Konvergensi dan faktor-faktor yang memengaruhi

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pendapatan Regional dan Pertumbuhan Ekonomi
Tingkat pertumbuhan perekonomian adalah kondisi dimana nilai riil Produk
Domestik Bruto (PDB) mengalami peningkatan output (Dornbusch et al., 2008).
Penyebab utama dari pertumbuhan ekonomi adalah tersedianya sejumlah sumber
daya dan peningkatan efisiensi penggunaan faktor produksi. Konsep PDB
digunakan pada tingkat nasional, sedangkan untuk tingkat provinsi dan
kabupaten/kota digunakan konsep PDRB. PDB atau PDRB dapat diukur dengan
tiga macam pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan
pendekatan pengeluaran (Tambunan, 2001). Pendekatan produksi dan pendekatan
pendapatan adalah pendekatan dari sisi penawaran agregat (Aggregate Supply AS) sedangkan pendekatan pengeluaran adalah pendekatan dari sisi permintaan
agregat (Aggregate Demand - AD) (Blanchard, 2006).
Teori pertumbuhan ekonomi semakin berkembang dari masa ke masa.
Beberapa teori pertumbuhan ekonomi yang menonjol sebagaimana diuraikan
Todaro dan Smith (2006) adalah model pertumbuhan neoklasik dan model
pertumbuhan endogen. Teori pertumbuhan neo-klasik dimotori oleh HarrodDomar dan Robert Solow.
Model pertumbuhan Harrod dan Domar dalam Jhingan (2008) atau lebih
dikenal
dengan
model
pertumbuhan
Harrod-Domar
merupakan
model
pertumbuhan Keynesian yang secara luas telah banyak diaplikasikan pada negaranegara sedang berkembang. Domar mengkonstruksi teorinya dengan menekankan
peran
ganda
investasi
dalam
proses
pertumbuhan
ekonomi.
Investasi
memengaruhi permintaan agregat melalui proses investment multiplier dan dalam
jangka panjang merupakan proses akumulasi modal yang akan menambah stok
kapital
dan
meningkatkan
kapasitas
produksi
sehingga
investasi
juga
memengaruhi penawaran agregat. Domar hendak menjawab tingkat investasi yang
diperlukan agar peningkatan permintaan agregat setara dengan kapasitas produksi
sehingga pemanfaatan kapasitas penuh dapat dipertahankan.
Model Domar menyatakan bahwa pertumbuhan permintaan agregat sama
dengan investasi (I) dikalikan dengan besaran multiplier (1/s). Sedangkan
16
pertumbuhan kapasitas produksi (penawaran agregat) sama dengan investasi (I)
dibagi rasio kapital output (k). Melalui manipulasi matematis diperoleh laju
pertumbuhan investasi yang diperlukan agar dapat menyamakan laju pertumbuhan
permintaan agregat dengan laju pertumbuhan penawaran, yaitu sebesar rasio MPS
(Marjinal Propensity to Save = s) terhadap COR (Capital Output Rasio = k) atau
dapat dinyatakan dengan persamaan berikut:
∆Y ∆K ∆I s
...................................................................................... (2.1)
=
=
=
Y
K
I
k
Dimana:
∆Y Y = laju pertumbuhan permintaan agregat atau output
∆K K = laju peningkatan stok kapital (penawaran agregat)
∆I I = laju peningkatan investasi
Menurut Harrod, pertumbuhan ekonomi dapat dibedakan atas pertumbuhan
aktual, pertumbuhan yang diinginkan, dan pertumbuhan alamiah. Pertumbuhan
aktual (the actual growth = ΔY/Y) adalah laju pertumbuhan sesungguhnya yang
besarnya ditentukan oleh rasio tabungan-output (S/Y) dan rasio tambahan kapitaloutput (ΔK/ΔY). Kedua besaran ini dianggap konstan dan melalui manipulasi
matematis akan sama dengan tabungan. Pada tingkat laju pertumbuhan aktual,
output aktual tidak selalu sama dengan output potensial.
Sedangkan Solow berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan
rangkaian kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian
teknologi modern dan output, guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan (sustain). Model Solow diformulasikan dengan menganggap
input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang terus berkurang
(diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika
keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi skala hasil tetap (constant
returns to scale) (Todaro dan Smith, 2006). Secara ekonomi, model pertumbuhan
Solow dirancang untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal,
pertumbuhan angkatan kerja, dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam
perekonomian, serta bagaimana pengaruhnya terhadap output barang dan jasa
suatu negara secara keseluruhan (Mankiw, 2007).
17
Mankiw (2007) menyatakan bahwa asumsi fungsi produksi bersifat constant
returns to scale output akan meningkat dengan proporsi yang sama apabila kapital
dan tenaga kerja digandakan dan input-output yang baru digunakan sepenting
input yang telah ada. Input selain kapital, tenaga kerja dan pengetahuan
diasumsikan tidak penting. Dari anggapan tersebut model Solow diformulasikan
sebagai suatu hubungan fungsional dimana output per tenaga kerja efektif sebagai
fungsi dari kapital per tenaga kerja efektif, yaitu:
y = f(k) .................................................................................................... (2.2)
Dimana:
y
= output per tenaga kerja efektif (Y/AL)
k
= kapital per tenaga kerja efektif (K/AL)
Y
= output
K
= kapital
L
= tenaga kerja
A
= efektivitas tenaga kerja (pengetahuan)
AL = tenaga kerja efektif (labor augmented)
Investasi break-even,
(δ+n+g)k
Investasi aktual
dan
Investasi break-even
Investasi aktual, sf(k)
0
k*
Modal per pekerja efektif, k
Sumber: Mankiw (2007)
Gambar 9
Investasi Aktual dan Break-even
Menurut Solow output nasional hanya digunakan untuk dua tujuan yaitu
konsumsi dan investasi. Bagian output yang digunakan untuk tujuan investasi
bersumber dari tabungan. Sebagai proses akumulasi modal, satu unit investasi
18
menghasilkan satu unit tambahan kapital baru, sedangkan kapital yang lama
mengalami penyusutan. Tingkat perubahan stok kapital per unit tenaga kerja
efektif merupakan selisih antara perubahan investasi aktual dengan perubahan
investasi break-even (yaitu investasi yang diperlukan untuk mengimbangi
pertumbuhan tenaga kerja dan ilmu pengetahuan serta menggantikan penyusutan
kapital yang lama sehingga jumlah stok kapital per tenaga kerja efektif yang ada
tetap terpelihara).
Stok kapital per tenaga kerja efektif akan berada pada posisi jalur
pertumbuhan ekonomi yang berimbang (the balance growth path) ketika
perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even.
Sebagaimana ditunjukkan Gambar 9, apabila tingkat stok kapital per tenaga kerja
efektif rendah, investasi aktual per unit tenaga kerja efektif lebih besar dari
investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif
sangat tinggi sehingga jumlahnya meningkat ke posisi stok kapital per tenaga
kerja efektif keseimbangan atau laju pertumbuhannya positif. Sebaliknya pada
tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif yang tinggi, investasi aktual per unit
tenaga kerja lebih kecil dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok
kapital per tenaga kerja efektif sangat rendah sehingga jumlahnya menurun ke
posisi stok kapital per tenaga kerja keseimbangan atau laju pertumbuhannya
negatif. Dengan demikian stok kapital per tenaga kerja efektif selalu konvergen ke
posisi keseimbangannya di titik k*.
Setelah konvergensi tercapai, laju pertumbuhan stok kapital per tenaga kerja
efektif mencapai nol karena pada posisi keseimbangan perubahan investasi aktual
sama dengan perubahan investasi break-even. Pada posisi ini stok kapital total,
tenaga kerja efektif dan output total tumbuh pada tingkat yang sama yaitu sebesar
jumlah pertumbuhan tenaga kerja efektif dan pertumbuhan ilmu pengetahuan.
Stok kapital per tenaga kerja dan total output per tenaga kerja tumbuh sebesar
pertumbuhan ilmu pengetahuan.
Pemikiran Solow di atas menunjukkan bahwa perekonomian senantiasa
akan konvergen secara otomatis menuju pertumbuhan yang berimbang, yaitu
suatu situasi dimana setiap peubah tumbuh pada tingkat yang konstan. Pada
pertumbuhan yang berimbang, pertumbuhan output per tenaga kerja hanya
19
ditentukan oleh tingkat kemajuan teknologi. Di sinilah peran penting kemajuan
teknologi dalam proses pertumbuhan ekonomi menurut pandangan Solow.
Selanjutnya
model
pertumbuhan
endogen
dikembangkan
untuk
memperbaiki teori pertumbuhan ekonomi neo-klasik. Model pertumbuhan neoklasik
berargumen
bahwa
pertumbuhan
output
didorong
oleh
tingkat
perkembangan teknologi. Tanpa perkembangan teknologi, tidak akan ada
pertumbuhan jangka panjang. Tetapi karena penyebab perkembangan teknologi
tidak diidentifikasikan dalam model Solow, maka hal yang mendasari
pertumbuhan tidak dijelaskan. Solow menganggap teknologi sebagai faktor
eksogen dalam proses proses pertumbuhan (Capello, 2007). Dengan demikian
model Solow tidak memperdulikan bagaimana mendorong kemajuan teknologi
melalui proses belajar (learning by doing), investasi dalam penelitian dan
akumulasi pengetahuan.
Teori pertumbuhan endogen pada awalnya berkembang dalam dua cabang
pemikiran yang bertumpu pada pentingnya sumber daya manusia sebagai kunci
utama dalam perekonomian, yaitu:
1.
Pemikiran yang percaya bahwa knowledge stock adalah sumber utama
bagi peningkatan produktivitas ekonomi.
2.
Pemikiran yang menekankan pada pentingnya learning by doing dan
human capital dengan introduksi hal-hal baru (yang bersifat eksternal)
dalam perekonomian merupakan faktor pendorong bagi peningkatan
produktivitas perekonomian.
Pemikiran yang pertama diangkat dan dikembangkan oleh Romer, yang
menempatkan stok pengetahuan sebagai salah satu faktor produksi yang semakin
meningkat. Sehingga tingkat pertumbuhan dapat terus ditingkatkan sesuai dengan
kemampuan masing-masing negara untuk meningkatkan dan menciptakan stok
pengetahuan. Oleh karena itu negara maju dengan kemampuan menciptakan
pengetahuan yang lebih cepat dibandingkan dengan negara miskin akan
mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding dengan negara
miskin. Hal ini sekaligus menolak teori konvergensi dari neo-klasik.
Pertumbuhan jangka panjang sangat ditentukan oleh akumulasi pengetahuan
para pelaku ekonomi dalam model Romer. Dengan demikian variabel modal
20
dalam pertumbuhan agregat neo-klasik sekarang sudah memperhitungkan unsur
akumulasi pengetahuan. Tiga elemen utama dalam model Romer yaitu:
1.
Adanya unsur eksternalitas, sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan.
2.
Adanya peningkatan skala hasil yang semakin meningkat, yang
menyebabkan peningkatan spesialisasi dan pembagian kerja.
3.
Semakin pendeknya waktu pemanfaatan ilmu pengetahuan, karena
pesatnya perkembangan di sektor riset.
Secara umum model Romer dirumuskan sebagai berikut:
�
𝑌�� = 𝐾��� 𝐿���
�� 𝐾�
𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 0 < 𝛼 < 1; 0 < 𝛽 < 1 ....................….. (2.3)
Dimana: Yi adalah output produksi perusahaan i, Ki adalah stok modal, Li adalah
tenaga kerja, dan K adalah stok pengetahuan/teknologi (technical knowledge)
agregat. K diasumsikan mempunyai efek menyebar yang positif terhadap produksi
setiap perusahaan.
Pemikiran kedua (teori learning) dikemukakan oleh Lucas melalui model
akumulasi human capital. Teori learning memasukkan unsur ekstemalitas yang
terkandung dalam peningkatan kapital pada proses produksi. Peningkatan kapital
akan meningkatkan stok public knowledge, sehingga secara keseluruhan proses
produksi dalam skala yang bersifat increasing return to scale.
Akumulasi modal manusia dapat dilakukan melalui pendidikan formal
maupun bukan jalur pendidikan formal (on the job traning). Lucas berpendapat
bahwa ekstemalitas yang dihasilkan oleh investasi dalam pendidikan umum
(termasuk kegiatan produksi) serta investasi dalam beberapa kegiatan tertentu
inilah yang menyebabkan proses bersifat learning by doing.
Model yang dikembangkan oleh Lucas menggunakan dua jenis modal, yaitu
modal fisik dan modal manusia. Rumusan yang digunakan Lukas adalah sebagai
berikut:
𝑌� = 𝐴𝐾�� (𝑢� 𝐻� 𝐿� )��� 𝐻�� .............................................................….. (2.4)
Dimana: Yt adalah output produksi, A adalah konstanta, K adalah stok
modal, L adalah tenaga kerja, u adalah waktu yang digunakan untuk pekerja untuk
berproduksi, H adalah kualitas dari human capital yang merupakan rata-rata
banyaknya pengetahuaan yang dimiliki oleh pekerja. Dengan Ht yang meningkat
sejalan dengan ut maka fungsi produksi akan bersifat increasing return to scale
21
dimana Ht bersifat eksternal yang bergantung pada tingkat ketrampilan rata-rata
tenaga kerja dalam perusahaan tersebut.
2.2. Konvergensi
Menurut Barro dan Sala-i-Martin (1995), tingkat pertumbuhan jangka
panjang ditentukan oleh variabel eksogen pada steady state, dimana k, y dan c per
kapita tidak tumbuh dan variabel agregat K, Y dan C tumbuh pada tingkat laju
pertumbuhan penduduk n, yang dalam persamaan dasar model Solow-Swan
dinyatakan dengan:
γ� =
�̇
�
=𝑠∙
�(�)
�
− (𝑛 + 𝛿) ...............................................................….(2.5)
Dengan k negatif, maka:
̇̇
�
�(�)
��
= 𝑠 ∙ �𝑓 ′ (𝑘) −
�(�)
�
� /𝑘 < 0 ..............................................................(2.6)
Jika nilai k semakin kecil maka nilai 𝑘̇/k lebih besar, ceteris paribus. Hal ini
menunjukkan bahwa perekonomian dengan modal per orang yang lebih rendah
akan tumbuh lebih cepat atau adanya kecenderungan konvergensi. Suatu
daerah/negara yang mulai dengan rasio modal per tenaga kerja yang rendah akan
memiliki tingkat pertumbuhan 𝑘̇/k per kapita yang lebih tinggi. Hipotesis bahwa
ekonomi yang miskin cenderung tumbuh lebih cepat per kapita dibandingkan
yang kaya tanpa melihat karakteristik perekonomian lainnya disebut konvergensi
mutlak (absolute convergence) atau konvergensi nonkondisional (unconditional
convergence).
Hal ini berbeda dengan konvergensi bersyarat atau kondisional (conditional
convergence), yang mengakomodasi heterogenitas perekonomian. Misalnya
daerah yang mempunyai stok kapital yang berbeda per jumlah penduduk atau
memiliki tingkat tabungan (saving rate) yang berbeda. Pada Gambar 10, kondisi
steady state ditentukan oleh persimpangan si . f(k)/k dengan garis (n+δ), dimana
spoor < srich dan k*poor < k*rich, seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pada kondisi
awal k(0)poor < k(0)rich. Secara empiris, dapat dijelaskan bahwa negara-negara yang
mempunyai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi cenderung memiliki tingkat
tabungan yang lebih tinggi. Jika mereka mempunyai tingkat tabungan yang sama,
maka jarak antara si . f(k)/k dengan garis (n+δ) akan lebih tinggi untuk daerah
22
yang miskin dan berlaku (𝑘̇/k)poor > (𝑘̇/k)poor. Sebaliknya, apabila daerah kaya
memiliki tingkat tabungan yang lebih tinggi, perekonomian di daerah tersebut
akan tumbuh lebih cepat daripada daerah miskin. Oleh karena itu, model yang
digunakan untuk memprediksi konvergensi bersyarat menunjukkan bahwa daerah
dengan pendapatan per kapita awal yang lebih rendah akan menghasilkan tingkat
pertumbuhan per kapita yang lebih tinggi, tetapi dengan mengontrol faktor-faktor
yang mempengaruhi kondisi steady state (Quah, 1995).
n+δ
srich . f(k)/k
spoor . f(k)/k
k(0)poor k*poor
k(0)rich
k*rich
Sumber: Barro dan Sala-i-Martin (1995)
Gambar 10 Konvergensi Bersyarat/Kondisional (Conditional Convergence)
2.3. Ketimpangan Wilayah
Capello (2007) menyebutkan bahwa analisis pembangunan wilayah
mensyaratkan dua hal, yaitu pertumbuhan absolut yang menunjukkan kemampuan
sumber daya yang potensial di wilayah tersebut dan pertumbuhan relatif antar
wilayah yang dapat digunakan untuk menginterpretasikan ketimpangan regional
dan kemungkinan dari konvergensi pada tingkat pertumbuhannya atau pendapatan
rata-ratanya. Disparitas pembangunan ekonomi regional merupakan aspek yang
umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada
dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan
perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Akibat
dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses
23
pembangunan ekonomi juga menjadi berbeda. Demikian pula pergeseran
komposisi
sektor-sektor
pembangunan
karena
aktivitas
ekonomi.
Tidak
mengherankan bila di setiap daerah biasanya terdapat wilayah maju dan wilayah
terbelakang akibat transformasi dengan kecepatan yang berbeda.
Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap
tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan
pembangunan antar wilayah ini juga mempunyai implikasi pula terhadap
formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah
daerah. Menurut Sjafrizal (2008) upaya pemerintah, baik pusat maupun daerah,
yang dapat dilakukan dalam rangka penanggulangan ketimpangan pembangunan
antar daerah dalam suatu negara/wilayah yaitu: (i) penyebaran pembangunan
prasarana perhubungan; (ii) mendorong transmigrasi dan migrasi spontan; (iii)
pengembangan pusat pertumbuhan, dan (iv) pelaksanaan otonomi daerah.
Teori pertumbuhan neo-klasik memprediksi hubungan antara tingkat
pembangunan ekonomi nasional dan ketimpangan pembangunan antar wilayah.
Hipotesis ini kemudian dikenal sebagai hipotesis neo-klasik. Dalam hipotesis neoklasik ketimpangan pembangunan pada permulaan proses cenderung meningkat.
Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak.
Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsurangsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. Dengan
kata lain ketimpangan pada negara berkembang relatif lebih tinggi, sedangkan
pada negara maju ketimpangan tersebut relatif lebih rendah. Todaro dan Smith
(2006) menunjukkan ketimpangan pembangunan sebagai kurva kuznets berbentuk
U terbalik, seperti pada Gambar 11.
Ketimpangan di negara berkembang relatif lebih tinggi karena pada waktu
proses pembangunan baru dimulai, kesempatan dan peluang pembangunan yang
ada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi pembangunannya
sudah lebih baik, sedangkan daerah yang masih terbelakang tidak mampu
memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan prasarana dan sarana serta
rendahnya kualitas sumber daya manusia. Oleh sebab itu, pertumbuhan ekonomi
cenderung lebih cepat di daerah dengan kondisi yang lebih baik, sedangkan
daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan (Sjafrizal, 2008).
24
Koefisien Gini
Kurva Ketimpangan
Regional
Pendapatan nasional bruto per kapita
Sumber: Todaro dan Smith (2006)
Gambar 11 Kurva Kuznets tentang Hubungan Pendapatan dan Ketimpangan
Sedangkan di negara yang sudah maju dimana kondisi yang lebih baik dari
segi prasarana dan sarana serta kualitas sumber daya manusia, setiap kesempatan
peluang pembangunan dapat dimanfaatkan secara lebih merata antar daerah. Oleh
sebab itu, proses pembangunan pada negara maju cenderung mengurangi
ketimpangan pembangunan antar wilayah. Perbedaan pendapatan rumah tangga
dalam suatu wilayah mencerminkan adanya ketidakmerataan pendapatan.
Perbedaan pendapatan tersebut juga mengakibatkan perbedaan pola konsumsi dan
pengeluaran konsumsi suatu rumah tangga, sehingga perbedaan pendapatan dapat
dilihat dari perbedaan pola konsumsi dan pengeluaran rumah tangga. Pendekatan
ini digunakan juga dalam penghitungan distribusi pendapatan, yang menunjukkan
porsi pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga dalam
suatu wilayah.
2.4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah
Menurut Sjafrizal (2008), ketimpangan pembangunan dipengaruhi faktorfaktor sebagai berikut:
(1) Perbedaan kandungan sumber daya alam, yang akan mempengaruhi kegiatan
produksi di daerah tersebut. Daerah yang kaya sumber daya alam dapat
memperoduksi barang-barang tertentu dengan harga yang lebih murah
sehingga mempercepat pertumbuhan ekonominya.
25
(2) Perbedaan kondisi demografis, meliputi tingkat pertumbuhan dan struktur
kependudukan, tingkat pendidikan dan kesehatan, kondisi ketenagakerjaan,
tingkah laku dan etos kerja masyarakatnya.
(3) Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa, yang menyebabkan kelebihan
produksi suatu daerah tidak dapat diperdagangkan/dijual ke daerah lain yang
membutuhkan sehingga daerah yang kurang maju tersebut pertumbuhannya
lebih lambat.
(4) Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah akan mendorong peningkatan
penyediaan lapangan kerja dan juga tingkat pendapatan masyarakat.
(5) Alokasi dana pembangunan antar wilayah (investasi yang ditanamkan).
Sumber investasi terdiri dari dua pelaku ekonomi yaitu pemerintah dan
swasta.
Hal yang hampir sama dikemukakan oleh Murty (2000), yang menyatakan
bahwa ketimpangan disebabkan oleh:
(1) Faktor geografi: pada suatu wilayah yang cukup luas akan terjadi perbedaan
distribusi sumber daya alam, sumber daya pertanian, topografi, iklim, curah
hujan, sumber daya mineral dan variasi spasial lainnya.
(2) Faktor sejarah: tingkat perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah sangat
tergantung dari apa yang dilakukan pada masa lalu. Bentuk kelembagaan atau
budaya dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab
yang cukup penting terutama terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas
kerja dan entrepreneurship.
(3) Faktor politik: politik yang tidak stabil akan menyebabkan ketidakpastian di
berbgaai bidang terutama ekonomi, terutama keraguan dalam berusaha atau
berinvestasi bahkan dapat menyebabkan terjadinya crowding out ke luar
daerah.
(4) Faktor kebijakan: kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua
sektor dan lebih menekankan pertumbuhan ekonomi untuk membangun
pusat-pusat pertumbuhan di wilayah tertentu akan menyebabkan kesenjangan,
baik antar sektor, antar pelaku ekonomi maupun antar daerah.
(5) Faktor administrasi: wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik
cenderung lebih maju.
26
(6) Faktor sosial: masyarakat yang tertinggal umumnya tidak memiliki institusi
dan perilaku yang kondusif bagi berkembangnya perekonomian karena masih
percaya pada kepercayaan yang primitif, tradisional dan nilai-nilai sosial yang
cenderung konservatif dan menghambat perkembangan ekonomi.
(7) Faktor ekonomi, yang terkait dengan:
i. Kuantitas dan kualitas faktor produksi: lahan, infrastruktur, tenaga
kerja, modal, organisasi, perusahaan.
ii. Akumulasi dari berbagai sektor: lingkaran setan kemiskinan, kondisi
masyarakat yang tertinggal, standar hidup yang rendah, efisiensi yang
rendah, konsumsi yang rendah, tabungan yang rendah, investasi yang
rendah dan tingkat pengangguran yang meningkat. Sebaliknya dengan
masyarakat maju, mereka semakin meningkatkan taraf hidupnya.
iii. Kekuatan pasar bebas dan pengaruhnya pada spread effect dan
backwash effect: tenaga kerja, modal, perusahaan dan aktivitas ekonomi
seperti industri, perdagangan, perbankan dan asuransi yang memberikan
hasil yang lebih besar, cenderung terkonsentrasi di daerah yang maju.
iv. Distorsi pasar: immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi,
keterbatasan ketrampilan tenaga kerja, dan sebagainya.
Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu
kebijakan pemerintah, faktor endowment dan hasil-hasil pembangunan. Penelitian
ini hanya menganalisis faktor kebijakan pemerintah yang dinyatakan dengan
pengeluaran rutin pemerintah, tingkat pembangunan ekonomi yang menunjukkan
potensi wilayah dinyatakan dengan share sektor pertanian dan manufaktur, serta
hasil pembangunan secara fisik dan non fisik. Infrastruktur dapat digunakan
sebagai proksi untuk melihat hasil pembangunan secara fisik, sedangkan tingkat
pendidikan yang telah dicapai menyatakan hasil pembangunan secara non fisik.
2.4.1. Peranan Pemerintah dalam Perekonomian
Pemerintah mempunyai peranan penting dalam setiap sistem perekonomian
sehingga kebijakan yang dilaksanakan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan
ekonomi regional. Fungsi pemerintah meliputi tiga hal yaitu fungsi alokasi, fungsi
distribusi dan fungsi stabilisasi (Stiglitz, 2000). Fungsi alokasi dilakukan
27
pemerintah karena adanya kegagalan pasar (market failure). Hal ini dilakukan
dengan menyediakan barang dan jasa yang tidak dapat disediakan oleh sistem
pasar yang disebut barang publik agar faktor-faktor produksi dapat digunakan
secara efisien dalam perekonomian. Fungsi distribusi pemerintah bertujuan untuk
menghasilkan distribusi pendapatan yang merata, karena kekuatan dan mekanisme
pasar diyakini tidak akan pernah menghasilkannya. Distribusi pendapatan yang
relatif merata merupakan satu fenomena yang diinginkan oleh masyarakat. Tugas
pemerintah adalah memastikan terdapat pembagian pendapatan yang lebih merata
di antara kelompok-kelompok masyarakat. Selain itu, pemerintah mempunyai
peranan utama sebagai alat stabilisasi perekonomian karena perekonomian yang
sepenuhnya diserahkan kepada swasta akan sangat peka terhadap goncangan
keadaan, misalnya pengangguran dan inflasi untuk menciptakan stabilitas harga
dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Pemerintah dapat memengaruhi perekonomian makro melalui dua saluran
kebijakan: kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal merujuk
kepada perilaku pemerintah di bidang pengeluaran dan perpajakan, dengan kata
lain kebijakan anggarannya. Kebijakan fiskal umumnya dibagi atas tiga kategori,
yaitu: kebijakan yang menyangkut pembelian pemerintah atau barang dan jasa,
kebijakan yang menyangkut perpajakan, dan kebijakan yang menyangkut
pembayaran transfer (seperti kompensasi pengangguran, tunjangan keamanan
sosial, pembayaran kesejahteraan, dan tunjangan veteran) kepada rumah tangga.
Kebijakan fiskal berhubungan erat dengan kegiatan pemerintah sebagai
pelaku sektor publik. Pada prinsipnya kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang
mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal dalam hal
penerimaan pemerintah dianggap sebagai suatu cara untuk mengukur mobilisasi
sumber dana domestik, dengan instrumen utamanya perpajakan. Perpajakan
mempunyai tujuan ganda, yaitu menyediakan dana untuk kepentingan umum dan
memengaruhi tingkah laku ekonomi. Tingkat pajak dapat ditingkatkan untuk
menurunkan permintaan apabila ekonomi sedang baik dan diturunkan kalau ingin
meningkatkan permintaan pada waktu resesi. Perkembangan pengeluaran
pemerintah ditentukan oleh faktor-faktor yang berubah dalam perekonomian,
antara lain perubahan permintaan akan barang publik, perubahan aktivitas
28
pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga perubahan dari
kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi, perubahan
kualitas barang publik dan perubahan harga faktor produksi.
Beberapa teori yang membahas tentang perkembangan pengeluaran
pemerintah menurut Mangkoesoebroto (1997) adalah:
1. Model Rostow dan Musgrave
Model ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan
tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap
lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah
terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan
prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap
menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap
ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar
pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan
menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus
menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu
pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar
sektor yang makin komplek. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan
oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya
pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi
dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam
meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave berpendapat bahwa dalam suatu
proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin
besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada
tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah
dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaranpengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan
pelayanan kesehatan masyarakat.
2. Hukum Wagner
Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran
29
pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap PDB. Apabila
pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun
akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State
Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negaranegara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang), yang menerangkan mengapa
peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama karena pemerintah harus
mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner
adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai
pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan
suatu teori yang disebut teori organisasi mengenai pemerintah (organic theory of
the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak,
terlepas dari anggota masyarakat lainnya.
3. Teori Peacock dan Wiseman
Inti dari teori Peacock dan Wiseman adalah pertumbuhan ekonomi (PDB)
menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak
berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran
pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal,
meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar,
begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar.
Sejak tahun 2001, pemerintah Indonesia menggunakan tata pemerintahan
baru dalam melakukan strategi pembangunan. Undang-Undang Nomor 22 tahun
1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
serta Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
menjadi titik tolak perubahan paradigma peranan pemerintah yang sebelumnya
dilakukan secara sentralistik menjadi desentralisasi. Desentralisasi merupakan
sebuah instrumen untuk mencapai salah satu tujuan negara dalam memberikan
pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan
publik yang lebih demokratis. Desentralisasi didefinisikan sebagai penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Secara umum, konsep desentralisasi terdiri atas Desentralisasi Politik
30
(Political
Decentralization),
Decentralization),
Desentralisasi
Desentralisasi
Fiskal
Administratif
(Fiscal
(Administrative
Decentralization);
dan
Desentralisasi Ekonomi (Economic or Market Decentralization).
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari
desentralisasi. Desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan sebagai suatu
proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi kepada
pemerintah yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintah
dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan
yang dilimpahkan. Implikasi dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah
kewenangan pemerintah daerah yang semakin luas dalam mengelola sumber daya
yang dimiliki maupun dalam melaksanakan pembangunan. Pemerintah daerah
lebih mengetahui keadaan daerahnya sehingga pembangunan dapat direncanakan
dan dilaksanakan dengan lebih baik daripada pemerintah pusat. Apabila terdapat
masalah dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, masalah tersebut
dapat diatasi dengan cepat karena pemerintah daerah lebih mengetahui masalah
tersebut dan beban kerja pemerintah daerah juga lebih sedikit daripada pemerintah
pusat (Sukirno, 1985). Dengan demikian, Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa
pemerintah daerah tidak lagi sekedar menjalankan instruksi dari pemerintah pusat,
tetapi daerah dituntut mampu mengembangkan kreatifitas dan inovasi dalam
mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Pemerintah daerah dapat lebih
berkonsentrasi pada pemberdayaan kekuatan ekonomi lokal, melakukan alokasi
secara lebih efisien pada potensi lokal yang sesuai dengan kebutuhan publik,
sehingga meningkatkan kinerja (kemampuan) keuangan daerah.
Idealnya semua pengeluaran pemerintah daerah dapat dicukupi dengan
menggunakan PAD (Pendapatan Asli Daerah) sehingga daerah benar-benar
otonom. Namun kemampuan daerah yang berbeda-beda menyebabkan pemerintah
perlu melakukan mekanisme transfer melalui dana perimbangan agar terjadi
pemerataan kemampuan fiskal di setiap daerah. Dana Perimbangan Keuangan
Pusat – Daerah (PKPD) terdiri dari bantuan umum (block grant) dan bantuan
khusus (spesific grant). Bantuan umum meliputi DAU (Dana Alokasi Umum) dan
DBH (Dana Bagi Hasil), yaitu Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil
Sumber Daya Alam. Tujuan utama DAU adalah memperkuat kondisi fiskal daerah
31
dan mengurangi ketimpangan antar daerah (horizontal imbalance). Pada awal
penerapannya, DAU dimanfaatkan untuk membiayai
pengeluaran rutin.
Sedangkan DBH bertujuan untuk mengurangi ketimpangan pusat – daerah
(vertical imbalance). Kebijakan DBH SDA dilakukan agar masyarakat daerah
dapat merasakan hasil sumber daya alam yang dimilikinya karena selama
pemerintahan sentralistik, hasil SDA lebih banyak dinikmati oleh pemerintah
pusat. DBH Pajak banyak diperoleh dari kota-kota metropolitan yang merupakan
tempat konsentrasi perusahaan dan bisnis.
2.4.2. Tingkat Pembangunan Ekonomi
Teori perubahan struktur perekonomian memperlihatkan hubungan antara
besarnya pendapatan per kapita dengan persentase sumbangan berbagai sektor
ekonomi terhadap produksi nasional. Peranan berbagai sektor ekonomi pada
tingkat pembangunan ekonomi menjadi landasan penentuan sumber-sumber daya
ke berbagai sektor ekonomi (Sukirno, 1995). Bagaimana suatu negara mencapai
kemajuan dapat melalui cara yang berbeda, tergantung pada sumber daya yang
tersedia dan potensi yang dimilikinya termasuk tingkat pendapatan pada awal
pembangunan dan keunggulan komparatif relatif terhadap negara lainnya.
Chenery (1980) menyatakan bahwa struktur ekonomi wilayah terbelakang akan
berubah dari waktu ke waktu dengan adanya industri-industri baru yang
menggantikan pertanian tradisional sebagai mesin pertumbuhan ekonomi.
Wilayah yang maju dan terbelakang mempunyai pola pembangunan ekonomi
yang tidak sama dengan latar belakang geografis yang berbeda sehingga secara
alami ketimpangan wilayah merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Bose
et al. (2005) juga meneliti bahwa tingkat pembangunan ekonomi menentukan
keuangan publik optimal suatu wilayah.
2.4.3. Pendidikan Tenaga Kerja
Pendidikan merupakan faktor produksi yang tidak dapat dipisahkan dari
tenaga kerja karena menentukan kualitas tenaga kerja. Modal dan sumber daya
alam hanyalah merupakan faktor produksi pasif, sedangkan manusia merupakan
agen yang aktif yang dapat mengakumulasi modal, mengeksploitasi sumber daya
32
alam serta membangun kehidupan sosial, ekonomi dan politik serta membawa
kemajuan bagi pembangunan nasional (Todaro dan Smith, 2006). UNESCO
(2008) menyatakan arti penting pendidikan sebagai berikut:
(1) Pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan
seseorang sehingga menjadi lebih efektif dan produktif yang pada gilirannya
dapat meningkatkan penghasilan secara memadai untuk mendorong
peningkatan pendapatan,
(2) Pendidikan berpengaruh terhadap peningkatan derajat kesehatan dan gizi,
(3) Pendidikan akan meningkatkan mutu standar hidup,
(4) Pendidikan akan mendorong proses pembangunan sosial melalui penguatan
kohesi dalam masyarakat dan membuka peluang serta kesempatan yang lebih
baik.
2.4.4. Infrastruktur
Infrastruktur penting bagi kegiatan produksi dan dapat memengaruhi kegiatan
ekonomi dalam berbagai cara baik secara langsung maupun tidak langsung.
Infrastruktur tidak hanya merupakan kegiatan produksi yang akan menciptakan
output dan kesempatan kerja, namun keberadaan infrastruktur juga memengaruhi
efisiensi dan kelancaran kegiatan ekonomi di sektor-sektor lainnya (Gambar 12).
Infrastruktur
Pendapatan
Dunia Usaha
Pendapatan
Rumah Tangga
Peningkatan
Kesejahteraan
Pengembangan
Pasar
Penurunan
Biaya
Pertumbuhan
Ekonomi
Sumber: Cicilia dalam Sibarani (2002)
Gambar 12 Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi
33
World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga, yaitu:
1. Infrastruktur ekonomi, merupakan aset fisik yang diperlukan untuk menunjang
aktivitas ekonomi baik dalam produksi maupun konsumsi final, meliputi public
utilities (tenaga, telekomunikasi, air minum, sanitasi dan gas), public work
(jalan, bendungan, kanal, saluran irigasi dan drainase) serta sektor transportasi
(jalan, rel kereta api, angkutan pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya).
2. Infrastruktur sosial, merupakan aset yang mendukung kesehatan dan keahlian
masyarakat, meliputi pendidikan (sekolah dan perpustakaan), kesehatan (rumah
sakit dan pusat kesehatan), perumahan dan rekreasi (taman, museum dan lainlain).
3. Infrastruktur administrasi/institusi, meliputi penegakan hukum, kontrol
administrasi dan koordinasi serta kebudayaan.
Infrastruktur juga dapat digolongkan menjadi infrastruktur dasar dan
pelengkap. Infrastruktur dasar (basic infrastructure), meliputi sektor-sektor yang
mempunyai karakteristik publik dan kepentingan yang mendasar untuk
perekonomian lainnya, tidak dapat diperjualbelikan (non tradable) dan tidak dapat
dipisah-pisahkan baik secara teknis maupun spasial. Contohnya jalan raya, rel
kereta api, pelabuhan laut, drainase, bendungan, dan sebagainya. Sedangkan
infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) misalnya gas, listrik,
telepon dan pengadaan air minum. Infrastruktur dasar biasanya diselenggarakan
oleh pemerintah karena sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Namun
dalam penyediaannya, pemerintah dapat bekerja sama dengan badan usaha sesuai
dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2005 tentang
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.
Walaupun pengadaan infrastruktur bisa dilakukan dengan kerja sama dengan badan
usaha yang telah ditunjuk, tidak semua layanan infrastruktur bisa dilaksanakan oleh
pihak swasta karena ada layanan infrastruktur yang memerlukan modal yang besar
dengan waktu pengembalian yang lama dan resiko investasi yang besar.
Fasilitas infrastruktur bukan hanya berfungsi melayani berbagai kepentingan
umum tetapi juga memegang peranan penting pada kegiatan-kegiatan swasta di
bidang ekonomi. Kebutuhan prasarana merupakan pilihan (preference), dimana
tidak ada standar umum untuk menentukan berapa besarnya fasilitas yang tepat di
34
suatu daerah atau populasi. Infrastruktur penting yang akan dianalisis dalam
peneltian ini adalah infrastruktur sosial berupa sarana kesehatan dan infrastruktur
ekonomi yang penting khususnya di Pulau Jawa yaitu listrik, air bersih dan
panjang jalan.
Pembangunan kesehatan menjadi bagian integral dari pembangunan
nasional karena masyarakat yang sehat akan menghasilkan tenaga kerja yang
sehat dan merupakan input penting dalam kegiatan ekonomi. Negara-negara yang
mempunyai tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah menghadapi tantangan
yang lebih berat untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan dibandingkan dengan
negara yang lebih baik tingkat kesehatan dan pendidikannya. Tenaga kerja yang
berkualitas akan mempunyai peluang yang lebih besar untuk lebih produktif,
mempunyai kesempatan kerja yang lebih besar, memperoleh pendapatan yang lebih
tinggi, dan menghasilkan output ekonomi yang lebih besar juga. Pelayanan
kesehatan melalui rumah sakit dan puskesmas serta pelayanan kesehatan lainnya
diharapkan meningkatkan mutu kesehatan yang menjangkau seluruh masyarakat
untuk mewujudkan pembangunan kesehatan yang merata. Puskesmas merupakan
sarana pelayanan kesehatan yang memasyarakat sampai di daerah terpencil (tidak
seperti rumah sakit yang secara relatif hanya berada di kota atau ibukota
kabupaten saja), maka penggunaan data jumlah puskesmas dalam penelitian ini
diharapkan dapat mewakili jumlah fasilitas kesehatan secara representatif di
seluruh Pulau Jawa.
Kebutuhan akan listrik menjadi tuntutan primer yang harus dipenuhi seiring
dengan kemajuan pembangunan, tidak hanya untuk rumah tangga namun juga
untuk kegiatan ekonomi terutama industri. Semakin banyak peralatan rumah tangga,
peralatan kantor serta kegiatan produksi yang mengandalkan sumber energi dari
listrik karena praktis. Sebagian besar kebutuhan listrik di Indonesia dipenuhi oleh
PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Selain listrik, infrastruktur ekonomi yang penting adalah air bersih, yang
merupakan kebutuhan vital yang mutlak diperlukan dalam kehidupan manusia.
Penggunaan air terbesar berdasarkan sektor kegiatan dapat dibagi ke dalam tiga
kelompok besar yaitu kebutuhan domestik, irigasi pertanian dan industri.
Kebutuhan air domestik digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga
35
sehari-hari. Air untuk sektor pertanian digunakan untuk irigasi dalam rangka
memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang terus bertambah. Dan dalam bidang
industri, air bersih merupakan faktor penting dalam proses produksi.
Infrastruktur jalan merupakan salah satu infrastruktur pengangkutan yang
berperan dalam merangsang pertumbuhan ekonomi karena ketersediaan jalan akan
meminimalkan modal komplementer dalam upaya mengefisienkan proses produksi
dan distribusi. Pembangunan prasarana jalan turut akan meningkatkan pertumbuhan
wilayah-wilayah baru dengan meningkatnya volume lalu lintas. Sebaiknya
prasarana jalan yang buruk dan rusak akan menghambat alokasi sumber daya,
pengembangan industri, pendistribusian faktor produksi, barang dan jasa, yang pada
akhirnya akan memengaruhi pendapatan. Ikhsan (2004) mengemukakan bahwa
jalan raya akan memengaruhi biaya variabel dan biaya tetap. Jika infrastruktur harus
dibangun sendiri oleh sektor swasta, maka biaya akan meningkat secara signifikan
dan menyebabkan cost of entry untuk suatu kegiatan ekonomi menjadi sangat mahal
sehingga kegiatan-kegiatan ekonomi yang sebetulnya secara potensial mempunyai
keunggulan komparatif menjadi tidak bisa terealisasikan karena tidak tersedianya
infrastruktur.
2.5. Tinjauan Empiris
Ding dan Knight (2008) melakukan penelitian dengan model Solow yang
diperluas dengan memasukkan variabel modal manusia dan perubahan struktural
selama periode tahun 1980 – 2000 dengan interval waktu analisis 5 tahunan untuk
mengurangi sensitifitas siklus bisnis dari data tahunan. Variabel dependen yang
digunakan adalah PDB riil per pekerja di Cina dan negara-negara pembandingnya
yang diteliti. Sedangkan variabel dependen meliputi saham tabungan diproksi
dengan investasi di PDB riil, data penduduk usia 15-64 tahun untuk menghitung
penduduk usia kerja, modal manusia diproksi dengan rata-rata lama sekolah di
atas usia 15 tahun, jumlah angkatan kerja dan tenaga kerja pertanian. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi internasional bervariasi,
dimana investasi modal fisik, perubahan struktur kerja, konvergensi bersyarat dan
pertumbuhan penduduk merupakan sumber utama perbedaan pertumbuhan Cina
dan negara-negara lainnya.
36
Penelitian konvergensi pendapatan dilakukan oleh Ralhan dan Dayanandan
(2005) dengan level data 10 provinsi di Kanada selama periode tahun 1981 –
2001, dengan menggunakan interval waktu analisis 5 tahunan. Variabel dependen
yang digunakan adalah NPDP (Net Provincial Domestic Product) per kapita riil
dan variabel independennya adalah tingkat pertumbuhan tenaga kerja pada usia 15
– 64 tahun dan investasi riil. Analisis dilakukan dengan mengadopsi model
pertumbuhan
Solow
dinamik
dengan
teknik
estimasi
GMM
dan
membandingkannya dengan model data panel lainnya yaitu pendekatan fixed
effect dan random effect. Hasil penelitian ini dapat menyatakan bahwa tingkat
kemajuan teknologi dan fungsi produksi provinsi-provinsi di Kanada berada pada
tingkat tertentu dan homogen. Tingkat konvergensi pendapatan per kapita
mencapai 1,5 persen jika dilakukan dengan OLS dan teknik lainnya, namun
meningkat hingga mencapai 6 sampai dengan 6,5 persen jika dilakukan dengan
teknik GMM. Konvergensi personal disposible income di antara provinsi-provinsi
di Kanada berada pada tingkat 2,89 persen.
Selanjutnya Badinger et al. (2002) melakukan penelitian konvergensi
regional menggunakan sampel 196 negara-negara Eropa selama periode tahun
1985 – 1999 dengan variabel pendapatan dan investasi. Analisis dilakukan dengan
memperhitungkan efek spasial dalam model data panel dinamis karena daerah
yang diamati tidak menerapkan ekonomi tertutup, sehingga harus menunjukkan
interaksi ekonomi dan ketergantungan spasial. Oleh karena itu diperlukan spatial
filtering untuk menghilangkan hubungan spasial tersebut sebab ketidaktahuan
spasial dapat mengakibatkan hasil yang berpotensi menyesatkan. Dengan
menerapkan estimasi GMM terhadap variabel filter, didapatkan kecepatan
mencapai konvergensi 6,9 persen dan elastisitas modal sebesar 0,43.
Penelitian berikutnya juga dilakukan di negara-negara Eropa yang meliputi
206 daerah NUTS II EU15 selama kurun waktu 1989 – 2000 dengan
menggunakan variabel pendapatan, penduduk, tingkat investasi daerah, share
sektor pertanian sebagai proksi tingkat teknologi daerah, dan pembayaran dana
transfer. Penelitian ini dilakukan oleh Bussoletti dan Esposti (2004) menggunakan
model ekonometrik konvergensi bersyarat dalam bentuk data panel dinamis
karena model ini lebih konsisten daripada model statis. Estimasi GMM diterapkan
37
untuk memperoleh perkiraan dari parameter konvergensi yang mencapai 5 sampai
7,5 persen. Teknik ini juga digunakan untuk melihat pengaruh variabel
independen terhadap variabel dependen. Kebijakan regional berupa dana transfer
memberikan pengaruh yang positif sedangkan share sektor pertanian berdampak
negatif terhadap pendapatan.
Identifikasi konvergensi di Indonesia dilakukan oleh Rumayya et al. (2005)
menggunakan data PDRB perkapita atas dasar harga tahun 1983 untuk crosssection 30 kabupaten/kota di Jawa Timur selama periode 1983 – 2001.
Konvergensi β diperoleh dengan mempertimbangkan heterogenitas spasial dan
ketergantungan spasial. Pemodelan dilakukan dengan statistik GI* untuk melihat
cluster daerah berpenghasilan tinggi di bagian tengah dan timur serta cluster
berpenghasilan rendah di bagian barat Jawa Timur. Regresi OLS dan GLS pada
model konvergensi absolut tidak menemukan proses konvergensi. Proses
konvergensi ini hanya ditemukan dalam model spasial konvergensi mutlak
regresif untuk kelompok kaya saja, sedangkan kelompok miskin tidak. Model
cross-regresif spasial konvergensi mutlak β menemukan bahwa koefisien lag
spasial pendapatan awal adalah positif dan signifikan. Hal ini menunjukkan
adanya ketergantungan ruang yang dapat menjelaskan pertumbuhan pendapatan
kabupaten/kota di Jawa Timur, dimana pertumbuhan dipengaruhi oleh pendapatan
awal tetangganya. Wilayah yang dikelilingi oleh tetangga kaya akan tumbuh lebih
cepat dibandingkan bila dikelilingi oleh tetangga miskin. Hal ini disebabkan
spillover teknologi dan keuangan, artinya teknologi dan biaya produksi suatu
wilayah tidak hanya ditentukan oleh faktor kawasan tetapi juga tingkat teknologi
tetangganya (adanya eksternalitas dari sisi penawaran).
Belajar dari negara Cina dalam mengurangi kemiskinan, de Janvry et al.
(2005) meneliti bahwa tanpa kegiatan non pertanian, kemiskinan di perdesaan
akan jauh lebih tinggi dan lebih dalam serta ketimpangan akan meningkat, artinya
kegiatan non pertanian memiliki pengaruh spillover yang positif terhadap
produksi rumah tangga pertanian. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
pengurangan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan adalah pendidikan, jarak
yang dekat dengan kota, wilayah sekitarnya dan pengaruh perdesaan untuk
mendapatkan akses di bidang pertanian. Penelitian lainnya mengkaji ketimpangan
38
pendapatan dari sektor non pertanian dipengaruhi oleh pendidikan, upah dan
wirausaha (Liu dan Sicular, 2008).
Hasil penelitian di Nigeria menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan di
perdesaan lebih tinggi dari pada di perkotaan walaupun pendapatan di sektor
pertanian menurunkan ketimpangan (Oyekale et al., 2006). Peningkatan
ketimpangan dipengaruhi oleh urbanisasi, tempat tinggal yang berada di daerah
yang miskin, ukuran rumah tangga, pendidikan formal kepala rumah tangga,
lamanya sakit, keterlibatan dalam pekerjaan yang dibayar dan bisnis non
pertanian, adanya kredit formal dan informal. Sementara itu Omilola (2009)
meneliti fenomena ketimpangan pendapatan yang diklasifikasikan menjadi tiga,
yaitu penghasilan rumah tangga pertanian yang menggunakan irigasi, tadah hujan
dan non pertanian. Ketimpangan terkecil berada pada rumah tangga yang
pendapatannya berasal dari non pertanian, sedangkan yang terbesar adalah rumah
tangga pertanian yang menggunakan irigasi.
2.6. Kerangka Pemikiran
Pembangunan perekonomian di suatu wilayah diupayakan untuk mencapai
tingkat kesejahteraan yang optimal walaupun pada tingkat pembangunan berbeda.
Penelitian perekonomian di Pulau Jawa ini memasukkan variabel tingkat
pembangunan ekonomi yang diproksi dengan share (kontribusi) sektor pertanian
dan sektor manufaktur karena menentukan output produksi setiap daerah. Adanya
keseimbangan umum dalam setiap input produksi dilakukan oleh pelaku-pelaku
ekonomi. Oleh karena itu penelitian ini menggabungkan peranan pemerintah dan
swasta (termasuk di dalamnya rumah tangga) dalam meningkatkan output
perekonomian, yang merupakan proksi dari pendapatan regional. Peranan
pemerintah dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penerimaan dan pengeluaran, sesuai
dengan format APBD sejak diberlakukannya desentralisasi fiskal. Variabel yang
dikaji dalam sisi penerimaan adalah pajak, sedangkan dari sisi pengeluran adalah
belanja rutin yang merupakan belanja keperluan operasional untuk menjalankan
kegiatan rutin pemerintahan dan belanja pembangunan yang merupakan
pengeluaran yang berkaitan dengan proyek-proyek yang meliputi belanja modal
39
dan belanja penunjang. Selanjutnya peranan swasta dilihat menurut faktor-faktor
produksi, meliputi investasi, tenaga kerja dan pendidikan tenaga kerja.
Ukuran kesejahteraan yang biasanya digunakan dalam penelitian-penelitian
kewilayahan adalah PDRB, yang menunjukkan output regional yang dihasilkan,
tanpa memperhatikan kepemilikan faktor produksinya. Sekalipun pemilik faktor
produksinya berasal dari luar wilayah, namun jika kegiatan ekonominya dilakukan
di wilayah tersebut, tetap dihitung dalam PDRB. Oleh karena itu sebagai ukuran
kesejahteraan rakyat, PDRB mempunyai kelemahan karena kurang mampu
merepresentasikan tingkat kesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya. Ukuran
kesejahteraan masyarakat yang seyogyanya digunakan adalah pendapatan yang
diperoleh dari aktivitas ekonomi seluruh masyarakat. Karena ukuran ini sangat
sulit diperoleh, penelitian ini menggunakan proksi jumlah pengeluaran yang
dilakukan oleh rumah tangga. Angka ini diharapkan lebih menjelaskan seberapa
besar kebutuhan masyarakat telah terpenuhi jika dilihat dari sisi konsumsi.
Agar dapat melihat konvergensi dari sisi pendapatan regional dan
pendapatan rumah tangga, penelitian ini menggunakan dua pendekatan. Pertama,
pendekatan pendapatan melalui total output yang dihasilkan setiap wilayah yang
tercermin dalam nilai PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Data yang
digunakan adalah PDRB atas dasar harga konstan 2000 sehingga menghilangkan
pengaruh inflasi. Kedua, pendekatan pendapatan rumah tangga secara agregat,
yang diproksi dengan menggunakan data pengeluaran rumah tangga yang
diperoleh dari data Susenas. Data pengeluaran juga telah dideflasi dengan
menggunakan deflator PDRB. Berdasarkan beberapa pendekatan tersebut,
diharapkan adanya implikasi kebijakan yang lebih dapat diaplikasikan secara
nyata demi kesejahteraan masyarakat.
40
Perekonomian Pulau Jawa
Tingkat Pembangunan Ekonomi
Share
Pertanian
Pemerintah
Penerimaan
Share
Manufaktur
Swasta
Pengeluaran
Rutin
Pembangunan
Investasi
Tenaga
Kerja
Pendidikan
Tenaga Kerja
Konvergensi
Infrastruktur
Puskesmas
Listrik
Air Bersih
Jalan
Analisis Ketimpangan Wilayah
Pendekatan Pengeluaran
Rumah Tangga
Pendekatan
PDRB
Implikasi Kebijakan
Gambar 13 Kerangka Pemikiran Penelitian
41
2.7. Hipotesis
Berdasarkan permasalahan, tujuan dan kerangka pemikiran tersebut, maka
hipotesis dari penelitian ini adalah:
1.
Ketimpangan between dan within provinsi terjadi di Pulau Jawa.
2.
Konvergensi yang dihitung dari pendekatan PDRB maupun pengeluaran
rumah tangga terjadi di Pulau Jawa secara keseluruhan dan di tiga provinsi
(Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur).
3.
Pengeluaran rutin pemerintah dapat mengurangi ketimpangan wilayah sesuai
dengan tujuannya.
4.
Tingkat pembangunan ekonomi dan transformasi perekonomian di daerah
menentukan keberhasilan pemerataan pembangunan regional.
5.
Tingkat pendidikan tenaga kerja yang mendorong peningkatan produktivitas
ekonomi diharapkan juga mengurangi ketimpangan wilayah.
6.
Pembangunan infrastruktur diharapkan dapat mengurangi kesenjangan
wilayah.
Halaman ini sengaja dikosongkan.
Download