BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Kehadiran seorang anak ditengah sebuah keluarga adalah merupakan anugerah yang terindah bagi orang tua dari Tuhan Yang Maha Esa. Anak merupakan penerus garis keturunan keluarga tetapi anak juga tititipan Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga dan dirawat dengan sepenuh hati. Tumbuh dan berkembangnya kehidupan seorang anak sangat ditentukan oleh peran serta keluarga dan lingkungan sosial. Namun pada realitanya, tidak semua hal seperti di atas benar-benar terlaksana. Hal ini kita lihat pada situasi dimana seorang ibu dihadapkan pada kondisi bayinya yang tidak sempurna, maka tidak jarang terjadi penolakan akan pengakuan keberadaan anak tersebut. Penolakan juga terjadi pada anak yang sudah beranjak tumbuh dan berkembang, dimana hal tersebut akibat suatu kondisi kerusakan ataupun penyakit yang melanda fisik/mental anak. Apabila sudah berada dalam posisi demikian maka ada saja orang tua yang tega membuang anaknya dari sejak bayi, melontarkannya di suatu tempat ataupun sengaja menitipkan anaknya di sebuah organisasi sosial dengan dalih untuk sementara saja. Hal inilah yang sering dijumpai pada anak penyandang cacat, seperti halnya yang terjadi pada anak tunanetra. Namun ada juga yang menitipkannya di sebuah yayasan sosial agar mendapat pendidikan dan pelatihan yang sesuai untuk tunanetra agar kelak mampu mandiri. Kita ketahui bahwa di negara-negara Asia nasib penyandang cacat kurang beruntung termasuk di Indonesia. Perhatian masyarakat dan pemerintah terhadap penyandang cacat sangat rendah. Dari sekitar 20-25 juta penyandang cacat di Indonesia, sekitar 10 juta adalah lansia, dan lainnya adalah penyandang cacat lain. Universitas Sumatera Utara Sedangkan menurut perkiraan Direktorat Pendidikan Luar Biasa (PLB) jumlah anak cacat usia sekolah sekitar 1.500.000 anak, dari jumlah tersebut yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) hanya sebanyak 55.836 anak atau setara dengan 3, 72 % saja.(www.dradio1034fm.or.id) Kini, 210 juta jiwa penduduk telah mendiami negara Indonesia. Mereka tersebar di ribuan pulau dalam beragam etnis, budaya, dan agama. Sementara dari 210 juta jiwa penduduk tersebut 5 % nya kalangan cacat. Mereka adalah penyandang cacat tunanetra, tuna rungu, tuna daksa, dan cacat mental/tuna grahita.(www.wakatwarta.id.com) Mata sebagai indera penglihatan dalam tubuh manusia menduduki peringkat utama, sebab sepanjang waktu selama manusia terjaga mata akan membantu manusia untuk beraktivitas, di samping indera sensoris lainnya seperti pendengaran, perabaan, penciuman, dan perasa. Begitu besar peran mata sebagai salah satu dari pancaindera yang sangat penting, maka dengan terganggunya indera penglihatan seseorang berarti ia akan kehilangan fungsi kemampuan visualnya untuk merekam objek dan peristiwa fisik yang ada di lingkungannya. (Efendi Mohammad, 2006:29) WHO memperkirakan jumlah orang buta di seluruh dunia adalah 45 juta, sepertiga di antaranya terdapat di Asia Tenggara. Organisasi kesehatan dunia itu juga memperkirakan ada 12 orang menjadi buta setiap menit di dunia ini, 4 orang di antaranya berada di Asia Tenggara. Sedangkan di Indonesia diperkirakan setiap menit ada orang menjadi buta dengan berbagai sebab, dan sebagian besar dari mereka berada di daerah miskin. Bagi negara, anak-anak merupakan alat generasi penerus bangsa dalam menunjang kegiatan pembangunan yang berbasis pada sumber daya manusia. Hal ini sesuai dengan amanat negara Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945, dimana tujuan negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Universitas Sumatera Utara Indonesia, memajukan kesejaheraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.(Rukminto Adi, Isbandi. 2003:39) Untuk mencapai tujuan tersebut maka negara telah membuat berbagai kebijakan yang mengatur tentang hak dan kewajiban negara dalam menjamin kesejahteraan warganya. Adapun salah satu bentuknya yaitu dengan dipeliharanya anak-anak terlantar oleh negara ataupun anak-anak yang tidak berfungsi sosial dengan baik. Namun dewasa ini tanggungjawab seperti itu tidak hanya lembaga pemerintah saja yang melakukannya tetapi lembaga non pemerintah dan masyarakat pun ikut berpatisipasi. Seperti halnya dengan para penyandang cacat yang memang sangat membutuhkan perhatian dari negara. Pemerintah wajib mensejahterakannya walaupun dengan keterbatasan fisik/psikis yang mereka derita. Sebab seringkali dalam realita kehidupan mereka mengalami diskriminasi dan perlakuan yang tidak baik. Penyandang cacat bukanlah sesuatu yang harus dihindari/disingkirkan, justru dengan kondisi mereka seperti itu patut untuk dibantu agar mereka dapat berfungsi sosial kembali dengan keterbatasan yang dimiliki sehingga mampu mandiri ditengah-tengah masyarakat luas. Kehadiran anak tunanetra tidak mengenal sekat suku bangsa, agama, golongan, ras, atau status. Mereka hadir tanpa harus memberikan tanda-tanda khusus sebagaimana layaknya fenomena alam lainnya. Menyikapi keadaan tersebut, sebaiknya tidak perlu mempersoalkan perihal ia hadir dengan keterbatasan fungsi penglihatannya, tetapi perlu dipikirkan bantuan apa yang dapat kita berikan agar mereka dapat menerima keadaannya. (Efendi Mohammad, 2006:29) Jumlah penyandang cacat yang begitu besar tersebut perlu mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah agar mereka tidak selamanya terbelenggu dengan kecacatannya, sehingga menjadi beban keluarganya, masyarakat maupun pemerintah. Langkah yang dianggap paling efekif adalah dengan memberikan pendidikan dan Universitas Sumatera Utara pelatihan keterampilan yang memadai bagi mereka, sehingga mereka dapat melayani dirinya sendiri dan tidak tergantung orang lain, baik secara ekonomi maupun social ( Jurnal PKS Vol III No.7, Maret 2004: 4) Secara umum di Indonesia memang banyak terdapat lembaga sosial maupun organisasi sosial, namun dalam operasionalnya tidak sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Hal Ini dikarenakan banyak lembaga sosial maupun organisasi sosial yang masih bersifat penerimaan saja, sarana dan prasarana yang minim dan tidak memiliki pengembangan untuk kedepannya. YAPENTRA adalah salah satu bentuk yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan dan juga pelatihan keterampilan bagi tunanetra. YAPENTRA lahir melalui gagasan gereja yang merupakan bahagian daripada diakoni dan sosial yang termasuk di dalamnya. Pada masa awal gereja-gereja secara oikumenis turut serta menjadi penggagas sampai yayasan berdiri. Hari berdirinya ditetapkan tanggal 30 Oktober 1978 dan resmi terdaftar sebagai Lembaga Pendidikan Tunanetra dengan No. 006/I 05/A.88 dan Organisasi Sosial melalui Surat Tanda Pendaftaran No. 467.6/4169 dari pemerintah. Sesuai dengan Akte Notaris No. 44 tanggal 20 April 1977 disebut pendirinya DR. Andar Lumbantobing, Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI), Ds. Karel Sianturi, Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI) dan Hildesheimer Blinden Mission (HBM) Jerman. Selanjutnya, sebelum tahun 1994, Karel Sianturi meninggal dunia dan tahun 1997 DR. Lumbantobing meninggal dunia, sementara tahun 1994 Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI) sudah menarik diri, maka badan pendiri sekarang hanya ada 2 yaitu Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) dan Hildesheimer Blinden Mission (HBM) Jerman. Universitas Sumatera Utara Dalam pelaksanaannya yayasan ini mendukung penuh pelaksanaan daripada fungsifungsi kesejahteraan sosial, yang diwujudkan melalui usaha rehabilitasi medik dan pengembangan sumber daya manusia (dalam hal ini anak-anak tunanetra). Untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan warga binaan maka YAPENTRA melakukan pelayanan kesejahteraan sosial bersifat secara langsung (direct services) yang khususnya ditujukan bagi tunanetra, dimana seharusnya mereka dapatkan dari keluarga. YAPENTRA merupakan organisasi sosial yang tidak hanya bergerak dalam bidang pengasuhan saja tetapi juga dalam hal pemberdayaan institusi terutama pendidikan formal dan keterampilan. Adapun usaha kesejahteraan sosial yang diberikan YAPENTRA ini adalah pelayanan sosial meliputi pengasuhan anak yang diwujudkan dalam bentuk asrama, pendidikan formal, pembinaan rohani, kegiatan olahraga seperti tenis meja dan senam, latihan musik, paduan suara, rekreasi, dan bermain sebagai kegiatan sosialisasi mereka. Pada umumnya warga binaan yang ada di yayasan ini berasal dari berbagai latar belakang masalah, antara lain: dibuang oleh orangtuanya, dititipkan oleh orangtua, dan karena keluarganya yang miskin. Untuk memenuhi semua kebutuhan warga binaan di yayasan maka YAPENTRA memperoleh dukungan dana dari para donator baik yang tetap maupun yang tidak tetap, sumbangan dari organisasi-organisasi, gereja-gereja, perkantoran, orang tua asuh, serta hasil usaha penjualan produk dan pemberdayaan lahan milik yayasan, dan lain-lain. Pada kenyataannya penerapan fungsi-fungsi kesejahteraan sosial yang diberikan oleh yayasan memepunyai keterbatasan baik dari pelaksanaannya maupun warga binaan itu sendiri. Masalah dan hambatan dalam usaha penerapan fungsi-fungsi kesejahteraan sosial tersebut adalah keadaan sarana dan prasarana klinik mata yang belum memadai seutuhnya, tenaga ahli, minat dan motivasi warga binaan yang masih rendah dalam Universitas Sumatera Utara meningkatkan potensi dan kemampuan mereka, serta minimnya kesempatan kerja bagi warga binaan lulusan YAPENTRA selain tukang pijat. Hal inilah yang menyebabkan ketidakmaksimalan yayasan dalam menerapkan fungsi-fungsi kesejahteraan yang mereka gunakan. Berdasarkan penjabaran diatas maka penulis tertarik untuk meneliti dan mengetahui tentang penerapan fungsi penyembuhan (curative) dan fungsi pengembangan (development) di YAPENTRA. I.2. Perumusan Masalah Perumusan masalah adalah langkah yang penting untuk membatasi masalah yang akan diteliti. Masalah adalah bagian pokok dari kegiatan penelitian (Arikunto, 1992 : 47). Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Penerapan Konsep Fungsi-fungsi Kesejahteraan Sosial Pada Warga Binaan Oleh Yapentra”. I.3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian I. 3. 1. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui sejauh mana Penerapan Fungsi-fungsi Kesejahteraan Sosial pada warga binaan oleh YAPENTRA. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan warga binaan di YAPENTRA. Untuk mengetahui tujuan yang ingin dicapai dalam Penerapan Fungsi-fungsi Kesejahteraan Sosial di YAPENTRA . Universitas Sumatera Utara I. 3. 2. Manfaat Penelitian Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap pihak-pihak terkait, khususnya YAPENTRA agar kedepannya menjadi lebih baik dan berbasis Ilmu Kesejahteraan Sosial sepenuhnya. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian dan melatih diri serta mengembangkan pemahaman dan kemampuan berpikir melalui penulisan ilmiah dengan menerapkan pengetahuan yang diperoleh selama belajar di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Secara Akademis Sebagai bahan masukan bagi penulis dalam pengembangan Ilmu Kesejahteraan Sosial, khususnya yang berhubungan dengan Fungsi-fungsi Kesejahteraan Sosial. Universitas Sumatera Utara I.4. Sistematika Penulisan Untuk mendapakan gambaran yang terperinci dan untuk mempermudah pemahaman isi, maka penulis membagi penelitian ini ke dalam enam 6 yaitu : BAB I : Pendahuluan Menguraikan bagian pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. BAB II : Tinjauan Pustaka Menguraikan tinjauan pustaka yang terdiri dari konsep-konsep penelitian, kerangka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi operasional. BAB III : Metode Penelitian Menguraikan meode penelitian yang terdiri dari alasan memilih lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data. BAB IV : Deskripsi Lokasi Penelitian Menggambarkan dimana lokasi penelitian dilakukan. BAB V : Analisa Data Menguraikan proses pengumpulan, pengolahan, yang diperoleh dari hasil penelitian beserta analisa data. BAB VI : Penutup Berisikan kesimpulan dan saran atas penelitian yang dilaksanakan. Universitas Sumatera Utara