikasi dari penurunan pertumbuhan
produksi. Pada tahun 1998 pertumbuhan produksi industri mengalami kontraksi
sekitar -18,24 persen dibandingkan tahun 1997. Akibat krisis ekonomi tersebut
pertumbuhan produksi sektor industri pada tahun 1998 mengalami titik terendah.
Sejak krisis ekonomi, industri pengolahan mengalami pertumbuhan yang
lambat. Produksi sektor pengoalahan hanya tumbuh rata-rata 1,5 persen per tahun
selama periode 1998-2003, jauh dibawah pertumbuhan yang dihasilkan sebelum
krisis yang mencapai rata-rata 12,8 persen per tahun. Tahun 1999 mulai
mengalami peningkatan sekalipun relatif kecil yaitu hanya meningkat sekitar 1,91
persen dan tahun 2000 kembali mengalami penurunan sebesar 5,08 persen,
kemudian pada tahun 2000 hingga 2005 pertumbuhannya mengalami mulai
menunjukkan indikasi perbaikan namun masih bersifat lambat. Sejalan dengan
perlambatan pertumbuhannya, perannya dalam mendorong pertumbuhan PDB
makin berkurang. Peran industri pengolahan makin tergeser oleh sektor jasa,
terutama jasa modern di perkotaan. Pada 2008, industri pengolahan menyumbang
1 poin pada 6,1 persen pertumbuhan PDB. Lebih rendah dari rata-rata selama
2000-2008 (menyumbang 1,4 poin pada 5,7 persen pertumbuhan PDB).
Secara grafik pergerakan indeks produksi industri pengolahan dapat dilihat
pada gambar 4.2, berikut:
95
Gambar 4.1
Perkembangan Indeks Produksi Industri Pengolahan di Indonesia Periode
1988-2008
Sumber: Indikator Industri Besar Dan Sedang Indonesia, BPS (data diolah)
Prospek indonesia di sektor industri pengolahan tahun 2006 yang
diperkirakan dapat lebih meningkat dan mencapai terget ternyata meleset, justru
di tahun tersebut pertumbuhannya mengalami penurunan sebesar 1,62 persen.
Kondisi ini tidak terlepas dari melemahnya kinerja sejumlah industri yang selama
ini memberikan kontribusi besar bagi perekonomian nasional sehingga rata-rata
perkembangan
dan
pertumbuhan
industri
secara
umum
terhambat.
(Perkembangan Indeks Produksi Industri (BPS), 2007:10)
Berbeda dengan tahun 2006, di tahun 2007 pertumbuhan produk industri
pengolahan kembali menggeliat dengan peningkatan sebesar 5,58. Namun
ternyata peningkatan tidak dapat ditunjukkan di tahun 2008, meskipun angka
indeks produksinya mengalami peningkatan namun ternyata pertumbuhannya
mengalami penurunan. Pada tahun 2008, pertumbuhan produk industri
pengolahan mencapai 3,01 persen, lebih rendah dari tahun 2007 sebesar 5,58
96
persen. Sektor usaha yang mencatatkan pertumbuhan pada 2008 adalah industri
mesin dan pengolahan lain sebesar 34,16%, alat angkutan selain kendaraan
bermotor roda empat/lebih 33,80%, serta industri kendaraan bermotor 20,78%.
Sebaliknya, industri yang tumbuh negatif yaitu pakaian jadi sebesar minus
28,49% dan barang dari logam, kecuali mesin dan peralatannya, minus 13,76%.
(Perkembangan Indeks Produksi Industri (BPS), 2007:10)
Penurunan pertumbuhan produk industri pengolahan tahun 2008
merupakan salah satu akibat dari krisis keuangan dunia yang melanda Indonesia,
krisis global memengaruhi aktivitas ekspor, sehingga berdampak pada kegiatan
produksi di dalam negeri. Penurunan produksi sangat dipengaruhi oleh total
permintaan produk. Krisis ekonomi membuat permintaan akan barang konsumsi
termasuk juga bahan baku dan barang produksi menjadi menurun, hal itu akan
menurunkan nilai ekspor dan menurunkan total produksi perusahaan dalam
negeri. Sekalipun kondisi sektor industri terasa terpuruk akibat dampak dari krisis
ekonomi tersebut, ternyata sektor ini tetap melakukan berbagai upaya untuk dapat
bangkit kembali sekalipun belum sepenuhnya dapat kembali seperti kondisi
sebelum terjadinya krisis ekonomi.
4.1.2
Perkembangan Daya Saing Produk
Sektor industri pengolahan memang memiliki peranan yang sangat
penting, hal tersebut dapat dilihat dari kontribusinya terhadap PDB nasional
dimana sektor ini memberikan sumbangan paling besar dibandingkan dengan
sektor lainnya, selain itu sektor ini banyak menyerap tenaga kerja sehingga dapat
mengurangi angka pengangguran di Indonesia. Namun hal tersebut tidak cukup
97
menunjukkan bahwa kinerja sektor industri benar-benar tangguh, faktor penting
lain yang harus dapat dimiliki oleh sektor industri pengolahan adalah kemampuan
bersaing baik dalam konteks regional maupun internasional.
Fenomena yang terjadi saat ini adalah semakin sulitnya keadaan pasar
yang dapat diprediksi, mulai dari trend permintaan konsumen yang cepat berubah
hingga perilaku konsumen yang selalu berbeda, dimana pasar menuntut harga
yang kompetitif dan barang dengan kualitas terbaik. Ditambah lagi dengan
persaingan yang semakin ketat dengan konsekuensinya pada harga yang harus
kompetitif. Persaingan tersebut terjadi bukan saja antar-sesama negara
berkembang, tetapi juga antara negara berkembang dengan negara-negara maju
dan negara-negara industri baru. Keadaan ini dapat dipastikan akan terus
berlangsung sebagai dampak perkembangan dan perubahan tata perdagangan
dunia.
Dengan situasi yang kian tidak tertata, industri pengolahan mengalami
kemunduran relatif. Salah satu indikasinya ialah peringkat daya saing Indonesia
dalam lima tahun terakhir terus menerus turun. Pada tahun 2003 kita berada pada
peringkat 57 dari 60 negara dan pada tahun 2008 terperosok ke urutan 51 dari 55
negara. Indikasi kedua terlihat dari komposisi ekspor yang semakin didominasi
oleh komoditas primer dan produk-produk pengolahan berbasis sumber daya alam
dengan tingkat pengolahan yang minim. Hal inilah yang menyebabkan indeks
perdagangan intra-industri kita sangat rendah dan jauh tertinggal dibandingkan
negara-negara Asean-4 lainnya (Malaysia, Filipina, dan Thailand). (Faisal Basri,
2008).
98
Ketika Indonesia mulai memasuki era industrialisasi yang mulai digulirkan
sekitar 1970-an Indonesia sudah mampu untuk menjalankan kegiatan industrinya.
Setelah 1982, sejalan dengan upaya pengembangan broadbase industri, produk
ekspor nonmigas Indonesia semakin beragam. Namun, komoditi industri
pengolahan Indonesia yang meningkat pangsa pasarnya di dunia masih
didominasi oleh produk berteknologi sederhana seperti karet, plastik, tekstil, kulit,
kayu, dan gabus. Ini mencerminkan masih lambatnya proses perubahan struktur
ekspor pengolahan, rendahnya divesifikasi produk dan pasar ekspor Indonesia
(Tambunan, 2001: 104-6).
Namun memasuki era reformasi, arah kebijakan pengembangan industri
menjadi tidak jelas. Industri terus dibebani berbagai pungutan dan pajak-pajak
yang terkadang tumpang tindih sehingga membuat daya saing menjadi lemah.
Pungutan liar sejak barang keluar dari pabrik hingga menuju pelabuhan ekspor
kian menggila, bahkan diperkirakan mencapai US$ 180 juta pada semester I/2008.
Di sisi lain, pasar domestik seolah dibiarkan kebanjiran produk impor ilegal yang
tidak jelas mutunya. Sumber-sumber bahan baku dan energi yang merupakan aset
dasar dari pembangunan industri pengolahan ternyata justru lebih banyak
dinikmati negara lain yang justru menjadi pesaing Indonesia di pasar ekspor.
Kinerja ekspor industri pengolahan nasional semakin mengkhawatirkan.
(Depperindag, 2009).
Menurut Mudrajad Kuncoro (2007), berdasarkan hasil survei, industri
pengolahan yang berorientasi ekspor bahkan harus menyisihkan dana sekitar Rp3
triliun per tahun (sekitar US$300 juta) untuk uang pelicin (grease money). Uang
99
ini digunakan untuk membayar pungli, upeti, dan biaya ekstra lainnya. Lokasi
yang dituding rawan pungli terutama jalan raya dan pelabuhan.
Keunggulan komparatif atau daya saing ekspor suatu komoditas di kancah
perdagangan internasional dicerminkan oleh nilai Indeks Revealed Comparative
Advantage (RCA). Perkembangan daya saing produk industri pengolahan dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.2
Perkembangan Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA)
Industri Pengolahan di Indonesia periode 1988-2008
Tahun
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Indeks RCA
(%)
0.68
0.78
0.57
0.65
0.72
0.83
0.87
0.87
0.91
0.91
0.92
0.96
0.91
0.91
0.85
0.85
0.78
0.90
0.92
0.96
0.97
Sumber: BI, BPS dan WTO.org (data diolah)
100
Secara grafik perkembangan indeks RCA industri pengolahan dapat dilihat
pada gambar berikut:
Gambar 4.2
Perkembangan Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA)
Industri Pengolahan di Indonesia periode 1988-2008
Sumber: BI, BPS dan WTO.org (data diolah)
Daya saing industri pengolahan Indonesia periode penelitian tergolong
rendah hal tersebut ditunjukkan dengan nilai indeks kurang dari satu (1). Suatu
negara dapat dikatakan memiliki daya saing yang bagus jika indeks RCA yang
dimiliki adalah lebih dari satu. Ada beberapa faktor yang menyebabkan
menurunnya daya saing produk Indonesia: (1) kurs efektif yang tidak
menguntungkan. Depresiasi rupiah pada tahun 1997/1998 di satu sisi berhasil
meningkatkan daya saing produk Indonesia, tetapi karena inflasi dalam negeri
lebih tinggi dari negara-negara pesaing, keuntungan karena depresiasi sudah tidak
besar lagi. (2) peningkatan biaya tenaga kerja yang disebabkan kenaikan gaji
(UMR) yang lebih tinggi dari produktivitas, dan berbagai permasalahan penerapan
UU Tenaga Kerja yang menghambat mobilitas tenaga kerja, serta permasalahan
hubungan dengan buruh. Menurut satu estimasi, biaya tenaga kerja Indonesia
101
dalam USD saat ini 35 persen lebih tinggi dibanding sebelum krisis. (3)
peningkatan biaya ekonomi tinggi yang disebabkan adanya korupsi, pungutanpungutan tambahan yang berkaitan dengan birokrasi, dan meningkatnya
birokrasi/peraturan-peraturan yang harus dipenuhi.
Perkembangan daya saing periode 1988-1995 indeks RCA hanya
mencapai angka tertinggi sebesar 0.87 persen saja, masih cukup jauh dari standar
daya saing. Salah satu sebab utamanya adalah masih terkonsentrasinya produk
ekspor nonmigas yang tergolong hasil dari industri yang padat sumber daya alam
(NRI) dan berbasis tenaga kerja yang tidak terampil (ULI). Produk yang menanjak
pertumbuhannya pada periode tersebut (pertumbuhan nilai ekspornya 50 persen
dan nilai ekspornya minimum US$ 100 juta) adalah produk dari industri TI dan
HCI, diantaranya barang-barang elektronik, kimia dan mesin non-elektronik
termasuk peralatan telekomunikasi, komputer dan komponennya.
Ketika krisis melanda Indonesia pada tahun 1997- 1999, peranan industri
pengolahan terhadap total ekspor mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Banyak perusahaan industri terpaksa mem-PHK buruhnya, mengurangi kapasitas
produksi, dan tidak sedikit yang terpaksa menutup usahanya. Gejala
deindustrialisasi mulai terlihat di sentra-sentra industri utama khususnya di pulau
Jawa.
Meskipun permasalahan penurunan daya saing ini berawal sebelum krisis
ekonomi tahun 1997/1998, perkembangan industri semakin memburuk. Banyak
pengamat mengindikasikan terjadinya “deindustrialisasi”, gejala ini ditunjukkan
dengan mengamati perkembangan tingkat realisasi kapasitas produksi (utilisasi
102
kapasitas), jumlah perusahaan, dan indeks produksi. Pemanfaatan kapasitas
terpasang industri pengolahan tahun 2002 hanya berkisar di 60 persen, menurun
jauh dibandingkan dengan kondisi sebelum krisis yang berkisar di 80 persen.
Dalam periode 1996 sampai 2002, jumlah perusahaan industri berskala sedang
dan besar menurun hampir 1.800 unit usaha atau sekitar 8 persen dari 22.997 unit
usaha yang ada tahun 1996. Sementara itu, indeks produksi industri pengolahan
berskala besar dan sedang juga mengalami penurunan cukup signifikan, sekitar 15
persen, dari 126,54 persen pada tahun 1997 menjadi 100,29 persen pada tahun
2002. (Draft Pidato Presiden, 12 Desember 2004)
Selain itu sejak krisis ekonomi Asia tahun 1997/1998 kinerja ekspor hasilhasil industri Indonesia kurang menggembirakan. Kemerosotan yang paling tajam
dalam pertumbuhan ekspor dialami oleh hasil-hasil industri pengolahan di mana
Indonesia sejak lama mempunyai keunggulan komparatif, yaitu minyak sawit,
kayu lapis, mebel, alas kaki, dan kain tenun. Kinerja ekspor yang lemah ini lebih
banyak mencerminkan masalah-masalah domestik ketimbang perkembangan
eksternal yang kurang menguntungkan. Hal ini tercermin dari pertumbuhan
perdagangan dunia yang tumbuh dari hampir 5 persen dalam 2003 sampai 10
persen dalam 2004, sedangkan pertumbuhan ekspor Indonesia selama masa ini
hanya mencapai 3 persen. (World Bank, 2004).
Kondisi perkembangan daya saing Indonesia setelah krisis juga didukung
oleh pangsa pasar ekspor Indonesia di dunia relatif tidak mengalami
perkembangan, tetap berkisar pada angka 0,8 persen. Padahal, pada kurun waktu
yang sama pangsa pasar RRC di pasar dunia mengalami peningkatan cukup tajam
103
dari 3 persen menjadi 6 persen. Untuk 30 komoditi ekspor utama, semua
mengalami penurunan pertumbuhan dan kehilangan pangsa pasar kepada
pesaingnya, terutama RRC dan Vietnam (terutama untuk sektor yang padat karya
seperti pakaian jadi dan sepatu). Meskipun demikian, dari gambaran yang kurang
menggembirakan ini, masih terdapat beberapa titik cerah, yaitu pertumbuhan yang
cukup tinggi untuk beberapa produk yang berbasiskan sumber daya alam seperti
minyak kelapa sawit dan pertambangan, serta pertumbuhan pasar dari ekspor
komponen elektronika.
Penyebab utama fenomena tersebut adalah daya saing produk-produk
pengolahan yang terus melemah. Di dalam negeri, produk pengolahan seperti
elektronika rumah tangga kalah bersaing dengan produk impor, keadaan itu
diperburuk dengan banyaknya produk impor illegal. Di pasar internasional,
produk tekstil (TPT) dan produk kayu yang sesungguhnya masih menjadi
primadona ekspor kalah bersaing dengan produk dari Cina dan negara ASEAN
lainnya. Terpuruknya daya saing kita juga disebabkan karena membengkaknya
biaya overhead produksi. Dari hasil identifikasi oleh perusahaan Jepang, bila
biaya produksi pengolahan kita diberi indeks 100, maka Cina hanya sekitar 62,
Filipina 77, Malaysia 79, dan Thailand 89. Struktur biaya produksi pengolahan
kita juga sangat rentan dimana biaya overhead mencapai 33,4 dan biaya untuk
material mencapai 58,3. Sebagai bandingannya: overhead di Cina hanya 17,1 dan
material hanya 39,9.
Menurut kajian Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)
terhadap tingginya pos pembiayaan menyimpulkan beberapa permasalahan
104
spesifik di sektor industri pengolahan sehingga memiliki daya saing yang
tergolong rendah, yaitu; (1). KKN dan layanan umum yang buruk mengakibatkan
tingginya biaya overhead, (2). Cost of money yang relatif tinggi. (3). Administrasi
perpajakan yang belum optimal. Hal tersebut mengakibatkan daya saing produk
ekspor menjadi berkurang karena pengusaha pada akhirnya membebankan ke
harga jualnya. (4). Kandungan impor sangat tinggi, tingginya kandungan impor
ini mengakibatkan rentannya biaya produksi terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah
dan kecilnya nilai tambah yang mengalir pada perekonomian domestik. (5).
Lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi. (6). Kualitas SDM relatif rendah.
(7). Iklim persaingan yang kurang sehat. Banyak sub-sektor industri yang
beroperasi dalam kondisi mendekati ”monopoli”.
4.1.3
Perkembangan Investasi Sektor Industri Pengolahan
Walaupun industri pengolahan mengalami penurunan pertumbuhan
produk, terdapat beberapa indikator yang menunjukkan bahwa industri
pengolahan tetap dapat tumbuh dengan baik, indikator tersebut adalah investasi
sektor industri pengolahan. Kemampuan industri pengolahan untuk dapat tumbuh
ditentukan oleh besarnya penanaman modal, baik modal yang berasal dari dalam
negeri (PMDN) maupun modal asing (PMA).
Perkembangan realisasi investasi sektor industri pengolahan dapat dilihat
pada tabel berikut:
105
Tabel 4.3
Perkembangan Investasi Sektor Industri Pengolahan di Indonesia periode
1988-2008
Tahun
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
PMDN
(miliar rupiah)
8922.2
14336.1
43239.5
26464.5
19079.2
24032.1
31921.7
43341.8
59200.7
12823.8
9937.6
10271.1
17664.2
5760.6
9968.9
6586.4
10662.6
20932.0
13152.2
26289.8
15911.5
PMA
(miliar rupiah)
34680
42653
56469
39703
56574
34228
187383
268921
132411
26298
40285
56370
47599
21985
15493
18760
28045
35065
36045
46970
45153
Jumlah
43602.2
56989.1
99708.5
66167.5
75653.2
58260.1
219304.7
312262.8
191611.7
39121.8
50222.6
66641.1
65623.2
27745.6
25461.9
25346.4
38707.6
55997
49197.2
73259.8
61064.5
Pertumbuhan
(%)
30,7
74,9
-33,6
14,3
-22,9
276,4
42,4
-38,6
-79,6
28,4
32,7
-1,5
-57,7
-8,2
-0,5
52,7
44,7
-12,1
48,9
-16,6
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) dan Laporan Tahunan Bank Indonesia (data diolah)
Sejak tahun 1988 hingga tahun 1995 pertumbuhan investasi sektor industri
pengolahan cukup menggembirakan hal tersebut ditunjukkan dengan jumlah
realisasi investasi baik dari PMDN maupun PMA bernilai cukup besar. Investasi
sektor industri pengolahan mengalami perkembangan tertinggi pada tahun 1995
dengan nilai investasi sebesar Rp. 312262.8 miliar. Namun pada tahun 1996
pertumbuhan realisasinya menurun sebesar -38.6 persen. Penurunan tersebut
terjadi pada investasi dalam negeri dan investasi asing. Terjadinya krisis ekonomi
106
di tahun 1997/1998 ternyata membawa dampak terhadap investasi sektor industri
pengolahan, dimana realisasi investasi mengalami penurunan yang sangat tajam.
Setelah terjadi krisis ekonomi perkembangan investasi sektor industri pengolahan
terjadi perbaikan namun pertumbuhannya relatif lambat. Jika dibandingkan
besarnya realisasi investasi sektor industri pengolahan sebelum dan sesudah
terjadinya krisis cukup besar.
Gambar 4.3
Perkembangan Investasi Sektor Industri Pengolahan di Indonesia periode
1988-2008
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) dan Laporan Tahunan Bank Indonesia (data diolah)
Perkembangan penanaman modal dalam negeri (PMDN) di sektor industri
pengolahan dalam periode 2004–2008 terus mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun, kecuali pada tahun 2006 dan 2008. Pada tahun 2004 terdapat sebanyak 97
izin usaha tetap (IUT) dengan nilai realisasi sebesar Rp10,7 triliun, pada tahun
2005 menjadi 148 IUT dengan nilai Rp20,9 triliun, pada tahun 2006 (turun)
menjadi 98 IUT dengan nilai Rp13,1 triliun, pada tahun 2007 menjadi 101 IUT
dengan nilai Rp26,3 triliun, dan pada tahun 2008 menjadi 189 IUT dengan nilai
Rp15,9 triliun. Sementara itu penanaman modal asing di sektor industri
107
pengolahan dalam periode 2004 – 2008 terus meningkat dari tahun ke tahun, yaitu
pada tahun 2004 sebanyak 248 izin usaha tetap (IUT) dengan nilai realisasi
investasi sebesar USD 2,8 miliar, pada tahun 2005 sebanyak 336 IUT dengan nilai
USD 3,5 miliar, pada tahun 2006 sebanyak 361 IUT dengan nilai USD 3,6 miliar,
pada tahun 2007 sebanyak 390 IUT dengan nilai USD 4,6 miliar, dan pada tahun
2008 sebanyak 495 IUT dengan nilai USD 4,5 miliar.
Survei iklim investasi di Indonesia menunjukkan bahwa faktor-faktor
utama yang membuat iklim investasi Indonesia buruk lebih berkaitan dengan
kelembagaan dan governance. Sementara survai Bank Dunia dan ADB (Asean
Development Bank) menonjolkan tiga faktor utama penyebab buruknya iklim
investasi di Indonesia yakni ketidakstabilan makro, relatif tingginya korupsi dan
ketidakpastian. Survei lain juga memberikan hasil yang lebih kurang sama.
Permasalahan yang seringkali dikeluhkan adalah permasalahan tenaga kerja, pajak
dan bea cukai (serta lembaga-lembaga yang berkaitan dengan permasalahan
tersebut).
Senada dengan pernyataan BPS, yang menyatakan terjadinya penurunan
realisasi investasi membuktikan bahwa iklim penanaman modal masih jauh dari
kondusif. Ekonomi biaya tinggi yang bersumber sejak proses perizinan usaha
hingga pemasaran produk, stabilitas keamanan dan kapasitas hukum masih
menjadi hal yang menakutkan bagi kegiatan investasi. (Perkembangan Indeks
Produksi Industri (BPS), 2007:12).
108
4.1.4
Pengembangan Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi
pencapaian pertumbuhan produk industri yang tinggi. Modal yang dikeluarkan
untuk tenaga kerja merupakan dana individu yang diinvestasikan untuk
memperoleh keahlian, pengetahuan dan pengalaman. Selain itu dengan tenaga
kerja yang berkualitas dan berkompeten diyakini suatu industri akan mampu
untuk dapat bersaing bukan hanya di dalam negeri bahkan di dunia internasional.
Kualitas tenaga kerja ini dapat dilihat dari tingkat pendidikan, kesehatan, ataupun
indikator-indikator lainnya. Oleh sebab itu, dalam rangka memacu pertumbuhan
produk industri pengolahan maka perlu dilakukan pembangunan manusia yang
bergerak dibidang industri. Kebijakan perusahaan yang tidak mendorong
peningkatan kualitas tenaga kerjanya hanya akan membuat industri yang
bersangkutan tertinggal dibandingkan dengan industri lain. Dengan kata lain,
peningkatan kualitas tenaga kerja akan memberikan manfaat bagi suatu industri
agar lebih maju dan memiliki keunggulan bersaing.
Kondisi tenaga kerja pada industri pengolahan pada saat ini masih
memprihatinkan. Hal ini disebabkan karena kualitas tenaga kerja yang ada masih
jauh dari harapan, sebagaimana tercermin dari tingkat pendidikan tenaga kerja
industri yang rata-rata hanya lulusan sekolah menengah atas menyebabkan
rendahnya produktivitas tenaga kerja dan praktek manajerial yang belum
profesional, pada akhirnya mempengaruhi perkembangan industri dalam negeri.
Dari hampir 4,2 juta orang tenaga kerja industri dalam 22.894 perusahaan
pada tahun 1996, hanya 2 persen berpendidikan sarjana, sekitar 0,1 persen
109
berpendidikan master, dan 0,005 persen (hanya 225 orang) berpendidikan doktor.
Sementara itu, intensitas pelatihan yang dilaksanakan oleh industri belum juga
menggembirakan. Hasil survei tahun 1990-an menunjukkan hanya 18,9 persen
perusahaan di Indonesia melaksanakannya. Di Malaysia, kegiatan yang sama
dilakukan oleh hampir 84 persen perusahaan-perusahaannya. Sumber daya
manusia dengan kualitas ini akan sulit diharapkan menghasilkan peningkatan
produktivitas apalagi inovasi-inovasi yang bermutu untuk teknologi produksinya.
(Draft Pidato Presiden, 12 Desember 2004).
Secara nasional, terutama di bidang pendidikan, Indonesia masih
mempunyai masalah besar mengenai ketidakseimbangan antara bidang ilmu sosial
dengan eksakta di tingkat pendidikan tinggi. SDM berpendidikan tinggi masih
timpang, dan agak menyimpang dari komposisi bidang keahlian yang dibutuhkan
untuk mendukung proses industrialisasi. Demikian pula dengan kondisi
pendidikan kejuruan (vocational training) yang ada. Sebagian besar kurikulum
pendidikan dan pelatihan yang diberikan pada sekolah-sekolah kejuruan masih
kurang memperhatikan manfaat langsung yang bisa diperoleh dan akan diterima
oleh siswa-siswa didiknya. Akibatnya, setelah lulus mereka masih belum siap
pakai. Mereka tidak dapat langsung mengisi berbagai kesempatan kerja yang
semakin menuntut banyak keahlian dan semakin dinamis sifatnya.
Pembangunan industri dapat mencapai titik yang maksimal apabila
perusahaan/industri melakukan perbaikan kinerja dari tenaga kerja, hal itu dapat
dilakukan dengan pemberian pendidikan maksimum berupa pemberian diklat,
pelatihan, dll sehingga dapat mencetak output tenaga kerja yang lebih handal dan
110
mampu untuk menghasilkan produk yang bernilai tinggi dan mampu bersaing di
pasaran baik dalam negeri maupun luar negeri. Untuk itu perlu perhatian yang
lebih dari perusahaan/industri tersebut dalam pemberian anggaran khususnya
untuk anggaran pendidikan bagi tenaga kerjanya.
Untuk mengetahui besarnya anggaran pengembangan tenaga kerja periode
1988-2008 dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.4
Anggaran Pengembangan Tenaga Kerja Industri Pengolahan
Periode 1988-2008
Tahun
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Anggaran Pengembangan
Tenaga Kerja
(dalam miliar rupiah)
28.36
34.42
46.08
62.13
68.43
97.43
112.14
136.27
157.52
186.42
286.43
304.43
364.64
562.39
464.05
605.52
530.65
678.98
831.55
1031.46
1075.26
Sumber: badan pusat statistik (BPS), data diolah
Pertumbuhan
(%)
21,4
33,9
34,8
10,1
42,4
15,1
21,5
15,6
18,3
53,6
6,3
19,8
54,2
-17,5
30,4
-12,4
27,9
22,5
24,0
4,25
111
Data diatas menunjukkan bahwa persentase anggaran pengembangan
tenaga kerja industri yang diberikan masih relatif kecil. Jika dilihat tingkat
pertumbuhannya ternyata anggaran untuk tenaga kerja industri mengalami
fluktuatif memang cenderung meningkat namun perubahannya masih sangat kecil.
Hal ini disebabkan karena seringnya terjadi perubahan-perubahan kebijakan
industri dalam hal pengembangan kualitas tenaga kerja serta masih kurangnya
fasilitas yang maksimum terhadap kemajuan pengelolaan tenaga kerja yang
membawa dampak negatif terhadap output industri yang dihasilkan.
Secara grafik pengembangan anggaran untuk tenaga kerja industri
pengolahan adalah sebagai berikut:
Gambar 4.4
Anggaran Pengembangan Tenaga Kerja Industri Pengolahan
Periode 1988-2008
Sumber: badan pusat statistik, BPS (data diolah)
Dari tahun yang diteliti rata-rata yang dana yang dialokasikan untuk
pengembangan tenaga kerja hanya sebesar 4,76 persen atau sekitar Rp. 364,98
miliar. Perkembangan anggaran yang diberikan untuk tenaga kerja cenderung
meningkat namun realisasi anggaran masih belum optimal. Peningkatan yang
112
cukup signifikan terjadi dari tahun 2004 hingga 2008, dapat dilihat pada grafik
bahwa perkembangannya terus meningkat.
Fenomena tersebut menunjukkan peningkatan mutu tenaga kerja masih
belum optimal, walaupun dilihat dari perkembangan anggaran yang dikeluarkan
mengalami peningkatan namun masih cenderung kurang signifikan. Jika industri
pengolahan di Indonesia tidak segera mengubah paradigma penyiapan SDM-nya
dikhawatirkan tenaga kerja di bidang industri pengolahan akan semakin tertinggal
dan kalah bersaing dengan tenaga kerja dari negara-negara lainnya. Kalau ini
terjadi, tidak saja akan kehilangan pangsa pasar di luar negeri, tetapi juga pangsa
pasar di dalam negeri akan direbut oleh tenaga kerja asing dari negara-negara lain.
4.1.5
Pengembangan Teknologi
Banyak negara semakin menyadari bahwa pentingnya penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah merupakan bagian dari pembangunan
nasionalnya. Oleh karena itu nerara-negara berkembang termasuk Indonesia
saling berpacu dalam meningkatkan kemampuan mereka untuk menguasai dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pembangunan industri
nasionalnya. Upaya yang dilakukan saat ini lebih ditekankan kepada peningkatan
daya saing dalam rangka membuka akses menuju pasar internasional (market pull
production). (Rahardi Ramelan, 2004)
Globalisasi sistem perekonomian ini mau tidak mau akan memberikan
dampak tersendiri dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yanp pesat
dan canggih. Untuk menghasilkan produk yang kompetitif dari segi harga mutu
dan waktu penyerahan sudah barang tentu produsen/industri perlu menguasai
113
teknologi yang dibutuhkan dengan dukungan berbagai fasilitas litbang yang
memadai dan tangguh
Menurut Boediono (1999: 134), kemajuan teknologi dapat ditunjukkan
oleh dua hal, yaitu:
1. Peningkatan produktivitas manusia (tenaga kerja). Peningkatan ini dapat
dilihat dari tingkat kesehatan, keterampilan, pendidikan, dan motivasi
kerja.
2. Peningkatan produktivitas dari mesin. Perubahan mesin lama menjadi
mesin tipe baru yang lebih baik dan lebih produktif.
Dari pendapat diatas faktor utama yang menentukan kemajuan teknologi
adalah sumber daya manusia (tenaga kerja). Perubahan teknologi yang semakin
berkembang hanya mampu dikelola dan ditangani oleh tenaga kerja yang
berkompeten. Selain itu faktor lain yang berpengaruh adalah produktivitas dari
mesinnya, perubahan teknologi lama menjadi teknologi baru tentunya
memerlukan anggaran. Anggaran teknologi berperan untuk meningkatkan
kemampuan teknologi industri yang bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah
produk industri dan secara bertahap mengubah struktur kandungan nilai tambah
yaitu bersumber dari kemampuan teknologi dan sumber daya manusia yang
berkualitas, dengan demikian efisiensi produksi, mutu produk dan daya saing
produk dapat meningkat.
Fenomena yang terjadi di Indonesia sekarang ini adalah pengelolaan
industri nasional belum memandang kegiatan pengembangan dan penerapan
teknologi layak dilakukan, karena dianggap memiliki eksternalitas yang tinggi
114
berjangka panjang, dan dengan tingkat kegagalan yang tinggi. Hal ini dapat
ditunjukkan dari miskinnya industri nasional dalam hal pemilikan sumberdaya
teknologi. Masih lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi pada sektor
industri di Indonesia karena industri kita masih banyak yang bertipe “tukang
jahit” dan “tukang rakit” hal itu ditunjukkan dari nilai tambah industri nasional
yang masih relative rendah. Pengembangan dan penerapan iptek terutama untuk
kepentingan produksi di industri masih sangat terbatas. Dengan urutan Indonesia
di posisi ke 60 dari 72 negara dalam Indeks Pencapaian Teknologi (IPT), hal
tersebut mengindikasikan bahwa integrasi peningkatan iptek untuk produksi
masih akan banyak mengalami hambatan. (Draft Pidato Presiden, 12 Desember
2004)
Sebagian besar keluaran industri pengolahan Indonesia, menurut standar
internasional masih diklasifikasikan sebagai industri dengan kandungan teknologi
rendah. kinerja produk industri pengolahan bernilai teknologi rendah lebih
disebabkan oleh proses relokasi industri, Keadaan ini diantaranya disebabkan
dunia industri belum terintegrasi secara kuat dengan dunia riset dan pendidikan
nasional, demikian pula sebaliknya. Situasi seperti ini kurang membangkitkan
suasana sinergis antara industri dan dunia penelitian serta pendidikan. Di samping
itu, Indonesia juga belum memiliki lembaga riset di lingkungan industri yang
memiliki kemampuan kreatif, inventif, dan inovatif tercermin antara lain pada
masih rendahnya jumlah paten dan produk yang bernilai tambah tinggi.
Pengembangan teknologi industri pengolahan periode 1988-2008 dapat
dilihat pada tabel berikut:
115
Tabel 4.5
Anggaran Pengembangan Teknologi Industri Pengolahan
Periode 1988-2008
Tahun
Anggaran Pengembangan
Teknologi
(dalam miliar rupiah)
Pertumbuhan
(%)
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
3570,21
3225,68
3663,73
3773,28
3793,65
3624,84
3706,03
3821,29
4047,13
3772,73
3684,07
3640,97
3878,36
4087,79
4397,65
4010,65
4247,28
4085,89
4478,13
5002,07
5527,29
-9.65
13.58
2.99
0.54
-4.45
2.24
3.11
5.91
-6.78
-2.35
-1.17
6.52
5.40
7.58
-8.8
5.9
-3.8
9.6
11.7
10.5
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), data diolah
Perkembangan biaya teknologi pada industri pengolahan Indonesia periode 19882008 cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahunnya. Biaya
pengembangan teknologi merupakan biaya yang dikeluarkan oleh industri
pengolahan untuk meningkatkan kualitas teknologi yang akan digunakan dalam
proses produksi. Rata-rata biaya teknologi yang harus dikeluarkan per tahun
selama periode penelitian oleh industri ini adalah sebesar Rp. 4001,85 miliar.
116
Dalam periode 1988-1996 anggaran yang direalisasikan untuk pengembangan
teknologi terus meningkat dengan rata-rata anggaran Rp. 6780,44 miliar. Krisis
ekonomi pada tahun 1997/1998 berdampak pada realisasi anggaran untuk
pengembangan teknologi dimana pertumbuhan anggaran menunjukkan angka
negatif. Perkembangan anggaran teknologi setelah krisis ekonomi tahun
1997/1998 terlihat membaik, dimana realisasinya cenderung meningkat.
Penurunan hanya terjadi di tahun 2003 dan 2005 saja.
Secara grafik perkembangan anggaran untuk teknologi dapat dilihat pada
gambar berikut:
Gambar 4.5
Anggaran Pengembangan Teknologi Industri Pengolahan
Periode 1988-2008
Sumber: Badan Pusat Statistik BPS (data diolah)
Dilihat dari realisasi anggaran pengembangan teknologi memang
cenderung stabil namun jika dirinci, hasil industri pengolahan yang termasuk
"kadar teknologi yang tinggi" ternyata hanya diwakili oleh industri logam dan alat
listrik yang kontribusinya relatif sangat kecil. Hal ini menunjukkan bahwa
117
peningkatan hasil ekspor industri pengolahan belum menggambarkan kemampuan
dalam menguasai teknologi proses dan teknologi produk.
Perkembangan industri pengolahan di Indonesia selama ini masih
berkembang ke arah teknologi pengolahan proses yang menghasilkan barangbarang kebutuhan dalam negeri maupun untuk di ekspor, dan sedikit sekali
industri-industri yang berkembang ke arah teknologi produk untuk menghasilkan
produk inovatif' baru yang mampu bersaing di pasaran. Dengan demikian
pengembangan teknologi pengolahan pada industri nasional sudah berkembang
cukup baik dengan level teknologi yang rnemadai. Hal ini disebabkan selama ini
departemen Perindustrian telah memberikan pembinaan terhadap industri nasional
dengan dukungan Balai-Balai Penelitian dan Pengembangan miliknya dalam
rangka peningkatan mutu dan daya saing produk yang dihasilkan. Sedangkan
perkembangan teknologi produk untuk menghasilkan produk inovatif baru perlu
terus ditingkatkan mengingat bila industri kita ingin bersaing di pasaran
internasional yang semakin kompetitif. (Rahardi Ramelan, 2004).
4.2 Analisis Data dan Pengujian Hipotesis
4.2.1
Uji Identifikasi
Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis statistik parametrik dengan
analisis model persamaan simultan dengan menggunakan metode Two-Stage
Least Square (2-SLS) atau metode kuadratik terkecil dua tahap. Dalam
menganalisis metode 2-SLS ini perlu untuk dilakukan pengujian identifikasi
terlebih dahulu hal itu akan menentukan apakah persamaan yang sedang diteliti
118
tidak bisa diidentifikasikan (underidentification), tepat diidentifikasikan (Just
identification), atau terlalu diidentifikasikan (overidentification). Terdapat dua
kondisi yang harus dipenuhi suatu persamaan simultan untuk dapat dianggap
dapat diidentifikasikan, yaitu:
A. Kondisi Order (Order Condition)
Kondisi ini didasarkan atas kaidah perhitungan variabel-variabel yang
dimasukkan dan dikeluarkan dari suatu persamaan tertentu. Suatu persamaan
dapat dianggap diidentifikasikan apabila jumlah variabel endogen yang
dikeluarkan dari persamaan ini tetapi dimasukkan kedalam persamaan lain
minimal sama dengan jumlah persamaan dalam sistem persamaan simultan
dikurangi satu, yaitu:
K–M≥G–1
Dimana K = banyaknya variabel dalam model (variabel endogen dan eksogen)
M =jumlah variabel endogen dan eksogen yang dimasukan dalam
persamaan
G = jumlah persamaan (jumlah variabel endogen)
Dengan ketentuan:
-
jika
K-M
<
G-1
maka
persamaan
tidak
bisa
diidentifikasikan
(underidentification)
-
K–M = G–1, persamaan tepat diidentifikasikan (Just identification)
-
K–M > G–1 persamaan terlalu di indentifikasikan (overidentification)
(Sritua Arief, 1993: 79)
Model dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
119
= Π0 + Π1lnX1 + Π2lnX2 + Π3lnX3 + ei …………. (Fungsi pertumbuhan produk)
……………………….………………… (Fungsi
Daya Saing Produk)
dan lnY2 adalah variabel endogen, lnX1, lnX2, dan
Dalam model ini
lnX3 adalah variabel eksogen, maka diperoleh:
-
Untuk fungsi pertumbuhan produk: K – M ≥ G – 1 maka 5 – 4 ≥ 2 – 1
hasilnya adalah 1 = 1, artinya Tepat diidentifikasikan (Just identification).
-
Untuk fungsi daya saing produk: K – M ≥ G – 1 maka 5 – 2 ≥ 2 – 1 hasilnya
adalah 3 > 1, artinya Terlalu diidentifikasikan (overidentification).
B. Kondisi Tingkat (Rank Condition)
Suatu persamaan dalam sistem persamaan simultan yaitu sistem
persamaan yang terdiri dari G persamaan dapat diidentifikasikan apabila ada
kemungkinan untuk membentuk sekurang-kurangnya satu determinan bukan nol
yang berukuran G -1 dari variabel-variabel yang dikeluarkan dari persamaan
tertentu tetapi dimasukkan ke dalam persamaan-persamaan lain dalam model
structural yang diteliti. (Sritua Arief, 1993: 80).
- Π0 - Π1lnX1 - Π2lnX2 - Π3lnX3 = ei …………. (Fungsi pertumbuhan produk)
……………………….………………… (Fungsi
Daya Saing Produk)
Maka diperoleh koefisien-koefisien dari persamaan diatas yaitu sebagai
berikut:
Tabel 4.6
Kondisi Tingkat (Rank Condition)
Persamaan
1
Y1
Y2
X1
X2
X3
(1)
- Π0
1
0
- Π1
- Π2
- Π3
(2)
-
1
0
0
0
-
120
Sumber: Model persamaan Penelitian, data diolah
Persamaan dapat diidentifikasikan, jika sekurang-kurangnya satu penentu
tidak sama dengan nol dari ordo 1x1. Untuk persamaan pertama tidak memasukan
variabel Y2, maka matriknya adalah: A= [1], artinya bahwa matrik A adalah G-1.
Dilihat dari kondisi order (order condition) kondisi tingkat (rank
condition) diatas maka dapat disimpulkan bahwa:
-
Persamaan pertumbuhan produk diperoleh K – M = G – 1 dan tingkat dari
matrik A adalah G-1 sehingga persamaan Tepat diidentifikasikan (Just
identification).
-
Persamaan Daya Saing diperoleh K – M > G – 1 dan tingkat dari matrik A
adalah
G-1
sehingga
persamaan
Terlalu
diidentifikasikan
(overidentification).
Hal ini sejalan dengan model penelitian yang digunakan yaitu Two-Stage
Least Square (2-SLS), dimana 2-SLS menguji persamaan yang terlalu
diidentifikasikan (overidentification) dan tepat diidentifikasikan (Just
identification).
4.2.2
Analisis Data dan Pengujian Hipotesis Persamaan Pertama
4.2.2.1 Pengujian Model Pertama
Analisis data dalam pengujian model pertama ini menggunakan EViews
(Econometric Views) 3.1, data yang diperoleh dari hasil pengujian EViews adalah
sebagai berikut:
121
Tabel 4.7
Pengujian Model Pertama
Variable
C
LNI
LNL
LNT
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
Coefficient
-1.672225
-0.067260
-0.209011
1.009804
0.689349
0.634528
0.109457
0.203675
18.87770
1.196500
Std. Error
t-Statistik
2.592249
-0.645086
0.040073
-1.678414
0.037182
-5.621223
0.336549
3.000467
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
Prob.
0.5275
0.1116
0.0000
0.0080
4.826335
0.181058
-1.416924
-1.217967
12.57459
0.000141
Sumber: Pengujian model EViews 3.1
Dari hasil regresi diatas maka diperoleh persamaan model sebagai berikut:
ln
= -1.672225 - 0.067260 lnI - 0.209011 lnL + 1.009804 lnT
t
= (-0.645086) (-1.678414)
(-5.621223)
(3.000467)
R2 = 0.689349
Berdasarkan hasil pengujian di atas, nilai koefisien determinasi (R2)
sebesar 0.689349 atau 68.9349%, artinya dalam model tersebut variabel bebas
Investasi sektor industri pengolahan (I), Pengembangan Tenaga Kerja (L), dan
Pengembangan Teknologi (T) dapat menjelaskan variabel dependen Pertumbuhan
Produk Industri Pengolahan (M) sebesar 68,9349%. Nilai Adjusted R-squared
sebesar 0.634528 menunjukkan bahwa semakin banyak variabel independen yang
dimasukkan ke dalam persamaan, akan semakin memperkecil nilai
2
sebesar
0.634528. Nilai S.E. of regression sebesar 0.109457 menunjukkan bahwa Standar
Error dari persamaan regresi pertama ini adalah 0.109457. Sum squared resid
sebesar 0.203675 menunjukkan jumlah nilai residual kuadrat dalam persamaan.
122
Nilai fungsi Log likelihood yang dihitung dengan nilai koefisien estimasian
sebesar 18.87770. Nilai uji Durbin-Watson stat digunakan untuk mengetahui
apakah terdapat autokorelasi (hubungan antarresidual), dalam model persamaan
Nilai Durbin-Watson stat sebesar 1.196500 menunjukkan tidak adanya
autokorelasi.
Sementara itu mean dependen variable atau nilai rata-rata variabel
dependen (pertumbuhan produk) adalah sebesar 4.826335. Standar deviasi
variable dependen (pertumbuhan produk) sebesar 0.181058. Nilai Akaike info
criterion (AIC) dan Schwarz criterion memiliki fungsi yang sama yaitu untuk
mengetahui kualitas model, semakin kecil nilainya maka akan semakin baik
modelnya. F-Statistik berfungsi untuk mengetahui secara serempak pengaruh
semua variabel independen (X) terhadap variabel dependen (Y). dan probabilitas
dalam model pertama ini adalah 0.000141.
Untuk mengetahui penyakit dalam model ini harus diuji dengan Uji
Asumsi Klasik, yaitu:
A. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas adalah situasi dimana terdapat korelasi antara variabel
bebas. Dalam hal ini variabel tersebut dapat disebut variabel yang tidak ortogonal.
Variabel yang bersifat ortogonal adalah variabel bebas yang nilai korelasi antarsesamanya sama dengan nol. Untuk menguji multikolinearitas di dalam model
yaitu dengan melakukan Uji Kolerasi. Dengan melihat nilai koefisien korelasi
antar variabel independen, dapat diputuskan apakah data terkena multikolinearitas
atau tidak menguji koefisien korelasi antar variabel independen. Terjadinya
123
multikoliniearitas apabila nilai R2 antara 0,7 sampai 1,0.(Ashton de Silva, 2003:
6).
Untuk menguji multikolinearitas dapat diketahui dengan melakukan
regresi parsial antara variabel penjelas, bertujuan untuk mendapatkan nilai R2-nya.
Maka model yang digunakan yaitu: LNX1= f(LNX2,LNX3); LNX2 = f(LNX1,LNX3,),
dan LNX3= f(LNX1,LNX2,). Kemudian nilai R2 masing-masing regresi parsial
dibandingkan dengan nilai R2 model estimasi awal, apabila R2 regresi parsial > R2
estimasi terjadi multikolinearitas.
Tabel 4.8
Pengujian Regresi Parsial
Variabel
LN-I
LN-L
LN-T
R2 regresi
parsial
0.141903
0.668498
0.636175
Kriteria
<
<
<
R2
estimasi
0.689352
0.689352
0.689352
Multikolinearitas
Tidak Terdapat
Tidak Terdapat
Tidak Terdapat
Sumber: Pengujian regresi parsial EViews
Berdasarkan hasil pengujian regresi parsial seperti pada Tabel 4.8 di atas,
dalam model estimasi secara umum tidak terdapat multikolinearitas karena nilai
R2 regresi parsial < R2 estimasi.
Tabel 4.9
Matriks Korelasi Antarvariabel
Variabel
LN_M
LN_I
LN_L
LN_T
LN_M
1.000000
0.090627
-0.708304
-0.332009
Sumber: Pengujian Korelasi EViews
LN_I
0.090627
1.000000
-0.330636
-0.149913
LN_L
-0.708304
-0.330636
1.000000
0.788898
LN_T
-0.332009
-0.149913
0.788898
1.000000
124
Berdasarkan hasil analisis diperoleh data seperti pada Tabel 4.9 di atas
menunjukan korelasi antar variabel penelitian, diketahui bahwa seluruh variabel
tidak terjadi multikolinearitas, hal tersebut terlihat dari korelasi atau hubungan
antar variabel bebas yang relatif kecil. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam
model ini tidak terdapat atau terbebas dari multikolinearitas.
B. Uji Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi pokok dalam model regresi linier klasik ialah bahwa
varian-varian setiap distubance term yang dibatasi oleh nilai tertentu mengenai
variabel-variabel bebas adalah berbentuk suatu nilai konstan yang sama dengan
σ 2 . Inilah yang disebut sebagai asumsi homoskedastisitas. (Gujarati, 1995: 177).
Berdasarkan hasil pengujian melalui White Heteroscedasticity Test Eviews 3.1
didapat hasil perhitungan sebagai berikut:
Tabel 4.10
Pengujian White Heteroskedasticity
White Heteroskedasticity Test:
F-statistic
2.135132 Probability 0.123554
Obs*R-squared 7.308364 Probability 0.120463
Sumber: Pengujian White Heteroskedastis EViews 3.1
Hasil penghitungan melalui White Heteroscedasticity Test menghasilkan
nilai R2 yang telah disesuaikan (R-Squared) sebesar 7.308364. Jika nilai R2 yang
telah disesuaikan (R-Squared) lebih kecil dari nilai χ2tabel, maka hipotesis yang
menyatakan bahwa terdapat masalah heteroskedastisitas dalam model empiris
yang sedang diestimasi adalah ditolak. nilai χ2tabel dengan df= 21-4= 17 sebesar
27,5871, maka dapat disimpulkan bahwa R2 yang telah disesuaikan (R-Squared)
< χ2tabel (7.308364 < 27,5871) berarti hipotesis yang menyatakan terdapat
125
persoalan heteroskedastisitas dalam model empiris yang sedang diestimasi adalah
ditolak. Ini berarti dalam model estimasi tidak terdapat heteroskedastisitas, atau
dengan kata lain gangguan (disturbance)
yang muncul dalam fungsi regresi
populasi adalah homoskedastis.
C. Uji Autokorelasi
Autokorelasi merupakan gangguan pada fungsi regresi yang berupa
korelasi antar faktor gangguan antaranggota sampel atau data pengamatan yang
diurutkan berdasarkan waktu (time series), sehingga muncul suatu data
dipengaruhi oleh data sebelumnya. Model regresi linier mengandung asumsi tidak
terdapat autokorelasi atau korelasi serial diantara disturbance term-nya.
(Gujarati, 1995: 201).
Dalam penelitian ini untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi, maka
peneliti menggunakan metode Durbin-Watson dua sisi dengan kriteria dU < d4 –
dU.
Tabel 4.11
Pengujian Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic
4.359328 Probability
Obs*R-squared
4.285991 Probability
Variable
Coefficient Std. Error
t-Statistic
C
-0.161794 0.324242 -0.498993
LNI
0.010551 0.025788
0.409141
LNL
0.009384 0.015261
0.614914
RESID(-1)
0.595642 0.285283
2.087900
R-squared
0.204095 Mean dependent var
Adjusted R-squared
0.063641 S.D. dependent var
S.E. of regression
0.070372 Akaike info criterion
Sum squared resid
0.084189 Schwarz criterion
Log likelihood
28.15409 F-statistic
Durbin-Watson stat
1.849715 Prob(F-statistic)
Sumber: Pengujian autokorelasi Eviews
0.052166
0.038428
Prob.
0.6242
0.6875
0.5468
0.0522
-1.74E-16
0.072725
-2.300389
-2.101432
1.453109
0.262553
126
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh hasil dhitung sebesar 1.849715
dengan du sebesar 1.81 dan dl sebesar 0.93 sehingga 1.81<1.849715<2.19
sehingga dalam model yang diujikan tidak terdapat autokorelasi.
D. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah variabel pengganggu
terdistribusi normal atau tidak. Untuk mendeteksi normal tidaknya faktor
pengganggu
dapat dipergunakan metode Jarque-Bera Test (JB-Test).
Selanjutnya nilai JBhitung = χ2hitung dibandingkan dengan χ2tabel. Jika JBhitung > χ2tabel
maka H0 yang menyatakan residual berdistribusi normal ditolak, begitupun
sebaliknya, Jika JBhitung < χ2tabel maka H1 diterima berarti residual berdistribusi
normal diterima. (Gujarati, 1995:68).
Gambar 4.6
Uji Normalitas Jarque-Bera Model Pertama
(Sumber: Pengujian normalitas Jarque-Bera EViews 3.1)
Berdasarkan Gambar 4.6 di atas, nilai J-Bhitung diperoleh sebesar 1,966923.
Nilai JBhitung kemudian dibandingkan dengan χ2tabel dengan probabilitas 0,05 dan
df= 21-4=17, sehingga diperoleh nilai χ2tabel sebesar 27,5871. oleh karena nilai
127
JBhitung = 1,966923 < χ2tabel = 27,5871 dan nilai probabilitasnya sebesar 0.374014
> α (0,05) maka H1 diterima yang berarti residual berdistribusi normal.
E. Uji Linearitas
Uji linieritas digunakan untuk mengetahui apakah fungsi yang digunakan
dalam penelitian berbentuk linier, kuadrat, atau kubik. Untuk menguji linieritas
Penulis menggunakan uji Ramsey RESET Test, uji ini dikembangkan oleh
Ramsey tahun 1969 yang menyarankan suatu uji yang disebut general test of
spesification atau RESET. Ramsey RESET Test bertujuan untuk menghasilkan
nilai Fhitung. Fhitung yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan Ftabel, apabila
Fhitung > Ftabel maka H0 yang menyatakan bahwa spesifikasi model yang digunakan
dalam bentuk fungsi linier ditolak, dan sebaliknya bila Fhitung < Ftabel maka H1
yang menyatakan bahwa spesifikasi dalam fungsi linier diterima. (Ashton de
Silva, 2003: 14). Dengan menggunakan perhitungan Eviews 3.1 maka diperoleh
hasil sebagai berikut:
Tabel 4.12
Uji Liniaritas Data Ramsey Model Pertama
Ramsey RESET Test:
F-statistic
9.889468
Log likelihood ratio 9.628948
Variable
Coefficient
C
-278.5943
LNI
-1.857810
LNL
-7.208106
FITTED^2
5.041144
R-squared
0.769984
Adjusted R-squared
0.729392
S.E. of regression
0.062720
Sum squared resid
0.066874
Log likelihood
30.57167
Durbin-Watson stat
1.547872
Probability
Probability
Std. Error t-Statistic
90.99584 -3.061616
0.598432 -3.104465
2.319979 -3.106970
1.603033 3.144752
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
Sumber: Pengujian Linieritas Data Ramsey Eviews 3.1
0.005909
0.001915
Prob.
0.0071
0.0064
0.0064
0.0059
8.287278
0.120569
-2.530635
-2.331679
18.96925
0.000011
128
Dari hasil pengolahan data diperoleh nilai Fhitung sebesar 9.889468 dengan
probabilitas 0.005909. Karena Fhitung (9.889468 > Ftabel (3,20), Jadi Fhitung > Ftabel
maka hipotesis yang menyatakan bahwa spesifikasi model yang digunakan dalam
bentuk fungsi linier adalah ditolak.
4.2.2.2 Pengujian Hipotesis Model Pertama
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini yaitu dengan pengujian satu sisi
(one side) atau satu ujung (one tail), hal ini dilakukan karena pengaruh variabel
bebas terhadap variabel terikat sudah ditetapkan. Tingkat keyakinan yang
digunakan sebesar 95% atau residu sebesar 5% (α = 5%). Pengujian hipotesis
dialakukan dengan kriteria t hitung > t tabel H0 ditolak dan H1 diterima.
A. Pengujian Hipotesis Regresi Majemuk Secara Individual (Uji t) Model
Pertama
Pengujian hiotesis secara individu dengan uji t bertujuan untuk
mengetahui pengaruh dari masing-masing variabel bebas X terhadap variabel
terikat Y. (Gujarati, 1995: 74). Dalam hal ini ingin diketahui apakah investasi
sektor industri pengolahan pengolahan, pengembangan tenaga kerja dan
pengembangan teknologi berpengaruh secara parsial terhadap pertumbuhan
produk industri pengolahan Indonesia. Berdasarkan hasil pengujian dengan
menggunakan EViews 3.1 maka diperoleh hasil sebagai berikut:
129
Tabel.4.13
Pengujian Hipotesis Secara Parsial (Uji t) Model Pertama
Variabel
Investasi sektor industri
pengolahan (I)
t hitung
t tabel
Keputusan
Pengaruh
-1.678414
>
-1,740
Menerima H0
Tidak Signifikan
Pengembangan Tenaga Kerja (L)
-5.621223
<
-1,740
Menolak H0
Signifikan
Pengembangan Teknologi (T)
3.000467
>
1,740
Menolak H0
Signifikan
Sumber : Pengujian Model Eviews 3.1
Investasi sektor industri pengolahan (I) memiliki nilai thitung sebesar 1,678414 sedangkan t tabel dengan df (degree of freedom) sebanyak df= n-4 = 21-4
= 17 buah adalah -1,740 maka -thitung > -ttabel. Hipotesis ini menerima H0 dan
menolak H1 yang berarti Investasi sektor industri pengolahan (I) tidak
berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan produk industri pengolahan
Indonesia, hal ini dapat juga diketahui dengan melihat nilai probabilitasnya pada
tabel 4.7 sebelumnya yaitu sebesar 0.1116 atau ketidak yakinan sebesar 11,16%.
Untuk thitung variabel Pengembangan Tenaga Kerja (L) sebesar -5.621223
dan ttabel = -1,740, maka -thitung < -ttabel. Hipotesis ini menolak H0 dan menerima H1
yang berarti Pengembangan Tenaga Kerja (L) berpengaruh negatif secara
signifikan terhadap pertumbuhan produk industri Pengolahan Indonesia, terbukti
dengan nilai probabilitasnya (pada Tabel 4.7) sebesar 0.0000 atau tingkat ketidak
yakinan sebesar 00,00%. Sementara itu untuk nilai thitung Pengembangan
Teknologi (T) sebesar 3.000467 dan nilai t
tabel
= 1,740, maka thitung
<
ttabel.
Hipotesis ini menolak H0 dan menerima H1 , berarti Pengembangan Teknologi (T)
berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan produk industri
Pengolahan Indonesia, hal ini terbukti dengan tingkat probabilitasnya sebesar
0,0080 atau tingkat ketidak yakinan sebesar 0,80%.
130
B. Pengujian Hipotesis Regresi Majemuk Secara Keseluruhan (Uji F) Model
Pertama
Uji F digunakan untuk menguji variabel independen secara keseluruhan
dan bersama-sama; untuk melihat apakah variabel independen secara keseluruhan
mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. Kriteria pengujian nilai F
adalah jika nilai Fhitung > Ftabel dengan taraf keyakinan 95%, maka H0 ditolak yang
berarti ada pengaruh secara serempak atau secara bersama-sama dari keseluruhan
variabel independen
terhadap
variabel dependen, begitupun sebaliknya.
Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan EViews 3.1 maka diperoleh
hasil sebagai berikut:
Tabel 4.14
Pengujian Hipotesis Secara Simultan (Uji F) Model Pertama
F hitung
12.57459
>
F tabel
Keputusan
Pengaruh
3,20
Menolak H0
Berpengaruh secara simultan
Sumber: Hasil pengujian model Eviews
Berdasarkan hasil pengujian pada Tabel 4.7, diperoleh nilai Fhitung sebesar
12.57459 dan untuk nilai Ftabel = 3,20 dari df pembilang 3, penyebut 17, dengan
tingkat signifikan α = 5%. Dapat disimpulkan bahwa Fhitung > Ftabel berarti H0
ditolak dan H1 diterima, yang menunjukan bahwa variabel bebas secara bersamasama berpengaruh terhadap variabel terikat Pertumbuhan Produk Industri
Pengolahan.
C. Koefisien Determinasi Majemuk (R2) Model Pertama
Uji R 2 atau disebut juga koefisien regresi adalah angka yang menunjukkan
besarnya derajat kemampuan atau distribusi variabel bebas dalam menjelaskan
131
atau menerangkan variabel terikatnya dalam fungsi yang bersangkutan. Besarnya
nilai R 2 diantara nol dan satu (0 < R 2 <1). Jika nilainya semakin mendekati satu,
maka model tersebut baik dan tingkat kedekatan antara variabel bebas dan
variabel terikat pun semakin dekat pula.
Dalam penelitian ini R2 sebesar 0.689349 atau 68.9349%. Artinya sebesar
68.9349% pertumbuhan produk industri Pengolahan Indonesia dipengaruhi oleh
Investasi Sektor Industri Pengolahan, Pengembangan Tenaga Kerja dan
Pengembangan Teknologi sedangkan sisanya sebesar 31.0651% dipengaruhi oleh
faktor lain diluar model.
4.2.3
Analisis Data dan Pengujian Hipotesis Persamaan Kedua
4.2.3.1 Pengujian Model Kedua
Analisis data dalam pengujian model kedua ini menggunakan EViews
(Econometric Views) 3.1, data yang diperoleh dari hasil pengujian EViews adalah
sebagai berikut:
Tabel 4.15
Pengujian Model Kedua
Dependent Variable: LNCM
Method: Two-Stage Least Squares
Sample: 1988 2008
Included observations: 21
Instrument list: LNM C LNI LNL LNT
Variable
Coefficient Std. Error t-Statistic
C
2.755855 0.545420 5.052720
LNM
-0.608056 0.112934 -5.384194
R-squared
0.604080 Mean dependent var
Adjusted R-squared
0.583243 S.D. dependent var
S.E. of regression
0.091444 Sum squared resid
F-statistic
28.98954 Durbin-Watson stat
Prob(F-statistic)
0.000034
Sumber: Pengujian model EViews 3.1
Prob.
0.0001
0.0000
-0.178826
0.141649
0.158878
1.366821
132
Dari hasil regresi diatas maka diperoleh persamaan model sebagai berikut:
lnCm = 2.755855 - 0.608056 ln
t
= (5.052720) (-5.384194)
R2 = 0.604080
Berdasarkan hasil pengujian di atas, nilai koefisien determinasi (R2)
sebesar 0.604080 atau 60,4080%, artinya dalam model tersebut variabel bebas
Pertumbuhan Produk Industri pengolahan (M) dapat menjelaskan variabel
dependen Daya Saing Produk (Cm) sebesar 60,4080%. Nilai Adjusted R-squared
sebesar 0.583243 menunjukkan bahwa semakin banyak variable independen yang
dimasukkan ke dalam persamaan, akan semakin memperkecil nilai
2
sebesar
0.583243. Nilai S.E. of regression sebesar 0.091444 menunjukkan bahwa Standar
Error dari persamaan regresi pertama ini adalah 0.091444. F-Statistik berfungsi
untuk mengetahui secara serempak pengaruh semua variable independen (X)
terhadap variabel dependen (Y). dan probabilitas dalam model pertama ini adalah
0.000034.
Sementara itu mean dependen variable atau nilai rata-rata variabel
dependen (Daya saing produk) adalah sebesar -0.178826. Standar deviasi variable
dependen (daya saing produk) sebesar 0.141649. Sum squared resid sebesar
0.158878 menunjukkan jumlah nilai residual kuadrat dalam persamaan. Nilai uji
Durbin-Watson stat digunakan untuk mengetahui apakah terdapat autokorelasi
(hubungan antarresidual), dalam model persamaan Nilai Durbin-Watson stat
sebesar 1.366821 menunjukkan tidak adanya autokorelasi.
Selain itu dalam model persamaan kedua ini digunakan uji sebagai berikut:
133
A. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah variabel pengganggu
terdistribusi normal atau tidak. Untuk mendeteksi normal tidaknya faktor
pengganggu
dapat dipergunakan metode Jarque-Bera Test (JB-Test).
Selanjutnya nilai JBhitung = χ2hitung dibandingkan dengan χ2tabel. Jika JBhitung > χ2tabel
maka H0 yang menyatakan residual berdistribusi normal ditolak, begitupun
sebaliknya, Jika JBhitung < χ2tabel maka H1 diterima berarti residual berdistribusi
normal diterima.
Gambar 4.7
Uji Normalitas Jarque-Bera Model Kedua
(Sumber: Pengujian normalitas Jarque-Bera EViews 3.1)
Berdasarkan Gambar 4.7 di atas, nilai J-Bhitung diperoleh sebesar 0,971356.
Nilai JBhitung kemudian dibandingkan dengan χ2tabel dengan probabilitas 0,05 dan
df= 21-2=19, sehingga diperoleh nilai χ2tabel sebesar 30,1435. oleh karena nilai
JBhitung = 0,971356 < χ2tabel = 30,1435 dan nilai probabilitasnya sebesar 0,615280
> α (0,05) maka H1 diterima yang berarti residual berdistribusi normal.
134
B. Uji Linearitas
Uji linieritas digunakan untuk mengetahui apakah fungsi yang digunakan
dalam penelitian berbentuk linier, kuadrat, atau kubik. Untuk menguji linieritas
Penulis menggunakan uji Ramsey RESET Test, uji ini dikembangkan oleh
Ramsey tahun 1969 yang menyarankan suatu uji yang disebut general test of
spesification atau RESET. Ramsey RESET Test bertujuan untuk menghasilkan
nilai Fhitung. Fhitung yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan Ftabel, apabila
Fhitung > Ftabel maka H0 yang menyatakan bahwa spesifikasi model yang digunakan
dalam bentuk fungsi linier ditolak, dan sebaliknya bila Fhitung < Ftabel maka H1
yang menyatakan bahwa spesifikasi dalam fungsi linier
diterima. Dengan
menggunakan perhitungan Eviews 3.1 maka diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 4.16
Uji Liniaritas Data Ramsey Model Kedua
Ramsey RESET Test:
F-statistic
1.154634
Variabel
Coefficient
C
-2.389039
LNM
0.492526
FITTED^2
-3.834436
R-squared
0.585067
Adjusted R-squared
0.538963
S.E. of regression
0.096179
F-statistic
13.67996
Prob(F-statistic)
0.000244
Probability
0.296775
Std. Error t-Statistic
Prob.
4.822245 -0.495421
0.6263
1.031101 0.477670
0.6386
3.568447 -1.074539
0.2968
Mean dependent var -0.178826
S.D. dependent var
0.141649
Sum squared resid
0.166508
Durbin-Watson stat 1.388117
Sumber: Pengujian Linieritas Data Ramsey Eviews 3.1
Dari hasil pengolahan data diperoleh nilai Fhitung sebesar 1,154634 dengan
probabilitas 0,296775. Karena Fhitung (1,154634 > Ftabel (4,38), Jadi Fhitung <Ftabel
maka H0 yang menyatakan bahwa spesifikasi model yang digunakan dalam bentuk
fungsi linier diterima.
135
4.2.3.2 Pengujian Hipotesis Model Kedua
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini yaitu dengan pengujian satu sisi
(one side) atau satu ujung (one tail), hal ini dilakukan karena pengaruh variabel
bebas terhadap variabel terikat sudah ditetapkan. Tingkat keyakinan yang
digunakan sebesar 95% atau residu sebesar 5% (α = 5%). Pengujian hipotesis
dialakukan dengan kriteria t hitung > t tabel H0 ditolak dan H1 diterima.
A. Pengujian Hipotesis Regresi Majemuk Secara Individual (Uji t) Model
Kedua
Pengujian hipotesis secara individu dengan uji t bertujuan untuk
mengetahui pengaruh dari variabel Y1 terhadap variabel Y2. Dalam hal ini ingin
diketahui apakah Pertumbuhan Produk berpengaruh secara parsial terhadap Daya
Saing produk. Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan EViews 3.1
maka diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel.4.17
Pengujian Hipotesis Secara Parsial (Uji t) Model Kedua
Variabel
t hitung
Pertumbuhan Produk (M)
-5.384194
<
t tabel
Keputusan
Pengaruh
-1,729
Menolak H0
Signifikan
Sumber : Pengujian Model Eviews 3.1
Variabel Pertumbuhan Produk (M) memiliki nilai thitung sebesar -5.384194
sedangkan t tabel dengan df (degree of freedom) sebanyak df= n-2 = 21-2 = 19 buah
adalah -1,729 maka -thitung < -ttabel. Hipotesis ini menolak H0 dan menerima H1
yang berarti Pertumbuhan Produk (M) berpengaruh negatif secara signifikan
terhadap Daya Saing Produk, hal ini dapat juga diketahui dengan melihat nilai
136
probabilitasnya pada Tabel 4.15 sebelumnya yaitu sebesar 0,0000 atau ketidak
yakinan sebesar 0,0000 %.
B. Pengujian Hipotesis Regresi Majemuk Secara Keseluruhan (Uji F) Model
Kedua
Uji F digunakan untuk menguji variabel independen secara keseluruhan
dan bersama-sama; untuk melihat apakah variabel independen secara keseluruhan
mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. Kriteria pengujian nilai F
adalah jika nilai Fhitung > Ftabel dengan taraf keyakinan 95%, maka H0 ditolak yang
berarti ada pengaruh secara serempak atau secara bersama-sama dari keseluruhan
variabel independen
terhadap
variabel dependen, begitupun sebaliknya.
Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan EViews 3.1 maka diperoleh
hasil sebagai berikut:
Tabel 4.18
Pengujian Hipotesis Secara Simultan (Uji F) Model Kedua
F hitung
28.98954
>
F tabel
Keputusan
Pengaruh
4,38
Menolak H0
Berpengaruh secara simultan
Sumber: Hasil pengujian model Eviews
Berdasarkan hasil pengujian pada Tabel 4.18, diperoleh nilai Fhitung
sebesar 28.98954 dan untuk nilai Ftabel = 4,38 dari df pembilang 1, penyebut 19,
dengan tingkat signifikan α = 5%. Dapat disimpulkan bahwa Fhitung > Ftabel berarti
H0 ditolak dan H1 diterima, yang menunjukan bahwa variabel bebas secara
simultan berpengaruh terhadap variabel terikat Daya Saing produk.
137
C. Koefisien Determinasi Majemuk (R2) Model Kedua
Uji
R2
atau disebut juga koefisien regresi adalah angka yang
menunjukkan besarnya derajat kemampuan atau distribusi variabel bebas dalam
menjelaskan atau menerangkan variabel terikatnya dalam fungsi
yang
bersangkutan. Besarnya nilai R 2 diantara nol dan satu (0 < R 2 <1). Jika nilainya
semakin mendekati satu, maka model tersebut baik dan tingkat kedekatan antara
variabel bebas dan variabel terikat pun semakin dekat pula.
Dalam model penelitian kedua ini R2 sebesar 0.604080 atau 60.4080%.
Artinya sebesar 60.4080% Daya Saing produk industri pengolahan dipengaruhi
oleh Pertumbuhan Produk Industri Pengolahan, sedangkan sisanya sebesar
39.592% dipengaruhi oleh faktor lain diluar model.
4.3 Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan pengujian penelitian dengan menggunakan metode kuadrat
terkecil dua tahap (Two-Stage Least Square atau 2-SLS) diperoleh persamaan
sebagai berikut:
Model persamaan 1:
ln
= -1.672225 - 0.067260 lnI - 0.209011 lnL + 1.009804 lnT
Model persamaan 2:
lnCm
= 2.755855 - 0.608056 ln
a. Model Persamaan 1
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis model persamaan pertama
menunjukan bahwa variabel-variabel bebas yaitu Investasi Sektor Industri
138
Pengolahan (I), Pengembangan Tenaga Kerja (L) dan Pengembangan Teknologi
(T) secara bersama-sama atau simultan berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan produk industri Pengolahan di Indonesia. Namun secara parsial
tidak semua variabel bebas berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat. Dari
pengolahan data tersebut dapat dilihat bahwa variabel investasi sektor industri
pengolahan (I) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat,
sedangkan variabel lainnya menunjukkan bahwa secara parsial berpengaruh
signifikan terhadap variabel terikat.
Untuk koefisien β0 (konstanta) menunjukan jika pertumbuhan produk
industri pengolahan tidak dipengaruhi oleh investasi sektor industri pengolahan,
pengembangan tenaga kerja, dan pengembangan teknologi, maka nilai
pertumbuhan Produk adalah -1.672225%. Koefisien variabel Pengembangan
Tenaga Kerja (lnL) sebesar -1.672225; hal ini menunjukan bahwa jika terjadi
peningkatan Pengembangan Tenaga Kerja sebesar Rp. 1%, maka Pertumbuhan
Produk akan menurun sebesar 1.672225%. Untuk koefisien Pengembangan
Teknologi (lnT) sebesar 1.009804, hal ini menunjukan bahwa jika pengembangan
teknologi meningkat sebesar 1%, maka Pertumbuhan Produk akan meningkat
sebesar 1.009804%.
Berdasarkan hasil pengujian, terlihat bahwa semua variabel bebas yaitu
investasi
sektor
industri
pengolahan,
pengembangan
tenaga
kerja
dan
pengembangan tekologi dapat dikatakan baik, hal tersebut dapat terlihat dari
koefisien determinasi (R2) yang cukup tinggi yaitu sebesar 0.689349, yang berarti
tingkat kecocokan model sebesar 68,9349% investasi sektor industri pengolahan,
139
pengembangan tenaga kerja dan pengembangan teknologi berpengaruh terhadap
pertumbuhan produk industri pengolahan di Indonesia sedangkan sisanya
31.0651% dipengaruhi oleh faktor lain di luar model yang mempengaruhi
pertumbuhan produk industri pengolahan di Indonesia.
b. Model Persamaan 2
Koefisien variabel Pertumbuhan Produk (lnM) sebesar -0.608056
menunjukkan bahwa jika terjadi peningkatan pertumbuhan produk sebesar 1%,
maka Daya Saing produk akan menurun sebesar 0.608056%.
Berdasarkan hasil pengujian, terlihat bahwa pertumbuhan produk dapat
dikatakan baik, hal tersebut dapat terlihat dari koefisien determinasi (R2) yang
cukup tinggi yaitu sebesar 0.604080, yang berarti tingkat kecocokan model
sebesar 60.4080% pertumbuhan produk industri pengolahan berpengaruh terhadap
daya saing produk sedangkan sisanya 39.592% dipengaruhi oleh faktor lain di luar
model yang mempengaruhi daya saing produk industri pengolahan di Indonesia.
4.3.1
Pengaruh
Investasi
Sektor
Industri
Pengolahan
terhadap
Pertumbuhan Produk
Dari hasil pengujian menunjukan bahwa Investasi sektor industri
pengolahan tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan produk industri
Pengolahan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari probabilitasnya sebesar 0.1116
atau lebih dari 0,05. berbeda dengan hipotesis yang telah dikemukakan, bahwa
terdapat pengaruh yang positif antara investasi sektor industri pengolahan
terhadap pertumbuhan produk. Dengan demikian Selama periode penelitian
investasi sektor industri pengolahan bukan merupakan estimator yang baik untuk
140
menentukan tinggi rendahnya Pertumbuhan Produk Industri Pengolahan
Indonesia. Masih ada faktor lain yang lebih dominan yang tidak dimasukan dalam
penelitian. Hal ini tidak sejalan dengan Teori Harod-Domar bahwa setiap
tambahan netto terhadap stok modal dalam bentuk investasi baru akan
menghasilkan kenaikan arus output nasional. Kenaikan output tersebut
dipengaruhi oleh tabungan dan investasi. (M.P Todaro. 2000:96).
Industri pengolahan di Indonesia terbagi kedalam empat kategori yaitu
industri padat sumber daya alam, industri padat tenaga kerja, industri padat modal,
dan industri padat teknologi. Investasi sektor industri pengolahan seharusnya
dialokasikan secara seimbang kepada setiap jenis industrinya untuk menunjang
pertumbuhan produk yang tinggi.
Fenomena saat ini menunjukkan bahwa investasi sektor industri
pengolahan adalah investasi bersifat padat modal bukan investasi bersifat padat
karya. Hal tersebut dapat dilihat dari investasi padat modal mengalami
peningkatan setiap tahunnya yang disebabkan oleh transformasi perekonomian
indonesia yang semula mengandalkan sektor pertanian beralih ke sektor industri.
Peralihan sistem perekonomian ini menuntut industri dalam negeri untuk dapat
mengikuti era yang lebih modern. Industri padat modal lebih banyak
menggunakan peranan teknologi dibandingkan dengan tenaga kerja, oleh karena
itu industri lebih banyak menggunakan investasi yang bersifat padat modal.
(Thoso Priharnowo, 2006). Hal tersebut dapat dilihat dari tabel proporsi investasi
pada setiap sub-sektor industri pengolahan berikut:
141
Tabel 4.19 Proporsi Investasi Sub-Sektor Industri Pengolahan
Kode
15
16
20
21
22
25
36
17
18
19
28
30
33
37
23
Kelompok Industri
Industri Padat Sumber Daya Alam
Makanan dan minuman
Pengolahan tembakau
Kayu, barang-barang dari kayu (tidak termasuk furnitur), dan
barang-barang-barang anyaman
Kertas dan barang dari kertas
Penerbitan, percetakan dan reproduksi media rekaman
Karet, barang dari karet dan barang dari plastik
Furnitur dan pengolahan lainnya
Industri Padat Tenaga Kerja
Tekstil
Pakaian jadi
Kulit, barang dari kulit dan alas kaki
Barang barang dari logam, kecuali mesin dan peralatannya
Peralatan kantor, akuntansi, dan pengolahan data
Peralatan kedokteran, alat-alat ukur, peralatan navigasi, peralatan
optik, jam, dan lonceng
Daur Ulang
Industri Padat Modal
Batu bara, pengilangan minyak bumi dan pengolahan gas bumi,
barang-barang dari hasil pengilangan minyak bumi dan bahan bakar
nuklir
2006
Investasi
Kontribusi
(PMA+PMDN)
(%)
9468.3
19.2
4069.6
8.4
1185.3
2.4
2007
Investasi
Kontribusi
(PMA+PMDN)
(%)
28462.7
38.85
7373.9
10.07
338.5
0.46
2008
Investasi
Kontribusi
(PMA+PMDN)
(%)
16965.4
27.8
8651.72
14.17
385.4
0.63
1103.5
2.2
793.5
1.08
968.7
1.59
1312
777.3
826.1
194.5
2.7
1.6
1.7
0.4
13075.3
4862.2
1497.7
523.9
17.85
6.64
2.04
0.74
2076.38
1656.2
2792.6
434.4
3.4
2.71
4.57
0.71
2266.2
392
113.7
522
707.9
526.3
4.6
0.8
0.2
1.1
1.4
1.1
6118.2
1137.9
407.3
1017.5
900
2531.3
8.35
1.55
0.56
1.39
1.23
3.46
5967.2
1882.8
938.8
1468.1
943.7
546.2
9.8
3.08
1.54
2.4
1.55
0.89
2
0.004
109
0.15
164
0.27
2.3
0.005
15.2
0.21
23.6
0.04
35200.7
71.6
36447.4
49.75
34929.1
57.2
9760.7
19.8
5038.8
6.88
4451.8
7.29
142
24
26
27
29
31
34
Kimia dan barang-barang dari bahan kimia
Barang galian bukan logam
Logam dasar
Mesin dan perlengkapannya
Mesin listrik lainnya dan perlengkapannya
Kendaraan bermotor
Industri Padat Teknologi
32
Radio, televisi dan peralatan komunikasi serta perlengkapannya
35
Alat angkutan, selain kendaraan bermotor roda empat atau lebih
TOTAL INVESTASI SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), 2009
5894.9
2333.8
6219.8
4528.9
1989.1
4473.5
12
4.7
12.6
9.2
4
9.1
17285.2
402.2
4852.8
3885.1
1690.5
3292.8
23.6
0.55
6.62
5.3
2.31
4.36
6781.7
3509.3
4779
6597
3596.6
5213.7
11.11
5.75
7.83
10.8
5.89
8.54
2261.7
1112.4
1149.3
49196.9
4.6
2.3
2.3
100
2229.2
789.6
1439.6
73259.8
3.04
1.07
1.97
100
3203.8
540.8
2663
61065.5
5.25
0.89
4.36
100
143
Dilihat dari proporsi investasi sektor industri pengolahan pada setiap
subsektornya selama tiga tahun terakhir, proporsi tertinggi ditunjukkan oleh
industri padat modal dengan rata-rata investasi sebesar Rp. 83291.31 miliar,
meskipun persentase proporsi investasi terlihat menurun selama tiga tahun
terakhir namun angka investasi yang ditunjukkan masih paling tinggi jika
dibandingkan dengan kelompok industri yang lain. Angka proporsi terendah
ditunjukkan oleh kelompok industri padat teknologi yang hanya mendapat ratarata investasi sebesar Rp. 5558.83 miliar atau hanya sekitar 9.82 persen pertahun.
Sementara itu untuk kelompok industri padat sumber daya alam dan industri padat
tenaga kerja rata-rata investasi masing-masing adalah sebesar Rp. 43586.13 miliar
dan Rp. 10373.47 miliar, dimana angka-angka tersebut menunjukkan proporsi
yang didapatkan kelompok industri tersebut masih lebih baik dibandingkan
dengan kelompok industri padat teknologi namun masih tergolong memiliki
proporsi yang rendah jika dibandingkan dengan kelompok industri padat modal.
Data tersebut menunjukkan bahwa realisasi investasi sektor industri pengolahan
terlihat lebih dominan diberikan pada industri yang bersifat padat modal
dibandingkan dengan kelompok industry lainnya. Padahal jika dilihat dari jumlah
output yang dihasilkan, kontribusi output yang tinggi bukan hanya ditunjukkan
oleh kelompok industri padat modal saja, tetapi oleh kelompok industri lainnya.
Hal tersebut dapat dilihat dari kontribusi output berdasarkan kelompok industri
pengolahan terhadap total output industri pengolahan yang dapat dilihat pada tabel
di bawah ini:
144
Tabel 4.20
Kontribusi Output Berdasarkan Kelompok Industri Pengolahan
2006
Kelompok
Industri
Output
(miliar
Rp)
Kontribusi
(%)
2007
Output
(miliar
Rp)
Kontribusi
(%)
1. Industri padat
sumber daya
630199
46.03
688269
43.42
alam
2. Industri padat
225695
16.49
275695
18.71
tenaga kerja
3. Industri padat
440600
32.19
499814
31.52
modal
4. Industri padat
72144
5.27
121275
7.65
teknologi
Total Output
1368638
100
985946
100
Sumber : Perkembangan Indeks Produksi Industri (BPS) 2009, data diolah
2008
Output
(miliar
Rp)
Kontribusi
(%)
900326
45.77
298966
15.19
622511
31.64
145411
7.39
1967214
100
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa selama periode 2006-2008, jumlah
output tertinggi ditunjukkan oleh industri padat sumber daya alam dengan ratarata output sebesar Rp.1618577 miliar, dan output terendah yaitu industri padat
teknologi dengan rata-rata sebesar Rp. 241889.3 miliar. Sementara itu jika dilihat
dari kontibusinya terhadap output total industri pengolahan, kelompok industri
padat sumber daya alam menunjukkan angka tertinggi rata-rata kontribusinya
sebesar 104.71 persen, diikuti oleh industri padat modal dengan rata-rata
kontribusi sebesar 74.26 persen, dan industri padat tenaga kerja rata-rata
kontribusi sebesar 40.26 persen. Sementara itu rata-rata kontribusi industri padat
teknologi hanya sebesar 15.38 persen saja.
Investasi memiliki peranan penting untuk meningkatkan output dari setiap
subsektor industri pengolahan namun jika dilihat dari fenomena sekarang yang
menunjukkan bahwa investasi sektor industri pengolahan lebih banyak
dialokasikan untuk subsektor industri yang padat modal dibandingkan dengan
145
subsektor industri lainnya, tentu saja dapat membuat pertumbuhan produk industri
pengolahan mangalami pertumbuhan yang lambat.
Data output diatas menunjukkan bahwa industri padat sumber daya alam,
industri padat tenaga kerja, industri padat modal dan industri padat teknologi
memiliki potensi untuk meningkatkan pertumbuhan produk industri pengolahan.
Dalam hal ini pihak industri harus mampu untuk mengalokasikan investasi sektor
industri pengolahan secara seimbang antara investasi padat modal dengan
investasi padat sumber daya alam, investasi padat karya, dan investasi padat
teknologi sehingga subesktor industri pengolahan dapat berkembang dan
pertumbuhan produk industri pengolahan yang diharapkan tumbuh lebih baik
dapat tercapai.
4.3.2
Pengaruh Pengembangan Tenaga Kerja terhadap Pertumbuhan
produk
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan tenaga kerja yang
diukur dari anggaran yang dikeluarkan untuk pengembangan tenaga kerja,
berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan produk industri pengolahan hal
tersebut dapat dilihat dari nilai profitabitasnya yaitu 0.0000, namun pengaruhnya
menunjukkan arah negatif dengan koefisien -0.209011, artinya setiap penambahan
biaya pengembangan tenaga kerja sebesar Rp. 1% maka pertumbuhan produk
industri pengolahan akan mengalami penurunan sebesar 0.209011%.
Industri memerlukan peranan dari tenaga kerja terutama tenaga kerja yang
memiliki kemampuan dan keahlian bidang industri untuk dapat melakukan
kegiatan produksi. Peningkatkan kualitas tenaga kerja industri dapat diwujudkan
146
dari anggaran yang dialokasikan untuk pengembangan meliputi pendidikan,
pelatihan kerja, maupun diklat. Jika dilihat dari realisasinya, anggaran
pengembangan tenaga kerja setiap tahunnya mengalami peningkatan hal itu sudah
menunjukkan bahwa ada perhatian khusus terhadap pengembangan tenaga kerja,
namun pengalokasian anggaran masih belum seimbang dan efisien sehingga
dalam penelitian ini pengembangan tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan produk industri pengolahan Indonesia.
Kenaikan biaya pengembangan tenaga kerja yang terus terjadi akan
berdampak langsung pada biaya produksi secara umum, sehingga biaya produksi
yang secara keseluruhan akan mengalami kenaikan akibatnya industri akan
mengurangi jumlah barang yang diproduksi. Jika kondisi ini terus terjadi dalam
jangka panjang pertumbuhan sebuah industri atau perusahaan akan mengalami
penurunan karena tidak bisa menghadapi tekanan biaya produksi. Pertumbuhan
produk industri pengolahan perlu ditingkatkan salah satunya dengan pengendalian
anggaran pengembangan tenaga kerja, hal ini dilakukan karena sistem birokrasi
yang belum bersih dari tidak KKN atau adanya penyelewengan-penyelewengan
anggaran pengembangan. Lambatnya pertumbuhan industri pengolahan di
Indonesia disebabkan oleh belum mampunya industri ini untuk menanggung biaya
produksi yang semakin membumbung tinggi sementara persaingan semakin ketat
menuntut biaya produksi yang kompetitif.
Hal ini menunjukkan bahwa pada industri pengolahan berlaku hukum
hasil lebih yang semakin berkurang (law of diminishing return). Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Lincoln Arsyad (1996:215) bahwa : ”hukum ini
147
menyatakan jika jumlah penggunaan satu input variabel meningkat sementara
jumlah penggunaan faktor-faktor produksi lainnya tidak berubah, maka pada
mulanya kenaikan penggunaan input tersebut akan menyebabkan kenaikan output,
tetapi kemudian mulai menurun (berkurang). Atau dengan kata lain, hukum ini
menyatakan bahwa MP (marginal product) dari faktor produksi variabel akhirnya
akan menurun, jika input tersebut dikombinasikan dengan satu input lainya atau
lebih yang jumlahnya tetap”. Dengan demikian untuk menghasilkan produksi
yang optimum, maka peningkatan pengembangan tenaga kerja harus diiringi
dengan penambahan atau peningkatan input lain, seperti teknologi yang memadai
sehingga dapat meningkatkan kapasitas produksi.
Permasalahan penting yang dihadapi sektor industri saat ini adalah masih
rendahnya kualitas sumber daya manusia-nya, sebagaimana tercermin dari tingkat
pendidikan tenaga kerja industri, menyebabkan rendahnya produktivitas tenaga
kerja industri. Senada dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang
menyatakan bahwa tantangan pertama bagi industri kita ialah masalah
produktivitas tenaga kerja Indonesia. Pada tahun 1990, diukur dengan Produk
Domestik Bruto setiap pekerja, adalah sekitar US$1.600. Tingkat produktivitas ini
sangat tidak optimal dibandingkan dengan negara lain misalnya Thailand US$
2.600, Malaysia US$ 5.400, dan Korea Selatan US$ 12.000. Masalah ini yang
banyak berkait dengan kemampuan penguasaan dan pengembangan iptek,
pengetahuan, inovasi, dan keterampilan SDM dengan sendirinya mempengaruhi
daya saing kita dalam percaturan ekonomi internasional. (Perkembangan Indeks
Produksi Industri (BPS), 2007:19).
148
Era globalisasi dan persaingan yang semakin ketat menuntut tenaga kerja
yang lebih professional dan mampu memberdayagunakan industri. Salah satu
resiko masih rendahnya produktivitas tenaga kerja industri adalah output yang
dihasilkan kurang maksimal, sehingga masih kalah bersaing dengan negara lain.
Pengendalian anggaran pengembangan tenaga kerja sangatlah penting mengingat
bahwa akan berpengaruh langsung terhadap kelancaran dan mutu produksi.
Sangat disayangkan ketika karena alasan anggaran pengembangan tenaga kerja
yang belum seimbang menyebabkan kualitas produksi rendah. Optimalisasi
pengembangan tenaga kerja sangat penting mengingat perannya terhadap
pertumbuhan suatu industri. Oleh karena itu pemerintah harus lebih bijaksana lagi
dalam mengalokasikan anggaran untuk pengembangan tenaga kerja. Karena
segala bentuk pembangunan seperti apapun tidak akan terwujud tanpa didukung
oleh kualitas sumber daya manusia yang unggul. Sehingga jelas sesuai dengan
teori bahwa pendidikan guna menghasilkan suatu investasi sumber daya manusia
yang handal akan berpengaruh terhadap maju mundurnya pertumbuhan produk
industri di Indonesia.
4.3.3
Pengaruh Pengembangan Teknologi terhadap Pertumbuhan produk
Berdasarkan hasil pengujian, menunjukkan bahwa pengembangan
teknologi yang diukur dari perkembangan anggaran perubahan teknologi
berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan produk. Terlihat dari
profitabilitas sebesar 0.0080 dan koefisiennya sebesar 1.009804, artinya semakin
tinggi pengembangan teknologi maka pertumbuhan produk juga akan naik. Hal ini
sejalan dengan Teori yang dikemukakan oleh Solow yang menyatakan bahwa
149
“Salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan adalah tingkat teknologi dan
perbaikannya dari tahun ke tahun”.
Meningkatnya pengembangan industri pengolahan berkaitan dengan
berkembangnya teknologi industri. Dengan peluang dan tantangan pertumbuhan
industri yang begitu pesat, maka kemampuan industri perlu ditingkatkan, melalui
peningkatan kemampuan pemanfaatan dan penguasaan teknologi. Teknologi
merupakan salah satu unsur penting dalam pembangunan ekonomi dan merupakan
elemen pokok dalam pengembangan industri selain itu teknologi dapat
memperluas tingkat produksi dengan input yang sama dari modal dan tenaga
kerja. Penguasaan pengetahuan dan teknologi merupakan modal dasar untuk
inovasi. Menurut Sadono Sukirno (2002 :352) Terdapat dua alasan dalam
melakukan pengembangan dan penguasaan teknologi yaitu, 1) adanya keuntungan
yang lebih besar dan 2) menekankan pada persaingan harga akan menimbulkan
efek yang kurang menguntungkan industri.
Penggunaan teknologi berdasarkan nilai ekonomis dalam jangka waktu
tertentu. Penggunaan teknologi yang baik akan menghasilkan produk yang
berkualitas dan dapat bersaing dengan produk-produk lain yang ada di pasar.
Selain itu teknologi yang digunakan dalam proses produksi bertujuan untuk
efisiensi produksi sehingga penguasaan teknologi modern dalam proses produksi
diharapkan semakin lebih efisien dalam penggunaan input produksi sehingga
biaya produksi dapat ditekan.
Sejalan dengan pernyataan Porter dalam Tumar Sumihardjo (2008:8)
yang menerangkan bahwa perubahan teknologi dilakukan perusahaan akan
150
memelihara keunggulan yang telah ada jika perubahan teknologi itu dapat
menurunkan biaya atau meningkatkan differensiasi dan kepeloporan perusahaan
dalam teknologi bersangkutan bersifat tahan lama. Suatu perubahan teknologi
akan meningkatkan keunggulan bersaing jika ini cenderung menurunkan biaya
atau meningkatkan differensiasi serta dapat terlindung dari peniruan.
Peningkatan anggaran untuk pengembangan teknologi beberapa terakhir
ini menunjukkan secara nyata komitmen industri terhadap pembangunan
teknologi industri. Apabila anggaran pembangunan teknologi digabungkan
dengan anggaran rutin, maka perkembangan anggaran teknologi 2001-2004
adalah Rp. 10.701,2 miliar, Rp. 10.871,2 miliar dan Rp. 11.182,6 miliar, atau
meningkat dengan rata-rata 30 persen per tahun. (BPS, 2007). Hal tersebut
menunjukkan bahwa pengaruh kemajuan teknologi untuk meningkatkan
pertumbuhan produk Indonesia sudah mulai ditunjukkan oleh industri Indonesia,
dengan pemberian alokasi anggaran yang memadai.
Hal yang masih jadi kendala adalah kemampuan tenaga kerja yang mampu
untuk mengelola dan menjalankan teknologi industri yang ada terbukti dengan
masih terbatasnya tenaga kerja industri profesional, yang tercermin dari
rendahnya kualitas SDM dan kesenjangan pendidikan di bidang iptek
menunjukkan rasio tenaga peneliti Indonesia pada tahun 2001 adalah 4,7 peneliti
per 10.000 penduduk, jauh lebih kecil dibandingkan Jepang sebesar 70,7.
(Rahardi Ramelan, 2004). Hal itu menunjukkan bahwa masih minimnya tenagatenaga professional yang dimiliki oleh industri Indonesia. Padahal jika di negeri
ini banyak terdapat tenaga kerja ahli, industri akan mapu menghasilkan produk-
151
produk yang berkualitas dan memiliki daya saing di kancah internasional. Seperti
yang diutarakan oleh Vincent Gaspersz (2001: 266) dalam kenyataannya
pengembangan teknologi, termasuk keterampilan tenaga kerja, kerampilan
manajerial sangat memainkan peranan penting untuk menciptakan suatu skala
usaha ekonomi, perkembangan teknologi akan menciptakan
proses produksi
yang makin efisien sehingga biaya produksi total akan makin rendah dan itu
meningkatkan penerimaan bersih/laba. Oleh karena itu perkembangan teknologi
harus disertai dengan pengembangan tenaga kerja agar proses produksi dapat
menghasilkan produk-produk yang unggul.
4.3.4
Pengaruh Pertumbuhan Produk Industri Pengolahan terhadap Daya
Saing Produk
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan produk industri
pengolahan berpengaruh signifikan terhadap daya saing hal tersebut dapat dilihat
dari nilai profitabitasnya yaitu 0.0000, namun pengaruhnya menunjukkan arah
negatif dengan koefisien -0.608056, artinya jika pertumbuhan produk industri
pengolahan meningkat sebesar 1% maka daya saing produk akan turun sebesar
0.608056%. Pertumbuhan produk industri pengolahan memang berpengaruh
terhadap daya saing produk, senada dengan teori yang dikemukakan oleh Porter
bahwa salah satu pendukung daya saing industri adalah kondisi industri terkait
dan pendukung, kemajuan dalam industri nasional dan perdagangan internasional
menunjukkan bahwa suatu negara maju karena juga didukung oleh industri terkait
dan industri pendukung yang maju dan kompetitif. Suatu industri hilir di suatu
negara akan semakin kompetitif di pasar dunia jika industri-industri terkait dan
152
pendukungnya di dalam negeri juga mempunyai keunggulan kompetitif di tingkat
internasional. (Mudjarat Kuncoro, 2007). Artinya bahwa pertumbuhan produk
industri pengolahan akan mendukung daya saing produk di kancah internasional.
Kontribusi pertumbuhan produk industri pengolahan terhadap daya saing dapat
dilihat dari nilai ekspornya dan dibandingkan dengan ekspor dunia.
Meningkatnya produksi akan berpengaruh terhadap kuantitas ekspor yang
berkaitan dengan daya saing produk. Ketika suatu industri mampu memproduksi
komoditas yang baik dan unggul maka akan dengan mudah untuk mendapat
tempat dalam perdagangan internasional, dan frekuensi ekspor akan meningkat
tidak kalah dengan produk-produk impor.
Sektor industri pengolahan yang semakin berorientasi ekspor telah
menopang ekonomi Indonesia. Ekspor industri pengolahan menyumbang sekitar
83-85% terhadap ekspor nonmigas dan sekitar 64-67 persen terhadap total ekspor
Indonesia, bahkan kontribusi ekspor industri ini telah melampaui ekspor sektor
lainnya. Dengan kata lain sektor industri pengolahan telah menjadi penopang
perekonomian Indonesia. (BPS, 2007) Namun pertumbuhan produk industri
pengolahan yang tinggi tidak dapat menjamin industri tersebut memiliki daya
saing yang baik pula, jika tidak disertai dengan kualitas dan harga yang bersaing.
Seperti hasil dari penelitian ini yang menunjukkan bahwa pertumbuhan produk
industri pengolahan berpengaruh secara negatif terhadap daya saing produk. Jika
dilihat dari angka indeks produksinya, industri pengolahan memang mengalami
peningkatan namun hal tersebut justru berpengaruh negatif terhadap daya saing
produk. Struktur ekspor nonmigas Indonesia telah berubah berdasarkan intensitas
153
input, yang dikelompokkan menjadi 5 kategori, yaitu: (a) NRI (Natural Resource
Intensive), (b) ULI (Unskilled Labour Intensive), (c) PCI (Physical Capital
Intensive), (d) HCI (Human Capital Intensive), dan (e) TI (Technological
Intensive). (Mudjarat Kuncoro, 2007)
Seperti yang dikemukakan oleh Rahardi Ramelan (2004), saat ini produk
yang memiliki keunggulan komparatif tinggi adalah produk industri padat
teknologi (TI) dan padat tenaga ahli (HCI) seperti barang-barang elektronik, kimia
dan mesin non-elektronik termasuk peralatan telekomunikasi, komputer dan
komponennya. Sementara itu industri pengolahan Indonesia masih terkonsentrasi
pada komposisi produk ekspor industri pengolahan yang tergolong produk padat
sumber daya alam (NRI) dan berbasis tenaga kerja yang tidak terampil (ULI)
seperti karet, plastik, tekstil, kulit, kayu, dan gabus. Sebagaimana tercantum
dalam tabel komposisi ekspor berikut:
Tabel 4.21
Komposisi Ekspor Berdasarkan Intensitas Input
1.
2.
3.
4.
5.
Kategori
Natural Resource Intensive (NRI)
Unskilled Labour Intensive (ULI)
Physical Capital Intensive (PCI)
Human Capital Intensive (HCI)
Technological Intensive (TI)
Total
Nilai Ekspor (miliar US$)
2003
36.5
24.7
10.1
14.9
13.8
100
40.9
2004
36.9
26.0
10.2
15.2
11.7
100
48.7
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), Trade Statistic, data diolah
Catatan:
- NRI: SITC 19, 20, 25 27
- ULI: SITC 17, 18, 22, 29
- PCI: SITC 15, 16, 31, 35, 36, 37
- HCI: SITC 26, 28, 33
- TI: SITC 21, 23, 24, 30, 32, 34
2005
38.9
24.9
10.7
13.2
12.4
100
55.6
2006
35.6
25.8
10.6
14.7
13.4
100
65.0
154
Dari tabel diatas terlihat bahwa ekspor industri pengolahan tertinggi
ditunjukkan oleh kategori produk padat sumber daya alam (NRI) dan berbasis
tenaga kerja yang tidak terampil (ULI). Hal ini mencerminkan masih lambatnya
proses perubahan struktur ekspor industri pengolahan dan rendahnya divesifikasi
produk pada industri pengolahan. Hal itulah yang menyebabkan masih rendahnya
daya saing produk industri pengolahan Indonesia.
Pengamatan selama ini sejak krisis ekonomi 1997/98 menunjukkan ada
sejumlah faktor penting yang membuat kemerosotan daya saing industri
pengolahan di Indonesia. Diantaranya yang terpenting adalah lemahnya
penguasaan teknologi yang selanjutnya membuat posisi Indonesia lemah dalam
inovasi baik produk maupun proses produksi, buruknya infrastruktur, rendahnya
kualitas sumber daya manusia (SDM), termasuk entrepreneurship, dan ekonomi
biaya tinggi, yang semakin parah disebabkan oleh banyaknya perda-perda yang
mengharuskan pembayaran berbagai macam retribusi. (Tulus Tambunan, 2006)
Selain itu Membludaknya produk-produk impor yang menawarkan
kualitas dan harga yang bagus di dalam negeri membuat produk dalam negeri
kurang laku di pasaran. Pertumbuhan produk industri pengolahan dapat menjadi
andalan dan penentu daya saing jika kondisi permintaan/pasar domestik yang
dapat dikatakan sebagai sumber utama pertumbuhan industri di dalam negeri
selama ini membaik, kondisi infrastruktur dan SDM yang berkualitas.
Produk industri pengolahan Indonesia masih bisa terus berkembang,
meskipun permintaan pasar internasional turun yang menyebabkan daya saing
produk turun. Tidak semua produk industri pengolahan memiliki daya saing yang
155
buruk terdapat beberapa produk memiliki keunggulan kompetitif berupa keunikan
dan harga yang bersaing, produk tersebut sudah termasuk unggulan dan diterima
oleh pasar internasional.
4.4 Implikasi Pendidikan
Era globalisasi saat ini menimbulkan berbagai polemik terutama bagi
negara-negara yang belum siap menghadapi persaingan bebas. Untuk itu
keunggulan kompetitif suatu negara terhadap negara lain adalah faktor yang
menentukan agar mampu bertahan, berperan, dan bersaing. Seperti kita ketahui
bahwa peranan dunia pendidikan sangat penting dalam upaya peningkatan
kualitas sumber daya manusia. Globalisasi memang tidak dapat dihindari, dimulai
dari globalisasi tingkat regional dan berlanjut hingga ke tingkat internasional,
maka dampak globalisasi memacu dunia pendidikan untuk berperan utama dalam
peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Keunggulan kompetitif atau daya saing dapat diartikan ke dalam 2 (dua)
hal, yaitu memenuhi kebutuhan diri sendiri dan tidak tergantung kepada negara
lain (mandiri), dan mampu berkompetisi dalam memenuhi kebutuhan negara dan
bangsa lain. Suatu bangsa akan berdaya saing tinggi bila bangsa tersebut
menerapkan dua hal tersebut. Pendidikan disetiap tahapan menjadi hal penting
dalam peningkatan daya saing bangsa. Penanaman karakter keunggulan
kompetitif pada seseorang dilakukan melalui proses pendidikan karakter untuk
mulai dari tahapan pendidikan Dasar hingga atas dan menjadi tanggung jawab
156
bersama guru disekolah maupun orang tua. Pada tahapan inilah, anak bangsa
dilatih agar mempunyai karakter independen dan keberanian berkompertisi.
Dalam hal ini, tujuan pembelajaran harus berdasarkan pada kebutuhan
masyarakat dan industri itu sendiri. Kesenjangan yang selama ini terjadi antara
dunia pendidikan dan kebutuhan dunia kerja sudah saatnya diminimalisasi. Hasil
dari proses pembelajaran tidak hanya cukup membuat siswa menguasai ilmu
pengetahuan (transfer knowledge) tetapi juga bagaimana memanfaatkan dan
mengimplementasikan ilmu pengetahuan tersebut untuk mengatasi berbagai
problematika hidup setelah mereka menjadi bagian dari masyarakat. Dalam
mengimplementasikan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari di sekolah, untuk
dapat bermasyarakat dan meningkatkan taraf hidup disamping kemampuan
akademik, perlu didukung oleh kemampuan bersosialisasi, bersikap, dan berfikir.
Menurut Tim Board Based Education (2001) siswa perlu memiliki kecakapan
hidup yang terdiri dari:
1. Kecakapan personal yang mencakup kecakapan mengenal diri dan kecakapan
berpikir rasional
2. Kecakapan sosial
3. Kecakapan akademik
4. Kecakapan vokasional
Sedangkan Dalin dan Rust (1996) menyatakan bahwa kecakapan hidup
terdiri dari communication skills, numeracy skills, information skills, problem
solving skills, self management and competitive skills, social and co-operation
skills, physical skills, work and study skills, serta attitude and values. Di pihak
157
lain persyaratan yang ditetapkan oleh industri dalam merekrut tenaga kerja yang
dibutuhkan adalah siswa yang dituntut memiliki keterampilan berfikir dan
keterampilan social dalam menjawab tantangan dunia kerja.
Berdasarkan pengertian kecakapan hidup di atas maka ukuran kualitas
sumber daya manusia dapat ditinjau dari seberapa banyak seseorang memiliki
keunggulan dari setiap aspek kecakapan hidup tersebut. Oleh karena itu system
pendidikan dan pola pembelajaran harus disesuaikan dengan pendekatan
kecakapan hidup. Dimana kecakapan hidup adalah kecakapan yang dimiliki oleh
seseorang untuk berani menghadapi problematika hidup secara wajar tanpa
merasa tertekan dan memiliki solusi sehingga mampu memecahkan persoalan
hidup (Tim BBE, Depdiknas, 2001).
Maka setiap pelajaran seharusnya memasukan aspek kecakapan hidup
yang tidak perlu mengubah kurikulum yang ada, artinya bahwa pendidikan
kecakapan hidup tidak tertuang secara eksplisit dalam kurikulum melainkan
bagaimana guru sebagai pendidik mampu membekali peserta didik dengan
pendidikan kecakapan hidup agar menghasilkan kualitas pendidikan yang unggul
dan daya saing bangsa di era global. Selain itu peranan guru sebagai pendidik
dalam menanamkan nilai keunggulan bersaing yang baik adalah melalui teladan
dari guru itu. Hal tersebut dapat memudahkan peserta didik dalam memahami
makna dari kemampuan bersaing yang baik yang ditunjukkan melalui tingkah
laku dan perbuatan dari pendidiknya.
Download