analisis terjemahan al-quran

advertisement
ANALISIS TERJEMAHAN AL-QURAN
H.B. JASSIN BACAAN MULIA
(Studi Terhadap Konteks Ayat-ayat tentang Non-Muslim)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)
Oleh
Rina Indri Astuti
NIM:106024000946
JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SYARIF HIDAYATUALLAH
JAKARTA
1431H/2010
i PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatuallah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatuallah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di UIN Syarif Hidayatuallah Jakarta.
Jakarta, 06 September 2010
Rina Indri Astuti
NIM: 106024000946
ii ANALISIS TERJEMAHAN AL-QURAN
H.B. JASSIN BACAAN MULIA
(Studi Terhadap Konteks Ayat-ayat tentang Non-Muslim)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S.)
Oleh
Rina Indri Astuti
NIM:106024000946
Pembimbing
Drs. H. D. Sirojuddin AR, M.Ag.
NIP: 19570715 198803 1001
JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SYARIF HIDAYATUALLAH
JAKARTA
1431H/2010
iii PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul ANALISIS TERJEMAHAN AL-QURAN H.B. JASSIN BACAAN
MULIA (Studi Terhadap Konteks Ayat-ayat tentang Non-Muslim) telah diujikan dalam
sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatuallah Jakarta pada hari
Senin 06 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai selah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sastra (S.S.) pada program studi Tarjamah.
Jakarta, 06 September 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota,
Drs. Ikhwan Azizi, MA.
Dr.Akhmad Saehuddin, M.Ag.
NIP: 19570816 199403 1001
NIP: 1970050 520000 3103
Anggota
Drs. H. D. Sirojuddin AR, M.Ag.
Dr. H.A. Ismakun Ilyas, MA.
NIP: 150274620
NIP: 19570715 198803 1001
iv Pedoman Transliterasi
Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin
Huruf Arab
Huruf Latin
‫ا‬
Tidak dilambangkan
‫ب‬
b
Be
‫ت‬
t
Te
‫ث‬
ts
te dan es
‫ج‬
j
Je
‫ح‬
h
h dengan garis bawah
‫خ‬
kh
ka dan ha
‫د‬
d
De
‫ذ‬
dz
de da zet
‫ر‬
r
Er
‫ز‬
z
Zet
‫س‬
s
Es
‫ش‬
sy
es dan ye
‫ص‬
S
es dengan garis di bawah
‫ض‬
d
de dengan garis di bawah
‫ط‬
t
te dengan garis di bawah
‫ظ‬
Z
zet dengan garis di bawah
‫ع‬
،
koma terbalik di atas hadap kanan
‫غ‬
gh
ge dan ha
‫ف‬
f
Ef
v Keterangan
‫ق‬
q
Ki
‫ك‬
k
Ka
‫ل‬
l
El
‫م‬
m
Em
‫ن‬
n
En
‫و‬
w
We
‫هـ‬
h
Ha
‫ء‬
`
Apostrof
‫ي‬
y
Ye
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal
atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
______َ______
A
Fathah
---------------ِ-----
I
Kasrah
______ُ______
U
Dammah
Adapun vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
‫__َ__ي‬
Ai
a dan i
‫___َ__و‬
Au
a dan u
vi Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan
harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
‫___ا‬
Â
a dengan topi di atas
‫__ي‬
Î
i dengan topi di atas
‫_و‬
Û
u dengan topi di atas
Kata Sandang
Kata sandang dalam yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan huruf yaitu ‫ ال‬dialih
aksarakan menjadi /I/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl
bukan ar-rijâl.
Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydidi yang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda ( ّ_ ) dalam
alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan mengadakan huruf yang diberi tanda
syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh hururf-huruf syamsyiah. Misalnya, kata ‫اﻟﻀﱠ ُﺮ ْو َر ُة‬
tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah.
Ta Marbûtah
Jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama berlaku jika ta
marbûtah tersebut diikuti oleh kata siifat (na’t) (lihat contoh 2 ). Namun, jika huruf ta marbûtah
tersebut diikuti kata benda(ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ ( lihat
contoh 3).
Contoh:
No
Kata Arab
Alih Aksara
1
‫ﻃﺮﻳﻘﺔ‬
Tarîqah
2
‫اﻟﺠﺎﻣﻌﺔ اﻹﺳﻼﻣﻴّﺔ‬
al-jâmi’ah al-islamîyyah
vii 3
‫وﺣﺪة اﻟﻮﺟﻮد‬
wahdat al-wujûd
Huruf Kapital
Mengikuti EYD bahasa Indonesia, untuk proper name ( nama diri, nama tempat dan
sebagainya), seperti al-kindi bukan Al-kindi ( untuk huruf “al” a tidak boleh kapital).
viii ABSTRAK
Rina Indri Astuti
“Analisis Terjemahan Al-Quran H.B. Jassin Bacaan Mulia; Studi Terhadap Konteks Ayat
Tentang Non-Muslim”
Terjemahan Al-Quran merupakan item yang sangat penting bagi masyarakat muslim
terutama bagi mereka yang tidak memahami Bahasa Arab. Terlebih dari itu maka terjemahan AlQuran karya H.B. Jassin pun
menyuarakan hasil terjemahannya mengenai ayat-ayat non-
muslim. Maka, skripsi ini menerangkan tentang analisis terjemahan Al-Quran H.B. Jassin
tentang ayat-ayat non-muslim yang sampai saat ini masih terjadi pro dan kontra dikalangan para
ulama.
Penulis menarik kesimpulan bahwa terjemahan Al-Quran karya H.B. Jassin tentang
ayat-ayat non-muslim dianggap benar berdasarkan perbandingan dengan terjemahan Al-Quran
yang lain dan pengkajian tafsir Al-Quran mengenai ayat-ayat non-muslim.
Metode yang digunakan Penulis dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif
yaitu dengan mengumpulkan data-data aktual, melaksanakan studi kepustakaan dari beberapa
literatur tertulis, baik dari buku-buku, artikel, majalah, internet, dan dokumen.
Konteks ayat non-muslim mendapat perhatian khusus dikalangan para ulama klasik dan
modern. Hal yang diperdebatkan adalah penafsiran dan batasan tentang ayat tersebut. Banyak
kritikan tajam yang dilontarkan kepada H.B. jassin terhadap terjemahannya. Akan tetapi fokus
terhadap ayat non-muslim penulis tidak menemukan penyimpangan makna pada kontek ayat
non-muslim, yang membedakan hanyalah pemilihan kata. Terlebih lagi ketika menulusuri kata
auliya’ yang mana pada kata tersebut terdapat banyak makna yang mana dari kata auliya’ itu
timbul perdebatan dikalangan para ulama untuk menentukan hukum dan batasan seorang nonmuslim dijadikan seorang pemimpin.
ix KATA PENGANTAR
Alhamdulilahi Rabbil’allamin penulis panjatkan ke hadirat Allah swt yang senatiasa memberikan
begitu banyak nikmat serta pertolongan kepada penulis, sehingga karya ini bisa selesai. Salawat
serta salam semoga selalu tercurahkan kepada teladan alam semesta, kajeng nabi Muhammad
saw beserta keluarganya, para sahabatnya dan kita sebagai umatnya semoga mendapatkan
curahan syafaatnya di hari akhir nanti.
Penulis mengucapkan terma kasih yang sebesar-besarnya kepada Civitas academica UIN
Syarif Hidayatuallah Jakarta, terutama kepada Prof.Dr. Komaridin Hidayat, MA. Rektor UIN
Syarif Hidayatuaallah Jakarta. Dr. H. Abdul Wahid Hasyim, MA. Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora, Drs. Ikhwan Azizi, MA. Ketua Jurusan Tarjamah dan Sekertaris Jurusan Tarjamah
Akhmad Saekhuddin M,Ag.
Terima kasih yang tak terhingga pula kepada bapak Drs. H. D. Sirojuddin AR, M,Ag yang
telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi, memberikan serta memotovasi penulis
dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan
bapak.
Kepada Jajaran Jurusan Tarjamah: Drs. Ismakun Ilyas, M.A, Syarif Hidayatullah, M.Hum,
Dr. Sukron Kamil, M.A, Irfan Abubakar, M.A, Drs. A. Syatibi, M,Ag, dan lainnya.terima kasih
yang tak terhingga. Semoga ilmu yang penulis dapatkan menjadi manfaat dan berkah
dikemudian hari. Amin.
Penghormatan serta ucapan terima kasih penulis haturkan kepada kedua orang tua penulis.
Ayahanda terhebat Gimin dan ibunda terkasih Eni, adik-adik penulis Edi Saputra, Tri Jayanti,
x Muhammad Rudini dan Maulida Nur Annisa yang penulis sayangi. Tidak lupa kepada Kakanda
Agus Caesario yang tak henti-hentinya mendoakan serta memberikan bantuan kepada penulis.
Merekalah yang menjadi motivasi penulis dalam menggapai semua mimpi serta orang yang
mencintai penulis apa adanya.
Terima kasih kepada PDS (Pusat Dokumentasi dan Sastra H. B. Jassin) yang telah berbaik
hati memberikan pelayanan berupa buku-buku serta Referensi kepada penulis. Kepada kepala
dan karyawan perpustakaan fakultas Adab dan Humaniora, perpustakaan umum Universita Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatuallah Jakarta, perpustakaan UI dan perpustakaan Atmajjaya yang
telah memberikan kesempatan penulis untuk mengakses berbagai referensi kepada penulis.
Kepada sahabat terbaik dan tersayang penulis Siti Hamidah, dan Leni Helpianti terima kasih
untuk semua kebaikannya dan kebersamaannya hingga detik ini masih ada.
Penulis mengucapkan kepada kawan seperjuangan di Tarjamah Angkatan 2006, kepada
Nur’aini dan Yatmi yang telah bersedia menemani penulis baik suka dan duka dalam
menyelasikan skripsi ini dan mengisi kebersamaan dengan penulis selama di kampus ini semoga
kebersamaan ini tetap ada dan membawa kesan yang baik. Kemudian kepada mely Amelia, Ade
Erna Wati, Yuli Handayani, Wulan, Yuyun, Iyum, Fuad, Komeri, Nubzah, Suti, Anis, Novita,
Elida, Ruston, Kholis dan Daus yang senatiasa menjadi teman yang menyenangkan dan
memberikan kontribusi berarti bagi penulis yang berguna untuk masa depan penulis. Serta
teman-teman BEM-J Tarjamah dan juga kepada seluruh kakak kelas dan adik kelas sehingga
penulis bangga menjadi salah satu mahasiswi Tarjamah.
xi Terima kasih kepada teman-teman PMII dan teman-teman kosn yang selalu memotivasi dan
mendoakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga skripsi yang masih jauh dari kesempurnaan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Saran serta kritik konstruktif sangat penulis butuhkan untuk interpretasi yang lebih baik lagi.
Jakarta, 06 September 2010
Penulis
Rina Indri Astuti
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………………………………i
PERNYATAAN ………………………………………………………………………………….ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………………………………………….iii
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………………………iv
PEDOMAN TRANSLITERASI………………………………………………………………….v
ABSTRAK………………………………………………………………………… .......... ……..ix
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………x
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………………………………………….1
B. Pembatasan dan Perumusan masalah……………………………………………..............4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………………………………...7
D. Metodologi Penelitian……………………………………………………………………8
E. Sistematika Penulisan…………………………………………………………….............8
BAB II LANDASAN TEORI PENERJEMAHAN
A. Gambaran Umum Penerjemahan………………...………………………………...........10
1. Definisi Penerjemahan…………………………...………………………………..….10
2. Metode Penerjemahan……………….………………………………………………..11
3. Proses Penermahan………………………………….. ....................................... ……..16
B. Gambaran Tentang Al-Qur’an……………...…………………………………………...19
1.
Penerjemahan Al-Qur’an………………………….………………………………..19
2.
Pengertian Al-Qur’an………….…………………………………………………....19
3.
Syarat-syarat Penerjemahan Al-Qur’an………………………………………….....21
4.
Jenis-jenis Penerjemahan Al-Qur’an………………………………………….........23
5.
Cara Menerjemahkan Al-Qur’an…………………………………………..……….23
xiii BAB III BIOGRAFI H. B. JASSIN
A. Riwayat Hidup Singkat H. B. Jassin……………………………….………………...25
B. Pendidikan H. B. Jassin……………………………………………………………...26
C. Karir H. B. Jassin……………………………………………….…………………...26
D. Propesi dan prestasi H. B. Jassin…………………………………………………….28
E.
Karya Tulis H. B. Jassin……………………………………………………………..28
BAB IV ANALISIS TERJEMAHAN AL-QURAN H.B. JASSIN BACAAN MULIA;
STUDY KONTEKS TENTANG AYAT-AYAT NON-MUSLIM
A.
Konteks Ayat-ayat tentang Non-Muslim…….………………………………...…...30
B.
Menelusuri Kebenaran Terjemahan Al-Qur’an Karya H. B. Jassin tentang Ayat-ayat
Non-Muslim………………………………………………………………….……..40
C.
Analisis terhadap kata “Auliya” dalam Konteks tentang Ayat-ayat Non-Muslim…60
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …………….……………………………………………………………...67
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………...…69
xiv 1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penerjemahan merupakan sesuatu kegiatan yang menjadi penting bagi manusia pada abad
modern ini yaitu kegiatan yang bukan saja di miliki penerjemah, para guru bahasa, dan para
peminat bahasa lainnya, melainkan juga telah memberikan daya tarik bagi para ilmuan lainnya
yang menyadari kekuatan bahasa sebagai salah satu media yang dapat memantau kesepakatan
perkembangan ilmu pengetahuan. Sudah banyak buku-buku dan artikel-artikel tentang
terjemahan, di tulis para ahli dalam suatu cabang ilmu tertentu dengan pendekatan yang beraneka
ragam sesuai dengan di siplin ilmunya masing-masing. 1
Dalam proses menerjemahkan berusaha untuk mengalihkan pesan yang terdapat dalam
bahasa sumber tanpa merubah maksud dan pesan tersebut. Begitu pula dalam membentuk
kalimat ke dalam bahasa sasaran haruslah jelas. 2
Dalam masalah penerjemahan perlu kirannya seorang penerjemah memiliki pengetahuan
mengenai tahapan-tahapan penerjemahan, syarat-syarat penerjemahan dan ragam-ragam
penerjemahan, guna mayoritas naskah yang diminati untuk dijadikan sasaran, serta pendekatan
apa yang sebaiknya di ambil. Secara umum ragam terjemahan terdiri dari tiga macam yaitu:
terjemahan kata demi kata, terjemahan harfiyah dan terjemahan bebas. 3 Setelah penerjemah
mengenal lebih jauh ragam-ragam penerjemahan akan dapat mengetahui keunggulan dan
1
Suhendra Yusuf,Teori Terjemahan, Pengantar ke arah pendekatan linguistik dan Sosiolinguistik,
(Bandung: Mandar Maju, 1994) Cet.ke-1,h.7 2
Nurachman Hanafi, Teori dan Seni Menerjemahkan, (Ende Flores-NTT:Nusa Indah, 1986), h.24 3
Nurachman ,Teori dan Seni Menerjemahkan, h. 54-58 1
2 kekurangan terhadap ragam penerjemahan yang di gunakan. Sehingga penerjemah lebih selektif
dalam memilih dan menggunakan ragam penerjemahan yang sesuai dengan tujuan penulis (Bsu).
Kemampuan menerjamahkan mempunyai peranan yang signifikan untuk menguak apa
saja maksud di balik ayat yang masih di anggap abu-abu oleh para ulama klasik dan modern dan
terkesan mengandung sebuah misteri yang patut untuk di pecahkan. Oleh karenanya, latar
belakang keilmuan seseorang khususnya kemampuan menerjemahkan pada ayat Al-Quran
memberikan dampak dan sudut pandang yang berbeda.
fakta sejarah mengatakan bahwa Muhammad Al-Ghazali dan Al-Ghanausy ulama
ternama asal Mesir dan Tunisia yang sering dianggap beraliran keras, mencoba mengapresiasi
non-muslim dalam konteks politik modern. Menurut Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya atTa’ashshub wa At-Tasamuh bin al-Masihiyyah wa al-Islam, masyarakat Islam di bina atas
prinsip toleransi, kerja sama dan inklusivitas. Ia menegaskan bahwa umat Yahudi dan Kristen
yang bersedia hidup berdampingan dengan umat Islam “ sudah manjadi orang-orang Islam, di
lihat dari sudut pandang politik dan kewarganegaraan.” Hal ini karena hak dan kewajiban mereka
sama dengan hak kewajiban kaum muslimin. Sementara itu, Al-Ghanausi, ulama asal Tunisia,
mengatakan bahwa kewarganegaraan tidaklah berdasarkan agama. Kelompok minoritas nonmuslim memiliki hak yang sama dengan umat Islam. Prinsip-prinsip yang diajarkan umat Islam
seperti keadilan dan persamaan berlaku bagi seluruh warga negara, baik muslim maupun bukan. 4
Dalam kapasitasnya sebagai non-muslim, ahl-Dzimah seringkali mendapatkan perlakuan
yang tidak setara dengan komunitas muslim. Kendati non-muslim dzimi diperbolehkan ibadah
sesuai keyakinannya dan di perbolehkan menerapkan hukum keluarganya, mereka tidak boleh
4
Amal dan Panggabean, Politik Syariah, (Tt: Tp, Tth), h. 187-188 3 menda’wahkan ajaran agamanya. Dalam urusan agama, mereka di pimpin oleh masing-masing
pemuka agama mereka. Namun, dalam urusan publik, semua jabatan admistratip dan politik
haruslah di pegang oleh muslim, mereka tidak bisa menduduki posisi strategis dalam
pemerintahan mereka juga tidak boleh menjadi pemimpin politik dan anggota majelis
permusyawaratan, mereka tidak punya hak suara, bahkan mereka diwajibkan membayar jizyah.5
Ahl-Dzimah sering kali disebut sebagai kelompok kelas dua dan menurut Muhammad Arkoun,
model toleransi seperti itu adalah model toleransi tanpa peduli. Alasannya karena konsep dzimah
dalam praktek disertai oleh rekayasa untuk mengurangi peran kelompok non-muslim dan
menegaskan keunggulan Islam atas yang lain. Namun bagi Arkoun, konsep ini masih lebih baik
dari pada kondisi kaum muslim dalam masyarakat agama lain. 6
Akan tetapi dewasa ini, sering kita lihat khususnya di Indonesia bahwa non-muslim
diberi kebebasan menyebarkan ajarannya walaupun bukan dengan metode dakwah, namun dapat
kita lihat dengan melihat tayang iklan di TV yang substansinya untuk menyebarkan ajarannya.
Begitu juga pada sistem pemerintahan dan kekuasaan pemerintah, yaitu berpengaruh untuk
menentukan kemajuan suatu negara, dapat kita lihat banyak orang-orang non-muslim yang
menduduki jabatan penting di parlemen. Hanya saja persoalan pemimpin (Presiden) dalam hal
ini masih menjadi kontropersi pro dan kontra antara pihak yang setuju dengan pihak yang tidak
setuju, akan tetapi secara garis besar non-muslim sudah menebarkan sayapnya.
Dari pernyataan tersebut menunjukan bahwa adanya perlindungan terhadap kafir dzimmi
di sebabkan mereka telah mengikuti aturan yang dibuat oleh kaum muslim.
5
Sukron Kamil,dkk, Syariah islam dan HAM, (Jakarta: CSRC, 2007), h. 73 6
Suadi Putro, Muhammad Arkoun, Islam dan Modernitas, (Jakarta: Paramidina, 1998), h. 88-95 4 Hal ini berdasarkan QS. Al-Mumtahanah ayat 8-9 yang berbunyi:
☺
☺
☺
"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil."(8) 7
Lain halnya versi H.B.Jassin yang mengartikan sebagai berikut:
"sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang
memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negrimu dan membantu (orang lain)
untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka itulah orang-orang yang zalim."(9) 8
Begitu juga perihal apakah non-muslim boleh atau tidak dijadikan pemimpin. Oleh
karenanya Al-Quran memberi solusi dan perintah, yang tertera dalam surat Al-Maidah ayat 57
yaitu yang berbunyi:
7
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag,
1971), h. 924 8
H.B.Jassin,, Bacaan Mulia, (Jakarta: Djambatan, 1991), h. 778 5 “ Hai orang-orang yang beriman! Janganlah ambil sebagai pembela dan penolong yang
menjadikan agamamu bahan ejekan dan permainan, yaitu sebagian orang-orang yang menerima
kitab sebelum kamu dan orang-orang kafir tapi bertakwalah kepada Allah jika kamu sungguh
beriman.” 9
Ash-Shabuny menafsirkan ayat ini sebagai ayat yang melarang menjadikan orang-orang
kafir ataupun musyrik termasuk Yahudi dan Nasrani, sebagai pemimpin. 10 Dalam hal ini, tentu
saja maksudnya adalah pemimpin publik. 11 Interpretasi senada juga dilakukan oleh Musthafa AlMaraghy. 12 Tak mengherankan kemudian, jika ayat ini dijadikan justifikasi sebagai umat muslim
untuk tidak menghendaki dan mau di pimpin oleh non-muslim terutama dalam urusan-urusan
publik. Terlebih lagi jika kita lihat kepada ayat-ayat lain yang berunsur tentang non-muslim.
Pada QS. Al-Maidah ayat 51 Allah berfirman:
⌫
☺
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi pemimpin-pemimpinmu; sebahagian mereka adalah pemimpin-pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barang siapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin maka
9
H.B.Jassin,, Bacaan Mulia, h. 152 10
Sukron, Syariah islam dan HAM, h. 74 11
Muhammad Ali ash-Shabuny, Syafwat at-Tafsir, Beirut: Dar al-Fikr, 1976, h.351 12
Sukron, Syariah islam dan HAM, h. 74 6 sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang dzalim." 13
Terlepas dari itu, pandangan kaum muslim bahwa orang-orang non-muslim tidak dibenarkan
untuk menjadi seorang pemimpin adalah berdasarkan ketentuan Al-Quran yang mengatakan
bahwa ajaran-ajaran non-muslim tidak di akui oleh Allah sampai mereka mengikuti ajaran Rosul.
Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Maidah ayat 68 :
☺
⌧
⌧
⌧
"katakanlah: Hai ahli kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu
menegakan ajaran-ajaran Taurat, Injil dan Al-Quran yang diturunkan kepadamu dari tuhanmu.
Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari tuhanmu akan menambah
kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka, maka janganlah kamu bersedih
hati terhadap orang-orang kafir itu." 14
Penafsiran tersebut tampaknya tidak menjadi masalah pada masa klasik dan pertengahan
Islam, karena pada masa itu agama dan kebiasaan menjadi alasan bagi berdirinya sebuah negara.
Dalam sejarah awal Islam, hal itu bisa dibuktikan dari upaya Nabi Muhammad yang
menciptakan bentuk persaudaraan baru berdasarkan agama (Ukhuwah Islamiyyah) untuk
menjadikan persaudaraan berdasarkan darah, meski Nabi juga membentuk negara multietnis dan
agama, sebagaimana terlihat dalam piagam Madinah. Dalam konteks sistem negara-bangsa
13
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 169 14
H.B. Jassin, Bacaan Mulia, h.154 7 dewasa ini, dimana kebangsaan atau kewarganegaraan yang menjadi alasan berdirinya sebuah
negara, maka penafsiran seperti diatas adalah problematika, alasannya karena dalam konsep
bangsa-negara, semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama, tidak di bedakan
berdasarkan agama.
Selain itu, penafsiran tersebut juga menjadi masalah dalam konteks hak-hak sipil yang
diakui oleh hukum internasional yang melarang adanya diskriminasi berdasarkan agama yang
dimaksud hukum internasional yang memuat prinsip anti diskriminasi agama. Sebab itulah,
beberapa ahli syariah modern menolak penafsiran di atas. Menurut Amin Rais sebagaimana
kebebasan berbicara, beragama, kebebasan berkehendak, bebas dari ketakutan, dan seterusnya
yang dijamin sepenuhnya dalam islam, hak non-muslim dalam Islam untuk menjadi menteri dan
menduduki jabatan-jabatan pemerintah lainnya juga diakui. Namun Islam tidak memberikan hak
kepada non-muslim untuk menjadi kepala negara. Perbedaan ini menurutnya hanya menunjukan
bahwa
Islam
tidak
munafik,
sebagaimana
negara-negara
demokrasi
barat
yang
mempersamakannya secara konstitusi, tetapi tidak dalam kenyataan. Karenanya, Islam
memberlakukan syarat secara the jure dan de fakto bahwa kepala negara harus merupakan
anggota dari mayoritas. 15
Pandangan yang sama, bahkan lebih leberal dimunculkan oleh mantan Presiden RI ke-4
KH.Abdurrahman Wahid. Baginya, non-muslim adalah warga negara yang memiliki hak penuh,
termasuk hak untuk menjadi kepala negara di negara islam. Ia tidak setuju penggunaan QS. Al
Maidah ayat 57, di jadikan sebagai alasan untuk menolak hak non-muslim menjadi kepala
15
Sukron, Syariah islam dan HAM, h. 71 8 negara. Alasannya karena kata yang terdapat dalam ayat itu adalah “auliya” yang berarti teman
atau pelindung. Bukan “umara” yang berarti penguasa. 16
Dari semua uraian diatas Penulis berkesimpulan bahwa tedapat perbedaan pendapat
terhadap ketentuan boleh atau tidaknya non-muslim menjadi pemimpin, dalam hal ini yang
menjadi rujukan adalah keterangan dari Al-Quran surat Al-Maidah ayat 57, kemudian di pertegas
lagi oleh KH.Abdurrahman Wahid (Gusdur) yang mempermasalahkan kata “Auliya”. Maka
jelaslah, tokoh syariah modern tidak berpatokan kepada Syariah klasik, berwawasan lebih liberal,
dan terkesan lebih luas kebijakan terhadap non-muslim.
Dari statement itu perlu adanya kajian yang lebih lanjut terutama konteks terjemahan
pada ayat-ayat non-muslim secara kontemporer sehingga adanya pendalaman terhadap
permasalahan ini. Karena pemahaman konteks kalimat sangatlah dibutuhkan untuk memahami
suatu kalimat.
Penulis tertarik dengan permasalahan tersebut, sehingga Penulis ingin sekali menganalisa
terjemahan konteks dalam ayat non-muslim. Untuk itu, Penulis mencoba melakukan penelitian
skripsi dengan judul “ ANALISIS TERJEMAHAN AL-QURAN H.B JASSIN BACAAN
MULIA; STUDI TERHADAP KONTEKS AYAT-AYAT TENTANG NON-MUSLIM” dengan
asumsi teoritis, bahwa studi terhadap konteks kalimat untuk memahami terjemahan ayat nonmuslim dalam Al-Quran.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
16
Sukron, Syariah islam dan HAM, h. 72 9 Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman serta demi menyamakan persepsi agar
kajian yang ditulis tidak melebar pembahasanya, Penulis perlu untuk memberikan batasan dan
rumusan masalah yang akan dikaji.
Berkaitan dengan ayat-ayat non-muslim dalam al-Quran, banyak sekali hal yang dapat di
kaji. Namun dalam penelitian ini, Penulis hanya akan meneliti yaitu dalam Al-Quran, serta
sebagai upaya untuk memahami bagaimana cara H.B. Jassin menerjemahkanm ayat non-muslim
tersebut diatas. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini terbentuk pertanyaan sebagai
berikut:
1. Mencoba menganalisis Ayat-ayat tentang non-muslim.
2. Jika dilihat dari konteks ayat tentang non-muslim apakah terjemahan dalam al-Quran
terjemahan H.B. Jassin bacaan mulia sudah benar atau tidak?
3. Menganalisis kata “Aulia” dalam konteks ayat non-Muslim.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Berdasarkan masalah yang Penulis kemukakan, maka yang menjadi tujuan umum dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui terjemahan ayat-ayat non- muslim dalam alQuran.
2. Tujuan Khusus
10 Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui ayat-ayat tentang non-muslim
b.
Untuk mengetahui terjemahan Al-Quran oleh H.B. Jassin Bacaan Mulia
c.
Untuk mengetahui analisis kata “Aulia” tentang ayat-ayat non-muslim.
D. Metodologi Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif,
yaitu dengan cara mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah yang di teliti, kemudian
mendeskriptifkan sehingga dapat memberikan kejelasan terhadap kenyataan atau realitas yang
ada. Di samping itu juga Penulis akan menganalisa dan memberikan perincian terhadap masalah
yang akan diteliti dengan cara memilah-milah antara satu pengertian dengan pengertian yang
lain, untuk memperoleh kejelasan masalah yang akan diteliti. Adapun pencarian data yang
dilakukan adalah dengan langkah-langkah membaca dan mengkaji karya H.B.Yassin Bacaan
Mulia pada bukunya Syariah Islam dan Ham; dampak perda syariah terhadap kebebasan sipil,
hak-hak perempuan, dan non-muslim sebagai bahan pokok (Main Responses) serta dengan buku
lainya yang berkaitan dengan ayat non-muslim sebagai pelengkap (Secondary Responses).
Kajian ini merupakan kajian kepustakaan (Library Reseach), data-data yang
dikumpulkan dari sumber-sumber kepustakaan berupa buku-buku. Untuk menghindari penulisan
yang keliru maka dalam teknis penulisan, Penulis sepenuhnya berpedoman pada buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) tahun 2007 yang diterbitkan oleh CeQDA
(Center For Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Sistematika Penulisan
11 Untuk memudahkan dalam pembahasan, sistematika penulisan skripsi ini Penulis susun dalam
lima bab, yaitu:
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari: Latar Belakang Masalah,
Batasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian yang terdiri dari tujuan Umum dan Khusus,
Metodologi Penelitian dan Sistematika Penelitian.
Bab kedua berbicara seputar kerangka teori penerjemahan dan seputar tentang Al-Quran
yang meliputi: wawasan penerjemahan terdiri dari definisi penerjemahan, Metode-metode
penerjemahan, Proses Penerjemahan, dan Syarat-syarat Penerjemahan. Wawasan penerjemahan
Al-Quran mencakup definisi penerjemahan Al-Quran, Syarat-syarat Penerjemahan Al-Qur’an,
Jenis-jenis Penerjemahan Al-Qur’an dan Cara Menerjemahkan Al-Qur’an
Bab ketiga menjelaskan tentang biografi H.B.Jassin, meliputi: Riwayat hidup,
Pendidikan, Karir, Profesi dan Prestasi, serta karya-karya H.B. Jassin.
Bab keempat difokuskan pada Analisis Terjemahan Al-Quran H.B. Jassin Bacaan Mulia;
studi terhadap konteks ayat tentang non-Muslim
Bab kelima yaitu bab penutup, yang terdiri dari Kesimpulan dari pembahasan proposal
skripsi ini.
10 BAB II
LANDASAN TEORI PENERJEMAHAN
A.
GAMBARAN UMUM PENERJEMAHAN
Secara etimologis istilah terjemah itu diambil dari bahasa Arab, Tarjamah. Menurut Didawi,
bahasa Arab sendiri memungut kata tersebut dari bahasa Armenia, tarjuman. Kata turjuman
sebentuk dengan tarjaman dan tarjuman yang berarti orang yang mengalihkan tuturan dari satu
bahasa ke bahasa yang lain. 1 Memasuki dunia penerjemahan sama artinya dengan mengenal
sesuatu yang unik atau menarik. Unik karena sampai saat ini peminat terjemah masih bisa
dikatakan sedikit. Dalam menerjemahkan d butuhkan kerja keras, teliti dan kesabaran untuk
mendapatkan hasil yang maksimal karena yang dihadapi adalah naskah berbahasa asing.
Menariknya, akan banyak hal-hal baru yang ditemui untuk menambah wawasan serta informasi.
Lewat terjemahan, segala sesuatu yang tadinya belum dikenal dan tersingkap bisa segera
terungkap jelas. Menerjemahkan sebagai suatu proses akan membedah misteri tersebut guna
diambil manfaatnya oleh setiap individu, masyarakat dan bangsa.
Berbicara tentang penerjemahan ada baiknya dimulai dari perumusan penerjemahan itu.
Sekilas translation dengan interpretation terlihat sama, nyatanya keduanya sangat berbeda.
Biasanya translation mengacu pada peralihan pesan tertulis. Sedangkan interpretation mengacu
pada pesan lisan saja. Kata penerjemahan dengan terjemahan pun perlu juga dibedakan. Kata
penerjemahan mengandung pengertian proses alih pesan, sedangkan kata terjemahan artinya
hasil dari suatu penerjemahan.
1
Syihabudin, Penerjemahan Arab-Indonesia , (Bandung: Humaniora, 2005), h. 7. 10
11 1. Definisi Penerjemahan
Dalam pengertian yang luas, Penerjemahan adalah istilah umum yang mengacu pada
proses pengalihan buah pikiran dan gagasan dari satu bahasa (sumber) kedalam bahasa lain
(sasaran), baik dalam bentuk tulisan maupun lisan; baik kedua bahasa tersebut telah mempunyai
sistem penulisan yang telah baku ataupun belum, baik salah atau keduanya didasarkan pada
isyarat sebagaimana bahasa isyarat orang tuna rungu. 2 Seorang teknisi yang sedang memesan
instrumen tertentu seperti apa yang tertera di dalam skema pemasangannya adalah salah satu
contoh kegiatan atau proses penerjemahan. Salah seorang yang sedang merumuskan gagasangagasan yang ada dalam benaknya ke dalam bahasa matematika merupakan contoh terjemah.
Jadi kegiatan terjemahan dalam pengertian yang luas. Adalah semua kegiatan manusia dalam
mengalihkan makna atau pesan, baik verbal maupun non verbal, dari satu bentuk ke dalam
bentuk yang lainnya.
Sedangkan dalam pengertian yang lebih sempit, terjemah (translation) biasa diartikan
sebagai suatu proses pengalihan pesan yang terdapat didalam teks bahasa pertama atau bahasa
sumber (source language) dengan padanannya di dalam bahasa kedua atau bahasa sasaran
(target languge). 3
Penerjemahan merupakan suatu tindakan komunikasi. Sebagai tindakan komunikasi
kegiatan tersebut tidak terlepas dari bahasa. Dengan demikian, penerjemahan merupakan
2
Zuchridin Suryanwinata dan Sugeng Hariyanto, Translation Bahasa Teori dan Penuntun Praktis
Menerjemahkan, (Jakarta: Kanisius, tth), h. 13 3
Suhendra Yusuf, Teori Terjemahan, Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan sosiolinguistik,
(Bandung: Mandar Maju,1994), cet.ke-1.h.8 12 kegiatan yang melibatkan bahasa, dan dalam pembahasannya tidak dapat mengabaikan
pemahaman tentang konsep-konsep kebahasaan itu sendiri. 4
Mengalihkan bahasa atau menyampaikan berita yang terkandung dalam bahasa sumber
ke dalam bahasa sasaran, dilakukan untuk mengetahui makna yang digunakan oleh bahasa
sumber secara tepat agar isinya mendekati asli dan ketika membaca seperti bukan hasil
penerjemahan dan dapat dipahami oleh pembaca. 5
2. Metode Penerjemahan
Metode penerjemahan adalah teknik yang digunakan oleh seorang penerjemah saat hendak
memutuskan menerjemahkan suatu Tsu. Banyak metode penejemahan yang dikembangkan oleh
para ahli. Namun, diantara metode yang ada, metode yang ditawarkan Newmark (1988) dinilai
sebagai paling lengkap dan menandai. 6 Menurut Newmark, dalam bukunya A Textbook of
Translation, membagi metode penerjemahan ke dalam dua keompok besar, yaitu (1) metode
penerjemahan yang berorientasi kepada bahasa sumber; (2) metode penerjemahan yang
berorientasi kepada bahasa sasaran. 7 Adapun Nababan, membagi metode penerjemahan dalam
sepuluh jenis. 8 Lain halnya dengan Brislin, ia mengklasifikasikan metode penerjemahan ke
dalam empat jenis. 9
4
Rochayah Machali, Pedoman bagi Penerjemah, (Jakarta: Gramedia,2002), h. 17 5
E. Sadtono, Pedoman Penerjemahan, (Jakarta: Depdikbud, 1985),Cet. Ke-1,h.9 6
Moch. Syarif Hidayaullah, Tarjim Al-an; Cara Mudah Menerjemahkan Aran-Indonesia,(Tagerang: Dikara, 2009),
Cet.III,h.31 7
P.Newmark, A Textbook of Translation (UK: Prentice Hall International,1988), h.45-47. 8
Rudolf Nababan, Teori Menerjemah Bahasa Inggris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), cet ke-1, h. 30-34 9
R.W. Brislin, Translation: Application and Research (New York: Garden Press Inc, 1976), h.3-4. 13 Berikut ini Penulis akan paparkan beberapa Metode Penerjemahan dari para ahli teori
terjemah yang sering digunakan dan dijadikan rujukan oleh para penerjemah dan pencinta
terjemahan, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Penerjemahan Kata Demi Kata (Word for Word Translation)
Metode penerjemahan ini pada dasarnya kata-kata bahasa sasaran diposisikan di bawah
versi bahasa sumber. Kata-kata bahasa sumber diterjemahkan diluar konteks dan sangat terkait
dalam tatanan kata. Penerjemah hanya mencari padanan kata bahasa sumber ke dalam bahasa
sasaran tanpa mengubah susunan kata bahasa sasaran. Dengan kata lain, penerjemahannya apa
adanya. 10
Contoh:
‫ﻣﺎﺟﻌﻞ اﷲ ﻣﻦ ﺑﺤﻴﺮة وﻻ ﺳﺎ ﺋﺒﺔ وﻻ ﺻﻴﻠﺔ وﻻ ﺣﺎم‬
Terjemahannya: Allah sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya Bahi:rah, Sa’bah, Wasilah
dan Ham. 11
b. Penerjemahan Harfiah (Literal Translation)
Kategori ini melingkupi terjemahan-terjemahan yang sangat setia terhadap teks sumber,
seperti urutan-urutan bahasa, bentuk frase, bentuk kalimat dan sebagainya. 12 Akibat yang sering
muncul dari terjemah kategori ini adalah, hasil terjemahannya menjadi saklek dan kaku karena
penerjemah memaksakan aturan-aturan tata bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Padahal,
keduanya mempunyai perbedaan yang mendasar. Hasilnya dapat dengan mudah dibayangkan,
10
11
12
Moch Syarif , Diktat Teori dan Permasalahan Perjemahan, h.14 Moch Syarif , Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, h.15 Moch Syarif , Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, h.15 14 yakni bahasa Indonesia yang bergramatika bahasa Arab, sehingga sangat aneh untuk di baca
penutur bahasa sasaran (bahasa Indonesia). 13
Contoh:
‫وﻻ ﺗﺠﻌﻞ ﻳﺪك ﻣﻐﻠﻮﻟﺔ اٍﻟﻰ ﻋﻨﻘﻚ وﻻ ﺗﺒﺴﻄﻬﺎ آﻞ اﻟﺒﺴﻂ‬
Terjemahannya: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggur pada
lehermu dan
janganlah kamu mengulurkannya....
c. Penerjemahan Setia (Faithful translation)
Penerjemahan setia adalah memproduksi makna kontekstual, tetapi masih dibatasi oleh
struktur gramatikalnya dan kata-kata yang bermuatan budaya dialihbahasakan, tetapi
penyimpangan dari segi tata bahasa dan diksi masih tetap dibiarkan, berpegang teguh pada
maksud dan tujuan Tsu, sehingga agak kaku dan terasa asing, tidak berkompromi dengan kaidah
Tsa. 14
Saat menerjemahkan dengan metode ini, seorang penerjemah memproduksi makna
kontekstual, tetapi masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Kata-kata yang bermuatan budaya
dialih bahasakan, tetapi menyimpang dari segi tata bahasa dan diksi masih tetap dibiarkan. Ia
berpegang teguh pada maksud dan tujuan Tsu, sehingga agak baku dan terasa asing. Ia tidak
berkompromi dengan kaidah Tsa. Metode ini biasanya digunakan pada tahap awal pengalihan.
Contoh:
‫ﻟﻴﺴﺘﺌﺬﻧﻜﻢ اﻟﺬﻳﻦ ﻣﻠﻜﺖ اﻳﻤﺎﻧﻜﻢ‬
13
Ibnu Burdah,Menjadi Penerjemah:Metode dan Wawasan menerjemah teks arab, (Yogyakarta: Tiara kencana, 2004),
h.16. 14
Moch Syarif , Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, h.3 15 Terjemahannya: Hendaklah diminta izin kepadamu oleh orang yang dimiliki oleh tangantanganmu.
d. Penerjemahan Semantis (Semantic Translation)
Dibandingkan dengan penerjemahan harfiah, penerjemahan semantis lebih lentur. Karena
penerjemahan semantis dapat dikompromikan dengan struktur gramatikal bahasa sasaran. Selain
itu, penerjemahan semantis masih mempertimbangkan unsur-unsur bahasa sumber selama masih
dalam batas kewajaran. 15
Contoh:
‫راﻳﺖ ذا اﻟﻮﺟﻬﻴﻦ اﻣﺎم اﻟﻔﺼﻞ‬
Diterjemahkan: Aku lihat si muka dua di depan kelas.
e. Penerjemahan Adaptasi (Adaptation Translation)
Adaptasi merupakan metode penerjemahan yang paling bebas dan paling dekat dengan
bahasa sasaran. Biasanya metode ini di pakai dalam menerjemahkan drama atau puisi, yaitu yang
mempertahankan tema, karakter dan alur. Ini berarti bahwa unsur budaya dalam teks sumber
disulih (substituted) dengan unsur budaya pembaca TSa. . 16
contoh :
‫ﻋﺎﺷﺖ ﺑﻌﻴﺪة ﺣﻴﺚ ﻻ ﺗﺨﻄﻮ ﻗﺪم ﻋﻨﺪ اﻟﻴﻨﺎﺑﻴﻊ ﺑﺎﻋﻠﻰ اﻟﻨﻬﺮ‬
15
Moch Syarif , Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, h.16 16
Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Jakarta: Pustaka Jaya, 2006), h.64.
24
Moch Syarif, Diktat Teori dan Permasalahan Terjemah, h.4 16 Terjemahannya : Dia hidup jauh dari jangkauan, diatas gemericik air sungai yang terdengar
jernih . 17
f. Penerjemahan Bebas (Free Translation)
Metode penerjemahan bebas lebih mengutamakan isi dengan mengorbankan bentuk
teks bahasa sumber. Terjemahan bebas, pada umumnya lebih diterima, ketimbang terjemahan
harfiah, karena dalam terjemahan bebas biasanya tidak terjadi penyimpangan makna maupun
pelanggaran norma-norma BSu. Kekurangan teknik penerjemahan bebas ialah bahwa yang
disampaikan oleh terjemahan bebas ke dalam teks BSu bukan padanan makna teks BSa, tapi
gambaran situasi yang menghasilkan perolehan padanan situasi. 18
Contoh :
‫اﻟﻮﺟﻪ اﻟﺠﺪﻳﺪ ﻋﺎﺻﻤﺔ اﻟﻤﺎﻧﻴﺎ‬
Terjemahannya: Pembaruan wilayah pemerintahan Ibukota Baru’ (lama) Jerman-Berlin 19 .
g. Penerjemahan Idiomatik (Idiomatic Translation)
Metode ini bertujuan memproduksi pesan dalam teks Bsu, tetapi sering dengan
menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatik yang tidak di dapati pada versi aslinya.
Dengan demikian, banyak terjadi distorsi nuansa makna. Beberapa pakar penerjemahan kaliber
dunia seperti Seleskovitch menyukai metode penerjemahan ini, yang dianggapnya “hidup” dan
“alami” (dalam arti akrab) . 20
18
Salihen Moentaha, Bahasa dan Terjemahan, Language and Translation the New Millenium Publication (Jakarta:
Kesaint Blanc, 2006), h.52-53 19
Moch.Syarif Hidayatullah, Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, (Jakarta:2007), h.16 20
Rochayah Machali, Pedoman bagi Penerjemah, (Jakarta: Gramedia,2002), h. 54 17 Contoh :
‫اﻟﻤﺎل اﻟﺤﺮام ﻻﻳﺪوم‬
Terjemahannya : Harta haram tak akan bertahan lama 21
h. Penerjemahan Komunikatif
Metode ini mengupayakan mereproduksi makna kontekstual yang demikian rupa,
sehingga baik dari aspek kebahasaan maupun aspek isi langsung dapat dimengerti oleh pembaca.
Oleh karena itu versi Tsa-nya pun langsung berterima. Sesuai dengan namamya metode ini
memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi, yaitu khalayak pembaca dan tujuan penerjemahan. 22
Metode ini adalah yang banyak digunakan dalam penerjemahan. Dalam metode ini yang
di pentingkan adalah penyampaian pesannya, sedangkan terjemahannya sendiri lebih diarahkan
pada bentuk yang berterima dan wajar dalam Bsa. 23
Contoh :
‫ﻓﺎٍﻧﺎ ﺧﻠﻘﻨﺎآﻢ ﻣﻦ ﺗﺮاب ﺛﻢ ﻣﻦ ﻧﻄﻔﺔ ﺛﻢ ﻣﻦ ﻋﻠﻘﺔ ﺛﻢ ﻣﻦ ﻣﻀﻐﺔ‬
Terjemahannya : Maka ketahuilah sesungguhnya kami telah menjadikan kamu dari tanah
kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging. 24
3. Proses Penerjemahan
Orang yang berusaha memperoleh pengetahuan mengenai penerjemahan paling tidak
harus mengetahui apa yang dimaksud dengan Proses Penerjemahan. Soemarno mengatakan
21
22
Moch Syarif Hidayatullah, Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, h.16 Rochayah, Pedoman bagi Penerjemah, h. 54. 23
Moch Syarif, Diktat Teori dan Permasalahan Terjemah, h. 5. 24
Moch Syarif, Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, h.17 18 bahwa proses penerjemahan ialah langkah-langkah yang dilakukan oleh seorang penerjemah
pada waktu dia melakukan penerjemahan. 25 Menerjemahkan bukan hanya sekedar menyadur,
dengan pengertian menyadur sebagai pengungkapan kembali amanat dari suatu karya dengan
meninggalkan detail-detailnya tanpa harus mempertahankan gaya bahasanya dan tidak harus ke
dalam bahasa lain. (Pengertian menyadur tersebut disampaikan oleh Harimurti Kridalaksana).
Selain memahami definisi penerjemahan, seorang penerjemah hendaknya mengetahui pula
proses penerjemahan. 26
Menurut Larson, ketika menerjemahkan sebuah teks, tujuan penerjemah adalah
penerjemahan idiomatik untuk mengkomunikasikan setiap makna dari teks bahasa sumber ke
dalam bentuk yang natural dari bahasa sasaran. Larson menambahkan, bahwa penerjemahan
berfokus pada pembelajaran leksikal, struktur gramatikal, situasi komunikasi, dan konteks
budaya dari teks bahasa sumber yang dianalisa untuk menentukan maknanya. Pencarian makna
ini kemudian disampaikan kembali secara leksikal dan struktur gramatikal yang sesuai dengan
bahasa sasaran beserta konteks budayanya. 27
Bentuk dari teks yang akan diterjemahkan dan hasil penerjemahan ditunjukkan dalam
bentuk yang berbeda antara bujur sangkar dan segi tiga. Bentuk itu menggambarkan bahwa
dalam penerjemahan teks, bentuk dari bahasa sumber dapat berubah ke dalam bentuk yang sesuai
dengan bahasa sasaran untuk mencapai penerjemahan idiomatik. 28
25
Soemarno, Harimurti Kridalaksana, (Jakarta: 1997). h. 13 26
Widyamartaya, h. 14 27
Moch Syarif , Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, h.15 28
Hafidah Fitri Ariyani, “Pergeseran makna dalam naskah film berbagi suami karya Nia Dinata”
(proposal penelitian fakultas bahasa dan seni, universitas negeri Yogyakarta, 2007), h. 11-12. 19 Adapun salah satu Proses Penerjemahan yang sering dianut oleh banyak teoritisi
penerjemahan adalah Proses Penerjemahan karya Nida (1975: 80). 29
Nida membagi proses penerjemahan itu menjadi tiga tahap. Ketiga tahap itu ialah
a. Analisis
b. Pengalihan (Transfer)
c. Penyelarasan (Restructuring) 30
1) Syarat-syarat penerjemah
Untuk menjadi penerjemah yang baik, seseorang harus membekali diri dengan syaratsyarat berikut:
a. Penerjemah harus menguasai Bsu dan Bsa
Penguasaan Bsu dan Bsa dimulai dari pembendaharaan kosakata, pola pembentukan kata,
aspek pemaknaan pada masing-masing bahasa. Penerjemah yang hanya mengandalkan
kemampuannya dalam Bsu, tanpa mendalami Bsa, akan menghasilkan terjemahan yang terasa
asing.
b. Penerjemah harus memahami dengan baik isi teks yang akan diterjemahkan
Isi teks yang akan diterjemahkan terkait pokok pikiran yang hendak disampaikan dalam
Tsu. Ini dikaitkan dengan penguasaan penerjemah dalam menyelami apa yang hendak
disampaikan oleh penulis Tsu.
29
Moch Syarif Hidayatullah, Diktat Teori dan Permasalahan Terjemah, h. 5 30
Moch Syarif Hidayatullah, Diktat Teori dan Permasalahan Terjemah, h. 5. 20 c. Penerjemah harus mampu mengalihkan ide atau pesan yang terdapat pada Bsu.
Setelah memahami isi teks yang akan diterjemahkan, penerjemah yang baik harus mampu
mengalihkan ide dan pesan yang berhasil ditangkapnya. Keakuratan ide dan pesan yang berhasil
ditangkap oleh penerjemah, sangat tergantung pada pemahaman dan kepekaan penerjemah saat
menyelami Tsu.
d. Penerjemah harus terbiasa teliti dan cermat.
Seorang penerjemah tidak boleh ceroboh, karena ia bertanggung jawab secara ilmiah dan
moral pada penulisan Tsu agar menyampaikan ide dan pesan penulis dengan sebenar-benarnya.
e. Penerjemah harus mempunyai pengalaman dalam menafsirkan sesuatu.
Ini berarti seorang penerjemah dituntut untuk memiliki kemampuan menganalogikan dan
menganalisis suatu kasus.
f. Penerjemah harus terbiasa berkonsultasi dengan penasehat ahli.
Untuk memastikan pemahaman dan pengalihan pesan Tsu, seorang penerjemah harus
terbiasa mendiskusikan kasus-kasus yang dihadapi dan bertukar teknik baik dalam memahami
maupun dalam menerjemahkan Tsu.
g. penerjemah harus yang benar-benar orang yang menguasai topik yang hendak
diterjemahkan.
Seorang penerjemah yang baik tidak dibenarkan menerjemahkan topik yang tidak
dikuasai, apalagi bila hasil terjemahanya disebarluaskan untuk khalayak pembaca.
h. Penerjemah harus mampu menampilkan teks dalam Bsa seperti teks dalam Bsu.
21 Ini bagian yang membutuhkan proses dan latihan yang tak kenal lelah. Karena, hal ini
terkait dengan penerjemah dalam mengalihkan Tsu, yang lebih sering berbeda struktur dengan
Tsa.
i. Penerjemah harus mengetahui dengan baik karakteristik sang penulis.
Pada titik tertentu, seorang penerjemah harus memahami benar mana yang merupakan
bagian dari gaya bahasa penulis dan mana yang bukan. Ini penting agar penerjemah mengerti
mana aspek dari Tsu yang harus dipertahankan dan mana yang tidak harus dipertahankan. 31
Terkait dengan penerjemahan penulis juga akan memaparkan sedikit sekilas tentang al-qur’an,
yaitu sebagai berikut:
B. GAMBARAN TENTANG AL-QUR’AN
1. Penerjemahan Al-Qur’an
Secara harfiah, terjemah berarti memindahkan suatu pembicaraan dari satu bahasa ke
bahasa lain atau mengalih bahasakan. Sedangkan terjemahan berarti salinan bahasa atau alih
bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain. 32
Muhammad Ali Ash-Shobuni menyatakan bahwa menerjemahkan al-Qur’an berarti
menukilkan Al-Qur’an ke dalam bahasa lain selain bahasa arab. 33
Seorang pakar ulama Al-Qur’an dari universitas Al-Azhar Mesir, Muhammad Husayn
Al-Dzahabi memberikan definisi tersendiri mengenai penerjemahan Al-Qur’an. Pertama,
31
Moch Syarif Hidayatullah, Diktat Teori dan Permasalahan Terjemah,(Jakarta:2007), h.15-16 32
Departemen Pendidikan dan kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997),h.1047 33
Muhammad Ali Ash-Shobuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, Terjemahan Muhammad Qodiru Nur
(Jakarta:Pustaka Amani, 1988), h.285 22 mengalihkan atau memindahkan suatu pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa lain tanpa
menerangkan makna dari bahasa asal yang diterjemahkan. Kedua, menafsirkan suatu
pembicaraan dengan menerangkan maksud yang terkandung didalamnya dengan menggunakan
bahasa lain. 34 Dari definisi tersebut, dapat di simpulkan bahwa terjemah adalah menyalin atau
mengalihbahasakan serangkaian pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa lain, agar inti
pembicaraan bahasa asal yang diterjemahkan dapat dipahami oleh orang awam atau orang-orang
yang tidak mampu memahami langsung bahasa asal yang diterjemahkan.
2. Pengertian Al-Qur’an
Para ulama tafsir al-Qur'an dalam berbagai kitab ‘ulumul qur’an, ditinjau dari segi bahasa
(lughowi atau etimologis) bahwa kata Al-Qur'an merupakan bentuk mashdar dari kata qoro’a –
yaqro’uu – qiroo’atan – wa qor’an – wa qur’aanan. Makna ini bisa dipadukan menjadi satu,
menjadi “al-Qur'an itu merupakan himpunan huruf-huruf dan kata-kata yang dapat dibaca”.
Sedangkan makna al-Qur'an secara ishtilaahi ialah “Firman Allah SWT yang menjadi mukjizat
abadi kepada Rasulullah yang tidak mungkin bisa ditandingi oleh manusia, diturunkan ke dalam
hati Rasulullah SAW, di turunkan ke generasi berikutnya secara mutawatir, ketika dibaca
bernilai ibadah dan berpahala besar” Dari definisi di atas terdapat lima bagian penting:
•
Al-Qur'an adalah firman Allah SWT serta wahyu yang datang dari Allah Yang Maha
Mulia dan Maha Agung. Maka firman-Nya (al-Qur'an) pun menjadi mulia dan agung
juga, yang harus diperlakukan dengan layak, pantas, dimuliakan dan dihormati.
•
Al-Qur'an adalah mu’jizat. Manusia tak akan sanggup membuat yang senilai dengan alQur'an, baik satu mushaf maupun hanya satu ayat.
34
Muhammad Husayn Al-Dzahabi, Al-Tafsir Wa al-Mufassirin,(tt:tpn,1976), h.23 23 •
Al-Qur'an itu diturunkan ke dalam hati Nabi SAW melalui malaikat Jibril AS (QS
26:192). Hikmahnya kepada kita adalah hendaknya al-Qur'an masuk ke dalam hati kita.
Perubahan perilaku manusia sangat ditentukan oleh hatinya. Jika hati terisi dengan alQur'an,
maka
al-Qur'an
akan
mendorong
kita
untuk
menerapkannya
dan
memasyarakatkannya. Hal tersebut terjadi pada diri Rasululullah SAW, ketika al-Qur'an
diturunkan kepada beliau. Ketika A’isyah ditanya tentang akhlak Nabi SAW, beliau
menjawab: Kaana khuluquhul qur’an; akhlak Nabi adalah al-Qur'an.
•
Al-Qur'an disampaikan secara mutawatir. Al-Qur'an dihafalkan dan ditulis oleh banyak
sahabat. Secara turun temurun al-Qur'an itu diajarkan kepada generasi berikutnya, dari
orang banyak ke orang banyak. Dengan cara seperti itu, keaslian al-Qur'an terpelihara,
sebagai wujud jaminan Allah terhadap keabadian al-Qur'an. (QS 15:9).
•
Membaca al-Qur'an bernilai ibadah, berpahala besar di sisi Allah SWT. Nabi bersabda:
“Aku tidak mengatakan alif laam miim satu huruf, tetapi Alif satu huruf, laam satu huruf,
miim satu huruf dan satu kebaikan nilainya 10 kali lipat” (al-Hadist). 35
Dari pengertian diatas bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang didalamnya terdapat
banyak sekali terdapat ilmu pengetahuan. Al-Qur’an diturunkan menggunakan bahasa arab
dengan bahasa yang indah. Namun, itu semua hanya dilakukan oleh beberapa orang saja. Sebab
adanya perbedaan bahasapun sangat mempengaruhi. Telah kita ketahui Al-Qur’an menggunakan
bahasa arab sedangkan kita menggunakan bahasa indonesia. Inilah salah satu faktor yang
membut kebanyakan orang menjadi sulit mengerti apalagi memahami isi kandungan dalam AlQur’an.
35
http://blog.re.or.id/definisi-alquran.htm diakses pada hari rabu tgl. 24 maret 2010 24 Padahal, pada saat yang bersamaan, Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk atau hidayah yang
harus dipahami dengan baik dan benar oleh seluruh umat muslim. Dari permasalahan diatas
terlihat jelas bahwa harus ada yang dapat menghubungkannya. Disinilah betapa pentingnya
penerjemahan Al-Qur’an. Para alim ulama dan cendikiawan selalu berusaha menerjemahkan
serta menafsirkan Al-Qur’an. Karena menerjemahkan Al-Qur’an tidak semudah menerjemahkan
teks selainnya. Penerjemahpun bukan sembarang orang dan harus memiliki kriteria khusus
seperti yang disebutkan pada syarat penerjemah.
Selain syarat yang disebutkan diatas, penerjemahpun sebaiknya memiliki keterampilan
dan kompetensi dalam berkomunikasi secara verbal. Penerjemah juga harus menghargai naskah
aslinya, dengan tujuan jika ingin menyingkatnya, maka pesan inti tidak terlewatkan. Itulah
sebabnya seorang penerjemah harus dapat membedakan mana pesan inti dan mana yang bukan
pesan inti.
3. Syarat-syarat Penerjemahan Al-Qur’an
Kegiatan menerjemah, lebih-lebih menejemahkan Al-Qur’an kedalam bahasa asing,
bukan merupakan perbuatan yang mudah yang dapat dilakukan oleh sembarang orang.
Kegiatan menerjemah merupakan pekerjaan berat meskipun tidak berarti mustahil
dilakukan seorang, terutama oleh mereka yang berbakat dan berminat untuk menjadi mutarjim.
Karena untuk dapat penerjemah dengan baik, seseorang penerjemah tidak hanya menguasai
bahasanya saja, tetapi harus mengetahui materinya juga. Lain halnya dengan seorang penerjemah
yang handal dan profesional yang tidak mengalami kesulitan baik dalam menerjemahkan buku,
novel, cerven, puisi, syair dan kitab suci Al-Qur’an.
25 Untuk dapat menerjemahkan sesuai dengan maksud tulisan, terlebih lagi menerjemahkan
Al-Qur’an, mutarjim harus memenuhi beberapa persyaratan. Adapun syarat-syarat seperti yang
diungkapkan Al-Dzahabi sebagai berikut:
a.
Mutarjim Al-Qur’an pada dasarnya harus memiliki persyaratan yang dikenakan pada
mufassir seperti i’tikad baik, niat yang tulus, serta menguasai ilmu-ilmu seperti ilmu
kalam, fikih usul fikih ,ilmu akhlak, dan lain-lain. Dengan persyaratn ini, seorang
penerjemah Al-Qur’an diharapkan terhindar dari kekeliruan dalam menerjemahkan.
b.
Mutarjim Al-Qur’an harus memiliki akidah islamiyah yang kuat dan lurus. Karena orang
yang tidak dibolehkan untuk menerjemahkan dan atau menafsirkan Al-Qur’an, sebab
tidak sejalan dengan tujuan ulama dari turunnya Al-Qur’an itu sendiri yaitu sebagai kitab
petunjuk.
c.
Sebelum menerjemahkan Al-Qur’an, penerjemah harus lebih dulu menuliskan ayat-ayat
Al-Qur’an itu sendiri yang hendak di terjemahkan, kemudian di terjemahkan dan atau di
tafsirkan sekaligus. Selain dimaksudkan untuk memudahkan pembaca mengecek makna
yang sesungguhnya manakala terdapat terjemahan Al-Qur’an yang di ragukan
kebenarannya, terutama dalam rangka mempertahankan otensitas teks Al-Qur’an itu
sendiri.
d.
Mutarjim juga harus menguasai dengan baik dua bahasa yang bersangkutan, yakni bahasa
asal yang diterjemahkan dan bahasa terjemahan. Dalam konteks ini, bahasa Al-Qur’an dan
bahasa terjemahan itu sendiri yaitu bahasa Indonesia. Jadi, mutarjim Al-Qur’an kedalam
bahasa Indonesia seperti, tidak hanya dituntut untuk menguasai derngan baik bahasa Arab
26 Al-Qur’an yang diterjemahkan, tetapi juga harus memahami dalam menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar. 36
Ian Finlay seperti yang dikutip Suhendra Yusuf memaparkan beberapa kriteria penerjemah
antara lain:
•
Memiliki pengetahuan bahasa sumber yang sempurna dan up-to date
•
Memahami materi yang akan diterjemahkan
•
Mengetahui terminologi-terminologi padanan terjemahnya di dalam bahasa sasaran.
•
Berkemampuan mengekspresikan dan mengapresiasikan serta merakan gaya, irama,
nuaasa serta register kedua bahasa yaitu bahasa sumber dan bahasa sasaran.
4. Jenis-jenis Penerjemahan Al-Qur’an
Secara umum penerjemahan Al-Qur’an dibagi menjadi 2 macam yaitu: terjemahan
harfiyah dan tafsiriyah adalah adalah terjemahan yang dilakukan dengan apa adanya, tergantung
dengan susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan. Terjemahan ini identik dengan
terjemahan laterlek atau terjemahan lurus, yaitu terjemahan yang dilakukan kata demi kata.
Muhammad Husayn Al-Dzahabi membagi terjemahan harfiyah ini dalam dua bagian, antara lain:
a. Terjemah harfiyah bi al-mitsl, yaitu terjemahan yang dilakukan apa adanya, terikat
dengan susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan.
36
Muhammad Husayn Al-Dzahabi, Al-Tafsir Wa al-Mufassirin,(tt:tpn,1976), h.29-30 27 b. Terjemahan harfiyah bighairi al-mitsl, pada dasarnya sama dengan terjemahan tadi, hanya
saja sedikit lebih longgar keterikatannya dengan susunan dan struktur bahasa asal yang
akan di terjemahkan. 37
Sedangkan terjemahan tafsiriyah atau lebih dikenal dengan penerjemahan maknawiyah
adalah terjemahan yang dilakukan penerjemah (mutarjim) dengan lebih mengedepankan maksud
atau isi kandungan yang terdapat dalam bahasa asal di terjemahkan. Terjemahan ini tidak terikat
dengan susunan dan struktur gaya bahasa yang diterjemahkan atau biasa disebut dengan
penerjemahan bebas. 38
5. Cara Menerjemahkan Al-Qur’an
Cara menerjemahkan Al-Qur’an tentu sangat berbeda dengan menerjemahkan teks biasa.
Seorang penerjemah Al-Qur’an harus memulai dengan beberapa tahapan. Seperti yang
diungkapkan H. Datuk Tombak Alam dalam bukunya burjudul Metode Menerjemahkan AlQur’an Al-Karim 100 kali Pandai, beliau memberikan beberapa proses yang harus ditempuh
seorang mutarjim Al-Qur’an. Adapun tahapannya sebagai berikut
Pertama, yaitu menerjemahkan secara harfiyah dan menurut susunan bahasa Arab yang sudah
tentu tidak cocok dengan susunan bahasa Indonesia yang baik. Hal ini dilakukan pada tahap
pertama agar dalam penerjemahan dapat mengenal kedudukan dan hukum kata itu.
Kedua, membuang kata-kata yang ada dalam Al-Qur’an kedalam terjemahan.
37
Muhammad Husayn Al-Dzahabi, Al-Tafsir Wa al-Mufassirin, h.24 38
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an (1), (Jakarta: pustaka firdaus,2000), h. 131-132 28 Ketiga, yaitu menggeser atau menyusun kalimatnya dalam terjemah untuk mencapai bahasa
Indonesia yang baik, yaitu di awal digeser ke belakang dan yang akhir diletakkan ke muka sesuai
dengan susunan kalimat dalam bahasa Indonesia (S,P,O,K). Tahap ini boleh dipergunakan jika
diperlukan, akan tetapi jika seorang penerjemah ingin dikatakan hasil terjemahannya itu baik,
maka tahap ini haus dipenuhi. 39
39
Sei H.Datuk Tombak Alam, Metode Menerjemahkan Al-Qur’an Al-Karim 100 kali pandai, (jakarta:
Rineka Cipta, 1992), h.19 25 BAB III
BIOGRAFI H.B. JASSIN
A. Riwayat hidup singkat H.B. Jassin
Beliau lahir di sebuah desa di Gorontalo, Sulawesi Utara pada tanggal 31 juli 1917 dan
meninggal di Jakarta 11 Maret 2000. Nama lengkapnya adalah Hans Bague Mantu Jassin, namun
nama yang biasa digunakan hanya Hans Begue Jassin. Hans adalah nama kedua orang tuanya.
Sedangkan Begue diambil dari nama sang ayah. Guru-guru dan teman sekelasnya di sekolah
biasa memanggilnya dengan sebutan Han’s. 1
Sewaktu masih tinggal di Gorontalo, beliau dipanggil dengan sebutan Jamadi. Sifat Jassin
hampir sama dengan Bung Karno dan Buang Hatta. Ia tidak suka menulis title didepan namanya.
Ia cukup menaruh nama aslinya saja yaitu H.B. Jassin dan kependekannya H.B.J.
Dalam dunia sastra, Hans Bague Jassin atau yang dikenal dengan H. B. Jassin, mendapat
predikat paus Sastra Indonesia dan dia mempunyai posisi yang istimewa. Bagai kritikus sastra,
karya-karya Jassin menjadi acuan kalangan sastrawan dan peminat sastra di Indonesia. Selama
puluhan tahun, kehadiran putra gorontalo ini telah member warna dalam kesusastraan Indonesia.
Ia juga disebut sebagai wali penjaga sastra Indonesia yang sesungguhnya. 2
Ia berasal dari keluarga Islam yang taat. Ayahnya Bague Mantu Jassin, pegawai BPM
(Bataafsche Petroleum Maat-schappij), pernah bertugas di Balikpapan, sehingga kota itu
meninggalkan kenang-kenang yang manis baginya. Ibunya Habiba Jau, sangat mencintainya.
Dikota Medan ia banyak berkenalan dengan seniman dan para calon seniman, diantaranya
1
Pamusuk Eneste, Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern, (Jakarta: PT. Jambatan, 1990), edisi baru, h.
73-75 2
H.B. Jassin, Pusat Dokumentasi Sastra H.B.Jassin, (Jakarta: Harian Media Indonesia, 2003), h. 20 25
26 Chairil Anwar. Dalam perjalanannya pulang ke Gorontalo tahun 1939, ia mampir untuk bertemu
dengan Sutan Takdir Alisjahbana di Jakarta. Takdir sangat terkesan dengan Jassin dan mengirim
surat ke Gorontalo, menyatakan ada lowongan di Balai Pustaka. Rupanya surat itu berlayar
bersama-sama dengan Jassin ke Gorontalo. Untuk menyenangkan orang tuanya, ia bekerja di
kantor Asisten Residen Gorontalo antara bulan Agustus sampai Desember 1939, Sebagai tenaga
magang. 3
B. Pendidikan
¾ HIS, Balikpapan (1932)
¾ MULO
¾ HBS Medan (1939)
¾ Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1957)
¾ Pernah kuliah di Universitas Yale, Amerika Serikat (1958-1959)
¾ Doctor Honoris Causa dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1975)
¾ Menguasai bahasa Inggris, Belanda, Perancis dan Jerman 4
A. Karir H.B. Jassin
Pada bulan Agustus 1939 Volontair dikantor Asisten Residen Gorontalo, kemudian Pada
bulan Januari 1940, Jassin mendapat izin dari orang tuanya untuk memenuhi permintaan Sutan
Takdir Alisjahbana. Pada bulan Februari 1940 sampai tanggal 21 Juli 1947, H.B Jassin mulai
3
H.B. Jassin, Pusat Dokumentasi Sastra H.B.Jassin, h. 20 Hans Bague Jassin, Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa UI,
Dokumentasi, 14 Juni 1975. h. 1 4
27 bekerja di Balai Pustaka. Ia mula-mula duduk dalam sidang pengarang redaksi buku di bawah
bimbingan Armin Pane pada tahun 1940-1942 dan kemudian menjadi redaktur majalah Panji
Pustaka tahun 1942-1945. Setelah Panji Pustaka diganti menjadi Panca Raya, ia menjabat
sebagai wakil pemimpin redaksi di tahun 1945 sampai dengan 21 Juli 1947. Tanggal 21 Juli
1947 itulah akhir kariernya di Balai Pustaka. 5
Setelah keluar dari Balai Pustaka, H.B Jassin secara terus-menerus bekerja dalam
lingkungan majalah sastra- budaya. Ia menjadi redaktur majalah Mimbar Indonesia ditahun
1947-1966, majalah Zenith ditahun 1951-1954, majalah Bahasa dan Budaya ditahun 1952-1963,
majalah Kisah tahun 1953-1956, majalah Seni tahun 1955 dan majalah Sastra ditahun 1961-1964
dan tahun 1967-1969. 6
Ia juga pernah menjadi anggota dewan pertimbangan pembukuan Perum Balai Pustaka
(1987-1994), anggota Panitia Pertimbangan Pemberian Anugerah Seni Bidang Sastra,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1975), anggota juri Sayembara Kincir Emas oleh
radio Wereld Omroep Nederland (1975), anggota Panitia Pelaksana Ujian Calon Penerjemah
yang disumpah (1979-1980), Extrernal assessor Pengajian Melayu, Universiti Malaya (19801992), anggota Komisi Ujian Tok-Vertlader, Leiden tahun 1972, peserta 29 tahun International
Congress of Orientalist, Paris dari tanggal 16-22 Juli 1973, penasehat Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa ditahun 1973-1982, anggota dewan juri Sayembara Mengarang Novel
Kompas-Gramedia tahun 1978, ketua dewan juri Sayembara Novel Sarinah di tahun 1983,
5
Hans Bague Jassin, Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa UI,
Dokumentasi, h. 2 6
Hans Bague Jassin, Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa UI,
Dokumentasi, h. 1 28 anggota dewan juri Pegasus Oil Indonesia pada tahun 1984 dan ketua dewan juri Sayembara
Cerpen Suara Pembaruan ditahun 1991. 7
Pada tahun 1964, ia dipecat dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia karena
keterlibatannya dalam Manifes Kebudayaan. Pemecatan itu berlangsung sejak di larangnya
Manifes Kebudayaan oleh Presiden Soekarno 8 Mei 1964 sampai meletusnya G30S/PKI tahun
1965.
Dalam dua periode memimpin majalah Sastra, H.B. Jassin mengalami masing-masing
satu musibah, cerpen Langit Makin Mendung yang kemudian menyeret H.B. Jassin kedepan
pengadilan. Pada tanggal 28 Oktober 1970 ia dijatuhi hukuman bersyarat satu tahun penjara
dengan masa percobaan dua tahun. 8
Sejak tahun 1940, H.B. Jassin telah mulai membina sebuah perpustakaan pribadi.
Pengalaman admisitrasinya selama ia magang di kantor Asisten Residen di Gorontalo sangat
berguna bagi pendokumentasian buku. 9
Pada tanngal 30 Mei 1970, lahirlah Yayasan Dokumentasi Sastra H.B Jassin yang
menggantikan Dokumenrasi Sastra, Sejak akhir September 1982 s/d sekarang bangunan itu
berdiri dan menempati areal seluas 90 meter persegi dalam komplek Taman Ismail Marzuki,
jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat. 10
C. Profesi dan Prestasi
7
Hans Bague Jassin, Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa UI,
Dokumentasi, h. 2 8
Hans Bague Jassin, Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa UI,
Dokumentasi, h.2 9
Hans Bague Jassin, Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa UI,
Dokumentasi, h. 2 10
Hans Bague Jassin, Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa UI,
Dokumentasi, h.2 29 Profesi :
¾ Sekretaris redaksi Pujanggan Baru (1940-1942).
¾ Penasehat Balai Pustaka
(1940-1952), Gapura (1949-1951), Gunung Agung (1953-1970),
Nusantara (1963-1967), Pustaka Jaya (1971-1972), dan Yayasan Idayu (1974-1992).
¾ Redaksi penyusun Daftar Pustaka Bahasa dan Kesusastran Indonesia (1969-1972).
¾ Redaksi penyusun buku dr. Irene Hilgers-Hesse (editor), Perlenim Reisfeld (1972).
¾ Redaksi penyusun Almanak sastra Indonesia I Daftar Pustaka (1972).
¾ Penasehat Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1973-1982). 11
Prestasi :
¾ Tokoh Pembukuan Nasional (2 Mei 1996)
¾ Penghargaan dari pengurus pusat IKAPI atas jasa-jasanya kepada perbukuan di Indonesia (17
Oktober 2000) 12
D. Karya Tulis
¾ Tifa Penyair dan Daerahnya (1952),
¾ Kesusastraan Indonesia Modern Dalam Kritik dan Esei I-IV (1954),
¾ Heboh Sastra 1968 (1970),
¾ Sastra Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia (1983),
¾ Pengarang Indonesia dan Dunianya (1983),
¾ Surat-Surat 1943-1983 (1984),
¾ Sastra Indonesia dan Perjuangan Bangsa (1993),
11
Hans Bague Jassin, Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa UI,
Dokumentasi, h.2 12
Hans Bague Jassin, Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa UI,
Dokumentasi, h.3 30 ¾ Koran dan Sastra Indonesia (1994),
¾ Darah Laut : Kumpulan Cerpen dan Puisi (1997),
¾ Omong-Omong HB. Jassin (1997) 13
13
Hans Bague Jassin, Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa UI,
Dokumentasi, h. 3 30 BAB IV
ANALISIS TERJEMAHAN AL-QURAN H.B. JASSIN BACAAN MULIA;
Studi Terhadap Konteks Ayat-ayat tentang Non-Muslim
A. Ayat-ayat tentang non-muslim
Ayat tentang non-muslim tentunya sangat menarik untuk di kupas. Sebab dalam ayat tersebut
telah terjadi pro-kontra terhadap penafsirannya. Telah di singgung di awal bahwa sudah terjadi
perdebatan antara ulama klasik dan modern terhadap penafsiran tentang ayat non-muslim antara
boleh dan tidak membolehkan seorang non-muslim menjadi pemimpin.
Sebut saja Muhammad Al-Ghazali dan Al-Ghanausy ulama ternama asal Mesir dan
Tunisia yang sering dianggap beraliran keras, mencoba mengapresiasi non-muslim dalam
konteks politik modern. Menurut Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya at-Ta’ashshub wa AtTasamuh bin al-Masihiyyah wa al-Islam, masyarakat Islam dibina atas prinsip toleransi, kerja
sama, dan inklusivitas. Ia menegaskan bahwa umat Yahudi dan Kristen yang bersedia hidup
berdampingan dengan umat Islam “ sudah manjadi orang-orang Islam, dilihat dari sudut pandang
politik dan kewarganegaraan.” Hal ini karena hak dan kewajiban mereka sama dengan hak
kewajiban kaum muslimin. Sementara itu, Al-Ghanausi, ulama asal Tunisia, mengatakan bahwa
kewarganegaraan tidaklah berdasarkan agama. Kelompok minoritas non-muslim memiliki hak
yang sama dengan umat Islam. Prinsip-prinsip yang diajarkan umat Islam seperti keadilan dan
persamaan berlaku bagi seluruh warga negara, baik muslim maupun bukan. Dalam surat AlMaidah ayat 57 disebutkan:
30 31 “ Hai orang-orang yang beriman! Janganlah ambil sebagai pembela dan penolong yang
menjadikan agamamu bahan ejekan dan permainan, yaitu sebagian orang-orang yang menerima
kitab sebelum kamu dan orang-orang kafir tapi bertakwalah kepada Allah jika kamu sungguh
beriman.” 1
Ash-Shabuny menafsirkan ayat ini sebagai ayat yang melarang menjadikan orang-orang
kafir ataupun musyrik termasuk Yahudi dan Nasrani, sebagai pemimpin. Dalam hal ini, tentu
saja maksudnya adalah pemimpin publik. 2 Interpretasi senada juga dilakukan oleh Musthafa AlMaraghy. Tak mengherankan kemudian, jika ayat ini dijadikan justifikasi sebagai umat muslim
untuk tidak menghendaki dan mau di pimpin oleh non-muslim terutama dalam urusan-urusan
publik. Terlebih lagi jika kita lihat kepada ayat-ayat lain yang berunsur tentang non-muslim.
Pada QS. Al-Maidah ayat 51 Allah berfirman :
⌫
☺
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
sebagai sahabat dan pelindung. Mereka saling melindungi yang satu terhadap yang lain. Dan
1
H.B.Jassin,, Bacaan Mulia, h. 152 2
Muhammad Ali ash-Shabuny, Syafwat at-Tafasir, Beirut: Dar al-Fikr, 1976, h.351 32 barang siapa diantara kamu berpaling kepada mereka, ia pun termasuk golongan mereka.
Sungguh, allah tiada memberi bimbingan kepada kaum yang zolim. " 3
Dalil penguat terhadap tidak dibolehkannya non-muslim menjadi seorang pemimpin
adalah Surat Ali-Imran ayat 28-30:
☺
☺
⌧
☺
“(28) Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. Dan Allah memperingati kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah
kembali (mu).” 4
☺
☺
⌦
3
H.B. Jassin, Bacaan Mulia, h. 151 4
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 80 ⌧
33 29) Katakanlah: “Jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam hatimu, atau kamu
melahirkannya, pasti Allah mengetahui.” Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apaapa yang ada di bumi. Dan Allah maha kuasa atas segala sesuatu. 5
☺
☺
☺
(30) “Pada hari ketika tiap-tiap dir mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu juga kejahatan
yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan allah sangat penyayang kepada hamba-hambanya. 6
Sedangkan beberapa ahli syariah modern menolak penafsiran di atas. Menurut Amin Rais
sebagaimana kebebasan berbicara, beragama, kebebasan berkehendak, bebas dari ketakutan, dan
seterusnya yang dijamin sepenuhnya dalam Islam, hak non-muslim dalam Islam untuk menjadi
menteri dan menduduki jabatan-jabatan pemerintah lainnya juga diakui. Namun Islam tidak
memberikan hak kepada non-muslim untuk menjadi kepala negara. Perbedaan ini menurutnya
hanya menujnjukkan bahwa Islam tidak munafik, sebagaimana negara-negara demokrasi Barat
yang mempersamakannya secara konstitusi, tetapi tidak dalam kenyataan. Karenanya, Islam
memberlakukan syarat secara the jure dan de fakto bahwa kepala negara harus merupakan
anggota dari mayoritas.
Pandangan yang sama, bahkan lebih leberal dimunculkan mantan Presiden RI ke-4 KH.
Abdurrahman Wahid. Baginya, non-muslim adalah warga negara yang memiliki hak-penuh,
5
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 80 6
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 80 34 termasuk hak untuk menjadi kepala negara di negara Islam. Ia tidak setuju penggunaan QS. Al
Maidah ayat 57, dijadikan sebagai alasan untuk menolak hak non-muslim menjadi kepala
negara. 7
Resistensi negara-negara muslim terhadap presiden non-muslim sangat mungkin
dipengaruhi oleh pemahaman ideologi klasik Islam dalam bidang politik dan pemerintahan yang
dalam literatur Sunni klasik disebut konsep negara khilafah seperti yang telah saya sebutkan di
atas. Dalam negara khilafah, peran khalifah sebagai pemimpin negara begitu besar, karena
khalifah mengatur dua masalah sekaligus yaitu urusan agama dan urusan dunia. Misalnya dalam
urusan dunia di bidang politik, kekuasaan khalifah memegang 3 (tiga) fungsi sekaligus yaitu
eksekutif, legislatif dan yudikatif, sedangkan dalam urusan agama, khalifah menjadi imam
shalat, khatib di khutbah jum’at, idul fitri maupun idul adha dan menjadi pemimpin rombongan
haji. Ini berarti peran khalifah begitu sentralistik, ini membuat rakyat yang dikuasainya begitu
tergantung olehnya karena mengurusi dua hal sekaligus yaitu agama dan dunia. 8 Berdasarkan
pemahaman ini, corak kepemimpinan yang terbentuk adalah individual yang mengharuskan
kepala negara di mayoritas muslim itu juga cukup dan menguasai seluk beluk ajaran agama
(islam). Sesuatu yang tidak mudah dipenuhi oleh para pemimpin non-muslim. 9
Di samping itu, sikap mayoritas muslim di negara muslim tersebut yang masih tidak lepas
(baca : taqlid) dari pemikiran para “juris” Islam klasik yang membuat konsep politik Islam
begitu rigid, tertutup, terlebih lagi anti pluralistik sehingga konsekuensinya membatasi hak
7
Sukron Kamil,dkk, Syariah islam dan HAM, h. 72 8
http:www.//multiply.com/journal/item/67.diakses pada tanggal 23 April 2010 9
http:www.//multiply.com/journal/item/67.diakses pada tanggal 23 April 2010 35 politik non-muslim termasuk menjadi Presiden. Asumsi masyarakat islam dalam benak para
pemikir politik Islam itu adalah masyarakat homogen, yang menjadikan non-muslim warga kelas
dua, dengan relasi sosial searah bukan “resiprokal” atau “timbal-balik” dan dibalut dalam
bingkai konflik, bukan dalam bingkai persamaan dan kesetaraan.
Pendapat yang pasti kenapa presiden non-muslim tidak dibolehkanya adalah dari
penyalahgunaan tafsir tentang Al-Qur’an dan As-sunnah, sehingga sebagian besar muslim baik
klasik maupun kontemporer “mengunci” ayat-ayat Al-Qur’an yang secara jelas melarang nonmuslim sebagai pemimpin sebagai sebuah hal permanen, tidak dipengaruhi dinamika sejarah (ahistoris) dan steril dari konteks. Sebut saja misalnya :
☺
☺
⌧
☺
“Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah
kembali (mu).” (Q.S Ali Imran : 28) 10
Dari penafsiran ayat di atas diketahui bahwa kata “Wali” jamaknya auliyaa berarti teman yang
akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong.
10
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 80 36 ⌫
☺
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
sebagai pemimpinmu; sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain.
Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang
itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orangorang yang zalim.” (Q.S Al Maa-idah : 51) 11
Masih banyak yang lain, dengan redaksinya hampir sama yaitu larangan menjadikan non-muslim
menjadi pemimpin.
Tentu tugas para pemikir Islam liberal untuk “memutus” monopoli tafsir atas Islam yang
cenderung ekstrim itu sekaligus “memecah” kebuntuan ijtihad dengan re-interpretasi,
desakralisasi ayat-ayat larangan tadi agar sesuai dengan konteks dan spirit zaman. Menurut
Abdullahi Ahmad Naim pemikir Islam asal Sudan, ayat-ayat larangan ini konteks turunnya
adalah “Madaniyah”, ketika perang antara muslim dengan non-muslim sedang bergejolak,
sehingga “spirit” yang diusungnya beraura diskriminatif bahkan bernada benci. Dalam sosiologi
hukum dikatakan bahwa hukum merupakan dinamika sosial-kultural-politik, yang keberadaanya
harus disesuaikan dengan dinamika masyarakat kontekstual. Oleh karena itu, dalam konteks
masyarakat kontemporer di mana Hak Azasi Manusia (HAM) sudah diterima di seluruh negeranegara dunia, berkembangnya prinsip multikulturalisme serta demokrasi, maka segala produk
11
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 169 37 hukum yang mencantumkan diskriminasi terhadap minoritas harus tertolak baik secara moral
maupun praksis.
Sebagai gantinya, perlu dikembangkan spirit “ayat-ayat Makkiyah” yang menekankan
persamaan universal di antara sesama manusia, dan perlu juga di tekankan perihal ayat-ayat yang
menyuruh menegakkan keadilan kepada sesama manusia, karena merupakan prinsip ajaran Islam
yang diterima sebagai sebuah etika universal oleh manusia di seluruh dunia. Allah berfirman:
⌧
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S Al Hujuraat : 13) 12
☺
12
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 847 38 “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S Al Mumtahanah: 8) 13
Konteks Indonesia
Beruntung dalam konstitusinya Indonesia, pertama : tidak menjadikan Islam sebagai satusatunya agama resmi negara, kedua : tidak mencantumkan syarat bahwa presiden RI harus
seorang muslim. Ini artinya, jabatan presiden terbuka bagi siapa saja, dengan latar belakang apa
pun, asal warga negara Indonesia.
Tetapi dalam kenyataan politik, presiden Indonesia adalah jabatan “ekslusif” yang hanya
diduduki oleh orang-orang dengan latar belakang tertentu berdasarkan tradisi, misalnya
banyaknya anggapan bahwa presiden Ri harus “orang Jawa”, atau presiden RI harus “orang exmiliter.”
Kesan ini juga begitu kuat terjadi di Amerika Serikat (AS), sulit membayangkan presiden
berasal dari “ras kulit hitam”, karena berdasarkan sejarah pemilihan presiden yang sudah lebih
dari 100 tahun, tak pernah terpilih presiden AS kulit hitam.
Saat ini, ada kecenderungan menarik dalam masyarakat global yang terus diguyur
“modernisasi”, di mana kepercayaan masyarakat akan suatu mitos berangsur mulai terkikis
termasuk dalam soal pilihan politik. Di Indonesia mulai muncul “gebrakan” yang mencoba
“memecah” stagnasi suksesi politik dengan memunculkan ide-ide yang bertentangan dengan
mitos selama ini, misalnya presiden bukan orang Jawa, presiden muda, presiden dari calon
13
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 924 39 independen. Hal serupa terjadi di AS, hiruk-pikuk elektoral warga negeri paman sam ini makin
meriah dengan munculnya fenomena “Barack OBAMA”, seorang Capres muda, berasal dari ras
kulit hitam–meskipun isue rasial masih dikedepankan oleh warga AS dan berpotensi menjegal
Barack Obama untuk “lenggang-kangkung” menuju Gedung Putih.
Pertanyaannya sekarang, bagaimanakah penerimaan publik Indonesia, terhadap presiden
non -muslim. Menurut Denny J.A “dukun politik” dari OHIO State University sekaligus
“dedengkot” Lingkaran Survey Indonesia (LSI) berdasarkan hasil survei menunjukkan bahwa
pemilih tidak mempermasalahkan latar belakang etnis maupun profesi dari presidennya, entah itu
jawa-non jawa, militer atau sipil, pengusaha atau politisi dan seterusnya, tetapi ketika ditanya
tentang latar belakang agama, mayoritas mengharuskan presidennya adalah Islam.
Ini menunjukkan bahwa agama masih menjadi persoalan para pemilih. Meskipun dalam
konstitusi tidak disebutkan syarat agama presiden, tetapi secara “defacto” masyarakat Indonesia
yang mayoritas muslim ini menginginkan presidennya juga seorang muslim. Adalah menjadi
sulit dibayangkan, jika indonesia dipimpin seorang non-muslim, tetapi di atas itu semua, syarat
yang paling krusial untuk menjadi presiden adalah keahliannya dalam memimpin bangsa serta
integritas (moralitas pribadi) seperti amanah, adil, jujur, tegas, bertanggung-jawab, dan
seterusnya.
Jika syarat krusial ini ditegakkan tentu siapa saja yang kompeten dan pantas bisa
memilikinya, terlepas orang tersebut berasal dari etnis, profesi, usia, gender, maupun agama
tertentu. Bukan tidak mungkin, “sang Ratu Adil” itu malah berasal dari non-muslim. Apakah
mayoritas muslim Indonesia akan menolaknya ?–seperti juga yang dialami AS ketika John. F
Kennedy, satu-satunya Katolik Roma yang terpilih menjadi presiden yang ke-35, mengalahkan
40 kandidat capres dari masyarakat protestan yang mayoritas. Kejadian ini bukan tidak mungkin
terjadi di Indonesia. 14
B. Terjemahan Al-Quran H.B. Jassin dalam bukunya Bacaan Mulia
Berawal dari acara tahlilan paska meninggalnya istri HB Jassin, terdetik dalam pikiran beliau
untuk membuat sebuah terjemahan al-Qur'an ke bahasa Indonesia yang bisa mewakili keindahan
sastrawi bahasa aslinya, Arab. Lalu terbitlah Al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia pada tahun 1977.
Secara format, buku Jassin ini tidak ada bedanya dengan Al-Qur'an dan terjemahannya
yang diterbitkan oleh Departemen Agama. Di sisi kanan halaman ada teks al-Qur'an dan di sisi
kiri, terjemahannya. Yang berbeda adalah gaya terjemahannya. Terjemahan terbitan Depag
dikerjakan oleh para pakar tafsir dan sastra Arab terkemuka di Indonesia. Hasilnya: sebuah
terjemahan yang biasa, layaknya terjemahan buku Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia.
HB Jassin tidak mempunyai basis kemampuan bahasa Arab apalagi tafsir. Beliau hanya
seorang Paus Sastra Indonesia (menurut Gauis Siagian) atau Wali Penjaga Sastra Indonesia
(menurut Prof AA Teeuw). Dalam usaha penulisan buku ini, HB Jassin amat terbantu dengan
adanya terjemahan al-Qur'an ke dalam bahasa Inggris, bahasa yang cukup di kuasainya. Di
antaranya, terjemahan karya seorang muallaf, Sir Marmaduke Pickthall dan seorang Pakistan
Muhammad Jusuf Ali. Terjemahan Jusuf Ali adalah terjemahan Al-Qur'an ke Bahasa Inggris
terbaik dan paling populer hingga saat ini. 15
14
http:www.//multiply.com/journal/item/67.diakses pada tanggal 23 April 2010 15
http://suyuk.blogspot.com/2008/12/hb-jassin-dan-keindahan-sastrawi-al-qur.html 41 Sebagaimana telah kita ketahui sama-sama bahwa kitab suci umat Islam telah
diterjemahkan secara puitis oleh seorang tokoh sastrawan Indonesia H.B. Jassin dengan AlQur’an Karim Bacaan Mulia, dan pada saat ini sedang beredar dengan pesatnya di kalangan
masyarakat Indonesia. 16
Tidak seperti kasus cerpen “Langit Makin Mendung” yang menyebabkan H.B.Jassin
dihadapkan ke pengadilan, kitab “Bacaan Mulia” nya yang sempat mengundang heboh hari-hari
itu ditangani pihak Depag dalam upaya mencari titik pandang antara sang penterjemah dan depag
yang berkompeten dengan segala hal yang menyangkut pengadaan buku-buku agama (Islam)
khususnya Al-Quran Bacaan Mulia.
Kontroversi timbul dilatari 3 sebab. Pertama, H.B. Jassin tidak menguasai bahasa serta
sastra Arab dan bukan seorang pakar tafsir. Bahkan terjemahan sekalipun (apalagi buku tafsir)
membutuhkan 3 hal di atas. Kedua, apa yang dilakukan H.B. Jassin mungkin adalah yang
pertama di dunia. Bagi sebagian orang itu adalah ide jenius. Sebuah invention. Bagi sebagian
lain, itu adalah bid'ah yang tidak punya rujukan atau basis dalil, hujjah, reason dari sumbersumber hukum Islam. Ketiga, Al-Qur'an secara jelas "membela dirinya sendiri" lewat ayatayatnya bahwa ia bukan kitab sastra. Meletakkan Al-Qur'an sebagai hanya karya sastra semata
berarti merendahkan Al-Qur'an itu sendiri. Fungsi utama Al-Quran adalah sebagai petunjuk bagi
umat manusia.
Para diskusan setuju bahwa karya Jassin ini bermaksud menyampaikan ketinggian
sastrawi Al-Qur'an kepada bangsa Indonesia yang tidak menguasai sastra Arab.
16
H. Oemar Bakri, Polemik terjemahan Al-Qur’anul karim Bacaan Mulia H.B. Jassin, Jakarta 42 Dari keseluruhan polemik yang kemudian mencuat, semuanya mengerucut pada
keberatan utama: Jassin bukan pakar tafsir karena itu ia tidak pantas menulis sebuah terjemahan
Al-Qur'an sekalipun. Apa yang di lakukan Jassin sebenarnya bukan hal yang benar-benar baru.
Sayyid Qutb pernah menerbitkan Tafsir Fi Dzilaalil Qur'an. Latar belakang pengetahuan sastra
Arab SQ membuat tafsir tersebut cendrung sastrawi. Di abad keemasan Islam, dikenal juga
tafsir-tafsir yang indah, semacam Tafsir Ibn Araby, Tafsir al-Ma'ani. Juga tafsir yang membahas
satu demi satu kosa kata Al-Quran. 17
Berkaitan dengan terjemahan Al-Quran karya H.B. Jassin mengenai ayat-ayat nonmuslim, maka dapat kita ketahui bahwa ketekunan Jassin dalam menelaah sebuah karya sastra,
menterjemahkan karya-karya sastra dari berbagai dunia (Arab Belanda, Perancis dan Inggris)
sudah bukan rahasia lagi. Jassin memang menempatkan profesi itu sebagai pilihan dan jalan
hidupnya yang pada akhirnya mengantarkannya sebagai salah seorang sedikit dari orang
Indonesia yang namanya harum dan dikenal secara luas. Terutama dalam bidang seni dan
budaya. Lebih spesifik lagi, bidang kesusastraan.
Lebih dari dua dekade yang lalu, ide kreatif H.B. Jassin untuk menulis Al-Quran dalam
bentuk puisi (Al-Quran Berwajah Puisi) menuai kontroversi yang luar biasa besar.
Membaca Puisi Kitab Suci Oleh: Mohammad Nasih Lebih dari dua dekade yang lalu, ide
kreatif H.B. Jassin untuk membuat terjemahan al-Quran dalam bentuk puisi (al-Quran Berwajah
Puisi) menuai kontroversi yang luar biasa besar. Jangankan membuat terjemahan yang berbentuk
puisi, mengatakan bahwa gaya bahasa dalam sebagian ayat-ayat Al-Quran dalam bahasa aslinya
(Arab) adalah puisi dalam artian seni sastra, dalam pandangan mayoritas umat Islam dan juga
17
http://suyuk.blogspot.com/2008/12/hb-jassin-dan-keindahan-sastrawi-al-qur.html 43 ulama merupakan kekeliruan. Padahal, sesungguhnya kalau Al-Quran dibaca secara benar
(dengan menggunakan teknik-teknik tajwid yang benar), maka irama puitis Al-Quran akan dapat
dirasakan secara jelas oleh pembaca dan pendengarnya, termasuk yang tidak mengetahui artinya
sekalipun. Bahkan dari gaya bahasanya saja sudah nampak ketinggian bahasa Al-Quan yang
menjadi ciri khas puisi.
Kesalahan pandangan bahwa al-Quran bukanlah puisi tersebut terjadi karena kesalahan
dalam memahami dua kata kunci, yakni majnun dan syair (kata-kata turunan-turunannya) yang
terdapat dalam beberapa ayat Al-Quran. Kesalahan pengertian ini di antaranya terjadi dalam AlQuran terjemahan Departemen Agara RI yang menerjemahkan majnun ke dalam bahasa
Indonesia dengan gila. Kemudian, para mufassir (penafsir al-Quran) terutama yang
menggunakan metode ijmali (global) tidak memberikan pengertian yang cukup tentang makna
syir dan majnun. Karena itu, untuk memahami permasalahan ini, kita perlu melihat secara lebih
komprehensif tentang kata-kata majnun dan syair dalam Al-Quran dan konteks sosio-historis
yang menjadi latar belakang turunnya ayat-ayat al-Quran terutama yang berkaitan dengan
masalah ini, sehingga ketika Al-Quran dianggap sebagai puisi atau syair, dalam artian
mempunyai kandungan nilai seni sastra, tidak lagi menimbulkan polemik yang tidak jelas ujung
pangkalnya.
Lebih jauh, kandungan pesan Al-Quran bisa digali dengan sangat enak karena dikemas
dalam bahasa-bahasa sastra yang sangat indah. Mukjizat Nabi-nabi dan Rasul-rasul diutus dalam
konteks masyarakat yang membangga-banggakan sesuatu tertentu yang ada pada mereka.
Misalnya, Nabi Isa datang kepada masyarakat yang mempunyai kemampuan yang tinggi dalam
masalah ketabiban. Profesi sebagai seorang tabib adalah profesi yang sangat prestisius dalam
44 masyarakat kala itu. Maka, Nabi Isa, konon diberikan mujizat berupa kemampuan untuk
menyembuhkan orang buta bawaan, lepra, dan bahkan menghidupkan kembali orang yang sudah
mati. Demikian pula Nabi Musa. Ia diutus kepada masyarakat yang memuja-muja sihir. Maka
oleh Tuhan, Nabi Musa diberi mujizat yang melebihi kemampuan tukang-tukang sihir pada masa
Firaun. Tukang-tukang sihir Firaun mampu mengubah tali-tali yang ada di hadapan mereka
menjadi ular. Nabi Musa lebih dari itu, mampu mengubah tongkatnya menjadi ular yang lebih
besar dan memakan ular-ular hasil sihiran tukang-tukang sihir Firaun. Nabi Muhammad datang
dalam konteks masyarakat yang memuja para penyair dan produk syair mereka. Karena itu, Nabi
Muhammad diberikan mujizat berupa kitab suci Al-Quran, yang mempunyai kandungan dan
nilai sastra yang sangat tinggi yang bisa menandingi ketinggian kemampuan para pujangga Arab
Pagan dalam mencipta karya-karya sastra.
Uraian Ibnu al-Mandhur dalam Kamus Lisbn al-Arab memberikan penjelasan tentang
konteks yang berkaitan dengan kata-kata syair. Toshihiko Izutsu, seorang pakar linguistik, dalam
kajian semantiknya juga menjelaskan kondisi sosio-historis masyarakat waktu itu. Di dalam
masyarakat Arab Pagan, penyair mempunyai kedudukan yang sangat tinggi karena dianggap
sebagai kekayaan dan sekaligus kekuatan suku. Penyair juga dianggap mempunyai kemampuankemampuan lebih yang oleh karena itu dijadikan sebagai pemimpin suku pada masa damai dan
masa perang. Ucapan-ucapannya dipercayai mempunyai kekuatan melebihi serdadu dengan
senjata dan tombak karena mempunyai kekuatan magis yang dapat mengalahkan musuh. Bahkan
lebih dari itu, ketika seorang penyair dari suku tertentu diserang dengan menggunakan syair oleh
penyair dari suku yang lain, maka ia harus membalasnya. Sebab, kalau itu tidak dilakukan, tidak
hanya dia yang dianggap kalah, akan tetapi sukunya pun ikut merasa dan dianggap kalah dan
terhinakan. Mereka berkepercayaan bahwa para penyair dan juga tukang tenung adalah tipe
45 orang-orang yang setiap saat dapat dimasuki kekuatan supranatural yang tak terlihat yang
memberikan inspirasi kepada mereka. Kekuatan supranatural ini biasa disebut dengan jin.
Jadi, syair yang dibuat oleh para penyair pada waktu itu dipandang sebagai hasil
komunikasi antara sang penyair dengan kekuatan supranatural itu, yang oleh masyarakat Arab
diyakini bahwa kekuatan supranatural itu melayang-layang di udara. Demikian juga kata-kata
yang keluar dari tukang tenung yang dipercaya sebagai orang yang bisa meramal, adalah juga
kata-kata yang berasal dari jin yang memberikan informasi kepadanya. Dalam pandangan
mereka juga, jin tidak merasuk kepada sembarang orang, tetapi memilih orang-orang tertentu
yang disukainya. Apabila orang yang disukai itu ditemukan, jin tersebut merasuk ke dalam diri
orang tersebut dan menjadikan orang tersebut sebagai penyambung lidahnya. Orang seperti
inilah yang dimaksud dengan penyair dalam pengertian semantik yang paling awal, yakni orang
yang mempunyai pengetahuan supranatural. Kata syair sendiri menurut Ibn al-Mandhur berasal
dari kata syaara atau syaura, artinya adalah memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang tidak
diketahui oleh orang kebanyakan. Dalam pandangan masyarakat Arab Pagan, setiap penyair
mempunyai jin sendiri-sendiri dan dianggap sebagai teman akrab. Sebab itu, ketika seorang
penyair tidak mampu mengucapkan syair balasan ketika mendapat serangan dari penyair lain,
maka ia akan mengatakan bahwa yang menyebabkannya tidak mampu bukanlah kebodohannya,
akan tetapi karena teman akrabnya tidak mengucapkan kata-kata kepadanya. Dalam konteks
masyarakat seperti inilah Nabi Muhammad di utus. Karena itu, orang-orang yang tidak
mempercayai kerasulan dan kenabiannya, menganggap Nabi Muhammad tak ubahnya penyairpenyair Arab Pagan lainnya.
46 Ketika Nabi Muhammad mewartakan kebenaran kepada mereka yang kebenaran itu
berbeda dengan kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelumnya yang diberikan oleh para
pujangga Arab Pagan, maka mereka mencela dan mengejek Nabi Muhammad bahkan
menentangnya dengan tentangan yang keras. Mereka yang ingkar kepada Nabi Muhammad
berkata: Dia adalah penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaannya (al-Thar: 30), Wahai orang
yang diturunkan Al-Quran kepadanya, sesungguhnya kamu adalah orang yang majnun. (al-Hijr:
6), “dan Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang
penyair majnun ini?” (al-Shopat: 36). Al-Quran berusaha meyakinkan bahwa Nabi Muhammad
bukanlah seorang penyair yang dirasuki jin. Berkat rahmat Tuhanmu, engkau (Muhammad)
sekali-kali bukanlah orang yang majnun (dirasuki jin), (Nun: 3). “Apa yang diucapkan oleh Nabi
Muhammad tersebut sesungguhnya bukan berasal dari kekuatan supranatural atau jin, melainkan
berasal dari Allah, Tuhan penguasa segala alam.” Dan Al-Quran itu bukanlah perkataan seorang
penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Dan bukan pula perkataan seorang tukang
tenung. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.” (al-Habqqah: 41-42). Dari uraian di atas,
persoalannya menjadi jelas bahwa sesungguhnya yang ingin ditegaskan oleh Al-Quran adalah
bahwa Nabi Muhammad dan Al-Quran tidaklah sama dengan pujangga-pujangga Arab dan
produk-produk syair mereka. Dan dengan demikian, apabila Al-Quran disebut sebagai puisi
adalah sesuatu yang sama sekali tidak salah, karena kenyataannya memang demikian. Ketika
kitab tejemahan “Bacaan Mulia” dilemparkan ke pasaran, komentar dan kritik tajam secara
gencar dialamatkan atas diri Jassin. Sejumlah nama yang berkualitas sebagai ahli maupun bukan
ahli di bidang Islam, khususnya ahli tafsir, juga diantaranya orang-orang awam yang buta
tentang apa yang sebenarnya belum mereka fahami ikut-ikutan menyerangnya.
47 Seorang yang bergelar ‘raja’ kritik dikritik habis-habisan. Lalu apa yang dilakukan Jassin
dalam situasi diserang seperti itu?
“Saya kaji berulang-ulang Bacaan Mulia terjemahan saya itu. Setiap waktu, kapan saja, di
mana letak kekurangannya? Saya cari dan kemudian saya kumpulkan kritik dan komentarkomentar yang dimuat di media massa dan saya jadikan pegangan untuk merenung.” Kata H.B.
Jassin mengisahkan peristiwa beberapa tahu lalu yang justru membuatnya semakin jauh
mendalami kandungan Al-Quran. “Malah akhirnya saya terseret lebih dalam memasuki dunia
Islam dengan kesadaran dan perhatian yang total”, ujar Jassin.
Bersamaan dengan itu, muncullah tokoh agama yang cukup masyhur namanya untuk
tampil membela H.B.Jassin. tokoh itu adalah Abuya Hamka (almarhum) yang juga seorang
sastrawan sekaligus pemuka agama. “Karena berawal dari niat ikhlas, tidak niat sama sekali
berharap keuntungan financial dari kerja menerjemahkan “Bacaan Mulia” itu, tegas H.B. Jassin.
“Akhirnya setelah saya dihadapkan pada suatu tim dari Depag. “Bacaan mulia” diperbolehkan
tetap beredar.” 18
Masalah teknis penterjemahan bukanlah masalah kecil. Beberapa perbedaan pemahaman
ayat sendiri, sebagaimana biasanya, sudah cukup menimbulkan debat ilmiah. Ditambah lagi
dengan kenyataan, bahwa yang melakukan penterjemahan justru seorang doktor sastra Indonesia.
Tokoh ini sama sekali tidak dikenal dalam bidang ilmu-ilmu Al-Quran, juga mengaku bukan ahli
dalam bahasa Arab. Tak heran bila pembanding ceramah, Drs. H. Husin Abdul Mu’in yang
sehari-harinya Kepala Perwakilan Departemen Agama Sumatra Selatan, disamping dengan
18
Pusat Dokumentasi Sastra H.B.Jassin, H.B.Jassin Bahaia Terjemahannya Dibaca Orang, Jakarta 48 sangat simpatik menyatakan penghargaannya kepada niat yang ikhlas dari penterjemah, juga
memberi semacam usul yang halus untuk berhati-hati.
Para ustadz yang yang banyak pengetahuan, memang kelihatan berusaha untuk tetap
berlapang fikiran. Namun agaknya ada persoalan: sebagian sumber-sumber bandingan Jassin, di
samping kitab-kitab tafsir bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dari dunia Islam, juga buah
tangan dari penterjemah Barat, yang sebagiannya diketahui tidak beragama Islam. Sehingga
timbul pertanyaan, apa sih perlunya ‘puitisasi’ itu dalam penerjemahan Qu’ran?
Alasan Jassin diberikan secara sederhana. Terjemahan yang sudah dikerjakan orang
dalam bahasa Indonesia (menurut Jassin sudah berjumlah kira-kira 10) semuanya ditulis dalam
bahasa prosa. Dan hal itu “tidak mengherankan, karena yang dipentingkan oleh para penterjemah
yang ada pada umumnya adalah guru-guru agama, ialah kandungan kitab suci itu”. Padahal
sebenarnya bahasa Qur’an sangat puitis dan ayat-ayatnya “dapat disusun sebagai puisi dalam
pengertian sastra” walaupun dalam setiap mushaf (buku Qur’an) ayat-ayat itu “secara visuil
disusun sebagai prosa”.
Maka tampaklah Jassin memandang ‘prosa’ dan ‘puisi’ pertama kali dari segi visual, dari
segi tata muka. Ia sendiri menyatakan bahwa perbedaan sebuah puisi dari prosa biasanya lantaran
puisi disusun “tidak baris demi baris yang panjangnya memenuhi muka halaman, akan tetapi
baris demi baris yang panjangnya memenuhi sebagian muka halaman saja”. Ia memberi contoh
surah Yusuf ayat 3 biasanya diterjemahkan begini:
49 “Kami ceritakan kepadamu kisah yang paling indah dengan mewahyukan kepadamu
(bagian) kurban ini, meskipun kamu sebenarnya orang yang tiada sadar (akan
kebenaran)”.
Dan dengan susunan berikut ia menjadi puisi:
“Kami ceritakan kepadamu kisah
Yang paling indah
Dengan mewahyukan kepadamu
(bagian) Qur’an ini,
Meskipun kamu sebelumnya orang
Yang tiada sadar
(akan kebenaran).
Sudah tentu sebagimana di katakan Jassin, tidak semua baris prosa bisa di rubah menjadi
puisi dengan hanya merubah susunan. Namun dengan cara pendekatan itu, apakah ‘puisi’ seperti
dimaksud Jassin? Sementara Jassin mengatakan bahwa bahasa Qur’an sangat puitis, puisi Qur’an
itu justru tidak diungkapkan dalam kalimat terpotong-potong. Dengan kata lain, puisi Qur’an
tidak sekedar kalimat terpotong-potong. Tapi pengertian ‘puisi’ sebagai bentuk susunan kalimat
itulah yang sering dipakai para “penterjemah puitis” yang sudah lebih dulu mencoba seperti
Mohammad Diponegoro atau Djamil Suherman. Lebih-lebih Abdullah Yusuf Ali, Beirut yang
menurut Jassin merupakan penterjemah puitis yang paling indah, dan yang mendorong dia
melakukan hal serupa dalam bahasa Indonesia.
50 Sudah tentu perasaan ‘enak’ dan ‘tidak enak’ terhadap sesuatu terjemahan hampir selalu
bersifat relatif. Tapi justru sebagian orang mengatakan bahwa diukur dengan citarasa puisi,
terjemahan Yusuf Ali justru kalah indah dibanding terjemahan Mohamad Marmaduke Pickthall
yang disusun secara ayat aslinya. Sebab mungkin saja, lebih dari Yusuf Ali, Pikchall berangkat
dari penguasaan terhadap citarasa bahasa aslinya lantas menuangkan ke dalam terjemahan
berdasar penguasaan citarasa bahasa Inggris, tanpa bertolak dari pola bentuk yang lazim disebut
syair atau sajak. Karena bertolak dari bentuk itulah nampaknya salah satu alasan mengapa
Mohamad Diponegoro menyebut hasil karyanya (terjemahan juz XXX, dan belum diterbitkan)
sebagai ‘puitisasi terjemah Qur’an dan bukan terjemah puitis Qur’an’. Tetapi barang kali
menarik bahwa dengan berpijak pada citarasa dan suasana asli, dalam arti menghadapi Qur’an
sebagai “karya puisi”, akan melahirkan hasil yang bisa jauh berbeda dari terjemahan lazim.
Antara lain: terjemahan tidak lagi akan ‘mengguru-gurui’ atau ‘lebih mementingkan kandungan
makna semata-mata’ menurut istilah Jassin. Sudah diketahui bahwa yang selama ini ghalib
disebut terjemahan Qur’an (bukan Tafsir) sebenarnya toh bukan hanya terjemah melainkan plus
keterangan yang hampir selalu diletakan dalam kurung. Sebuah kalimat dalam Qur’an kadangkadang mungkin memang “tidak jalan” menurut logika tatabahasa sehari-hari, tetapi betulkah
keadaan “tidak jalan” tersebut bukan merupakan satu bagian tak terpisahkan dari puisi – dan
karenanya orang haruslah mengangkat seperti aslinya dan kalau perlu memberinya catatan kaki
dalam tafsir? Maka barang siapa melihat terjemahan Jassin – yang sekarang sudah dipenerbit –
maupun terjemahan Yusuf Ali, orang akan tahu bahwa sesungguhnya puisinya hanya bentuk,
bukan semangat, tenaga atau dorongan puitik. 19
19
Pusat Dokumen Sastra H.B.Jassin, H.B.Jassin, Dimana Mulanya Puisi Qur’an, Artikel, Jakarta 51 Dengan lolosnya Al-Qur’an Bacaan Mulia bukan berarti H.B. Jassin sudah memenangkan
suatu perkara lalu boleh berbangga diri. “Tidak, sama sekali jauh dari perasaan bangga. Justru
saya malah bertambah was-was. Bukankah Al-Qur’an itu turun langsung dari Allah? Mengapa
sebagai manusia biasa saya mesti membanggakan diri jika mempelajari, mengkajinya adalah
suatu kewajiban.”
Terlepas dengan meredanya komentar dan kritik tajam yang datang dari pemeluk agama
Islam, karya terjemahan itu sendiri diakui H.B. Jassin memang tidak sama disamakan dengan
terjemahan buku-buku biasa. “Musti dapat dibedakan, antara karya terjemahan sastra dan
Qur’an, “tuturnya. “karena itu, khusus ‘Bacaan Mulia’ ini Jassin membuka diri untuk dikritik,
dinasehati demi kebanaran yang Haq dari Al-Qur’an itu sendiri”.
H.B. Jassin mengaku mempelajari Al-Quran sejak masih kanak-kanak di kampungnya,
Gorontalo. Ketika berusia 5 tahun, Jassin acap mendengarkan neneknya yang menghabiskan
waktunya dengan membaca Al-Qur’an. 20
Puitisasi Al-Qur’an dalam karyanya berjudul Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia yang
diterjemahkan sejak 1962 menimbulkan kontroversi terutama di kalangan umat Islam.
Sebenarnya Jassin tidak bermaksud untuk membuat tafsiran baru tentang mana-makna yang
terkandung dalam Al-Qur’an. Dia hanya ingin menyajikan Al-Qur’an dengan gaya yang berbeda
yang menurutnya lebih indah dengan cara menyususn penulisan ayat-ayat Al-Quran maupun
artinya dengan pola yang biasanya digunakan dalam penulisan puisi sehingga menimbulkan
irama tertentu, bukan arti tertentu.
20
Jakarta Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, HB. Jassin Bahagia Terjemahannya Dibaca Orang, Artikel,
52 Untuk beberapa lama, kontroversi puitisasi Al-Qur’an menimbulkan polemik di berbagai
media, bahkan pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terpaksa turun tangan untuk
menberikan penjelasan dan Jassin harus melakukan roadshow ke sejumlah ulama dan pesantren
untuk memberikan pengertian seputar terbitnya Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia. 21
Dalam menerjemahkan Al-Qur’an, Jassin mengatakan “apa yang dikatakan dengan
bahasa Arab dengan kalimat aktif misalnya, bisa saja lebih enak dalam bentuk pasif dalam
bahasa Indonesia, atau sebaliknya.
Mengenai pilihan kata, Jassin tidak terlalu kaku atau terlalu terikat pada bahasa sumber.
Dalam menerjemahkan Max Havelaar Multatuli misalnya, Jassin bersikap: “Sebisa-bisanya saya
mempergunakan bahasa Indonesia percakapan dengan kata-kata yang diambil dari dialek Jakarta,
sebab Multatuli mempunyai gaya yang paling tepat dapat dinyatakan dengan bahasa pergaulan
biasa.”
Begitu pula ketika Jassin mengindonesiakan Al-Qur’an. “Saya banyak mempergunakan
kata-kata yang berasal dari percakapan sehari-hari, kata-kata yang berasal dari bahasa daerah
atau dialek, bahkan dari bahasa semenanjung.”
Kesemuanya itu dilakukan Jassin dengan penuh kesadaran, “demi padanan yang tepat,
atau demi pertimbangan keindahan bunyi, irama dan pengertian”.
Sebagai penerjemah dengan cara dan visi diatas, H.B. Jassin ternyata banyak mendapat
pujian. Moh. Rustandi Kartakusuma misalnya, menjuluki Jassin sebagai “penerjemah yang
baik.”
21
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, H.B. Jassin Paus Sastra Indonesia, Artikel, Jakarta, 2006 53 Dalam kaitannya dengan terjemahan Al-Qur’nul Karim Bacaan Mulia, Hamka berkata:
“Maka dengan usaha DR H.B. Jassin menulis terjemahan Al-Qur’an, dia telah sampai pada batas
yang dia tidak dapat mundur lagi buat seterusnya turut memperkuat perkembangan penyebaran
Islam di tanah air kita bersama-sama dengan temen-temen yang lainnya.”
Sekalipun banyak menerima pujian dari pelbagai pihak, Jassin tetaplah Jassin. Seorang
yang rendah hati. Dalam hubungan terjemah-menerjemah ini misalnya, Jassin tak pernah lupa
pada jasa Armijn Pane. 22
Sebagaimana seorang muslim yang mencintai kitab sucinya, H. Oemar Bakri, seorang
muslim yang mengkritik terhadap terjemahan Al-Qur’an Bacaan Mulia. Beliau menaruh
perhatian terhadap terjemahan puitis tersebut. Tanpa didahului oleh prasangka, beliau mulailah
membaca hasil terjemahan itu. Harapannya semoga terjemahan itu dapat lebih meresapkan
maksud yang tepat dari ayat-ayat Al-Qur’an Karim. Namun pada kenyataannya terjemahan itu
jauh dari harapan tersebut, karena dari melihat-lihat beberapa halaman saja ada yang beliau
temui keganjilan-keganjilan seperti di bawah ini:
1.
Pada halaman 2 terjemahan ayat 3 Al-Baqarah
“yaitu (bagi) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebahagian rizki yang kami anugerahkan kepada mereka”.
22
Eneste Pamusuk, H.B. Jassin Sebagai Penerjemah, PDS H.B. Jassin, Jakarta, 1986 54 Ditulis “(Bagi) mereka yang beriman kepada yang gaib……” ini berarti bahwa Al-Quran adalah
petunjuk bagi:
a. Mereka yang takwa (kepada Tuhan);
b. Mereka yang beriman kepada yang gaib.
Dengan demikian Al-Quran dapat menjadi petunjuk untuk orang bertakwa walaupun
tidak beriman kepada yang gaib, dan seterusnya, dan sebaliknya kepada orang yang
mempercayai saja adanya hari kiamat, walaupun tidak bertakwa kepada Allah.
Demikianlah pengertian dari teks terjemahan tersebut, karena penterjemah mendudukan
“alladziina yu’minuna” sebagai keterangan tujuan yang kedua setelah “lilmuttaqiin”, atau dalam
istilah tata bahasa arab “alladziina” di i’robkan sebagai “athaf” dari “lilmuttaqiin”.
Menurut H. Oemar Bakri ini adalah kesalahan besar dalam Ilmu Nahwu, karena sesuatu
kata yang tidak didahului oleh huruf “athaf”, telah didudukkan saja sebagai “athaf” (keterangan
atau bagian yang kedua dari yang sebelumnya).
Padahal “aladziina” dalam ilmu tata bahasa arab adalah “isim maushul”, yang kalau tidak
ada yang merubahnya dari fungsi sebagaimana aslinya, berfungsi sebagai penghubung. Kalimat
yang sesudahnya dinamakan “shilah” (keterangan lebih lanjut dari kata-kata sebelumnya
(maushulnya), bukan sebagai bagian yang terpisah atau berdiri sendiri dari maushulnya.
Dengan demikian isi ayat tersebut telah dipecah oleh penterjemah, karena kesalahan
dalam menetapkan fungsi suatu kata atau anak kalimat dari ayat-ayat Al-Quran yang berbahasa
Arab itu.
55 2.
Kata-kata “huda” kadang-kadang diterjemahkan dengan “pimpinan” seperti pada ayat 16
surat Al-Baqarah.
☺
⌧
Kadang-kadang dengan “petunjuk”, seperti pada ayat 2 surat yang sama. Dan dengan
“bimbingan” seperti pada ayat 175 pada surat tersebut.
Karena dalam ayat 16 surat Al-Baqarah, terjemahan yang dipilih untuk kata-kata “huda” adalah
“pimpinan”, sehingga terjemahan itu berbunyi: “merekalah yang menukar pimpinan dengan
kesesatan”, maka keindahan “muqabalah” (memakaikan kata-kata yang berpasangan dalam satu
kalimat) akan menjadi rusak. Bukankah pasangan yang lebih tepat adalah “petunjuk”?.
3.
Pada ayat 44 surat Al-Baqarah
⌧
“watansauna anfusakum” diterjemahkan dengan “sedangkan kamu sendiri lupa”
Sedangkan jika kita lihat pada terjemahan yang biasa, yaitu:
56 “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri
(kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu
berpikir?”
Dengan demikian isi ayat tersebut telah dipecah oleh penterjemah, karena kesalahan dalam
menetapkan fungsi suatu kata atau anak kalimat dari ayat-ayat Al-Quran yang berbahasa arab itu
Adapun permasalahan yang sedang diperbincangkan, yakni penafsiran yang beragam
tentang terjemahan ayat-ayat non-muslim. Jika kita lihat beberapa ayat yang berhubungan
dengan non-muslim misalnya yang tertera pada surat Al-Maidah ayat 51:
⌫
☺
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi pemimpin-pemimpinmu; sebahagian mereka adalah pemimpin-pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpi maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang dzalim." 23
Hal tersebut di atas merupakan terjemahan dari Al-Qur’an terjemahan Depag. Kita bandingkan
dengan terjemahan karya H.B.Jassin:
23
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 169 57 “Hai orang yang beriman! Janganlah kamu ambil orang Yahudi dan Nasrani sebagai sahabat
dan pelindung. Mereka saling melindungi Yang satu terhadap yang lain. Dan barang siapa di
antara kamu berpaling kepada mereka, Ia pun termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tiada
memberi bimbingan kepada kaum yang zalim.” 24
Kemudian ayat 57 pada surat yang sama terjemahan Depag:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang
yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang
telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan
bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang yang beriman.” 25
Lain halnya terjemahan karya H.B. Jassin:
“Hai orang yang beriman! Janganlah ambil sebagai pembela dan penolong orang yang
menjadikan agamamu bahan ejekan dan permainan, (yakni) sebagian orang yang menerima
Kitab sebelum kamu, dan orang yang kafir. Tapi bertakwalah kepada Allah, jika kamu (sungguh)
beriman.” 26
24
H.b. Jassin, Bacaan Mulia, h.151 25
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 170 26
H.B. Jassin, Bacaan Mulia, h.152 58 Selanjutnya kita lihat juga pada surat Al-Mumtahanah ayat 8-9 versi Depag:
☺
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”(8)27
☺
☺
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang
memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain)
untuk mengusirmu. Dan barang siapa yang menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka
itulah orang-orang yang zalim.”(9) 28
Maka terjemahan dari Bacaan Mulia adalah:
“Allah tiada melarang kamu berlaku baik dan adil terhadap mereka yang tiada memerangi
kamu karena agama, dan tiada mengusir kamu dari rumahmu. Sungguh, Allah cinta orang yang
menjalankan keadilan.”(8)
27
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 924 28
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 924
59 “Allah hanya melarang kamu bertemen dengan orang yang memerangi kamu karena agama,
yang mengusir kamu dari rumahmu, dan yang membantu (orang) mengusir kamu. Barang siapa
yang menjadikan mereka kawan, mereka itulah orang yang zalim.”(9)
Kemudian pada surat Ali Imron ayat 28-30:
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah
kembalimu.”(28)
“Katakanlah : “Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu
melahirkannya, pasti Allah mengetahui.” Allah mengetahui apa-apa yang ada di bumi. Dan
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”(29) 29
“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebijakan dihadapkan (kehadapannya), begitu
(juga) kejahatan yang telah dikerjakannya, ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada
masa yang jauh, dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan Allah sangat
penyayang kepada hamba-hamba-Nya.”(30) 30
Selanjutmya kita lihat pada terjemahannya H.B.Jassin :
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
29
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h.80 30
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h.80 60 pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah
kembali.”(28) 31
“Katakanlah : “jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu
melahirkannya, pasti Allah mengetahui. Allah mengetahui apa yang ada dilangit dan apa yang
ada di bumi. Dan Allah maha kuasa atas segala sesuatu.”(29) 32
“Pada hari ketika tiap-tiap dirimendapati segala kebajikan kehadapannya, begitu juga
kejahatan yang telah dikerjakannya, ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa
yang jauh, dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dam Allah sangat
penyayang kepada hamba-hamba-Nya.”(30)
Apabila kita lihat perbandingan antara kedua terjemahan tersebut, Penulis kira tidak ada
penyimpangan makna yang dituliskan oleh H.B.Jassin. Permasalahan di sini hanyalah
penggunaan kata-kata. Jassin menggunakan kata-kata yang mudah dipahami serta lebih
mengedepankan letak keindahan kata yang sebenarnya antara perbedaan dalam penggunaan kata
memiliki makna dan maksud yang sama. Misalnya kita lihat pada penggalan terjemahan surat
Al-Maidah ayat 51. Pada terjemahan Depag disebutkan
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu;…….”
Sedangkan dalam terjemahan ‘Bacaan Mulia’ disebutkan:
31
H.B.Jassin, Bacaan Mulia, h.70 32
H.B.Jassin, Bacaan Mulia, h.70 61 “Hai orang yang beriman! Janganlah kamu ambil orang Yahudi dan Nasrani sebagai sahabat
dan pelindung………”
Kita lihat bahwa yang berbeda dari kedua terjemahan diatas adalah terletak pada kata
“menjadi pemimpin-pemimpinmu” dengan “sebagai sahabat dan pelindung”. Menurut penulis
dari kedua terjemahan tersebut tidak ada permasalahan. Hanya saja pada kata “Pemimpin” itu
merupakan hak Eksekutif sedangkan pada kata “Sahabat” tidak. Dalam jiwa seorang pemimpin
harus mempunyai multi fungsi. Pemimpin dapat disebut juga seorang sahabat karna masyarakat
akan menceritakan permasalahannya kepada seorang pemimpin layaknya seorang sahabat.
Sedangkan pemimpin dapat disebut pelindung karna seorang pemimpin adalah orang yang
mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk melindungi rakyatnya.
C. Analisis terhadap kata “Auliya” tentang ayat non-muslim
Setelah Penulis menelaah kebenaran terjemahan Al-Quran karya H.B. Jassin tentang ayat
non-muslim, ada satu hal yang menarik menurut Penulis yaitu pada kata “Auliya” yang
dengannya terjadi banyak terjemahan yang beragam. Maka dari itu, Penulis berkeinginan juga
untuk menganalisis terjemahan pada kata “Auliya”
Dalam Al-Quran dan terjemahannya, oleh Tim Departemen Agama, kata auliya,
diterjemahkan dengan “pemimpin-pemimpin”. Sebenarnya menerjemahkannya demikian tidak
sepenuhnya tepat. Kata auliya adalah bentuk jamak dari kata wali. Kata ini terambil dari akar
kata yang terdiri dari huruf-huruf wau, lam, dan ya yang makna dasarnya adalah “dekat”. Dari
sini kemudian berkembang makna-makna baru seperti pendukung, pembela, pelindung, yamg
62 mencintai, lebih utama, dan lain-lain yang kesemuanya diikat oleh benang merah kedekatan.33
Itu sebabnya ayah adalah orang yang paling pertama yang menjadi wali anak perempuannya,
karena dia adalah yang terdekat kepadanya. Orang yang amat taat dan tekun beribadah dinamai
wali karena dia dekat kepada Allah. Seseorang yang bersahabat dengan orang lain sehingga
mereka selalu bersama dan menyampaikan rahasia karena kedekatan mereka, juga dapat dinamai
wali. 34 Demikian juga pemimpin, karena dia seharusnya dekat kepada yang dipimpinnya.
Demikian dekatnya sehingga dialah yang pertama mendengar panggilan, bahkan keluhan dan
bisikan siapa yang dipimpinnya, dan karena kedekatannya itu dia pula yang pertama datang yang
membantunya. Demikian terlihat bahwa semua makna-makna yang dikemukakan di atas dapat
dicakup oleh kata auliya’.
Thabathaba’i, mufassir Syiah kenamaan itu, ketika menafsirkan ayat ini berbicara
panjang lebar tentang makna auliya’. Antara lain dikemukakannya bahwa kata tersebut
merupakan satu bentuk kedekatan kepada sesuatu yang menjadikan perangkat dan hilangnya
batas antara yang mendekat dan yang didekati dalam tujuan kedekatan itu. Kalau tujuan dalam
konteks ketaqwaan dan pertolongan, makna auliya’ adalah penolong-penolong; apabila dalam
konteks pergaulan dan kasih sayang, maka ia adalah ketertarikan jiwa sehingga wali/auliya’
adalah yang dicintai atau yang menjadikan seseorang tidak dapat tidak kecuali tertarik kepadanya
memenuhi kehendaknya dan mengikuti perintahnya. Kalau dalam kontek hubungan
kekeluargaan, maka wali antara lain adalah yang mewarisinya dan tidak ada yang dapat
menghalangi kewarisan itu, demikian juga ayah dalam perkawinan anak perempuannya. Kalau
dalam konteks ketaatan, maka wali adalah siapa yang memerintah dan harus ditaati
33
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Ciputat: Lentra Hati, 2001). h. 115 34
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 115 63 ketetapannya. 35 Dalam ayat ini ditulis Thabathaba’i Allah swt. Tidak menjelaskan dalam konteks
apa larangan tersebut, sehingga ia dapat dipahami dalam pengertian segala sesuatu. Tetapi karena
lanjutan ayat ini menyatakan bahwa kami takut mendapat bencana, maka dapat dipahami bahwa
kedekatan yang terlarang ini adalah dalam konteks yang sesuai dengan apa yang mereka takuti
itu, yakni mereka takut pada satu ketika akan terjadi bencana yang tidak dapat terelakkan, baik
dari orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mereka jadikan auliya’ itu, maupun dari pihak lain
maka karena itu, mereka harus menjadikan semua pihak auliya’ yang membela mereka sekaligus
temen sepergaulan dengan hubungan kasih sayang. Dari sini Thabathaba’i pada akhirnya
berkesimpulan bahwa kata auliya’ yang dimaksud ayat ini adalah cinta kasih sayang yang
mengantar kepada meleburnya perbedaan-perbedaan dalam satu wadah, menyatunya jiwa yang
tadinya berselisih, saling terkaitnya akhlak dan miripnya tingkah laku sehingga anda akan
melihat dua orang yang sangat mencintai bagaikan seorang yang memiliki satu jiwa satu
kehendak, dan satu perbuatan, yang satu tidak akan berbeda dengan yang lain dalam perjalanan
hidup dan tingkat pergaulan. Inilah tulisnya yang mengantar ayat ini menegaskan bahwa: Barang
siapa diantara kamu menjadikan mereka auliya’, maka sesungguhnya dia termasuk kelompok
mereka. Bukankah kata pribahasa “Siapa yang mencintai satu kelompok, maka ia termasuk
kelompokm itu” dan bahwa “Seseorang akan bersama yang dicintainya”.
Dengan memahami kata yang dibahas ini dalam arti kedekatan cinta kasih, bertemu ayat
diatas dengan firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, jangan lah kamu mengambil
musuh-Ku dan musuh kamu auliya’ kamu menyampaikan kepada mereka (berita-berita Nabi
Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada
kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rosul dan (mengusir) kamu karena kamu
35
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 115 64 beriman kepada Allah, Tuhanmu. (QS. Al-Mumtahanah: 2). Mereka itu pada akhirnya oleh surah
al-Mumtahanah ini disifati dengan orang-orang zalim. “Dan barang siapa menjadikan mereka
auliya, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS. Al-Mumtahanah: 9), sama dengan
sifat yang disebut oleh surah al-Maidah: 51 “Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk pada
orang-orang yang zalim”.
Larangan menjadi non-muslim sebagai auliya’ yang dikemukakan ayat di atas dengan
sekian pengukuhan. Antara lain: 1. Pada larangan tegas yang menyatakan, janganlah kamu
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin; 2. Penegasan bahwa
sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain; 3. Ancaman bagi yang mengangkat
mereka sebagai pemimpin bahwa ia termasuk golongan mereka serta merupakan orang yang
zalim. 36
Di dalam surah al-Baqarah ayat 256 yang berbunyi:
☺
⌧
☺
⌧
Kita telah diberikan pegangan, bahwasanya wali yang sejati, artinya pemimpin, pelindung dan
pengurus orang yang beriman hanya Allah. Di ayat itu Tuhan memberikan jaminannya sebagai
wali, bahwa orang yang beriman akan dikeluarkan dari gelap kepada terang. Dan di dalam ayat
36
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah;Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Ciputat: Lentera Hati,
2001), hal. 115 65 itu juga diterangkan bahwa wali orang yang kafir adalah Thaghut dan Thaghut itu akan
mengeluarkan mereka dari terang kepada gelap.
Kemudian di dalam ayat yang lain kita telah bertemu pula keterangan bahwasanya orang
beriman sesama beriman yang sebahagian menjadi wali dari yang lain, sokong-menyokong,
bantu membantu, sehingga arti wali di sini ialah persahabatan. Maka di dalam ayat yang tengah
kita bicarakan ini, diberikanlah peringatan kepada orang yang beriman, agar mereka jangan
mengambil orang kafir menjadi wali.
Jangan orang yang tidak percaya kepada Tuhan dijadikan wali sebagai pemimpin, atau
wali sebagai sahabat. Karena akibatnya kelak akan terasa, karena akan dibawanya ke dalam
suasana thaghut Kalau dia pemimpin atau pengurus, sebab dia kufur, kamu akan dibawanya
menyembah thaghut. Kalau mereka kamu jadikan sahabat, kamu akan diajaknya kepada jalan
sesat, menyuruh berbuat jahat, mencegah berbuat baik.
Menurut riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Ishaq dan Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim,
bahwa Ibnu Abbas berkata: "Al-Hajjaj bin 'Amr mengikat janji setia kawan dengan Ka'ab bin alAsyraf (pemuka Yahudi yang terkenal sebagai penafsir) dan Ibnu Abi Haqiq dan Qais bin Zaid.
Ketiga orang ini telah bermaksud jahat hendak mengganggu kaum Anshar itu lalu ditegur oleh
Rifa'ah bin al-Mundzir dan Abdullah bin Jubair dan Sa'ad bin Khatamah, supaya mereka
menjauhi orang-orang Yahudi yang tersebut itu. Hendaklah mereka berawas diri dalam
perhubungan dengan mereka, supaya agama mereka jangan difitnah oleh orang-orang Yahudi
itu.
66 Tetapi orang-orang yang diberi peringatan itu tidak memperdulikannya." Inilah kata Ibnu
Abbas yang menjadi sebab turunnya ayat ini. Ada lagi suatu riwayat lain yang dikeluarkan oleh
Ibnu Jarir dan Ibnul Mundzir dan Ibnu Abi Hatim dari beberapa jalan riwayat, bahwasanya tafsir
ayat ini ialah bahwa Allah melarang orang-orang yang beriman bersikap lemah-lembut terhadap
orang kafir dan mengambil mereka jadi teman akrab melebihi sesame orang beriman, kecuali
kalau orang-orang kafir itu lebih kuat daripada mereka. Kalau demikian tidaklah mengapa
memperlihatkan sikap lunak, tetapi hendaklah tetap diperlihatkan perbedaan di antara agama
orang yang beriman dengan agama mereka.
Untuk mendekatkan kepada paham kita, bacalah pula tafsir surat al-Mumtahanah ayat 1
yaitu:
⌧
⌧
☺
☺
☺
⌧
☺
Seorang sahabat Nabi yang terkemuka, pernah turut dalam peperangan Badar, bernama
Hathib bin Abi Balta'ah, seketika Rasulullah saw menyusun kekuatan buat menaklukkan
Makkah, dengan secara diam-diam dan rahasia telah mengutus seorang perempuan ke Makkah,
67 membawa suratnya kepada beberapa orang musyrikin di Makkah, menyuruh mereka bersiapsiap, sebab Makkah akan diserang.
Maksudnya ialah untuk menjaga dirinya sendiri. Sebab kalau serangan itu gagal, dia
sendiri tidak akan ada yang melindunginya di Makkah. Dia tidak mempunyai keluarga besar di
Makkah, seperti sahabat-sahabat Rasulullah saw, yang lain. Dengan mengirim surat itu dia
hendak mencari perlindungan. Syukurlah Tuhan memberi isyarat kepada Rasulullah tentang
kesalahan Hathib itu, sehingga beliau suruh kejar perempuan itu, sampai digeledah surat itu di
dalam sanggulnya. 'Umar bin Khattab telah meminta izin kepada Rasulullah untuk membunuh
Hathib karena perbuatannya yang dipandang berkhianat itu. Untuk kepentingan diri sendiri dia
telah membuat hubungan dengan orang kafir. Perbuatannya itu salah. Sebab dia telah
membocorkan rahasia peperangan, syukurlah suratnya itu dapat ditangkap. Kalau bukanlah
karena jasanya selama ini, terutama karena dia telah turut dalam peperangan Badar, niscaya akan
berlakulah atas dirinya hukuman berat.
Hathib bin Abi Balta'ah termasuk sahabat besar, namun demikian sekali-sekali orang
besar pun bisa terperosok kepada satu langkah yang merugikan negara dengan tidak disadari,
karena lebih mengutamakan memandang kepentingan diri sendiri. Maka dalam surat alMumtahanah ayat 1 diperingatkan supaya orang-orang beriman jangan mengambil orang kafir
menjadi wali, karena menumpahkan kasih-sayang. 37
37
http:www.//multiply.com/journal/item/67.diakses pada tanggal 23 April 2010 67
BAB V
PENUTUP
•
KESIMPULAN
Pada skripsi ini menyimpulkan bahwa di dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang berkaitan
tentang non-muslim diantaranya adalah Surat Al-Mumtahanah: 8-9, Al-Maidah:51,57,68, Ali
Imran:28-30, Al-Hujuraat:13. Pada ayat-ayat tersebut menyebutkan indikasi terhadap larangan
kaum muslim untuk akrab dengan orang non-muslim serta larangan non-muslim dijadikan
seorang pemimpin.
Selanjutnya, terjemahan Al-Quran H.B. Jassin dalam bukunya Bacaan Mulia Khususnya
pada ayat-ayat tentang non-muslim dinilai tidak ada penyimpangan. Sebab jika di bandingkan
dengan terjemahan yang lain, terjemahan H.B. Jassin pada intinya memiliki kesamaan makna
akan tetapi ia lebih menggunakan kata-kata yang lebih sederhana seperti kata pada umumnya
menggunakan kata “pemimpin” akan tetapi H.B. Jassin menggunakan kata “sahabat” dan lain
sebagainya.
Permasalahan yang muncul pada konteks ayat-ayat non-muslim adalah terletak pada
perbedaan terjemah kata ‘Auliya’. Kata ‘Auliya’ adalah bentuk jamak dari kata ‘wali’. Kata ini
makna dasarnya adalah ‘dekat’. Kemudian berkembang makna-makna baru, seperti pendukung,
pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama, dan lain-lain yang kesemuanya diikat oleh
benang merah kedekatan. Demikian terlihat bahwa semua makna-makna yang dikemukakan di
atas dapat dicakup oleh kata ‘Auliya’.
67 68 DAFTAR PUSTAKA
Ali ash-Shabuny, Muhammad,” Syafwat at-Tafsir.” jilid 1, Beirut: Dar al-Fikr, 1976.
Alam, Sei H. Datuk Tombak, “Metode Menerjemahkan Al-Qur’an Al-Karim 100 kali
pandai.” Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Al-Dzahabi, Muhammad Husayn, “Al-Tafsir Wa al-Mufassirin.” tt:tpn,1976
Amal dan panggabean, Politik Syariah. t.t.: t.pt.
Ariyani, Hafidah Fitri, “Pergeseran makna dalam naskah film berbagi suami karya Nia
Dinata.” Proposal penelitian fakultas bahasa dan seni, Universitas Negeri Yogyakarta,
2007.
Ash-Shobuni, Muhammad Ali, “Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis.” Terjemahan Muhammad
Qodiru Nur, Jakarta: Pustaka Amani, 1988.
Bakri, H. Oemar, “Polemik Terjemahan Al-Qur’anul karim Bacaan Mulia H.B. Jassin.”
Jakarta, t.t.
Brislin, R.W., “Translation: Application and Research.” New York: Garden Press Inc, 1976.
Burdah, Ibnu, “Menjadi Penerjemah: Metode dan Wawasan menerjemah teks arab.”
Yogyakarta: Tiara kencana, 2004.
Departemen Pendidikan dan kebudayaan, “Kamus Besar Bahasa Indonesia.” Jakarta: Balai
Pustaka, 1997.
Hanafi, Nurachman, “Teori dan Seni Menerjemahkan.” Ende Flores-NTT: Nusa Indah, 1986.
Hidayatullah, Moch Syarif, “Diktat Teori dan Permasalahan Terjemah.” Jakarta: t.pt. 2007.
Hidayaullah, Moch. Syarif, “Tarjim Al-an; Cara Mudah Menerjemahkan Aran-Indonesia.”
Cet.III, Tangerang: Dikara,2009.
Hoed, Benny Hoedoro, “Penerjemahan dan Kebudayaan.” Jakarta: Pustaka Jaya, 2006.
Jassin, H.B, “Bacaan Mulia.”, Djambatan, 1991.
Jassin, Hans Bague, “Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa
UI.” Dokumentasi, 14 Juni 1975.
68 69 Kamil, Sukron,dkk, “Syariah Islam dan HAM.” Jakarta: CSRC, 2007.
Kridalaksana, Harimurti, “Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa.” Flores: Nusa Indah, 1985.
Larson, Mildred L., “Penerjemahan Berdasarkan Makna: Pedoman untuk Pemadanan
Antarbahasa.” Terjemahan Kencana wati Taniran, Jakarta: Arcan.1991.
Machali, Rochayah, “Pedoman bagi Penerjemah.” Jakarta: Gramedia,2002.
Moentaha, Salihen, “Bahasa dan Terjemahan, Language and Translation the New Millenium
Publication.” Jakarta: Kesaint Blanc, 2006.
Nababan, Rudolf, “Teori Menerjemah Bahasa Inggris.” cet ke-1, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999
Newmark, P., “A Textbook of Translation.” UK: Prentice Hall International, 1988.
Pusat Dokumentasi Sastra H.B.Jassin, “H.B.Jassin Bahaia Terjemahannya Dibaca Orang,”
Artikel, Jakarta, t.t.
Pusat Dokumen Sastra H.B.Jassin, “H.B.Jassin, Dimana Mulanya Puisi Qur’an.” Artikel,
Jakarta, t.t.
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, “H.B. Jassin Paus Sastra Indonesia.” Artikel, Jakarta,
2006.
Sadtono, E., “Pedoman Penerjemahan.” Jakarta: Depdikbud, 1985, Cet. Ke-1
Shihab, M. Quraish, “Tafsir Al-Misbah;Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran .” Ciputat:
Lentera Hati, 2001.
Suadi Putro, Muhammad Arkoun, “Islam dan Modernitas.” Jakarta: Paramidina, 1998.
Suma, Muhammad Amin, “Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an (1).” Jakarta: pustaka firdaus, 2000.
Suryanwinata, Zuchridin dan Sugeng Hariyanto, Translation Bahasa Teori dan Penuntun
Praktis Menerjemahkan, Jakarta: Kanisius, tth
Syihabudin, ”Penerjemahan Arab-Indonesia.” Bandung: Humaniora, 2005.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya,
Jakarta: Depag, 1971
70 Yatim, Badri, “Sejarah Peradaban Islam.” Jakarta: Rajawali Pers, 1997.
Yusuf, Suhendra, Teori Terjemahan, “Pengantar ke arah pendekatan linguistik dan
Sosiolinguistik.” Cet.ke-1, Bandung: Mandar Maju, 1994.
http://blog.re.or.id/definisi-alquran.htm. Diakses pada hari rabu tgl. 24 maret 2010.
http:www.//multiply.com/journal/item/67. Diakses pada tanggal 23 April 2010.
http://suyuk.blogspot.com.hb-jassin-dan-keindahan-sastrawi-al-qur.html.
Download