BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah suatu Negara kesatuan yang berbentuk Republik dengan sistem pemerintahan presidensil serta menganut asas demokrasi. Asas demokrasi inilah yang kemudian dalam prakteknya terwujud melalui pemilihan umum dimana seluruh seluruh warga Indonesia yang telah memenuhi syarat sebagai peserta pemilihan umum ikut dilibatkan. Dengan sendirinya pemilihan umum menuntut adanya partisipasi masyarakat dalam kelangsungan hidup bangsa dan Negara Indonesia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Keterlibatan dalam aktifitas politik ini dapat disebut dengan partisipasi politik. Tiada demokrasi tanpa partisipasi politik warga, sebab partisipasi merupakan esensi dari demokrasi.Partisipasi atau keterlibatan masyarakat dalam berpolitik merupakan ukuran demokrasi suatu negara.Dapat kita lihat dari pengertian demokrasi secara normative, yakni pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.1 Studi mengenai partisipasi politik di banyak Negara-negara berkembang termasuk juga di Indonesia merupakan permasalahan yang menarik. Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan indikator 1 Mochtar Mas’oed ,Negara Kapital dan Demokrasi, Pustaka Pelaja, Yogyakarta 2003, Hal 43. 1 implementasi penyelenggaraan kekuasaan negara tertinggi oleh rakyat yang dimanifestasikan keterlibatan mereka dalam pesta demokrasi atau pemilihan umum. Dalam iklim demokrasi, pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik adalah bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang kegiatannya dilaksanakan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan dan masa depan masyarakat itu serta juga untuk menentukan orangorang yang akan memegang tampuk kepemimpinan. Jadi partisipasi politik merupakan pengejewantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang sah oleh rakyat. Asumsi yang dibangun dalam partisipasi politik adalah, semakin banyak masyarakat yang melibatkan diri dalam proses politik maka dianggap sebagai situasi yang baik bagi proses perkembangan demokrasi. Tingginya tingkat partisipasi menunjukkan bahwa warga Negara mengikuti dan memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan itu. Sebaliknya tingkat partisipasi yang rendah dianggap sebagai tanda kurang baik karena diartikan bahwa banyak warga Negara yang tidak menaruh perhatian terhadap situasi serta masalah kenegaraan. Salah satu bentuk partisipasi politik yang bisa kita perhatikan adalah perilaku memilih masyarakat dalam pemilihan umum. Bentuk partisipasi politik ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Misalnya saja sebagai sebuah contoh, berdasarkan data pemilihan umum dari Amerika dan beberapa Negara Eropa, Lipset menemukan sebuah pola yang sama 2 dalam bentuk partisipasi politik yang dilakukan.2 Di Negara Negara tersebut ditemukan fakta bahwa orang kota lebih banyak memberikan suara dari pada orang desa. Juga ternyata bahwa pendapatan dan pendidikan merupakan faktor penting dalam proses partisipasi atau dengan kata lain orang yang pendapatannya tinggi, berpendidikan tinggi dan berstatus sosial tinggi cenderung untuk lebih banyak berpartisipasi dari pada orang yang berpendapatan serta berpendidikan rendah.3 Lipset menyatakan bahwa ada korelasi yang stabil antara tingkat pendidikan dan praktek politik seperti komunikasi politik, sosialisasi politik maupun rekruitmen politik. Sehingga terbangun ide bahwa peningkatan taraf pendidikan masyarakat mendukung perkembangan demokrasi. Seseorang yang telah mengenyam pendidikan akan memiliki tingkat kesadaran lebih terhadap keterlibatannya dalam partisipasi politik. Ia menjadi lebih paham situasi politik yang terjadi sehingga bisa memosisikan diri dalam gejolak atau tarik ulur kepentingan yang ada. Disini tingkat pendidikan sangat berperan didalam daya penyerapan serta kemampuan berkomunikasi, maka ketika komunikasi politik dipahami secara sederhana sebagai proses komunikasi antara “yang memerintah” dan “yang diperintah” berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan serta kebijakan-kebijakannya maka tingkat pendidikan akan sangat berperan besar bagi komunikasi politik karena ia dianggap dapat melancarkan proses komunikasi politik itu sendiri, “yang diperintah” menjadi lebih mengerti apa yang sebenarnya 2 Miriam Budihardjo, Demokrasi Di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1996. hlm.190 ibid 3 3 diinginkan “yang memerintah” sehingga apa yang diinginkan dari berlangsungnya proses komunikasi politik tersebut dapat tercapai. Untuk perilaku memilih di Indonesia, disamping dipengaruhi oleh isu-isu dan kebijakan politik yang secara langsung maupun tidak langsung dirasakan oleh masyarakat, perilaku memilih banyak dipengaruhi oleh kondisi dari struktur sosial masyarakat Indonesia yang cenderung majemuk. Jadi bisa saja seseorang menentukan pilihannya politiknya kepada seorang tokoh atau organisasi politik tertentu karena adanya kesamaan identitas keagamaan, kesukuan, kedaerahaan, dan lain sebagainya. Atau bisa juga karena adanya kedekatan emosional yang bersifat personal. Sebagai contoh, di Yogyakarta hingga kini orang-orang masih percaya bahwa perilaku memilih penduduk Kampung Kauman sangat lekat dengan identitas keagamaan mereka. Kampung yang berada di wilayah kelurahan Ngupasan ini memang dikenal dengan Kampung Santri. Di kampung Kauman inilah tempat didirikannya salah satu organisasi besar Islam di Indonesia, yaitu organisasi Muhammadiyah. Dari pemilu era orde lama, orde baru hingga kini era reformasi kampung Kauman diyakini sebagai basis suara bagi partai politiknya warga Muhammadiyah. Kondisi ini tentunya telah banyak berpengaruh dalam setiap proses politik yang berlangsung di Indonesia khususnya di Yogyakarta, mengingat peran Muhammadiyah yang sangat signifikan dalam kehidupan sosial politik serta ekonomi di Indonesia. Situasi ini hadir dalam proses pemilihan Walikotakota Yogyakarta pada tahun 2011 lalu. 4 Masyarakat Kauman sejak awal sudah diasumsikan akan menentukan pilihan politiknya pada identitas ke-Islam-an mereka, atau secara lebih khusus kepada identitas ke-Muhammadiyah-an mereka yang terwakilkan pada partai politik yang disebut-sebut sebagai partai politiknya warga Muhammadiyah yaitu Partai Amanat Nasional. Pemilihan Walikota Kota Yogyakarta ini diikuti oleh 3 pasangan calon. Pasangan nomor urut 1 adalah kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Zuhrif Hudaya bersama wakilnya Aulia Reza Bastian. Pasangan calon ini diusung oleh PKS, Partai Nurani Rakyat, Partai Kasih Demokrasi Indonesia, Partai Karya Peduli Bangsa dan Partai Republikan Nusantara. Selanjutnya pasangan nomor urut 2 yaitu Hanafi Rais dan Tri Harjun Ismaji. Pasangan ini didukung empat partai besar dan sembilan partai lainnya yang tergabung dalam Koalisi Mataram. Ke-empat partai besar tersebut adalah Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat nasional dan Partai Gerakan Indonesia Raya. Adapun kesembilan partai yang tergabung dalam Koalisi Mataram adalah Partai Bulan Bintang, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Damai Sejahtera, Partai Demokrasi Kebangsaan, Partai Pekerja dan Pengusaha Indonesia, Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Demokrasi Pembaruan dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama. Pasangan inilah yang menjadi “jago”nya warga Kauman. Selanjutnya yang terakhir pasangan nomor urut 3 yaitu pasangan Haryadi Suyuti dan wakilnya Imam Priyono. Haryadi Suyuti adalah Wakil Wali Kota Yogyakarta dalam periode sebelumnya. Koalisi antara Partai Demokrasi 5 Indonesia Perjuangan(PDI-P) dengan Partai Golkar sepakat untuk mengusung pasangan calon ini. Setelah melalui proses kampanye, masa pemilihan, dan kemudian penghitungan suara, Komisi Pemilihan Umum Kota Yogyakarta berhasil memunculkan pemenang calon walikota dan wakil walikota Yogyakarta periode 2011-2016 yaitu pasangan Haryadi Suyuti-Imam Priyono, pasangan yang diusung oleh koalisi PDI-P dan Golkar. Pasangan ini berhasil memperoleh 97.074 suara atau 48,3 persen. Sementara pasangan yang menjadi “jago”nya warga Kauman yaitu Hanafi Rais-Tri Harjun Ismaji memperoleh 84.122 suara atau 41,9 persen. Dan yang terakhir pasangan dari Partai Keadilan Sejahtera yaitu Zuhrif Hudaya-Aulia Reza Bastian memperoleh 19.557 suara atau 9,7 persen.4 Sementara itu hasil rekapitulasi penghitungan suara KPU untuk Kelurahan Ngupasan tempat Kampung Kauman berada ternyata juga dimenangkan oleh pasangan Haryadi Suyuti – Imam Priyono. Dari total 2914 jumlah perolehan suara untuk seluruh pasangan calon yang masuk di 14 Tempat Pemungutan Suara(TPS) Kelurahan Ngupasan, pasangan Haryadi Suyuti Imam Priyono memperoleh dukungan sebesar 1498 suara. Sementara pasangan Hanafi Rais – Tri Harjun memperoleh 1302 suara. Serta pasangan Muhammad Zuhrif Hudaya – Aulia Reza memperoleh 114 suara. Namun untuk perolehan suara di sekitar Kampung Kauman sendiri dimenangkan oleh pasangan Hanafi Rais – Tri 4 Bagus Kurniawan. “KPU Kota Tetapkan Walikota & Wakil Walikota Terpilih” Kamis, 29 September 2011. <http://news.detik.com/read/2011/09/29/220229/1733625/10/> 6 Harjun. Hal ini terepresentasikan dari dominannya perolehan suara pasangan ini di 5 TPS yang berada di sekitaran Kauman. Keberadaan kauman dalam proses politik di Yogyakarta tak bisa dilepaskan dari sejarah terbentuknya kauman di masa lalu. Saat itu sultan Hamengkubuwono I mendirikan kampung Kauman sebagai pusat pengembangan kegiatan sosial keagamaan di Yogyakarta. Terutama setelah kelahiran ki Ahmad Dahlan di Kauman yang selanjutnya menjadi cikal bakal berdirinya organisasi Muhammadiyah. Organisasi sosial keagamaan yang kontribusinya sangat besar dalam setiap proses perjuangan rakyat khususnya di Yogyakarta mulai sejak era merebut kemerdekaan hingga saat ini. Meskipun hasil pemilihan wali kota memunjukkan bahwa pasangan Hanafi Rais – Tri Harjun mengalami kekalahan, namun pasangan ini tetap dominan di Kauman. Ini menjadi menarik mengingat pengasosiasian dukungan politik Muhammadiyah Kampung sudah Kauman berlangsung dengan sangat lama. aktifitas Mengapa politik bisa demikian?faktor-faktor apa yang kemudian memengaruhi perilaku memilih masyarakat Kauman dalam pemilihan walikota tersebut sehingga pasangan Hanafi Rais – Tri Harjun tetap mendominasi perolehan suara di Kauman? Berangkat dari pertanyaan inilah kemudian skripsi ini disusun. 7 B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang yang telah disampaikan, rumusan masalahnya adalah: “ Faktor – Faktor apa yang memengaruhi perliaku memilih masyarakat Kauman dalam pemilihan walikota Yogyakarta tahun 2011” C. Tujuan Penelitian Yang menjadi tujuan dilakukannya penelitian ini adalah : Untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi perilaku memilih masyarakat Kampung Kauman dalam pemilihan walikota Yogyakarta pada tahun 2011 yang lalu. D. Kerangka Dasar Teori D. 1. Perilaku memilih Penelitian ini menggunakan teori perilaku memilih untuk bisa melihat lebih jelas karakteristik dari faktor-faktor yang menentukan perilaku memilih masyarakat Kauman. Teori ini menggunakan tiga pendekatan yaitu pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, dan pendekatan pilihan rasional. Perilaku memilih merupakan tingkah laku seseorang dalam menentukan pilihannya yang dirasa paling disukai atau paling cocok. Beberapa pertanyaan pokok dalam studi perilaku memilih, termasuk bagi pemilih Indonesia, pertama berkaitan dengan partisipasi dalam pemilu 8 atau pemilihan presiden(voter turnout): seberapa banyak warga negara yang berpartisipasi dalam pemilihan umum? Mengapa seseorang memutuskan ikut serta atau absen dalam pemilihan umum? Kedua, berkaitan dengan pilihan warga terhadap partai politik atau calon anggota DPR/DPRD, DPD, atau calon presiden: partai apa atau calon mana yang dipilih seorang pemilih dalam pemilu atau pilpres? Mengapa dia memilih partai atau calon tersebut, dan mengapa tidak memilih partai dari calon yang lain? Oleh ilmuan-ilmuan ilmu politik, teori tentang perilaku memilih ini dikategorikan ke dalam dua kubu yaitu Mazhab Colombia dan Mazhab Michigan. D. 1. 1 Mazhab Colombia: Mazhab ini muncul dan berkembang dalam tradisi studi perilaku memilih di Eropa dan Amerika pada tahun 1950-an dan dibangun dengan asumsi bahwa perilaku memilih ditentukan oleh karakteristik sosiologis para pemilih, terutama kelas sosial, agama, dan kelompok etnik/kedaerahan/bahasa.5 Model ini melihat masyarakat sebagai satu kesatuan kelompok yang bersifat vertikal dari tingkat yang terbawah hingga yang teratas. Penganut pendekatan ini percaya bahwa masyarakat terstruktur oleh normanorma dasar sosial yang berdasarkan atas pengelompokan sosiologis seperti agama, kelas (status sosial), pekerjaan, umur, jenis kelamin dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk perilaku memilih. Oleh karena itu 5 Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, “Kuasa Rakyat”. Mizan Publika, Juni 2012. 9 preferensi pilihan terhadap suatu partai politik merupakan suatu produk dari karakter sosial individu yang bersangkutan.6 Hal ini ditegaskan kembali oleh Riswanda Imawan dan Affan Gaffar(1993): “Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokkan-pengelompokkan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku memilih seseorang. Karakteristik sosial seperti pekerjaan, pendidikan, organisasi dan sebagainya serta karakteristik sosiologis seperti agama, umur, jenis kelamin, dan sebagainya merupakan faktor penting untuk menjelaskan pilihan politik. pendeknya, perilaku memilih dapat dijelaskan akibat pengaruh identifikasi seseorang terhadap suatu kelompok sosial dan norma-norma yang dianut oleh kelompok atau organisasinya”.7 Para penganut model sosiologis yakin bahwa seorang pemilih memilih partai atau calon pejabat publik tertentu karena adanya kesamaan antara karakteristik sosiologis pemilih dengan karakteristik sosiologis partai atau calon. Menurut pandangan mazhab ini, setidaknya ada tiga faktor sosiologis yang memberi pengaruh terhadap perilaku memilih. Yang pertama adalah kelas sosial, Seorang pemilih dengan latar belakang kelas sosial bawah(dilihat dari jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, pendapatan, dan kesadaran akan posisi kelas sosial) cenderung akan memilih 6 Afan Gaffar, Javanese Voters:A case study of election. Gadjah Mada Univeristy Press,Yogyakarta 1992. 7 Riswanda Imawan dan Affan Gaffar, 1993, Analisis Pemilihan Umum 1992 di Indonesia, Laporan Penelitian Fakultas ISIPOL, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hlm 15. 10 partai politik dan calon pejabat publik yang dipandang memperjuangkan perbaikan kelas sosial mereka. Di Eropa, buruh dipercaya cenderung memilih partai buruh atau partai sosialis ketimbang partai konservatif atau partai liberal. Pasalnya partai buruh atau partai sosialis dipercaya lebih memperjuangkan kepentingan sosial-ekonomi para buruh. Di Amerika, pemilih yang berasal dari kelas sosial bawah dipercaya cenderung memilih calon-calon dari Partai Demokrat ketimbang dari Partai Republik karena mereka percaya bahwa Partai Demokrat lebih memperjuangkan perbaikan kehidupan mereka ketimbang Partai Republik. Sebaliknya, pemilih yang berlatar belakang kelas sosial atas cenderung akan memilih calon-calon dari Partai Republik yang dianggap akan memperjuangkan kepentingan mereka sebagai anggota kelas atas.8 Pentingnya faktor kelas sosial dalam menentukan perilaku memilih sangat bergantung pada kejelasan perbedaan platform antar partai politik atau calon yang bersaing. Dua partai atau lebih yang bersaing harus jelas menunjukkan perbedaan posisinya dilihat dari pembelahan kelas dalam masyarakat. Jika tidak mampu membedakan diri mereka dilihat dari sudut kepentingan kelas sosial yang dibela maka arti penting kelas sosial dalam memengaruhi perilaku memilih menjadi kabur.9 Yang kedua adalah ideologi. Dalam studi perilaku memilih, ideologi yang dimaksud secara tradisional dibagi ke dalam dua 8 9 Mujani, Liddle, Ambardi. Op. Cit., hlm 10 Id,. hlm 11. 11 kategori: Kiri atau Kanan. Ideologi Kiri dipandang mencerminkan pemihakan pada kelas sosial bawah, sedangkan Ideologi kanan dipandang mencerminkan kelas sosial atas. Pembelahan ideologi seperti ini harus jelas tercermin dalam pembelahan politik kepartaian. Apabila perbedaan ideologis ini kabur, apakah di tingkat pemilih ataupun di tingkat partai politik, maka pengaruh kelas dan ideologi pada perilaku memilih menjadi tidak signifikan.10 Dalam sejarah politik Indinesia, kepentingan politik bebasis kelas sosial terartikulasi secara cukup jernih dalam politik kepartaian tahun 50an dan paruh pertama tahun 60-an. Ketika itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) hadir sebagai kekuatan politik yang mengklaim mewakili kepentingan kelas bawah seperti buruh dan petani tanpa lahan (petani gurem). Sementara itu Partai Nasional Indonesia (PNI) dipercaya sebagai partai yang banyak mencerminkan kesadaran kelas aristokrasi Jawa walaupun di antara elite mereka tumbuh kuat pemikiran sosial-ekonomi yang menunjukkan keberpihakan pada kelas sosial bawah. Di samping itu, Partai Sosialis Indonesia (PSI) juga dapat dikatakan sebagai partai yang relatif berlatar belakang kelas atas, setidaknya kelompok masyarakat terpelajar kota yang pandangan-pandangan politiknya paralel dengan kekuatan kelompok demokrasi liberal di Barat. Faktor sosiologis yang ketiga adalah agama. Partai politik atau calon pejabat publik yang punya platform keagamaan yang 10 Id., hlm 11-12 12 sama dengan karakteristik keberagaman pemilih, cenderung akan didukung oleh pemilih tersebut. Seorang muslim cenderung untuk memilih partai yang ber-platform Islam dibanding yang ber-platform agama lain, misalnya Kristen. Orang yang taat beragama cenderung untuk mendukung partai yang ber-platform agama dibanding dengan yang ber-platform sekuler. Sama seperti faktor kelas sosial dan ideologi, perbedaan citra atau platform yang jelas dari sisi keagamaan antara satu partai dengan partai lainnya atau calon yang satu dengan calon yang lainnya menjadi sangat penting. Karena ia akan dijadikan alat ukur terhadap sejauh mana faktor agama memberi pengaruh terhadap perilaku memilih. 11 Walaupun proses sekulerisasi politik diyakini sangat kuat di masyarakat Barat, tetapi tidak dengan serta-merta agama hilang pengaruhnya dalam kehidupan politik, termasuk dalam memengaruhi perilaku memilih. Dalam politik kepartaian Indonesia, agama adalah faktor yang dipercaya sangat penting memengaruhi perilaku pemilih. Pada tahun 1950-an, cukup banyak partai politik dibangun atas dasar solidaritas dan sentimen keagamaan. Di antara partai berasas Islam yang mendapatkan suara cukup signifikan pada tahun 1950-an adalah Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Semua partai ini berasas 11 Id., hlm 14-15 13 Islam, dan di Konstituante mereka menyuarakan aspirasa agar negara bertanggung jawab bagi pelaksanaan syariat Islam bagi para pemeluknya (Noer 1986). Sementara itu dari sekian banyak partai Sekuler, yang mendapat suara signifikan dalam Pemilu 1955 adalah Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Partai-partai ini lebih mengedepankan kebangsaan ketimbang perbedaan agama dan keberagaman di antara pemeluk agama. Dalam soal bernegara, semua partai ini menginginkan agar kelompok agama yang berbeda-beda itu diperlakukan dengan setara di hadapan negara. Walaupun Islam adalah agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia, bagi partai-partai ini, Islam sebagai sebuah agama harus diperlakukan sejajar dengan agama lain dalam konteks negara-bangsa Indonesia. Ini berarti tidak menyubordinasikan negara-bangsa pada agama Islam saja dan menunjukkan bahwa Islam tidak punya nilai khusus dalam konteks negara-bangsa Indonesia. Pandangan politik yang sekular semacam ini jelas berseberangan dengan pandangan partai-partai Islam ketika mereka harus merumuskan Konstitusi negara- bangsa Indonesia dalam Majelis Konstituante. Perbedaan ini cukup tajam pada masa itu sehingga menjadi salah satu faktor yang dipercaya 14 menyebabkan kegagalan Majelis Konstituante dalam merampungkan tugas mereka (Nasution 1990).12 Studi-studi yang ada tentang dampak relatif dari ketiga faktor sosiologis tersebut menunjukkan bahwa faktor agama dan etnik sering mempunyai dampak yang lebih signifikan ketimbang kelas sosial (Lijphart, 1978; Wald,1990). Terlepas dari posisi kelas seseorang-uruh ataupun majikan, kelas bawah atau kelas atas, blue collar ataupun white collar (pekerja yang bergaji), orang yang taat beragama cenderung mendukung partai politik atau calon pejabat publik yang bersikat positif atas agama. Terkait dengan kelas sosial, agama, etnik, dan kedaerahan, adalah kelompokkelompok atau organisasi terkait yang punya peran untuk memediasi individu-individu hingga menjadi kekuatan kolektif untuk mendukung partai atau calon tertentu. Organisasi-organisasi ini merupakan sumber daya sosial yang memungkinkan bagi mobilisasi politik. Dibanding yang tidak aktif, orang yang aktif dalam suatu organisasi sosial lebih tersedia untuk dimobilisasi sehingga bisa menjadi aktif dalam politik, dan lebih mungkin untuk mendukung partai, calon, atau isu publik tertentu (Wolfinger dan Rosenstone 1996). Dalam konteks pemilih Indonesia, efek dari keterlibatan dalam organisasi sosial tertentu terhadap pilihan atas partai belum ditelaah secara lebih sistematik. Selama ini NU memang dipercaya 12 Id., hlm 16 15 sebagai organisasi sosial yang terkait dengan partai NU, atau dengan PKB. Sementara itu, Muhammadiyah dipercaya terkait dengan Masyumi dan kemudian dengan PAN. Pandangan yang umum ini belum ditunjukkan secara analitis dan empiris.13 D. 1. 2. Mazhab Michigan: Sementara itu mazhab Michigan atau sering juga disebut dengan pendekatan psikologis merupakan mazhab yang muncul sebagai respon atas ketidakpuasan terhadap pendekatan sosiologis dari mazhab Columbia. Pendekatan sosiologis dianggap secara metodologis sulit diukur, seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama, dan sebagainya. Apalagi pendekatan ini hanya sebatas menggambarkan dukungan suatu kelompok terhadap kandidat atau partai politik tertentu. Tidak sampai pada penjelasan mengapa suatu kelompok tertentu memilih atau mendukung suatu partai tertentu sementara yang lain tidak. Di Indonesia, pendekatan sosiologis gagal menjelaskan mengapa perolehan suara partai islam mengalami penurunan secara drastis dalam jarak antara pemilu ke pemilu laing berlangsung yang singkat meskipun jumlah pemeluk agama tidak mengalami perubahan signifikan. Menurut pendekatan psikologis, salah satu kekuatan politik adalah produk dari sikap dan disposisi seorang pemilih. Pendekatan ini lebih mendasarkan faktor psikologis dalam diri 13 Id., hlm 20-21. 16 seseorang. Faktor psikologis ini, menurut Riswanda Imawan dideteksi dengan dua konsep: 1. Political Involvement, yakni perasaan penting atau tidak ingin terlibat dalam isu-isu politik yang bersifat umum. 2. Party identification, yakni preferensi (perasaan suka atau tidak suka seseorang terhadap satu partai politik atau kelompok elit tertentu).14 Model psikologis memperkenalkan apa yang disebut sebagai budaya demokrasi atau civic culture, dan secara lebih khusus lagi apa yang disebut sebagai budaya partisipasi politik untuk menjelaskan partisipasi politik. (Almond dan Verba 1963; Verba, Schlozman, dan Brady, 1995).15 Menurut model ini, seorang warga berpartisipasi dalam pemilu atau pilpres bukan saja karena kondisinya lebih baik secara sosial-ekonomi, atau karena berada dalam jaringan, sosial, akan tetapi, karena ia tertarik dengan politik, punya perasaan dekat dengan partai tertentu (identitas partai), punya informasi yang cukup untuk menentukan pilihan, merasa suaranya berarti, serta percaya bahwa pilihannya dapan memperbaiki keadaan (political efficacy). Seseorang berpartisipasi dalam politik seperti memilih dalam pemilu, bukan saja karena ia berada dalam jaringan sosial, terlibat 14 Riswanda Imawan dan Affan Gaffar, Op.Cit. Hlm 12-13. Mujani, Liddle, Ambardi. Op. Cit., hlm 22. 15 17 dalam kegiatan civic, tetapi juga karena ia ingin berpartisipasi. Walaupun ia terlibat (engaged) dalam kehidupan civic, ia tidak secara otomatis berpartisipasi dalam pemilu bila ia tidak ingin berpartisipasi. Yang termasuk ke dalam political engagement ini adalah informasi politik atau pengetahuan politik, political interest (tertarik politik), internal efficacy, dan partisanship (identitas partai). Pertanyaan dari perspektif psikologis terhadap model sosiologis dalam hubungannya dengan pilihan politik adalah bagaimana mekanisme faktor-faktor sosiologis berpengaruh terhadap pilihan politik: Bagaimana posisi kelas sosial, agama, kelompok etnik, atau kedaerahan berhubungan dengan keputusan untuk memilih partai politik atau calon pejabat publik tertentu. Faktor-faktor sosiologis tersebut tidak bias langsung memengaruhi keputusan untuk memilih, tetapi diperantarai oleh persepsi dan sikap, baik terhadap partai politik dan calon pecabat publik. Maka yang muncul kemudian bukan faktor sosiologis secara objektif, melainkan faktor sosiologis sebagaimana dipersepsikan. Dalam prosesnya, pentingnya faktor sosiologis akan terkait dengan faktor psikologis.16 D. 2 Rational Choice Theory Rational Choice Theory yang juga disebut dengan teori pilihan rasional ini muncul dari kesadaran para ilmuan ilmu sosial bahwa di antara ilmu-ilmu sosial, yang dianggap paling sukses adalah ilmu Ekonomi. 16 Id., hlm 25-26. 18 Dalam konsep ekonomi diasumsikan bahwa orang-orang termotivasi oleh uang dan segala kemungkinan untuk menghasilkan keuntungan. Situasi ini kemudian memungkinkan bagi dibangunnya sebuah model dari perilaku manusia. Para ilmuan kemudian berfikir bahwa jika mereka mengikuti metode ekonomi tersebut maka mereka bisa mencapai keberhasilan serupa dalam studi mereka. Mereka kemudian mencoba untuk membangun teori dengan gagasan bahwa setiap tindakan rasional yang akan dilakukan setiap individu telah melalui proses kalkulasi tentang segala “biaya” yang akan dikeluarkan serta kemungkinan “keuntungan” yang akan didapatkan. Pendekatan ini kemudian dikenal dengan teori pilihan rasional. 17 Buchanan (1972) menjelaskan bahwa Teori Pilihan Rasional adalah teori ekonomi neoklasik yang diterapkan pada sektor publik yang mencoba menjembatani antara ekonomi mikro dan politik dengan melihat pada tindakan warga, politisi, dan pelayan publik sebagai analogi terhadap kepentingan pribadi konsumen. Jika demikian, maka kita harus melihat bagaimana Adam Smith, pengarang The Wealth of Nation (1776), menjelaskan bahwa “orang bertindak untuk mengejar kepentingan pribadi mereka, melalui mekanisme “the invisible hand” menghasilkan keuntungan kolektif yang memberi manfaat pada seluruh masyarakat. Menurut perspektif rasionalitas pemilih ini, seorang warga berprilaku rasional. Yakni, menghitung bagaimana caranya mendapatkan hasil maksimal dengan ongkos minimal. Secara umum, rasionalitas yang dikembangkan 17 Jhon Scott, Understanding Contemporary Society: Theories of The Present. Rational Choice Theory. Sage Publications, 2000. 19 oleh pakar-pakar ekonomi politik baru, terutama pilihan rasional, terkait dengan konsep-konsep seperti kesukaan/prefrensi, kepercayaan, peluang, dan tindakan.18 Menurut William H. Riker dalam Political Science and Rational Choice (1994 dalam Deliarnov), model pilihan rasional terdiri atas elemenelemen berikut : 1. Para aktor dapat merangking tujuan-tujuan, nilai-nilai, selera, dan strategi-strategi mereka. 2. Para aktor dapat memilih alternatif terbaik yang bisa memaksimalkan kepuasan mereka.19 E. Metodologi Penelitian E. 1 . Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah metode penelitian kualitatif. Karena kajian yang diteliti merupakan gejala-gejala sosial politik yang dinamis, yang bisa berubah-ubah setiap saat sesuai konteksnya sehingga akan sangat sukar untuk memberikan batasan-batasan yang kaku secara permanen. Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, 18 Dhedhi Irawan. “Pilihan Rasional Dalam Merumuskan Kebijakan Publik(Sebuah Kajian Teoritis” maret 2012 Oktober 2012. <http://dhedhi-irawan.blogspot.com/2012/03/pilihan-rasional-sebuah-kajian-teoritis.html> 19 Ima Sarah nabila. “Definisi Teori Pilihan Rasional” Oktober 2012. <http://imasarahnabila.blogspot.com/2012/10/definisi-teori-pilihan-rasional.html> 20 dan melakiukan studi pada situasi yang alami (Creswell, 1998:15), Bogdan dan Taylor (Moleong, 2007:3) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati.20 Skripsi ini lebih menekankan pada metode penelitian observasi di lapangan dan datanya dianalisa dengan cara non-statistik. Meskipun tidak menutup kemungkinan masih digunakannya angka-angka dalam proses analisis datanya. Dalam penelitian ini peneliti memfungsikan dirinya sebagai alat utama pengumpul data, yaitu dengan metode pengumpulan data berdasarkan pengamatan maupun wawancara mendalam. E.2. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah peneletian kualitatif yang menggunakan pendekatan fenomenologis.Karena penelitian ini berusaha memahami makna peristiwa dan kaitannya terhadap orang biasa dalam situasi tertentu.fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang orang yang sedang diteliti. yang ditekankan oleh kaum fenomenologis adalah aspek subyektif dari prilaku orang atau memahami fenomena sosial dari pandangan pelakunya. Jika dilanjutkan dengan fenomenologi sebagai sebuah metodologi penelitian, walaupun ada juga yang lebih senang menyebut sebagai tradisi penelitian maka kita dapat menelusri pengertian yang sederhana. Metode 20 Iyan Afriani H.S “Metode Penelitian Kualitatif” Januari 2009. <http://my.opera.com/abdulqodir/blog/2010/05/19/metode-penelitian-kualitatif> 21 Fenomenologi menurut Polkinghorne (Cresswell, 1998:51-52) adalah “a phenomenological study describes the meaning of the lived experiences for several individuals about a concept or the phenomenon. Phenomenologist explore the structure of consciousness in human experiences”.21Metode penelitian kualitatif dengan menggunakan metode fenomenologi membantu periset memasuki sudut pandang orang lain, dan berupaya memahami mengapa mereka demikian. Metode fenomenologi tidak hanya melihat dari sisi perspektif para partisipan saja, tetapi juga berusaha memahami kerangka yang telah dikembangkan oleh masingmasing individu dari waktu ke waktu hingga membentuk tanggapan mereka terhadap peristiwa dan pengalaman dalam hidupnya. Fenomenologi mengesampingkan gagasan-gagasan awal periset mengenai suatu peristiwa atau pengalaman dengan tujuan untuk memahaminya dari dunia tempat para partisipan berada.22Yang berusaha dipaparkan dalam penelitian ini adalah mengenai perilaku memilih masyarakat kauman dalam pemilihan Walikota Yogyakarta pada tahun 2011 lalu, serta mencoba memahami secara personal hal-hal yang menjadi dorongan serta keyakinan yang mendasari perilaku memilih masyarakat kauman dalam pilwali tersebut. 21 Atwar Bajari “Fenomenologi Sebagai Tradisi Penelitian Kualitatif” Desember 2008. <http://atwarbajari.wordpress.com/2008/12/14/fenomenologi-sebagai-tradisi-penelitiankualitatif/> 22 Bambang Mudjiyanto dan N.Kenda. Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini Publik: Metode Fenomenologi Sebagai Salah Satu Metodologi Penelitian Kualitatif. Balai Pengkajian dan Pengembangan Informasi Wilayah VIII: Manado, 2010. Hal, 55. 22 E. 3. Pengumpulan Data Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini lebih mengarah ke cara snowbaling dimana penulis secara berantai mendatangi responden yang dirasa mampu memberikan data yang komprehensif terkait dengan maksud dari dilakukannya penelitian ini. Informasi mengenai responden ini didapatkan dari seorang keyperson atau narasumber utama dimana dari keyperson ini juga didapatkan informasi awal mengenai masyarakat kauman beserta tradisi-tradisinya. Proses berantai ini berlangsung terus menerus dari responden satu ke responden berikutnya dan baru berhenti setelah penulis merasa data yang dibutuhkan untuk menguraikan maksud penelitian ini dianggap sudah cukup memadai. Dalam proses pengumpulan data, peneliti melakukannya dengan cara wawancara mendalam dengan para responden. Proses wawancara ini sendiri sering dilakukan dengan tidak formal. Daftar pertanyaan hampir tidak digunakan karena karena suasana santai yang terbangun dirasa akan lebih memudahkan bagi peneliti serta responden untuk berinteraksi. Di sini peneliti menggunakan field-note atau catatan lapangan, selanjutnya berbagai temuan menarik dan hal-hal penting yang didapatkan dari “perbincangan santai” tersebut dicatat di dalam field note tadi untuk diolah lebih lanjut. Selain itu peneliti juga menggunakan data skunder yaitu dengan melakukan studi pustaka yang bermanfaat untuk memperoleh landasan teoritik dan konseptual dalam melakukan anaslisis dan perbandingan isi dan konsep berkenaan dengan kajian mengenai prilaku memilih. 23 E.4. Analisis Data Penelitian ini bertujuan untuk melihat lebih dalam prilaku memilih masyarakat kauman dalam konteks kekinian. Untuk bisa membaca hal tersebut maka dibutuhkan data-data utama berupa cara pandang serta cara hidup juga modal sosial masyarakat kauman yang saling berinteraksi dalam ruang lingkup sosial-politik yang memengaruhi prilaku serta rasionalitas mereka dalam aktifitas politik. Data-data tersebut tentunya didapatkan melalui observasi serta cara-cara yang sudah disampaikan sebelumnya, selanjutnya diolah menggunakan analisa-analisa teoritis untuk memahami lebih dalam seperti apa prilaku memilih masyarakat kauman dalam pemilukada Kota Yogyakarta. E.5 Sistematika Penulisan Penyusunan skripsi mengenai prilaku memilih masyarakat kauman ini tersusun dalam empat bab. Dimana pada bab pertama berisi tentang uraian latar belakang masalah, yaitu asal muasal perdebatan yang mendasari munculnya ide penelitian ini, lalu rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori serta yang terakhir metodologi penelitian. Bab kedua menjelaskan mengenai masyarakat Kauman. kehidupan sosial-politik Lebih spesifik lagi dalam pemilihan Walikota Yogyakarta di Kauman, seperti berapa jumlah pemilih, jumlah pendukung, jumlah TPS, dan lain sebagainya. Detail ini sangat penting digunakan untuk membaca konfigurasi suara masyarakat Kauman. 24 Bab ketiga berisi temuan-temuan dari penelitian yang dilakukan. Yang paling utama adalah bagaimana proses pemilihan walikota di Kauman tersebut berlangsung. Apa saja yang dilakukan oleh setiap pasangan calon untuk memperoleh dukungan. Kemudian bagaimana respon masyarakat Kauman terhadap setiap pendekatan yang dilakukan oleh masing-masing pasangan calon. Bab ke empat atau yang terakhir berisi kesimpulan dari segala proses penelitian yang telah dilakukan. Yaitu jawaban atas rumusan masalah yang telah disebutkan pada sub-bab sebelumnya mengenai faktor-faktor yang menentukan perilaku memimilih masyarakat Kauman dalam pemilihan Walikota Yogyakarta pada tahun 2011 lalu. 25