23 HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan bertujuan untuk menentukan konsentrasi terbaik penambahan kitosan sebagai pembentuk gel dalam pembuatan empek-empek dengan konsentrasi 0%, 0.1%, 0.2%, 0.3%, dan 0.4% dengan melakukan uji organoleptik I yang meliputi uji skala hedonik I dan mutu hedonik I, setelah konsentrasi terbaik terpilih lalu dilakukan penentuan konsentrasi terbaik dalam penambahan kitosan sebagai edible coating atau pelapis dengan konsentrasi 1%, 1.5%, dan 2% dengan melakukan uji organoleptik II yang meliputi uji hedonik II dan mutu hedonik II serta uji fisik sensorik yang meliputi uji lipat dan uji gigit. 1.1 Uji organoleptik Uji organoleptik adalah uji yang dilakukan dengan menggunakan alat indera manusia melalui rangsangan sensori. Uji ini dilakukan terhadap sampel empek-empek guna menentukan konsentrasi kitosan terpilih sebagai pembentuk gel (uji organoleptik I) dan edible coating (uji organoleptik II) serta uji organoleptik perbandingan. Panelis yang ikut serta sebanyak 30 orang panelis mahasiswa S1 IPB secara umum pada uji organoleptik I dan II. Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji skala hedonik (kesukaan) dan uji mutu hedonik. Uji perbandingan produk dilakukan dengan membandingkan produk empek-empek terpilih dengan produk empek-empek komersil. Panelis yang ikut serta sebanyak 15 orang panelis mahasiswa S1 secara umum pada uji perbandingan. Uji organoleptik perbandingan yang dilakukan adalah uji skala hedonik (kesukaan). 1.2 Uji skala hedonik (kesukaan) dan mutu hedonik Pada uji skala hedonik (kesukaan), panelis diminta untuk memberikan penilaian terhadap empek-empek berdasarkan skala hedonik satu sampai sembilan (semakin besar angka maka kualitasnya semakin baik). Pada uji mutu hedonik, panelis diminta melakukan penilaian secara deskriptif guna memberikan gambaran dengan skala mutu satu sampai lima (semakin kecil angka maka kualitasnya semakin baik). Parameter produk yang diukur dengan skala hedonik dan mutu hedonik delakukan secara deskriptif yang meliputi penampakan, warna, aroma, tekstur, dan rasa dari empek-empek. Pengujian dilakukan dengan menggunakan kuisioner. 24 1.3 Uji fisik sensori Uji fisik sensori yang dilakukan adalah uji gigit dan uji lipat. Uji gigit dilakukan untuk mengukur kekuatan produk empek-empek. Uji pelipatan merupakan salah satu pengujian mutu empek-empek yang dilakukan dengan cara memotong sampel dengan ketebalan ±1 cm. Kedua uji ini memberikan taksiran secara subyektif menggunakan 30 orang panelis (bersamaan dengan uji organoleptik II). 1.1.1 Uji organoleptik I (Kitosan sebagai pembentuk gel) 1.1.1.1 Penampakan Penampakan merupakan keadaan keseluruhan yang dilihat secara visual melalui indra penglihatan yang dapat menyebabkan ketertarikan panelis terhadap suatu produk. Dalam menilai produk komoditi pangan, cara yang masih dipakai adalah dengan menggunakan indera penglihatan. Banyak sifat-sifat produk yang dapat dilihat dengan penglihatan (Soekarto 1985). Rataan skala hedonik (kesukaan) terhadap penampakan empek-empek dengan formulasi kitosan 0.3% sebagai pembentuk gel mendapatkan jumlah tertinggi yaitu 165 dengan skor rata-rata 5.5 dengan rataan spesifikasi produk agak suka sampai suka, berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan sebagai pembentuk gel pada skala hedonik memberikan pengaruh nyata terhadap penampakan empek-empek (α= 0.006) dengan selang kepercayaan 0.05. Rataan uji mutu hedonik terhadap penampakan empek-empek dengan formulasi kitosan 0.3% sebagai pembentuk gel juga mendapatkan skor terbaik yaitu 53 dengan skor rata-rata 1.8 dengan spesifikasi produk utuh, rapi, permukaan rata, ketebalan kurang rata, tidak berlendir dan agak mengkilat, konsentrasi pemberian kitosan sebagai pembentuk gel pada uji mutu hedonik memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap penampakan empek-empek (α= 0.000) dengan selang kepercayaan 0.05. Kitosan yang digunakan sebagai pembentuk gel mampu memberikan nilai organoleptik penampakan empek-empek lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa kitosan. Nilai organoleptik untuk penampakan empek-empek pada penggunaan kitosan 0% (kontrol), 0.1%, 0.2%, dan 0.4% lebih rendah bila dibandingkan dengan penggunaan kitosan 0.3% pada skala hedonik dan mutu hedonik, hal ini dapat dijelaskan bahwa pada prinsipnya pembentukan gel terjadi karena terbentuknya jaringan tiga dimensi dari molekul primer, yang terentang 25 pada seluruh volume gel dan memerangkap sejumlah pelarut di dalamnya. Jika ikatan silang pada rantai panjang polimer dalam jumlah yang cukup banyak, akan terbentuk bangunan tiga dimensi yang berkesinambungan. Molekul pelarut akan terjebak di antaranya dan termobilisasi, sehingga terbentuk struktur kaku dan tegar yang tahan terhadap gaya atau tekanan tertentu dan mempengaruhi secara nyata penampakan umum pada empek empek. Skor rata-rata penapakan Skala Hedonik Mutu Hedonik 5,5 6 5 4,4 4 3 4,3 2,9 5,4 4,7 3,2 2,8 1,8 2,1 K 0,3% K 0,4% 2 1 0 K 0% K 0,1% K 0,2% Konsentrasi Kitosan Gambar 9 Nilai rata-rata pengaruh konsentrasi kitosan sebagai pembentuk gel terhadap penampakan 1.1.1.2 Warna Penentuan bahan makanan pada umumnya sangat tergantung pada beberapa faktor, diantaranya citarasa, warna, tekstur dan nilai gizinya. Tetapi sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan secara visual, faktor warna tampil lebih dan sangat menentukan (Winarno 1992). Rataan skala hedonik (kesukaan) terhadap warna empek-empek dengan formulasi kitosan 0.3% sebagai pembentuk gel mendapatkan jumlah tertinggi yaitu 164 dengan skor rata-rata 5.5 dengan rataan spesifikasi produk agak suka sampai suka, berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan sebagai pembentuk gel pada skala hedonik memberikan pengaruh sangat nyata terhadap warna empek-empek (α= 0.000) dengan selang kepercayaan 0.05. Rataan uji mutu hedonik terhadap warna empek-empek dengan formulasi kitosan 0.3% sebagai pembentuk gel mendapatkan skor terbaik yaitu 53 dengan skor rata-rata 1.8 dengan rataan spesifikasi produk putih sampai putih keabuan, berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan sebagai pembentuk 26 gel pada uji mutu hedonik memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap warna empek-empek (α= 0.000) dengan selang kepercayaan 0.05. Larutan kitosan berfungsi sebagai pembentuk gel mampu memberikan nilai organoleptik warna empek-empek lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa kitosan. Nilai organoleptik untuk empek empek-empek pada penggunaan kitosan 0%(kontrol), 0.1%, 0.2%, dan 0.4% lebih rendah bila dibandingkan dengan penggunaan kitosan 0.3% pada skala hedonik dan mutu hedonik. Hal ini dapat dijelaskan karena ikan yang digunakan ketika dicampurkan dalam adonan dan dibentuk lalu direbus maka empek-empek akan tampak berwarna kecoklatan. Dengan penambahan kitosan maka warna dari empekempek akan menjadi lebih cerah (putih sampai putih keabuan). Secara teoritis, kitosan yang dicampurkan dalam bahan pangan memiliki kemampuan menahan kehilangan kelembapan produk, memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu, mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan warna pigmen alami dan gizi serta menjadi pembawa bahan aditif seperti pewarna, pengawet dan penambah aroma yang memperbaiki mutu bahan pangan (Wong et al 1994). Menurut Zheng & Zhu et al (2003), diketahui bahwa kitosan berpotensi sebagai penguat warna. Skor rata-rata warna Skala Hedonik Mutu Hedonik 5,5 6 5 4,3 4,3 4 5,3 4,6 4 3,9 3,4 3 1,8 2 2,1 1 0 K 0% K 0,1% K 0,2% K 0,3% K 0,4% Konsentrasi kitosan Gambar 10 Nilai rata-rata pengaruh konsentrasi kitosan sebagai pembentuk gel terhadap warna 27 1.1.1.3 Aroma Aroma merupakan parameter yang sangat penting dalam menilai suatu bahan makanan atau produk. Tingkat kesegaran makanan dapat dirasakan dengan menggunakan indera penciuman. Kelezatan suatu makanan sangat ditentukan oleh faktor aroma. Dalam hal ini, aroma menjadi daya tarik tersendiri dalam menentukan rasa enak dari produk makanan itu sendiri (Soekarto 1985). Rataan skala hedonik (kesukaan) terhadap aroma empek-empek tanpa formulasi kitosan (K 0%) sebagai pembentuk gel mendapatkan jumlah tertinggi yaitu 175 dengan skor rata-rata 5.8 dengan rataan spesifikasi produk agak suka sampai suka, tetapi berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan sebagai pembentuk gel pada skala hedonik tidak memberikan pengaruh nyata terhadap aroma empek-empek (α= 0.670) dengan selang kepercayaan 0.05. Rataan uji mutu hedonik terhadap aroma empekempek tanpa formulasi kitosan (K 0%) sebagai pembentuk gel mendapatkan skor terbaik yaitu 56 dengan skor rata-rata 1.9 dengan rataan spesifikasi produk sangat tercium aroma ikan sampai tercium aroma ikan, berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan sebagai pembentuk gel pada uji mutu hedonik memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap aroma empek-empek (α= 0.000) dengan selang kepercayaan 0.05. Nilai organoleptik untuk aroma empek-empek pada penggunaan kitosan 0.1%, 0.2%, 0,3% dan 0.4% lebih rendah bila dibandingkan dengan tanpa penggunaan kitosan (kontrol) pada skala hedonik maupun pada uji mutu hedonik namun berdasarkan jumlah dan skor rata-rata yang ditentukan panelis tidak berbeda terlalu jauh. Hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi konsentrasi penggunaan kitosan maka dibutuhkan lebih banyak asam asetat untuk melarutkan kitosan untuk digunakan sebagai bahan pencampur sehingga dapat membentuk gel, di samping itu dengan adanya asam tersebut dapat meningkatkan cita rasa pangan disamping penambahan ikan dan bumbu-bumbu yang ditambahkan seperti bawang putih, merica, garam, gula pasir, dan penyedap, namun hal ini merupakan ukuran subjektif bagi panelis dan tergantung kepekaan (sensitivitas) terhadap rasa asam yang terkandung dalam bahan pangan. 28 Skor rata-rata aroma Skala Hedonik 7 6 5 4 3 2 1 0 5,8 5,4 1,9 K 0% Mutu Hedonik 5,7 5,4 2,5 2,4 K 0,1% K 0,2% 5,3 2,9 3,2 K 0,3% K 0,4% Konsentrasi Kitosan Gambar 11 Nilai rata-rata pengaruh konsentrasi kitosan sebagai pembentuk gel terhadap aroma 1.1.1.4 Tekstur Tekstur merupakan salah satu parameter penilaian organoleptik yang juga dipertimbangkan oleh konsumen pada saat memilih makanan. Kandungan protein, lemak, air, pengeringan dan aktivitas dari pergerakan air merupakan faktor yang mempengaruhi tekstur (Purnomo 1995). Rataan skala hedonik (kesukaan) terhadap tekstur empek-empek dengan formulasi kitosan 0.3% sebagai pembentuk gel mendapatkan jumlah tertinggi yaitu 162 dengan skor rata-rata 5.4 dengan rataan spesifikasi produk agak suka sampai suka, tetapi berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan sebagai pembentuk gel pada skala hedonik tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tekstur empek-empek (α= 0.236) dengan selang kepercayaan 0.05. Rataan uji mutu hedonik terhadap tekstur empekempek dengan formulasi kitosan sebagai pembentuk gel mendapatkan skor terbaik yaitu 55 dengan skor rata-rata 1.8 dengan rataan spesifikasi produk kenyal, kompak, padat sampai kenyal, kompak, dan kurang padat, tetapi berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan sebagai pembentuk gel pada uji mutu hedonik tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tekstur empek-empek (α= 0.278) dengan selang kepercayaan 0.05. Larutan kitosan berfungsi sebagai pembentuk gel mampu memberikan nilai organoleptik tekstur empek-empek lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa kitosan. Nilai organoleptik untuk tekstur empek-empek pada penggunaan kitosan 0%(kontrol), 0.1%, 0.2%, dan 0.4% lebih rendah bila 29 dibandingkan dengan penggunaan kitosan 0.3%, hal ini dapat dijelaskan bahwa pada prinsipnya pembentukan gel terjadi karena terbentuknya jaringan tiga dimensi dari molekul primer, yang terentang pada seluruh volume gel dan memerangkap sejumlah pelarut di dalamnya. Molekul pelarut akan terjebak di antaranya dan termobilisasi, sehingga terbentuk struktur kaku dan tegar yang tahan terhadap gaya atau tekanan tertentu dan mempengaruhi secara nyata tekstur pada empek empek. Keuntungan hidrogel adalah hidrofasilitas, permeabilitas yang selektif, dapat membengkak, kapasitas air yang relatif tinggi, kekentalan seperti karet yang lunak dan ketegangan antar muka yang rendah (Wang et al., 2004; Berger et al., 2004; Geimenhart, 2005). Skala Hedonik Skor rata-rata tekstur 6 5 5,4 4,9 4,5 Mutu Hedonik 4,9 4,8 4 3 2,5 2,2 2,4 K 0,1% K 0,2% 1,8 2 2,2 1 0 K 0% K 0,3% K 0,4% Konsentrasi Kitosan Gambar 12 Nilai rata-rata pengaruh konsentrasi kitosan sebagai pembentuk gel terhadap tekstur 1.1.1.5 Rasa Rasa adalah faktor yang sangat penting dalam menentukan akhir konsumen untuk menerima atau menolak suatu makanan. Walaupun parameter penilaian baik, tetapi rasanya tidak disukai atau tidak enak maka produk akan ditolak oleh konsumen (Winarno 1992). Rataan skala hedonik (kesukaan) terhadap rasa empek-empek dengan formulasi kitosan 0.3% sebagai pembentuk gel mendapatkan jumlah tertinggi yaitu 162 dengan skor rata-rata 5.4 dengan rataan spesifikasi produk agak suka sampai suka, berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan sebagai pembentuk gel pada skala hedonik memberikan pengaruh nyata terhadap rasa empek-empek (α= 0.04) dengan 30 selang kepercayaan 0.05. Rataan uji mutu hedonik terhadap rasa empek-empek tanpa formulasi kitosan (K 0%) sebagai pembentuk gel mendapatkan skor terbaik yaitu 49 dengan skor rata-rata 1.6 dengan rataan spesifikasi produk utuh, rapi, permukaan rata, ketebalan rata, tidak berlendir dan sangat mengkilat, berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan sebagai pembentuk gel pada uji mutu hedonik memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap rasa empek-empek (α= 0.000) dengan selang kepercayaan 0.05. Larutan kitosan berfungsi sebagai pembentuk gel mampu memberikan nilai organoleptik rasa empek-empek lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa kitosan. Nilai organoleptik untuk rasa empek-empek pada penggunaan kitosan 0%(kontrol), 0.1%, 0.2%, dan 0.4% lebih rendah bila dibandingkan dengan penggunaan kitosan 0.3% pada skala hedonik, tetapi pada uji mutu hedonik konsentarsi kitosan sebagai pembentuk gel yang paling disukai konsumen yaitu tanpa penambahan kitosan (kontrol). Hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi konsentrasi penggunaan kitosan maka dibutuhkan lebih banyak asam asetat untuk melarutkan kitosan untuk digunakan sebagai bahan pencampur sehingga dapat membentuk gel, di samping itu dengan adanya asam tersebut dapat meningkatkan cita rasa pangan disamping penambahan ikan dan bumbu-bumbu yang ditambahkan seperti bawang putih, merica, garam, gula pasir, dan penyedap, namun hal ini merupakan ukuran subjektif bagi panelis dan tergantung kepekaan (sensitivitas) terhadap rasa asam yang terkandung dalam bahan pangan. Skor rata-rata rasa Skala Hedonik 6 5 4 3 2 1 0 5 Mutu Hedonik 5,4 5,3 4,9 4 3,2 1,6 K 0% 2,2 2,1 2,2 K 0,1% K 0,2% K 0,3% K 0,4% Konsentrasi Kitosan Gambar 13 Nilai rata-rata pengaruh konsentrasi kitosan sebagai pembentuk gel terhadap rasa 31 1.1.2 Uji organoleptik II (Kitosan sebagai edible coating) 1.1.2.1 Penampakan Rataan skala hedonik (kesukaan) terhadap penampakan empek-empek dengan formulasi kitosan 1.5% sebagai pelapis (edible coating) mendapatkan jumlah tertinggi yaitu 160 dengan skor rata-rata 5.3 dengan rataan spesifikasi produk agak suka sampai suka, tetapi berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan sebagai pelapis pada skala hedonik tidak memberikan pengaruh nyata terhadap penampakan empek-empek (α= 0.398) dengan selang kepercayaan 0.05. Nilai rata-rata uji mutu hedonik terhadap penampakan empek-empek dengan formulasi kitosan 1.5% sebagai pelapis juga mendapatkan skor terbaik yaitu 67 dengan skor rata-rata 2.2 dengan rataan spesifikasi produk utuh, rapi, permukaan rata, ketebalan kurang rata, tidak berlendir dan agak mengkilat, berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan sebagai pelapis pada uji mutu hedonik tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap penampakan empek-empek (α= 0.145) dengan selang kepercayaan 0.05. Larutan kitosan berfungsi sebagai edible coating yang mampu memberikan nilai organoleptik penampakan empek-empek lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa kitosan. Hal ini disebabkan karena kitosan akan saling berikatan dan membentuk suatu matriks kompak yang berfungsi sebagai penghalang terhadap bahan-bahan tertentu yang dapat merusak bahan. Pelapis edible yang berasal dari hidrokoloid memiliki ketahanan yang bagus terhadap gas O2 dan CO2, meningkatkan kekuatan fisik (Wong et al 1994). Konsentrasi penggunaan kitosan sebesar 1.5% sebagai pelapis merupakan konsentrasi optimum yang mampu memberikan efek penampakan yang lebih baik. Nilai organoleptik untuk penampakan empek-empek pada penggunaan kitosan 1% dan 2% lebih rendah bila dibandingkan dengan penggunaan kitosan 1.5%, hal ini disebabkan pada konsentrasi larutan kitosan 2% warna larutan kitosan menjadi kurang jernih (lebih kuning) bila dibandingkan dengan larutan kitosan 1.5% dan akan mempengaruhi penampakan empek-empek saat dilapisi (coating). 32 Skor rata-rata penampakan Skala Hedonik 6 Mutu Hedonik 5,3 5,2 5 5 4 2,7 3 2,5 2,2 2 1 0 K 0,3% (EC 1%) K 0,3% (EC 1,5%) K 0,3% (EC 2%) Konsentrasi kitosan Gambar 14 Nilai rata-rata pengaruh konsentrasi kitosan sebagai pelapis (edible coating) terhadap penampakan 1.1.2.2 Warna Rataan skala hedonik (kesukaan) terhadap warna empek-empek dengan formulasi kitosan 1.5% sebagai pelapis (edible coating) mendapatkan jumlah tertinggi yaitu 170 dengan skor rata-rata 5.7 dengan rataan spesifikasi produk agak suka sampai suka, tetapi berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan sebagai pelapis pada skala hedonik tidak memberikan pengaruh nyata terhadap warna empek-empek (α= 0.067) dengan selang kepercayaan 0.05. Nilai rata-rata uji mutu hedonik terhadap warna empek-empek dengan formulasi kitosan 1.5% sebagai pelapis juga mendapatkan skor terbaik yaitu 118 dengan skor rata-rata 3.9 dengan rataan spesifikasi abu-abu keputihan sampai abu-abu, tetapi berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan sebagai pelapis pada uji mutu hedonik tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap warna empek-empek (α= 0.649) dengan selang kepercayaan 0.05. Larutan kitosan berfungsi sebagai edible coating yang mampu memberikan nilai organoleptik warna empek-empek lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa kitosan. Hal ini disebabkan karena secara teoritis, kitosan yang digunakan sebagai pelapis mampu mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan warna pigmen alami dan gizi serta menjadi pembawa bahan aditif, salah satunya adalah pewarna yang dapat memperbaiki mutu bahan pangan (Wong et al., 1994). Konsentrasi penggunaan kitosan sebesar 1.5% sebagai pelapis merupakan konsentrasi optimum yang mampu memberikan efek visual yang lebih baik. Nilai organoleptik untuk 33 penampakan empek-empek pada penggunaan kitosan 1% dan 2% lebih rendah bila dibandingkan dengan penggunaan kitosan 1.5%, hal ini disebabkan pada konsentrasi larutan kitosan 2% warna larutan kitosan menjadi kurang jernih (lebih kuning) bila dibandingkan dengan larutan kitosan 1.5% dan akan mempengaruhi warna empek-empek saat dilapisi (coating). Skala Hedonik Skor rata-rata warna 6 5 Mutu Hedonik 5,7 5,2 4,9 4,2 4 3,9 4,1 3 2 1 0 K 0,3% (EC 1%) K 0,3% (EC 1.5%) K 0,3% (EC 2%) Konsentrasi kitosan Gambar 15 Nilai rata-rata pengaruh konsentrasi kitosan sebagai pelapis (edible coating) terhadap warna 1.1.2.3 Aroma Rataan skala hedonik (kesukaan) terhadap aroma empek-empek dengan formulasi kitosan 1.5% sebagai pelapis (edible coating) mendapatkan jumlah tertinggi yaitu 186 dengan skor rata-rata 6.2 dengan rataan spesifikasi produk suka sampai sangat suka, tetapi berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan sebagai pelapis pada skala hedonik tidak memberikan pengaruh nyata terhadap aroma empek-empek (α= 0.152) dengan selang kepercayaan 0.05. Rataan uji mutu hedonik terhadap aroma empekempek dengan formulasi kitosan 1% sebagai pelapis juga mendapatkan skor terbaik yaitu 67 dengan skor rata-rata 2.2 dengan rataan spesifikasi tercium aroma ikan hingga agak tercium aroma ikan, tetapi berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan sebagai pelapis pada uji mutu hedonik sangat tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap aroma empek-empek (α= 0.931) dengan selang kepercayaan 0.05. Nilai organoleptik untuk aroma empek-empek pada penggunaan kitosan 1% dan 2% lebih rendah bila dibandingkan dengan penggunaan kitosan 1.5%. Larutan kitosan berfungsi sebagai edible coating mampu memberikan nilai 34 organoleptik aroma empek-empek lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa kitosan. Hal ini dapat disebabkan karena pelapisan dengan kitosan dapat menghambat atau mempertahankan senyawa-senyawa yang dapat menimbulkan bau atau aroma makanan seperti glukosa-6-fosfat, prolina, aldehid, hidrogensulfida, minyak atsiri, metri merpaktan, dimetilsulfida, dan pirazina serta asam-asam amino lainnya pada daging ikan yang dapat bereaksi dengan gula pereduksi dalam reaksi maillard (Buckle et al.,1987). Pelapisan dengan kitosan dapat menahan kehilangan kelembapan produk dan memiliki permeabilitas terhadap gas tertentu yang dapat berkontribusi dalam menhasilkan bau yang tidak diinginkan (Wong et al., 1994) Skor rata-rata aroma Skala Hedonik 7 6 5 4 3 2 1 0 Mutu Hedonik 6,2 5,5 2,2 K 0,3% (EC 1%) 5,9 2,3 K 0,3% (EC 1,5%) 2,3 K 0,3% (EC 2%) Konsentrasi kitosan Gambar 16 Nilai rata-rata pengaruh konsentrasi kitosan sebagai pelapis (edible coating) terhadap aroma 1.1.2.4 Tekstur Rataan skala hedonik (kesukaan) terhadap tekstur empek-empek dengan formulasi kitosan 1.5% sebagai pelapis (edible coating) mendapatkan jumlah tertinggi yaitu 167 dengan skor rata-rata 5.6 dengan rataan spesifikasi produk suka sampai sangat suka, tetapi berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan sebagai pelapis pada skala hedonik sangat tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tekstur empek-empek (α= 0.731) dengan selang kepercayaan 0.05. Nilai rata-rata uji mutu hedonik terhadap tekstur empek-empek dengan formulasi kitosan 1.5% sebagai pelapis juga mendapatkan skor terbaik yaitu 46 dengan skor rata-rata 1.5 dengan rataan spesifikasi kenyal, kompak, padat sampai kenyal, kompak, kurang padat, tetapi berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian 35 kitosan sebagai pelapis pada uji mutu hedonik tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tekstur empek-empek (α= 0.075) dengan selang kepercayaan 0.05. Nilai organoleptik untuk tekstur empek-empek pada penggunaan kitosan 1% dan 2% lebih rendah bila dibandingkan dengan penggunaan kitosan 1.5%. Larutan kitosan dengan konsentrasi 1.5% yang berfungsi sebagai edible coating mampu memberikan nilai organoleptik tekstur empek-empek lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa kitosan, hal ini dapat dijelaskan bahwa pelapisan oleh kitosan dapat mempertahankan kandungan air pada empekempek karena kitosan dapat bersifat sebagai penghalang yang berfungsi sebagai media pembatas antara bahan dengan lingkungan yang memungkinkan bahan dari lingkungan dapat masuk melalui lapisan tersebut sehingga dapat mempengaruhi teksturnya. Pelapis edible yang berasal dari hidrokoloid memiliki ketahanan yang bagus terhadap gas O2 dan CO2, meningkatkan kekuatan fisik yang berpengaruh secara langsung kepada tekstur empek-empek. Skala Hedonik Skor rata-rata tekstur 6 Mutu Hedonik 5,6 5,3 5,4 5 4 3 2 1,7 1,5 2 1 0 K 0,3% (EC 1%) K 0,3% (EC 1,5%) K 0,3% (EC 2%) Konsentrasi kitosan Gambar 17 Nilai rata-rata pengaruh konsentrasi kitosan sebagai pelapis (edible coating) terhadap tekstur 1.1.2.5 Rasa Rataan skala hedonik (kesukaan) terhadap rasa empek-empek dengan formulasi kitosan 2% sebagai pelapis (edible coating) mendapatkan jumlah tertinggi yaitu 166 dengan skor rata-rata 5.5 dengan rataan spesifikasi produk suka sampai sangat suka, berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan sebagai pelapis pada skala hedonik memberikan pengaruh nyata terhadap rasa empek-empek (α= 0.039) dengan selang kepercayaan 0.05. Rataan uji mutu hedonik terhadap rasa empek-empek 36 dengan formulasi kitosan 2% sebagai pelapis juga mendapatkan skor terbaik yaitu 58 dengan skor rata-rata 1.9 dengan rataan spesifikasi terasa ikan, gurih sampai terasa ikan, kurang gurih, tetapi berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan sebagai pelapis pada uji mutu hedonik tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap rasa empekempek (α= 0.195) dengan selang kepercayaan 0.05. Nilai organoleptik untuk rasa empek-empek pada penggunaan kitosan 1% dan 1.5% lebih rendah bila dibandingkan dengan penggunaan kitosan 2%. Jumlah dan skor rata-rata yang panelis berikan tidak berbeda terlalu jauh tetapi larutan kitosan dengan konsentrasi 2% yang berfungsi sebagai edible coating mampu memberikan nilai organoleptik rasa empek-empek lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa kitosan. Pelapisan dengan kitosan dapat menahan kehilangan kelembapan produk dan memiliki permeabilitas terhadap gas tertentu yang dapat berkontribusi dalam menghasilkan bau yang tidak diinginkan dan adanya gas-gas volatil yang terjadi selama proses pengolahan misalnya saat perebusan dan penggorengan. Kerusakan lemak menyebabkan bahan pangan mempunyai bau dan rasa yang tidak enak sehingga dapat menurunkan mutu dan gizinya. Kerusakan bahan berlemak atau dikenal ketengikan dapat disebabkan oleh proses oksidasi, ketengikan oleh enzim, dan ketengikan karena proses hidrolisa. Skala Hedonik Skor rata-rata rasa 6 5 Mutu Hedonik 5,5 5,5 4,8 4 3 2,3 2 1,9 1,9 1 0 K 0,3% (EC 1%) K 0,3% (EC 1,5%) K 0,3% (EC 2%) Konsentrasi kitosan Gambar 18 Nilai rata-rata pengaruh konsentrasi kitosan sebagai pelapis (edible coating) terhadap rasa 37 1.1.3 Uji fisik sensori 1.1.3.1 Uji gigit Nilai rata-rata uji gigit (kekenyalan) pada empek-empek dengan formulasi kitosan 0.3%(EC 1.5%) sebagai pembentuk gel dan pelapis (edible coating) mendapatkan jumlah tertinggi yaitu 197 dengan skor rata-rata 6.6 dengan rataan spesifikasi produk dapat diterima sampai cukup kuat, tetapi berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kekenyalan atau uji gigit pada empekempek (α= 0.493) dengan selang kepercayaan 0.05. Nilai uji gigit empek-empek pada penggunaan kitosan 1% dan 2% lebih rendah bila dibandingkan dengan penggunaan kitosan 1.5%. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada prinsipnya, pembentukan gel terjadi karena terbentuknya jaringan tiga dimensi dari molekul primer, yang terentang pada seluruh volume gel dan memerangkap sejumlah pelarut di dalamnya. Jika ikatan silang pada rantai panjang polimer dalam jumlah yang cukup banyak, akan terbentuk bangunan tiga dimensi yang berkesinambungan. Molekul pelarut akan terjebak di antaranya dan termobilisasi, sehingga terbentuk struktur kaku dan tegar yang tahan terhadap gaya atau tekanan tertentu yang akan berpengaruh secara langsung terhadap kekenyalan produk, namun hal ini merupakan ukuran subjektif dan tergantung kepekaan (sensitivitas) dalam pengukuran. Skor rata-rata uji gigit Sifat Kekenyalan 6,7 6,6 6,5 6,4 6,3 6,2 6,1 6 5,9 5,8 6,6 6,3 6,1 K 0,3%(EC 1%) K 0,3%(EC 1.5%) K 0,3%(EC 2%) Konsentrasi Kitosan Gambar 19 Nilai rata-rata pengaruh konsentrasi kitosan terhadap kekuatan produk empek-empek melalui uji gigit 38 1.1.3.2 Uji lipat Nilai rata-rata uji lipat pada empek-empek dengan formulasi kitosan 0.3% (EC 2%) sebagai pembentuk gel dan pelapis (edible coating) mendapatkan jumlah tertinggi yaitu 124 dengan skor rata-rata 4.1 dengan rataan spesifikasi produk tidak retak jika dilipat ½ lingkaran sampai tidak retak jika dilipat ¼ lingkaran, tetapi berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap uji lipat pada empek-empek (α= 0.563) dengan selang kepercayaan 0.05. Nilai uji gigit empek-empek pada penggunaan kitosan 1% dan 2% lebih rendah bila dibandingkan dengan penggunaan kitosan 1.5%. Hal ini dapat dijelaskan bahwa gel yang dapat menahan air disebut hidrogel (Wang et al., 2004). Air dalam gel ini merupakan tipe air ambibisi, yaitu air yang masuk ke dalam suatu bahan dan menyebabkan pengembangan volume, tetapi bukan merupakan komponen penyusun bahan tersebut. Berger et al., (2004) menyebutkan, bahwa hidrogel merupakan jaringan makromolekul yang dapat membengkak dalam air atau larutan biologis. Keuntungan hidrogel adalah hidrofasilitas, permeabilitas yang selektif, dapat membengkak, kapasitas air yang relatif tinggi, kekentalan seperti karet yang lunak dan ketegangan antar muka yang rendah dan berpengaruh secara lansung terhadap penilaian pelipatan pada empek-empek, namun hal ini merupakan ukuran subjektif dan tergantung kepekaan (sensitivitas) pengukuran panelis. Skor rata-rata uji lipat Penilaian pelipatan 4,5 4,1 4 4 4,1 3,5 K 0,3% (EC 1%) K 0,3% (EC 1,5%) K 0,3% (EC 2%) Konsentrasi Kitosan Gambar 20 Nilai rata-rata pengaruh konsentrasi kitosan terhadap kekuatan produk empek-empek melalui uji lipat 39 2. Penelitian Lanjutan 2.1 Analisis mikroba total (Total plate count) Uji TPC (Total Plate Count) bertujuan untuk mengetahui jumlah koloni bakteri yang tumbuh. Uji ini dilakukan selama 2 hari 9 jam (57 jam) dan 3½ hari (84 jam) dalam penentuan titik kritis (jumlah koloni bakteri yang tumbuh melewati standar SNI) pada empek-empek kontrol (tanpa penambahan kitosan) dan empek-empek terpilih (K 0.3% EC 1.5%), dalam penentuan titik kritis empekempek kontrol dilakukan setiap 3 jam sekali dan empek-empek terpilih dilakukan setiap 12 jam sekali. Nilai TPC yang telah melewati dari jumlah koloni yang diperbolehkan tumbuh pada pangan (≥1 x 106 cfu/g) merupakan indikasi adanya kerusakan oleh mikroba dalam jumlah yang sudah tidak aman lagi dikonsumsi oleh manusia. Secara keseluruhan nilai TPC empek-empek kontrol dan terpilih mengalami peningkatan setiap jam yang telah ditentukan. Gambar 21 dan 22 menunjukkan bahwa lama penyimpanan memberikan pengaruh terhadap peningkatan jumlah mikroba yang tumbuh. Hal ini dikarenakan mikroba selalu tumbuh memperbanyak dirinya dengan mengikuti fase adaptasi, fase pertumbuhan awal (lag phase), fase logaritmik (log phase), fase pertumbuhan lambat, fase pertumbuhan statis, fase menuju kematian, dan fase kematian (dead phase). Pada masing-masing fase, kecepatan pertumbuhan mikroba pada bahan pangan sangat dipengaruhi faktor internal, antara lain jenis medium, kandungan nutrien (protein, karbohidrat, lemak,asam amino), pH (keasaman), aw (water activity), kandungan air bebas dan faktor eksternal, antara lain kadar oksigen, suhu, kelembapan udara. Oleh sebab itu, sel mikroba membutuhkan energi yang selalu meningkat pada setiap fase hingga persediaan energi dalam bahan pangan habis (memasuki fase pertumbuhan statis). Berikut adalah kurva hasil analisis TPC dalam penentuan titik kritis sampel kontrol(K 0%) dan sampel terpilih(K 0.3% EC 1.5%) pada suhu ruang(36.5 - 37.5 0C), tersaji pada Gambar 21 dan Gambar 22. 40 Kontrol (K 0%) Titik Kritis 1,2 TPC (10^6) 1 0,8 0,6 0,4 0,2 21.00 18.00 15.00 12.00 09.00 06.00 03.00 24.00 21.00 18.00 15.00 12.00 09.00 06.00 03.00 24.00 21.00 18.00 15.00 12.00 09.00 0 Waktu (jam) Gambar 21 Kurva penentuan titik kritis empek-empek kontrol pada suhu ruang Terpilih (K 0,3% EC 1,5%) Titik Kritis 1,4 TPC (10^6) 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 09.00 21.00 09.00 21.00 09.00 21.00 09.00 21.00 09.00 Waktu (jam) Gambar 22 Kurva penentuan titik kritis empek-empek terpilih pada suhu ruang Berdasarkan gambar 21 dan gambar 22 teramati beberapa fase pertumbuhan mikroba hingga jumlah mikroba yang tumbuh melebihi batas yang dinyatakan aman pada bahan pangan untuk dikonsumsi yaitu ≥1 x 106 cfu/g yang meliputi fase adaptasi, fase pertumbuhan awal, dan fase logaritmik (log phase), dimana pada fase logaritmik pertumbuhan mikroba sudah melebihi 1 x 106 cfu/g dan merupakan titik kritis pada sampel empek-empek kontrol dan terpilih. Mikroba awal yang terkandung dalam sampel empek-empek kontrol dan standar tidak memliki perbedaan yang jauh yakin 97 x 102 cfu/g pada sampel kontrol dan 88 x 102 cfu/g pada sampel terpilih. Jumlah mikroba awal yang terkandung dalam bahan pangan dipengaruhi oleh hygiene dan sanitasi dalam 41 penyediaan, penyiapan, pengolahan, kondisi lingkungan dan kebersihan individu. Fase adaptasi berlangsung selama 12 jam pertama setelah penyimpanan baik pada sampel empek-empek kontrol maupun terpilih. Secara keseluruhan adanya perbedaan yang signifikan antara empek-empek kontrol dan terpilih dalam penentuan titik kritis adalah terdapatnya perlambatan pertumbuhan mikroba sampel empek-empek pada fase logaritmik hingga melebihi batas aman mikroba total dalam empek-empek, yaitu fase dimana pertumbuhan mikroba mengalami peningkatan dalam jumlah besar. Berdasarkan hasil pengamatan diduga bahwa perlakuan dengan penambahan kitosan pada empek-empek sebagai pembentuk gel dan pelapis (edible coating) dengan konsentrasi K 0.3%(EC 1.5%) menyebabkan perlambatan fase logaritmik (log phase). Menurut Fardiaz (1987), fase logaritmik pada kurva pertumbuhan mikroorganisme merupakan fase ketika pertumbuhan jumlahnya mengikuti kurva logaritmik. Pada fase ini kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh kondisi medium, seperti pH, kandungan nutrien, suhu, dan kelembapan udara. Oleh sebab itu, sel membutuhkan energi lebih banyak pada fase ini dibandingkan fase lainnya. Berikut adalah kurva gabungan dan perbandingan kecepatan pertumbuhan mikroba sampel kontrol(K 0%) dan sampel terpilih(K 0.3% EC 1.5%) pada suhu ruang (36.5 – 37.5 0C), tersaji pada Gambar 23. Kontrol (K 0%) Titik Kritis Terpilih (K 0,3% EC 1,5%) 1,4 TPC (10^6) 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 09.00 21.00 09.00 21.00 09.00 21.00 09.00 21.00 09.00 Waktu (jam) Gambar 23 Kurva gabungan dan perbandingan kecepatan pertumbuhan mikroba pada empek-empek kontrol dan terpilih pada suhu ruang 42 Hasil uji TPC berdasarkan kecepatan pertumbuhan mikroba selama penyimpanan pada suhu ruang bahwa empek-empek terpilih dengan kitosan sebagai pembentuk gel dan pelapis diduga memiliki kecepatan pertumbuhan dan nilai TPC pada waktu yang sama (terutama pada fase logaritmik) yang lebih rendah daripada empek-empek tanpa intervensi kitosan (kontrol). Menurut Fardiaz (1987), prinsip pengawetan adalah memberi perlakuan terhadap makanan (empek-empek) sedemikian rupa untuk mencapai salah satu dari beberapa tujuan berikut, yaitu mengurangi jumlah awal sel mikroba dalam makanan, memperpanjang fase adaptasi semaksimum mungkin sehingga pertumbuhan mikroba diperlambat, memperlambat fase pertumbuhan logaritmik (log phase), dan mempercepat fase kematian sel mikroba. Dengan demikian, kitosan dapat dikategorikan sebagai bakteriostatik (bekerja menghambat pertumbuhan bakteri). Dalam aksinya sebagai antibakteri, kitosan bekerja dengan cara menganggu sistem genetik, menghambat sintesis dinding sel, dan menghambat enzim (Cahyadi 2006). Mekanisme aktivitas antibakteri kitosan terjadi melalui interaksi gugus NH3+ glukosamin dengan permukaan sel yang bermuatan negatif (Chung et al., 2004; Eldin et al., 2008). Adanya ketertarikan secara struktural antara dinding sel bakteri dan kitosan karena diketahui bahwa dinding sel bakteri mengandung peptidaglikan yang struktur dasar rantai utamanya terdiri atas N-asetilglukosamin dan adanya β-glikan (Qujeq 2004). Di dalam penelitiannya, Rafaat et al. (2008) berpendapat bahwa interaksi awal antara polikationik kitosan dan polimer dinding sel bermuatan negatif dipengaruhi oleh interaksi elektrostatis dan asam tekoat. Akibatnya, pengikatan kitosan ke polimer dinding sel memicu terjadinya efek seluler kedua, yakni destabilisasi dan perusakan lebih jauh pada fungsi membran bakteri sehingga menganggu fungsi membran sebagai pelindung dan mengakibatkan kebocoran komponen. Destabilisasi membran ini terjadi melalui mekanisme yang belum diketahui. Salah satu penggunaan kitosan yang paling nyata ialah sebagai pengikat lemak. Wydro et al. (2007) dalam Rafaat et al. (2008) menjelaskan bahwa ada interaksi elektrostatis dan hidrofobik seperti halnya ikatan hidrogen antara lipid dan kitosan. Sifat inilah yang mungkin berperan dalam mengurai lipid dari membran bakteri, sehingga permeabilitas membran sel bakteri terganggu yang mengakibatkan terhambatnya pergerakan substansi dari mikroorganisme tersebut. 43 2.2 Analisis kimia dan daya cerna 2.2.1 Nilai aktivitas air (aw) Aktivitas air (aw) merupakan parameter yang sangat berguna untuk menunjukkan kebutuhan air atau hubungan air dengan mikroorganisme dan aktivitas enzim. aw adalah faktor yang terpenting mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme bukannya zat terlarut yang banyak terdapat di dalam media, ataupun kandungan air dalam beberapa sistem. Nilai aw minimal untuk pertumbuhan mikroorganisme 16-37.5% berdasarkan berat kering (Purnomo 1995). Kurva pengaruh kitosan terhadap nilai aktivitas air empek-empek selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 24. aw (aktivitas air) K 0% 1 0,95 0,9 0,85 0,8 0,75 K 0,3 EC 1,5% 0,955 0,85 0,845 0,865 Penyimpanan hari ke-0 Penyimpanan hari ke-4 Penyimpanan Gambar 24 Kurva pengaruh pemberian kitosan terhadap nilai aktivitas air (aw) empek-empek selama penyimpanan Berdasarkan gambar 24, nilai aktivitas air empek empek selama penyimpanan cenderung meningkat. Nilai awal aktivitas air pada empek-empek kontrol dan terpilih tidak berbeda secara signifikan. Adanya perlakuan penyimpanan selama 4 hari pada suhu ruang, terlihat jelas bahwa empek-empek kontrol mengalami peningkatan yang signifikan dengan nilai awawal 0.850 menjadi 0.955, tetapi pada empek-empek terpilih (K 0.3% EC 1.5%) tidak mengalami peningkatan yang terlalu jauh dengan nilai aw awal 0.845 menjadi 0.865 setelah penyimpanan. Adapun yang mempengaruhi nilai aw adalah kelembapan, lama penyimpanan, suhu dan jenis bahan pengemas. Menurut Fardiaz (1992), nilai aw suatu bahan pangan akan mencapai keseimbangan dengan kelembapan udara relatif (RH) dari ruangan disekitar bahan pangan 44 tersebut. Oleh karena itu jika kelembapan disekitar bahan pangan lebih rendah dari pada aktivitas airnya, maka bahan pangan akan mengalami penguapan air dan sebaliknya sampai pada suatu saat dimana tercapai keseimbangan. Wong et al (1994) menyatakan bahwa secara teoritis, bahan pelapis edible harus memiliki sifat menahan kehilangan kelembapan produk dan memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu. Bakteri umumnya tumbuh dan berkembang biak hanya dalam media dengan nilai aw yang tinggi (≥0.90). Menurut Jay (1986) bakteri yang tumbuh pada bahan pangan yang memiliki aw ≥0.90 adalah bakteri pembusuk. Hal ini terbukti bahwa mikroba mengalami peningkatan yang pesat pada empek-empek kontrol (K 0%) yang aw meningkat menjadi 0.955 setelah penyimpanan, tetapi berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai aktivitas air empek-empek kontrol dan terpilih (α = 0.057) dengan selang kepercayaan 0.05. 2.2.2 Nilai pH (tingkat keasaman) Salah satu faktor pada pangan yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba adalah pH, yaitu suatu nilai yang menunjukkan keasaman atau kebasaan. Dengan menggunakan pH-meter, nilai pH suatu bahan dapat diukur, umumnya berkisar antara 0 sampai 14. Nilai pH 7 menunjukkan bahan yang netral, nilai pH kurang dari 7 menunjukkan bahan bersifat lebih asam, sedangkan nilai pH lebih dari 7 menunjukkan bahan lebih bersifat basa. Kebanyakan mikroba tumbuh baik pada pH sekitar netral, dan pH 4,6 - 7,0 merupakan kondisi optimum untuk pertumbuhan bakteri, sedangkan kapang dan kamir dapat tumbuh pada pH yang lebih rendah. Berdasarkan pengelompokan pangan menurut nilai pH-nya empek-empek termasuk pangan berasam rendah, dan memiliki nilai pH 4,6 atau lebih, seperti daging, ikan, susu, telur dan kebanyakan sayuran. Pangan semacam ini harus mendapatkan perlakuan pengawetan secara hati-hati karena mudah mengalami kerusakan oleh bakteri, termasuk bakteri patogen yang berbahaya. Kurva pengaruh kitosan terhadap nilai pH empek-empek selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 25. 45 pH(keasaman) K 0% 8 K 0,3% EC 1,5% 5,79 6 4,32 3,51 4 5,11 2 0 Penyimpanan hari ke-0 Penyimpanan hari ke-4 Penyimpanan Gambar 25 Kurva pengaruh pemberian kitosan terhadap nilai keasaman (pH) empek-empek selama penyimpanan Berdasarkan gambar 25, nilai pH pada sampel empek-empek kontrol (K 0%) bernilai 5.79 pada awal penyimpanan dan turun menjadi 3.51 setelah penyimpanan selama 4 hari dan mengalami penurunan sebanyak 2.28, hal ini disebabkan oleh pertumbuhan mikroba sehingga membentuk suasana asam pada empek-empek yang telah mengalami penyimpanan. Menurut Scoot (1957) menyatakan bahwa faktor ekstrinsik dan intrinsik memepengaruhi nilai pH yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme (seperti tersediannya zat-zat gizi, Aw, Oksigen, dan suhu). Namun, nilai pH pada sampel empek-empek terpilih (K 0.3% EC 1.5%) bernilai 5.11 dan lebih rendah daripada empek-empek kontrol, hal ini dikarenakan bahwa penggunaan kitosan sebagai pembentuk gel dan pelapis membutuhkan asam asetat 1.5% (CH3COOH) untuk melarutkan kitosan dalam air dan turun menjadi 4.32 setelah penyimpanan selama 4 hari. Tingkat keasaman kitosan optimal pada pH 5,6 (pKa 6.2), dimana pada pH ini kitosan memiliki aktifitas biologi yang optimal (Leuba dan Stossel, 1984 dalam El Grauth et al.,1991). Berdasarkan hasil terlihat bahwa empek-empek terpilih mengalami penurunan pH yang lebih sedikit yakni sebanyak 0.79, hal ini disebabkan bahwa kitosan dapat bertindak sebagai pengawet melalui mekanisme bakteriosidal, berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai pH empek- empek kontrol dan terpilih (α = 0.002) dengan selang kepercayaan 0.05). 2.2.3 Kadar air Air merupakan komponen utama bahan makanan, air dalam bahan makanan sangat menentukan kesegaran dan daya tahan bahan tersebut karena kandungan air berkaitan dengan perkembangan mikroorganisme dalam 46 produk tersebut. Air juga dapat mempengaruhi tekstur, penampakan maupun citarasa bahan makanan (Winarno 1997). Air juga merupakan bagian penting dari zat gizi yang baik (Harris dan Karmas). Kadar air merupakan faktor yang besar pengaruhnya terhadap daya awet suatu bahan olahan. Semakin rendah kadar air, semakin lambat pertumbuhan mikroba sehingga bahan pangan tersebut dapat tahan lama (Winarno 1997). Kurva pengaruh kitosan terhadap nilai kadar air empek-empek selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 26. Kadar Air (%) Kontrol (K 0%) Terpilih (K 0,3% EC 1,5%) 58 55,8 55,4 56 53,6 52,6 54 52 50 Penyimpanan hari ke-0 Penyimpanan hari ke-4 Penyimpanan Gambar 26 Kurva pengaruh pemberian kitosan terhadap nilai kadar air empekempek selama penyimpanan Berdasarkan gambar 26 terlihat bahwa nilai kadar air awal empek-empek terpilih lebih besar dari dibanding kontrol yakni 55.4 % pada empek-empek terpilih (K 0.3% EC1.5%) dan 52.6% pada empek-empek kontrol (K 0%) saat awal penyimpanan, hal ini diduga sifat molekul kitosan yang higroskopis dan diketahui mempunyai sifat menyerap air (Suptijah et al., 1992). Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Apriadi (2004), yang menyebutkan bahwa kadar air semakin meningkat pada setiap penambahan larutan kitosan. Penambahan larutan kitosan dapat meningkatkan kadar air produk empek-empek diduga karena larutan kitosan yang ditambahkan pada produk bersifat hidrofilik (suka air), larutan tersebut dapat mengabsorbsi molekul air sehingga akan meningkatkan kadar air produk gelnya (Novak 1992 dalam Apriadi 2004). Berdasarkan data yang diperoleh, kadar air pada produk empek-empek terpilih mengalami penurunan 1.8% dari kadar air awal selama penyimpanan, hal ini disebabkan adanya pengaruh kitosan yang dapat mengatur kadar air bahan terhadap pengaruh lingkungan, walaupun pelapisan kitosan hanya sedikit menahan penguapan air (Nisperroscarriedo 1995). Bahan dasar pembentuk pelapis edible sangat mempengaruhi sifat-sifat pelapis edible itu sendiri. Pelapis 47 edible yang berasal dari hidrokoloid (kitosan) memiliki ketahanan yang bagus terhadap gas O2 dan CO2 yang berpengaruh terhadap kadar air suatu produk selama penyimpanan (Wong et al 1994). Namun, kadar air pada empek-empek kontrol mengalami peningkatan sebanyak 3.2% dari kadar air awal selama penyimpanan, hal ini disebabkan empek-empek kontrol tidak memilik ketahanan yang baik terhadap gas O2 dan CO2 ,sehingga pengaruh dari kelembapan udara(lingkungan) meresap ke dalam pori-pori dan menjadikannya lebih basah dan lebih rentan terhadap aktivitas mikrobiologi yang menyebabkan proses pembusukan bahan pangan, tetapi berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan sangat tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kadar air empek-empek kontrol dan terpilih (α = 0.684) dengan selang kepercayaan (0.05). 2.2.4 Kadar abu Sebagian besar bahan makanan (96%) terdiri dari bahan organik dan air. Dalam proses pembakaran sampai suhu 600 0C bahan organik mudah terbakar dan akhirnya lenyap, sedangkan zat anorganik tidak terbakar. Zat anorganik yang tidak terbakar disebut abu yang terdiri dari mineral Ca, Mg, Na, P, K, Fe, Mn dan Cu. Abu yang terbentuk berwarna putih abu-abu, berpartikel halus dan mudah dilarutkan (Winarno 1997). Kurva pengaruh kitosan terhadap nilai kadar abu empek-empek selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 27. Kadar Abu (b/b) (%) K 0% 2,5 K 0,3% EC 1,5% 2,15 2,03 2 1,5 1,94 1,73 1 0,5 0 Penyimpanan hari ke-0 Penyimpanan hari ke-4 Penyimpanan Gambar 27 Kurva pengaruh kitosan terhadap nilai kadar abu empek-empek selama penyimpanan 48 Berdasarkan Gambar 27, terlihat bahwa empek-empek terpilih (K 0.3% EC 1.5%) memiliki kadar abu yang lebih besar daripada kontrol (K 0%), yaitu sebesar 2.15% pada empek-empek terpilih dan 1.94% pada empek-empek kontrol saat awal penyimpanan, hal ini diduga merupakan sifat dari kitosan yang memiliki kemampuan untuk menarik ion-ion logam yang tergolong mineral (Knorr 1984). Selain itu dapat diduga akibat adanya unsur mineral yang terkandung dalam kitosan yang berupa CaCO3 dan Ca(PO4)2 yang tidak larut dalam air (Suptijah et al., 1992). Jumlah abu yang terkandung dalam empek-empek selain dipengaruhu oleh kitosan juga bersumber dari bumbu-bumbu yang ditambahkan seperti garam dapur, gula pasir, merica, dan penyedap MSG (monosodium glutamate). Kadar abu pada empek-empek terpilih dan kontrol mengalami penurunan setelah masa penyimpanan selama 4 hari. Penurunan kadar abu pada empekempek kontrol lebih besar daripada empek-empek terpilih, yaitu sebesar 0.21% pada empek-empek kontrol dan 0.12% pada empek-empek terpilih. Penurunan kadar abu disebabkan oleh adanya bakteri yang menggunakan unsur-unsur mineral untuk pertumbuhannya. Bakteri membutuhkan unsur-unsur kimia dasar untuk pertumbuhannya, diantaranya adalah karbon, hidrogen, oksigen, fosfor, magnesium, besi dan lain-lain (Buckle et al., 1987). Hal ini terlihat jelas dari pertumbuhan mikroba empek-empek kontrol lebih cepat dan daya awetnya lebih singkat daripada empek-empek terpilih terutama pada fase logaritmik, tetapi berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kadar abu empekempek kontrol dan terpilih (α = 0.177) dengan selang kepercayaan (0.05). 2.2.5 Kadar protein total Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena zat ini berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur yang mengandung unsur C, O, H, dan N(Winarno 1997). Protein juga komponen terpenting dalam produk empek-empek karena berbahan dasar ikan tuna yang kadar proteinnya hampir dua kali kadar protein pada telur yang selama ini dikenal sebagai sumber protein utama. Protein dalam bahan makanan yang dikonsumsi manusia akan diserap oleh usus dalam bentuk asam amino. Salah satu tujuan memproduksi empek-empek adalah untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, khususnya dari hasil perikanan. Pada orang membutuhkan protein 0.8 gram per kg berat badan per hari dan setengah dari jumlah tersebut sebaiknya berasal dari protein 49 hewani (Winarno,.et al. 1980). Kurva pengaruh kitosan terhadap kadar protein Kadar Protein (wet basis) (%) empek-empek selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 28. K 0% 17,55 18 17 16 15 14 13 K 0,3% EC 1,5% 16,6 16,53 14,85 Penyimpanan hari ke-0 Penyimpanan hari ke-4 Penyimpanan Gambar 28 Kurva pengaruh kitosan terhadap nilai kadar protein empek-empek selama penyimpanan Berdasarkan Gambar 28, secara umum terlihat bahwa kadar protein awal empek-empek terpilih (K 0.3% EC 1.5%) lebih besar yakni 17.55% dibanding dengan kadar protein awal empek-empek kontrol(K 0%) sebesar 16.53%. Tingginya nilai kadar protein pada perlakuan kitosan disebabkan adanya unsur nitrogen (N) dalam gugus amina kitosan yang ikut terhitung sebagai kadar N total, yang digunakan untuk menentukan kadar protein empek-empek, selain itu kitosan juga mengandung gugus amin (NH2) (Knorr 1991). Tingginya kadar protein awal pada empek-empek terpilih dapat juga dikarenakan penambahan bumbu, larutan asam dan garam yang dapat meningkatkan kadar protein empekempek baik segar maupun setelah penggorengan. Gugus amin (NH2) yang terdapat pada kitosan dapat berikatan dengan dinding sel mikroba yang akan menyebabkan mikroba mengalami lisis, sehingga aktivitas mikroba akan terhambat dengan adanya kitosan yang terkandung dalam empek-empek. Kadar protein awal dari empek-empek kontrol dan terpilih mengalami penurunan, namun penurunan pada empek-empek terpilih lebih kecil dibanding kontrol. Penurunan pada empek-empek terpilih sebesar 0.95% dari kadar protein awal sedangkan empek-empek kontrol sebesar 1.68% dari kadar protein awal selama penyimpanan. Penurunan kadar protein selama penyimpanan disebabkan oleh adanya peningkatan kadar air (terutama pada kontrol), selain itu juga diduga akibat adanya aktivitas enzim proteolitik yang diproduksi oleh bakteri yang masih hidup (Winarno dan Fardiaz 1984). Penurunan kadar protein empekempek dapat disebabkan juga oleh adanya degradasi protein menjadi molekul 50 yang lebih sederhana seperti pepton, peptida, asam amino, unsur nitrogen dan gugus amina, yang berkontribusi nyata selama empek-empek mengalami penyimpanan pada suhu ruang, tetapi berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kadar protein empek-empek kontrol dan terpilih (α = 0.106) dengan selang kepercayaan (0.05). 2.2.6 Daya cerna protein Daya cerna atau biasa disebut mutu cerna protein merupakan kemampuan suatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam amino oleh enzim pencernaan (protease). Suatu protein yang mudah dicerna menunjukkan bahwa jumlah asam-asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh tinggi. Faktor yang dapat mempengaruhu mutu cerna protein adalah pengolahan panas misalnya maillard, faktor anti nutrisi, serta reaksi antara protein (asam amino) dengan komponen lain (Muchtadi 1989).. Menurut Damayanthi (1994), selama pengolahan berbagai reaksi antara asam amino dengan komponen-komponen lain mengakibatkan nilai gizi protein menurun. Salah satu penyebab kerusakan langsung pada asam amino akibat pemanasan membentuk asam amino baru yang tidak dapat dicerna, seperti lisinoalanin. Hal ini sejalan menurut Harris dan Karmas (1989) bahwa dengan adanya pengolahan (pemanasan) dapat menaikkan atau menurunkan nilai daya cerna protein. Kurva pengaruh kitosan terhadap mutu cerna protein empek-empek selama penyimpanan dapat dilihat Daya Cerna Protein (%) pada Gambar 29. K 0% 95 K 0,3% EC 1,5% 89,36 90 85 80 80,38 84,21 80,28 75 Penyimpanan hari ke-0 Penyimpanan hari ke-4 Penyimpanan Gambar 29 Kurva pengaruh kitosan terhadap nilai daya cerna protein empekempek selama penyimpanan 51 Berdasarkan Gambar 29, terlihat bahwa persentase nilai mutu cerna protein empek-empek kontrol (K 0%) lebih besar daripada mutu cerna protein empek-empek terpilih (K 0.3% EC 1.5%) yakni sebesar 89.36% pada empekempek kontrol dan 84.21% pada empek-empek terpilih saat penyimpanan awal. Mutu cerna protein empek-empek terpilih lebih rendah dikarenakan terjadinya proses rasemisasi protein yang dapat menurunkan mutu cerna protein. Dalam hal ini asam amino bentuk L akan berubahn menjadi bentuk D yang tidak dapat digunakan oleh tubuh, demikian pula ikatan peptida dari protein tidak akan diserang oleh enzim proteolitik sehingga daya cernanya pun menurun. Hal ini sejalan dengan Muchtadi (1989) yang menyatakan bahwa rasemisasi asam amino selain dengan penambahan alkali juga dapat terjadi pada suasana asam dan proses pemanasan terutama bila terdapat lipid atau gula pereduksi. Suasana asam yang terbentuk pada empek-empek terpilih terjadi saat penambahan asam asetat untuk melarutkan kitosan sebagai pembentuk gel dan pelapis (edible coating). Nilai mutu cerna protein awal dari empek-empek kontrol dan terpilih mengalami penurunan, namun penurunan pada empek-empek terpilih lebih kecil dibanding kontrol. Penurunan pada empek-empek kontrol sebesar 8.98% dan pada empek-empek terpilih sebesar 3.93% setelah masa penyimpanan. Penurunan kadar protein selama penyimpanan diduga akibat adanya aktivitas enzim proteolitik yang diproduksi oleh bakteri yang masih hidup (Winarno dan Fardiaz 1984). Enzim proteolitik diduga banyak terdapat pada empek-empek kontrol sehingga menyebabkan daya cerna awalnya lebih tinggi dan mengalami penurunan yang lebih besar setelah masa penyimpanan selama 4 hari pada suhu ruang, tetapi pada empek-empek terpilih dengan sifat alami kitosan sebagai bakteriostatik maka enzim proteolitik yang dihasilkan oleh bakteripun menjadi terhambat, sehingga empek-empek terpilih memiliki mutu cerna protein dan penurunannya selama penyimpanan lebih rendah dibanding empek-empek kontrol, berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai mutu cerna protein empek-empek kontrol dan terpilih (α = 0.009) dengan selang kepercayaan (0.05). Menurut Damayanthi (1994), protein akan mengalami perubahan struktur kimia akibat pemanasan atau denaturasi yaitu putusnya ikatan dalam molekul sehingga molekul protein ini akan cenderung mudah diserang oleh enzim 52 pencernaan. Langkah awal pencernaan protein di dalam tubuh adalah denaturasi protein oleh enzim proteolitik yaitu yang terjadi di dalam lambung oleh enzim enzim pepsin dan asam klorida (HCl). Dengan demikian denaturasi merupakan faktor yang mengguntungkan dalam sistem pencernaan protein meskipun hal ini tidak berlaku secara umum. 2.2.7 Daya cerna pati Daya cerna pati adalah tingkat kemudahan suatu jenis pati untuk dapat dihidrolisis oleh enzim pemecah pati menjadi unit-unit yang lebih sederhana. Penentuan daya cerna pati dilakukan secara in vitro dengan meggunakan metode yang dikemukakan oleh Muchtadi et al. (1992). Dalam metode ini sampel dihidrolisisi oleh enzim α-amilase menjadi unit-unit sederhana seperti maltosa. Daya cerna pati dihitung sebagai persentase relatif terhadap pati murni (soluble starch). Pati murni diasumsikan dapat dicerna dengan sempurna dalam saluran pencernaan. Menurut Mahadevamma et al. (2003), proses pencernaan pati dipengaruhi oleh dua faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik yang menyebabkan pati lambat dicerna di dalam usus halus yaitu jika bentuk fisik makanan menggangu pengeluaran amilase pankreatik, khususnya jika granula pati terhalang oleh material lain. Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi daya cerna pati adalah transit time, bentuk makanan, konsentrasi amilase pada usus, kadar tanin, jumlah pati, dan keberadaan komponen pangan lainnya. Berikut adalah kurva pengaruh kitosan terhadap daya cerna pati empek-empek selama Daya Cerna Pati (%) penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 30. 85 K 0% 83,299 K 0,3% EC 1,5% 76,539 80 75 81,14 70 71,597 65 Penyimpanan hari ke-0 Penyimpanan hari ke-4 Penyimpanan Gambar 30 Kurva pengaruh kitosan terhadap nilai daya cerna pati protein empek-empek selama penyimpanan 53 Berdasarkan gambar 30, terlihat bahwa nilai daya cerna pati pada sampel empek-empek kontrol (K 0%) lebih besar daripada sampel empek-empek terpilih (K 0.3% EC 1.5%) yaitu 83.30% pada sampel kontrol dan 81.14% pada sampel terpilih. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wolf et al. (1999) dan Guraya et al. (2001) menyatakan bahwa pati yang dicerna secara lambat dapat diproduksi dengan perlakuan fisik, kimia maupun enzimatis dan menunjukkan bahwa modifikasi kimia secara signifikan mengurangi tingkat pencernaan tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap kecepatan pencernaan, sehingga empek-empk dengan penambahan kitosan memiliki beberapa manfaat bagi kesehatan diantaranya berkaitan dengan stabilitas metabolisme glukosan dan manajemen diabetes karena memiliki tingkat kecernaan pati yang lebih rendah dibanding tanpa perlakuan dengan kitosan. Nilai daya cerna pati awal pada empek-empek kontrol dan terpilh mengalami penurunan, tetapi penurunan lebih besar terjadi pada empek-empek kontrol yaitu sebesar 11.7% dan 4.6% pada empek-empek terpilih setelah masa penyimpanan pada suhu ruang selama empat hari. Hal ini dikarenakan penggunaan pati sebagai sumber energi bagi mikroba pada sampel empekempek kontrol lebih besar sehingga mempengaruhi nilai kecernaannya selama masa penyimpanan, hal tersebut juga sejalan dengan jumlah dan kecepatan pertumbuhan mikroba yang lebih cepat pada empek-empek kontrol dan hal ini sejalan juga dengan fungsi kitosan sebagai bakteristatik (menghambat pertumbuhan mikroba), berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai daya cerna pati empek-empek kontrol dan terpilih (α = 0.003) dengan selang kepercayaan (0.05). 2.3 Uji perbandingan produk 2.3.1 Penampakan Rataan skala hedonik (kesukaan) terhadap penampakan empek-empek dengan formulasi kitosan terpilih (K 0.3% EC 1.5%) adalah 73, sehingga memiliki rataan 4.9 dengan rataan tingkat kesukaan yaitu agak suka dan rataan skala hedonik terhadap penampakan empek-empek komersil adalah 86, sehingga memiliki rataan 5.7 dengan rataan tingkat kesukaan yaitu suka, tetapi berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbandingan empekempek terpilih dengan empek-empek komersil tidak memberikan pengaruh nyata 54 terhadap penampakan empek-empek (α= 0.163) dengan selang kepercayaan 0.05. Skor rata-rata penampakan Produk Terpilih Produk Komersil 5,7 5,8 5,6 5,4 5,2 4,9 5 4,8 4,6 4,4 Empek-empek Gambar 31 Perbandingan tingkat penerimaan panelis berdasarkan skala hedonik antara produk empek-empek terpilih dan komersil terhadap penampakan 3.2 Warna Rataan skala hedonik (kesukaan) terhadap warna empek-empek dengan formulasi kitosan terpilih (K 0.3% EC 1.5%) adalah 70, sehingga memiliki rataan 4.7 dengan rataan tingkat kesukaan yaitu agak suka dan rataan skala hedonik terhadap warna empek-empek komersil adalah 94, sehingga memiliki rataan 6.3 dengan rataan tingkat kesukaan yaitu suka, berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbandingan empek-empek terpilih dengan empek-empek komersil memberikan pengaruh nyata terhadap warna empek-empek (α= 0.012) dengan selang kepercayaan 0.05. Produk Terpilih Produk Komersil Skor rata-rata warna 7 6,3 6 5 4,7 4 3 2 1 0 Empek-empek Gambar 32 Perbandingan tingkat penerimaan panelis berdasarkan skala hedonik antara produk empek-empek terpilih dan komersil terhadap warna 55 3.3 Aroma Rataan skala hedonik (kesukaan) terhadap aroma empek-empek dengan formulasi kitosan terpilih (K 0.3% EC 1.5%) adalah 92, sehingga memiliki rataan 6.1 dengan rataan tingkat kesukaan yaitu suka dan rataan skala hedonik terhadap aroma empek-empek komersil adalah 73, sehingga memiliki rataan 4.9 dengan rataan tingkat kesukaan yaitu agak suka, berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbandingan empek-empek terpilih dengan empek-empek komersil memberikan pengaruh nyata terhadap aroma empekempek (α= 0.036) dengan selang kepercayaan 0.05. Produk Terpilih Skor rata-rata aroma 7 Produk Komersil 6,1 6 4,9 5 4 3 2 1 0 Empek-empek Gambar 33 Perbandingan tingkat penerimaan panelis berdasarkan skala hedonik antara produk empek-empek terpilih dan komersil terhadap aroma 3.4 Tekstur Rataan skala hedonik (kesukaan) terhadap tekstur empek-empek dengan formulasi kitosan terpilih (K 0.3% EC 1.5%) adalah 74, sehingga memiliki rataan 4.9 dengan rataan tingkat kesukaan yaitu agak suka dan rataan skala hedonik terhadap tekstur empek-empek komersil adalah 79, sehingga memiliki rataan 5.3 dengan rataan tingkat kesukaan yaitu agak suka, berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbandingan empek-empek terpilih dengan empek-empek komersil tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tekstur empek-empek (α= 0.606) dengan selang kepercayaan 0.05. 56 Produk Terpilih Produk Komersil Skor rata-rata tekstur 5,6 5,3 5,2 4,9 4,8 4,4 Empek-empek Gambar 34 Perbandingan tingkat penerimaan panelis berdasarkan skala hedonik antara produk empek-empek terpilih dan komersil terhadap tekstur 3.5 Rasa Rataan skala hedonik (kesukaan) terhadap rasa empek-empek dengan formulasi kitosan terpilih (K 0.3% EC 1.5%) adalah 90, sehingga memiliki rataan 6,0 dengan rataan tingkat kesukaan yaitu suka dan rataan skala hedonik terhadap rasa empek-empek komersil adalah 80, sehingga memiliki rataan 5,3 dengan rataan tingkat kesukaan yaitu agak suka, berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbandingan empek-empek terpilih dengan empek-empek komersil tidak memberikan pengaruh nyata terhadap rasa empekempek (α= 0.299) dengan selang kepercayaan 0.05. Produk Terpilih Skor rata-rata rasa 6,2 Produk Komersil 6 6 5,8 5,6 5,3 5,4 5,2 5 4,8 Empek-empek Gambar 35 Perbandingan tingkat penerimaan panelis berdasarkan skala hedonik antara produk empek-empek terpilih dan komersil terhadap rasa