BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit jantung koroner (penyakit kardiovaskuler) merupakan penyebab kematian terbesar di dunia. Hal tersebut diperkirakan hingga tahun 2020. Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2001 sekitar 17 juta orang meninggal karena penyakit kardiovaskular, 32 juta orang mengalami serangan jantung dan stroke tiap tahunnya, dilaporkan pula lebih banyak menyerang wanita dibanding pria yang pada penelitian-penelitian sebelumnya lebih banyak menyerang pria. Hal tersebut memperlihatkan bahwa penyakit kardiovaskular telah menjadi suatu epidemi global yang tidak membedakan pria maupun wanita, serta tidak mengenal batas geografis dan sosio-ekonomis (Depkes, 2006). Pada tahun 2003 menurut American Heart Association (AHA) terdapat 71 juta orang Amerika yang mengalami penyakit kardiovaskular dan hampir 1 juta orang meninggal dengan penyakit kardiovaskular (Kleinschmidt, 2006). Sindroma koroner akut (SKA) merupakan salah satu manifestasi penyakit jantung yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi, terjadi karena proses pengurangan pasokan oksigen secara akut atau subakut pada miokard dan dipicu oleh adanya robekan plak aterosklerotik (Depkes, 2006). SKA merupakan suatu kondisi kegawat daruratan. Meskipun dunia kedokteran sudah cukup maju dalam bidang kardiovaskuler, namun tingkat kematian 1 penderita infark miokard, dan serangan ulang penderita SKA masih cukup tinggi (Hamm et al., 2011). SKA memberikan dampak berupa gejala fisik dan psikoemosional, yang dapat mempengaruhi kualitas hidup. Tingkat kejadian depresi pada penderita SKA ditemukan cukup sering. Kualitas hidup atau Quality of Life (QOL) secara umum terdiri dari sejumlah besar domain yang meliputi fungsi fisik, psikologis (emosional) dan sosial. Meskipun sistem pelayan kesehatan selalu berfokus untuk mengatasi dan mencegah morbiditas dan mortalitas, namun saat ini sudah berkembang terhadap kekhawatiran terhadap dampak bahaya yang dapat mempengaruhi penderita dalam kehidupan sehari-hari (Silva et al., 2011). Terapi pada SKA dilakukan berdasarkan presentasi klinik penderita. Pada kondisi infark miokard terapi utama yang perlu diberikan salah satunya adalah pemberian antikoagulan yang dikombinasi dengan penggunaan antiplatelet sesegera mungkin. Hal ini bertujuan untuk mencegah trombosis yang lebih luas lagi dan mencegah kondisi yang lebih buruk hingga kematian serta meningkatkan kualitas hidup penderita (Perki, 2010). Antikoagulan yang dapat digunakan antara lain unfractionated heparin (UFH), bivalirudin, fondaparinux, dan enoxaparin. Fondaparinux merupakan salah satu sintetik inhibitor aktivasi faktor X pada proses koagulasi yang pada baru-baru ini sedang dievaluasi penggunaanya pada terapi SKA dengan manifestasi infark miokard dimana memiliki risiko perdarahan yang lebih kecil dibandingkan antikoagulan lain (Schiele et al., 2010). 2 Pada penelitian sebelumnya oleh Mehta membandingkan fondaparinux dan UFH dalam penatalaksanaan terapi SKA baik Infark miokard tanpa elevasi pada segmen ST/Non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) maupun infark miokard dengan elevasi pada segmen ST/ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) diketahui bahwa fondaparinux mengurangi angka kematian dan kejadian iskemik berulang yang lebih baik. Risiko perdarahan pada heparin juga dilaporkan lebih tinggi, hal tersebut dapat menyebabkan tingginya morbiditas jangka panjang yang dapat menyebabkan gangguan pada kualitas hidup. Secara klinis terapi antikoagulan dengan fondaparinux lebih menguntungkan dibandingkan dengan UFH baik pada penderita yang menjalani terapi invansif maupun terapi konservatif (Mehta et al., 2008). Mengingat pentingnya pemilihan antikoagulan yang tepat dalam tata laksana terapi SKA terhadap peningkatan kualitas hidup yang merupakan salah satu tujuan dari terapi SKA, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui perbedaan antara pemberian antikoagulan heparin dan fodaparinux terhadap kualitas hidup penderita SKA. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang maka rumusan masalah yang akan dicari jawabannya dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah perbedaan kualitas hidup penderita SKA yang menggunakan terapi heparin dan fondaparinux? 3 C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: Mengetahui perbedaan kualitas hidup penderita SKA yang menggunakan terapi heparin dengan fondaparinux. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada dokter atau pembuat keputusan di rumah sakit mengenai kualitas hidup pasien SKA untuk dapat menetapkan pilihan terapi antikoagulan yang tepat sehingga dapat meningkatkan keberhasilan terapi dan meningkatkan pelayanan terhadap penderita SKA. Bagi farmasis khususnya farmasi klinik, diharapkan dapat meningkatkan perannya dalam upaya meningkatkan kualitas hidup penderita SKA, serta membina hubungan kerja sama yang baik dengan tenaga kesehatan lain. E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang terkait dengan studi kualitas hidup penderita penyakit kardiovaskular sebagai pendukung penelitian ini adalah: 1. Brown et al., (1999) penelitian berjudul Quality of Life Four Years after Myocardial Infarction: Short Form-36 scores compared with a normal population. Penelitian ini berupa studi kohort dengan 900 sampel penderita infark miokard akut, sampel yang memenuhi kriteria sebanyak 476 dan dianalisis dengan instrumen SF-36. Kesimpulan dari penelitian ini, diketahui bahwa instrumen SF-36 memberikan informasi perbedaan kualitas hidup 4 penderita dengan usia produktif yang bekerja dengan kontrol. Pada penderita dengan usia produktif kualitas hidupnya lebih rendah dibanding kontrol. Penurunan kualitas hidup yang dilaporkan antara lain yaitu penurunan kemampuan fisik, sesak, nyeri dada, kecemasan, dan gangguan tidur. 2. Uchmanowicz et al., (2011) meneliti tentang kualitas hidup penderita SKA dengan komplikasi diabetes dengan judul Influence of Diabetes on HealthRelated Quality of Life Result in Patients with Acute Coronary Angioplasty. Tujuan dari penelitian ini yaitu mengevaluasi dampak diabetes terhadap kualitas hidup penderita SKA sebelum dan 6 bulan setelah terapi invansif dengan Percutaneus Cardiac Intervention (PCI). Metode penelitian studi kohort dengan jumlah sampel 120 orang, yang terdiri dari 60 penderita NSTEMI dan 60 penderita STEMI dilakukan secara prospektif menggunakan kuesioner SF-36. Penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas hidup penderita yang disertai diabetes lebih rendah, baik sebelum maupun 6 bulan setelah dilakukan PCI; laki-laki dan manifestasi klinis STEMI merupakan prediktor positif; diabetes, penyakit multivesel, dan kadar trigliserid tinggi merupakan prediktor negatif pada physical component summary (PCS); diabetes, infark miokard, kadar trigliserid yang tinggi merupakan prediktor negatif pada mental component summary (MCS). 3. Xue, et al., (2012) di Beijing China meneliti tentang perubahan kualitas hidup dan faktor-faktor yang berpengaruh pada penderita SKA setelah menggunakan drug-eluting stent implantation. Penelitian ini dilakukan mulai 5 tahun 2008 dengan sample sebanyak 293 penderita SKA. Instrumen yang digunakan adalah SF-36 dimana membandingkan 134 penderita yang melakukan PCI dengan placebo. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa kualitas hidup penderita dengan PCI meningkat secara signifikan setelah 6 bulan baik dari segi fisik maupun mental. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan adalah pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kualitas hidup penderita SKA yang mendapatkan terapi heparin dan fondaparinux menggunakan instrumen MacNew. MacNew merupakan kuesioner spesifik untuk penyakit kardiovaskular, dan diterjemahkan dalam versi bahasa Indonesia, yang sampai saat ini sepanjang yang penulis ketahui belum pernah dilakukan di Indonesia. Terjemahan kuesioner versi bahasa Indonesia ini dilakukan oleh penerjemah dengan bahasa baku dan akan dilakukan validasi oleh peneliti. 6