TINJAUAN PUSTAKA Kemang (Mangifera kemanga Blume.) Kemang termasuk famili anacardiaceae serta satu genus dengan mangga. Nama ilmiah kemang yaitu Mangifera kemanga yang bersinonim dengan Mangifera polycarpa dan Mangifera caesia (Bompard, 1992). Flora identitas Kabupaten Bogor ini mempunyai nama Indonesia kemang sedangkan di Kalimantan Timur disebut palong. Pohon kemang tersebar secara alami di Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan dan Jawa Barat. Kemang biasanya dibudidayakan di Jawa Barat khususnya di daerah Bogor. Pohon kemang umumnya tumbuh di dataran rendah di daerah tropika basah di bawah ketinggian 400 mdpl, walaupun dapat dijumpai juga hingga ketinggian 800 mdpl (Bompard, 1992). Tanaman ini memerlukan sebaran curah hujan yang merata sepanjang tahun dan tumbuh baik di pinggiran sungai yang secara berkala tergenang air. Pohon kemang tingginya dapat mencapai 30-45 m dengan garis tengah batang hingga 120 cm. Kulit batang kemang memiliki rekah dan mengandung getah yang dapat menyebabkan iritasi (Bompard, 1992). Daun kemang berselang-seling, bertangkai pendek, bentuknya lonjong atau lanset. Daun-daunnya seringkali mengumpul di ujung-ujung percabangan. Pangkal daunnya meruncing, menyempit pada tangkainya, tepinya rata, warna daunnya mengkilat pada permukaan atasnya (Bompard, 1992). Karangan bunga pohon kemang terletak di ujung percabangan berbentuk malai dan berbunga banyak. Jenis bunga terdiri atas bunga jantan, betina dan hermaprodit (Bompard, 1992). Bunga kemang berwarna merah muda pucat dan beraroma harum. Buah kemang berbentuk bulat telur terbalik sampai lonjong dengan kulit buah tipis yang berwarna coklat kuning kusam apabila masak (Bompard, 1992). Daging buah kemang berwarna keputihan, lunak, berair dan berserat. Aroma buah kemang berbau sangat khas dan tajam dengan rasa buah bervariasi dari asam sampai manis. 4 Senyawa Bioaktif Menurut Finley (2005) senyawa bioaktif merupakan senyawa yang menyebabkan respon biologis spesifik pada organisme yang mengonsumsinya. Bernhoft (2010) menambahkan senyawa bioaktif pada tanaman adalah metabolit sekunder tanaman yang memunculkan efek farmakologis atau toksikologi pada manusia dan hewan. Metabolit sekunder adalah senyawa yang diproduksi terbatas pada sekelompok taksonomi, tidak penting untuk hidup sebuah sel (organisme) tetapi mempunyai peran dalam interaksi sel (organisme) dengan lingkungannya dan menjamin kelangsungan hidup pada ekosistem organisme (Verpoorte, 2000). Produksi metabolit sekunder biasanya kurang dari 10% dari total metabolisme tanaman, produk tersebut adalah unsur utama tanaman pada ilmu farmasi (Kintzios dan Barberaki, 2004). Penelitian mengenai senyawa bioaktif pada daun mangga pernah dilakukan dengan ekstraksi dan skrining. Steroid dan flavonoid diperoleh melalui skrining ekstrak daun mangga dalam larutan hexaene (Aiyelaagbe dan Osamudiamen, 2009). Senyawa fenol pada daun mangga diketahui pada hasil ekstraksi dengan menggunakan GC-MS ( Elzaawely dan Tawata, 2010). Hasil penelitian Kawpoomhae et al. (2010) adanya aktivitas antioksidan serta jumlah total fenol dan asam tanik pada ekstrak daun mangga dalam metanol dan aquades. Morsi et al. (2010) mendapatkan ekstrak daun mangga dalam 70 mg mengandung total fenol dan flavonoid yaitu 9.15±0.08 dan 0.68±0.05 mg g-1. Karakterisasi Karakterisasi merupakan fokus dalam membedakan antara aksesi satu dengan lainnya mengenai identifikasi dan mengeliminasi kelebihan (Kohel dan Yu, 2002). Karakterisasi digunakan untuk mengetahui karakter-karakter tanaman, baik karakter kuantitatif maupun karakter kualitatif (Miswar et al., 2012). Pemulia tanaman menekankan karakterisasi untuk penggunaan langsung dalam program pemuliaan komersial. Karakterisasi plasma nutfah penting untuk membedakan dan menggambarkan perubahan pada karakter yang disukai (Okuno dan Fukuoka, 5 2002). Perkembangan dari satu atau beberapa karakter penting dapat memudahkan akses penggunaan keragaman genetik sebelum program pemuliaan. Sayuran Indigenous Sayuran indigenous adalah sayuran asli daerah yang telah banyak diusahakan dan dikonsumsi atau sayuran introduksi yang telah berkembang lama dan dikenal masyarakat di suatu daerah tertentu (Putrasamedja, 2005). Sayuran yang tergolong sayuran indigenous dapat dikatakan sayuran asli dari lingkungan lokal atau sayuran pribumi (Soetiarso, 2010a). Sayuran indigenous biasanya dibudidayakan di pekarangan maupun kebun. Sayuran ini dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan makanan. Masyarakat Jawa Barat biasanya mengonsumsi sayuran indigenous dengan cara dilalap. Menurut Duriat et al. (2000) beberapa spesies liar sayuran indigenous mempunyai fungsi ganda sebagai pangan, rempah atau obat. Putrasamedja (2005) menyatakan bahwa setiap daerah (kabupaten) berbeda-beda dalam memanfaatkan sayuran indigenous dan nilai ekonominya. Pemanfaatan sayuran indigenous oleh masyarakat masih terbatas. Menurut Soetiarso (2010b) kendala kurang dimanfaatkannya sayuran indigenous oleh konsumen adalah variasi menu terbatas, rasa dari olahan sayuran indigenous kurang enak terutama bagi anak-anak dan tersedia musiman. Persepsi Masyarakat Terhadap Sayuran Sayuran merupakan pangan yang dimanfaatkan sebagai sumber vitamin dan mineral. Beragam jenis sayuran berkembang di masyarakat sehingga konsumen dapat memilih sayuran berdasarkan kesukaannya. Perilaku konsumen dalam memersepsi atribut produk yang sesuai dengan preferensinya dapat dijadikan sebagai dasar untuk perbaikan dan pengembangan suatu produk, seleksi dan perbaikan varietas ( Rebin et al., 2002). 6 Pengukuran tingkat kesukaan pada sayuran dapat dilakukan berdasarkan persepsi masyarakat dengan menilai kualitasnya. Menurut Almatsier (2009) secara umum makanan yang disukai adalah makanan yang memenuhi selera atau citarasa/inderawi, yaitu dalam hal rupa, warna, bau, rasa, suhu dan tekstur. Soetiarso (2010b) menggunakan atribut nutrisi, obat, rasa, daya simpan, harga dan ketersediaan untuk menilai preferensi terhadap paria, selada air, oyong, leunca dan kemangi. Tingkat kesukaan terhadap suatu produk akan membentuk suatu pola makan akibat dari kebiasaan makan. Pola makan terbentuk melalui seleksi jenis pangan yang dikonsumsi. Faktor ketersediaan dan biaya sangat menentukan pilihan jenis pangan dalam menu individu atau keluarga (Rubatzki dan yamaguchi, 1998). Konsumen lebih menempatkan kemudahan memperoleh di pasar pada urutan pertama dalam mengonsumsi jenis sayuran indigenous (Soetiarso, 2010b). Konsumsi sayuran pada tingkat rumah tangga dapat beragam jenisnya. Menurut Soetiarso (2010b) Konsumen (ibu rumah tangga) tidak hanya mempertimbangkan seleranya sendiri tetapi juga mempertimbangkan selera dari semua angggota keluarga (termasuk anak-anak).