II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendapatan Regional dan Pertumbuhan Ekonomi Tingkat pertumbuhan perekonomian adalah kondisi dimana nilai riil Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami peningkatan output (Dornbusch et al., 2008). Penyebab utama dari pertumbuhan ekonomi adalah tersedianya sejumlah sumber daya dan peningkatan efisiensi penggunaan faktor produksi. Konsep PDB digunakan pada tingkat nasional, sedangkan untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota digunakan konsep PDRB. PDB atau PDRB dapat diukur dengan tiga macam pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran (Tambunan, 2001). Pendekatan produksi dan pendekatan pendapatan adalah pendekatan dari sisi penawaran agregat (Aggregate Supply AS) sedangkan pendekatan pengeluaran adalah pendekatan dari sisi permintaan agregat (Aggregate Demand - AD) (Blanchard, 2006). Teori pertumbuhan ekonomi semakin berkembang dari masa ke masa. Beberapa teori pertumbuhan ekonomi yang menonjol sebagaimana diuraikan Todaro dan Smith (2006) adalah model pertumbuhan neoklasik dan model pertumbuhan endogen. Teori pertumbuhan neo-klasik dimotori oleh HarrodDomar dan Robert Solow. Model pertumbuhan Harrod dan Domar dalam Jhingan (2008) atau lebih dikenal dengan model pertumbuhan Harrod-Domar merupakan model pertumbuhan Keynesian yang secara luas telah banyak diaplikasikan pada negaranegara sedang berkembang. Domar mengkonstruksi teorinya dengan menekankan peran ganda investasi dalam proses pertumbuhan ekonomi. Investasi memengaruhi permintaan agregat melalui proses investment multiplier dan dalam jangka panjang merupakan proses akumulasi modal yang akan menambah stok kapital dan meningkatkan kapasitas produksi sehingga investasi juga memengaruhi penawaran agregat. Domar hendak menjawab tingkat investasi yang diperlukan agar peningkatan permintaan agregat setara dengan kapasitas produksi sehingga pemanfaatan kapasitas penuh dapat dipertahankan. Model Domar menyatakan bahwa pertumbuhan permintaan agregat sama dengan investasi (I) dikalikan dengan besaran multiplier (1/s). Sedangkan 16 pertumbuhan kapasitas produksi (penawaran agregat) sama dengan investasi (I) dibagi rasio kapital output (k). Melalui manipulasi matematis diperoleh laju pertumbuhan investasi yang diperlukan agar dapat menyamakan laju pertumbuhan permintaan agregat dengan laju pertumbuhan penawaran, yaitu sebesar rasio MPS (Marjinal Propensity to Save = s) terhadap COR (Capital Output Rasio = k) atau dapat dinyatakan dengan persamaan berikut: ∆Y ∆K ∆I s ...................................................................................... (2.1) = = = Y K I k Dimana: ∆Y Y = laju pertumbuhan permintaan agregat atau output ∆K K = laju peningkatan stok kapital (penawaran agregat) ∆I I = laju peningkatan investasi Menurut Harrod, pertumbuhan ekonomi dapat dibedakan atas pertumbuhan aktual, pertumbuhan yang diinginkan, dan pertumbuhan alamiah. Pertumbuhan aktual (the actual growth = ΔY/Y) adalah laju pertumbuhan sesungguhnya yang besarnya ditentukan oleh rasio tabungan-output (S/Y) dan rasio tambahan kapitaloutput (ΔK/ΔY). Kedua besaran ini dianggap konstan dan melalui manipulasi matematis akan sama dengan tabungan. Pada tingkat laju pertumbuhan aktual, output aktual tidak selalu sama dengan output potensial. Sedangkan Solow berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern dan output, guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan (sustain). Model Solow diformulasikan dengan menganggap input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale) (Todaro dan Smith, 2006). Secara ekonomi, model pertumbuhan Solow dirancang untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja, dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian, serta bagaimana pengaruhnya terhadap output barang dan jasa suatu negara secara keseluruhan (Mankiw, 2007). 17 Mankiw (2007) menyatakan bahwa asumsi fungsi produksi bersifat constant returns to scale output akan meningkat dengan proporsi yang sama apabila kapital dan tenaga kerja digandakan dan input-output yang baru digunakan sepenting input yang telah ada. Input selain kapital, tenaga kerja dan pengetahuan diasumsikan tidak penting. Dari anggapan tersebut model Solow diformulasikan sebagai suatu hubungan fungsional dimana output per tenaga kerja efektif sebagai fungsi dari kapital per tenaga kerja efektif, yaitu: y = f(k) .................................................................................................... (2.2) Dimana: y = output per tenaga kerja efektif (Y/AL) k = kapital per tenaga kerja efektif (K/AL) Y = output K = kapital L = tenaga kerja A = efektivitas tenaga kerja (pengetahuan) AL = tenaga kerja efektif (labor augmented) Investasi break-even, (δ+n+g)k Investasi aktual dan Investasi break-even Investasi aktual, sf(k) 0 k* Modal per pekerja efektif, k Sumber: Mankiw (2007) Gambar 9 Investasi Aktual dan Break-even Menurut Solow output nasional hanya digunakan untuk dua tujuan yaitu konsumsi dan investasi. Bagian output yang digunakan untuk tujuan investasi bersumber dari tabungan. Sebagai proses akumulasi modal, satu unit investasi 18 menghasilkan satu unit tambahan kapital baru, sedangkan kapital yang lama mengalami penyusutan. Tingkat perubahan stok kapital per unit tenaga kerja efektif merupakan selisih antara perubahan investasi aktual dengan perubahan investasi break-even (yaitu investasi yang diperlukan untuk mengimbangi pertumbuhan tenaga kerja dan ilmu pengetahuan serta menggantikan penyusutan kapital yang lama sehingga jumlah stok kapital per tenaga kerja efektif yang ada tetap terpelihara). Stok kapital per tenaga kerja efektif akan berada pada posisi jalur pertumbuhan ekonomi yang berimbang (the balance growth path) ketika perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Sebagaimana ditunjukkan Gambar 9, apabila tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif rendah, investasi aktual per unit tenaga kerja efektif lebih besar dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat tinggi sehingga jumlahnya meningkat ke posisi stok kapital per tenaga kerja efektif keseimbangan atau laju pertumbuhannya positif. Sebaliknya pada tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif yang tinggi, investasi aktual per unit tenaga kerja lebih kecil dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat rendah sehingga jumlahnya menurun ke posisi stok kapital per tenaga kerja keseimbangan atau laju pertumbuhannya negatif. Dengan demikian stok kapital per tenaga kerja efektif selalu konvergen ke posisi keseimbangannya di titik k*. Setelah konvergensi tercapai, laju pertumbuhan stok kapital per tenaga kerja efektif mencapai nol karena pada posisi keseimbangan perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Pada posisi ini stok kapital total, tenaga kerja efektif dan output total tumbuh pada tingkat yang sama yaitu sebesar jumlah pertumbuhan tenaga kerja efektif dan pertumbuhan ilmu pengetahuan. Stok kapital per tenaga kerja dan total output per tenaga kerja tumbuh sebesar pertumbuhan ilmu pengetahuan. Pemikiran Solow di atas menunjukkan bahwa perekonomian senantiasa akan konvergen secara otomatis menuju pertumbuhan yang berimbang, yaitu suatu situasi dimana setiap peubah tumbuh pada tingkat yang konstan. Pada pertumbuhan yang berimbang, pertumbuhan output per tenaga kerja hanya 19 ditentukan oleh tingkat kemajuan teknologi. Di sinilah peran penting kemajuan teknologi dalam proses pertumbuhan ekonomi menurut pandangan Solow. Selanjutnya model pertumbuhan endogen dikembangkan untuk memperbaiki teori pertumbuhan ekonomi neo-klasik. Model pertumbuhan neoklasik berargumen bahwa pertumbuhan output didorong oleh tingkat perkembangan teknologi. Tanpa perkembangan teknologi, tidak akan ada pertumbuhan jangka panjang. Tetapi karena penyebab perkembangan teknologi tidak diidentifikasikan dalam model Solow, maka hal yang mendasari pertumbuhan tidak dijelaskan. Solow menganggap teknologi sebagai faktor eksogen dalam proses proses pertumbuhan (Capello, 2007). Dengan demikian model Solow tidak memperdulikan bagaimana mendorong kemajuan teknologi melalui proses belajar (learning by doing), investasi dalam penelitian dan akumulasi pengetahuan. Teori pertumbuhan endogen pada awalnya berkembang dalam dua cabang pemikiran yang bertumpu pada pentingnya sumber daya manusia sebagai kunci utama dalam perekonomian, yaitu: 1. Pemikiran yang percaya bahwa knowledge stock adalah sumber utama bagi peningkatan produktivitas ekonomi. 2. Pemikiran yang menekankan pada pentingnya learning by doing dan human capital dengan introduksi hal-hal baru (yang bersifat eksternal) dalam perekonomian merupakan faktor pendorong bagi peningkatan produktivitas perekonomian. Pemikiran yang pertama diangkat dan dikembangkan oleh Romer, yang menempatkan stok pengetahuan sebagai salah satu faktor produksi yang semakin meningkat. Sehingga tingkat pertumbuhan dapat terus ditingkatkan sesuai dengan kemampuan masing-masing negara untuk meningkatkan dan menciptakan stok pengetahuan. Oleh karena itu negara maju dengan kemampuan menciptakan pengetahuan yang lebih cepat dibandingkan dengan negara miskin akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding dengan negara miskin. Hal ini sekaligus menolak teori konvergensi dari neo-klasik. Pertumbuhan jangka panjang sangat ditentukan oleh akumulasi pengetahuan para pelaku ekonomi dalam model Romer. Dengan demikian variabel modal 20 dalam pertumbuhan agregat neo-klasik sekarang sudah memperhitungkan unsur akumulasi pengetahuan. Tiga elemen utama dalam model Romer yaitu: 1. Adanya unsur eksternalitas, sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan. 2. Adanya peningkatan skala hasil yang semakin meningkat, yang menyebabkan peningkatan spesialisasi dan pembagian kerja. 3. Semakin pendeknya waktu pemanfaatan ilmu pengetahuan, karena pesatnya perkembangan di sektor riset. Secara umum model Romer dirumuskan sebagai berikut: � 𝑌�� = 𝐾��� 𝐿��� �� 𝐾� 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 0 < 𝛼 < 1; 0 < 𝛽 < 1 ....................….. (2.3) Dimana: Yi adalah output produksi perusahaan i, Ki adalah stok modal, Li adalah tenaga kerja, dan K adalah stok pengetahuan/teknologi (technical knowledge) agregat. K diasumsikan mempunyai efek menyebar yang positif terhadap produksi setiap perusahaan. Pemikiran kedua (teori learning) dikemukakan oleh Lucas melalui model akumulasi human capital. Teori learning memasukkan unsur ekstemalitas yang terkandung dalam peningkatan kapital pada proses produksi. Peningkatan kapital akan meningkatkan stok public knowledge, sehingga secara keseluruhan proses produksi dalam skala yang bersifat increasing return to scale. Akumulasi modal manusia dapat dilakukan melalui pendidikan formal maupun bukan jalur pendidikan formal (on the job traning). Lucas berpendapat bahwa ekstemalitas yang dihasilkan oleh investasi dalam pendidikan umum (termasuk kegiatan produksi) serta investasi dalam beberapa kegiatan tertentu inilah yang menyebabkan proses bersifat learning by doing. Model yang dikembangkan oleh Lucas menggunakan dua jenis modal, yaitu modal fisik dan modal manusia. Rumusan yang digunakan Lukas adalah sebagai berikut: 𝑌� = 𝐴𝐾�� (𝑢� 𝐻� 𝐿� )��� 𝐻�� .............................................................….. (2.4) Dimana: Yt adalah output produksi, A adalah konstanta, K adalah stok modal, L adalah tenaga kerja, u adalah waktu yang digunakan untuk pekerja untuk berproduksi, H adalah kualitas dari human capital yang merupakan rata-rata banyaknya pengetahuaan yang dimiliki oleh pekerja. Dengan Ht yang meningkat sejalan dengan ut maka fungsi produksi akan bersifat increasing return to scale 21 dimana Ht bersifat eksternal yang bergantung pada tingkat ketrampilan rata-rata tenaga kerja dalam perusahaan tersebut. 2.2. Konvergensi Menurut Barro dan Sala-i-Martin (1995), tingkat pertumbuhan jangka panjang ditentukan oleh variabel eksogen pada steady state, dimana k, y dan c per kapita tidak tumbuh dan variabel agregat K, Y dan C tumbuh pada tingkat laju pertumbuhan penduduk n, yang dalam persamaan dasar model Solow-Swan dinyatakan dengan: γ� = �̇ � =𝑠∙ �(�) � − (𝑛 + 𝛿) ...............................................................….(2.5) Dengan k negatif, maka: ̇̇ � �(�) �� = 𝑠 ∙ �𝑓 ′ (𝑘) − �(�) � � /𝑘 < 0 ..............................................................(2.6) Jika nilai k semakin kecil maka nilai 𝑘̇/k lebih besar, ceteris paribus. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian dengan modal per orang yang lebih rendah akan tumbuh lebih cepat atau adanya kecenderungan konvergensi. Suatu daerah/negara yang mulai dengan rasio modal per tenaga kerja yang rendah akan memiliki tingkat pertumbuhan 𝑘̇/k per kapita yang lebih tinggi. Hipotesis bahwa ekonomi yang miskin cenderung tumbuh lebih cepat per kapita dibandingkan yang kaya tanpa melihat karakteristik perekonomian lainnya disebut konvergensi mutlak (absolute convergence) atau konvergensi nonkondisional (unconditional convergence). Hal ini berbeda dengan konvergensi bersyarat atau kondisional (conditional convergence), yang mengakomodasi heterogenitas perekonomian. Misalnya daerah yang mempunyai stok kapital yang berbeda per jumlah penduduk atau memiliki tingkat tabungan (saving rate) yang berbeda. Pada Gambar 10, kondisi steady state ditentukan oleh persimpangan si . f(k)/k dengan garis (n+δ), dimana spoor < srich dan k*poor < k*rich, seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pada kondisi awal k(0)poor < k(0)rich. Secara empiris, dapat dijelaskan bahwa negara-negara yang mempunyai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi cenderung memiliki tingkat tabungan yang lebih tinggi. Jika mereka mempunyai tingkat tabungan yang sama, maka jarak antara si . f(k)/k dengan garis (n+δ) akan lebih tinggi untuk daerah 22 yang miskin dan berlaku (𝑘̇/k)poor > (𝑘̇/k)poor. Sebaliknya, apabila daerah kaya memiliki tingkat tabungan yang lebih tinggi, perekonomian di daerah tersebut akan tumbuh lebih cepat daripada daerah miskin. Oleh karena itu, model yang digunakan untuk memprediksi konvergensi bersyarat menunjukkan bahwa daerah dengan pendapatan per kapita awal yang lebih rendah akan menghasilkan tingkat pertumbuhan per kapita yang lebih tinggi, tetapi dengan mengontrol faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi steady state (Quah, 1995). n+δ srich . f(k)/k spoor . f(k)/k k(0)poor k*poor k(0)rich k*rich Sumber: Barro dan Sala-i-Martin (1995) Gambar 10 Konvergensi Bersyarat/Kondisional (Conditional Convergence) 2.3. Ketimpangan Wilayah Capello (2007) menyebutkan bahwa analisis pembangunan wilayah mensyaratkan dua hal, yaitu pertumbuhan absolut yang menunjukkan kemampuan sumber daya yang potensial di wilayah tersebut dan pertumbuhan relatif antar wilayah yang dapat digunakan untuk menginterpretasikan ketimpangan regional dan kemungkinan dari konvergensi pada tingkat pertumbuhannya atau pendapatan rata-ratanya. Disparitas pembangunan ekonomi regional merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses 23 pembangunan ekonomi juga menjadi berbeda. Demikian pula pergeseran komposisi sektor-sektor pembangunan karena aktivitas ekonomi. Tidak mengherankan bila di setiap daerah biasanya terdapat wilayah maju dan wilayah terbelakang akibat transformasi dengan kecepatan yang berbeda. Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga mempunyai implikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Menurut Sjafrizal (2008) upaya pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang dapat dilakukan dalam rangka penanggulangan ketimpangan pembangunan antar daerah dalam suatu negara/wilayah yaitu: (i) penyebaran pembangunan prasarana perhubungan; (ii) mendorong transmigrasi dan migrasi spontan; (iii) pengembangan pusat pertumbuhan, dan (iv) pelaksanaan otonomi daerah. Teori pertumbuhan neo-klasik memprediksi hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional dan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hipotesis ini kemudian dikenal sebagai hipotesis neo-klasik. Dalam hipotesis neoklasik ketimpangan pembangunan pada permulaan proses cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsurangsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. Dengan kata lain ketimpangan pada negara berkembang relatif lebih tinggi, sedangkan pada negara maju ketimpangan tersebut relatif lebih rendah. Todaro dan Smith (2006) menunjukkan ketimpangan pembangunan sebagai kurva kuznets berbentuk U terbalik, seperti pada Gambar 11. Ketimpangan di negara berkembang relatif lebih tinggi karena pada waktu proses pembangunan baru dimulai, kesempatan dan peluang pembangunan yang ada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi pembangunannya sudah lebih baik, sedangkan daerah yang masih terbelakang tidak mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan prasarana dan sarana serta rendahnya kualitas sumber daya manusia. Oleh sebab itu, pertumbuhan ekonomi cenderung lebih cepat di daerah dengan kondisi yang lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan (Sjafrizal, 2008). 24 Koefisien Gini Kurva Ketimpangan Regional Pendapatan nasional bruto per kapita Sumber: Todaro dan Smith (2006) Gambar 11 Kurva Kuznets tentang Hubungan Pendapatan dan Ketimpangan Sedangkan di negara yang sudah maju dimana kondisi yang lebih baik dari segi prasarana dan sarana serta kualitas sumber daya manusia, setiap kesempatan peluang pembangunan dapat dimanfaatkan secara lebih merata antar daerah. Oleh sebab itu, proses pembangunan pada negara maju cenderung mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Perbedaan pendapatan rumah tangga dalam suatu wilayah mencerminkan adanya ketidakmerataan pendapatan. Perbedaan pendapatan tersebut juga mengakibatkan perbedaan pola konsumsi dan pengeluaran konsumsi suatu rumah tangga, sehingga perbedaan pendapatan dapat dilihat dari perbedaan pola konsumsi dan pengeluaran rumah tangga. Pendekatan ini digunakan juga dalam penghitungan distribusi pendapatan, yang menunjukkan porsi pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga dalam suatu wilayah. 2.4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Menurut Sjafrizal (2008), ketimpangan pembangunan dipengaruhi faktorfaktor sebagai berikut: (1) Perbedaan kandungan sumber daya alam, yang akan mempengaruhi kegiatan produksi di daerah tersebut. Daerah yang kaya sumber daya alam dapat memperoduksi barang-barang tertentu dengan harga yang lebih murah sehingga mempercepat pertumbuhan ekonominya. 25 (2) Perbedaan kondisi demografis, meliputi tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, tingkat pendidikan dan kesehatan, kondisi ketenagakerjaan, tingkah laku dan etos kerja masyarakatnya. (3) Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa, yang menyebabkan kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat diperdagangkan/dijual ke daerah lain yang membutuhkan sehingga daerah yang kurang maju tersebut pertumbuhannya lebih lambat. (4) Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah akan mendorong peningkatan penyediaan lapangan kerja dan juga tingkat pendapatan masyarakat. (5) Alokasi dana pembangunan antar wilayah (investasi yang ditanamkan). Sumber investasi terdiri dari dua pelaku ekonomi yaitu pemerintah dan swasta. Hal yang hampir sama dikemukakan oleh Murty (2000), yang menyatakan bahwa ketimpangan disebabkan oleh: (1) Faktor geografi: pada suatu wilayah yang cukup luas akan terjadi perbedaan distribusi sumber daya alam, sumber daya pertanian, topografi, iklim, curah hujan, sumber daya mineral dan variasi spasial lainnya. (2) Faktor sejarah: tingkat perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah sangat tergantung dari apa yang dilakukan pada masa lalu. Bentuk kelembagaan atau budaya dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan entrepreneurship. (3) Faktor politik: politik yang tidak stabil akan menyebabkan ketidakpastian di berbgaai bidang terutama ekonomi, terutama keraguan dalam berusaha atau berinvestasi bahkan dapat menyebabkan terjadinya crowding out ke luar daerah. (4) Faktor kebijakan: kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua sektor dan lebih menekankan pertumbuhan ekonomi untuk membangun pusat-pusat pertumbuhan di wilayah tertentu akan menyebabkan kesenjangan, baik antar sektor, antar pelaku ekonomi maupun antar daerah. (5) Faktor administrasi: wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju. 26 (6) Faktor sosial: masyarakat yang tertinggal umumnya tidak memiliki institusi dan perilaku yang kondusif bagi berkembangnya perekonomian karena masih percaya pada kepercayaan yang primitif, tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung konservatif dan menghambat perkembangan ekonomi. (7) Faktor ekonomi, yang terkait dengan: i. Kuantitas dan kualitas faktor produksi: lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi, perusahaan. ii. Akumulasi dari berbagai sektor: lingkaran setan kemiskinan, kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup yang rendah, efisiensi yang rendah, konsumsi yang rendah, tabungan yang rendah, investasi yang rendah dan tingkat pengangguran yang meningkat. Sebaliknya dengan masyarakat maju, mereka semakin meningkatkan taraf hidupnya. iii. Kekuatan pasar bebas dan pengaruhnya pada spread effect dan backwash effect: tenaga kerja, modal, perusahaan dan aktivitas ekonomi seperti industri, perdagangan, perbankan dan asuransi yang memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkonsentrasi di daerah yang maju. iv. Distorsi pasar: immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan ketrampilan tenaga kerja, dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu kebijakan pemerintah, faktor endowment dan hasil-hasil pembangunan. Penelitian ini hanya menganalisis faktor kebijakan pemerintah yang dinyatakan dengan pengeluaran rutin pemerintah, tingkat pembangunan ekonomi yang menunjukkan potensi wilayah dinyatakan dengan share sektor pertanian dan manufaktur, serta hasil pembangunan secara fisik dan non fisik. Infrastruktur dapat digunakan sebagai proksi untuk melihat hasil pembangunan secara fisik, sedangkan tingkat pendidikan yang telah dicapai menyatakan hasil pembangunan secara non fisik. 2.4.1. Peranan Pemerintah dalam Perekonomian Pemerintah mempunyai peranan penting dalam setiap sistem perekonomian sehingga kebijakan yang dilaksanakan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Fungsi pemerintah meliputi tiga hal yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi (Stiglitz, 2000). Fungsi alokasi dilakukan 27 pemerintah karena adanya kegagalan pasar (market failure). Hal ini dilakukan dengan menyediakan barang dan jasa yang tidak dapat disediakan oleh sistem pasar yang disebut barang publik agar faktor-faktor produksi dapat digunakan secara efisien dalam perekonomian. Fungsi distribusi pemerintah bertujuan untuk menghasilkan distribusi pendapatan yang merata, karena kekuatan dan mekanisme pasar diyakini tidak akan pernah menghasilkannya. Distribusi pendapatan yang relatif merata merupakan satu fenomena yang diinginkan oleh masyarakat. Tugas pemerintah adalah memastikan terdapat pembagian pendapatan yang lebih merata di antara kelompok-kelompok masyarakat. Selain itu, pemerintah mempunyai peranan utama sebagai alat stabilisasi perekonomian karena perekonomian yang sepenuhnya diserahkan kepada swasta akan sangat peka terhadap goncangan keadaan, misalnya pengangguran dan inflasi untuk menciptakan stabilitas harga dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pemerintah dapat memengaruhi perekonomian makro melalui dua saluran kebijakan: kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal merujuk kepada perilaku pemerintah di bidang pengeluaran dan perpajakan, dengan kata lain kebijakan anggarannya. Kebijakan fiskal umumnya dibagi atas tiga kategori, yaitu: kebijakan yang menyangkut pembelian pemerintah atau barang dan jasa, kebijakan yang menyangkut perpajakan, dan kebijakan yang menyangkut pembayaran transfer (seperti kompensasi pengangguran, tunjangan keamanan sosial, pembayaran kesejahteraan, dan tunjangan veteran) kepada rumah tangga. Kebijakan fiskal berhubungan erat dengan kegiatan pemerintah sebagai pelaku sektor publik. Pada prinsipnya kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal dalam hal penerimaan pemerintah dianggap sebagai suatu cara untuk mengukur mobilisasi sumber dana domestik, dengan instrumen utamanya perpajakan. Perpajakan mempunyai tujuan ganda, yaitu menyediakan dana untuk kepentingan umum dan memengaruhi tingkah laku ekonomi. Tingkat pajak dapat ditingkatkan untuk menurunkan permintaan apabila ekonomi sedang baik dan diturunkan kalau ingin meningkatkan permintaan pada waktu resesi. Perkembangan pengeluaran pemerintah ditentukan oleh faktor-faktor yang berubah dalam perekonomian, antara lain perubahan permintaan akan barang publik, perubahan aktivitas 28 pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi, perubahan kualitas barang publik dan perubahan harga faktor produksi. Beberapa teori yang membahas tentang perkembangan pengeluaran pemerintah menurut Mangkoesoebroto (1997) adalah: 1. Model Rostow dan Musgrave Model ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang makin komplek. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaranpengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat. 2. Hukum Wagner Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran 29 pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap PDB. Apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negaranegara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang), yang menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organisasi mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya. 3. Teori Peacock dan Wiseman Inti dari teori Peacock dan Wiseman adalah pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Sejak tahun 2001, pemerintah Indonesia menggunakan tata pemerintahan baru dalam melakukan strategi pembangunan. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah serta Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah menjadi titik tolak perubahan paradigma peranan pemerintah yang sebelumnya dilakukan secara sentralistik menjadi desentralisasi. Desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu tujuan negara dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi didefinisikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, konsep desentralisasi terdiri atas Desentralisasi Politik 30 (Political Decentralization), Decentralization), Desentralisasi Desentralisasi Fiskal Administratif (Fiscal (Administrative Decentralization); dan Desentralisasi Ekonomi (Economic or Market Decentralization). Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintah dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Implikasi dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah kewenangan pemerintah daerah yang semakin luas dalam mengelola sumber daya yang dimiliki maupun dalam melaksanakan pembangunan. Pemerintah daerah lebih mengetahui keadaan daerahnya sehingga pembangunan dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan lebih baik daripada pemerintah pusat. Apabila terdapat masalah dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, masalah tersebut dapat diatasi dengan cepat karena pemerintah daerah lebih mengetahui masalah tersebut dan beban kerja pemerintah daerah juga lebih sedikit daripada pemerintah pusat (Sukirno, 1985). Dengan demikian, Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa pemerintah daerah tidak lagi sekedar menjalankan instruksi dari pemerintah pusat, tetapi daerah dituntut mampu mengembangkan kreatifitas dan inovasi dalam mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Pemerintah daerah dapat lebih berkonsentrasi pada pemberdayaan kekuatan ekonomi lokal, melakukan alokasi secara lebih efisien pada potensi lokal yang sesuai dengan kebutuhan publik, sehingga meningkatkan kinerja (kemampuan) keuangan daerah. Idealnya semua pengeluaran pemerintah daerah dapat dicukupi dengan menggunakan PAD (Pendapatan Asli Daerah) sehingga daerah benar-benar otonom. Namun kemampuan daerah yang berbeda-beda menyebabkan pemerintah perlu melakukan mekanisme transfer melalui dana perimbangan agar terjadi pemerataan kemampuan fiskal di setiap daerah. Dana Perimbangan Keuangan Pusat – Daerah (PKPD) terdiri dari bantuan umum (block grant) dan bantuan khusus (spesific grant). Bantuan umum meliputi DAU (Dana Alokasi Umum) dan DBH (Dana Bagi Hasil), yaitu Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam. Tujuan utama DAU adalah memperkuat kondisi fiskal daerah 31 dan mengurangi ketimpangan antar daerah (horizontal imbalance). Pada awal penerapannya, DAU dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran rutin. Sedangkan DBH bertujuan untuk mengurangi ketimpangan pusat – daerah (vertical imbalance). Kebijakan DBH SDA dilakukan agar masyarakat daerah dapat merasakan hasil sumber daya alam yang dimilikinya karena selama pemerintahan sentralistik, hasil SDA lebih banyak dinikmati oleh pemerintah pusat. DBH Pajak banyak diperoleh dari kota-kota metropolitan yang merupakan tempat konsentrasi perusahaan dan bisnis. 2.4.2. Tingkat Pembangunan Ekonomi Teori perubahan struktur perekonomian memperlihatkan hubungan antara besarnya pendapatan per kapita dengan persentase sumbangan berbagai sektor ekonomi terhadap produksi nasional. Peranan berbagai sektor ekonomi pada tingkat pembangunan ekonomi menjadi landasan penentuan sumber-sumber daya ke berbagai sektor ekonomi (Sukirno, 1995). Bagaimana suatu negara mencapai kemajuan dapat melalui cara yang berbeda, tergantung pada sumber daya yang tersedia dan potensi yang dimilikinya termasuk tingkat pendapatan pada awal pembangunan dan keunggulan komparatif relatif terhadap negara lainnya. Chenery (1980) menyatakan bahwa struktur ekonomi wilayah terbelakang akan berubah dari waktu ke waktu dengan adanya industri-industri baru yang menggantikan pertanian tradisional sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Wilayah yang maju dan terbelakang mempunyai pola pembangunan ekonomi yang tidak sama dengan latar belakang geografis yang berbeda sehingga secara alami ketimpangan wilayah merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Bose et al. (2005) juga meneliti bahwa tingkat pembangunan ekonomi menentukan keuangan publik optimal suatu wilayah. 2.4.3. Pendidikan Tenaga Kerja Pendidikan merupakan faktor produksi yang tidak dapat dipisahkan dari tenaga kerja karena menentukan kualitas tenaga kerja. Modal dan sumber daya alam hanyalah merupakan faktor produksi pasif, sedangkan manusia merupakan agen yang aktif yang dapat mengakumulasi modal, mengeksploitasi sumber daya 32 alam serta membangun kehidupan sosial, ekonomi dan politik serta membawa kemajuan bagi pembangunan nasional (Todaro dan Smith, 2006). UNESCO (2008) menyatakan arti penting pendidikan sebagai berikut: (1) Pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan seseorang sehingga menjadi lebih efektif dan produktif yang pada gilirannya dapat meningkatkan penghasilan secara memadai untuk mendorong peningkatan pendapatan, (2) Pendidikan berpengaruh terhadap peningkatan derajat kesehatan dan gizi, (3) Pendidikan akan meningkatkan mutu standar hidup, (4) Pendidikan akan mendorong proses pembangunan sosial melalui penguatan kohesi dalam masyarakat dan membuka peluang serta kesempatan yang lebih baik. 2.4.4. Infrastruktur Infrastruktur penting bagi kegiatan produksi dan dapat memengaruhi kegiatan ekonomi dalam berbagai cara baik secara langsung maupun tidak langsung. Infrastruktur tidak hanya merupakan kegiatan produksi yang akan menciptakan output dan kesempatan kerja, namun keberadaan infrastruktur juga memengaruhi efisiensi dan kelancaran kegiatan ekonomi di sektor-sektor lainnya (Gambar 12). Infrastruktur Pendapatan Dunia Usaha Pendapatan Rumah Tangga Peningkatan Kesejahteraan Pengembangan Pasar Penurunan Biaya Pertumbuhan Ekonomi Sumber: Cicilia dalam Sibarani (2002) Gambar 12 Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi 33 World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga, yaitu: 1. Infrastruktur ekonomi, merupakan aset fisik yang diperlukan untuk menunjang aktivitas ekonomi baik dalam produksi maupun konsumsi final, meliputi public utilities (tenaga, telekomunikasi, air minum, sanitasi dan gas), public work (jalan, bendungan, kanal, saluran irigasi dan drainase) serta sektor transportasi (jalan, rel kereta api, angkutan pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya). 2. Infrastruktur sosial, merupakan aset yang mendukung kesehatan dan keahlian masyarakat, meliputi pendidikan (sekolah dan perpustakaan), kesehatan (rumah sakit dan pusat kesehatan), perumahan dan rekreasi (taman, museum dan lainlain). 3. Infrastruktur administrasi/institusi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi serta kebudayaan. Infrastruktur juga dapat digolongkan menjadi infrastruktur dasar dan pelengkap. Infrastruktur dasar (basic infrastructure), meliputi sektor-sektor yang mempunyai karakteristik publik dan kepentingan yang mendasar untuk perekonomian lainnya, tidak dapat diperjualbelikan (non tradable) dan tidak dapat dipisah-pisahkan baik secara teknis maupun spasial. Contohnya jalan raya, rel kereta api, pelabuhan laut, drainase, bendungan, dan sebagainya. Sedangkan infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) misalnya gas, listrik, telepon dan pengadaan air minum. Infrastruktur dasar biasanya diselenggarakan oleh pemerintah karena sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Namun dalam penyediaannya, pemerintah dapat bekerja sama dengan badan usaha sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Walaupun pengadaan infrastruktur bisa dilakukan dengan kerja sama dengan badan usaha yang telah ditunjuk, tidak semua layanan infrastruktur bisa dilaksanakan oleh pihak swasta karena ada layanan infrastruktur yang memerlukan modal yang besar dengan waktu pengembalian yang lama dan resiko investasi yang besar. Fasilitas infrastruktur bukan hanya berfungsi melayani berbagai kepentingan umum tetapi juga memegang peranan penting pada kegiatan-kegiatan swasta di bidang ekonomi. Kebutuhan prasarana merupakan pilihan (preference), dimana tidak ada standar umum untuk menentukan berapa besarnya fasilitas yang tepat di 34 suatu daerah atau populasi. Infrastruktur penting yang akan dianalisis dalam peneltian ini adalah infrastruktur sosial berupa sarana kesehatan dan infrastruktur ekonomi yang penting khususnya di Pulau Jawa yaitu listrik, air bersih dan panjang jalan. Pembangunan kesehatan menjadi bagian integral dari pembangunan nasional karena masyarakat yang sehat akan menghasilkan tenaga kerja yang sehat dan merupakan input penting dalam kegiatan ekonomi. Negara-negara yang mempunyai tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah menghadapi tantangan yang lebih berat untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan dibandingkan dengan negara yang lebih baik tingkat kesehatan dan pendidikannya. Tenaga kerja yang berkualitas akan mempunyai peluang yang lebih besar untuk lebih produktif, mempunyai kesempatan kerja yang lebih besar, memperoleh pendapatan yang lebih tinggi, dan menghasilkan output ekonomi yang lebih besar juga. Pelayanan kesehatan melalui rumah sakit dan puskesmas serta pelayanan kesehatan lainnya diharapkan meningkatkan mutu kesehatan yang menjangkau seluruh masyarakat untuk mewujudkan pembangunan kesehatan yang merata. Puskesmas merupakan sarana pelayanan kesehatan yang memasyarakat sampai di daerah terpencil (tidak seperti rumah sakit yang secara relatif hanya berada di kota atau ibukota kabupaten saja), maka penggunaan data jumlah puskesmas dalam penelitian ini diharapkan dapat mewakili jumlah fasilitas kesehatan secara representatif di seluruh Pulau Jawa. Kebutuhan akan listrik menjadi tuntutan primer yang harus dipenuhi seiring dengan kemajuan pembangunan, tidak hanya untuk rumah tangga namun juga untuk kegiatan ekonomi terutama industri. Semakin banyak peralatan rumah tangga, peralatan kantor serta kegiatan produksi yang mengandalkan sumber energi dari listrik karena praktis. Sebagian besar kebutuhan listrik di Indonesia dipenuhi oleh PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero). Selain listrik, infrastruktur ekonomi yang penting adalah air bersih, yang merupakan kebutuhan vital yang mutlak diperlukan dalam kehidupan manusia. Penggunaan air terbesar berdasarkan sektor kegiatan dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar yaitu kebutuhan domestik, irigasi pertanian dan industri. Kebutuhan air domestik digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga 35 sehari-hari. Air untuk sektor pertanian digunakan untuk irigasi dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang terus bertambah. Dan dalam bidang industri, air bersih merupakan faktor penting dalam proses produksi. Infrastruktur jalan merupakan salah satu infrastruktur pengangkutan yang berperan dalam merangsang pertumbuhan ekonomi karena ketersediaan jalan akan meminimalkan modal komplementer dalam upaya mengefisienkan proses produksi dan distribusi. Pembangunan prasarana jalan turut akan meningkatkan pertumbuhan wilayah-wilayah baru dengan meningkatnya volume lalu lintas. Sebaiknya prasarana jalan yang buruk dan rusak akan menghambat alokasi sumber daya, pengembangan industri, pendistribusian faktor produksi, barang dan jasa, yang pada akhirnya akan memengaruhi pendapatan. Ikhsan (2004) mengemukakan bahwa jalan raya akan memengaruhi biaya variabel dan biaya tetap. Jika infrastruktur harus dibangun sendiri oleh sektor swasta, maka biaya akan meningkat secara signifikan dan menyebabkan cost of entry untuk suatu kegiatan ekonomi menjadi sangat mahal sehingga kegiatan-kegiatan ekonomi yang sebetulnya secara potensial mempunyai keunggulan komparatif menjadi tidak bisa terealisasikan karena tidak tersedianya infrastruktur. 2.5. Tinjauan Empiris Ding dan Knight (2008) melakukan penelitian dengan model Solow yang diperluas dengan memasukkan variabel modal manusia dan perubahan struktural selama periode tahun 1980 – 2000 dengan interval waktu analisis 5 tahunan untuk mengurangi sensitifitas siklus bisnis dari data tahunan. Variabel dependen yang digunakan adalah PDB riil per pekerja di Cina dan negara-negara pembandingnya yang diteliti. Sedangkan variabel dependen meliputi saham tabungan diproksi dengan investasi di PDB riil, data penduduk usia 15-64 tahun untuk menghitung penduduk usia kerja, modal manusia diproksi dengan rata-rata lama sekolah di atas usia 15 tahun, jumlah angkatan kerja dan tenaga kerja pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi internasional bervariasi, dimana investasi modal fisik, perubahan struktur kerja, konvergensi bersyarat dan pertumbuhan penduduk merupakan sumber utama perbedaan pertumbuhan Cina dan negara-negara lainnya. 36 Penelitian konvergensi pendapatan dilakukan oleh Ralhan dan Dayanandan (2005) dengan level data 10 provinsi di Kanada selama periode tahun 1981 – 2001, dengan menggunakan interval waktu analisis 5 tahunan. Variabel dependen yang digunakan adalah NPDP (Net Provincial Domestic Product) per kapita riil dan variabel independennya adalah tingkat pertumbuhan tenaga kerja pada usia 15 – 64 tahun dan investasi riil. Analisis dilakukan dengan mengadopsi model pertumbuhan Solow dinamik dengan teknik estimasi GMM dan membandingkannya dengan model data panel lainnya yaitu pendekatan fixed effect dan random effect. Hasil penelitian ini dapat menyatakan bahwa tingkat kemajuan teknologi dan fungsi produksi provinsi-provinsi di Kanada berada pada tingkat tertentu dan homogen. Tingkat konvergensi pendapatan per kapita mencapai 1,5 persen jika dilakukan dengan OLS dan teknik lainnya, namun meningkat hingga mencapai 6 sampai dengan 6,5 persen jika dilakukan dengan teknik GMM. Konvergensi personal disposible income di antara provinsi-provinsi di Kanada berada pada tingkat 2,89 persen. Selanjutnya Badinger et al. (2002) melakukan penelitian konvergensi regional menggunakan sampel 196 negara-negara Eropa selama periode tahun 1985 – 1999 dengan variabel pendapatan dan investasi. Analisis dilakukan dengan memperhitungkan efek spasial dalam model data panel dinamis karena daerah yang diamati tidak menerapkan ekonomi tertutup, sehingga harus menunjukkan interaksi ekonomi dan ketergantungan spasial. Oleh karena itu diperlukan spatial filtering untuk menghilangkan hubungan spasial tersebut sebab ketidaktahuan spasial dapat mengakibatkan hasil yang berpotensi menyesatkan. Dengan menerapkan estimasi GMM terhadap variabel filter, didapatkan kecepatan mencapai konvergensi 6,9 persen dan elastisitas modal sebesar 0,43. Penelitian berikutnya juga dilakukan di negara-negara Eropa yang meliputi 206 daerah NUTS II EU15 selama kurun waktu 1989 – 2000 dengan menggunakan variabel pendapatan, penduduk, tingkat investasi daerah, share sektor pertanian sebagai proksi tingkat teknologi daerah, dan pembayaran dana transfer. Penelitian ini dilakukan oleh Bussoletti dan Esposti (2004) menggunakan model ekonometrik konvergensi bersyarat dalam bentuk data panel dinamis karena model ini lebih konsisten daripada model statis. Estimasi GMM diterapkan 37 untuk memperoleh perkiraan dari parameter konvergensi yang mencapai 5 sampai 7,5 persen. Teknik ini juga digunakan untuk melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Kebijakan regional berupa dana transfer memberikan pengaruh yang positif sedangkan share sektor pertanian berdampak negatif terhadap pendapatan. Identifikasi konvergensi di Indonesia dilakukan oleh Rumayya et al. (2005) menggunakan data PDRB perkapita atas dasar harga tahun 1983 untuk crosssection 30 kabupaten/kota di Jawa Timur selama periode 1983 – 2001. Konvergensi β diperoleh dengan mempertimbangkan heterogenitas spasial dan ketergantungan spasial. Pemodelan dilakukan dengan statistik GI* untuk melihat cluster daerah berpenghasilan tinggi di bagian tengah dan timur serta cluster berpenghasilan rendah di bagian barat Jawa Timur. Regresi OLS dan GLS pada model konvergensi absolut tidak menemukan proses konvergensi. Proses konvergensi ini hanya ditemukan dalam model spasial konvergensi mutlak regresif untuk kelompok kaya saja, sedangkan kelompok miskin tidak. Model cross-regresif spasial konvergensi mutlak β menemukan bahwa koefisien lag spasial pendapatan awal adalah positif dan signifikan. Hal ini menunjukkan adanya ketergantungan ruang yang dapat menjelaskan pertumbuhan pendapatan kabupaten/kota di Jawa Timur, dimana pertumbuhan dipengaruhi oleh pendapatan awal tetangganya. Wilayah yang dikelilingi oleh tetangga kaya akan tumbuh lebih cepat dibandingkan bila dikelilingi oleh tetangga miskin. Hal ini disebabkan spillover teknologi dan keuangan, artinya teknologi dan biaya produksi suatu wilayah tidak hanya ditentukan oleh faktor kawasan tetapi juga tingkat teknologi tetangganya (adanya eksternalitas dari sisi penawaran). Belajar dari negara Cina dalam mengurangi kemiskinan, de Janvry et al. (2005) meneliti bahwa tanpa kegiatan non pertanian, kemiskinan di perdesaan akan jauh lebih tinggi dan lebih dalam serta ketimpangan akan meningkat, artinya kegiatan non pertanian memiliki pengaruh spillover yang positif terhadap produksi rumah tangga pertanian. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan adalah pendidikan, jarak yang dekat dengan kota, wilayah sekitarnya dan pengaruh perdesaan untuk mendapatkan akses di bidang pertanian. Penelitian lainnya mengkaji ketimpangan 38 pendapatan dari sektor non pertanian dipengaruhi oleh pendidikan, upah dan wirausaha (Liu dan Sicular, 2008). Hasil penelitian di Nigeria menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan di perdesaan lebih tinggi dari pada di perkotaan walaupun pendapatan di sektor pertanian menurunkan ketimpangan (Oyekale et al., 2006). Peningkatan ketimpangan dipengaruhi oleh urbanisasi, tempat tinggal yang berada di daerah yang miskin, ukuran rumah tangga, pendidikan formal kepala rumah tangga, lamanya sakit, keterlibatan dalam pekerjaan yang dibayar dan bisnis non pertanian, adanya kredit formal dan informal. Sementara itu Omilola (2009) meneliti fenomena ketimpangan pendapatan yang diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu penghasilan rumah tangga pertanian yang menggunakan irigasi, tadah hujan dan non pertanian. Ketimpangan terkecil berada pada rumah tangga yang pendapatannya berasal dari non pertanian, sedangkan yang terbesar adalah rumah tangga pertanian yang menggunakan irigasi. 2.6. Kerangka Pemikiran Pembangunan perekonomian di suatu wilayah diupayakan untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang optimal walaupun pada tingkat pembangunan berbeda. Penelitian perekonomian di Pulau Jawa ini memasukkan variabel tingkat pembangunan ekonomi yang diproksi dengan share (kontribusi) sektor pertanian dan sektor manufaktur karena menentukan output produksi setiap daerah. Adanya keseimbangan umum dalam setiap input produksi dilakukan oleh pelaku-pelaku ekonomi. Oleh karena itu penelitian ini menggabungkan peranan pemerintah dan swasta (termasuk di dalamnya rumah tangga) dalam meningkatkan output perekonomian, yang merupakan proksi dari pendapatan regional. Peranan pemerintah dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penerimaan dan pengeluaran, sesuai dengan format APBD sejak diberlakukannya desentralisasi fiskal. Variabel yang dikaji dalam sisi penerimaan adalah pajak, sedangkan dari sisi pengeluran adalah belanja rutin yang merupakan belanja keperluan operasional untuk menjalankan kegiatan rutin pemerintahan dan belanja pembangunan yang merupakan pengeluaran yang berkaitan dengan proyek-proyek yang meliputi belanja modal 39 dan belanja penunjang. Selanjutnya peranan swasta dilihat menurut faktor-faktor produksi, meliputi investasi, tenaga kerja dan pendidikan tenaga kerja. Ukuran kesejahteraan yang biasanya digunakan dalam penelitian-penelitian kewilayahan adalah PDRB, yang menunjukkan output regional yang dihasilkan, tanpa memperhatikan kepemilikan faktor produksinya. Sekalipun pemilik faktor produksinya berasal dari luar wilayah, namun jika kegiatan ekonominya dilakukan di wilayah tersebut, tetap dihitung dalam PDRB. Oleh karena itu sebagai ukuran kesejahteraan rakyat, PDRB mempunyai kelemahan karena kurang mampu merepresentasikan tingkat kesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya. Ukuran kesejahteraan masyarakat yang seyogyanya digunakan adalah pendapatan yang diperoleh dari aktivitas ekonomi seluruh masyarakat. Karena ukuran ini sangat sulit diperoleh, penelitian ini menggunakan proksi jumlah pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga. Angka ini diharapkan lebih menjelaskan seberapa besar kebutuhan masyarakat telah terpenuhi jika dilihat dari sisi konsumsi. Agar dapat melihat konvergensi dari sisi pendapatan regional dan pendapatan rumah tangga, penelitian ini menggunakan dua pendekatan. Pertama, pendekatan pendapatan melalui total output yang dihasilkan setiap wilayah yang tercermin dalam nilai PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Data yang digunakan adalah PDRB atas dasar harga konstan 2000 sehingga menghilangkan pengaruh inflasi. Kedua, pendekatan pendapatan rumah tangga secara agregat, yang diproksi dengan menggunakan data pengeluaran rumah tangga yang diperoleh dari data Susenas. Data pengeluaran juga telah dideflasi dengan menggunakan deflator PDRB. Berdasarkan beberapa pendekatan tersebut, diharapkan adanya implikasi kebijakan yang lebih dapat diaplikasikan secara nyata demi kesejahteraan masyarakat. 40 Perekonomian Pulau Jawa Tingkat Pembangunan Ekonomi Share Pertanian Pemerintah Penerimaan Share Manufaktur Swasta Pengeluaran Rutin Pembangunan Investasi Tenaga Kerja Pendidikan Tenaga Kerja Konvergensi Infrastruktur Puskesmas Listrik Air Bersih Jalan Analisis Ketimpangan Wilayah Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga Pendekatan PDRB Implikasi Kebijakan Gambar 13 Kerangka Pemikiran Penelitian 41 2.7. Hipotesis Berdasarkan permasalahan, tujuan dan kerangka pemikiran tersebut, maka hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. Ketimpangan between dan within provinsi terjadi di Pulau Jawa. 2. Konvergensi yang dihitung dari pendekatan PDRB maupun pengeluaran rumah tangga terjadi di Pulau Jawa secara keseluruhan dan di tiga provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur). 3. Pengeluaran rutin pemerintah dapat mengurangi ketimpangan wilayah sesuai dengan tujuannya. 4. Tingkat pembangunan ekonomi dan transformasi perekonomian di daerah menentukan keberhasilan pemerataan pembangunan regional. 5. Tingkat pendidikan tenaga kerja yang mendorong peningkatan produktivitas ekonomi diharapkan juga mengurangi ketimpangan wilayah. 6. Pembangunan infrastruktur diharapkan dapat mengurangi kesenjangan wilayah. Halaman ini sengaja dikosongkan.