REFORMASI KEWENANGAN PRESIDEN PASCA AMANDEMEN (SUATU KAJIAN YURIDIS-NORMATIF DAN HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) oleh : SITI ATIQOH NIM: 106045203729 KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul REFORMASI KEWENANGAN PRESIDEN PASCA AMANDEMEN (SUATU KAJIAN YURIDIS-NORMATIF DAN HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 17 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Siyasah Syar’iyyah. Jakarta, 17 Juni 2010 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Prof.Dr.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012 PANITIA UJIAN 1. Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag (…………………….) 197210101997031008 2. Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag (.................................) 197102151997032002 3. Pembimbing: Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, MA 196912161996031001 (…………………….) 4. Penguji I (…………………….) : Prof.Dr.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM 195505051982031012 5. Penguji II : Dr. Jaenal Aripin, M.Ag 197210161998031004 (…………………….) REFORMASI KEWENANGAN PRESIDEN PASCA AMANDEMEN (SUATU KAJIAN YURIDIS-NORMATIF DAN HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh Siti Atiqoh NIM: 106045203729 Di Bawah Bimbingan Pembimbing Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, MA NIP.196912161996031001 KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 10 Juni 2010 Siti Atiqoh KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas segala rahmat, hidayah dan inayah-Nya yang telah diberikan kepada penulis kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasul yang berjasa besar kepada kita semua dalam membuka gerbang ilmu pengetahuan. Skripsi yang berjudul “REFORMASI KEWENANGAN PRESIDEN PASCA AMANDEMEN (SUATU KAJIAN YURIDIS-NORMATIF DAN HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM)” penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan mencapai gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah (Ketatanegaraan Islam) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Setulus hati, penulis sadari bahwa tidak akan sanggup menghadapi dan mengatasi berbagai macam hambatan dan rintangan yang mengganggu lancarnya penulisan skripsi ini, tanpa adanya bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan yang berharga ini perkenankan penulis untuk menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada yang terhormat : 1. Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MH.,MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. i 2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, dan ibu Sri Hidayati M. Ag, Ketua dan Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas waktu dan solusinya selama ini. 3. Bapak Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, MA, sebagai Dosen Pembimbing penulis yang senantiasa membimbing dan meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang memberikan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berarti bagi perkembangan pemikiran dan wawasan yang luas bagi penulis. 5. Segenap pengelola Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta atas pelayanan referensi bukubukunya. 6. Orang tua penulis Bapak (Alm). H. Dulatif dan Ibu Hj. Nunung Nurhayati, penulis memohon maaf untuk segala macam perilaku penulis yang tidak berkenan di hati, penulis juga mengucapkan terima kasih yang teramat yang sangat atas cinta, kasih dan sayangnya, kepada orang tua penulis yang telah merawat dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. 7. Kepada kakak-kakak ku: Wahyu Firmansyah, S.Pd, Nur Sofian Chotib S.Sos I, terima kasih banyak atas cinta, kasih dan sayang kalian berikan kepada penulis baik moril maupun materi, penulis tidak bisa mambalas jasa-jasa ii kalian, penulis hanya bisa mendoakan semoga kalian selalu diberkahi dan mendapatkan kemudahan dalam urusan kalian. 8. Sahabat-sahabat penulis yang tercinta, Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah Tahun Akademik 2006-2007, Naziah, Alif, Asriyah, Apriyanti, Mecca, yang senantiasa menemani penulis dalam mengerjakan skripsi ini, teman-teman SS yang lainya Mufti, Lina, Rifqoh, Dian, Esa, Irsyad, Imron, Ery, Luthfi, Bowo, Ridwan, Ade, Bangkit, dll. Untuk sahabat-sahabat semua yang telah berbagi ilmu ketika belajar dikampus tercinta ini. Untuk sahabat-sahabat penulis Ust. Syuhada, Ita, Dyan, dan anak-anak ta’lim lainnya, terima kasih yang telah menemani penulis saat suka dan duka. Terakhir penulis berdo’a kepada Allah semoga ilmu yang telah kita dapat di kampus ini bermanfaat bagi kita semua dan diberkahi oleh Allah SWT. Amien. Jakarta, 10 Juni 2010 M . Penulis iii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR……….......……………………………………………... i DAFTAR ISI……………………………………………………………………. iv BAB I PENDAHULUAN………………………………………………. 1 A. Latar Belakang Masalah……………………………………… 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………………………… 7 C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian……………………. 8 D. Metode Penelitian…………………………………………….. 9 E. Review Studi Terdahulu……………………………………… 11 F. Sistematika Penulisan………………………………………… 14 BAB II KONSEP LEMBAGA NEGARA DALAM ISLAM DAN MENURUT UUD 1945…………………………………………. 17 A. Konsep Lembaga Negara Dalam Islam……………………..... 17 1. Al-Sulthah al-tasyri’iyyah……………………………. 18 2. Al-Sulthah al-tanfidziyah…………………………….. 20 3. Al-Sulthah al-qadha’iyyah……………………………. 23 B. Konsep Lembaga Negara Menurut UUD 1945………………. 23 1. Legislatif……………………………………………… 24 2. Eksekutif……………………………………………… 26 3. Yudikatif……………………………………………… 27 iv BAB III KEPRESIDENAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI)……………………………………........... 28 A. Pemerintahan Presidensial……………………………………. 28 B. Presiden dan Wakil Presiden………………………………… 32 C. Kewenangan Presiden……………………………………….. BAB IV 33 ANALISIS KEWENANGAN PRESIDEN MENURUT UUD 1945 HASIL AMANDEMEN & DALAM PERSPEKTIF KETATAEGARAAN ISLAM…………………………………. 38 A. Kewenangan Presiden dalam UUD 1945…………………….. 38 B. Perubahan Kewenangan Presiden dalam Ketentuan UUD 1945 Hasil Amandemen …………………........................................ 42 C. Kewenangan Presiden atau Kepala Negara dalam Perspektif Ketatanegaraan Islam……………………………………….... 53 BAB V D. Analisis Persamaan dan Perbedaan………………………….. 55 PENUTUP………………………………………………………. 58 A. Kesimpulan………………………………………………….. 58 B. Saran-saran…………………………………………………... 62 DAFTAR PUSTAKA v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bila dilihat dari sudut pandangan hukum Islam tentang tujuan penciptaan suatu negara, maka akan diperoleh gambaran sebagai berikut, yaitu bahwa tujuan “suatu negara Islam adalah untuk memelihara keamanan dan integritas negara, menjaga hukum dan ketertiban, dan untuk memajukan negeri hingga setiap individu dalam negeri itu dapat merealisasikan seluruh potensinya sambil memberikan sumbangan bagi kesejahteraan semua 1 . Hukum yang benar adalah faktor penentu keselamatan umat manusia di bumi ini. Menurut Islam, hukum yang benar adalah benar ini adalah yang dapat menyelamatkan umat manusia di dunia sampai akhirat. Hukum ini hanya satu, yaitu hukum yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan hadits. Dalam fiqh siyasah, konstitusi disebut juga dengan dusturi. Kata ini berasal dari bahasa Persia. Semula artinya adalah seseorang yang memiliki otoritas, baik dalam bidang politik maupun agama. Setelah mengalami penyerapan ke dalam bahasa Arab, kata dustur berkembang pengertiannya menjadi asas, dasar atau pembinaan 2 . Menurut istilah, dustur berarti kumpulan kaedah yang mengatur 1 Ahmad Syafi’I Maarif, Islam dan Pancasila sebagai dasar negara, (Jakarta: LP3S Indonesia, 2006) h. 13 2 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 153 1 2 dasar dan hubungan kerja sama antara sesama anggota masyarakat dalam sebuah negara, baik yang tidak tertulis (konvensi) maupun yang tertulis (konstitusi). Menurut Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan pikiran yang adil. Sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan. Morallah yang akan menentukan baik dan tidaknya suatu peraturan perundang-undangan dan membuat undang-undang adalah sebagai kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Karena itu, kata Aristoteles, yang penting adalah mendidik manusia menjadi warga negara yang baik. Dari sikap adil itu, kebahagiaan warga negara dapat terjamin. Ajaran Aristoteles ini sampai sekarang menjadi impian para negarawan untuk menciptakan suatu negara hukum. Karena itu, moral atau akhlak itu lebih dahulu adanya daripada negara atau politik, baik dalam sejarahnya maupun di dalam kejadiannya. Moral menjadi sumber setiap tindakan dan perbuatan manusia sebagai pribadi. Moral juga menjadi sumber pula bagi setiap tindakan dan perbuatan masyarakat sebagai ikatan bersama dari manusia. Karena itu, moral menjadi ukuran yang tegas bagi negara suatu bangsa, baik untuk menetapkan suatu tindakan politik yang baik maupun tindakan politik yang jahat 3 . 3 Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), h. 120-123 3 Substansi kepemimpinan politik dalam perspektif Islam merupakan sebuah amanat yang harus diberikan kepada orang yang benar-benar “ahli”, berkualitas dan memiliki tanggung jawab, adil, jujur dan bermoral baik. Islam tawarkan dalam memilih seorang pemimpin agar dapat membawa umat kepada kehidupan yang lebih baik, harmonis, dinamis, makmur, sejahtera dan tentram. Di samping itu, pemimpin juga harus orang yang bertakwa kepada Allah. Karena ketakwaan ini sebagai acuan dalam melihat sosok pemimpin yang benarbenar akan menjalankan amanah. Bagaimana mungkin pemimpin yang tidak bertakwa dapat melaksanakan kepemimpinannya. Karena dalam terminologinya, takwa diartikan sebagai melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Takwa berarti taat dan patuh serta takut melanggar/mengingkari dari segala bentuk perintah Allah 4 .Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 59: ⌧ ⌧ 4 Http://racheedus.wordpress.com 4 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. 4:59). Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar. Indonesia ialah Negara berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Pemerintahan berdasarkan atas sistem Konstitusi (Hukum Dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). UUD 1945 merupakan konstitusi yang paling singkat dan sederhana. UUD 1945 terdiri dari 16 Bab, 37 Pasal, 4 Pasal Peraturan Peralihan, dan 2 Ayat Aturan Tambahan itu yang mengatur lima unsur, yaitu Kekuasaan Negara, hak rakyat, kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Konstitusi suatu negara pada hakekatnya merupakan hukum dasar tertinggi yang memuat hal-hal mengenai penyelenggaraan negara, karenanya suatu konstitusi harus memiliki sifat yang lebih stabil dari pada produk hukum lainnya. Terlebih lagi jika jiwa dan semangat pelaksanaan penyelenggaraan negara juga diatur dalam konstitusi sehingga perubahan suatu konstitusi dapat membawa perubahan yang besar terhadap sistem penyelenggaraan negara. Bisa jadi suatu 5 negara yang demokratis berubah menjadi otoriter karena terjadi perubahan dalam konstitusinya. Jika diamati, dalam UUD 1945 menyedikan satu pasal yang berkenaan dengan cara perubahan UUD, yaitu pasal 37 yang menyebutkan 5 : 1. Untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota MPR harus hadir. 2. Putusan diambil dengan persetujan ekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir. Perubahan UUD 1945 merupakan paket terbesar dan terpenting dari paket reformasi. Perubahan ini sekaligus menjadi awal penentu bagi arah pembangunan nasional ke depan. Kehidupan generasi mendatang sangat akan ditentukan oleh kejelasan hukum dasar bangsanya hari ini. Jika tidak mampu melahirkan antisipasi konstruktif agenda jangka panjang dengan terbitnya UUD yang komprehensif, maka sangat tidak dapat dibayangkan seperti apa arah kehidupan bangsa apalagi generasi di masa mendatang. Perubahan suatu konstitusi harus dipahami secara objektif-proposional. Perubahan UUD bukanlah berarti menghilangkan nuansa dan rasa kesatuan anakanak bangsa dalam ikatan NKRI, tetapi harus dilihat sebagai jalan terbaik bagi 5 Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2002), h. 83 6 kelangsungan masa depan bangsa dalam proses perubahan yang bertanggung jawab 6 . Perubahan UUD 1945 berimplikasi pada penyelenggaraan kekuasaan negara yaitu mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh Undangundang dasar adalah tidak ada yang rendah, semuanya sama diatur berdasarkan fungsinya masing-masing. Sesuai dengan prinsip perubahan UUD 1945 untuk mempertegas sistem presidensial dan dianutnya pemisahan cabang-cabang kekuasaan negara yang utama dengan prisip check and balances, maka dengan perubahan UUD 1945 berakibat pula perubahan di bidang kekuasaan eksekutif (Presiden) 7 . Sebelum perubahan, Undang-Undang dasar 1945 memberikan pengaturan yang dominan terhadap lembaga kepresidenan, hal ini terlihat dari jumlah pasal maupun kekuasaan yang dimilikinya. Mulai dari pasal 4 sampai dengan pasal 15 dan pasal 22 mengatur langsung mengenai jabatan kepresidenan, dengan kata lain pasal-pasal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan ada tiga belas dari tiga 6 Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h. 83 7 Djimly Asshiddiqie, Hukum Konstitusi (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 54 7 puluh tujuh pasal UUD 1945. Ditambah lagi dengan ketentuan-ketentuan lain yang tidak mungkin lepas dari pengaturan mengenai Presiden, seperti ketentuan yang mengatur APBN, ketentuan yang mengatur wewenang MPR, DPR, DPA, BPK, undang-undang organik. Setelah perubahan (1999, 2000, 2001, 2002), hanya terdapat 19 pasal dari 37 pasal (tidak termasuk tiga pasal aturan peralihan, dan dua pasal aturan tambahan) yang mengatur secara langsung mengenai lembaga kepresidenan. Dari 19 pasal, ada perubahan 9 pasal yang mengatur kewenangan Presiden. Dengan kata lain, secara kualitatif ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang kewenenangan Presiden pasca Amandemen berkurang jika dibanding sebelum amandemen 8 . Berdasarkan uraian di atas, penulis melakukan penelitian tentang “REFORMASI KEWENANGAN PRESIDEN PASCA AMANDEMEN (SUATU KAJIAN YURIDIS-NORMATIF DAN HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM)”. B. Perumusan dan Pembatasan Masalah Karena pembahasan mengenai Reformasi Lembaga Kepresidenan pasca Amandemen UUD 1945 (Yuridis-Normatif dan Hukum Ketatanegaraan Islam), maka penulis memberikan batasan masalah yang harus dijawab, antara lain, yaitu: a. Bagaimana mekanisme kewenangan Presiden menurut UUD 1945 sebelum amandemen 8 Http://Fristianhumalanggionline.wordpress.com 8 b. Kewenangan Presiden atau Kepala Negara menurut perspektif Ketatanegaraan Islam? c. Bagaimana perubahan kewenangan Presiden setelah amandemen UUD 1945? Dengan mengacu kepada masalah di atas, penelitian ini menjadikan masalah terakhir sebagai fokus masalahnya, yakni bagaimana Reformasi Lembaga Kepresidenan Republik Indonesia pasca Perubahan (Amandemen) (Suatu Kajian Yurisdis-Normatif dan Hukum Ketatanegaraan Islam)? C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui mekanisme Kewenangan Presiden menurut UUD 1945 sebelum & sesudah amandemen. 2. Untuk mengetahui tentang Kewenangan Presiden atau Kepala Negara menurut Persfektif ketatanegaraan Islam. Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai tambahan tentang ilmu pengetahuan dan wawasan tentang Kewenangan Presiden pada umumnya. Manfaat praktis bagi penulis, pembaca, serta masyarakat pada umumnya, adalah mengetahui bagaimana perubahan kewenangan Presiden pasca amandemen UUD 1945. secara akademis dapat bermanfaat bagi para akademisi fakultas Syariah dan Hukum pada umumnya dan bagi program 9 studi Jinayah Siyasah Syar’iyyah khususnya, sebagai tambahan referensi tentang studi komparatif mengenai Lembaga Kepresidenan baik dalam UUD 1945 dan dalam Hukum Islam. D. METODE PENELITIAN 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Jenis peneitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian kepustakaan (Library research) yaitu penelitian dengan cara mengmpulkan bahan-bahan yang berasal dari buku-buku, artikelartikel, makalah, majalah, Koran serta bahan-bahan lainnya yang berkaitan dngn masalah yg diangkat. Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode peneliian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif, yaitu dengan menekankan pada sumber hukum Islam dan peraturan-peraturan lain yang berlaku dalam bentuk peraturan perundangundangan. Pendekatan ini dimaksudkan untuk menelaah, mengkritisi, serta diharapkan dapat memberi solusi, khususnya yang terkait dengan kewenangan Presiden yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.dan beberapa undang-undang lainnya yg relevan dengan obyek penelitian. 10 2. Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, pengumpulan data menggunakan tehnik studi dokumenter. Adapaun langkah-langkah pengumpulan data melalui tehnik studi dokumenter tersebut adalah sebagai berikut: a. Mengidentifikasikan dan menjadikan al-Qur’an, Hadist, sumber Hukum Islam lainnya, UUD 1945, dan undangundang lainnya yang berkaitan dengan materi pembahasan tugas akhir penulis yang bersifat Primer. b. Mengidentifikasikan bahan-bahan pustaka, yang bersifat sekunder, menyangkut Ketatanegaraan Islam (Fiqh Siyasah) c. Mengidentifikasikan bahan-bahan pustaka, yang bersifat sekunder, menyangkut Sistem Tata Negara Islam dan Indonesia. d. Mengkompilasi, mengkritisi dan menginterpretasi data hasil penelaahan bahan pustaka tersebut. e. Memformulasikan hasil dari langkah-langkah diatas ke dalam bentuk penulisan Proposal Skripsi. 3. Jenis Data Pada tahap ini jenis data yang di gunakan adalah data kualitatif dengan menggunakan analisis dokumenter tehadap UUD 1945 sebelum& sesudah amandemen, Kewenangan Presiden. dan Tinjauan hukum Islam menyangkut 11 4. Teknik Analisis Data Teknik analisis ini diawali dengan mengkompilasi berbagai dokumen seperti, buku, skripsi, dan lain-lain termasuk juga peraturan perundangundangan yang berkaitan khususnya dengan Kewenangan Presiden. Dari data yang terkumpul baik secara normatif dilakukan analisa bahan hukum secara kualitatif, artinya dilakukan dengan menguraikan, mengidentifikasikan, menyusun dan mengolah dan menguraikan secara sistematis, Kemudian dilakukan analisa dengan menjabarkan, menginterpetasikan dengan penafsiran sistematis, sosiologis, historis, dan menyusunnya secara logis dan sistematis. Kemudian setelah itu dilakukan evaluasi terhadap bahan yang telah dieksplanasi, yakni nilai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dari hasil ini diperoleh kemudian disimpulkan terhadap permasalahan dengan metode deduktif dan disajikan. 2. Teknik Penulisan Skripsi Adapun teknik penulisan skripsi ini menggunakan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Cet ke-1 tahun 2007. E. Review Studi Terdahulu Dari literatur yang telah penulis telaah, terdapat beberapa karya tulis yang dijadikan acuan awal oleh penulis dan untuk menjaga keaslian judul yang 12 akan penulis ajukan dalam dalam skripsi ini. Perlu kiranya penulis uraikan juga beberapa buku atau karangan yang berkaitan atau mengkaji isu seperti ini: Skripsi dengan judul: “Impeachment Presiden menurut UUD 1945 hasil amandemen dalam tinjauan Ketatanegaraan Islam” oleh Irwanto, program studi Ketatanegaraan Islam, jurusan Jinayah Siyasah tahun 2008, bertolak pada Impeachment dalam perspektif Politik Islam (mekanisme dan lembaga Kepresidenan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan analisis mekanisme proses Impeachment Presiden hasil amandemen UUD 1945). Skripsi dengan judul: “Al-Sultah al-Tasyri’iyyah di Indonesia: studi terhadap lembaga Negara pasca amandemen UUD 1945” oleh Indi Karim Makin Ara, Program studi Siyasah Syar’iyyah Jurusan Jinayah Siyasah tahun 2004, memberikan deskripsi mengenai studi Lembaga-lembaga Negara di Indonesia (Pasca Amandemen UUD 1945) dalam klasifikasi al-Sultah al-Tasri’iyyah. Secara spesifik skripsi ini mengulas keberadaan, kedudukan dan peran serta hubungan antara lembaga satu dengan lembaga yang lain. Dalam buku Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, dijelaskan tentang gagasan dan pemikiran Jimly asshidiqie dalam Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, konstitusi dan konstitusionalisme negara, Demokrasi, dan Lembaga Politik seputar amandemen UUD 1945. Buku ini mendokumentasikan perkembangan dan pemikiran tentang Konstitusi dan Ketatanegaraan pasca perubahan UUD 1945 13 yang kemudian diharapkan dapat berkembangnya pemikiran mengenai hukum konstitusi dan ketatanegaraan Indonesia. Dalam buku Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam takaran Islam, membahas tentang hukum Tata Negara dan Kepemimpinan agama. Imamah (kepemimpinan negara) adalah dasar bagi terselenggaranya dengan baik ajaran-ajaran agama dan pangkal dari terwujudnya kemaslahatan umat. Sehingga kehidupan masyarakat menjadi aman dan sejahtera. Dalam buku Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah karya J. Suyuthi Pulungan, yang menuliskan tentang isi dari Piagam Madinah yang dianggap sebagai konstitusi pertama yang dibuat oleh Rasulullah, yang dapat mendeskripsikan bagaimana tinjauan Islam terhadap konstitusi. Dalam buku Fiqh Siyasah, yang ditulis oleh Drs. M. Iqbal, M.Ag, yang mendokumentasikan Konstitusi menurut Perspektif Islam. Buku ini dapat mendeskripsikan bagaimana bentuk Konstitusi dalam Islam. Dalam buku Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman, yang ditulis oleh M. Hasbi Amirudin, bahwa buku ini berisi tentang pemikiran ataupun gagasan Fazlur Rahman mengenai Konsep Negara Islam. Dalam skripsi tentang “Sumber Hukum & Konstitusionalitas UU perbandingan Indonesia dengan Negara Muslim (Pakistan, Iran, dan Mesir), yang ditulis oleh Muhammad Zamroni, Program Studi Siyasah Syar’iyyah jurusan Jinayah Siyasah tahun 2009. Skripsi ini membahas tentang Sumber hukum dalam konstitusi modern, konstitusionalitas UU di Indonesia dan 14 perbandingan sumber hukum dan konstitusionalitas UU di Indonesia dengan Negara Muslim (Pakistan, Mesir, dan Iran). Secara umum dan komprehensif tinjauan review dan pustaka diatas telah banyak menyinggung mengenai penerapan terhadap Perubahan Kewenangan Presiden pasca amandemen UUD 1945. Atas dasar itu, penulis berinisiatif untuk meninjau lebih dalam mengenai mekanisme Konstitusi (UUD 1945) Indonesia, serta bagaimana perubahan Kewenangan Presiden pasca amandemen UUD 1945 dan menurut persfektif Islam. yang merupakan perbedaan spesifik dibanding karya tulis yang ada. Mengenai pedoman penulisan skripsi ini, penulis menggunakan “Buku penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah & Hukum. Penggunaan dari berbagai macam tinjauan pustaka ini untuk menjadi acuan dalam melaksanakan penulisan, agar dapat mencapai tujuannya. Dengan adanya patokan ini, diharapkan dapat membuat penulis lebih mudah dalam melaksanakan skripsi. F. SISTEMATIKA PENULISAN Adapun penelitian ini, maka penulis membagi kedalam beberapa bab, masingmasing bab mempunyai spesifikasi pembahasan mengenai topik-topik dengan sistematika: 15 BAB I : PENDAHULUAN Sebagaimana layaknya laporan penelitian, maka dalam bab menjelaskan mengenai Latar Belakang Masalah, Pembatasan Masalah, Tujuan Penelitian, ini Rumusan, dan Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Penelitian. Yang bertujuan untuk mengetahui garis besarnya dari skripsi penulis. BAB II :KONSEP LEMBAGA NEGARA DALAM ISLAM DAN MENURUT UUD 1945 Penjelasan pada bab ini bertujuan sebagai tolak ukur/variabel bagi Konsep Lembaga negara dalam Islam, dan juga sebagai pintu gerbang pembaca agar lebih memahami isi skripsi penulis. Dalam bab ini menjelaskan tentang Konsep Lembaga Negara Dalam Islam yaitu Al-Sulthah al-tasyri’iyyah, Al-Sulthah al-tanfidziyah, AlSulthah al-qadha’iyyah. Dan Konsep Lembaga Negara Menurut UUD 1945, yaitu Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. BAB III :KEPRESIDENAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI) Penjelasan pada bab ini bertujuan sebagai tolak ukur/variabel bagi , Kepresidenan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan juga sebagai pintu gerbang pembaca agar lebih memahami isi skripsi 16 penulis pada bab ini. Dalam bab ini menjelaskan tentang Pemerintahan Presidensial, Presiden dan Wakil Presiden, dan Kewengan Presiden BAB IV :ANALISIS KEWENANGAN PRESIDEN MENURUT UUD 1945 DAN DALAM PERSPEKTIF KETATANEGARAAN ISLAM Penjelasan pada bab ini bertujuan sebagai tolak ukur/variabel bagi Kewenangan Presiden Indonesia, dan juga sebagai pintu gerbang pembaca agar lebih memahami isi skripsi penulis pada bab ini. Dalam bab ini menjelaskan Analisis Mekanisme Kewenangan Presiden Indonesia sebelum Amandemen UUD 1945, dan Perubahan Kewenangan Presiden dalam ketentuan hasil Amandemen UUD 1945, Kewenangan Presiden atau Kepala Negara dalam Perspektif Ketatanegaraan Islam, Persamaan & Perbedaan Kewenangan Presiden menurut UUD 1945 dan Ketatanegaraan Islam. BAB V : PENUTUP Pada bab ini penulis menarik kesimpulan dari pembuktian atau uraian yang telah ditulis dan bertalian erat dengan dengan pokok masalah, dan saran-saran penulis, apabila ada kesalahan dan kekurangan penulis dalam penulisan skripsi ini. BAB II KONSEP LEMBAGA NEGARA DALAM ISLAM DAN MENURUT UUD 1945 A. Konsep Lembaga Negara Dalam Islam Dalam sejarah Ketatanegaraan Islam, terdapat tiga badan kekuasaan, yaitu: Sulthah al-tasyri’iyyah (Kekuasaan Legislatif), Sulthah al-thanfidziyah (Kekuasaan Eksekutif), Sulthah al-qadha’iyyah (Kekuasaan Yudikatif). Prinsip kedaulatan rakyat menjadi latar belakang terciptanya struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan yang menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat itu biasanya diorganisasikan melalui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution of power). Sedangkan dalam Islam yang menjadi latar belakang terciptanya struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan adalah berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang ditetapkan Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW. Prinsip pertama adalah bahwa seluruh kekuasaan di alam semesta ada pada Allah karena ia yang telah menciptakannya. Prinsip kedua adalah bahwa hukum Islam ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi, sedangkan Hadits merupakan penjelasan tentang Al-Qur’an 1 . 1 Hakim Javid Iqbal, Masalah-masalah Teori Politik Islam, cet III, (Bandung: Mizan, 1996), h. 57 17 18 Sesuai dengan tujuan negara yaitu menciptakan kemaslahatan bagi seluruh manusia, maka negara mempunyai tugas-tugas penting dalam merealisasikan tujuan tersebut. Ada tiga tugas yang dimainkan dalam hal ini 2 . 1. Al-Sulthah al-tasri’iyyah Tugas Al-sulthah al-tasyri’iyyah adalah menciptakan perundang-undangan yang sesuai dengan ajaran Islam. Dalam hal ini, negara memiliki kewenangan melakukan interpretasi, analogi dan inferensi atas nash-nash Al-Qur’an dan Hadits. Interpretasi adalah usaha negara untuk memahami dan mencari maksud sebenarnya tuntunan hukum yang dijelaskan nash. Sedangkan analogi adalah melakukan metode kias suatu hukum yang ada nashnya, terhadap masalah yang berkembang berdasarkan persamaan sebab hukum. Sementara inferensi metode membuat perundang-undangan dengan memahami prinsip-prinsip syari’ah dan kehendak Syar’I (Allah). Bila tidak ada nash sama sekali, maka wilayah kekuasaan legislatif sejauh tidak menyimpang dari prinsip-prinsip ajaran Islam. Dalam realitas sejarah, kekuasaan legislatif ini dilaksanakan oleh ahl-al-hall wa al-‘aqd 3 . Secara harfiyah, ahl-al-hall wa al-‘aqd berarti orang yang dapat memutuskan dan mengikat. Para ahli fiqh siyasah, pengertian ahl-al-hall wa al-‘aqd sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga negara). Dengan kata lain, ahl-al-hall wa al-‘aqd 2 3 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 136 Ibid……, h.137 19 adalah lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara masyarakat. Anggota ahl-al-hall wa al-‘aqd terdiri dari orang-orang yang berasal dari berbagai kalangan dan profesi. Merekalah yang antara lain bertugas menetapkan dan mengangkat kepala negara sebagai pemimpin pemerintahan 4 . Pembentukan lembaga ahl-al-hall wa al-‘aqd perlu dalam pemerintahan Islam, mengingat banyaknya permasalahan kenegaraan yang harus diputuskan secara bijak dan pandangan yang tajam, sehingga mampu menciptakan kemaslahatan umat Islam. Para ahli fiqh siyasah menyebutkan beberapa alasan pentingnya pelembagaan majlis syura’ ini. Yaitu: Pertama, rakyat secara keseluruhan tidak mungkin dilibatkan untuk dimintai pendapatnya tentang masalah kenegaraan dan pembentukan undang-undang. Oleh karena itu harus ada kelompok masyarakat yang bisa diajak musyawarah dalam menentukan kebijaksanaan pemerintahan dan pembentukan perundang-undangan. Kedua, rakyat secara individual tidak mungkin dikumpulkan untuk melakukan musyawarah di suatu tempat, apalagi di antara mereka pasti ada yang tidak mempunyai pandangan yang tajam dan tidak mampu berfikir kritis. Mereka tentu tidak mampu mengemukakan pendapat dalam musyawarah. Ketiga, musyawarah hanya bisa dilakukan apabila jumlah pesertanya terbatas. Kalau seluruh rakyat dikumpulkan di suatu tempat untuk melakukan musyawarah, dipastikan musyawarah tersebut tidak akan terlaksana. 4 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah. h.137-138 20 Keempat, kewajiban amar ma’ruf nahi munkar hanya bisa dilakukan apabila ada lembaga yang berperan untuk menjaga kemaslahatan antara pemerintah dan rakyat. Kelima, ajaran Islam sendiri yang menekankan perlunya pembentukan lembaga musyawarah. Nabi sendiri menekankan dan melaksanakan musyawarah dengan para sahabat untuk menentukan suatu kebijaksanaan pemerintahan. Sebagaimana dalam surat al-Imran ayat 159 5 : ☺ ⌧ ☺ ⌧ ⌧ ⌧ ☺ Artinya: “Maka disebabkan Rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekililingmu. Karena maafkanlah mereka mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.”(Ali Imran: 159) 2. Al-Sulthah al-tanfidziyah Tugas Al-Sulthah al-tanfidziyah adalah melaksanakan undang-undang. Di sini negara memiliki kewenangan untuk menjabarkan dan mengaktualisasikan perundang5 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah.h. 142-143 21 undangan yang telah dirumuskan tersebut. Dalam hal ini, negara melakukan kebijaksanaan baik yang berhubungan dengan dalam negeri maupun yang menyangkut dengan hubungan sesama negara (hubungan internasional). Pelaksana tertinggi kekuasaan ini adalah pemerintahan (kepala negara) dibantu oleh para pembantunya (kabinet atau dewan mentri) yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan dan tuntunan situasi yang berbeda antara satu negara dengan negara Islam lainnya 6 . Kepala negara dan Pemerintahan diadakan sebagai pengganti fungsi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Pengangkatan kepala Negara untuk memimpin umat adalah wajib menurut ijma. Jika kepemimpinan negara ini kewajiban, maka kewajiban itu gugur atas orang lain, jika tidak ada seorang pun yang menjabatnya maka kewajiban ini dibebankan kepada dua kelompok manusia. Pertama adalah orang-orang yang mempunyai wewenang memilih Kepala Negara bagi umat Islam, kedua adalah orang-orang yang mempunyai kompetensi untuk memimpin negara sehingga mereka menunjuk salah seorang dari mereka yang memangku jabatan itu 7 . Kewajiban-kewajiban yang harus diemban Kepala Negara itu meliputi semua kewajiban umum baik yang berkenaan dengan tugas-tugas keagamaan maupun kemasyarakatan, yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah seperti 6 7 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, h.137 Imam al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam takaran Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2000), h. 16-17 22 mempertahankan agama, menegakkan keadilan atau menyelesaikan perselisihan pihak yang bersengketa melalui penerapan hukum, mencegah kerusuhan dan melindungi hak-hak rakyat, melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dan jihad, mengatur perekonomian negara dan membagi rampasan perang, dan sebagainya. Kewajiban utama dari seorang imam adalah mempraktikkan totalitas syari’ah didalam umat dan menegakkan institusi-institusi yang menyerukan kebajikan dan mencegah kejahatan. Di samping itu, wewenang Imam atau Kepala Negara adalah: 1. Menegakkan hukum dan bertindak juga sebagai juru bicara bagi masyarakatnya dalam hubungan-hubungan dengan masyarakat di luar wilayahnya. 2. Imam menegakkan hukum yang mengatur hubungan antara umat baik pada masa perang maupun masa perdamaian. 3. Mengeluarkan perintah perang. 4. Memberlakukan hukum di wilayah-wilayah yang baru diduduki 5. Menghukum umat Islam dan non Islam dalam wilayahnya apabila mereka terbukti melanggar hukum. 6. Memutuskan kapan jihad dilakukan atau kapan jihad harus dihentikan. 7. Menyarankan kapan umat Islam menerima dan menyetujui perdamaian. 23 Semua kewenangan ini bukan tanpa ada pembatasannya. Imam harus menjalankannya dalam batas-batas hukum tertentu, dengan memenuhi sasaran dan tujuan hukum dengan pihak musuh 8 . 3. Al-Sulthah al-qadha’iyah Tugas Al-Sulthah al-qadha’iyah adalah mempertahankan hukum dan perundang-undangan yang telah diciptakan oleh lembaga legislatif. Dalam sejarah Islam, kekuasaan lembaga ini biasanya meliputi Wilayah al-hisbah (lembaga peradilan untuk menyelesaikan perkara-perkara pelanggaran ringan seperti kecurangan dan penipuan dalam bisnis), Wilayah al-qadha’ (lembaga peradilan yang memutuskan perkara-perkara antara sesama warganya, baik perdata maupun pidana), dan Wilayah al-mazhalim (lembaga peradilan yang menyelesaikan perkara penyelewengan pejabat negara dalam melaksanakan tugasnya, seperti pembuatan keputusan politik yang merugikan dan melanggar kepentingan atau hak-hak rakyat serta perbuatan pejabat negara yang melanggar HAM rakyat) 9 . B. Konsep Lembaga Negara Menurut UUD 1945 Menurut UUD 1945 pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), yang berbunyi “(1) Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik. (2) Kedaulatan berada di 8 Ridwan HR, Fiqih Politik gagasan, harapan dan kenyataan, (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), h. 273 9 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, h.137 24 tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”. Untuk melaksanakan fungsi negara, maka dibentuk alat-alat perlengkapan negara. Jumlah kedudukan, kekuasaan dan wewenang masing-masing negara tidak sama. Alat kelengkapan Negara Republik Indoonesia dengan menganut teori “ pemisahan kekuasaan” (Separation of Power), dengan prinsip check and balances sebagai ciri pelekatnya 10 . Maka dengan teori ini, dikenal dengan tiga lembaga negara sebagai alat kelengkapan negara, yaitu Lembaga Legislatif terdapat DPR dan DPD, Lembaga Eksekutif terdapat Presiden dan Wakil Presiden dan Lemabaga Yudikatif terdapat Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan sebagai pengawasan keuangan ada BPK. 1. Legislatif Lembaga legislatif atau parlemen berfungsi untuk membentuk Undangundang dan mengawasi eksekutif. Anggota-anggotanya dianggap mewakili Rakyat. Lembaga legislatif di Indonesia terdiri dari MPR dan DPR. a. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) MPR adalah pemegang kekuasaan negara tertinggi atau pemegang kedaulatan rakyat. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, MPR membawahi lembaga-lembaga 10 h. 101 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), 25 negara lain 11 . Pada perubahan UUD 1945 terhadap Pasal 3 berbunyi “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar, Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden atau Wakil Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-undang Dasar. Perubahan ketentuan ini mengalihkan negara indonesia dari sistem MPR kepada sistem kedaulatan rakyat yang diatur melalui UUD 1945 12 . b. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undangundang. Secara umum, bahwa fungsi DPR adalah meliputi fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran(budget) 13 . Karena kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat dalam menjalankan tugas legislatif, merupakan partner dari Presiden. Maka hak-hak tersebut tidak mutlak 14 . Dewan Perwakilan Rakyat dianggap merumuskan kemauan rakyat atau kemauan umum dengan jalan menentukan kebijaksanaan umum 11 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia h. 153 12 Ibid…h.165 13 Ibid….167 14 Moh. Kusnardi, dan Bintan R. Saragih, Susunan, pembagian Kekuasaan menurut Sistem Undang-undang Dasar 1945, (Jakarta: PT.Gramedia, 1989), h. 75 26 yang mengikat seluruh masyarakat. Undang-undang yang dibuatnya mencerminkan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu15 . 2. Eksekutif Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh badan eksekutif,. Di negaranegara demokratis, badan-badan eksekutif biasanya terdiri dari kepala negara seperti Presiden, beserta menteri-menterinya. Tugas badan eksekutif, menurut asas trias politika, hanya melaksanakan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh badan legislatif serta menyelenggarakan undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif. Wewenang badan eksekutif mencakup di beberapa bidang: 1. Diplomatik : menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain. 2. Administratif: melaksanakan undang-undang serta peraturan-peraturan lain dan menjalankan administrasi negara. 3. Militer: mengatur angkatan bersenjata, menyelenggarakan perang serta keamanan dan pertahanan negara. 4. Yudikatif: memberi grasi, amnesti, dan sebagainya. 5. Legislatif: merencanakan rancangan undang-undang dan membimbingnya dalam badan perwakilan rakyat sampai menjadi undang-undang 16 . 15 Dede Rosyada (editor), Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), h. 109 27 3. Yudikatif Lembaga yudikatif memiliki wewenang judisial yang bertugas menjalankan wewenang kehakiman, baik dilapangan hukum publik (pidana, administrasi negara) dan dilapangan hukum privat (perdata, dagang), baik dikalangan sipil maupun militer. Ketentuan dasar mengenai organ dan wewenang kehakiman, umumnya terdapat dalam UUD 1945. misalnya dalam bab IX UUD 1945 yang berjudul “ Kekuasaan Kehakiman” yaitu: Pasal 24: 1. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan menurut Undang-undang. 2. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan Undang-undang 17 . 16 17 Dede Rosyada, Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, h.111 Ibid…., h.111 BAB III KEPRESIDENAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI) A. Pemerintahan Presidensial Salah satu unsur penting dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan adalah pertanggungjawaban dan pengawasan. Jabatan presiden RI adalah suatu jabatan dalam tataran negara berdasarkan paham kerakyatan 1 . Sistem pemerintahan negara mana yang dianut dalam UUD 1945 memuat unsur parlementer maupun presidensial. Jika dilihat ketentuan pasal 4 ayat (1) dan pasal 17, maka sistem yang dianut UUD 1945 adalah presidensial. Sebab kedua pasal itu mengatur pola hubungan yang ada pada sistem presidensial, yaitu pertama, presiden menjadi kepala pemerintahan yang tidak bertanggung kepada DPR. Kedua, menteri diangkat, diberhentikan, dan bertanggung jawab kepada presiden, bukan kepada DPR. Tetapi jika dilihat dari ketentuan pasal 6 bahwa presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara, kunci pokok ketiga (bahwa presiden bertanggung jawab dan tunduk kepada MPR serta wajib menjalankan putusan-putusan MPR), maka dapat dikatakan UUD 1945 menganut system parlementer 2 . 1 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, (Yogyakarta, FH.UII Press, 1999), cet 1, hal 107 2 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Pers, 2009), h. 38 28 29 Mengenai hubungan antar lembaga negara tersebut Wilopo menyebutkan adanya keseimbangan atau check and balance yang khas antara pemerintah dan DPR yang sama-sama kuat. DPR kuat karena tidak dapat dibubarkan oleh pemerintah, dan pemerintah kuat juga karena tidak dapat dijatuhkan oleh DPR. Pola hubungan khas yang demikian itu merupakan unsur penting dalam demokrasi Pancasila. Dengan demikian, dari sudut pandang konstitusional konfigurasi yang ada di Indonesia adalah demokratis. Apa pun kualifikasi sistem pemerintahan yang akan diberikan (presidensial maupun parlementer) asas yang dijadikan pijakkannya adalah demokrasi. Memang sistem presidensial maupun parlementer merupakan bentuk pelembagaan atau strukturisasi terhadap asas demokrasi setelah dipilah-pilahnya poros kekuasaan seperti dalam Trias Politika 3 . Beberapa ciri yang penting sistem pemerintahan presidensial adalah: 1. Masa jabatan tertentu, misalnya 4 tahun, 5 tahun, 6 tahun, atau 7 tahun, sehingga Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya karena alasan politik. 2. Presiden dan Wakil Presiden tidak bertanggungjawab kepada lembaga politik tertentu yang biasa dikenal sebagai parlemen, melainkan langsung bertanggung jawab kepada rakyat. 3. Karena itu, lazimnya ditentukan bahwa Presiden dan Wakil Presiden itu dipilih oleh rakyat secara langsung ataupun melalui 3 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 40 30 mekanisme perantara tertentu yang tidak bersifat perwakilan permanent sebagaimana hakikat lembaga parlemen. 4. Dalam hubungannya dengan lembaga parlemen, Presiden tidak tunduk kepada parlemen, tidak dapat membubarkan parlemen, dan sebaliknya parlemen juga tidak dapat menjatuhkan Presiden dan membubarkan Kabinet sebagaimana dalam praktek sistem parlementer. 5. Dalam sistem ini, tidak dikenal adanya pembedaan antara fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan. 6. Tanggungjawaban pemerintahan berada di pundak Presiden, oleh karena itu Presidenlah pada prinsipnya yang berwenang membentuk pemerintahan, menyusun kabinet, mengangkat dan memberhentikan para mentri serta pejabat-pejabat publik 4 . Sistem pemerintahan Republik Indonesia di bawah Undang-Undang Dasar 1945, sebenarnya dimaksudkan sebagai sistem presidential. Baik dalam penjelasan UUD 1945 maupun dalam pengertian umum, Indonesia memang menganut sistem presidentil. Dalam penjelasan UUD 1945 masih dipakai adanya istilah kepala negara yang dibedakan dari pengertian fungsi kepala pemerintahan. Dalam struktur parlemen Indonesia masih terdapat unsur system parlementer seperti terlihat pada peran dan kewenangan MPR sebagai 4 lembaga tertinggi negara, yang berwenang memilih Jimly Asshiddiqie, Format kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, (Yogyakarta: FH. UII Press, 2005), h. 59 31 Presiden dan Wakil Presiden, menjadi tempat Presiden wajib bertanggungjawab kepada lembaga parlemen, dan berwenang pula memberhentikan Presiden sewaktuwaktu jika Presiden sudah dianggap melanggar haluan negara yang bersifat politik. Semua itu merupakan elemen-elemen sistem parlementer dalam sistem pemerintahan Indonesia. Maka dari itu, kalangan para ahli hukum tata negara cenderung menyebut sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan UUD 1945 itu bersifat ‘quasi presidential’, bukan sistem presidential dalam arti yang sesungguhnya 5 . Beberapa jabatan-jabatan publik yang dimaksud adalah (1) Para Menteri Kabinet, (2) Pemimpin Gubernur Bank Indonesia, (3) Kepala Kepolisian Negara, (4) Jaksa Agung, (5) Panglima Tentara Nasional Indonesia, (6) para anggota lembagalembaga negara seperti Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa keuangan, dan Dewan Perimbangan Agung, (7) para anggota berbagai komisi independen seperti Komnas Hak Asasi Manusia, Komisi Pemeriksa kekayaan Penyelenggaraan Negara (KPKPN), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan lain-lain sebagainya 6 . Pada prinsipnya sistem pemerintahan yang presidensial ini bermaksud meletakkan seluruh pertanggungjawaban terakhir di tangan presiden, oleh karenanya jalan roda pemerintahan menjadi sangat kuat7 . 5 Jimly Asshiddiqie, Format kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, (Yogyakarta: FH. UII Press, 2005), h. 60 6 7 Ibid….. h. 61-63 Inu Kencana Syafi’ie, Al-Qur’an dan Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h. 166 32 B. Presiden dan Wakil Presiden Dalam sistem presidential, biasanya ditentukan adanya satu jabatan Presiden dan jabatan Wakil Presiden. Secara politik, pada hakikatnya Presiden dan Wakil Presiden adalah satu institusi yang tidak terpisahkan. Karena itu, lazimnya, mereka berdua dipilih dalam satu paket pemilihan. Karena itu, keduanya tidak dapat dijatuhkan atau diberhentikan karena alasan politik. Sebab, jika karena alasan politik, maka kedua-duanya haruslah berhenti secara bersama-sama. Akan tetapi, jika ada alasan yang bersifat hukum (pidana) maka sesuai dengan prinsip yang berlaku dalam hukum, pertanggungjawaban pidana pada pokoknya bersifat individual (Individual responsibility), diberhentikan sesuai prosedur yang ditentukan konstitusi 8 . Karena itu, peran penting seorang Wakil Presiden dalam hubungannya dengan Presiden, Pertama-tama adalah sebagai pengganti (reserved power). Sebagai pengganti Presiden, Wakil Presiden dapat bertindak untuk jangka waktu sementara atau dapat pula bertindak seterusnya sampai masa jabata Presiden habis. Peran kedua Wakil Presiden adalah sebagai ‘wakil’ yang mewakili Presiden melaksanakan tugastugas kepresidenan dalam hal-hal yang kepadanya didelegasikan oleh Presiden. Dalam hal demikian, Wakil Presiden bertindak sebagai petugas negara yang menjalankan tugas kepresidenan. Artinya, kualitas tindakan Wakil Presiden itu sama 8 Jimly Asshiddiqie, Format kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, h. 63 33 dengan kualitas tindakan Presiden sendiri. Peran ketiga, Wakil Presiden juga dapat bertindak membantu Presiden melaksanakan seluruh tugas dan kewajiban Presiden. Syarat untuk dicalonkan dan pilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden adalah sama, karena pada satu saat Wakil Presiden dapat menjadi Presiden. Salah satu syarat yang sebenarnya berlaku umum adalah syarat sehat fisik dan mental. Syaratsyarat lainnya antara lain adalah syarat usia, misalnya sekurang-kurangnya 40 tahun. Tidak pernah dihukum pidana, kecuali tindak pidana politik, tidak pernah menjadi warga negara asing. Karena itu, salah satu syarat penting seorang Presiden adalah yang masyarakatnya sangat majemuk ini adalah bahwa yang bersangkutan harus mendapatkan dukungan diatas 50 persen rakyat yang memiliki hak pilih 9 . C. Kewenangan Presiden Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang kekuasaan legislatif (legislatif power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power). Wewenang dan kekuasaan Presiden Republik Indonesia dibagi dua jenis yaitu selaku kepala negara dan selaku kepala pemerintahan. Cara membedakan antara tugas Presiden sebagai kepala negara dengan Presiden sebagai kepala pemerintahan adalah sebagai berikut 10 : Tugas dan tanggung jawab sebagai kepala negara meliputi hal-hal yang ceremonial dan protokoler kenegaraan, jadi mirip dengan kewenangan para kaisar dan 9 Jimly Asshiddiqie, Format kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, h. 65-67 10 Inu Kencana Syafi’ie, Al-Qur’an dan Ilmu Politik, h. 208 34 ratu pada berbagai negara lain, tetapi tidak berkenaan dengan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan. Kekuasaan dan kewenangan kepala negara tersebut meliputi sebagai berikut: a. Melangsungkan perjanjian dengan negara lain b. Mengadakan perdamaian dengan negara lain c. Menyatakan negara dalam keadaan bahaya d. Mengumumkan Perang dengan negara lain e. Mengangkat, melantik dan memberhentikan Duta dan Konsul untuk negara lain f. Memberikan gelar , tanda jasa, tanda kehormatan tingkat nasional g. Menerima surat kepercayaan dari negara lain melalui Duta dan Konsul negara lain h. Menguasai angkatan darat, laut, dan udara serta kepolisian 11 . Kekuasaan dan kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan adalah karena fungsinya sebagai penyelenggara tugas eksekutif, meliputi sebagai berikut: a. Memimpin kabinet b. Mengangkat dan melantik menteri-menteri c. Memberhentikan menteri-menteri d. Mengawasi operasional pembangunan e. Menerima mandat dari MPR RI. 11 Inu Kencana Syafi’ie, Al-Qur’an dan Ilmu Politik, h. 209 35 Di samping itu, karena Indonesia berlaku pembagian kekuasaan (distribution of power) sehingga masing-masing kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif hanya dibagi-bagi, dalam arti masih ada hubungan satu sama lain. Karenanya Presiden RI juga mempunyai kekuasaan sebagai berikut 12 : Di bidang legislatif: a. Membentuk Undang-undang (dengan persetujuan DPR) b. Menetapkan Peraturan Pemerintahan sebagai pengganti Undang-undang c. Menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai tata cara untuk menjalankan Undang-undang. Di bidang yudikatif a. Memberikan grasi Yaitu hak untuk memberikan pengurangan hukuman atau pengampunan dan pembebasan hukuman sama sekali. Contoh, mereka yang pernah dihukum dengan hukuman mati, dikurangi menjadi hukuman seumur hidup. b. Memberikan abolisi Yaitu hak untuk memberikan pernyataan bahwa hukuman tuntutan pidana harus digugurkan atau suatu tuntutan pidana yang telah di mulai harus dihentikan. Contoh, yaitu mereka yang pernah tersangka melakukan perbuatan pemeberontakan dibatalkan sebelum diadili. c. Memberikan amnesti 12 Inu Kencana Syafi’ie, Al-Qur’an dan Ilmu Politik, h. 210 36 Yaitu hak untuk memberikan pernyataan bahwa hukuman tuntutan pidana yang telah dijatuhkan, harus dibatalkan. Contoh, yaitu mereka yang pernah dituduh melakukan perbuatan yang ditindak pidana dibatalkan sesudah diadili. d. Memberikan rehabilitasi Yaitu hak untuk memberikan pernyataan pengembalian nama baik seseorang. Contoh, mereka yang pernah dihukum dan namanya tercemar, dapat dikembalikan nama baiknya melalui sebuah pernyataan. Jadi dapat dilihat begitu besarnya kekuasaan Presiden RI, hak tersebut disebabkan karena pengaturan dalam UUD 1945. diharapkan mempunyai pengaruh dan kekuasaan yang besar demi tetap terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa. Sehingga MPR RI dirasa perlu untuk menjabarkan ke dalam berbagai ketetapan, misalnya batas penetuan berapa kali seseorang memangku jabatan Presiden. Membatasi waktu seseorang dengan menentukan berapa kali terhadap yang bersangkutan dinyatakan boleh dipilih kembali, sama sekali bukan merupakan pengkebirian terhadap hak seseorang Indonesia asli untuk jadi Presiden, dan juga bukan pengkebirian terhadap UUD 1945 itu sendiri, tetapi bahkan merupakan usaha dan menjabarkannya lebih lanjut. Pasal 7 UUD 1945 menyatakan sebagai berikut: “Presiden dan Wakil Presiden memgang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. 37 Pada pasal tersebut di atas menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden hanya dipilih dua kali atau sepuluh tahun masa jabatan, karena apabila lebih dari waktu tersebut di atas, maka bunyinya akan sebagai berikut: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih berkali-kali” 13 . 13 Inu Kencana Syafi’ie, Al-Qur’an dan Ilmu Politik, h..211 BAB IV ANALISIS KEWENANGAN PRESIDEN MENURUT UUD 1945 HASIL AMANDEMEN & DALAM PERSPEKTIF KETATANEGARAAN ISLAM A. Kewenangan Presiden dalam UUD 1945 sebelum Amandemen Menurut UUD 1945, Lembaga Kepresidenan yang bersifat personal. Terdiri dari seorang Presiden dan wakil Presiden. Lembaga ini dipilih oleh MPR, dengan syarat tertentu dan memiliki masa jabatan selama 5 tahun. Sebelum menjalankan tugasnya lembaga ini bersumpah di hadapan MPR atau DPR. Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang kekuasaan legislatif (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power) 1 . Dari pasal 4 ayat (1) dapat diketahui bahwa, Presiden berkedudukan sebagai Kepala Pemerintahan (Kepala Eksekutif). Hal ini diperjelaskan oleh penjelasan Undang-undang Dasar 1945 untuk pasal tersebut yang menyatakan bahwa “Presiden ialah Kepala Kekuasaan Eksekutif dalam negara”, kemudian di dalam penjelasan umum angka IV di sebutkan bahwa “Presiden ialah penyelenggara Pemerintahan Negara yang tertinggi di bawah Majelis”. 1 Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001) h. 113 38 39 Di negara-negara yang menggunakan sistem kabinet Presidensiil, di samping berfungsi sebagai Kepala Pemerintahan dan berfungsi sebagai Kepala Negara. Sekalipun dasar konstitusional hal yang menyatakan bahwa Presiden adalah Kepala Negara di dalam penjelasan UUD 1945 terhadap pasal 10 disebukan bahwa Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Pasal 12 disebutkan bahwa Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syaratsyarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-undang. Pasal 13 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa Presiden mengangkat duta dan konsul dan Presiden menerima duta Negara lain. Pasal 14 disebutkan bahwa Presiden memberi grasi, amnesty abolisi dan rehabilitasi. Pasal 15 disebutkan bahwa Presiden memberi gelaran, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan. Kekuasaan-kekuasaan Presiden dalam pasal-pasal ini, ialah konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara. Dapat dikemukakan dasar konstitusional tentang kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara di Indonesia 2 , yakni: Pertama, Presiden sebagai Kepala Pemerintahan (eksekutif) berdasarkan Pasal 4 ayat (1) serta penjelasan terhadap pasal tersebut dan penjelasan umum angka IV UUD 1945 yaitu Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi di bawah majlis. 2 Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, h. 113 40 Kedua, Presiden sebagai Kepala Negara, berdasarkan penjelasan Undangundang Dasar 1945 terhadap pasal-pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15 serta adanya penyebutan Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden) 3 . Lazimnya negara-negara yang menganut sistem Presidensiil dalam pemerintahan Negara, Indonesia telah menempatkan Presiden dalam fungsi Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan di Negara Republik Indonesia yang kekuasaan-kekuasaannya sebagai berikut: 1. Diplomatik : menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain. 2. Administratif: melaksanakan undang-undang serta peraturan-peraturan lain dan menjalankan administrasi negara. 3. Militer: mengatur angkatan bersenjata, menyelenggarakan perang serta keamanan dan pertahanan negara. 4. Yudikatif: memberi grasi, amnesti, dan sebagainya. 5. Legislatif: merencanakan rancangan undang-undang dan membimbingnya dalam badan perwakilan rakyat sampai menjadi undang-undang 4 . 3 Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, h. 114 4 Dede Rosyada, Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), h.111 41 Secara lebih terperinci, dapat dikemukakan bahwa Presiden RI berdasarkan UUD 1945 mempunyai kekuasaan-kekuasaan seperti: a. Menjalankan Undang-undang. b. Mengangkat dan memberhentikan Menteri-menteri. c. Membentuk Undang-undang bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat. d. Membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. e. Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. f. Mengajukan RAPBN. g. Memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Perang Republik Indonesia. h. Menetapkan perang dengan persetujuan DPR. i. Mengangkat duta dan konsul. j. Menerima duta dari Negara lain. k. Memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. l. Memberi gelar dan tanda jasa 5 . 5 Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, h. 114-115 42 B. Perubahan Kewenangan Presiden dalam Ketentuan UUD 1945 Hasil Amandemen Dari sudut pandang akademis, sebenarnya telah lama ditemukan bahwa perubahan atau amandemen atas UUD 1945 itu perlu dilakukan karena memuat sejumlah kelemahan yang menyebabkan tampilnya pemerintahan yang tidak demokratis. Hanya saja selalu berbenturan dengan realitas yang menolak bahkan mengancamnya. Selama orde lama dan orde baru pandangan akademis tentang politik dan konstitusi selalu menghadapi ancaman bahkan dikait-kaitkan dengan tindakan yang diancam dengan hukuman berat, sehingga wacana ini hanya berkembang di lingkungan kampus dalam waktu yang tidak terlalu lama. Pandangan akademis ini menyimpulkan bahwa perlunya amandemen atas UUD 1945 disebabkan oleh adanya empat kelemahan UUD 1945 6 , yaitu: Pertama, UUD 1945 membangun sistem politik yang executive heavy dalam arti memberi porsi terbesar kekuasaan kepada Presiden tanpa mekanisme checks and balances yang memadai. Presiden menjadi penentu semua agenda politik nasional karena selain sebagai kepala negara dan kepala eksekutif secara praktis Presiden juga adalah kepala Legislatif. Kedua, UUD 1945 terlalu banyak memberi atribusi dan delegasi kewenangan kepada Presiden untuk mengatur lagi hal-hal penting dengan UU maupun dengan 6 Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, h.154 43 Peraturan Pemerintah. Dalam mengatur hal penting dalam UU, Presiden selalu berada pada posisi lebih menentukan daripada DPR, sehingga banyak materi UU yang bersumber pada kehendak-kehendak Presiden saja. Ketiga, UUD 1945 memuat beberapa pasal yang ambigu atau multitafsir sehingga bisa ditafsirkan dengan bermacam-macam tafsir, tetapi tafsir yang harus diterima adalah tafsir yang dibuat oleh Presiden. Keempat, UUD 1945 lebih mengutamakan semangat penyelenggara daripada kekuatan sistemnya. Di dalam penjelasan yang kemudian dijadikan pedoman yang sekuat UUD itu sendiri disebutkan bahwa yang penting adalah semangat penyelenggara, jika penyelenggara Negara baik maka Negara akan baik. Pernyataan ini benar, tetapi belum memuat semua yang benar, sebab selain itu ada juga yang harus dinyatakan yakni bahwa sistem juga harus baik. Orang yang baik, jika bekerja dalam sistem yang tidak baik akan rusak juga, tetapi sistem yang baik, jika tidak dilaksanakan oleh orang-orang yang baik bisa jelek juga. Oleh sebab itu, harus ada keseimbangan antara orang dan sistem. Karena kelemahan-kelemahan itulah maka selama menggunakan UUD 1945 Negara Indonesia tidak pernah terselenggara secara demokratis. Sistem politik otoriter yang dibangun oleh pemerintah melalui akumulasi kekuasaan secara terus menerus dengan menggunakan UUD 1945 itu telah melemahkan supremasi hukum. 44 Karena hukum tidak lagi “supreme”. Yang supreme adalah kekuasaan yang dalam prakteknya sangat menentukan karakter isi dan penegakkan hukum 7 . Gerakan reformasi telah berhasil mengajak bangsa ini melakukan amandemen atau perubahan. Atas UUD 1945 karena sejumlah kelemahan yang melekat padanya telah menyebabkan terjadinya otoriterisme kekuasaan yang pada gilirannya mebawa bangsa ini ke krisis multidimensi karena banyak terjadi pelanggaran HAM, dan pelaku KKN. Pada bulan Agustus dan September 1999 beberapa partai politik besar telah bersepakat untuk memperjuangkan amandemen pada SU MPR tahun 1999. Dan amandemen benar-benar terjadi ketika SU MPR memutuskan perubahan atas Sembilan pasal UUD 1945 8 , yaitu: Pasal 5 ayat (1) Semula berbunyi: Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah Perubahan Pertama berbunyi: Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. 7 Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, h. 154-156 8 Ibid…..157 45 Pada perubahan pasal 5 tampak perimbangan kekuasaan hubungan antara Presiden dan DPR. Perubahan pada pasal ini, agar Presiden di beri haknya untuk mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 7 Semula berbunyi: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Setelah Perubahan Pertama berbunyi: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatannya yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Perubahan atas pasal ini dipandang sebagai langkah yang tepat untuk mengakhiri perdebatan tentang periodisasi jabatan Presiden dan Wakil Presiden 9 . Pasal 9 Semula berbunyi: Sebelum memangku jabatannya Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah Perubahan Pertama berbunyi: 9 h.186 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), 46 (1) Sebelum memangku jabatannya, Preiseden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama dan berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan oleh Mahkamah Agung. Perubahan pada pasal ini, ada penambahan lembaga peradilan negara yaitu Mahkamah Agung. Agar bisa sebagai saksi dalam sumpah Presiden. Pasal 13 Semula berbunyi: (1) Presiden mengangkat duta dan konsul (2) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah Perubahan Pertama Berbunyi: (1)Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. 47 (2)Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Pada perubahan pasal 13 tampak perimbangan kekuasaan hubungan antara Presiden dan DPR. Perubahan terhadap pasal ini dikatakan sebagai pengurangan atas kekuasaan Presiden yang selama ini prerogatif 10 . Ini penting dalam menjaga obyektivitas terhadap kemampuan dan kecakapan seseorang pada jabatan itu, maka adanya pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat 11 . Pasal 14 Semula berbunyi: Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Setelah Perubahan pertama berbunyi: (1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. (2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Alasan perlunya Presiden memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung adalah karena Mahkamah Agung sebagai Lembaga peradilan tertinggi yang paling 10 11 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, h.187 Ibid…, h.188 48 tepat memberikan pertimbangan kepada Presiden. Mengenai hal itu karena grasi menyangkut putusan hakim sedangkan rehabilitas tidak selalu terkait dengan putusan hakim 12 . Pasal 15 Semula berbunyi:.Presiden memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan. Setelah perubahan pertama berbunyi: Presiden memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang. Perubahan pasal ini berdasarkan pertimbangan agar Presiden dalam memberikan berbagai tanda kehormatan kepada siapapun (baik warga negara, orang asing, badan atau lembaga didasarkan pada undang-undang 13 . Pasal 17 Semula berbunyi: (2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. 12 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, h.189 13 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, h.189 49 (3) Menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan. Setelah perubahan pertama berbunyi: (2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. (3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Perubahan pada pasal ini, agar setiap menteri mempunyai tanggung jawab dalam pemerintahan. Pasal 20 Semula berbunyi (1) Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Jika sesuatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. Setelah Perubahan Pertama berbunyi: (1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. (2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. 50 (3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. (4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang. Pada perubahan pasal 20 tampak perimbangan kekuasaan hubungan antara Presiden dan DPR dalam mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang. Pasal 21 Semula berbunyi: (1) Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan rancangan undang-undang. (2) Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. Setelah Perubahan Pertama berbunyi: 51 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undangundang. Persamaan kekuasaan hubungan antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam megajukan usul rancangan undang-undang. Tampak bahwa dari hasil amandemen atau perubahan pertama itu belum ada perubahan terhadap konstitusionalisme, kecuali menyangkut pembatasan masa jabatan Presiden yang tegas-tegas menyebut dipilih maksimal dua kali masa jabatan, dan sedikit Perubahannya lebih bersifat semantik dan belum menyentuh masalahmasalah penting sebagai upaya membendung tampilnya pemerintahan yang otoriter 14 . Perubahan UUD 1945 yang berimplikasi pada penyelenggaraan kekuasaan Negara yaitu mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga Negara seperti Lembaga Kepresidenan. Dalam UUD 1945 Presiden Republik Indonesia adalah kepala pemerintahan Negara kesatuan Republik Indonesia. Setelah adanya perubahan (Amandemen) UUD 1945, dalam pasal 6A, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Sebelum adanya perubahan (Amandemen) UUD 1945, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR. Setelah adanya perubahan (Amandemen) UUD 1945, 14 Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, h. 160-164 52 Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada DPR, dan kedudukan antara Presiden dan MPR setara 15 .. Sesuai dengan prinsip perubahan UUD 1945 untuk mempertegas sistem presidensial dan dianutnya pemisahan cabang-cabang kekuasaan negara yang utama dengan prinsip Check and Balances, maka perubahan UUD 1945 berakibat pula perubahan di bidang kekuasaan eksekutif, sebagai berikut: 1. Memegang kekuasaan eksekutif menurut UUD 1945 (Pasal 4 ayat (1)). 2. Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, melainkan dipilih oleh rakyat secara langsung secara berpasangan dari calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik (Pasal 6A). 3. Masa jabatan Presiden selama 5(lima) tahun secara tegas dibatasi untuk dua periode (Pasal 7). 4. Ditentukannya syarat-syarat yang lebih rinci untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6). 5. Ditentukannya mekanisme impeachment terhadap Presiden yang melibatkan DPR, Mahkamah Konstitusi dan DPR (Pasal 7A dan 7B). 6. Penegasan bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR (Pasal 7C). 7. Pelaksanaan hak-hak prerogatif (Presiden sebagai Kepala Negara harus dengan persetujuan atau pertimbangan DPR). 15 Jimly Asshidiqie, Hukum Konstitusi & Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 54 53 8. Pengangkatan pejabat-pejabat publik, seperti anggota BPK (Pasal 23F), Hakim Agung (Pasal 24A ayat (3)), anggota Komisi Yudisial ( Pasal 24B ayat (3)) harus dengan persetujuan DPR. 9. Presiden berwenang membentuk DPA yang dihapuskan. 10. Dalam pembentukkan, pengubahan, dan pembubaran kementrian harus diatur dengan UU (Pasal 17 ayat (4)), tidak bebas seperti sebelumnya 16 . C. Kewenangan Presiden atau Kepala Negara Menurut Perspektif Ketatanegaraan Islam Lembaga Kepresidenan atau Kepala negara dan Pemerintahan diadakan sebagai pengganti fungsi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Lembaga Kepresidenan menurut perspektif ketatanegaraan Islam adalah tugasnya melaksanakan undang-undang (al-Sulthah al-tanfidziyah). Dalam hal ini negara melakukan kebijaksanaan baik yang berhubungan dengan dalam negeri, maupun yang menyangkut dengan hubungan sesama negara (hubungan internasional) 17 . Pengangkatan kepala Negara untuk memimpin umat adalah wajib menurut ijma. Jika kepemimpinan negara ini kewajiban, maka kewajiban itu gugur atas orang lain, jika tidak ada seorang pun yang menjabatnya maka kewajiban ini dibebankan kepada dua kelompok manusia. Pertama adalah orang-orang yang mempunyai wewenang 16 Jimly Asshidiqie, Hukum Konstitusi & Mahkamah Konstitusi, h. 55 17 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, h.137 54 memilih Kepala Negara bagi umat Islam, kedua adalah orang-orang yang mempunyai kompetensi untuk memimpin negara sehingga mereka menunjuk salah seorang dari mereka yang memangku jabatan itu 18 . Kewajiban-kewajiban yang harus diemban Kepala Negara itu meliputi semua kewajiban umum baik yang berkenaan dengan tugas-tugas keagamaan maupun kemasyarakatan, yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah seperti mempertahankan agama, menegakkan keadilan atau menyelesaikan perselisihan pihak yang bersengketa melalui penerapan hukum, mencegah kerusuhan dan melindungi hak-hak rakyat, melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dan jihad, mengatur perekonomian negara dan mmbagi rampasan perang, dan sebagainya. Kewajiban utama dari seorang imam adalah mempraktikkan totalitas syari’ah didalam umat dan menegakkan institusi-institusi yang menyerukan kebajikan dan mencegah kejahatan. 19 Di samping itu, wewenang Imam atau Kepala Negara adalah: 1. Menegakkan hukum dan bertindak juga sebagai juru bicara bagi masyarakatnya dalam hubungan-hubungan dengan masyarakat di luar wilayahnya. 18 19 Imam al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam takaran Islam, h. 16-17 Ridwan HR, Fiqih Politik gagasan, harapan dan kenyataan, h. 272 55 2. Imam menegakkan hukum yang mengatur hubungan antara umat baik pada masa perang maupun masa perdamaian. 3. Mengeluarkan perintah perang. 4. Memberlakukan hukum di wilayah-wilayah yang baru diduduki 5. Menghukum umat Islam dan non Islam dalam wilayahnya apabila mereka terbukti melanggar hukum. 6. Memutuskan kapan jihad dilakukan atau kapan jihad harus dihentikan. 7. Menyarankan kapan umat Islam menerima dan menyetujui perdamaian dengan pihak musuh. Semua kewenangan ini bukan tanpa ada pembatasannya. Imam harus menjalankannya dalam batas-batas hukum tertentu, dengan memenuhi sasaran dan tujuan hukum 20 D. Analisis Persamaan dan Perbedaan 1. Analisis Persamaan Dari serangkaian uraian di atas, terdapat banyak persamaan kewenangannya yang bersifat prinsipil di antara keduanya (Imam dan Presiden), antara lain: a. Keduanya sama-sama dalam membentuk Undang-undang bersama anggota Dewan Perwakilan Rakyat. 20 Ridwan HR, Fiqih Politik gagasan, harapan dan kenyataan, h. 273 56 b. Keduanya sama dalam menjalankan undang-undang. c. Keduanya sama-sama merupakan lembaga eksekutif. d. Keduanya sama dalam menegakkan keadilan. e. Keduanya merupakan perwujudan pelaksanaan kepemimpinan dalam memimpin rakyatnya. f. Secara konseptual, kedua lembaga ini mengimpelementasikan wakil dari rakyat atau sebagai juru bicara rakyat untuk ke Negara lain. g. Keduanya sama yang seluruh waktunya digunakan untuk untuk mengurus dan menata kehidupan masyarakat. h. Keduanya sama-sama dalam menegakkan hukum untuk hubungan antara umat Islam dan umat Non Islam. i. Keduanya sama dalam mengeluarkan surat perintah perang. j. Keduanya sama dalam menjalankan tugas kenegaraan. k. Keduanya sama, tidak bisa membubarkan ahl al-hall wa al-aqdi atau DPR (Indonesia). l. Keduanya sama dalam mengangkat dan memberhentikan menterimenteri. m. Keduanya sama-sama dalam kewenangan Menyarankan kapan umat Islam menerima dan menyetujui perdamaian dengan pihak musuh. n. Keduanya sama-sama dalam kewenangan memberi gelar dan tanda jasa. 57 2. Analisis Perbedaan Selain adanya persamaan kewenangan yang bersifat prinsipil antara Imam dan Presiden, disini juga adanya perbedaan kewenangan diantara keduanya. Seperti: a. Kepala Negara dalam Islam tidak ada kewenangan dalam memillih dan mengangkat anggota DPA seperti kewenangan Presiden di Indonesia. b. Kepala Negara dalam Islam tidak ada kewenangan Membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. c. Kepala Negara dalam Islam tidak ada kewenangan Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. d. Kepala Negara dalam Islam tidak ada kewenangan Mengangkat duta dan konsul. e. Kepala Negara dalam Islam tidak ada kewenangan Memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian di atas, dapat disimpulkan untuk menjawab pertanyaan yang ada di perumusan masalah yaitu: 1. Bagaimana mekanisme kewenangan Presiden menurut UUD 1945 sebelum amandemen? 2. Bagaimana kewenangan Presiden atau Kepala Negara menurut perspektif Ketatanegaraan Islam? 3. Bagaimana Perubahan Kewenangan Presiden menurut UUD 1945 hasil amandemen? Dari pertanyaan tersebut jawabannya dapat disimpulkan, 1. Sebelum amandemen kewenangan Lembaga Kepresidenan menurut UUD 1945 adalah: 1. Wewenang dalam fungsi Kepala Pemerintahan 2. Wewenang dalam fungsi pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara 3. Wewenang dalam fungsi kepala Negara. Mekanisme pelaksanaan wewenang Presiden ada jenisnya. Yaitu: 58 59 1. Wewenang yang mekanisme pelaksanaannya hanya dilakukan oleh Presiden, seperti: a. Wewenang menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) b. Wewenang mengangkat dan memberhentikan Menteri-menteri c. Wewenang membahas dan menyetujui RUU d. Wewenang mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung e. Wewenang mengangkat dan memberhentikan kapolri f. Wewenang mengangkat dan memberhentikan Kepala lembaga pemerintahan non Departemen (LPND) g. Wewenang mengangkat & memberhentikan Hakim-hakim. h. Wewenang mengangkat Hakim Agung, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung i. Wewenang mengangkat dan memberhentikan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPA. j. Wewenang mengangkat dan memberhentikan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota BPK. 2. Wewenang Presiden yang dapat dilaksanakan dengan Persetujuan DPR, seperti: a. Wewenang menyatakan perang dan membuat perdamaian. b. Wewenang menyatakan keadaan bahaya. c. Wewenang membuat perjanjian dengan negara lain. 60 d. Wewenang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang (PERPU). e. Wewenang memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan. f. Wewenang mengangkat Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Anggota Dewan Gubernur Bank Sentral. 3. Wewenang yang dilaksanakan dengan pertimbangan dari lembagalembaga negara lain, ada dua bentuk wewenang dalam karakteristik ini, seperti: a. Wewenang memberi grasi dan rehabilitasi b. Wewenang memberi amnesti dan abolisi 2. Kewenangan Presiden atau Kepala Negara menurut Ketatanegaraan Islam adalah: Presiden atau lembaga eksekutif menurut ketatanegaraan Islam adalah tugasnya melaksanakan undang-undang (al-Sulthah al-tanfidziyah). Dalam hal ini negara melakukan kebijaksanaan baik yang berhubungan dengan dalam negeri, maupun yang menyangkut dengan hubungan sesama negara (hubungan internasional). Dan wewenang Imam atau Kepala Negara adalah: 1. Menegakkan hukum dan bertindak juga sebagai juru bicara bagi masyarakatnya dalam hubungan-hubungan dengan masyarakat di luar wilayahnya. 2. Imam menegakkan hukum yang mengatur hubungan antara umat baik pada masa perang maupun masa perdamaian. 61 3. Mengeluarkan perintah perang. 4. Memberlakukan hukum di wilayah-wilayah yang baru diduduki 5. Menghukum umat Islam dan non Islam dalam wilayahnya apabila mereka terbukti melanggar hukum. 6. Memutuskan kapan jihad dilakukan atau kapan jihad harus dihentikan. 7. Menyarankan kapan umat Islam menerima dan menyetujui perdamaian dengan pihak musuh. Semua kewenangan ini bukan tanpa ada pembatasannya. Imam harus menjalankannya dalam batas-batas hukum tertentu, dengan memenuhi sasaran dan tujuan hukum. 3. Setelah amandemen UUD 1945, terjadi perubahan Kewenangan Presiden yang sesuai dengan prinsip perubahan UUD 1945 untuk mempertegas sistem presidensial dan dianutnya pemisahan cabang-cabang kekuasaan negara yang utama dengan prinsip Check and Balances, maka perubahan UUD 1945 berakibat pula perubahan di bidang kekuasaan eksekutif, sebagai berikut: 1. Memegang kekuasaan eksekutif menurut UUD 1945 (Pasal 4 ayat (1)). 2. Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, melainkan dipilih oleh rakyat secara langsung secara berpasangan dari calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik (Pasal 6A). 62 3. Masa jabatan Presiden selama 5(lima) tahun secara tegas dibatasi untuk dua periode (Pasal 7). 4. Ditentukannya syarat-syarat yang lebih rinci untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6). 5. Ditentukannya mekanisme impeachment terhadap Presiden yang melibatkan DPR, Mahkamah Konstitusi dan DPR (Pasal 7A dan 7B). 6. Penegasan bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR (Pasal 7C). 7. Pelaksanaan hak-hak prerogatif (Presiden sebagai Kepala Negara harus dengan persetujuan atau pertimbangan DPR). 8. Pengangkatan pejabat-pejabat publik, seperti anggota BPK (Pasal 23F, Hakim Agung (Pasal 24A ayat (3)), anggota Komisi Yudisial ( Pasal 24B ayat (3)) harus dengan persetujuan DPR. 9. Presiden berwenang membentuk DPA yang dihapuskan. 10. Dalam pembentukkan, pengubahan, dan pembubaran kementrian harus diatur dengan UU (Pasal 17 ayat (4)), tidak bebas seperti sebelumnya. B. Saran-saran Dari kesimpulan diatas, tampak harus ada penyempurnaan, baik dalam kewenangan Presiden maupun kewenangan yang dimiliki oleh Imam atau kepala negara. Untuk itu, sebagai akhir dari proses penulisan ini, penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut: 63 1. Agar kewenangan Presiden dalam memegang kekuasaan pemerintahan lebih dipertegas, diperjelas, dan diawasi dalam menjalankan kewenangannya, menurut UUD 1945 sebelum maupun sesudah amandemen. Agar tidak terjadi penyelewengan dalam menjalankan roda pemerintahan, yang diianggap sebagai kekuasaan terpusat, yang hanya presidenlah sebagai pemegang kekuasaan mutlak. 2. Agar sistem ketatanegaraan Islam dewasa ini lebih disempurnakan lagi, khususnya mengenai kewenangan Pemimpin(Kepala Negara) agar lebih ditegaskan lagi dan dipraktekkan dalam sistem ketatanegaraan Islam dewasa ini. DAFTAR PUSTAKA UUD 1945 Sebelum & Sesudah Amandemen. Yogyakarta: Indonesia Tera, 2008 Al-Maududi, Abdul A’la. pengantar Bandung:Kharisma, 2007, cet. 1 Amien Rais, Khilafah dan Kerajaan. al-Mawardi, Imam. Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam takaran Islam. Jakarta: Gema Insani, 2000. An-Nabhani, Taqiyuddin. Sistem Pemerintahan Islam. Bangil: Al-Izzah, 1997, Cet:1. Asshiddiqie, Djimly. Hukum Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press, 2006. Asshiddiqie, Jimly. Format kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945. Yogyakarta: FH. UII Press, 2005. Asshidiqie, Jimly. Hukum Konstitusi & Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press, 2006. Djaelani, Abdul Qadir. Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995. El-Muhtaj, Majda. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia. Jakarta: Kencana, 2002. Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006 HR, Ridwan, Pengantar: Prof. Mahfud MD. Fiqh Politik Gagasan, Harapan dan Harapan. Yogyakarta: FH UII PRESS, 2007. Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007. Ma’arif, Ahmad Syafi’ie. Islam dan Pancasila sebagai dasar negara. Jakarta: LP3S Indonesia, 2006. Manan, Bagir. Lembaga Kepresidenan. Yogyakarta, FH.UII Press, 1999, cet 1. MD, Moh Mahfud. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Pers, 2009. MD, Moh Mahfud. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009. MD, Moh Mahfud.Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001. Mubarak, Muhammad. Sistem Pemerintahan dalam Persfektif Islam. Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1995. Rosyada, Dede(editor). Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000. Simongkir, J.C.T. Hukum&konstitusi Indonesia. Jakarta: PT. Gunung Agung, 1983. Syafi’ie, Inu Kencana. Al-Qur’an dan Ilmu Politik. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994. Syarif, Mujar Ibnu, dan Zada, Khamami. Fiqh Siyasah. Jakarta : Erlangga, 2008. Http://racheedus.wordpress.com Http://Fristianhumalanggionline.wordpress.com