daftar isi - IPB Repository

advertisement
4
TINJAUAN PUSTAKA
Cendawan Entomophthorales
Taksonomi Cendawan Entomophthorales
Ordo Entomophthorales termasuk dalam divisi Zygomycota, kelas Zygomycetes (Roy et al. 2006). Famili dalam ordo Entomophthorales yaitu Entomophthoraceae, Neozygitaceae, Completoriaceae, Ancylistaceae, Meristacraceae, dan
Basidiobolaceae (Pell et al. 2001). Genus cendawan entomopatogen dalam famili
Entomophthoraceae yaitu Entomophaga, Entomophthora, Erynia, Eryniopsis, Furia, Massospora, Pandora, Strongwellsea, Tarichium, dan Zoopthora, sedangkan
dalam famili Neozygitaceae yaitu Neozygites (Roy et al. 2006).
Struktur Cendawan Entomophthorales
Identifikasi Entomophthorales biasanya dilakukan berdasarkan pengetahuan
tentang inang (spesies, genus) dan struktur cendawan (Keller 2007). Tipe konidia
sekunder dan model pembentukan merupakan kriteria yang penting. Terdapat 5
tipe pembentukan konidia sekunder (Ben-Ze’ev dan Kenneth 1982 dalam Keller
2007). Tipe I menghasilkan konidia sekunder satu persatu dan kemudian dikeluarkan dengan sedikit tekanan. Biasanya, konidia sekunder dihasilkan dari pertumbuhan yang pendek dari konidia primer. Tipe I tersebut dibagi menjadi tipe Ia
dan Ib. Tipe 1a ditandai dengan bentuk konidia sekunder mirip dengan konidia
primer dan merupakan tipe yang hampir ada di semua jenis cendawan Entomophthorales. Tipe 1b ditandai dengan bentuk konidia sekunder yang berbeda dengan
konidia primer. Ciri tersebut ditemukan pada Erynia, Furia, Pandora, Strongwellsea, Eryniopsis carolinina, Entomophaga ptychopterae, dan Entomophaga
transitans. Tipe II atau kapilikonidia, konidia sekunder dihasilkan satu-persatu,
memiliki tabung kapiler langsing yang muncul pada konidia primer, dan kapilikonidia dilepaskan secara pasif. Konidia sekunder Tipe II ditemukan pada Zoophthora, Neozygites, Orthomyces, dan Eryniopsis lampyridarum. Tipe III atau microconidia, konidia dilepaskan dengan sedikit tekanan, dihasilkan satu persatu dari
pertumbuhan tabung yang muncul dari konidia primer, konidia sekunder mirip
dengan konidia primer tapi ukuran lebih kecil dan biasanya ditemukan pada
5
spesies Conidiobolus. Tipe IV atau microspora, tidak ditemukan pada spesies patogen bagi arthropoda. Tipe V dikenal dengan istilah aquatic secondary conidia,
tetraradiate propagules, tetraradiate conidia, branched, stellate, coronate. Konidia sekunder dihasilkan di dalam air atau ketika kontak dengan air. Ciri tersebut
ditemukan pada beberapa spesies Erynia yang berasosiasi dengan air.
Badan hifa terdapat pada semua spesies, merupakan tahap pertama yang
berkembang dalam infeksi inang atau yang berkembang dari protoplas. Badan hifa pada genus Conidiobolus dan Batkoa berbentuk polymorphic, amoeboid atau
composed dengan sedikit membulat. Badan hifa pada genus Entomophaga berbentuk kecil, pendek, spherical sampai subsperical. Genus Entomophthora memiliki badan hifa yang berbentuk spherical, subsperichal, ellipsoidal sampai bentuk lingkaran kecil (short rod-shaped). Bentuk badan hifa Neozygitaceae yaitu
spherical. Genus Erynia dengan karakteristik badan hifa yaitu spherical sampai
subspherical (Keller 2007).
Konidiofor muncul dari badan hifa. Konidiofor yang terbentuk dapat bercabang (Erynioideae) atau tidak bercabang (Entomophthoroideae). Adapun Tipe cabang konidiofor berupa dikotomus dan digital. Konidia primer tunggal diproduksi
di ujung konidiofor dan dilepaskan secara aktif. Konidia primer yang diproduksi
pada konidiofor tidak bercabang, akan mengandung dua nukleat atau lebih, sedangkan konidia primer yang diproduksi pada konidiofor yang bercabang, biasanya mengandung satu nukleat. Bentuk konidia genus Conidiobolus dan famili Entomophthorideae sebagian besar spherical dan pyriform. Genus Entomophthora
memiliki tubuh konidia spherical dengan papilla demarcated. Konidia primer
Eryniopsis berbentuk memanjang dan sebagian besar epapillate. Konidia tersusun
dari tubuh konidia dan papila. Konidia Neozygitaceae dan Entomophthoroideae
tidak memiliki membran luar (unitunicate), kecuali genus Entomophthora (Keller
2007).
Spora istirahat memiliki struktur dinding berukuran tebal untuk bertahan hidup pada kondisi yang kurang menguntungkan. Umumnya, cendawan Entomophthorales memiliki bentuk spora istirahat spherical, hialin, dan ada beberapa yang
dikelilingi episporium. Spora istirahat spesifik genus hanya dapat ditemukan pada
Neozygites. Spora istirahat pada Neozygites berwarna coklat gelap sampai hitam,
6
spherical atau ellipsoid, berstruktur halus dan binucleate. Spora istirahat lainnya
berbentuk multinucleate. Spora istirahat biasanya tidak cepat menyebar. Spora
tersebut berkecambah dengan tabung kecambah tunggal yang terbentuk dari kecambah konidium (Entomophthoroideae dan Neozygites) atau terbentuk dari beberapa konidia (Keller 2007).
Siklus Hidup Cendawan Entomophthorales
Siklus hidup cendawan Entomophthorales biasanya terdiri dari konidia dan
spora istirahat. Konidia merupakan bentuk spora yang memungkinkan untuk infeksi selama inang aktif. Konidia melekat pada kutikula dan membentuk suatu tabung penetrasi. Multiplikasi atau proses perbanyakan cendawan di dalam inang
berlangsung dari protoplas atau badan hifa. Kolonisasi cendawan dapat terlihat
pada abdomen ataupun seluruh tubuh inang. Umumnya badan hifa akan membentuk konidiofor. Selanjutnya, konidiofor menembus kutikula inang. Konidia primer secara aktif dilepas dengan adanya tekanan hidrostatik. Konidia sekunder dibentuk secara lateral pada konidia primer. Konidia primer relatif mudah pecah
dan lama hidupnya pendek tapi berkecambah dengan cepat. Konidia sekunder
biasanya lengket, ditutupi oleh mukus, dan alat bantu untuk melekat pada inang
(Pell et al. 2001; Keller 2007).
Pertumbuhan cendawan berhenti setelah nutrisi habis dan inang biasanya
mati pada keadaan tahap ini. Pada beberapa spesies, sporulasi terjadi saat inang
masih hidup atau aktif. Saat inang mati, cendawan entomopatogen akan menghasilkan konidia baru untuk menyebar dan menghasilkan spora istirahat untuk bertahan. Spora istirahat merupakan jalan terpenting bagi cendawan Entomophthorales
pada periode bertahan ketika tidak ada inang atau keadaan lingkungan tidak mendukung. Spora istirahat merupakan penggabungan dua badan hifa (zygospora)
atau satu badan hifa (azygospora). Spora istirahat biasanya resisten dan memiliki
dua dinding yang tebal (Pell et al. 2001; Keller 2007).
Aktivitas cendawan dipengaruhi oleh lingkungan abiotik dan biotik. Cendawan entomopatogen membutuhkan kelembaban lebih dari 95% untuk konidia berkecambah, infeksi, sporulasi, dan kecepatan membunuh inang diatur oleh suhu.
Spesis dalam ordo Entomophthorales tidak menghasilkan toksin untuk infeksi dan
7
merupakan patogen yang obligat. Cendawan Entomophthorales biasanya menjaga
inang tetap hidup sampai semua sumber dimanfaatkan (Roy et al. 2006).
Trips (Ordo Thysanoptera)
Bioekologi
Siklus hidup trips terdiri atas telur, dua instar larva yang aktif makan, dua
atau tiga instar tidak aktif makan (prapupa dan satu atau dua instar pupa). Trips
famili Phlaeotripidae menyimpan telur pada substrat makanan secara horizontal,
tapi kadang-kadang secara vertikal. Semua anggota famili Phlaeotripidae memiliki dua instar pupa dan ditemukan bersama-sama dengan larva dan imago. Sebagian besar trips subordo Terebrantia memasukkan telur ke dalam jaringan tanaman
dengan ovipositor yang bergerigi tajam. Semua spesies subordo Terebrantia memiliki satu instar pupa, begitu pula dengan prapupa. Proses berpupa pada subordo
Terebrantia biasanya terjadi pada tanah yang jauh dari tempat larva makan. Siklus
hidup biasanya membutuhkan paling sedikit 21 hari pada kondisi panas (Mound
& Kibby 1998).
Karakter yang Digunakan dalam Identifikasi Trips
Kepala. Identifikasi spesies trips melalui kepala dapat dilakukan dengan
mengamati sculpture, seta oseli, dan antena. Skulptur pada permukaan kepala dapat terlihat halus atau jelas. Panjang dan posisi seta oseli merupakan salah satu
yang penting dalam identifikasi pada bagian kepala. Trips dalam famili Thripidae
memiliki tiga pasang seta oseli, sepasang seta oseli I berada di bagian depan oseli
(biasanya tidak ditemukan pada spesies Thrips), sepasang seta oseli II berada di
samping oseli, sepasang seta oseli III berada di dalam atau di luar segitiga oseli.
Trips famili Phlaeothripidae biasanya memiliki sepasang seta postocular. Antena
trips biasanya terdiri atas 7 atau 8 segmen, tapi ada juga antara 4 sampai 9 segmen, segmen III dan IV biasanya muncul dalam bentuk sense cone (menggarpu
atau sederhana) (Mound & Kibby 1998).
Toraks. Trips dalam famili Phlaeothripidae memiliki sepasang epimeral
kecil (notopleural) pada bagian posterolateral pronotum, dan biasanya memiliki
lima pasang seta major: anteromarginal, anteroangular, midlateral, epimeral, dan
posteroangular. Protoraks trips dalam famili Phlaeothripidae pada bagian ventral
8
sering memiliki basantra (praepectal plates), sedangkan pada bagian posterior terdapat sepasang ferna (probasiternal plates) dan mesoprasternum transversal. Mesosternum famili Phlaeothripidae memiliki sepasang benang longitudinal di dekat
mesokoksa, yaitu sternopleural suture. Mesofurka dan metafurka trips famili
Thripidae mirip dengan bentuk spinula internal spesies dari Dendothrips yang disebut dengan lyre-shaped. Sayap subordo Terebrantia memiliki venasi costal dan
dua venasi longitudinal, biasanya menghasilkan rangkaian seta kuat yang permukaan sayapnya ditutupi mictrotrichia dan silia yang terbentuk pada pinggiran posteromarginal yang disebut soket. Sayap trips Phlaeothripidae ditandai dengan venasi longitudinal yang tidak kelihatan, permukaan sayap halus, silia tidak nyata
bersambung dengan permukaan sayap, dan sayapnya sering berkurang panjangnya
atau absen. Tungkai trips memiliki tarsi dengan satu atau dua segmen (Mound &
Kibby 1998).
Abdomen. Tergit II-VII famili Phlaeothripidae pada trips yang makroptera
sering muncul satu pasang atau lebih seta penahan sayap (wing-retaining setae)
yang sigmoid, pada tergit IX terdapat tiga pasang seta posteromarginal panjang
(B1,B2,B3), tubular tergit X yaitu berbentuk silindris dengan lubang genital pada
bagian dasar, dan ujung anal dikelilingi oleh seta terminal. Jantan Phlaeothripidae
memiliki tubular basal yang menggali secara anterolateral sampai bisa menekan
genitalia, ujung tubular (aedeagus) biasanya digunakan untuk mengenali spesies
pada Haplothrips. Jantan Phlaeothripidae memiliki area glandular (kelenjar) pada
sternit VIII dan seta B2 pada tergit IX kuat dan pendek (Mound & Kibby 1998).
Trips Subordo Terebrantia ditandai dengan tergit VIII memiliki comb posteromarginal dengan microtrichia, pada beberapa genus terdapat kelompok microtrichia secara lateral di dekat spirakel, dan beberapa genus microtrichia tersusun
menjadi sepasang ctenedia yang teratur. Pada sternit muncul seta diskal yang dikenal dengan seta marginal. serangga jantan sering memiliki area glandular dan
betina memiliki ovipositor (Mound & Kibby 1998).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Populasi Trips
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan populasi trips yaitu sumber makanan, musuh alaminya, dan lingkungan fisik. Keberhasilan pemanfaatan sumber
9
makanan terjadi jika sumber melimpah dan tidak ada halangan trips dalam eksploitasi sumber (Morse & Hoddle 2006)
Kesesuaian trips terhadap tanaman inang bervariasi. Pemilihan peletakan
telur oleh betina pada tanaman menjadi penting untuk kelangsungan hidup trips.
Rambut-rambut pada daun menjadi faktor resisten trips terhadap tanaman. Rambut tebal menghalangi akses trips kepermukaan daun untuk makan dan meletakkan telur karena rambut-rambut daun tersebut dapat menjebak atau melukai serangga. Trips berukuran kecil dan fitofag, hidup di tempat yang beruang sempit
seperti pelepah daun dan didalam inflorescens, sehingga kesulitan dalam pengendaliannya dengan insektisida dan sukar mendeteksinya saat di karantina (Kirk
1997).
Serangan trips yang hebat dapat muncul ketika musuh alami (predator, parasitoid, parasit, dan patogen) gagal mengendalikan trips. Hal tersebut terjadi karena ketiadaan musuh alami khusus di ekosistem ketika terjadi serangan spesies
trips, se-hingga peningkatan populasi trips berlangsung cepat. Selain itu, cendawan entomopatogen juga jarang menyebabkan infeksi alami untuk mengatur populasi trips. Musuh alami lainnya, Hymenoptera parasitoid yang menyerang telur
dan larva trips, biasanya hanya mampu menyebabkan mortalitas yang rendah. Siklus hidup trips yang singkat juga meminimalkan munculnya musuh alami. Selain
itu, prilaku bertahan trips dengan lingkungan, dapat mengurangi keberhasilan musuh alami (Morse & Hoddle 2006).
Musuh alami yang dapat digunakan untuk mengendalikan trips yang menyerang tanaman hias dan sayuran di rumah kaca dan di lapangan yaitu tungau
Phytoseiidae, kepik Anthocoridae, dan nematoda predator atau kombinasinya.
Musuh alami lainnya seperti cendawan entomopatogen dan parasitod dapat digunakan untuk menekan serangan hama trips. Cendawan entomopatogen terutama
Beauveria bassiana, Metarhizium anisoplae, dan Verticillium lecanii dapat digunakan mengendalikan trips tanaman baik secara tunggal maupun dikombinasikan
dengan musuh alami lainnya (Morse & Hoddle 2006).
Musim juga mempengaruhi populasi trips. Kehilangan hasil pada musim
kemarau lebih besar dibandingkan dengan musim hujan. Kehilangan hasil pada
musim kemarau diduga karena adanya peningkatan intensitas kerusakan tanaman
10
akibat terjadinya peningkatan populasi trips. Kelembaban rendah dan suhu yang
tinggi pada musim kemarau, merupakan lingkungan yang cocok bagi hama trips
sehingga perkembangbiakannya lebih cepat (Prabaningrum & Moekasan 2007).
Hujan deras dapat berperan menjatuhkan trips dari daun kepermukaan tanah. Hujan kadang-kadang tidak hanya memindahkan trips secara mekanik, tetapi juga
merangsang laju pertumbuhan daun baru yang mengurangi kepadatan trips per
daun dan meningkatkan proporsi daun sehat (Kirk 1997).
Metode Sampling untuk Trips
Metode sampling dapat digunakan untuk memantau populasi trips di pertanaman dan memperkirakan terjadinya serangan trips yang dapat menyebabkan
kerusakan yang serius. Metode sampling terbagi menjadi destructive dan nondestructive methods. Metode destructive dilakukan dengan mengamati secara
langsung larva dan imago pada sampel bunga atau buah. Metode non-destructive
dilakukan dengan menepuk bunga atau tunas dan pemasangan perangkap. Menepuk bunga atau tunas lebih mudah dan cepat dibandingkan dengan pengamatan
destructive pada bunga (Pearsall & Myers 2002).
Perangkap Likat
Perangkap untuk serangga yang memiliki kemampuan terbang, biasanya diletakkan di atas tanaman dan merupakan cara yang relatif mudah untuk memantau
kehadirannya lebih awal, pertambahan populasi hama, musim perubahan aktivitas
spesies hama. Perangkap juga digunakan untuk menentukan kebutuhan, waktu,
tindakan pengendalian dan dampak penafsiran. Perangkap likat dan perangkap air
digunakan secara luas di lapangan terbuka, sedangkan di rumah kaca lebih memilih menggunakan perangkap likat (Lewis 1997).
Di rumah kaca, perangkap likat lebih baik digantung secara vertikal karena
perpindahan angin sedikit. Selain itu, lebih murah dan mudah dilakukan. Akan
tetapi, di lapangan terbuka perangkap likat dengan bentuk silindris lebih efektif
digunakan karena aliran udara di sekitarnya yang sedikit bergolak dan serangga
yang terperangkap berasal dari tiupan angin segala arah (Lewis 1997).
Posisi perangkap juga berpengaruh. Perangkap untuk tujuan memantau perkembangan serangga, akan lebih baik jika diletakkan lebih tinggi dari permukaan
11
tanaman (Lewis 1997). Banyak trips yang terperangkap di atas kanopi tanaman,
meskipun ada juga yang dilaporkan terperangkap yang setara dengan tinggi tanaman, akan tetapi jumlah yang terperangkap pada perangkap setara tanaman sangat
sedikit. Serangga yang terperangkap di atas tanaman, mungkin sedang memencar
atau mencari pasangannya, ketika baru muncul dari pupa (Jacobson 1997).
Ukuran perangkap likat tergantung pada kepadatan populasi yang diharapkan dan frekuensi pengamatan (Lewis 1997). Trips mungkin lebih banyak terperangkap pada perangkap yang berukuran lebih besar, tetapi tidak ada hubungan
yang linear antara jumlah yang terperangkap dengan ukuran perangkap (Shipp
1995).
Warna digunakan serangga untuk membedakan inang dan lingkungan. Satu
warna dapat menarik beberapa spesies trips. Komponen warna yang kritis untuk
membedakan inang dan non-inang adalah panjang gelombang dominan yang dipantulkan permukaan, kejenuhan (kemurnian hue), dan kecerahan (total energi,
persentase refleksi panjang gelombang maksimun) (Terry 1997).
Ketertarikan trips terhadap warna dipengaruhi oleh panjang gelombang yang
dipantulkan (Terry 1997). Cahaya ultraviolet (UV) dengan panjang gelombang
350-445 nm dipantulkan oleh warna biru, sedangkan cahaya biru dengan panjang
gelombang 455-500 nm dipantulkan oleh warna biru dan kuning. Selain itu, warna putih dan warna biru paling kuat memantulkan cahaya ultraviolet dan panjang
gelombangnya sekitar 300-400 nm (Ranamukhaarachchi & Wickramarachchi
2007). Menurut Natwick et al. (2007), warna biru memiliki panjang gelombang
yang kuat memantulkan cahaya ultraviolet dan cahaya biru dibandingkan dengan
warna kuning, sedangkan warna kuning lebih banyak memantulkan cahaya kuning dan merah. Menurut Chu et al. (2000) warna kuning memantulkan cahaya
hijau, kuning, dan jingga dengan panjang gelombang 490-600 nm.
Tanaman Mawar
Tanaman mawar termasuk kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo Rosales, famili Rosaceae, genus
Rosa, species Rosa damascena Mill., Rosa multiflora Thunb., Rosa hybrida Hort.,
dan lain-lain (BPP Teknologi 2000).
12
Mawar berasal dari dataran Cina, Timur Tengah dan Eropa Timur. Seiring
perkembangannya, tanaman mawar menyebar luas di daerah-daerah beriklim dingin (subtropis) dan panas (tropis). Daerah pusat tanaman mawar terdapat di Kawasan Alaska atau Siberia, India, Indonesia dan Afrika Utara. Sentra penanaman
bunga potong, tabur, dan tanaman pot di Indonesia berada di daerah Jawa Barat,
Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jakarta. Mawar yang berkembang di Indonesia merupakan mawar jenis hibrida yang berasal dari Belanda (BPP
Teknologi 2000).
Tanaman mawar merupakan tanaman semak atau perdu berduri dengan
tinggi antara 0,3 sampai 5 meter. Mawar termasuk tanaman berakar tunggang
dengan banyak cabang akar. Batang mawar berkayu dan bercabang-cabang dari
bagian bawah atau beberapa cm di atas permukaan tanah. Tipe batang mawar ada
yang tegak dan ada yang menjalar. Daun mawar termasuk daun majemuk dengan
3 atau 5 helai daun berselang dan beririp ganjil yang dilengkapi penumpu. Setiap
pangkal tangkai daun terdapat titik tumbuh yang akan berkembang menjadi tunas
bunga atau cabang (Kartapradja 1995).
Bunga mawar ada yang tunggal dan ada yang tersusun indah dalam bentuk
payung. Mawar termasuk jenis bunga sempurna dengan benang sari dan putik tersusun pada dasar bunga yang berbentuk guci. Buah mawar adalah buah buni (hip)
yang di dalamnya berisi biji (Kartapradja 1995). Mawar memiliki dua jenis pembungaan yaitu mawar berbunga terus menerus sepanjang tahun (recurrent flowering) dan mawar yang tidak berbunga terus menerus (non recurrent flowering)
(Darliah 1995).
Berdasarkan mahkota bunga, mawar dibedakan atas mawar berbunga tunggal, berbunga semi ganda dan berbunga ganda. Mawar yang berbunga tipe tunggal memiliki mahkota bunga yang terdiri atas 5-7 helai yang berada dalam satu
lingkaran. Mawar yang berbunga semi ganda memiliki mahkota bunga terdiri atas
10-20 helai tanaman dalam beberapa lingkaran. Mawar yang berbunga ganda memiliki mahkota lebih dari 20 helai dan tersusun dalam tandan bunga (Kartapradja
1995).
Berdasarkan sifat tumbuh dan penampilannnya, mawar dikelompokkan
menjadi kelompok Hybrid tea, Polyantha dan Baby rose, Floribunda, Grandi-
13
flora, dan Climbing rose (mawar merambat). Kelompok Hybrid tea berbentuk
perdu dan semak, berbunga besar, kompak, padat, tangkai bunga panjang serta
berbau harum. Contohnya Camelot, golden lustee, Queen Elisabeth, Charleston,
Mr. Lincoln, dan Cherry brandy. Kelompok Polyantha dan Baby rose memiliki
ciri berbentuk perdu atau semak, berbunga kecil-kecil dalam cluster bunga dengan
diameter kuntum kurang dari 2 cm. Contoh dari kelompok ini yaitu Gloria mundi, Katharina zeimet, dan Irian merah. Kelompok Floribunda merupakan gabungan sifat baik Hybrid tea dan Polyantha. Contohnya Fashion, Else poulsen, dan
Cimacan merah. Kelompok Grandiflora merupakan gabungan sifat-sifat Hybrid
tea dengan Floribunda. Jenis ini sering digunakan sebagai bunga potong atau tanaman taman. Contohnya Queen Elizabeth, Granada, dan John Amstrong. Pertumbuhan tanaman kelompok Climbing rose ini memanjat dan memerlukan penunjang, ukuran bunga beraneka ragam, berbunga tunggal dan rangkap, seperti
pada var. Gadenza, Crimpson glory, dan Golden shower (Kartapradja 1995).
Download