2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pariwisata

advertisement
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Pariwisata dan Agrowisata
Pariwisata terutama pariwisata agro telah berkembang pesat dan menjadi
suatu industri penting dalam masa sekarang dan mendatang. Pariwisata agro
cenderung lebih cepat berkembang dibandingkan jenis wisata lainnya (Sukandi,
2000). Pariwisata didefinisikan sebagai perjalanan dari suatu tempat ke tempat
lain yang bersifat sementara untuk mencari keseimbangan atau keserasian dan
kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam dan
ilmu pengetahuan. Perjalanan wisata harus memenuhi tiga persyaratan, berikut:
(1) bersifat sementara, (2) bersifat sukarela, dan (3) tidak bekerja yang sifatnya
menghasilkan upah atau bayaran (Spillane, 1994; Ecker et al., 2010).
Prideaux and Cooper (2002) mendefinisikan pariwisata sebagai perjalanan
sementara seseorang dengan tujuan ke luar dari tempat tinggalnya dan tempat
bekerjanya, melakukan kegiatan selama berada di tempat tujuan dan menyediakan
fasilitas untuk memenuhi kebutuhannya. Menurut ABS (2004) dalam AEGIS
(2007) pariwisata adalah perjalanan menuju atau tinggal di suatu tempat selama
tidak lebih dari satu tahun untuk keperluan hiburan, bisnis atau keperluan lain.
Definisi lain disampaikan Dove (2004) dalam Oredegbe dan Fadeyibi (2009) yang
membatasi pariwisata sebagai perjalanan meninggalkan rumah dan lingkungan
sekitar untuk tujuan liburan dan hiburan.
Undang-undang
No.
10
Tahun
2009
tentang
Kepariwisataan
mendefinisikan wisata sebagai kegiatan perjalanan yang dilakukan seseorang atau
sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi,
pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang
dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Pariwisata adalah berbagai macam
kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan
oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah.
Pariwisata merupakan anatomi dari gejala-gejala yang terjadi dari tiga
unsur antara lain manusia (man) yaitu orang yang melakukan perjalanan wisata,
ruang (space) yaitu daerah atau ruang lingkup tempat melakukan perjalanan
8
wisata, dan waktu (time) yaitu waktu yang digunakan selama perjalanan dan
tinggal di daerah tujuan wisata (Wahab, 1994; Sznajder, Prezezborska and
Scrimgeour, 2009).
Berkembangnya pariwisata akan berakibat ganda terhadap sektor lainnya
seperti pertanian, peternakan, industri, perdagangan, hotel dan restoran. Industri
pariwisata merupakan mata rantai kegiatan yang sangat panjang mulai dari
kegiatan biro perjalanan, kerajinan rakyat, kesenian daerah, pengangkutan,
perhotelan, restoran, kegiatan pemanduan, pemeliharaan dan pengembangan
objek wisata (Spillane, 1994; Sugiarti, Ernawati dan Birtles, 2003; Sznajder,
Prezezborska and Scrimgeour, 2009). Mangiri (2003) mengelompokkan empat
kebutuhan dasar yang ditimbulkan oleh kegiatan pariwisata di tempat tujuan
wisata yaitu: (1) angkutan, (2) akomodasi dan pangan, (3) daya tarik, dan (4)
kemudahan.
Jenis-jenis pariwisata yang didasarkan pada motif wisata antara lain : (1)
Pariwisata untuk bersenang-senang atau tamasya (pleasure tourism) yang
umumnya berpindah-pindah tempat, (2) pariwisata untuk rekreasi (recreation
tourism), (3) pariwisata untuk kebudayaan (cultural tourism), (4) pariwisata
untuk olahraga (sport tourism), (5) pariwisata untuk urusan dagang (business
tourism), (6) pariwisata untuk berkonvensi (convention tourism), (7) pariwisata
untuk kesehatan (health tourism), (8) pariwisata sosial (social tourism), dan (9)
pariwisata untuk kepentingan spiritual atau keagamaan (spiritual tourism)
(Soekadijo, 1996; Hunt and Stronza, 2009).
Agrowisata merupakan salah satu macam diversifikasi produk wisata yang
dapat dimanfaatkan untuk penyajian beberapa paket wisata terhadap wisatawan
yang akhir-akhir ini cenderung tertarik untuk menyaksikan dan menikmati obyek
dan daya tarik wisata yang baru dan memiliki daya tarik tersendiri. Istilah
Agrowisata berasal dari terjemahan Agrotourism (Alikodra, 1989; Aref, 2009).
Baik Agrowisata maupun Wisata Agro pada dasamya merupakan perpaduan dari
dua kata yaitu agro dan wisata, yang mempunyai arti masing-masing pertanian
dan perjalanan. Perpaduan dua kata tersebut secara keseluruhan mempunyai
makna yang lebih luas.
9
Lobo (2001) dalam Che et al. (2005) menyatakan agrowisata sebagai
sebuah tindakan mengunjungi ladang pertanian, hortikultura atau bentuk
agribisnis lainnya untuk mendapatkan hiburan, pendidikan, atau keterlibatan
dengan aktivitas-aktivitas didalamnya. Menurut Snajzder et al. (2009) agrowisata
merupakan sebuah sub-sektor wisata pedesaan dimana para wisatawan terlibat
dalam aktivitas rekreasi dalam setting pertanian.
Selain itu, Beeton (2006) dalam Aref dan Gill (2009) menyatakan bahwa
agrowisata (agrotourism) merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk
mendeskripsikan wisata di pedesaan (rural tourism), selain farm tourism, soft
tourism dan ecotourism. Hal ini mengacu pada definisi yang diberikan dalam
Knowd (2001) tentang rural tourism yang memposisikan pertanian dan lahannya
sebagai fondasi atau dasar semua daya tarik yang dibangun di atasnya.
Pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama Menparpostel dan Menteri
Pertanian No. KM.47/PW.004/MPPT/89 dan No. 204/KPTS/HK050/4/1989,
mendefinisikan “Agrowisata adalah suatu kegiatan pariwisata yang memanfaatkan
usaha agro sebagai obyek wisata untuk memperluas pengetahuan, pengalaman
rekreasi dan hubungan usaha dibidang agro”.
Ecker et al. (2010) menyatakan karakteristik utama agrowisata adalah
adanya keterlibatan signifikan dari aktivitas masyarakat sekitar, sharing informasi
antar pelaku dan inovasi serta eksperimen. Posisi agrowisata (agritourism)
sebagai sebuah obyek wisata baru berbasis pedesaan (rural area) dijelaskan oleh
Sznajder, dkk (2009) dalam piramida terminologi pariwisata dalam Gambar 1.
Meskipun demikian,
Avenzora (2008) menyatakan bahwa meskipun tipe
sumberdaya wisata adalah tergolong sama tapi karakteristik suatu kegiatan wisata
adalah pasti akan berbeda dari suatu tempat ke tempat yang lain. Atas hal itu,
maka membangun tipologi kepariwisataan sebaiknya disandarkan pada tipe ruang
dan “major characteristic of the space”, sehingga pemikiran tentang
kepariwisataan dalam suatu ruang tertentu tersebut dapat lebih fokus dan terarah.
Dengan demikian, tipologi eco-forest tourism, eco-agro tourism, eco-marine
tourism, eco rural tourism dan bahkan eco-city tourism akan menjadikan
terkonsentrasinya stake holder dan keahlian terkait dalam menjalankan fungsi dan
10
peranannya. Lebih lanjut, Avenzora (2012; pers com) menyatakan bahwa agrotourism tidak boleh dijadikan sebagai sub-ordinat dari rural tourism; yaitu sejalan
dengan perbedaan tujuan yang sangat signifikan diantara keduanya.
Gambar 1. Piramida terminologi pariwisata (Sznajder dkk, 2009)
2.2. Jenis-jenis Agrowisata
Agrowisata Perkebunan. Kegiatan wisata dalam kelompok ini dapat
dilakukan dalam bentuk kegiatan pra produksi (pembibitan), pemeliharaan dan
pasca produksi (pengelolaan dan pemasaran). Beberapa daya tarik perkebunan
sebagai obyek wisata adalah sebagai berikut (Sandra, 1994; Che, 2005): a). Daya
tarik historis bagi wisata alam; b). Pemandangan alam yang indah dan berhawa
sejuk; c). Cara tradisional dalam penanaman, pemeliharaan dan pengolahan; dan
d). Jenis tanaman yang tidak dimiliki oleh negara asal wisatawan mancanegara.
11
Potensi perkebunan yang ada merupakan modal dasar yang kesemuanya
dapat dikemas untuk disajikan menjadi atraksi agrowisata yang menarik. Dalam
rangka menciptakan agrowisata perkebunan unsur-unsur yang harus diperhatikan
adalah budidaya tanaman perkebunan, penataan kebun dan ketersediaan fasilitas
penunjangnya. Sedangkan salah satu contoh kawasan agrowisata di Indonesia
yang sudah terbentuk adalah di Kusuma Agrowisata Batu, Jawa Timur.
Agrowisata Hortikultura. Kegiatan wisata ini adalah suatu kegiatan
wisata di daerah pertanian tanaman hortikultura dan tanaman hias yang dapat juga
dapat berupa paket kunjangan ke kebun buah-buahan dan kebun bunga. Para
wisatawan dapat menikmati buah-buahan dengan cara memetik sendiri, dan juga
dapat melihat secara langsung berbagai teknologi pengolahan yang ada. Hal
serupa juga dapat dilakukan pada taman bunga dengan pemandangan yang indah.
Agrowisata Tanaman Pangan. Pertanian tanaman pangan terdiri dari
pertanian pangan di lahan basah dan di lahan kering. Komoditas yang dihasilkan
di lahan basah adalah padi, sedangkan di lahan kering dataran rendah
komoditasnya adalah jagung, kedelai dan kacang tanah, serta di dataran tinggi
biasanya komoditas yang dihasilkan adalah sayuran seperti kol, lobak, daun
bawang dan wortel. Berbagai hal tersebut dapat menjadi daya tarik wisata yang
dapat dikembangkan dalam lingkup tanaman pangan serta dapat dipilih secara
spesifik untuk dapat dikombinasikan dengan daya tarik wisata lainnya (Che,
2005).
Agrowisata Perikanan. Agrowisata perikanan merujuk pada penyediaan
sarana wisata dan rekreasi bagi wisatawan mulai dari penangkapan komoditas
perikanan hingga penyajiannya untuk siap disantap. Para wisatawan dapat
menyaksikan budi daya ikan dan melakukan kegiatan menangkap ikan seperti
memancing dan menjaring. Pengusahaan perikanan meliputi perikanan budidaya
dan perikanan penangkapan. Perikanan budidaya terdiri dari kolam air tenang,
kolam air deras, sawah (minapadi), jaring terapung, keramba, kolam pembenihan
dan tambak. Perikanan penangkapan terdiri dari penangkapan ikan di perairan
umum (rawa, danau, sungai) dan perairan laut.
12
Sebuah studi di Bonne Bay, Kanada menunjukkan adanya keinginan dari
wisatawan yang berkunjung ke sana untuk melihat bagaimana ikan ditangkap dan
diproses. Pengunjung ingin diantar dalam perahu penangkapan, ditemani
menangkap ikan dan hasilnya disajikan sebagai hidangan mereka. Karena itu
Ryan (2010) menyatakan potensi agrowisata perikanan dimulai dari penangkapan
komoditas perikanan yang dilanjutkan pengolahan hingga penyajiannya sebagai
sebuah hidangan untuk para wisatawan tersebut.
Agrowisata Peternakan. Wisata jenis ini merupakan kegiatan usaha yang
bertujuan untuk mempelajari cara-cara beternak tradisional maupun secara
modern. Usaha peternakan yang dilakukan dapat berupa ternak besar seperti sapi
(potong dan perah), kerbau dan kuda serta ternak kecil seperti kambing, domba,
babi, ayam (ras, petelor, ras pedaging, buras) dan itik. Agrowisata jenis ini lebih
banyak tercakup dalam farm-tourism yang antara lain meliputi aktivitas berburu
binatang, berkuda dan suguhan pemandangan kehidupan liar alami (Oredegbe dan
Fadeyibi, 2009). Sebagai contoh wisata ternak yang terdapat di kaki Gunung
Tangkuban Perahu bernama ”little farmer” yang menyuguhkan wisata hewanhewan ruminansia seperti sapi, kelinci, hamster, dan sebagainya.
Agrowisata
Perhutanan.
Hutan
merupakan
bagian
lingkungan
pedalaman yang sering digunakan sebagai sasaran wisata dan rekreasi.
Agrowisata jenis ini umumnya terkait dengan hutan produksi ataupun hasil
tanaman hutan seperti
Mahoni, Jati, Pinus, Rasamala, Rimba dan Damar.
Disamping itu, aktivitas-aktivitas rekreasi yang hanya bisa dilakukan dihutan juga
merupakan daya tarik agrowisata ini, antara lain melihat dan berburu binatang,
petik jamur dan berry, orientasi alam maupun studi alam (Font and Tribe, 1999).
Bagi daerah yang mempunyai kawasan hutan seperti kawasan Suaka
Margasatwa, Cagar Alam dan Kebun Raya, pemanfaatan kawasan tersebut dalam
kaitannya dengan pengembangan kawasan agrowisata perhutanan diarahkan
khusus untuk wisata ilmiah dalam rangka kegiatan penelitian dan pendidikan. Hal
ini karena di dalam kawasan hutan tersebut terdapat beragam jenis flora dan fauna
yang dilindungi.
13
2.3. Pengembangan Kawasan Agrowisata.
Menurut
Kasparek
(2007),
diperlukan
beberapa
syarat
untuk
mengembangkan agrowisata, antara lain: a). Landscape otentik yang alami
dengan ukuran cukup luas; b). Terdapatnya budaya, sejarah atau daya tarik alami
pada area tersebut; c). Jalur transportasi yang memudahkan akses ke area wisata;
d). Infrastruktur transportasi, akomodasi dan logistik yang memadai; e). Kondisi
politik yang stabil; dan f). Penerimaan dari penduduk lokal. Sedangkan faktorfaktor yang perlu diperhatikan dalam pengembangan suatu kawasan agrowisata
adalah menyangkut daya tarik objek wisata, sarana berwisata dan prasarana
berwisata.
Daya Tarik Obyek Wisata. Faktor ini memegang peranan penting karena
adanya daya tarik obyek wisata inilah yang menjadikan wisatawan datang
berkunjung. Daya tarik obyek wisata dapat dilihat menurut jenis/tipe agrowisata
seperti dijelaskan berikut (Tirtawinata dan Fachruddin, 1996; Laverack and
Thangphet, 2009):
1. Agrowisata Ilmiah, yang menyangkut daya tarik pada komoditi yang
ditanam; daya tarik pada sistem budidaya yang ditanam; dan daya tarik
pada sistem sosial, ekonomi dan budaya yang ada.
2. Agrowisata Bisnis, yang menyangkut daya tarik pada komoditi agro
yang dibisniskan; dan daya tarik pada prospek investasi pada usaha
agro/agro industri.
3. Agrowisata Rekreasi, yang berkaitan dengan daya tarik pada panorama
alam yang ada; dan daya tarik pada pertunjukkan yang disediakan.
4. Agrowisata Budaya, yang berkaitan dengan daya tarik pada budaya
penduduk pada kegiatan pertanian yang ada sekarang; dan peninggalan
budaya penduduk.
William dkk (2001) menambahkan bahwa produk sebagai daya tarik
sebuah agrowisata dapat dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu: a). Daya
tarik permanen, yang meliputi lahan historis, ladang pertanian, museum pertanian
dan fasilitas pengolahan hasil ladang; b). Daya tarik kegiatan, yang meliputi
konferensi, rodeo, pameran pertanian, dan berbagai festival terkait; dan c). Daya
tarik pelayanan, yang meliputi akomodasi, tour dan rekreasi
14
Sarana Berwisata. Dalam rangka mendukung kenyamanan dalam
menikmati obyek agrowisata diperlukan fasilitas seperti yang terdapat di bawah
ini (Tirtawinata dan Fachruddin, 1996; Laverack and Thangphet, 2009; Oredegbe
and Fadeyibi, 2009):
1. Sarana Umum, yang menyangkut sarana pokok (seperti transportasi,
akomodasi, rumah makan dan tempat makan lainnya, serta toko cindera
mata), sarana pelengkap (seperti fasilitas olahraga dan fasilitas
permainan) dan sarana pendukung, seperti fasilitas hiburan.
2. Sarana Khusus, yang untuk agrowisata ilmiah akan meliputi seperti
laboratorium, tempat penelitian. Literatur pendukung dan tenaga
peneliti pada obyek yang dimaksud; untuk agrowisata bisnis akan
berkaitan dengan ruang pamer atau promosi, informasi khusus tentang
bisnis dan fasilitas untuk lobby bisnis; dan untuk agrowisata rekreasi,
seperti telah tercakup pada sarana umum untuk wisata; serta untuk
agrowisata budaya, seperti museum budaya, tempat pagelaran budaya
masyarakat, dan tempat penjualan hasil budaya masyarakat.
Prasarana Berwisata. Faktor prasarana dapat dibagi atas perekonomian
dan sosial (Tirtawinata dan Fachruddin, 1996; Oredegbe and Fadeyibi, 2009),
yaitu: a). Prasarana perekonomian, seperti
prasarana transportasi, prasarana
komunikasi, prasarana perbankan dan prasarana utilitas; dan b). Prasarana sosial,
seperti pendidikan kepariwisataan, kesehatan, keamanan, dan Tourist Information
Centre. Disamping beberapa faktor tersebut, terdapat beberapa hambatan yang
sering muncul dalam upaya pengembangan agrowisata. Hambatan-hambatan
tersebut bervariasi dalam tiap daerah, akan tetapi secara umum dapat disimpulkan
sebagai berikut (Aref dan Gill, 2009), yaitu: kurangnya pelatihan manajerial yang
tepat, kurangnya penguasaan akan bahasa asing, cara pandang yang berbeda
terhadap higienisme, perawatan dan infrastruktur, terbatasnya pengetahuan
tentang penyajian makanan untuk orang asing, termasuk nutrisi dan makanan
untuk diet dan kurangnya ketrampilan perencanaan dan pengambilan keputusan
15
2.4. Pariwisata Sebagai Industri
World Tourism Organization (1995) menyatakan pariwisata merupakan
fenomena sosial ekonomi yang sangat penting dalam perkembangan kehidupan
dan pergaulan global. Pariwisata menjadi esensial bagi kehidupan karena terkait
langsung dengan perkembangan ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan.
Pariwisata merupakan suatu kegiatan industri yang memiliki tiga elemen
yakni: (1) wisatawan, sebagai konsumen yang mengkonsumsi barang dan jasa
selama melakukan perjalanan maupun di tempat tujuan wisata, (2) transaksi untuk
memperoleh barang dan jasa, dan (3) sektor atau unit ekonomi yang menyediakan
barang dan jasa untuk memenuhi kegiatan wisata (Australian Expert Group in
Industry Studies, 2007).
Pariwisata bukanlah industri yang berdiri sendiri, tetapi terdiri dari
serangkaian perusahaan yang
menghasilkan jasa atau produk yang berbeda.
Perbedaan itu tidak hanya dalam jasa yang dihasilkan, tetapi juga dalam besarnya
perusahaan, lokasi tempat kedudukan, letak geografis, fungsi, bentuk organisasi
yang mengelola dan metode atau cara pemasarannya (Yoeti, 1997; Aref dan Gill,
2009) menyatakan.
Menurut Prideaux and Cooper (2002), perusahaan pariwisata dapat
diklasifikasikan dalam dua jenis, yaitu :(1) perusahaan pariwisata utama langsung
dan (2) perusahaaan pariwisata sekunder tidak langsung. Perusahaan pariwisata
utama
langsung
adalah
perusahaan
yang
tujuan
pelayanannya
khusus
diperuntukkan bagi perkembangan kepariwisataan dan yang kehidupan usahanya
memang benar-benar tergantung padanya, sedangkan perusahaan pariwisata
sekunder tidak langsung, adalah tidak sepenuhnya tergantung kepada wisatawan
belaka, melainkan juga sebagian besar diperuntukkan bagi masyarakat setempat.
Perusahaan yang dapat digolongkan sebagai perusahaan pariwisata
sekunder tidak langsung, adalah : a). perusahaan yang membuat kapal, mobil
khusus untuk wisatawan; b). toko-toko pakaian, barang-barang keperluan seharihari dan sebagainya; dan c). toko binatu, salon kecantikan dan sebagainya.
Pariwisata sebagai industri menghasilkan jasa-jasa (services) sebagai
“produk” yang dibutuhkan wisatawan pada khususnya dan traveller pada
umumnya. Produk wisata adalah suatu perakitan dari berbagai aspek atau
16
komponen, yang saling melengkapi untuk membentuk suatu kesatuan produk,
yang terdiri dari perjalanan/trip (sebagai bagian yang dinamis) dan tinggal di
daerah tujuan wisata (sebagai bagian yang statis) (Mangiri, 2003; Oredegbe and
Fadeyibi, 2009).
Ada tiga golongan pokok produk industri pariwisata, seperti dijelaskan di
bawah ini (Sugiarti, Ernawati dan Birtles, 2003; Tebay, 2004; Ismail, 2004;Che,
2005 ):
a).
Tourist objects atau obyek pariwisata yang terdapat pada daerahdaerah tujuan wisata, yang menjadi daya tarik orang-orang untuk
datang berkunjung ke daerah tersebut.
b). Fasilitas yang diperlukan di tempat tujuan tersebut, seperti akomodasi
perhotelan (accommodation), bar dan restoran (catering),
entertainment dan rekreasi.
c). Transportasi yang menghubungkan negara asal wisatawan (tourist
originating countries) dengan daerah tujuan wisatawan (tourist
destination area) serta transportasi di tempat tujuan (local
transportation) ke obyek-obyek pariwisata.
Produk
industri
pariwisata
mempunyai
suatu
ciri
khas
yang
membedakannya dari produk barang. Beberapa ciri hasil produk industri
pariwisata yang terpenting, diantaranya
sebagai berikut (Tebay, 2004; Che,
2005):
a). Hasil atau produk industri pariwisata tidak dapat dipindahkan, karena
dalam penjualannya tidak mungkin produk dibawa kepada konsumen.
Sebaliknya wisatawan yang mengunjungi lokasi produksi. Dalam
industri barang, hasil atau produknya dapat dipindahkan ke tempat
barang tersebut dibutuhkan atau diinginkan oleh konsumen.
b).
Pada umumnya peranan dan posisi perantara (middle-man) tidak
diperlukan karena proses produksi terjadi pasa saat bersamaan dengan
konsumsi. Satu-satunya perantara yang merupakan saluran (channel)
dalam penjualan jasa industri pariwisata hanyalah travel agent atau
tour operator saja.
c).
Hasil atau produk industri pariwisata tidak dapat ditimbun, seperti
halnya terjadi pada industri barang lainnya, dimana penimbunan
hanya kebiasaan untuk meningkatkan permintaan.
17
d).
Hasil atau produk industri pariwisata itu tidak mempunyai standar atau
ukuran yang obyektif, seperti halnya dengan industri barang lainnya
yang mempunyai dimensi kuantitatif, sedangkan industri pariwisata
menggunakan kualitas dan kepuasan dalam pelayanan.
e).
Permintaan (demand) terhadap hasil atau produk industri pariwisata
tidak tepat dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor non ekonomis.
Terjadinya kekacauan atau peperangan atau bencana alam, akan
mengakibatkan permintaan akan berkurang. Sebaliknya musim
berlibur dengan kondisi normal permintaan meningkat, sehingga
terjadi kekurangan dalam supply.
f).
Calon konsumen tidak mencoba atau mencicipi produk yang akan
dibelinya. Informasi diperoleh dari brosur (leaflet, booklet, poster)
melalui slide, TV atau film yang khusus dibuat untuk keperluan
tertentu.
g).
Hasil atau produk industri pariwisata banyak tergantung pada tenaga
manusia dan sedikit sekali dapat digantikan dengan mesin.
h).
Dari segi pemilikan usaha, penyediaan produk industri pariwisata
dengan membangun sarana kepariwisataan yang memakan biaya
besar, mempunyai tingkat resiko tinggi, karena perubahan elastis
permintaan sangat peka sekali.
Di sisi lain, Thomas (2000) menyatakan bahwa terdapat beberapa potensi
kerugian yang harus diantisipasi dalam pengembangan agrowisata sebagai sebuah
industri, yaitu:
a). Penurunan produksi pertanian, hal ini sangat mungkin terjadi apabila
agrowisata telah menjadi sebuah industri besar yang menguntungkan,
dimana pelaku industri menganggapnya lebih menguntungkan
dibanding memproduksi produk pertaniannya sendiri.
b). Kerusakan lingkungan sebagai akibat sisi pariwisata dalam agrowisata
yang tidak disertai dengan aturan dan penetapan standar keamanan
lingkungan yang ketat,
c). Pencurian/pembajakan biodiversitas asli di lingkungan agrowisata
yang dapat dengan mudah dilakukan oleh para wisatawan,
d). Tingginya biaya infrastruktur untuk mencapai standard tinggi sebuah
produk pariwisata.
18
2.5. Permintaan Dan Penawaran Pariwisata
Agrowisata telah berhasil dikembangkan di negara-negara maju, antara lain
Swiss, Selandia Baru, Prancis dan Australia. Di Indonesia, delapan provinsi telah
mencoba mengembangkan potensi agrowisata dengan produk unggulan masingmasing yaitu Sumatera Utara dengan karet dan perkebunan kelapa, Riau dengan
perkebunan coklat, Jawa Barat dengan kebun raya, Jawa Tengah dan DIY dengan
salak pondoh di Sleman, Jawa Timur dengan perkebunan berbasis gula, NTB
dengan Wisata Rinjani serta Kalimantan Tengah dan Barat dengan perkebunan
kelapa (Utama, 2008).
Pertumbuhan agrowisata di dunia mencapai angka 6% per tahun melebihi
pertumbuhan pariwisata secara umum yang hanya 4% per tahun. Hal ini seiring
dengan peningkatan permintaan
akan wisata yang terkait dengan alam dan
aktivitas budaya. Peningkatan permintaan ini menjadikan agrowisata sebagai
sebuah sektor yang sangat penting sabagai alternatif sumber pendapatan bagi
petani dan komunitas pedesaan yang lain (WTO dalam Utama, 2008).
Pada produk turunan pariwisata, agrowisata juga dapat dianalisis menurut
instrumen dan aspek analisis dalam pariwisata.
Menurut Mangiri (2003),
pariwisata dapat dikaji dari dua sisi, pertama dari sisi permintaan dan kedua dari
sisi penawaran. Sisi permintaan meliputi kegiatan untuk menikmati pendapatan
yang dilakukan di luar lingkungan sehari-hari dan rutinitas, sedangkan sisi
penawaran menunjukkan pada kegiatan yang dilakukan institusi yang terkait
dalam rangka melayani kebutuhan wisatawan. Sedangkan menurut Avenzora
(2008), berbicara mengenai permintaan sederhanaya adalah berbicara tentang
siapa yang meminta, apa yang diminta, kuantitas dan kualitas dari yang diminta
serta waktu meminta. Adapun berbicara tentang penawaran dijelaskannya sebagai
berbicara tentang apa yang bisa ditawarkan, bagaimana jumlah dan kualitas yang
bisa ditawarkan, untuk siapa bisa ditawarkan dan seasonalitas dari waktu
penawaran.
World Tourism Organization (1995) dalam Heriawan (2004) menguraikan
secara lengkap pemahaman pariwisata dari sisi permintaan, yaitu permintaan atas
barang dan jasa oleh wisatawan karena adanya kegiatan pariwisata, dan oleh
pemerintah dan swasta dalam rangka investasi dan promosi wisata. Sebaliknya
19
dari sisi penawaran, yaitu penyediaan barang dan jasa oleh unit-unit ekonomi
terkait untuk memenuhi permintaan konsumsi wisatawan, serta investasi dan
promosi oleh pemerintah ataupun swasta. Gambar 2 memperlihatkan struktur
pariwisata dari sisi permintaan dan penawaran.
Mangiri (2003) juga mengemukakan bahwa ada dua kelompok faktor yang
dapat mendorong seseorang untuk berwisata. Kelompok faktor pertama disebut
faktor internal yang meliputi pendapatan, waktu, dan kemauan, sedangkan
kelompok faktor kedua disebut faktor eksternal yang meliputi tujuan/objek
wisata, prasarana dan sarana, dan keamanan. Kedua kelompok faktor tersebut
saling berkaitan dalam penentuan seseorang untuk melakukan wisata. Sedangkan
keputusan seseorang untuk berwisata akan tergantung oleh empat faktor berikut,
yaitu: (1) faktor pendorong, (2) faktor individu dan sosial, (3) varibel eksternal,
dan (4) karakteristik pelayanan di tempat tujuan
(Ismail, 2004; Che, 2005;
Kuswiati, 2008).
2.6. Pengelolaan Agrowisata berbasis Masyarakat
Pendekatan untuk pengelolaan sumberdaya alam, sebagai sumber daya
utama agrowisata, dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu pendekatan berbasis
masyarakat dan pendekatan berbasis pemerintah. Menurut Rashidpour et al.
(2010) pengelolaan dengan pendekatan berbasis masyarakat (community Based
Management) adalah “suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat
pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan
sumber daya secara berkelanjutan di suatu daerah berada di tangan organisasiorganisasi dalam masyarakat di daerah tersebut. Pengelolaan seperti ini dilakukan
untuk memberi kesempatan bagi masyarakat lokal dalam mengelola dan
bertanggungjawab atas sumberdaya yang ada, mulai dari perencanaan hingga
pemanfaatan atau hasil-hasilnya demi kesejahteraan masyarakat setempat.
20
PARIWISATA
PERMINTAAN
Konsumsi
Pariwisata
Pengeluaran
Wisman
PENAWARAN
Investasi dan
Pengembangan
Pariwisata
Pembentukan
Modal
Promosi
Pengeluaran
Wisnus
Pengeluaran
Wisman
(Pre+Post Trip)
Unit Ekonomi Penyedia
Barang dan jasa
Hotel &
Restoran
Angkutan
Domestik dan
Komunikasi
Unit Ekonomi Penyedia
Barang Modal
Souvenir
Kesehatan,
Kecantikan
& Jasa
Lainnya
Biro
Perjalanan
Rekreasi
dan Hiburan
Produksi
Industri
Konsumsi
Daging
Produk
Pertanian
Konsumsi
Langsung
Gambar 2. Struktur pariwisata dari sisi permintaan dan penawaran (Heriawan, 2004)
Laverack and Thangphet (2009) menyatakan, Community Based
Management memiliki makna keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola
sumberdaya
alam
yakni
memikirkan,
memformulasikan,
merencanakan,
mengimplementasikan, mengevaluasi maupun memonitornya. Pemberdayaan
Industri
Mesin,alat
transport,
peralatan
Bangunan
&
Konttruksi
21
masyarakat lokal ditujukan pada 2 (dua) sasaran, yaitu : (1) melepaskan belenggu
kemiskinan dan keterbelakangan, dan (2) memperkuat posisi lapisan masyarakat
lokal dalam struktur kekuasaan.
Pengelolaan berbasis masyarakat dalam kenyataannya tidak dapat berhasil
sepenuhnya tanpa keterlibatan pemerintah. Hal tersebut dimungkinkan karena
masyarakat dalam beberapa hal masih memiliki keterbatasan-keterbatasan yang
dimilikinya, seperti tingkat pendidikan, permodalan, dan kesadaran atas
pentingnya lingkungan (Kusumastanto 1998; Sofyan, 2006).
Tidak ada pengelolaan sumberdaya alam yang berhasil tanpa melibatkan
masyarakat lokal sebagai pengguna (users) dari sumberdaya alam tersebut. Hal
ini diperkuat oleh Rashidpour et al. (2010) yang merekomendasikan bahwa dalam
pengembangan wilayah pedesaan yang berkelanjutan, termasuk agrowisata
didalamnya, maka komunitas lokal adalah mitra dan stakeholder yang paling
utama. Keterbatasan masyarakat setempat dalam mendukung pengelolaan
agrowisata masih memperlukan campur tangan dari pemerintah. Dalam
mengakomodir campur tangan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam
dapat dilakukan dengan pendekatan cooperative management (co-management),
sebagai jembatan penghubung antara pemerintah dan masyarakat (Gawell ,1984
dalam White 1994; Silver, 2002; Rashidpour, 2010).
Pendekatan
co-management
didefinisikan
sebagai
pembagian
tanggungjawab dan wewenang antara pemerintah dengan pengguna sumberdaya
alam lokal (masyarakat) dalam pengelolaan sumberdaya alam (Pomeroy dan
Williams, 1994; Oredegbe and Fadeyibi, 2009). Keberhasilan Co-Management
didasarkan atas 8 (delapan) hal yang harus diperhatikan, yaitu : (1) batas wilayah
yang jelas dan terdefinisi, (2) kejelasan keanggotaan, (3) keterikatan dalam
kelompok, (4) manfaat harus lebih besar dari biaya, (5) pengelolaan yang
sederhana, (6) kerjasama dan kepemimpinan dalam masyarakat, (7) desentralisasi
dan pendelegasian wewenang dan (8) koordinasi antara pemerintah dan
masyarakat.
Meskipun memiliki banyak kesamaan dalam pengembangan agrowisata
berbasis masyarakt, co-management dan community based management berbeda
dalam hal fokus strategi, terutama dalam hal tingkat keterlibatan pemerintah dan
22
kapan pemerintah mulai terlibat dalam proses didalamnya. Pada community based
management, kegiatan difokuskan pada pembentukan dan penguatan institusi
lokal melalui pendekatan berbasis masyarakat tanpa banyak campur tangan
pemerintah. Pada co-management, disamping dua tahap tersebut juga menekankan
pada pembentukan kemitraan antara pemerintah, komunitas dan pengguna sumber
daya (Dey dan Kasnagaratnam, 2007).
Pembangunan agrowisata berbasis masyarakat mempunyai peluang yang
cukup prospektif dengan ciri-ciri unik yang dimilikinya, seperti yang diurakian
oleh Kusumastanto (1998) dan ; Nasikun (2003), yaitu : (1) karena karakternya
yang lebih berskala kecil sehingga mudah diorganisasi, bersahabat dengan
lingkungan, secara ekologis aman, dan tidak menimbulkan banyak dampak
negatif seperti yang dihasilkan oleh jenis pariwisata konvensional yang bersifat
masif; (2) mempunyai peluang lebih mampu mengembangkan objek-objek,
atraksi atau produk agrowisata berskala kecil, sehingga dapat dikelola oleh
masyarakat dan pengusaha-pengusaha lokal, menimbulkan dampak sosial-kultural
yang minimal, dan dengan demikian memiliki peluang yang lebih besar untuk
diterima oleh masyarakat; (3) memberi peluang yang lebih besar bagi partisipasi
masyarakat lokal untuk melibatkan diri dalam proses pengambilan keputusan dan
didalam menikmati keuntungan perkembangan industri pariwisata, sehingga oleh
karena itu lebih memberdayakan masyarakat; (4) tidak hanya memberikan
tekanan pada pentingnya keberlanjutan kultural (cultural sustainability) akan
tetapi secara aktif bahkan berupaya membangkitkan
penghormatan para
wisatawan pada kebudayaan lokal, antara lain melalui pendidikan dan
pengembangan organisasi wisatawan.
Pentingnya pengembangan agrowisata berbasis masyarakat juga didukung
Nasikun (2003), yang menyatakan bahwa partisipasi masyarakat di dalam
pengendalian operasinya merupakan jaminan keberlanjutan (ekonomi, sosial,
kultural, bahkan politik) dari pembangunan agrowisata berbasis masyarakat.
Lebih rinci, Daniela (2002) dalam Aref dan Gill (2009) membagi partisipasi
23
masarakat dalam tiga level kapasitas, yaitu komunitas, organisasi dan individu.
Komunitas mengarah pada peran kelompok masyarakat yang terikat secara
informal dalam lingkup geografis yang sama. Organisasi dan individu mengarah
pada organisasi pariwisata dan peran perorangan dalam agrowisata.
Pembangunan
berbasis
masyarakat
membutuhkan
kepemimpinan,
manjemen sumberdaya manusia, koordinasi kegiatan dan pengaturan lainnya
sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kemampuan anggota menjadi lebih
berdaya.
Proses pemberdayaan seyogyanya
dapat memberikan peluang bagi
anggotanya untuk ambil bagian dalam pengambilan keputusan, tanggung jawab
kolektif dan kepemimpinan kolektif (Rana, 2008).
Proses dan hasil pemberdayaan terjadi pada semua tingkat analisis. Proses
pemberdayaan individu dapat berupa konsultasi yang membantu seseorang dapat
memahami peran dan tanggung jawabnya sekaligus memberikan keterampilan,
keahlian dan pengalaman yang berguna. Pemberdayaan organisasi dapat berupa
kelompok kerjasama yang membantu anggotanya dalam memahami dan memiliki
keterampilan berorganisasi dan kepemimpinan (Perkins dan Zimmerman, 1995;
Stenning and Miyoshi, 2008).
Pembangunan yang berbasis masyarakat dapat diartikan sebagai
pembangunan yang bertumpu dan berpihak pada masyarakat luas. Menurut
William dan Gill (1998) dan Barlian (2003) keberpihakan ini mempunyai dua sisi
yaitu:
a). Dari sisi pengelola ekonomi, yaitu masyarakat diberi kesempatan
untuk berpartisipasi lebih banyak dalam pengelolaan ekonomi dalam
sistem produksi dan distribusi.
b). Dari sisi kemauan masyarakat, yaitu kemauan tentang apa yang
diinginkan dan dibutuhkan oleh masyarakat di daerah itu melalui
proses seleksi atas pertimbangan lingkungan, adat istiadat, selera,
serta kebiasaan dari masyarakat.
Lagarense (2003) menyatakan, agrowisata merupakan salah satu alternatif
pariwisata yang potensial untuk dikembangkan dengan pendekatan community
based development. Pendekatan ini ditujukan untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat, menyediakan lapangan kerja dan juga berperan dalam peningkatan
kesadaran konservasi. Peningkatan pendapatan masyarakat dan penyediaan
24
lapangan kerja dilakukan melalui kegiatan produksi dan jasa yang terkait dengan
pengembangan agrowisata. Upaya peningkatan pendapatan masyarakat harus
tetap dalam kerangka pembangunan yang menjamin
konservasi sumberdaya
alam.
Pariwisata merupakan salah satu industri yang seharusnya berperan aktif
dalam mendukung program pembangunan berkelanjutan. Hal ini karena industri
pariwisata termasuk di dalamnya agrowisata sangat tergantung pada kelestarian
alam.
Dengan demikian sektor agrowisata bekerja sama dengan sektor lain,
industri dan pemerintah menjamin terpeliharanya kelestarian lingkungan dan
sumberdaya alam (Murphy,1994; Rana, 2008).
Konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan sebenarnya sudah populer di
dunia sejak akhir Tahun 1980-an. Konsep ini muncul sebagai masukan terhadap
paradigma dari konsep pariwisata yang pada awalnya hanya mementingkan segi
ekonominya saja, yaitu pemasukan dan banyaknya jumlah pengunjung. Adanya
potensi ekonomi yang tidak terkendali dengan tanpa memperhatikan faktor
kelestarian lingkungan tersebut pada dasarnya akan dapat merusak kawasan
pengembangan itu sendiri.
Hal ini telah ditunjukan
oleh terjadinya konsep
pembangunan pariwisata yang keliru, yakni dengan adanya bukti-bukti berupa
terjadinya kerusakan aset-aset lingkungan, hilangnya biodiversity, polusi,
kemiskinan dan tersisihnya penduduk lokal.
Kondisi tersebut di atas, pada
akhirnya mengakibatkan munculnya kesadaran bersama untuk mencegah dan
memperbaiki kerusakan tersebut. Oleh karenanya maka lembaga-lembaga dunia,
seperti Commision on Sustainable (CSD) dan World Tourism Organization
(WTO), bersepakat untuk menyusun langkah nyata dan sistematis dalam
melakukan penanggulangan kerusakan lingkungan tersebut (Cooper et al. 1998).
Faktor yang berpengaruh dalam pengembangan pariwisata berbasis
masyarakat
meliputi sejumlah aspek yakni ekonomi, kebijakan pemerintah,
pengalaman pengelola wisata, ketersediaan sarana prasarana, pengalaman
wisatawan dan sistem ekologi wilayah. Faktor–faktor tersebut saling terkait dan
25
saling mempengaruhi sehingga diperlukan suatu koordinasi dan kepemimpinan
yang dapat mengarahkan pada tercapainya tujuan bersama yakni peningkatan
taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat di daerah wisata (William dan Gill,
1998; Dey and Kanagaratnam, 2007).
Pengembangan
pariwisata berbasis masyarakat ditujukan untuk : (1)
meningkatkan pendapatan dan kualitas hidup
dari masyarakat lokal, (2)
mengembangkan karakter dan perilaku masyarakat lokal yang mendukung bagi
pengelolaan potensi sosial budaya dan sumberdaya alam dan lingkungan, (3)
mengembangkan pelayanan terhadap wisatawan tanpa merusak atau mengganggu
kelestarian sumberdaya lokal (Pigram, 1990; Dey and Kanagaratnam, 2007;
Rashidpour et al., 2010).
Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi pembangunan yang menitik
beratkan pada kepentingan dan kebutuhan rakyat yang mengarah pada
kemandirian masyarakat, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Pemberdayaan
juga diartikan sebagai pemberian kekuasaan karena kata daya tidak saja berarti
mampu, namun maknanya lebih dalam yakni selain mampu juga mempunyai
kuasa. Menurut Nasution et al. (2007) konsep pemberdayaan merupakan upaya
untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki masyarakat. Berdasarkan
hal tersebut, maka pada pemberdayaan yang ditekankan adalah pentingnya
masyarakat yang mandiri dalam mengorganisasi dirinya sendiri.
Pemberdayaan juga bertujuan untuk meningkatkan keberhasilan dari
masyarakat. Menurut Ife dan Tesoriero (2008) pada pemberdayaan dilakukan
beberapa proses, yakni penyadaran, pengkapasitasan dan ppendayaan. Menurut
Cohen dan Uphoff (1977) dalam melakukan pengelolaan sumberdaya alam,
setidaknya mengapa masyarakat perlu dilibatkan, mengingat ada tiga alasan utama
untuk mencapai hal tersebut, yaitu: (1) Sebagai langkah awal dalam rangka
mempersiapkan masyarakat untuk menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung
jawab masyarakat setempat terhadap program pengelolaan Iingkungan yang
dilaksanakan, (2) Sebagai alat untuk memperoleh informasi mengenai kebutuhan,
kondisi dan sikap masyarakat setempat, dan (3) Masyarakat mempunyai hak
untuk urun rembug dalam menentukan program-program pengelolaan lingkungan
yang akan dilaksanakan di wilayah mereka.
26
Pada
pemberdayaan
masyarakat
ini
hendaknya
juga
terdapat
kelembagaannya, mengingat kelembagaan akan dapat mengatur dan memadukan
kewenangan antar sektor terintegrasi dalam peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pengelolaan suatu sumberdaya. Hal ini sesuai dengan pendapat
Bandaragoda (2000) yang menjelaskan bahwa terdapat tiga komponen yang perlu
diperhatikan pada lembaga pengelolaan yaitu hukum, kebijakan dan administrasi.
Namun demikian agar program tetap berlanjut, Hidayat (2004) mengemukakan
bahwa agar suatu program keberlanjutan dapat terjadi maka terdapat beberapa
faktor penting untuk diperhatikan dalam kelembagaannya, yaitu : a) pembentukan
badan pengelola; b) pemanfaatan badan/kelompok masyarakat eksisting sebagai
pengelola; c) penguatan kapasitas; d) regenerasi; e) kerjasama/kemitraan.
Perlunya kelembagaan dalam pemberdayaan masyarakat sesuai dengan
pendapat Bandaragoda (2000) bahwa dalam melakukan pengelolaan sumberdaya
apapun, hendaknya dibuat organisasi yakni jaringan dari peran yang diatur dalam
hirarki dengan tujuan membatasi kewenangan individual dan mengkoordinasi
kegiatan sesuai dengan sistem aturan dan prosedur. Serta pendapat Scott (2001)
bahwa organisasi atau lembaga dapat berfungsi memberikan batasan dan
sekaligus keleluasaan bagi suatu kelompok untuk melakukan suatu kegiatan.
Pendekatan sistem dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat
perlu memperhatikan sejumlah aspek penting yaitu : (1) pengembangan tujuan
pariwisata yang terintegrasi dengan perencanaan wilayah, (2) menggunakan
sejumlah indikator kinerja yang merefleksikan tujuan pengembangan pariwisata,
(3) mengimplementasikan manajemen strategis yang mengarah pada peningkatan
tujuan pembangunan wilayah, (4) memonitor dan mengevaluasi efektifitas
manajemen strategis dalam pengembangan pariwisata.
2.7.Social Representation Theory
Social representation theory (SRT) adalah serangkaian konsep yang
terfokus pada sistem nilai, ide, pandangan dan praktek-praktek dengan fungsi
utama memfasilitasi komunikasi antara anggota komunitas. SRT sangat tepat
diaplikasikan pada kasus yang melibatkan perspektif sosial, tantangan, hambatan
dan konflik yang diakibatkan karena adanya perubahan dan juga dilengkapi
27
dengan adanya ide-ide dan komunikasi dalam ruang publik (Yutyunyong, 2009).
Kajian-kajian tentang pariwisata dan perilaku komunitas di sekitarnya sebagai
reaksi atas munculnya pariwisata memiliki karakteristik-karakteristik tersebut,
sehingga sangat tepat untuk dianalisis dengan SRT (Pearce et al., 1996).
Penerapan kerangka kerja dalam SRT mampu mengevaluasi bagaimana
persepsi individu dalam komunitas berpengaruh terhadap pengembangan
pariwisata di dalamnya. Hal ini karena SRT mampu mengidentifikasi hubungan
antara aspek sosio-ekonomi dan aspek-aspek lain dalam komunitas, antara lain
nilai
yang
dianut,
kepercayaan,
pengembangan pariwisata.
norma-norma
dan
pandangan
tentang
Pearce (1991) mengisyaratkan bahwa SRT dapat
digunakan untuk memahami bagaimana kelompok-kelompok dalam komunitas
memandang pariwisata dalam wilyah mereka. Hasil pemahaman ini akan sangat
bermanfaat sebagai masukan dalam proses perencanaan dan pengembangan
pariwisata.
Landasan kerja SRT adalah bahwa terdapat banyak kelompok individu
dalam komunitas yang memiliki kesamaan nilai dan sikap. Dalam SRT, sikap
individu
diidentifikasi
kemudian
dikelompokkan
berdasarkan
kesamaan-
kesamaan yang ada. SRT dikendalikan oleh subyek yang diamati dan dianalisis.
Sehingga SRT adalah bentuk kajian terbuka yang memberi kesempatan pada
setiap individu menentukan arah penelitian, dan bukan peneliti yang menunjukkan
dan menetapkannya (Beeton, 2006).
Andereck and Vogt (2000) menyatakan bahwa meskipun penelitian
tentang sikap komunitas terhadap pariwisata telah banyak dilakukan, tetapi hanya
sedikit yang mengamati hubungan antara sikap komunitas dengan dukungan yang
diberikan dalam pengembangan pariwisata; oleh karena itu perlu ditegaskan
bahwa SRT menitikberatkan analisis pada interaksi dan pengaruh sosial dalam
komunitas, bukan hanya pada interpretasi individu dalam aktivitas-aktivitas
pariwisata. Secara terperinci, ada tiga langkah yang ditempuh dalam
mengidentifikasi dan membangun representasi sosial sebagai pokok bahasan
dalam SRT, yaitu menggali sikap dan pandangan individu, mengavaluasi
intensitas individu dan menetapkan prioritas serta kinerja (Beeton, 2006).
28
2.8.Teori Fuzzy
Teori fuzzy merupakan suatu cara pengambilan keputusan melalui
pendekatan logika fuzzy dan sangat berguna untuk memecahkan masalah-masalah
yang
berhubungan
dengan
hal-hal
yang
mengandung
ketidaktepatan
(imprecision). Logika fuzzy memungkinkan membangun sistem yang lebih
merefleksikan data. Logika fuzzy menggunakan derajat keanggotaan pada interval
(0 dan 1) untuk beragam kemungkinan pilihan yang didasarkan pada suatu nilai
variable.
Di samping fungsi keanggotaan, ada komponen kedua dari logika fuzzy
yaitu aturan-aturan fuzzy (fuzzy rules) yaitu suatu aturan yang memungkinkan
menterjemahkan aturan-aturan fuzzy dari kecerdasan manusia menjadi program
yang dapat diimplementasikan pada komputer. Terdapat beberapa cara untuk
menurunkan aturan fuzzy (Kuswadi,
2000) antara lain
berdasarkan hal-hal
berikut :
a). Pengetahuan pakar atau diturunkan dari ilmu rekayasa yang
bersesuaian.
b). Sifat/kemampuan operatif yang direkam dan kemudian dilakukan
analisis untuk menemukan aturan-aturan tersebut,
c).
Penurunan berdasarkan model fuzzy dari sistem atau proses.
Teori gugus fuzzy
pertama kali hanya dipandang sebagai teknik yang
secara matematis mengekspresikan ambiguity dalam bahasa. Teori gugus fuzzy
dikembangkan
sebagai pengukuran beragam fenomena ambiguity
secara
matematis yang mencakup konsep peluang.
Menurut Marimin (2002), sistem fuzzy merupakan penduga numerik yang
terstruktur dan dinamik.
Sistem tersebut mempunyai kemampuan untuk
mengembangkan sistem intelijen dalam lingkungan yang tidak pasti dan tidak
tepat. Sistem ini menduga suatu fungsi dengan logika fuzzy. Logika fuzzy sering
menggunakan informasi linguistik dan verbal.
Dalam logika fuzzy terdapat
beberapa proses, yaitu penentuan gugus fuzzy, penerapan aturan if-then serta
proses inferensi fuzzy. Alur penyelesaian masalah dengan menggunakan metode
fuzzy disajikan pada Gambar 3.
29
Permasalahan Nyata
Representasi Alami
Fuzzifikasi
Komputasi secara
Fuzzy
Defuzzifikasi
Solusi
Gambar 3 Alur penyelesaian masalah dengan metode fuzzy (Marimin, 2002)
Pendekatan fuzzy dapat dilakukan dengan metode numerik, semi numerik
dan non numerik.
Dalam perkembangannya, pendekatan fuzzy non numerik
memiliki beberapa keuntungan diantaranya, dapat merepresentasikan informasi
bersifat label dan mengkomputasikan juga menggunakan label.
Aplikasi pendekatan
fuzzy non-numerik
dalam beberapa kasus terbukti
cukup efektif dalam membantu proses pengambilan keputusan (Marimin, 1997;
Santoso dan Marimin, 2001). Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis
keputusan dengan pendekatan fuzzy non numerik adalah sebagai berikut :
a). Mengumpulkan informasi dan faktor-faktor yang berpengaruh. Pada
tahap ini dilakukan pemilihan faktor yang berpengaruh
terhadap
agrowisata. Hasil-hasil penelitian dan data sekunder yang relevan
sangat dibutuhkan dalam menunjang akurasi pemilihan faktor.
b).
Menentukan ahli yang dianggap memiliki kapabilitas dan kompetensi
yang yang baik dalam memberikan penilaian sehingga dapat mewakili
sistem yang dimodelkan.
30
c).
Setiap ahli melakukan penilaian bobot dan nilai terhadap setiap faktor
yang telah ditentukan.
d).
Menghitung nilai dari setiap faktor untuk setiap pengambilan keputusan
ke-j (V ij ) pada semua variabel (ak). Rumus yang digunakan dalam
perhitungan (Yager, 1993) adalah
P ik = Min [Neg I(q i ) ∨ P ik (q j )] .......................................................
keterangan
P ik
= nilai agregasi dari penilai
I (q j )
= tingkat intensitas
Neg (I i ) = I q-i+1
P ik (q j ) = nilai dari pendapat penilai
V
= notasi maksimum
(1)
e). Menentukan bobot faktor nilai pengambil keputusan dengan formula
Q A (k) = S b(k)t]y
b (k) = Int [1 + k*(q-1)/r ] ............................................................. (2)
keterangan
Q A (k) = bobot rata-rata penilai pada skala k
q
= jumlah skala penilaian
r
= jumlah penilai/pakar
f). Menentukan nilai gabungan dari seluruh nilai pakar dengan menggunakan
metode OWA (Ordered Weighted Average)
(Yager, 1993)
dengan
rumus
P i = Max j,....r [Q j ∧B j ] ........................................................... (3)
dimana,
P i = nilai agregasi
Q j = bobot kelompok penilai
B j = Pengurutan nilai dari besar ke kecil.
g). Proses perhitungan dari
tahap ke-4 sampai ke-6
dilakukan secara
berulang sampai diperoleh nilai agregasi total sebagai nilai prioritas.
2.9.Metode Perbandingan Eksponensial
Metode
perbandingan
eksponensial
(MPE)
digunakan
untuk
membandingkan beberapa alternatif dengan menggunakan sejumlah kriteria yang
ditentukan berdasarkan hasil survei dengan pakar terkait. MPE adalah salah satu
31
metode pengambilan keputusan yang mengkuantitaskan pendapat seseorang atau
lebih dalam skala tertentu. MPE pada prinsipnya merupakan suatu metode skoring
terhadap pilihan-pilihan yang ada. Melalui penghitungan secara eksponensial,
perbedaan nilai kriteria yang satu dengan kriteria yang lainnya dapat dibedakan
dengan jelas tergantung tingkat penilaiannya.
Penentuan kriteria dan tingkat akurasi penilaiannya menjadi faktor penting
dalam pengambilan keputusan (Cabrera and Gilardo, 2009). Tahapan yang
dilakukan
dalam melaksanakan teknik MPE
adalah : (1) menulis semua
alternatif, (2) menentukan kriteria-kriteria penting dalam pengambilan keputusan,
(3) mengadakan penilaian terhadap setiap kriteria, (4) mengadakan penilaian
terhadap semua alternatif pada masing-masing kriteria, (5) menghitung nilai dari
setiap alternatif, (6) memberikan tingkat prioritas kepada setiap alternatif sesuai
nilainya.
Penghitungan nilai untuk masing-masing alternatif
adalah sebagai
berikut :
Nilai alternatif (m) = (nilai kriteria 1) ^ ( taraf kepentingan) + (nilai
kriteria 2) ^ ( taraf kepentingan) + … + (nilai kriteria n) ^ (taraf kepentingan).
2.10.
Proses Hirarki Analitik
AHP adalah proses perbandingan berpasangan berdasarkan hierarki
dengan dua elemen, atribut dan alternatif. Tujuan utama dari AHP adalah
mendapatkan peringkat dari alternatif-alternatif yang ada dengan pembobotan atas
atribut dan sub-atribut yang digunakan (Cabrera, 2009). Sejak diperkenalkan,
AHP telah mengalami banyak perbaikan dan pengembangan antara lain dari aspek
sistem hirarki dan dampaknya, prosedur sintesis dan penilaian rasio, perbedaan
peringkat, perbandingan berpasangan, teori dan aplikasi proses jaringan analitik,
dasar-dasar AHP, dan sebagainya. Penelitian-penelitian dalam pengembangan
teknik AHP ditampilkan dalam Tabel 1.
32
Tabel 1. Pengembangan metode pengambilan keputusan
Penulis
Tahun Judul
Saaty, T.L
1980
Interaksi Dan Dampak Dalam Sistem
Hirarki
Aczel, J dan Saaty , T.L
1983
Prosedur Sintesis Penilaian Rasio
Aczel, J dan Alsina
1986
Sintesis Penilaian
Buede, D dan Maxwell, 1995
Perbedaan
Peringkat:
D.T
Perbandingan Metodologi Multi Kriteria
Saaty, T.L dan Vargas, L.G 2003
Pemilihan
Grup:
Sebuah
Perbandingan
Berpasangan Dan Penggabungan Fungsi
Saaty, T.L
2005
Teori
Dan
Aplikasi
Proses
Jaringan
Analitik
Saaty, T.L
2006
Dasar-Dasar AHP
Saaty, T.L dan Tran, L.T
2007
Invaliditas
Penilaian
Numerik
Fuzzy
Dalam AHP
Saaty, T.L dan Peniwati, K
2008
Pengambilan Keputusan Kelompok
Sumber: Cabrera (2009)
Dalam menyelesaikan persoalan dengan AHP, ada beberapa prinsip yang
harus dipahami antara lain, dekomposisi (decomposition), penilaian komparatif
(comparative judgment), sintesa prioritas (synthesis of priority) dan konsistensi
logis (logical consistency). Dekomposisi adalah merupakan pemecahan yang utuh
menjadi unsur-unsurnya.
pemecahan
Jika ingin
mendapatkan hasil yang lebih akurat,
juga dilakukan terhadap
unsur-unsurnya sampai tidak mungkin
dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehinga didapatkan beberapa tingkatan hirarki
dari persoalan tersebut. Sedangkan penilaian secara komparatif adalah menilai
tingkat kepentingan relatif dua elemen pada satu tingkat tertentu dalam kaitannya
dengan tingkat di atasnya.
Penilaian ini merupakan inti AHP, karena akan
berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil penilaian disajikan dalam
bentuk matriks yang dinamakan matriks pairwise comparison.
33
Adapun sintesis prioritas adalah merupakan cara untuk menentukan tingkat
prioritas dari berbagai data yang terdapat pada pairwise comparison. Pada setiap
matriks pairwise comparison terdapat prioritas local (local priority). Karena
matriks-matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk
mendapatkan global
priority
harus dilakukan sintesa diantara local priority
tersebut. Pengurutan elemen-elemen tersebut menurut kepentingan relatif melalui
prosedur sintesa yang dinamakan priority setting. Sedangkan logical consistency
memiliki dua makna, yaitu: a) Pertama, bahwa obyek-obyek yang serupa dapat
dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansinya, b). Kedua, tingkat
hubungan antara obyek-obyek didasarkan pada kriteria tertentu misalnya sama
penting, sedikit lebih penting, jelas lebih penting, multak lebih penting (Saaty,
2008).
Dalam pengambilan keputusan dengan AHP, terdapat beberapa konsep
dasar yang harus dipahami yaitu komparasi berpasangan, pengolahan, penentuan
matriks pendapat individu, matriks pendapat gabungan, pengolahan horisontal dan
pengolahan vertikal. Avenzora (2012; pers com) menyatakan bahwa ketelitian di
dalam tiap langkah adalah merupakan salah satu kunci utama dalam keberhasilan
penggunaan metoda AHP.
Komparasi Berpasangan. Penilaian dengan teknik komparasi secara
berpasangan terhadap elemen-elemen dalam suatu tingkat hirarki merupakan
tahapan terpenting dalam AHP.
Penilaian dilakukan dengan memberikan bobot
numerik dengan membandingkan antara satu elemen dengan elemen lainnya.
Tahapa selanjutnya melakukan sintesa terhadap hasil penilaian untuk menentukan
prioritas elemen.
Skala komparasi yang digunakan adalah 1 sampai 9, yang menurut Saaty
(2008) sangat valid keefektifannya, tidak hanya dalam banyak aplikasi, namun
juga melalui komparasi teoritis dengan banyak skala lainnya. Skala dasar nilai
absolut untuk merepresentasikan intensitas penilaian disajikan pada Tabel 2.
34
Tabel 2. Skala perbandingan dasar dalam intensitas penilaian
Tingkat
kepentingan
1
Definisi
3
Sedikit lebih penting dari elemen lainnya
5
Jelas lebih penting dibanding elemen yang lain
7
Sangat jelas lebih penting dari elemen lain
9
Mutlak lebih penting atau terpenting dari elemen yang lain
1/(1-9)
Kebalikan nilai tingkat kepentingan dari skala 1 - 9
Sama penting antara dua elemen
Sumber : Saaty (2008)
Matriks Pendapat Individu. Jika C1, C2, ………., Cn adalah set elemen
suatu tingkat keputusan dalam hirarki, maka kuantifikasi pendapat dari hasil
komparasi berpasangan setiap elemen terhadap elemen lainnya akan membentuk
matriks A yang berukuran n x n.
Apabila elemen Ci dibandingkan dengan
elemen Cj, maka aij merupakan nilai matriks pendapat hasil komparasi yang
mencerminkan nilai tingkat kepentingan Ci terhadap Cj. Nilai matriks aij = 1/ aij,
yaitu nilai kebalikan dari matriks aij. Jika i = j, maka nilai matriks aij = aji = 1,
karena perbandingan elemen terhadap elemen itu sendiri adalah 1.
Formulasi matriks A yang berukuran n x n dengan elemen C1, C2, …, Cn
untuk ij = 1, 2, 3, …. n dan ij merupakan nilai matriks pendapat hasil komparasi
yang mencerminkan nilai tingkat kepentingan Ci, Cj untuk i,j = 1, 2, 3,….n adalah
sebagai berikut:
C1
C2
..
..
..
Cn
C1
a11
a12
..
..
..
a1n
A=
.
1/a12
a22
..
..
..
a2n
.
.
..
..
..
..
.
.
.
..
..
..
..
Cn
1/a1n
1/a2n
..
..
..
ann
35
Matriks Pendapat Gabungan. Matriks pendapat gabungan (G) merupakan
susunan matriks baru yang elemen-elemen matriksnya (gij) berasal dari rata-rata
geometrik
elemen-elemen
konsistensinya (CR)
matriks pendapat individu (aij)
memenuhi persyaratan.
yang rasio
Formulasi persamaan untuk
mendapatkan nilai rata-rata geometrik adalah rumus
m
g ij = m ∏ aij ( k )
............................................................. (9)
k =1
Pengolahan Horisontal. Pengolahan horizontal digunakan
untuk
menyusun prioritas elemen-elemen keputusan pada tingkat hirarki keputusan.
Tahapan perhitungan yang dilakukan pada pengolahan horizontal ditunjukkan
pada persamaan-persamaan berikut :
a). Perkalian baris (Z) dengan rumus
Zi = n
n
∏a
.......................................................................
ij
(10)
k =1
b). Perhitungan eigen vector atau vektor prioritas (VP) dengan rumus
m
n
VPi =
∏a
ij ( k )
k =1
∑ ∏a
n
i =1
.............................................................. (11)
m
n
ij ( k )
k =1
c). Perhitungan nilai eigen maksimum ( λmaks ) dengan rumus :
VA = (aij) x VP, dengan VA = (vai) .......................................... (12)
VB = VA/VP , dengan VB = (vbi) ......................................... (13)
1 n
λmax = ∑ vbi untuk i =1, 2, 3, ......, n ........................... (14)
n i =1
36
d). Perhitungan Indeks konsistensi (CI) dengan rumus :
CI =
λmax − n
n −1
..................................................................... (15)
e). Perhitungan Rasio Konsistensi (CR) dengan rumus :
CR =
CI
RI
.......................................................................... (16)
Keterangan : RI adalah Indeks Acak (Random Indeks)
Nilai indeks acak bervariasi sesuai dengan orde matriksnya yang dapat
dilihat pada Tabel 3. Nilai rasio konsistensi (CR) yang lebih kecil atau sama
dengan 0,1 merupakan nilai yang mempunyai tingkat konsistensi yang baik dan
dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demikian nilai CR merupakan tolok ukur
bagi konsistensi hasil komparasi berpasangan suatu matriks pendapat.
Tabel 3. Nilai indeks acak (RI) matriks
Orde (n)
RI
Orde (n)
RI
1
2
3
4
5
6
7
8
0,00
0,00
0,58
0,90
1,12
1,24
1,32
1,41
9
10
11
12
13
14
15
1,45
1,49
1,51
1,54
1,56
1,57
1,59
Pengolahan vertical. Pengolahan vertikal digunakan untuk menyusun
prioritas pengaruh elemen pada tingkat hirarki terhadap sasaran utama. Jika CVij
adalah nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-i terhadap sasaran
utama, maka :
s
CVij = ∑ CH ij ( t ,i −1) xVWt (i −1)
......................................................... (17)
i =1
untuk : i = 1, 2, 3, ……………………… p
j = 1, 2, 3, ……………………… r
k = 1, 2, 3, ……………………… s
Keterangan :
37
CHij = nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-i terhadap
elemen ke-t pada tingkat di atasnya (i-1), yang diperolehnya dari
hasil pengolahan horizontal.
VWt(i-1) = nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke (i-1)
terhadap sasaran utama, diperoleh dari hasil pengolahan vertikal.
p
r
s
Jika
= jumlah tingkat hirarki keputusan
= jumlah elemen yang ada pada tingkat ke-i
= jumlah elemen yang ada pada tingkat ke- (i-1).
dalam hirarki keputusan terhadap dua faktor yang tidak berhubungan
(keduanya tidak saling mempengaruhi), maka nilai prioritas sama dengan nol.
2.11. Interpretative Structural Modeling
Teknik interpretative structural modeling (ISM) adalah proses pengkajian
kelompok dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang
kompleks dari suatu sistem melalui pola yang dirancang secara seksama dengan
menggunakan grafis serta kalimat.
Teknik ISM terutama ditujukan untuk
pengkajian oleh suatu tim, namun biasa juga dipakai oleh seorang peneliti
(Eriyatno, 1999; Kanungo and Jain, 2009).
Kanungo
and Jain (2009) menyatakan, teknik ISM berkaitan dengan
interpretasi dari suatu obyek yang utuh atau perwakilan sistem melalui aplikasi
teori grafis secara sistematika dan iteratif. Metode ISM terdiri dari dua tahapan
dengan dua kegiatan utama yaitu penyusunan hirarki dan klasifikasi sub-elemen.
Permasalahan yang sedang ditelaah penjenjangan strukturnya dibagi menjadi
elemen-elemen dimana setiap elemen diuraikan menjadi sejumlah sub elemen
sampai dipandang memadai. Setiap elemen dan program yang dikaji selanjutnya
dijabarkan menjadi sejumlah sub-elemen menggunakan masukan dari kelompok
studi. Tahap berikutnya, ditetapkan hubungan kontekstual antar sub-elemen
dimana terkandung adanya suatu pengarahan (direction).
Hubungan kontekstual selalu dinyatakan dalam terminologi sub-ordinat
yang menuju pada perbandingan berpasangan antar sub-elemen, didalamnya
terkandung suatu arahan pada hubungan tersebut. Berdasarkan pertimbangan
hubungan kontekstual maka disusunlah Structural Self-Interaction Matrix (SSIM).
38
Penyusunan SSIM menggunakan simbol V,A, X dan O, yaitu :
V adalah eij = 1 dan eji = 0
X adalah eij = 1 dan eji = 1
A adalah eij = 0 dan eji = 1
O adalah eij = 0 dan eji = 0
Setelah SSIM dibentuk, kemudian dibuat tabel Reachability Matrix (RM)
dengan mengganti V, A, X dan O menjadi bilangan 1 dan 0. Kemudian dilakukan
pengkajian
menurut Aturan Transitivitas, dimana dilakukan koreksi terhadap
SSIM sampai terjadi matriks tertutup. Modifikasi SSIM membutuhkan masukan
dari pakar, dengan diberi catatan khusus agar perhatian ditujukan hanya pada subelemen tertentu. Hasil revisi SSIM dan matriks yang memenuhi syarat Aturan
Transitivitas adalah penetapan pilihan jenjang (level partition).
Pengolahan
bersifat tabulatif dengan pengisian format.
Klasifikasi sub-elemen mengacu pada hasil olahan dari RM yang telah
memenuhi aturan transitivitas. Hasil olahan tersebut didapatkan nilai DriverPower (DP) dan nilai Dependence (D) untuk menentukan klasifikasi sub-elemen
yang digolongkan dalam empat sektor, yaitu :
a).
Sektor 1 : Weak driver-weak dependent variables (Autonomous).
Peubah di sektor ini ini tidak berkaitan dengan sistem atau mungkin
hanya mempunyai hubungan yang relatif kecil.
b).
Sektor 2 : Weak driver-strongly dependent variables (Dependent).
Peubah pada sektor ini adalah peubah yang tidak bebas. Artinya,
peubah ini sangat tergantung dari input dan tindakan yang diberikan
terhadap sistem terutama dari peubah linkage.
c).
Sektor 3: Strong driver-strongly dependent variables (Linkage).
Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan
antar peubah adalah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut
akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik
pengaruhnya bisa memperbesar dampak.
d).
Sektor 4 : Strong driver-weak dependent variables (Independent).
Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut
peubah bebas.
Download