proposal penelitian

advertisement
REFORMASI KEWENANGAN PRESIDEN PASCA AMANDEMEN
(SUATU KAJIAN YURIDIS-NORMATIF DAN HUKUM
KETATANEGARAAN ISLAM)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
oleh :
SITI ATIQOH
NIM: 106045203729
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul REFORMASI KEWENANGAN PRESIDEN PASCA AMANDEMEN (SUATU
KAJIAN YURIDIS-NORMATIF DAN HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM) telah diujikan
dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta pada 17 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Siyasah Syar’iyyah.
Jakarta, 17 Juni 2010
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof.Dr.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 195505051982031012
PANITIA UJIAN
1. Ketua
: Dr. Asmawi, M.Ag
(…………………….)
197210101997031008
2. Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag
(.................................)
197102151997032002
3. Pembimbing: Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, MA
196912161996031001
(…………………….)
4. Penguji I
(…………………….)
: Prof.Dr.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
195505051982031012
5. Penguji II : Dr. Jaenal Aripin, M.Ag
197210161998031004
(…………………….)
REFORMASI KEWENANGAN PRESIDEN PASCA AMANDEMEN (SUATU
KAJIAN YURIDIS-NORMATIF DAN HUKUM KETATANEGARAAN
ISLAM)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh
Siti Atiqoh
NIM: 106045203729
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing
Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, MA
NIP.196912161996031001
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 10 Juni 2010
Siti Atiqoh
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas segala
rahmat, hidayah dan inayah-Nya yang telah diberikan kepada penulis kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasul yang berjasa besar
kepada kita semua dalam membuka gerbang ilmu pengetahuan.
Skripsi yang berjudul “REFORMASI KEWENANGAN PRESIDEN
PASCA AMANDEMEN (SUATU KAJIAN YURIDIS-NORMATIF DAN
HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM)” penulis susun dalam rangka memenuhi
dan melengkapi persyaratan mencapai gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program
Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah (Ketatanegaraan Islam)
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Setulus hati, penulis sadari bahwa tidak akan sanggup menghadapi dan
mengatasi berbagai macam hambatan dan rintangan yang mengganggu lancarnya
penulisan skripsi ini, tanpa adanya bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, dalam kesempatan yang berharga ini perkenankan penulis untuk
menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MH.,MM. Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
i
2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, dan ibu Sri Hidayati M. Ag, Ketua dan Sekretaris
Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas waktu dan
solusinya selama ini.
3. Bapak Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, MA, sebagai Dosen Pembimbing
penulis yang senantiasa membimbing dan meluangkan waktunya untuk
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang memberikan berbagai
macam disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berarti bagi
perkembangan pemikiran dan wawasan yang luas bagi penulis.
5. Segenap pengelola Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta atas pelayanan referensi bukubukunya.
6. Orang tua penulis Bapak (Alm). H. Dulatif dan Ibu Hj. Nunung Nurhayati,
penulis memohon maaf untuk segala macam perilaku penulis yang tidak
berkenan di hati, penulis juga mengucapkan terima kasih yang teramat yang
sangat atas cinta, kasih dan sayangnya, kepada orang tua penulis yang telah
merawat dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.
7. Kepada kakak-kakak ku: Wahyu Firmansyah, S.Pd, Nur Sofian Chotib S.Sos
I, terima kasih banyak atas cinta, kasih dan sayang kalian berikan kepada
penulis baik moril maupun materi, penulis tidak bisa mambalas jasa-jasa
ii
kalian, penulis hanya bisa mendoakan semoga kalian selalu diberkahi dan
mendapatkan kemudahan dalam urusan kalian.
8. Sahabat-sahabat penulis yang tercinta, Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah Tahun
Akademik 2006-2007, Naziah, Alif, Asriyah, Apriyanti, Mecca, yang
senantiasa menemani penulis dalam mengerjakan skripsi ini, teman-teman SS
yang lainya Mufti, Lina, Rifqoh, Dian, Esa, Irsyad, Imron, Ery, Luthfi, Bowo,
Ridwan, Ade, Bangkit, dll. Untuk sahabat-sahabat semua yang telah berbagi
ilmu ketika belajar dikampus tercinta ini. Untuk sahabat-sahabat penulis Ust.
Syuhada, Ita, Dyan, dan anak-anak ta’lim lainnya, terima kasih yang telah
menemani penulis saat suka dan duka.
Terakhir penulis berdo’a kepada Allah semoga ilmu yang telah kita dapat di
kampus ini bermanfaat bagi kita semua dan diberkahi oleh Allah SWT. Amien.
Jakarta, 10 Juni 2010 M
.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……….......……………………………………………...
i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………. iv
BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………. 1
A. Latar Belakang Masalah……………………………………… 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………………………… 7
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian……………………. 8
D. Metode Penelitian…………………………………………….. 9
E. Review Studi Terdahulu……………………………………… 11
F. Sistematika Penulisan………………………………………… 14
BAB II
KONSEP LEMBAGA NEGARA DALAM ISLAM DAN
MENURUT UUD 1945…………………………………………. 17
A. Konsep Lembaga Negara Dalam Islam……………………..... 17
1. Al-Sulthah al-tasyri’iyyah……………………………. 18
2. Al-Sulthah al-tanfidziyah…………………………….. 20
3. Al-Sulthah al-qadha’iyyah……………………………. 23
B. Konsep Lembaga Negara Menurut UUD 1945………………. 23
1. Legislatif……………………………………………… 24
2. Eksekutif……………………………………………… 26
3. Yudikatif……………………………………………… 27
iv
BAB III
KEPRESIDENAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK
INDONESIA (NKRI)……………………………………...........
28
A. Pemerintahan Presidensial……………………………………. 28
B. Presiden dan Wakil Presiden………………………………… 32
C. Kewenangan Presiden………………………………………..
BAB IV
33
ANALISIS KEWENANGAN PRESIDEN MENURUT UUD 1945
HASIL AMANDEMEN & DALAM PERSPEKTIF
KETATAEGARAAN ISLAM…………………………………. 38
A. Kewenangan Presiden dalam UUD 1945…………………….. 38
B. Perubahan Kewenangan Presiden dalam Ketentuan UUD 1945
Hasil Amandemen …………………........................................ 42
C. Kewenangan Presiden atau Kepala Negara dalam Perspektif
Ketatanegaraan Islam……………………………………….... 53
BAB V
D. Analisis Persamaan dan Perbedaan…………………………..
55
PENUTUP……………………………………………………….
58
A. Kesimpulan…………………………………………………..
58
B. Saran-saran…………………………………………………...
62
DAFTAR PUSTAKA
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bila dilihat dari sudut pandangan hukum Islam tentang tujuan penciptaan
suatu negara, maka akan diperoleh gambaran sebagai berikut, yaitu bahwa tujuan
“suatu negara Islam adalah untuk memelihara keamanan dan integritas negara,
menjaga hukum dan ketertiban, dan untuk memajukan negeri hingga setiap
individu dalam negeri itu dapat merealisasikan seluruh potensinya sambil
memberikan sumbangan bagi kesejahteraan semua 1 .
Hukum yang benar adalah faktor penentu keselamatan umat manusia di bumi
ini. Menurut Islam, hukum yang benar adalah benar ini adalah yang dapat
menyelamatkan umat manusia di dunia sampai akhirat. Hukum ini hanya satu,
yaitu hukum yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan hadits.
Dalam fiqh siyasah, konstitusi disebut juga dengan dusturi. Kata ini berasal
dari bahasa Persia. Semula artinya adalah seseorang yang memiliki otoritas, baik
dalam bidang politik maupun agama. Setelah mengalami penyerapan ke dalam
bahasa Arab, kata dustur berkembang pengertiannya menjadi asas, dasar atau
pembinaan 2 . Menurut istilah, dustur berarti kumpulan kaedah yang mengatur
1
Ahmad Syafi’I Maarif, Islam dan Pancasila sebagai dasar negara, (Jakarta: LP3S
Indonesia, 2006) h. 13
2
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 153
1
2
dasar dan hubungan kerja sama antara sesama anggota masyarakat dalam
sebuah negara, baik yang tidak tertulis (konvensi) maupun yang tertulis
(konstitusi).
Menurut Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia
sebenarnya, melainkan pikiran yang adil. Sedangkan penguasa sebenarnya hanya
pemegang hukum dan keseimbangan. Morallah yang akan menentukan baik dan
tidaknya suatu peraturan perundang-undangan dan membuat undang-undang
adalah sebagai kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Karena itu, kata
Aristoteles, yang penting adalah mendidik manusia menjadi warga negara yang
baik. Dari sikap adil itu, kebahagiaan warga negara dapat terjamin. Ajaran
Aristoteles ini sampai sekarang menjadi impian para negarawan untuk
menciptakan suatu negara hukum.
Karena itu, moral atau akhlak itu lebih dahulu adanya daripada negara atau
politik, baik dalam sejarahnya maupun di dalam kejadiannya. Moral menjadi
sumber setiap tindakan dan perbuatan manusia sebagai pribadi. Moral juga
menjadi sumber pula bagi setiap tindakan dan perbuatan masyarakat sebagai
ikatan bersama dari manusia. Karena itu, moral menjadi ukuran yang tegas bagi
negara suatu bangsa, baik untuk menetapkan suatu tindakan politik yang baik
maupun tindakan politik yang jahat 3 .
3
Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1995), h. 120-123
3
Substansi kepemimpinan politik dalam perspektif Islam merupakan sebuah
amanat yang harus diberikan kepada orang yang benar-benar “ahli”, berkualitas
dan memiliki tanggung jawab, adil, jujur dan bermoral baik. Islam tawarkan
dalam memilih seorang pemimpin agar dapat membawa umat kepada kehidupan
yang lebih baik, harmonis, dinamis, makmur, sejahtera dan tentram.
Di samping itu, pemimpin juga harus orang yang bertakwa kepada Allah.
Karena ketakwaan ini sebagai acuan dalam melihat sosok pemimpin yang benarbenar akan menjalankan amanah. Bagaimana mungkin pemimpin yang tidak
bertakwa dapat melaksanakan kepemimpinannya. Karena dalam terminologinya,
takwa diartikan sebagai melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi
segala
larangan-Nya.
Takwa
berarti
taat
dan
patuh
serta
takut
melanggar/mengingkari dari segala bentuk perintah Allah 4 .Allah berfirman dalam
surat An-Nisa ayat 59:
⌧
⌧
4
Http://racheedus.wordpress.com
4
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya” (QS. 4:59).
Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang
Dasar. Indonesia ialah Negara berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka. Pemerintahan berdasarkan atas sistem Konstitusi (Hukum
Dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
UUD 1945 merupakan konstitusi yang paling singkat dan sederhana. UUD
1945 terdiri dari 16 Bab, 37 Pasal, 4 Pasal Peraturan Peralihan, dan 2 Ayat Aturan
Tambahan itu yang mengatur lima unsur, yaitu Kekuasaan Negara, hak rakyat,
kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Konstitusi suatu negara pada hakekatnya merupakan hukum dasar tertinggi
yang memuat hal-hal mengenai penyelenggaraan negara, karenanya suatu
konstitusi harus memiliki sifat yang lebih stabil dari pada produk hukum lainnya.
Terlebih lagi jika jiwa dan semangat pelaksanaan penyelenggaraan negara juga
diatur dalam konstitusi sehingga perubahan suatu konstitusi dapat membawa
perubahan yang besar terhadap sistem penyelenggaraan negara. Bisa jadi suatu
5
negara yang demokratis berubah menjadi otoriter karena terjadi perubahan dalam
konstitusinya.
Jika diamati, dalam UUD 1945 menyedikan satu pasal yang berkenaan dengan
cara perubahan UUD, yaitu pasal 37 yang menyebutkan 5 :
1. Untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota
MPR harus hadir.
2. Putusan diambil dengan persetujan ekurang-kurangnya 2/3 jumlah
anggota yang hadir.
Perubahan UUD 1945 merupakan paket terbesar dan terpenting dari paket
reformasi. Perubahan ini sekaligus menjadi awal penentu bagi arah pembangunan
nasional ke depan. Kehidupan generasi mendatang sangat akan ditentukan oleh
kejelasan hukum dasar bangsanya hari ini. Jika tidak mampu melahirkan
antisipasi konstruktif agenda jangka panjang dengan terbitnya UUD yang
komprehensif, maka sangat tidak dapat dibayangkan seperti apa arah kehidupan
bangsa apalagi generasi di masa mendatang.
Perubahan suatu konstitusi harus dipahami secara objektif-proposional.
Perubahan UUD bukanlah berarti menghilangkan nuansa dan rasa kesatuan anakanak bangsa dalam ikatan NKRI, tetapi harus dilihat sebagai jalan terbaik bagi
5
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2002), h. 83
6
kelangsungan masa depan bangsa dalam proses perubahan yang bertanggung
jawab 6 .
Perubahan UUD 1945 berimplikasi pada penyelenggaraan kekuasaan negara
yaitu mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga
negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan
menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap
lembaga negara. Pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh Undangundang dasar adalah tidak ada yang rendah, semuanya sama diatur berdasarkan
fungsinya masing-masing.
Sesuai dengan prinsip perubahan UUD 1945 untuk mempertegas sistem
presidensial dan dianutnya pemisahan cabang-cabang kekuasaan negara yang
utama dengan prisip check and balances, maka dengan perubahan UUD 1945
berakibat pula perubahan di bidang kekuasaan eksekutif (Presiden) 7 .
Sebelum perubahan, Undang-Undang dasar 1945 memberikan pengaturan
yang dominan terhadap lembaga kepresidenan, hal ini terlihat dari jumlah pasal
maupun kekuasaan yang dimilikinya. Mulai dari pasal 4 sampai dengan pasal 15
dan pasal 22 mengatur langsung mengenai jabatan kepresidenan, dengan kata lain
pasal-pasal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan ada tiga belas dari tiga
6
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h. 83
7
Djimly Asshiddiqie, Hukum Konstitusi (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 54
7
puluh tujuh pasal UUD 1945. Ditambah lagi dengan ketentuan-ketentuan lain
yang tidak mungkin lepas dari pengaturan mengenai Presiden, seperti ketentuan
yang mengatur APBN, ketentuan yang mengatur wewenang MPR, DPR, DPA,
BPK, undang-undang organik.
Setelah perubahan (1999, 2000, 2001, 2002), hanya terdapat 19 pasal dari 37
pasal (tidak termasuk tiga pasal aturan peralihan, dan dua pasal aturan tambahan)
yang mengatur secara langsung mengenai lembaga kepresidenan. Dari 19 pasal,
ada perubahan 9 pasal yang mengatur kewenangan Presiden. Dengan kata lain,
secara kualitatif ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang kewenenangan
Presiden pasca Amandemen berkurang jika dibanding sebelum amandemen 8 .
Berdasarkan
uraian
di
atas,
penulis
melakukan
penelitian
tentang
“REFORMASI KEWENANGAN PRESIDEN PASCA AMANDEMEN (SUATU
KAJIAN YURIDIS-NORMATIF DAN HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM)”.
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
Karena pembahasan mengenai Reformasi Lembaga Kepresidenan pasca
Amandemen UUD 1945 (Yuridis-Normatif dan Hukum Ketatanegaraan
Islam), maka penulis memberikan batasan masalah yang harus dijawab, antara
lain, yaitu:
a. Bagaimana mekanisme kewenangan Presiden menurut UUD 1945
sebelum amandemen
8
Http://Fristianhumalanggionline.wordpress.com
8
b. Kewenangan Presiden atau Kepala Negara menurut perspektif
Ketatanegaraan Islam?
c. Bagaimana perubahan kewenangan Presiden setelah amandemen
UUD 1945?
Dengan mengacu kepada masalah di atas, penelitian ini menjadikan
masalah terakhir sebagai fokus masalahnya, yakni bagaimana Reformasi
Lembaga Kepresidenan Republik Indonesia pasca Perubahan (Amandemen)
(Suatu Kajian Yurisdis-Normatif dan Hukum Ketatanegaraan Islam)?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui mekanisme Kewenangan Presiden menurut UUD
1945 sebelum & sesudah amandemen.
2. Untuk mengetahui tentang Kewenangan Presiden atau Kepala Negara
menurut Persfektif ketatanegaraan Islam.
Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai tambahan
tentang ilmu pengetahuan dan wawasan tentang Kewenangan Presiden pada
umumnya. Manfaat praktis bagi penulis, pembaca, serta masyarakat pada
umumnya, adalah mengetahui bagaimana perubahan kewenangan Presiden
pasca amandemen UUD 1945. secara akademis dapat bermanfaat bagi para
akademisi fakultas Syariah dan Hukum pada umumnya dan bagi program
9
studi Jinayah Siyasah Syar’iyyah khususnya, sebagai tambahan referensi
tentang studi komparatif mengenai Lembaga Kepresidenan baik dalam UUD
1945 dan dalam Hukum Islam.
D. METODE PENELITIAN
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Jenis peneitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
jenis penelitian kepustakaan (Library research) yaitu penelitian dengan
cara mengmpulkan bahan-bahan yang berasal dari buku-buku, artikelartikel, makalah, majalah, Koran serta bahan-bahan lainnya yang berkaitan
dngn masalah yg diangkat.
Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode
peneliian hukum normatif.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
normatif, yaitu dengan menekankan pada sumber hukum Islam dan
peraturan-peraturan lain yang berlaku dalam bentuk peraturan perundangundangan. Pendekatan ini dimaksudkan untuk menelaah, mengkritisi, serta
diharapkan dapat memberi solusi, khususnya yang terkait dengan
kewenangan Presiden yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.dan
beberapa undang-undang lainnya yg relevan dengan obyek penelitian.
10
2. Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data menggunakan tehnik studi
dokumenter. Adapaun langkah-langkah pengumpulan data melalui tehnik
studi dokumenter tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Mengidentifikasikan dan menjadikan al-Qur’an, Hadist,
sumber Hukum Islam lainnya, UUD 1945, dan undangundang lainnya yang berkaitan dengan materi pembahasan
tugas akhir penulis yang bersifat Primer.
b.
Mengidentifikasikan bahan-bahan pustaka, yang bersifat
sekunder, menyangkut Ketatanegaraan Islam (Fiqh Siyasah)
c.
Mengidentifikasikan bahan-bahan pustaka, yang bersifat
sekunder, menyangkut Sistem Tata Negara Islam dan
Indonesia.
d.
Mengkompilasi, mengkritisi dan menginterpretasi data hasil
penelaahan bahan pustaka tersebut.
e.
Memformulasikan hasil dari langkah-langkah diatas ke
dalam bentuk penulisan Proposal Skripsi.
3. Jenis Data
Pada tahap ini jenis data yang di gunakan adalah data kualitatif
dengan menggunakan analisis dokumenter tehadap UUD 1945 sebelum&
sesudah
amandemen,
Kewenangan Presiden.
dan
Tinjauan
hukum
Islam
menyangkut
11
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis ini diawali dengan mengkompilasi berbagai dokumen
seperti, buku, skripsi, dan lain-lain termasuk juga peraturan perundangundangan yang berkaitan khususnya dengan Kewenangan Presiden.
Dari data yang terkumpul baik secara normatif dilakukan analisa
bahan hukum secara kualitatif, artinya dilakukan dengan menguraikan,
mengidentifikasikan, menyusun dan mengolah dan menguraikan secara
sistematis,
Kemudian
dilakukan
analisa
dengan
menjabarkan,
menginterpetasikan dengan penafsiran sistematis, sosiologis, historis, dan
menyusunnya secara logis dan sistematis. Kemudian setelah itu dilakukan
evaluasi terhadap bahan yang telah dieksplanasi, yakni nilai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
Dari hasil ini diperoleh kemudian disimpulkan terhadap permasalahan
dengan metode deduktif dan disajikan.
2. Teknik Penulisan Skripsi
Adapun teknik penulisan skripsi ini menggunakan buku pedoman
penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Cet ke-1 tahun 2007.
E. Review Studi Terdahulu
Dari literatur yang telah penulis telaah, terdapat beberapa karya tulis yang
dijadikan acuan awal oleh penulis dan untuk menjaga keaslian judul yang
12
akan penulis ajukan dalam dalam skripsi ini. Perlu kiranya penulis uraikan
juga beberapa buku atau karangan yang berkaitan atau mengkaji isu seperti
ini:
Skripsi dengan judul: “Impeachment Presiden menurut UUD 1945 hasil
amandemen dalam tinjauan Ketatanegaraan Islam” oleh Irwanto, program
studi Ketatanegaraan Islam, jurusan Jinayah Siyasah tahun 2008, bertolak
pada Impeachment dalam perspektif Politik Islam (mekanisme dan lembaga
Kepresidenan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan analisis
mekanisme proses Impeachment Presiden hasil amandemen UUD 1945).
Skripsi dengan judul: “Al-Sultah al-Tasyri’iyyah di Indonesia: studi terhadap
lembaga Negara pasca amandemen UUD 1945” oleh Indi Karim Makin Ara,
Program studi Siyasah Syar’iyyah Jurusan Jinayah Siyasah tahun 2004,
memberikan deskripsi mengenai studi Lembaga-lembaga Negara di Indonesia
(Pasca Amandemen UUD 1945) dalam klasifikasi al-Sultah al-Tasri’iyyah.
Secara spesifik skripsi ini mengulas keberadaan, kedudukan dan peran serta
hubungan antara lembaga satu dengan lembaga yang lain.
Dalam buku Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer,
dijelaskan tentang gagasan dan pemikiran Jimly asshidiqie dalam Konstitusi
dan
Ketatanegaraan
Indonesia
Kontemporer,
konstitusi
dan
konstitusionalisme negara, Demokrasi, dan Lembaga Politik seputar
amandemen UUD 1945. Buku ini mendokumentasikan perkembangan dan
pemikiran tentang Konstitusi dan Ketatanegaraan pasca perubahan UUD 1945
13
yang kemudian diharapkan dapat berkembangnya pemikiran mengenai hukum
konstitusi dan ketatanegaraan Indonesia.
Dalam buku Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam takaran
Islam, membahas tentang hukum Tata Negara dan Kepemimpinan agama.
Imamah (kepemimpinan negara) adalah dasar bagi terselenggaranya dengan
baik ajaran-ajaran agama dan pangkal dari terwujudnya kemaslahatan umat.
Sehingga kehidupan masyarakat menjadi aman dan sejahtera.
Dalam buku Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah karya
J. Suyuthi Pulungan, yang menuliskan tentang isi dari Piagam Madinah yang
dianggap sebagai konstitusi pertama yang dibuat oleh Rasulullah, yang dapat
mendeskripsikan bagaimana tinjauan Islam terhadap konstitusi.
Dalam buku Fiqh Siyasah, yang ditulis oleh Drs. M. Iqbal, M.Ag, yang
mendokumentasikan Konstitusi menurut Perspektif Islam. Buku ini dapat
mendeskripsikan bagaimana bentuk Konstitusi dalam Islam.
Dalam buku Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman, yang ditulis
oleh M. Hasbi Amirudin, bahwa buku ini berisi tentang pemikiran ataupun
gagasan Fazlur Rahman mengenai Konsep Negara Islam.
Dalam skripsi tentang “Sumber Hukum & Konstitusionalitas UU
perbandingan Indonesia dengan Negara Muslim (Pakistan, Iran, dan Mesir),
yang ditulis oleh Muhammad Zamroni, Program Studi Siyasah Syar’iyyah
jurusan Jinayah Siyasah tahun 2009. Skripsi ini membahas tentang Sumber
hukum dalam konstitusi modern, konstitusionalitas UU di Indonesia dan
14
perbandingan sumber hukum dan konstitusionalitas UU di Indonesia dengan
Negara Muslim (Pakistan, Mesir, dan Iran).
Secara umum dan komprehensif tinjauan review dan pustaka diatas telah
banyak menyinggung mengenai penerapan terhadap Perubahan Kewenangan
Presiden pasca amandemen UUD 1945. Atas dasar itu, penulis berinisiatif
untuk meninjau lebih dalam mengenai mekanisme Konstitusi (UUD 1945)
Indonesia,
serta
bagaimana
perubahan
Kewenangan
Presiden
pasca
amandemen UUD 1945 dan menurut persfektif Islam. yang merupakan
perbedaan spesifik dibanding karya tulis yang ada.
Mengenai pedoman penulisan skripsi ini, penulis menggunakan “Buku
penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah & Hukum.
Penggunaan dari berbagai macam tinjauan pustaka ini untuk menjadi acuan
dalam melaksanakan penulisan, agar dapat mencapai tujuannya. Dengan
adanya patokan ini, diharapkan dapat membuat penulis lebih mudah dalam
melaksanakan skripsi.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Adapun penelitian ini, maka penulis membagi kedalam beberapa bab, masingmasing bab mempunyai spesifikasi pembahasan mengenai topik-topik dengan
sistematika:
15
BAB I
: PENDAHULUAN
Sebagaimana layaknya laporan penelitian, maka dalam bab
menjelaskan mengenai Latar Belakang Masalah,
Pembatasan Masalah, Tujuan Penelitian,
ini
Rumusan, dan
Kegunaan Penelitian,
Metode Penelitian dan Sistematika Penelitian. Yang bertujuan untuk
mengetahui garis besarnya dari skripsi penulis.
BAB II
:KONSEP LEMBAGA NEGARA DALAM ISLAM DAN
MENURUT UUD 1945
Penjelasan pada bab ini bertujuan sebagai tolak ukur/variabel bagi
Konsep Lembaga negara dalam Islam, dan juga sebagai pintu gerbang
pembaca agar lebih memahami isi skripsi penulis.
Dalam bab ini menjelaskan tentang Konsep Lembaga Negara Dalam
Islam yaitu Al-Sulthah al-tasyri’iyyah, Al-Sulthah al-tanfidziyah, AlSulthah al-qadha’iyyah.
Dan Konsep Lembaga Negara Menurut UUD 1945, yaitu Legislatif,
Eksekutif, dan Yudikatif.
BAB III
:KEPRESIDENAN
NEGARA
KESATUAN
REPUBLIK
INDONESIA (NKRI)
Penjelasan pada bab ini bertujuan sebagai tolak ukur/variabel bagi ,
Kepresidenan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan juga
sebagai pintu gerbang pembaca agar lebih memahami isi skripsi
16
penulis pada bab ini. Dalam bab ini menjelaskan tentang Pemerintahan
Presidensial, Presiden dan Wakil Presiden, dan Kewengan Presiden
BAB IV
:ANALISIS KEWENANGAN PRESIDEN MENURUT UUD 1945
DAN DALAM PERSPEKTIF KETATANEGARAAN ISLAM
Penjelasan pada bab ini bertujuan sebagai tolak ukur/variabel bagi
Kewenangan Presiden Indonesia, dan juga sebagai pintu gerbang
pembaca agar lebih memahami isi skripsi penulis pada bab ini.
Dalam bab ini menjelaskan Analisis Mekanisme Kewenangan
Presiden Indonesia sebelum Amandemen UUD 1945, dan Perubahan
Kewenangan Presiden dalam ketentuan hasil Amandemen UUD 1945,
Kewenangan Presiden atau Kepala Negara dalam Perspektif
Ketatanegaraan Islam, Persamaan & Perbedaan Kewenangan Presiden
menurut UUD 1945 dan Ketatanegaraan Islam.
BAB V
: PENUTUP
Pada bab ini penulis menarik kesimpulan dari pembuktian atau uraian
yang telah ditulis dan bertalian erat dengan dengan pokok masalah,
dan saran-saran penulis, apabila ada kesalahan dan kekurangan penulis
dalam penulisan skripsi ini.
BAB II
KONSEP LEMBAGA NEGARA DALAM ISLAM DAN MENURUT UUD 1945
A. Konsep Lembaga Negara Dalam Islam
Dalam sejarah Ketatanegaraan Islam, terdapat tiga badan kekuasaan, yaitu:
Sulthah al-tasyri’iyyah (Kekuasaan Legislatif), Sulthah al-thanfidziyah (Kekuasaan
Eksekutif), Sulthah al-qadha’iyyah (Kekuasaan Yudikatif).
Prinsip kedaulatan rakyat menjadi latar belakang terciptanya struktur dan
mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan yang menjamin tegaknya sistem
hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi kelembagaan, prinsip
kedaulatan rakyat itu biasanya diorganisasikan melalui sistem pemisahan kekuasaan
(separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution of power).
Sedangkan dalam Islam yang menjadi latar belakang terciptanya struktur dan
mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan adalah berdasarkan prinsip-prinsip
tertentu yang ditetapkan Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW. Prinsip pertama adalah
bahwa seluruh kekuasaan di alam semesta ada pada Allah karena ia yang telah
menciptakannya. Prinsip kedua adalah bahwa hukum Islam ditetapkan oleh Allah
dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi, sedangkan Hadits merupakan penjelasan tentang
Al-Qur’an 1 .
1
Hakim Javid Iqbal, Masalah-masalah Teori Politik Islam, cet III, (Bandung: Mizan, 1996),
h. 57
17
18
Sesuai dengan tujuan negara yaitu menciptakan kemaslahatan bagi seluruh
manusia, maka negara mempunyai tugas-tugas penting dalam merealisasikan tujuan
tersebut. Ada tiga tugas yang dimainkan dalam hal ini 2 .
1. Al-Sulthah al-tasri’iyyah
Tugas Al-sulthah al-tasyri’iyyah adalah menciptakan perundang-undangan
yang sesuai dengan ajaran Islam. Dalam hal ini, negara memiliki kewenangan
melakukan interpretasi, analogi dan inferensi atas nash-nash Al-Qur’an dan Hadits.
Interpretasi adalah usaha negara untuk memahami dan mencari maksud sebenarnya
tuntunan hukum yang dijelaskan nash. Sedangkan analogi adalah melakukan metode
kias suatu hukum yang ada nashnya, terhadap masalah yang berkembang berdasarkan
persamaan sebab hukum. Sementara inferensi metode membuat perundang-undangan
dengan memahami prinsip-prinsip syari’ah dan kehendak Syar’I (Allah). Bila tidak
ada nash sama sekali, maka wilayah kekuasaan legislatif sejauh tidak menyimpang
dari prinsip-prinsip ajaran Islam.
Dalam realitas sejarah, kekuasaan legislatif ini dilaksanakan oleh ahl-al-hall
wa al-‘aqd 3 . Secara harfiyah, ahl-al-hall wa al-‘aqd berarti orang yang dapat
memutuskan dan mengikat. Para ahli fiqh siyasah, pengertian ahl-al-hall wa al-‘aqd
sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan
sesuatu atas nama umat (warga negara). Dengan kata lain, ahl-al-hall wa al-‘aqd
2
3
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 136
Ibid……, h.137
19
adalah lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara
masyarakat. Anggota ahl-al-hall wa al-‘aqd terdiri dari orang-orang yang berasal dari
berbagai kalangan dan profesi. Merekalah yang antara lain bertugas menetapkan dan
mengangkat kepala negara sebagai pemimpin pemerintahan 4 .
Pembentukan lembaga ahl-al-hall wa al-‘aqd perlu dalam pemerintahan
Islam, mengingat banyaknya permasalahan kenegaraan yang harus diputuskan secara
bijak dan pandangan yang tajam, sehingga mampu menciptakan kemaslahatan umat
Islam. Para ahli fiqh siyasah menyebutkan beberapa alasan pentingnya pelembagaan
majlis syura’ ini. Yaitu:
Pertama, rakyat secara keseluruhan tidak mungkin dilibatkan untuk dimintai
pendapatnya tentang masalah kenegaraan dan pembentukan undang-undang. Oleh
karena itu harus ada kelompok masyarakat yang bisa diajak musyawarah dalam
menentukan kebijaksanaan pemerintahan dan pembentukan perundang-undangan.
Kedua, rakyat secara individual tidak mungkin dikumpulkan untuk melakukan
musyawarah di suatu tempat, apalagi di antara mereka pasti ada yang tidak
mempunyai pandangan yang tajam dan tidak mampu berfikir kritis. Mereka tentu
tidak mampu mengemukakan pendapat dalam musyawarah.
Ketiga, musyawarah hanya bisa dilakukan apabila jumlah pesertanya terbatas.
Kalau seluruh rakyat dikumpulkan di suatu tempat untuk melakukan musyawarah,
dipastikan musyawarah tersebut tidak akan terlaksana.
4
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah. h.137-138
20
Keempat, kewajiban amar ma’ruf nahi munkar hanya bisa dilakukan apabila
ada lembaga yang berperan untuk menjaga kemaslahatan antara pemerintah dan
rakyat.
Kelima, ajaran Islam sendiri yang menekankan perlunya pembentukan
lembaga musyawarah. Nabi sendiri menekankan dan melaksanakan musyawarah
dengan para sahabat untuk menentukan suatu kebijaksanaan pemerintahan.
Sebagaimana dalam surat al-Imran ayat 159 5 :
☺
⌧
☺
⌧
⌧
⌧
☺
Artinya: “Maka disebabkan Rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekililingmu. Karena maafkanlah mereka mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu.”(Ali Imran: 159)
2. Al-Sulthah al-tanfidziyah
Tugas Al-Sulthah al-tanfidziyah adalah melaksanakan undang-undang. Di sini
negara memiliki kewenangan untuk menjabarkan dan mengaktualisasikan perundang5
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah.h. 142-143
21
undangan yang telah dirumuskan tersebut. Dalam hal ini, negara melakukan
kebijaksanaan baik yang berhubungan dengan dalam negeri maupun yang
menyangkut dengan hubungan sesama negara (hubungan internasional). Pelaksana
tertinggi kekuasaan ini adalah pemerintahan (kepala negara) dibantu oleh para
pembantunya (kabinet atau dewan mentri) yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan
dan tuntunan situasi yang berbeda antara satu negara dengan negara Islam lainnya 6 .
Kepala negara dan Pemerintahan diadakan sebagai pengganti fungsi kenabian
dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Pengangkatan kepala Negara untuk
memimpin umat adalah wajib menurut ijma. Jika kepemimpinan negara ini
kewajiban, maka kewajiban itu gugur atas orang lain, jika tidak ada seorang pun yang
menjabatnya maka kewajiban ini dibebankan kepada dua kelompok manusia. Pertama
adalah orang-orang yang mempunyai wewenang memilih Kepala Negara bagi umat
Islam, kedua adalah orang-orang yang mempunyai kompetensi untuk memimpin
negara sehingga mereka menunjuk salah seorang dari mereka yang memangku
jabatan itu 7 .
Kewajiban-kewajiban yang harus diemban Kepala Negara itu meliputi semua
kewajiban umum baik yang berkenaan dengan tugas-tugas keagamaan maupun
kemasyarakatan, yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah seperti
6
7
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, h.137
Imam al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam takaran Islam, (Jakarta:
Gema Insani, 2000), h. 16-17
22
mempertahankan agama, menegakkan keadilan atau menyelesaikan perselisihan
pihak yang bersengketa melalui penerapan hukum, mencegah kerusuhan dan
melindungi hak-hak rakyat, melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dan jihad,
mengatur perekonomian negara dan membagi rampasan perang, dan sebagainya.
Kewajiban utama dari seorang imam adalah mempraktikkan totalitas syari’ah didalam
umat dan menegakkan institusi-institusi yang menyerukan kebajikan dan mencegah
kejahatan.
Di samping itu, wewenang Imam atau Kepala Negara adalah:
1. Menegakkan hukum dan bertindak juga sebagai juru bicara bagi
masyarakatnya dalam hubungan-hubungan dengan masyarakat di luar
wilayahnya.
2. Imam menegakkan hukum yang mengatur hubungan antara umat baik
pada masa perang maupun masa perdamaian.
3. Mengeluarkan perintah perang.
4. Memberlakukan hukum di wilayah-wilayah yang baru diduduki
5. Menghukum umat Islam dan non Islam dalam wilayahnya apabila
mereka terbukti melanggar hukum.
6. Memutuskan kapan jihad dilakukan atau kapan jihad harus dihentikan.
7. Menyarankan kapan umat Islam menerima dan menyetujui perdamaian.
23
Semua kewenangan ini bukan tanpa ada pembatasannya. Imam harus
menjalankannya dalam batas-batas hukum tertentu, dengan memenuhi sasaran dan
tujuan hukum dengan pihak musuh 8 .
3. Al-Sulthah al-qadha’iyah
Tugas Al-Sulthah al-qadha’iyah adalah mempertahankan hukum dan
perundang-undangan yang telah diciptakan oleh lembaga legislatif. Dalam sejarah
Islam, kekuasaan lembaga ini biasanya meliputi Wilayah al-hisbah (lembaga
peradilan untuk
menyelesaikan perkara-perkara pelanggaran ringan seperti
kecurangan dan penipuan dalam bisnis), Wilayah al-qadha’ (lembaga peradilan yang
memutuskan perkara-perkara antara sesama warganya, baik perdata maupun pidana),
dan Wilayah al-mazhalim (lembaga peradilan yang menyelesaikan perkara
penyelewengan pejabat negara dalam melaksanakan tugasnya, seperti pembuatan
keputusan politik yang merugikan dan melanggar kepentingan atau hak-hak rakyat
serta perbuatan pejabat negara yang melanggar HAM rakyat) 9 .
B.
Konsep Lembaga Negara Menurut UUD 1945
Menurut UUD 1945 pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), yang berbunyi “(1) Negara
Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik. (2) Kedaulatan berada di
8
Ridwan HR, Fiqih Politik gagasan, harapan dan kenyataan, (Yogyakarta: FH UII Press,
2007), h. 273
9
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, h.137
24
tangan
rakyat
dan
dilaksanakan
menurut
Undang-undang
Dasar”.
Untuk
melaksanakan fungsi negara, maka dibentuk alat-alat perlengkapan negara. Jumlah
kedudukan, kekuasaan dan wewenang masing-masing negara tidak sama.
Alat kelengkapan Negara Republik Indoonesia dengan menganut teori “
pemisahan kekuasaan” (Separation of Power), dengan prinsip check and balances
sebagai ciri pelekatnya 10 . Maka dengan teori ini, dikenal dengan tiga lembaga negara
sebagai alat kelengkapan negara, yaitu Lembaga Legislatif terdapat DPR dan DPD,
Lembaga Eksekutif terdapat Presiden dan Wakil Presiden dan Lemabaga Yudikatif
terdapat Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan sebagai
pengawasan keuangan ada BPK.
1. Legislatif
Lembaga legislatif atau parlemen berfungsi untuk membentuk Undangundang dan mengawasi eksekutif. Anggota-anggotanya dianggap mewakili Rakyat.
Lembaga legislatif di Indonesia terdiri dari MPR dan DPR.
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
MPR adalah pemegang kekuasaan negara tertinggi atau pemegang kedaulatan
rakyat. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, MPR membawahi lembaga-lembaga
10
h. 101
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006),
25
negara lain 11 . Pada perubahan UUD 1945 terhadap Pasal 3 berbunyi “Majelis
Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-undang
Dasar, Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden atau Wakil Presiden,
Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-undang Dasar. Perubahan
ketentuan ini mengalihkan negara indonesia dari sistem MPR kepada sistem
kedaulatan rakyat yang diatur melalui UUD 1945 12 .
b. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undangundang. Secara umum, bahwa fungsi DPR adalah meliputi fungsi legislasi, fungsi
pengawasan, dan fungsi anggaran(budget) 13 . Karena kedudukan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam menjalankan tugas legislatif, merupakan partner dari Presiden. Maka
hak-hak tersebut tidak mutlak 14 . Dewan Perwakilan Rakyat dianggap merumuskan
kemauan rakyat atau kemauan umum dengan jalan menentukan kebijaksanaan umum
11
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia h. 153
12
Ibid…h.165
13
Ibid….167
14
Moh. Kusnardi, dan Bintan R. Saragih, Susunan, pembagian Kekuasaan menurut Sistem
Undang-undang Dasar 1945, (Jakarta: PT.Gramedia, 1989), h. 75
26
yang mengikat seluruh masyarakat. Undang-undang yang dibuatnya mencerminkan
kebijaksanaan-kebijaksanaan itu15 .
2. Eksekutif
Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh badan eksekutif,. Di negaranegara demokratis, badan-badan eksekutif biasanya terdiri dari kepala negara seperti
Presiden, beserta menteri-menterinya. Tugas badan eksekutif, menurut asas trias
politika, hanya melaksanakan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh badan legislatif
serta menyelenggarakan undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif. Wewenang
badan eksekutif mencakup di beberapa bidang:
1. Diplomatik : menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara-negara
lain.
2. Administratif: melaksanakan undang-undang serta peraturan-peraturan lain
dan menjalankan administrasi negara.
3. Militer: mengatur angkatan bersenjata, menyelenggarakan perang serta
keamanan dan pertahanan negara.
4. Yudikatif: memberi grasi, amnesti, dan sebagainya.
5. Legislatif: merencanakan rancangan undang-undang dan membimbingnya
dalam badan perwakilan rakyat sampai menjadi undang-undang 16 .
15
Dede Rosyada (editor), Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani,
(Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), h. 109
27
3. Yudikatif
Lembaga yudikatif memiliki wewenang judisial yang bertugas menjalankan
wewenang kehakiman, baik dilapangan hukum publik (pidana, administrasi negara)
dan dilapangan hukum privat (perdata, dagang), baik dikalangan sipil maupun militer.
Ketentuan dasar mengenai organ dan wewenang kehakiman, umumnya
terdapat dalam UUD 1945. misalnya dalam bab IX UUD 1945 yang berjudul “
Kekuasaan Kehakiman” yaitu:
Pasal 24:
1.
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan lain-lain badan menurut Undang-undang.
2.
Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan
Undang-undang 17 .
16
17
Dede Rosyada, Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, h.111
Ibid…., h.111
BAB III
KEPRESIDENAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI)
A. Pemerintahan Presidensial
Salah satu unsur penting dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan
adalah pertanggungjawaban dan pengawasan. Jabatan presiden RI adalah suatu
jabatan dalam tataran negara berdasarkan paham kerakyatan 1 .
Sistem pemerintahan negara mana yang dianut dalam UUD 1945 memuat unsur
parlementer maupun presidensial. Jika dilihat ketentuan pasal 4 ayat (1) dan pasal 17,
maka sistem yang dianut UUD 1945 adalah presidensial. Sebab kedua pasal itu
mengatur pola hubungan yang ada pada sistem presidensial, yaitu pertama, presiden
menjadi kepala pemerintahan yang tidak bertanggung kepada DPR. Kedua, menteri
diangkat, diberhentikan, dan bertanggung jawab kepada presiden, bukan kepada DPR.
Tetapi jika dilihat dari ketentuan pasal 6 bahwa presiden dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan penjelasan UUD 1945 tentang sistem
pemerintahan negara, kunci pokok ketiga (bahwa presiden bertanggung jawab dan
tunduk kepada MPR serta wajib menjalankan putusan-putusan MPR), maka dapat
dikatakan UUD 1945 menganut system parlementer 2 .
1
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, (Yogyakarta, FH.UII Press, 1999), cet 1, hal 107
2
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Pers, 2009), h.
38
28
29
Mengenai hubungan antar lembaga negara tersebut Wilopo menyebutkan
adanya keseimbangan atau check and balance yang khas antara pemerintah dan DPR
yang sama-sama kuat. DPR kuat karena tidak dapat dibubarkan oleh pemerintah, dan
pemerintah kuat juga karena tidak dapat dijatuhkan oleh DPR. Pola hubungan khas
yang demikian itu merupakan unsur penting dalam demokrasi Pancasila.
Dengan demikian, dari sudut pandang konstitusional konfigurasi yang ada di
Indonesia adalah demokratis. Apa pun kualifikasi sistem pemerintahan yang akan
diberikan (presidensial maupun parlementer) asas yang dijadikan pijakkannya adalah
demokrasi. Memang sistem presidensial maupun parlementer merupakan bentuk
pelembagaan atau strukturisasi terhadap asas demokrasi setelah dipilah-pilahnya
poros kekuasaan seperti dalam Trias Politika 3 .
Beberapa ciri yang penting sistem pemerintahan presidensial adalah:
1.
Masa jabatan tertentu, misalnya 4 tahun, 5 tahun, 6 tahun, atau 7
tahun, sehingga Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat
diberhentikan di tengah masa jabatannya karena alasan politik.
2.
Presiden dan Wakil Presiden tidak bertanggungjawab kepada
lembaga politik tertentu yang biasa dikenal sebagai parlemen,
melainkan langsung bertanggung jawab kepada rakyat.
3.
Karena itu, lazimnya ditentukan bahwa Presiden dan Wakil
Presiden itu dipilih oleh rakyat secara langsung ataupun melalui
3
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 40
30
mekanisme perantara tertentu yang tidak bersifat perwakilan
permanent sebagaimana hakikat lembaga parlemen.
4.
Dalam hubungannya dengan lembaga parlemen, Presiden tidak
tunduk kepada parlemen, tidak dapat membubarkan parlemen, dan
sebaliknya parlemen juga tidak dapat menjatuhkan Presiden dan
membubarkan
Kabinet
sebagaimana
dalam
praktek
sistem
parlementer.
5.
Dalam sistem ini, tidak dikenal adanya pembedaan antara fungsi
kepala negara dan kepala pemerintahan.
6.
Tanggungjawaban pemerintahan berada di pundak Presiden, oleh
karena
itu
Presidenlah
pada
prinsipnya
yang
berwenang
membentuk pemerintahan, menyusun kabinet, mengangkat dan
memberhentikan para mentri serta pejabat-pejabat publik 4 .
Sistem pemerintahan Republik Indonesia di bawah Undang-Undang Dasar
1945, sebenarnya dimaksudkan sebagai sistem presidential. Baik dalam penjelasan
UUD 1945 maupun dalam pengertian umum, Indonesia memang menganut sistem
presidentil. Dalam penjelasan UUD 1945 masih dipakai adanya istilah kepala negara
yang dibedakan dari pengertian fungsi kepala pemerintahan. Dalam struktur parlemen
Indonesia masih terdapat unsur system parlementer seperti terlihat pada peran dan
kewenangan MPR sebagai
4
lembaga tertinggi negara, yang berwenang memilih
Jimly Asshiddiqie, Format kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD
1945, (Yogyakarta: FH. UII Press, 2005), h. 59
31
Presiden dan Wakil Presiden, menjadi tempat Presiden wajib bertanggungjawab
kepada lembaga parlemen, dan berwenang pula memberhentikan Presiden sewaktuwaktu jika Presiden sudah dianggap melanggar haluan negara yang bersifat politik.
Semua itu merupakan elemen-elemen sistem parlementer dalam sistem pemerintahan
Indonesia. Maka dari itu, kalangan para ahli hukum tata negara cenderung menyebut
sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan UUD 1945 itu bersifat ‘quasi
presidential’, bukan sistem presidential dalam arti yang sesungguhnya 5 .
Beberapa jabatan-jabatan publik yang dimaksud adalah (1) Para Menteri
Kabinet, (2) Pemimpin Gubernur Bank Indonesia, (3) Kepala Kepolisian Negara, (4)
Jaksa Agung, (5) Panglima Tentara Nasional Indonesia, (6) para anggota lembagalembaga negara seperti Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa keuangan, dan Dewan
Perimbangan Agung, (7) para anggota berbagai komisi independen seperti Komnas
Hak Asasi Manusia, Komisi Pemeriksa kekayaan Penyelenggaraan Negara (KPKPN),
Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan lain-lain sebagainya 6 .
Pada prinsipnya sistem pemerintahan yang presidensial ini bermaksud
meletakkan seluruh pertanggungjawaban terakhir di tangan presiden, oleh karenanya
jalan roda pemerintahan menjadi sangat kuat7 .
5
Jimly Asshiddiqie, Format kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD
1945, (Yogyakarta: FH. UII Press, 2005), h. 60
6
7
Ibid….. h. 61-63
Inu Kencana Syafi’ie, Al-Qur’an dan Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h. 166
32
B. Presiden dan Wakil Presiden
Dalam sistem presidential, biasanya ditentukan adanya satu jabatan Presiden
dan jabatan Wakil Presiden. Secara politik, pada hakikatnya Presiden dan Wakil
Presiden adalah satu institusi yang tidak terpisahkan. Karena itu, lazimnya, mereka
berdua dipilih dalam satu paket pemilihan. Karena itu, keduanya tidak dapat
dijatuhkan atau diberhentikan karena alasan politik. Sebab, jika karena alasan politik,
maka kedua-duanya haruslah berhenti secara bersama-sama. Akan tetapi, jika ada
alasan yang bersifat hukum (pidana) maka sesuai dengan prinsip yang berlaku dalam
hukum, pertanggungjawaban pidana pada pokoknya bersifat individual (Individual
responsibility), diberhentikan sesuai prosedur yang ditentukan konstitusi 8 .
Karena itu, peran penting seorang Wakil Presiden dalam hubungannya dengan
Presiden, Pertama-tama adalah sebagai pengganti (reserved power). Sebagai
pengganti Presiden, Wakil Presiden dapat bertindak untuk jangka waktu sementara
atau dapat pula bertindak seterusnya sampai masa jabata Presiden habis. Peran kedua
Wakil Presiden adalah sebagai ‘wakil’ yang mewakili Presiden melaksanakan tugastugas kepresidenan dalam hal-hal yang kepadanya didelegasikan oleh Presiden.
Dalam hal demikian, Wakil Presiden bertindak sebagai petugas negara yang
menjalankan tugas kepresidenan. Artinya, kualitas tindakan Wakil Presiden itu sama
8
Jimly Asshiddiqie, Format kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD
1945, h. 63
33
dengan kualitas tindakan Presiden sendiri. Peran ketiga, Wakil Presiden juga dapat
bertindak membantu Presiden melaksanakan seluruh tugas dan kewajiban Presiden.
Syarat untuk dicalonkan dan pilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden
adalah sama, karena pada satu saat Wakil Presiden dapat menjadi Presiden. Salah satu
syarat yang sebenarnya berlaku umum adalah syarat sehat fisik dan mental. Syaratsyarat lainnya antara lain adalah syarat usia, misalnya sekurang-kurangnya 40 tahun.
Tidak pernah dihukum pidana, kecuali tindak pidana politik, tidak pernah menjadi
warga negara asing. Karena itu, salah satu syarat penting seorang Presiden adalah
yang masyarakatnya sangat majemuk ini adalah bahwa yang bersangkutan harus
mendapatkan dukungan diatas 50 persen rakyat yang memiliki hak pilih 9 .
C. Kewenangan Presiden
Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga
memegang kekuasaan legislatif (legislatif power) dan kekuasaan yudikatif (judicative
power). Wewenang dan kekuasaan Presiden Republik Indonesia dibagi dua jenis
yaitu selaku kepala negara dan selaku kepala pemerintahan. Cara membedakan antara
tugas Presiden sebagai kepala negara dengan Presiden sebagai kepala pemerintahan
adalah sebagai berikut 10 :
Tugas dan tanggung jawab sebagai kepala negara meliputi hal-hal yang
ceremonial dan protokoler kenegaraan, jadi mirip dengan kewenangan para kaisar dan
9
Jimly Asshiddiqie, Format kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD
1945, h. 65-67
10
Inu Kencana Syafi’ie, Al-Qur’an dan Ilmu Politik, h. 208
34
ratu pada berbagai negara lain, tetapi tidak berkenaan dengan kewenangan
penyelenggaraan pemerintahan.
Kekuasaan dan kewenangan kepala negara tersebut meliputi sebagai berikut:
a. Melangsungkan perjanjian dengan negara lain
b. Mengadakan perdamaian dengan negara lain
c. Menyatakan negara dalam keadaan bahaya
d. Mengumumkan Perang dengan negara lain
e. Mengangkat, melantik dan memberhentikan Duta dan Konsul untuk
negara lain
f. Memberikan gelar , tanda jasa, tanda kehormatan tingkat nasional
g. Menerima surat kepercayaan dari negara lain melalui Duta dan Konsul
negara lain
h. Menguasai angkatan darat, laut, dan udara serta kepolisian 11 .
Kekuasaan dan kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan adalah
karena fungsinya sebagai penyelenggara tugas eksekutif, meliputi sebagai berikut:
a. Memimpin kabinet
b. Mengangkat dan melantik menteri-menteri
c. Memberhentikan menteri-menteri
d. Mengawasi operasional pembangunan
e. Menerima mandat dari MPR RI.
11
Inu Kencana Syafi’ie, Al-Qur’an dan Ilmu Politik, h. 209
35
Di samping itu, karena Indonesia berlaku pembagian kekuasaan (distribution
of power) sehingga masing-masing kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan
yudikatif hanya dibagi-bagi, dalam arti masih ada hubungan satu sama lain.
Karenanya Presiden RI juga mempunyai kekuasaan sebagai berikut 12 :
Di bidang legislatif:
a. Membentuk Undang-undang (dengan persetujuan DPR)
b. Menetapkan Peraturan Pemerintahan sebagai pengganti Undang-undang
c. Menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai tata cara untuk menjalankan
Undang-undang.
Di bidang yudikatif
a. Memberikan grasi
Yaitu hak untuk memberikan pengurangan hukuman atau pengampunan
dan pembebasan hukuman sama sekali. Contoh, mereka yang pernah
dihukum dengan hukuman mati, dikurangi menjadi hukuman seumur
hidup.
b. Memberikan abolisi
Yaitu hak untuk memberikan pernyataan bahwa hukuman tuntutan pidana
harus digugurkan atau suatu tuntutan pidana yang telah di mulai harus
dihentikan. Contoh, yaitu mereka yang pernah tersangka melakukan
perbuatan pemeberontakan dibatalkan sebelum diadili.
c. Memberikan amnesti
12
Inu Kencana Syafi’ie, Al-Qur’an dan Ilmu Politik, h. 210
36
Yaitu hak untuk memberikan pernyataan bahwa hukuman tuntutan pidana
yang telah dijatuhkan, harus dibatalkan. Contoh, yaitu mereka yang
pernah dituduh melakukan perbuatan yang ditindak pidana dibatalkan
sesudah diadili.
d. Memberikan rehabilitasi
Yaitu hak untuk memberikan pernyataan pengembalian nama baik
seseorang. Contoh, mereka yang pernah dihukum dan namanya tercemar,
dapat dikembalikan nama baiknya melalui sebuah pernyataan.
Jadi dapat dilihat begitu besarnya kekuasaan Presiden RI, hak tersebut
disebabkan karena pengaturan dalam UUD 1945. diharapkan mempunyai pengaruh
dan kekuasaan yang besar demi tetap terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Sehingga MPR RI dirasa perlu untuk menjabarkan ke dalam berbagai ketetapan,
misalnya batas penetuan berapa kali seseorang memangku jabatan Presiden.
Membatasi waktu seseorang dengan menentukan berapa kali terhadap yang
bersangkutan dinyatakan boleh dipilih kembali, sama sekali bukan merupakan
pengkebirian terhadap hak seseorang Indonesia asli untuk jadi Presiden, dan juga
bukan pengkebirian terhadap UUD 1945 itu sendiri, tetapi bahkan merupakan usaha
dan menjabarkannya lebih lanjut.
Pasal 7 UUD 1945 menyatakan sebagai berikut: “Presiden dan Wakil Presiden
memgang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih
kembali”.
37
Pada pasal tersebut di atas menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden
hanya dipilih dua kali atau sepuluh tahun masa jabatan, karena apabila lebih dari
waktu tersebut di atas, maka bunyinya akan sebagai berikut:
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun,
dan sesudahnya dapat dipilih berkali-kali” 13 .
13
Inu Kencana Syafi’ie, Al-Qur’an dan Ilmu Politik, h..211
BAB IV
ANALISIS KEWENANGAN PRESIDEN MENURUT UUD 1945 HASIL
AMANDEMEN & DALAM PERSPEKTIF KETATANEGARAAN ISLAM
A. Kewenangan Presiden dalam UUD 1945 sebelum Amandemen
Menurut UUD 1945, Lembaga Kepresidenan yang bersifat personal. Terdiri
dari seorang Presiden dan wakil Presiden. Lembaga ini dipilih oleh MPR, dengan
syarat tertentu dan memiliki masa jabatan selama 5 tahun. Sebelum menjalankan
tugasnya lembaga ini bersumpah di hadapan MPR atau DPR.
Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga
memegang kekuasaan legislatif (legislative power) dan kekuasaan yudikatif
(judicative power) 1 .
Dari pasal 4 ayat (1) dapat diketahui bahwa, Presiden berkedudukan sebagai
Kepala Pemerintahan (Kepala Eksekutif). Hal ini diperjelaskan oleh penjelasan
Undang-undang Dasar 1945 untuk pasal tersebut yang menyatakan bahwa “Presiden
ialah Kepala Kekuasaan Eksekutif dalam negara”, kemudian di dalam penjelasan
umum angka IV di sebutkan bahwa “Presiden ialah penyelenggara Pemerintahan
Negara yang tertinggi di bawah Majelis”.
1
Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2001) h. 113
38
39
Di negara-negara yang menggunakan sistem kabinet Presidensiil, di samping
berfungsi sebagai Kepala Pemerintahan dan berfungsi sebagai Kepala Negara.
Sekalipun dasar konstitusional hal yang menyatakan bahwa Presiden adalah Kepala
Negara di dalam penjelasan UUD 1945 terhadap pasal 10 disebukan bahwa Presiden
memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan
Angkatan Udara.
Pasal 12 disebutkan bahwa Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syaratsyarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-undang.
Pasal 13 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa Presiden mengangkat duta dan
konsul dan Presiden menerima duta Negara lain.
Pasal 14 disebutkan bahwa Presiden memberi grasi, amnesty abolisi dan
rehabilitasi.
Pasal 15 disebutkan bahwa Presiden memberi gelaran, tanda jasa dan lain-lain
tanda kehormatan.
Kekuasaan-kekuasaan Presiden dalam pasal-pasal ini, ialah konsekuensi dari
kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara. Dapat dikemukakan dasar konstitusional
tentang kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara di Indonesia 2 , yakni:
Pertama, Presiden sebagai Kepala Pemerintahan (eksekutif) berdasarkan
Pasal 4 ayat (1) serta penjelasan terhadap pasal tersebut dan penjelasan umum angka
IV UUD 1945 yaitu Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi
di bawah majlis.
2
Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, h. 113
40
Kedua, Presiden sebagai Kepala Negara, berdasarkan penjelasan Undangundang Dasar 1945 terhadap pasal-pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15 serta adanya
penyebutan Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden) 3 .
Lazimnya
negara-negara
yang
menganut
sistem
Presidensiil
dalam
pemerintahan Negara, Indonesia telah menempatkan Presiden dalam fungsi Kepala
Negara sekaligus Kepala Pemerintahan di Negara Republik Indonesia yang
kekuasaan-kekuasaannya sebagai berikut:
1. Diplomatik : menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara-negara
lain.
2. Administratif: melaksanakan undang-undang serta peraturan-peraturan lain
dan menjalankan administrasi negara.
3. Militer: mengatur angkatan bersenjata, menyelenggarakan perang serta
keamanan dan pertahanan negara.
4. Yudikatif: memberi grasi, amnesti, dan sebagainya.
5. Legislatif: merencanakan rancangan undang-undang dan membimbingnya
dalam badan perwakilan rakyat sampai menjadi undang-undang 4 .
3
Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, h. 114
4
Dede Rosyada, Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta:
IAIN Jakarta Press, 2000), h.111
41
Secara lebih terperinci, dapat dikemukakan bahwa Presiden RI berdasarkan
UUD 1945 mempunyai kekuasaan-kekuasaan seperti:
a. Menjalankan Undang-undang.
b. Mengangkat dan memberhentikan Menteri-menteri.
c. Membentuk Undang-undang bersama-sama Dewan Perwakilan
Rakyat.
d. Membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
e. Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
f. Mengajukan RAPBN.
g. Memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Perang Republik
Indonesia.
h. Menetapkan perang dengan persetujuan DPR.
i. Mengangkat duta dan konsul.
j. Menerima duta dari Negara lain.
k. Memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi.
l. Memberi gelar dan tanda jasa 5 .
5
Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, h. 114-115
42
B. Perubahan Kewenangan Presiden dalam Ketentuan UUD 1945 Hasil
Amandemen
Dari sudut pandang akademis, sebenarnya telah lama ditemukan bahwa
perubahan atau amandemen atas UUD 1945 itu perlu dilakukan karena memuat
sejumlah kelemahan yang menyebabkan tampilnya pemerintahan yang tidak
demokratis. Hanya saja selalu berbenturan dengan realitas yang menolak bahkan
mengancamnya. Selama orde lama dan orde baru pandangan akademis tentang politik
dan konstitusi selalu menghadapi ancaman bahkan dikait-kaitkan dengan tindakan
yang diancam dengan hukuman berat, sehingga wacana ini hanya berkembang di
lingkungan kampus dalam waktu yang tidak terlalu lama. Pandangan akademis ini
menyimpulkan bahwa perlunya amandemen atas UUD 1945 disebabkan oleh adanya
empat kelemahan UUD 1945 6 , yaitu:
Pertama, UUD 1945 membangun sistem politik yang executive heavy dalam arti
memberi porsi terbesar kekuasaan kepada Presiden tanpa mekanisme checks and
balances yang memadai. Presiden menjadi penentu semua agenda politik nasional
karena selain sebagai kepala negara dan kepala eksekutif secara praktis Presiden juga
adalah kepala Legislatif.
Kedua, UUD 1945 terlalu banyak memberi atribusi dan delegasi kewenangan
kepada Presiden untuk mengatur lagi hal-hal penting dengan UU maupun dengan
6
Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, h.154
43
Peraturan Pemerintah. Dalam mengatur hal penting dalam UU, Presiden selalu berada
pada posisi lebih menentukan daripada DPR, sehingga banyak materi UU yang
bersumber pada kehendak-kehendak Presiden saja.
Ketiga, UUD 1945 memuat beberapa pasal yang ambigu atau multitafsir sehingga
bisa ditafsirkan dengan bermacam-macam tafsir, tetapi tafsir yang harus diterima
adalah tafsir yang dibuat oleh Presiden.
Keempat, UUD 1945 lebih mengutamakan semangat penyelenggara daripada
kekuatan sistemnya. Di dalam penjelasan yang kemudian dijadikan pedoman yang
sekuat UUD itu sendiri disebutkan bahwa yang penting adalah semangat
penyelenggara, jika penyelenggara Negara baik maka Negara akan baik. Pernyataan
ini benar, tetapi belum memuat semua yang benar, sebab selain itu ada juga yang
harus dinyatakan yakni bahwa sistem juga harus baik. Orang yang baik, jika bekerja
dalam sistem yang tidak baik akan rusak juga, tetapi sistem yang baik, jika tidak
dilaksanakan oleh orang-orang yang baik bisa jelek juga. Oleh sebab itu, harus ada
keseimbangan antara orang dan sistem.
Karena kelemahan-kelemahan itulah maka selama menggunakan UUD 1945
Negara Indonesia tidak pernah terselenggara secara demokratis. Sistem politik
otoriter yang dibangun oleh pemerintah melalui akumulasi kekuasaan secara terus
menerus dengan menggunakan UUD 1945 itu telah melemahkan supremasi hukum.
44
Karena hukum tidak lagi “supreme”. Yang supreme adalah kekuasaan yang dalam
prakteknya sangat menentukan karakter isi dan penegakkan hukum 7 .
Gerakan reformasi telah berhasil mengajak bangsa ini melakukan amandemen
atau perubahan. Atas UUD 1945 karena sejumlah kelemahan yang melekat padanya
telah menyebabkan terjadinya otoriterisme kekuasaan yang pada gilirannya mebawa
bangsa ini ke krisis multidimensi karena banyak terjadi pelanggaran HAM, dan
pelaku KKN. Pada bulan Agustus dan September 1999 beberapa partai politik besar
telah bersepakat untuk memperjuangkan amandemen pada SU MPR tahun 1999. Dan
amandemen benar-benar terjadi ketika SU MPR memutuskan perubahan atas
Sembilan pasal UUD 1945 8 , yaitu:
Pasal 5 ayat (1)
Semula berbunyi: Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Setelah Perubahan Pertama berbunyi: Presiden berhak mengajukan rancangan
Undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
7
Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, h. 154-156
8
Ibid…..157
45
Pada perubahan pasal 5 tampak perimbangan kekuasaan hubungan antara Presiden
dan DPR. Perubahan pada pasal ini, agar Presiden di beri haknya untuk mengajukan
rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 7
Semula berbunyi: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima
tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Setelah Perubahan Pertama berbunyi: Presiden dan Wakil Presiden memegang
jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam
jabatannya yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Perubahan atas pasal ini dipandang sebagai langkah yang tepat untuk mengakhiri
perdebatan tentang periodisasi jabatan Presiden dan Wakil Presiden 9 .
Pasal 9
Semula berbunyi: Sebelum memangku jabatannya Presiden dan Wakil Presiden
bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat.
Setelah Perubahan Pertama berbunyi:
9
h.186
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006),
46
(1)
Sebelum memangku jabatannya, Preiseden dan Wakil Presiden bersumpah
menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak
dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama
dan berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
dengan disaksikan oleh Mahkamah Agung.
Perubahan pada pasal ini, ada penambahan lembaga peradilan negara yaitu
Mahkamah Agung. Agar bisa sebagai saksi dalam sumpah Presiden.
Pasal 13
Semula berbunyi:
(1) Presiden mengangkat duta dan konsul
(2) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Setelah Perubahan Pertama Berbunyi:
(1)Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat.
47
(2)Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pada perubahan pasal 13 tampak perimbangan kekuasaan hubungan antara Presiden
dan DPR. Perubahan terhadap pasal ini dikatakan sebagai pengurangan atas
kekuasaan Presiden yang selama ini prerogatif 10 . Ini penting dalam menjaga
obyektivitas terhadap kemampuan dan kecakapan seseorang pada jabatan itu, maka
adanya pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat 11 .
Pasal 14
Semula berbunyi: Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.
Setelah Perubahan pertama berbunyi:
(1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung.
(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat
Alasan perlunya Presiden memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung
adalah karena Mahkamah Agung sebagai Lembaga peradilan tertinggi yang paling
10
11
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, h.187
Ibid…, h.188
48
tepat memberikan pertimbangan kepada Presiden. Mengenai hal itu karena grasi
menyangkut putusan hakim sedangkan rehabilitas tidak selalu terkait dengan putusan
hakim 12 .
Pasal 15
Semula berbunyi:.Presiden memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda
kehormatan.
Setelah perubahan pertama berbunyi:
Presiden memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan yang
diatur dengan undang-undang.
Perubahan pasal ini berdasarkan pertimbangan agar Presiden dalam memberikan
berbagai tanda kehormatan kepada siapapun (baik warga negara, orang asing, badan
atau lembaga didasarkan pada undang-undang 13 .
Pasal 17
Semula berbunyi:
(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
12
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, h.189
13
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, h.189
49
(3) Menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan.
Setelah perubahan pertama berbunyi:
(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Perubahan pada pasal ini, agar setiap menteri mempunyai tanggung jawab dalam
pemerintahan.
Pasal 20
Semula berbunyi
(1) Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Jika sesuatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam
persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
Setelah Perubahan Pertama berbunyi:
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
50
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama,
rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan
Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama
untuk menjadi undang-undang.
Pada perubahan pasal 20 tampak perimbangan kekuasaan hubungan antara Presiden
dan DPR dalam mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama untuk menjadi undang-undang.
Pasal 21
Semula berbunyi:
(1) Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan rancangan
undang-undang.
(2) Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak
disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam
persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
Setelah Perubahan Pertama berbunyi:
51
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undangundang.
Persamaan kekuasaan hubungan antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat
dalam megajukan usul rancangan undang-undang.
Tampak bahwa dari hasil amandemen atau perubahan pertama itu belum ada
perubahan terhadap konstitusionalisme, kecuali menyangkut pembatasan masa
jabatan Presiden yang tegas-tegas menyebut dipilih maksimal dua kali masa jabatan,
dan sedikit Perubahannya lebih bersifat semantik dan belum menyentuh masalahmasalah penting sebagai upaya membendung tampilnya pemerintahan yang otoriter 14 .
Perubahan UUD 1945 yang berimplikasi pada penyelenggaraan kekuasaan
Negara yaitu mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga
Negara seperti Lembaga Kepresidenan. Dalam UUD 1945 Presiden Republik
Indonesia adalah kepala pemerintahan Negara kesatuan Republik Indonesia.
Setelah adanya perubahan (Amandemen) UUD 1945, dalam pasal 6A,
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat. Sebelum adanya perubahan (Amandemen) UUD 1945, Presiden dan Wakil
Presiden dipilih oleh MPR. Setelah adanya perubahan (Amandemen) UUD 1945,
14
Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, h. 160-164
52
Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada DPR, dan kedudukan antara Presiden
dan MPR setara 15 ..
Sesuai dengan prinsip perubahan UUD 1945 untuk mempertegas sistem
presidensial dan dianutnya pemisahan cabang-cabang kekuasaan negara yang utama
dengan prinsip Check and Balances, maka perubahan UUD 1945 berakibat pula
perubahan di bidang kekuasaan eksekutif, sebagai berikut:
1. Memegang kekuasaan eksekutif menurut UUD 1945 (Pasal 4 ayat (1)).
2. Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, melainkan dipilih
oleh rakyat secara langsung secara berpasangan dari calon yang diajukan oleh
partai politik atau gabungan partai politik (Pasal 6A).
3. Masa jabatan Presiden selama 5(lima) tahun secara tegas dibatasi untuk dua
periode (Pasal 7).
4. Ditentukannya syarat-syarat yang lebih rinci untuk menjadi Presiden dan
Wakil Presiden (Pasal 6).
5. Ditentukannya mekanisme impeachment terhadap Presiden yang melibatkan
DPR, Mahkamah Konstitusi dan DPR (Pasal 7A dan 7B).
6. Penegasan bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR (Pasal 7C).
7. Pelaksanaan hak-hak prerogatif (Presiden sebagai Kepala Negara harus
dengan persetujuan atau pertimbangan DPR).
15
Jimly Asshidiqie, Hukum Konstitusi & Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press,
2006), h. 54
53
8. Pengangkatan pejabat-pejabat publik, seperti anggota BPK (Pasal 23F),
Hakim Agung (Pasal 24A ayat (3)), anggota Komisi Yudisial ( Pasal 24B ayat
(3)) harus dengan persetujuan DPR.
9. Presiden berwenang membentuk DPA yang dihapuskan.
10. Dalam pembentukkan, pengubahan, dan pembubaran kementrian harus diatur
dengan UU (Pasal 17 ayat (4)), tidak bebas seperti sebelumnya 16 .
C.
Kewenangan
Presiden
atau
Kepala
Negara
Menurut
Perspektif
Ketatanegaraan Islam
Lembaga Kepresidenan atau Kepala negara dan Pemerintahan diadakan
sebagai pengganti fungsi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia.
Lembaga Kepresidenan menurut perspektif ketatanegaraan Islam adalah tugasnya
melaksanakan undang-undang (al-Sulthah al-tanfidziyah). Dalam hal ini negara
melakukan kebijaksanaan baik yang berhubungan dengan dalam negeri, maupun
yang menyangkut dengan hubungan sesama negara (hubungan internasional) 17 .
Pengangkatan kepala Negara untuk memimpin umat adalah wajib menurut ijma.
Jika kepemimpinan negara ini kewajiban, maka kewajiban itu gugur atas orang lain,
jika tidak ada seorang pun yang menjabatnya maka kewajiban ini dibebankan kepada
dua kelompok manusia. Pertama adalah orang-orang yang mempunyai wewenang
16
Jimly Asshidiqie, Hukum Konstitusi & Mahkamah Konstitusi, h. 55
17
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, h.137
54
memilih Kepala Negara bagi umat Islam, kedua adalah orang-orang yang mempunyai
kompetensi untuk memimpin negara sehingga mereka menunjuk salah seorang dari
mereka yang memangku jabatan itu 18 .
Kewajiban-kewajiban yang harus diemban Kepala Negara itu meliputi semua
kewajiban umum baik yang berkenaan dengan tugas-tugas keagamaan maupun
kemasyarakatan, yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah seperti
mempertahankan agama, menegakkan keadilan atau menyelesaikan perselisihan
pihak yang bersengketa melalui penerapan hukum, mencegah kerusuhan dan
melindungi hak-hak rakyat, melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dan jihad,
mengatur perekonomian negara dan mmbagi rampasan perang, dan sebagainya.
Kewajiban utama dari seorang imam adalah mempraktikkan totalitas syari’ah didalam
umat dan menegakkan institusi-institusi yang menyerukan kebajikan dan mencegah
kejahatan. 19
Di samping itu, wewenang Imam atau Kepala Negara adalah:
1. Menegakkan hukum dan bertindak juga sebagai juru bicara bagi
masyarakatnya dalam hubungan-hubungan dengan masyarakat di luar
wilayahnya.
18
19
Imam al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam takaran Islam, h. 16-17
Ridwan HR, Fiqih Politik gagasan, harapan dan kenyataan, h. 272
55
2. Imam menegakkan hukum yang mengatur hubungan antara umat baik
pada masa perang maupun masa perdamaian.
3. Mengeluarkan perintah perang.
4. Memberlakukan hukum di wilayah-wilayah yang baru diduduki
5. Menghukum umat Islam dan non Islam dalam wilayahnya apabila
mereka terbukti melanggar hukum.
6. Memutuskan kapan jihad dilakukan atau kapan jihad harus dihentikan.
7. Menyarankan
kapan
umat
Islam
menerima
dan
menyetujui
perdamaian dengan pihak musuh.
Semua kewenangan ini bukan tanpa ada pembatasannya. Imam harus
menjalankannya dalam batas-batas hukum tertentu, dengan memenuhi sasaran dan
tujuan hukum 20
D.
Analisis Persamaan dan Perbedaan
1. Analisis Persamaan
Dari serangkaian uraian di atas, terdapat banyak persamaan kewenangannya
yang bersifat prinsipil di antara keduanya (Imam dan Presiden), antara lain:
a.
Keduanya sama-sama dalam membentuk Undang-undang bersama
anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
20
Ridwan HR, Fiqih Politik gagasan, harapan dan kenyataan, h. 273
56
b.
Keduanya sama dalam menjalankan undang-undang.
c.
Keduanya sama-sama merupakan lembaga eksekutif.
d.
Keduanya sama dalam menegakkan keadilan.
e.
Keduanya merupakan perwujudan pelaksanaan kepemimpinan dalam
memimpin rakyatnya.
f.
Secara konseptual, kedua lembaga ini mengimpelementasikan wakil dari
rakyat atau sebagai juru bicara rakyat untuk ke Negara lain.
g.
Keduanya sama yang seluruh waktunya digunakan untuk untuk mengurus
dan menata kehidupan masyarakat.
h.
Keduanya sama-sama dalam menegakkan hukum untuk hubungan antara
umat Islam dan umat Non Islam.
i.
Keduanya sama dalam mengeluarkan surat perintah perang.
j.
Keduanya sama dalam menjalankan tugas kenegaraan.
k.
Keduanya sama, tidak bisa membubarkan ahl al-hall wa al-aqdi atau DPR
(Indonesia).
l.
Keduanya sama dalam mengangkat dan memberhentikan menterimenteri.
m. Keduanya sama-sama dalam kewenangan Menyarankan kapan umat
Islam menerima dan menyetujui perdamaian dengan pihak musuh.
n.
Keduanya sama-sama dalam kewenangan memberi gelar dan tanda jasa.
57
2. Analisis Perbedaan
Selain adanya persamaan kewenangan yang bersifat prinsipil antara Imam
dan Presiden, disini juga adanya perbedaan kewenangan diantara keduanya. Seperti:
a. Kepala Negara dalam Islam tidak ada kewenangan dalam memillih dan
mengangkat anggota DPA seperti kewenangan Presiden di Indonesia.
b. Kepala Negara dalam Islam tidak ada kewenangan Membentuk Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang.
c. Kepala Negara dalam Islam tidak ada kewenangan Menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang.
d. Kepala Negara dalam Islam tidak ada kewenangan Mengangkat duta dan
konsul.
e. Kepala Negara dalam Islam tidak ada kewenangan Memberi grasi,
amnesti, abolisi, dan rehabilitasi.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan untuk menjawab pertanyaan yang ada
di perumusan masalah yaitu:
1.
Bagaimana mekanisme kewenangan Presiden menurut UUD
1945 sebelum amandemen?
2.
Bagaimana kewenangan Presiden atau Kepala Negara menurut
perspektif Ketatanegaraan Islam?
3.
Bagaimana Perubahan Kewenangan Presiden menurut UUD
1945 hasil amandemen?
Dari pertanyaan tersebut jawabannya dapat disimpulkan,
1. Sebelum amandemen kewenangan Lembaga Kepresidenan menurut UUD 1945
adalah:
1.
Wewenang dalam fungsi Kepala Pemerintahan
2.
Wewenang dalam fungsi pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan
Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara
3.
Wewenang dalam fungsi kepala Negara.
Mekanisme pelaksanaan wewenang Presiden ada jenisnya. Yaitu:
58
59
1. Wewenang yang mekanisme pelaksanaannya hanya dilakukan oleh
Presiden, seperti:
a.
Wewenang menetapkan Peraturan Pemerintah (PP)
b.
Wewenang mengangkat dan memberhentikan Menteri-menteri
c.
Wewenang membahas dan menyetujui RUU
d.
Wewenang mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung
e.
Wewenang mengangkat dan memberhentikan kapolri
f.
Wewenang mengangkat dan memberhentikan Kepala lembaga
pemerintahan non Departemen (LPND)
g.
Wewenang mengangkat & memberhentikan Hakim-hakim.
h.
Wewenang mengangkat Hakim Agung, Ketua dan Wakil
Ketua Mahkamah Agung
i.
Wewenang mengangkat dan memberhentikan Ketua, Wakil
Ketua dan Anggota DPA.
j.
Wewenang mengangkat dan memberhentikan Ketua, Wakil
Ketua dan Anggota BPK.
2. Wewenang Presiden yang dapat dilaksanakan dengan Persetujuan DPR,
seperti:
a. Wewenang menyatakan perang dan membuat perdamaian.
b. Wewenang menyatakan keadaan bahaya.
c. Wewenang membuat perjanjian dengan negara lain.
60
d. Wewenang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang (PERPU).
e. Wewenang memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan.
f. Wewenang mengangkat Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan
Anggota Dewan Gubernur Bank Sentral.
3. Wewenang yang dilaksanakan dengan pertimbangan dari lembagalembaga negara lain, ada dua bentuk wewenang dalam karakteristik ini,
seperti:
a. Wewenang memberi grasi dan rehabilitasi
b. Wewenang memberi amnesti dan abolisi
2. Kewenangan Presiden atau Kepala Negara menurut Ketatanegaraan Islam adalah:
Presiden atau lembaga eksekutif menurut ketatanegaraan Islam adalah tugasnya
melaksanakan undang-undang (al-Sulthah al-tanfidziyah). Dalam hal ini negara
melakukan kebijaksanaan baik yang berhubungan dengan dalam negeri, maupun
yang menyangkut dengan hubungan sesama negara (hubungan internasional). Dan
wewenang Imam atau Kepala Negara adalah:
1. Menegakkan hukum dan bertindak juga sebagai juru bicara bagi
masyarakatnya dalam hubungan-hubungan dengan masyarakat di luar
wilayahnya.
2. Imam menegakkan hukum yang mengatur hubungan antara umat baik
pada masa perang maupun masa perdamaian.
61
3. Mengeluarkan perintah perang.
4. Memberlakukan hukum di wilayah-wilayah yang baru diduduki
5. Menghukum umat Islam dan non Islam dalam wilayahnya apabila
mereka terbukti melanggar hukum.
6. Memutuskan kapan jihad dilakukan atau kapan jihad harus dihentikan.
7. Menyarankan
kapan
umat
Islam
menerima
dan
menyetujui
perdamaian dengan pihak musuh.
Semua kewenangan ini bukan tanpa ada pembatasannya. Imam harus
menjalankannya dalam batas-batas hukum tertentu, dengan memenuhi sasaran dan
tujuan hukum.
3. Setelah amandemen UUD 1945, terjadi perubahan Kewenangan Presiden yang
sesuai dengan prinsip perubahan UUD 1945 untuk mempertegas sistem presidensial
dan dianutnya pemisahan cabang-cabang kekuasaan negara yang utama dengan
prinsip Check and Balances, maka perubahan UUD 1945 berakibat pula perubahan di
bidang kekuasaan eksekutif, sebagai berikut:
1. Memegang kekuasaan eksekutif menurut UUD 1945 (Pasal 4 ayat (1)).
2. Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, melainkan dipilih
oleh rakyat secara langsung secara berpasangan dari calon yang diajukan oleh
partai politik atau gabungan partai politik (Pasal 6A).
62
3. Masa jabatan Presiden selama 5(lima) tahun secara tegas dibatasi untuk dua
periode (Pasal 7).
4. Ditentukannya syarat-syarat yang lebih rinci untuk menjadi Presiden dan
Wakil Presiden (Pasal 6).
5. Ditentukannya mekanisme impeachment terhadap Presiden yang melibatkan
DPR, Mahkamah Konstitusi dan DPR (Pasal 7A dan 7B).
6. Penegasan bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR (Pasal 7C).
7. Pelaksanaan hak-hak prerogatif (Presiden sebagai Kepala Negara harus
dengan persetujuan atau pertimbangan DPR).
8. Pengangkatan pejabat-pejabat publik, seperti anggota BPK (Pasal 23F, Hakim
Agung (Pasal 24A ayat (3)), anggota Komisi Yudisial ( Pasal 24B ayat (3))
harus dengan persetujuan DPR.
9. Presiden berwenang membentuk DPA yang dihapuskan.
10. Dalam pembentukkan, pengubahan, dan pembubaran kementrian harus diatur
dengan UU (Pasal 17 ayat (4)), tidak bebas seperti sebelumnya.
B. Saran-saran
Dari kesimpulan diatas, tampak harus ada penyempurnaan, baik dalam
kewenangan Presiden maupun kewenangan yang dimiliki oleh Imam atau
kepala negara. Untuk itu, sebagai akhir dari proses penulisan ini, penulis
mengajukan saran-saran sebagai berikut:
63
1.
Agar kewenangan Presiden dalam memegang kekuasaan
pemerintahan lebih dipertegas, diperjelas, dan diawasi dalam
menjalankan kewenangannya, menurut UUD 1945 sebelum
maupun
sesudah
amandemen.
Agar
tidak
terjadi
penyelewengan dalam menjalankan roda pemerintahan, yang
diianggap
sebagai
kekuasaan
terpusat,
yang
hanya
presidenlah sebagai pemegang kekuasaan mutlak.
2.
Agar sistem ketatanegaraan Islam dewasa ini lebih
disempurnakan lagi, khususnya mengenai kewenangan
Pemimpin(Kepala Negara) agar lebih ditegaskan lagi dan
dipraktekkan dalam sistem ketatanegaraan Islam dewasa ini.
DAFTAR PUSTAKA
UUD 1945 Sebelum & Sesudah Amandemen. Yogyakarta: Indonesia Tera, 2008
Al-Maududi, Abdul A’la. pengantar
Bandung:Kharisma, 2007, cet. 1
Amien
Rais,
Khilafah
dan
Kerajaan.
al-Mawardi, Imam. Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam takaran Islam.
Jakarta: Gema Insani, 2000.
An-Nabhani, Taqiyuddin. Sistem Pemerintahan Islam. Bangil: Al-Izzah, 1997, Cet:1.
Asshiddiqie, Djimly. Hukum Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
Asshiddiqie, Jimly. Format kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam
UUD 1945. Yogyakarta: FH. UII Press, 2005.
Asshidiqie, Jimly. Hukum Konstitusi & Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press,
2006.
Djaelani, Abdul Qadir. Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam. Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1995.
El-Muhtaj, Majda. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia. Jakarta: Kencana,
2002.
Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2006
HR, Ridwan, Pengantar: Prof. Mahfud MD. Fiqh Politik Gagasan, Harapan dan
Harapan. Yogyakarta: FH UII PRESS, 2007.
Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Ma’arif, Ahmad Syafi’ie. Islam dan Pancasila sebagai dasar negara. Jakarta: LP3S
Indonesia, 2006.
Manan, Bagir. Lembaga Kepresidenan. Yogyakarta, FH.UII Press, 1999, cet 1.
MD, Moh Mahfud. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Pers, 2009.
MD, Moh Mahfud. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2009.
MD, Moh Mahfud.Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2001.
Mubarak, Muhammad. Sistem Pemerintahan dalam Persfektif Islam. Solo: CV. Pustaka
Mantiq, 1995.
Rosyada, Dede(editor). Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM dan Masyarakat
Madani. Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000.
Simongkir, J.C.T. Hukum&konstitusi Indonesia. Jakarta: PT. Gunung Agung, 1983.
Syafi’ie, Inu Kencana. Al-Qur’an dan Ilmu Politik. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994.
Syarif, Mujar Ibnu, dan Zada, Khamami. Fiqh Siyasah. Jakarta : Erlangga, 2008.
Http://racheedus.wordpress.com
Http://Fristianhumalanggionline.wordpress.com
Download