BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pityriasis versicolor 2.1.1. Definisi

advertisement
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pityriasis versicolor
2.1.1. Definisi
Pityriasis versicolor adalah infeksi jamur superfisial pada kulit yang
disebabkan oleh Malassezia furfur atau Pityrosporum orbiculare dan ditandai
dengan adanya makula di kulit, skuama halus dan disertai rasa gatal. Infeksi ini
bersifat menahun, ringan dan biasanya tanpa peradangan. Pityriasis versicolor
biasanya mengenai wajah, leher, badan, lengan atas, ketiak, paha, dan lipatan
paha. (Madani A, 2000)
Penyakit ini terutama terdapat pada orang dewasa muda, dan disebabkan
oleh ragi Malassezia, yang merupakan komensal kulit normal pada folikel
pilosebaseus. Ini merupakan kelainan yang biasa didapatkan di daerah beriklim
sedang, bahkan lebih sering lagi terdapat di daerah beriklim tropis. Alasan
mengapa multipikasi ragi tersebut sampai terjadi dan dapat menimbulkan lesi kulit
pada orang-orang tertentu belum diketahui. (Graham-Brown, 2005)
2.1.2. Etiologi
Penyebab penyakit ini adalah Malassezia furfur, yang dengan pemeriksaan
morfologi dan imunoflorensi indirek ternyata identik dengan Pityrosporum
orbiculare. (Madani A, 2000). Prevalensi Pityriasis versicolor lebih tinggi (50%)
di daerah tropis yang bersuhu hangat dan lembab. (Radiono, 2001)
2.1.3. Epidemiologi
Pityriasis versicolor adalah penyakit universal tapi lebih banyak dijumpai
di daerah tropis karena tingginya temperatur dan kelembaban. Menyerang hampir
semua umur terutama remaja, terbanyak pada usia 16-40 tahun. Tidak ada
perbedaan antara pria dan wanita, walaupun di Amerika Serikat dilaporkan bahwa
Universitas Sumatera Utara
6
penderita pada usia 20-30 tahun dengan perbandingan 1,09% pria dan 0,6%
wanita. Insiden yang akurat di Indonesia belum ada, namun diperkirakan 40-50%
dari populasi di negara tropis terkena penyakit ini, sedangkan di negara subtropis
yaitu Eropa tengah dan utara hanya 0,5-1% dari semua penyakit jamur. (Partogi,
2008)
Pityriasis versicolor dapat terjadi di seluruh dunia, tetapi penyakit ini lebih
sering menyerang daerah yang beriklim tropis dan sub tropis. Di Mexico 50%
penduduknya menderita penyakit ini. Penyakit ini dapat terjadi pada pria dan
wanita, dimana pria lebih sering terserang dibanding wanita dengan perbandingan
3 : 2. (Amelia, 2011)
2.1.4. Cara Penularan
Sebagian besar kasus Pityriasis versicolor terjadi karena aktivasi
Malassezia furfur pada tubuh penderita sendiri (autothocus flora), walaupun
dilaporkan pula adanya penularan dari individu lain. Kondisi patogen terjadi bila
terdapat perubahan keseimbangan hubungan antara hospes dengan ragi sebagai
flora normal kulit. Dalam kondisi tertentu Malassezia furfur akan berkembang ke
bentuk miselial, dan bersifat lebih patogenik. Keadaan yang mempengaruhi
keseimbangan antara hospes dengan ragi tersebut diduga adalah faktor lingkungan
atau faktor individual. Faktor lingkungan diantaranya adalah lingkungan mikro
pada kulit, misalnya kelembaban kulit. Sedangkan faktor individual antara lain
adanya kecenderungan genetik, atau adanya penyakit yang mendasari misalnya
sindrom Cushing atau malnutrisi. (Radiono, 2001)
2.1.5. Patogenesis
Pityriasis versicolor timbul bila Malassezia furfur berubah bentuk menjadi
bentuk miselia karena adanya faktor predisposisi, baik eksogen maupun endogen.
(Partogi, 2008)
1. Faktor eksogen meliputi suhu, kelembaban udara dan keringat,
(Budimulja, 2001). Hal ini merupakan penyebab sehingga Pityriasis
versicolor banyak di jumpai di daerah tropis dan pada musim panas di
Universitas Sumatera Utara
7
daerah subtropis. Faktor eksogen lain adalah penutupan kulit oleh pakaian
atau kosmetik dimana akan mengakibatkan peningkatan konsentrasi CO2,
mikroflora dan pH. (Partogi, 2008)
2. Sedangkan faktor endogen meliputi malnutrisi, dermatitis seboroik,
sindrom cushing, terapi imunosupresan, hiperhidrosis, dan riwayat
keluarga yang positif. Disamping itu bias juga karena Diabetes Melitus,
pemakaian steroid jangka panjang, kehamilan, dan penyakit – penyakit
berat lainnya yang dapat mempermudah timbulnya Pityriasis versicolor.
(Partogi, 2008)
Patogenesis dari makula hipopigmentasi oleh terhambatnya sinar matahari
yang masuk ke dalam lapisan kulit akan mengganggu proses pembentukan
melanin, adanya toksin yang langsung menghambat pembentukan melanin, dan
adanya asam azeleat yang dihasilkan oleh Pityrosporum dari asam lemak dalam
serum yang merupakan inhibitor kompetitf dari tirosinase. (Partogi, 2008)
2.1.6. Diagnosa Banding
Diagnosa banding Pityriasis versicolor adalah :
a. Dermatitis seboroik,
b. Sifilis stadium II,
c. Pityriasis rosea,
d. Psoriasis vulgaris
e. Vitiligo,
f. Morbus Hansen tipe Tuberkoloid,
g. Eritrasma,
h. Pityriasis Alba
i. Hipopigmentasi pascainflamasi. (Madani A, 2000).
2.1.7. Gambaran Klinis
Kelainan kulit Pityriasis versicolor sangat superfisial dan ditemukan
terutama di badan. Kelainan ini terlihat sebagai bercak-bercak berwarna-warni,
bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus. Bercak-bercak
Universitas Sumatera Utara
8
tersebut berfluoresensi bila dilihat dengan lampu Wood. Bentuk papulo-vesikular
dapat terlihat walaupun jarang. Kelainan biasanya asimtomatik sehingga
adakalanya penderita tidak mengetahui bahwa ia berpenyakit tersebut.
(Budimulja, 2002)
Kadang-kadang penderita dapat merasakan gatal ringan, yang merupakan
alasan berobat. Pseudoakromia, akibat tidak terkena sinar matahari atau
kemungkinan pengaruh toksis jamur terhadap pembentukan pigmen, sering
dikeluhkan penderita. (Budimulja, 2002). Penderita pada umumnya hanya
mengeluhkan adanya bercak/makula berwarna putih (hipopigmentasi) atau
kecoklatan (hiperpigmentasi) dengan rasa gatal ringan yang umumnya muncul
saat berkeringat, (Radiono, 2001).
Bentuk lesi tidak teratur dapat berbatas tegas atau difus. Sering didapatkan
lesi bentuk folikular atau lebih besar, atau bentuk numular yang meluas
membentuk plakat. Kadang-kadang dijumpai bentuk campuran, yaitu folikular
dengan numular, folikular dengan plakat ataupun folikular, atau numular dan
plakat. (Madani A, 2000)
Pada kulit yang terang, lesi berupa makula cokelat muda dengan skuama
halus di permukaan, terutama terdapat di badan dan lengan atas. Kelainan ini
biasanya bersifat asimtomatik, hanya berupa gangguan kosmetik. Pada kulit gelap,
penampakan yang khas berupa bercak-bercak hipopigmentasi. Hilangnya pigmen
diduga ada hubungannya dengan produksi asam azelaik oleh ragi, yang
menghambat tironase dan dengan demikian mengganggu produksi melanin. Inilah
sebabnya mengapa lesi berwarna cokelat pada kulit yang pucat tidak diketahui.
Variasi warna yang tergantung pada warna kulit aslinya merupakan sebab
mengapa penyakit tersebut dinamakan ‘Versicolor’. (Graham-Brown, 2005)
2.1.8. Diagnosis
Selain mengenal kelainan-kelainan yang khas yang disebabkan oleh
Malassezia fulfur diagnosa Pityriasis versicolor harus dibantu dengan
pemeriksaan-pemeriksaan sebagai berikut:
1. Pemeriksaan langsung dengan KOH 10%.
Universitas Sumatera Utara
9
Pemeriksaan ini memperlihatkan kelompokan sel ragi bulat berdinding
tebal dengan miselium kasar, sering terputus-putus (pendek-pendek), yang akan
lebih mudah dilihat dengan penambahan zat warna tinta Parker blue-black atau
biru laktafenol. Gambaran ragi dan miselium tersebut sering dilukiskan sebagai
“meat ball and spaghetti”. (Radiono, 2001).
Bahan-bahan kerokan kulit diambil dengan cara mengerok bagian kulit
yang mengalami lesi. Sebelumnya kulit dibersihkan dengan kapas alkohol 70%,
lalu dikerok dengan skalpel steril dan jatuhannya ditampung dalam lempenglempeng steril pula. Sebagian dari bahan tersebut diperiksa langsung dengan
KOH% yang diberi tinta Parker Biru Hitam, Dipanaskan sebentar, ditutup dengan
gelas penutup dan diperiksa di bawah mikroskop. Bila penyebabnya memang
jamur, maka kelihatan garis yang memiliki indeks bias lain dari sekitarnya dan
jarak - jarak tertentu dipisahkan oleh sekat-sekat atau seperti butir-butir yang
bersambung seperti kalung. Pada Pityriasis versicolor hifa tampak pendekpendek, bercabang, terpotong-potong, lurus atau bengkok dengan spora yang
berkelompok. (Trelia, 2003)
2. Pemeriksaan dengan Sinar Wood
Pemeriksaan dengan Sinar Wood,dapat memberikan perubahan warna
pada seluruh daerah lesi sehingga batas lesi lebih mudah dilihat. Daerah yang
terkena infeksi akan memperlihatkan fluoresensi warna kuning keemasan sampai
orange. (Trelia, 2003)
2.1.9. Pengobatan
Pengobatan Pityriasis versicolor dapat diterapi secara topikal maupun
sistemik. Tingginya angka kekambuhan merupakan masalah, dimana mencapai
60% pada tahun pertama dan 80% setelah tahun kedua. Oleh sebab itu diperlukan
terapi, profilaksis untuk mencegah rekurensi:
Universitas Sumatera Utara
10
1. Pengobatan Topikal
2. Pengobatan harus dilakukan secara menyeluruh, tekun dan konsisten. Obat
yang dapat digunakan ialah :
a. Selenium sulfida 1,8% dalam bentuk shampoo 2-3 kali seminggu. Obat
digosokkan pada lesi dan didiamkan selama 15-30 menit sebelum
mandi
b. Salisil spiritus 10%
c. Turunan azol, misalnya : mikozanol, klotrimazol, isokonazol dan
ekonazol dalam bentuk topikal
d. Sulfur presipitatum dalam bedak kocok 4-20%
e. Larutan Natrium Tiosulfas 25%, dioleskan 2 kali sehari sehabis mandi
selama 2 minggu. (Partogi, 2008)
3. Pengobatan Sistemik
Pengobatan sistemik diberikan pada kasus Pityriasis versicolor yang luas
atau jika pemakaian obat topikal tidak berhasil. Obat yang dapat diberikan
adalah :
a. Ketoconazole
Dosis: 200 mg per hari selama 10 hari
b. Fluconazole
Dosis: dosis tunggal 150-300 mg setiap minggu
c. Itraconazole
Dosis: 100 mg per hari selama 2 minggu. (Madani A, 2000)
4. Terapi hipopigmentasi (Leukoderma)
a. Liquor carbonas detergent 5%, salep pagi/malam
b. Krim kortikosteroid menengah pagi dan malam
c. Jemur di matahari ±10 menit antara jam 10.00-15.00 (Murtiastutik,
2009)
Pityriasis versicolor cenderung untuk kambuh, sehingga pengobatan harus
diulangi. Daerah hipopigmentasi perlu Waktu yang lama untuk repigmentasi, dan
Universitas Sumatera Utara
11
kedaan yang bertahan lama ini janganlah dianggap sebagai suatu kegagalan
pengobatan. (Graham-Brown, 2005)
2.1.10. Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya Pityriasis versicolor dapat disarankan
pemakaian 50% propilen glikol dalam air untuk pencegahan kekambuhan. Pada
daerah endemik dapat disarankan pemakaian ketokonazol 200 mg/hari selama 3
bulan atau itrakonazol 200 mg sekali sebulan atau pemakaian sampo selenium
sulfid sekali seminggu. (Radiono, 2001)
Untuk mencegah timbulnya kekambuhan, perlu diberikan pengobatan
pencegahan, misalnya sekali dalam seminggu, sebulan dan seterusnya. Warna
kulit akan pulih kembali bila tidak terjadi reinfeksi. Pajanan terhadap sinar
matahari dan kalau perlu obat fototoksik dapat dipakai dengan hati-hati, misalnya
oleum bergamot atau metoksalen untuk memulihkan warna kulit tersebut.
(Madani A, 2000)
2.1.11. Prognosis
Prognosisnya baik dalam hal kesembuhan (Radiono, 2001) bila
pengobataan dilakukan menyeluruh, tekun dan konsisten. Pengobatan harus di
teruskan 2 minggu setelah fluoresensi negatif dengan pemeriksaan lampu Wood
dan sediaan langsung negatif. (Partogi, 2008)
2.2. Diabetes Melitus
2.2.1. Defenisi
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu sindrom klinik yang khas ditandai
oleh adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defisiensi atau penurunan
efektifitas insulin. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan organ tubuh, terutama mata,
ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. (Purnamasri, 2009)
Universitas Sumatera Utara
12
2.2.2. Klasifikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut ADA (American Diabetes Association)
2009 yaitu :
a. Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes tipe ini disebabkan karena destruksi sel beta pankreas yang bertugas
menghasilkan insulin. Tipe ini menjurus ke defisiensi insulin absolut. Proses
destruksi ini dapat terjadi karena proses imunologik maupun idiopatik.
b. Diabetes Melitus Tipe 2
Tipe ini bervariasi mulai dari yang predominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin
bersama resistensi insulin.
c. Diabetes Melitus Tipe Lain
1. Defek genetik fungsi sel beta akibat mutasi di :
a) kromosom 12, HNF-α ( dahulu MODY 3)
b) kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)
c) kromosom 20, HNF-α (dahulu MODY 1)
d) kromosom 13, insulin promoter factor ( dahulu MODY 4)
e) kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)
f) kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6) DNA mitokondria
2. Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A, eprechaunism, sindrom
Rabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya.
3. Penyakit eksokrin pankreas : pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma,
fibrosis kistik, hemikromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya.
4. Endokrinopati : akromegali, sindrom cushing, feokromositoma, hipertiroidisme,
somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya.
5. Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid,
hormon tiroid, diazoxid, lainnya.
Universitas Sumatera Utara
13
6. Infeksi : rubella kongenital, CMV.
7. Imunologi (jarang) : sindrom Stiffman, antibody antireseptor insulin.
8. Sindrom genetik lain : sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner,
sindrom Wolfram’s ataksia Friedreich’s, chorea Huntington, porfiria, sindrom
Prader Willi, lainnya.
d. Diabetes Kehamilan (Purnamasari, 2009)
2.2.3. Faktor Resiko Diabetes Melitus
Faktor-faktor risiko terjadinya Diabetes Melitus tipe 2 menurut ADA dengan
modifikasi terdiri atas :
a. Faktor risiko mayor :
1) Riwayat keluarga DM.
2) Obesitas.
3) Kurang aktivitas fisik.
4) Ras/Etnik.
5) Sebelumnya teridentifikasi sebagai IFG.
6) Hipertensi.
7) Tidak terkontrol kolesterol dan HDL.
8) Riwayat DM pada Kehamilan.
9) Sindroma polikistik ovarium.
b. Faktor risiko lainnya :
1) Faktor nutrisi.
2) Konsumsi alkohol.
3) Kebiasaan mendengkur.
4) Faktor stress.
5) Kebiasaan merokok.
6) Jenis kelamin.
Universitas Sumatera Utara
14
7) Lama tidur.
8) Intake zat besi.
9) Konsumsi kopi dan kafein.
10) Paritas.
11) Intake zat besi. (ADA, 2007 )
2.2.4. Patofisiologi
Diabetes Melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya kekurangan
insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3
jalan, yaitu :
a. Rusaknya sel-sel β pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia
tertentu, dll).
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas.
c. Desensitasi/kerusakan reseptor insulin (down regulation) di jaringan perifer
(Manaf, 2009).
Aktivitas insulin yang rendah akan menyebabkan :
a. Penurunan penyerapan glukosa oleh sel-sel, disertai peningkatan
pengeluaran glukosa oleh hati melalui proses glukoneogenesis dan
glikogenolisis. Karena sebagian besar sel tubuh tidak dapat menggunakan
glukosa tanpa bantuan insulin, timbul keadaan ironis, yakni terjadi
kelebihan glukosa ekstrasel sementara terjadi defisiensi glukosa intrasel “kelaparan di lumbung padi”.
b. Kadar glukosa yang meninggi ke tingkat dimana jumlah glukosa yang
difiltrasi melebihi kapasitas sel-sel tubulus melakukan reabsorpsi akan
menyebabkan glukosa muncul pada urin, keadaan ini dinamakan
glukosuria.
c. Glukosa pada urin menimbulkan efek osmotik yang menarik H2O
bersamanya. Keadaan ini menimbulkan diuresis osmotik yang ditandai
oleh poliuria (sering berkemih).
Universitas Sumatera Utara
15
d. Cairan yang keluar dari tubuh secara berlebihan akan menyebabkan
dehidrasi, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi
perifer karena volume darah turun mencolok. Kegagalan sirkulasi, apabila
tidak diperbaiki dapat menyebabkan kematian karena penurunan aliran
darah ke otak atau menimbulkan gagal ginjal sekunder akibat tekanan
filtrasi yang tidak adekuat.
e. Selain itu, sel-sel kehilangan air karena tubuh mengalami dehidrasi akibat
perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan ekstrasel yang hipertonik.
Akibatnya timbul polidipsia (rasa haus berlebihan) sebagai mekanisme
kompensasi untuk mengatasi dehidrasi.
f. Defisiensi glukosa intrasel menyebabkan “sel kelaparan” akibatnya nafsu
makan (appetite) meningkat sehingga timbul polifagia (pemasukan
makanan yang berlebihan).
g. Efek defisiensi insulin pada metabolisme lemak menyebabkan penurunan
sintesis trigliserida dan peningkatan lipolisis. Hal ini akan menyebabkan
mobilisasi besar-besaran
asam
lemak
dari simpanan
trigliserida.
Peningkatan asam lemak dalam darah sebagian besar digunakan oleh sel
sebagai sumber energi alternatif karena glukosa tidak dapat masuk ke
dalam sel.
h. Efek insulin pada metabolisme protein menyebabkan pergeseran netto
kearah katabolisme protein. Penguraian protein-protein otot menyebabkan
otot rangka lisut dan melemah sehingga terjadi penurunan berat badan
(Sherwood, 2001).
2.2.5. Patogenesis Diabetes Melitus
Kelebihan gula darah memasuki sel glomerulus melalui fasilitasi glucose
transporter (GLUT), terutama GLUT 1, yang mengakibatkan aktivasi beberapa
mekanisme seperti poloy pathway, hexoamine pathway, Protein Kinase C (PKC)
pathway, dan penumpukan zat yang disebut sebagai advanced glycation endproducts (AGEs). Beberapa zat biologis aktif ternyata dapat dijumpai pada
Universitas Sumatera Utara
16
berbagai percobaan, baik in vitro maupun in vivo, yang dapat berperan penting
dalam pertumbuhan sel, diferensiasi sel, dan sintesis bahan matriks ekstraselular.
Diantara zat ini adalah mitogen activated protein kinases (MAPKs), PKC-13
isoform dan extracellular regulated protein kinase (ERK). Ditemukannya zat yang
mampu menghambat aktivitas zat zat tersebut telah terbukti mengurangi akibat
yang timbul, seperti mencegah peningkatan derajat albuminuria dan derajat
kerusakan struktural berupa penumpukan matriks mesangial. Kemungkinan besar
perubahan ini diakibatkan penurunan ekspresi transforming growth factor-f3
(TGF-) dan penurunan extra-cellular matrix (ECM). Peran TGF- dalam
perkembangan nefropati diabetik ini telah ditunjukkan pula oleh berbagai peneliti,
bahwa kadar zat ini meningkat pada ginjal pasien diabetes. Berbagai proses di atas
dipercaya bukan saja berperan dalam terbentuknya nefropati pada pasien DM
akan tetapi juga dalam progresifitasnya menuju tahap lanjutan. (Suwitra, 2006).
2.2.6. Gejala dan Tanda-Tanda Diabetes Melitus
Gejala dan tanda-tanda DM dapat digolongkan menjadi gejala akut dan gejala
kronik.
a. Gejala Akut Penyakit Diabetes Melitus
Gejala penyakit DM dari satu penderita ke penderita lain bervariasi bahkan,
mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu.
1) Pada permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (Poli), yaitu:
a. Banyak makan (poliphagia).
b. Banyak minum (polidipsia).
c. Banyak kencing (poliuria).
2) Bila keadaan tersebut tidak segera diobati, akan timbul gejala:
a. Banyak minum.
b. Banyak kencing.
c. Nafsu makan mulai berkurang/ berat badan turun dengan cepat (turun 5-10
kg dalam waktu 2-4 minggu).
Universitas Sumatera Utara
17
d. Mudah lelah.
e. Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual, bahkan penderita akan jatuh
yang disebut dengan koma diabetik.
b. Gejala Kronik Diabetes melitus
Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita Diabetes melitus adalah
sebagai berikut:
1) Kesemutan.
2) Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum.
3) Rasa tebal di kulit.
4) Kram.
5) Capai.
6) Mudah mengantuk.
7) Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata
8) Gatal di sekitar kemaluan terutama wanita.
9) Gigi mudah goyah dan mudah lepas kemampuan seksual menurun,bahkan
impotensi.
10) Para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam
kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg.
2.2.7. Diagnosis Diabetes Melitus
Langkah-langkah diagnostik DM dan TGT Pemeriksaan penyaring perlu
dilakukan pada kelompok tersebut di bawah ini (Committee Report ADA-2 006):
(Tjokroprawiro, 2007)
1. Kelompok usia dewasa tua (> 45 tahun)
2. Obesitas BB (kg) > 110% BB ideal atau IMT > 25 (kg/rn2).
3. Tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg)
4. Riwayat DM dalam garis keturunan
5. Riwayat keharnilan dengan: BB lahir bayi> 4000 gram atau abortus berulang
Universitas Sumatera Utara
18
6. Riwayat DM pada kehamilan
7. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida> 250 mg/dl)
8. Pernah TGT (toleransi glukosa terganggu) atau glukosa darah puasa terganggu
(GDPT)
Diagnosis DM ditegakkan dengan mengadakan pemeriksaan kadar
glukosa darah. Untuk penentuan Diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang
dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah
plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler
tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik
yang berbeda sesuai pembakuan WHO, sedangkan untuk pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah kapiler.
Kriteria diagnosis DM menurut menurut ADA tahun 2007 dapat dilihat
pada tabel 1 di bawah ini
Tabel 2.1. Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus
Kriteria Diagnosis DM
a. Gejala klasik DM + Kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/ dl (11.1
mmol/L).
Glukosa darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. Gejala klasik adalah: poliuria,
polidipsia, polifagia, dan berat badan turun tanpa sebab.
b. Gejala klasik DM + Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/ dl (7.0 mmol/L).
Puasa adalah pasien tak mendapat kalori sedikitnya 8 jam.
c. Kadar glukosa darah 2 jam PP ≥ 200 mg/ dl (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang
setara dengan 75 gr glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
Universitas Sumatera Utara
19
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka
dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDTP tergantung dari hasil
yang diperoleh :
TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dl (7,811,0 mmol/L)
GDPT : glukosa darah puasa antara 100 – 125 mg/dl (5,6-6,9 mmol/L)
2.2.8. Upaya Pencegahan Diabetes Melitus
Mengingat jumlah pasien yang semakin meningkat dan besarnya biaya
perawatan pasien penderita Diabetes Melitus yang terutama disebabkan oleh
karena komplikasi, maka upaya yang paling baik adalah pencegahan. Menurut
WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada penderita Diabetes Melitus ada 3
tahap, yaitu :
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah suatu upaya yang ditujukan pada orang-orang
yang termasuk resiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita Diabetes
Melitus, tetapi berpotensi untuk menderita Diabetes Melitus. Pencegahan ini
merupakan suatu cara yang sangat sulit karena yang menjadi sasarannya adalah
orang-orang yang belum sakit artinya mereka masih sehat sehingga cakupannya
menjadi sangat luas (Noer, 1996).
Yang bertanggung jawab dalam hal ini bukan hanya profesi tetapi semua
pihak, untuk mempromosikan pola hidup sehat dan menghindari pola hidup
beresiko, seperti : kampanye makanan sehat dengan pola tradisional yang
mengandung lemak rendah atau pola makan seimbang, menjaga berat badan agar
tidak gemuk dengan olah raga secara teratur. Cara tersebut merupakan alternatif
terbaik dan harus sudah ditanamkan pada anak-anak sekolah sejak taman kanakkanak. Hal ini merupakan salah satu upaya pencegahan primer yang sangat murah
dan efektif (Noer, 1996).
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya pencegahan atau menghambat
timbulnya komplikasi dengan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal
Universitas Sumatera Utara
20
penyakit. Deteksi dini dilakukan dengan tes penyaringan terutama pada populasi
resiko tinggi. Menurut WHO (1994) untuk negara berkembang termasuk
Indonesia kegiatan tersebut memerlukan biaya yang sangat besar (PERKENI,
2002). Pada pencegahan sekunder penyuluhan tentang perilaku terhadap sehat
seperti pada pencegahan primer harus dilaksanakan ditambah dengan peningkatan
pelayanan kesehatan primer di pusat-pusat pelayanan kesehatan, disamping itu
juga diperlukan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya tentang berbagai hal
mengenai penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi.
c. Pencegahan Tertier
Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang diakibatkannya terdiri
dari 3 tahap, antara lain :
1. Mencegah timbulnya komplikasi.
2. Mencegah berlanjutnya komplikasi untuk tidak terjadi kegagalan organ.
3. Mencegah terjadinya kecacatan oleh karena kegagalan organ atau jaringan.
Dalam upaya ini diperlukan kerja sama yang baik antara pasien dan dokter
maupun antara dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yang terkait dengan
komplikasinya. Dalam hal ini peran penyuluhan sangat dibutuhkan untuk
meningkatkan motivasi pasien untuk mengendalikan diabetesnya (Soegondo,
2004).
2.2.9. Pengelolaan Diabetes Melitus
Tujuan pengelolaan diabetes melitus dibagi atas tujuan jangka pendek dan
tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek adalah hilangnya berbagai keluhan/
gejala diabetes sehingga penderita dapat menikmati hidup sehat dan nyaman.
Sedangkan tujuan jangka panjang adalah tercegahnya berbagai komplikasi baik
pada pembuluh darah maupun pada susunan syaraf sehingga dapat menekan
angka morbiditas dan mortalitas (Waspadji, 1997).
Universitas Sumatera Utara
21
a. Edukasi / Penyuluhan
Edukasi diabetes adalah pendidikan dan latihan mengenai pengetahuan
dan keterampilan dalam pengelolaan diabetes yang diberikan kepada setiap
penderita diabetes. Disamping kepada penderita, edukasi juga diberikan kepada
anggota keluarga penderita dan kelompok masyarakat yang beresiko tinggi. Tim
kesehatan harus senantiasa mendampingi pasien dalam menuju perubahan
perilaku. Makanya dibutuhkan edukasi yang komprehensif, pengembangan
keterampilan dan motivasi (Waspadji, 1997).
Beberapa hal yang perlu dijelaskan pada penderita Diabetes Melitus
adalah apa penyakit Diabetes Melitus itu, cara perencanaan makanan yang benar
(jumlah kalori, jadwal makan dan jenisnya), kesehatan mulut (tidak boleh ada sisa
makan dalam mulut, selalu berkumur setiap habis makan), latihan ringan, sedang,
teratur setiap hari dan tidak boleh latihan berat, menjaga baik bagian bawah ankle
joint (daerah berbahaya) seperti : sepatu, potong kuku, tersandung, hindari trauma
dan luka (Waspadji, 1997).
b. Diet Diabetes
Tujuan utama terapi diet pada penderita Diabetes Melitus adalah
menurunkan atau mengendalikan berat badan disamping mengendalikan kadar
gula atau kolesterol. Semua ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien dan mencegah paling tidak menunda terjadinya komplikasi akut maupun
kronis. Penurunan berat badan pasien Diabetes Melitus yang mengalami obesitas
umumnya akan menurunkan resistensi insulin. Dengan demikian, penurunan berat
badan akan meningkatkan pengambilan glukosa oleh sel dan memperbaiki
pengendalian glukosa darah (Mirza, 2008).
c. Latihan Fisik
Diabetes Melitus akan terawat dengan baik apabila terdapat keseimbangan
antara diet, latihan fisik secara teratur setiap hari dan kerja insulin. Latihan juga
dapat membuang kelebihan kalori, sehingga dapat mencegah kegemukan juga
bermanfaat untuk mengatasi adanya resistensi insulin pada obesitas (Noer, 1996).
Universitas Sumatera Utara
22
Meskipun latihan teratur itu baik untuk penderita diabetes melitus, tetapi
syarat yang harus dipenuhi adalah persediaan insulin di dalam tubuh harus cukup.
Apabila latihan dikerjakan oleh penderita Diabetes Melitus yang tidak cukup
persediaan insulinnya, maka latihan akan memperburuk bagi penderita tersebut.
Beberapa kegunaan dari latihan teratur setiap hari pada penderita diabetes melitus
antara lain :
a. Meningkatkan kepekaan insulin apabila dikerjakan setiap 1,5 jam sesudah
makan dapat mengurangi resistensi insulin dan meningkatkan sensitivitas
insulin pada reseptornya.
b. Mencegah kegemukan apabila ditambah latihan pagi dan sore.
c. Meningkatkan kadar kolesterol HDL yang merupakan faktor protektif untuk
penyakit jantung koroner.
d. Glikogen otot dan hati menjadi kurang, maka selama latihan akan dirangsang
pembentukan glikogen baru.
e. Menurunkan total kolesterol dan trigliserida dalam darah, karena terjadi
pembakaran asam lemak menjadi lebih baik.
d. Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah normal
belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan fisik. Dalam pengelolaan
diabetes melitus yang memakai obat hipoglikemia ini ada dua macam obat yang
diberikan yaitu pemberian secara oral dan secara injeksi. Obat yang diberikan
secara oral/hipoglikemia yang umum dipakai adalah Sulfonilurea dan Binguanid.
Sedangkan yang diberikan secara injeksi adalah insulin (Waspadji, 1997).
Universitas Sumatera Utara
23
2.2.10. Prognosis
Sekitar 60% pasien DM yang mendapat insulin dapat bertahan hidup
seperti orang normal. Sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronik, dan
kemungkinan untuk meninggal lebih cepat. (Mansjoer A, 1999)
2.3. Hubungan Pityriasis versicolor dengan Diabetes Melitus
2.3.1. Patofisiologi
Patofisiologi timbulnya manifestasi penyakit kulit pada penderita diabetes
melitus belum sepenuhnya diketahui. Menurut Djuanda (2007), kadar gula kulit
(glukosa kulit) merupakan 55% kadar gula darah (glukosa darah) pada orang
biasa. Pada penderita diabetes, rasio meningkat sampai 69-71% dari glukosa darah
yang sudah meninggi. Pada penderita yang sudah diobati pun rasio melebihi 55 %.
Gula kulit berkonsentrasi tinggi di daerah intertriginosa dan interdigitalis. Hal
tersebut mempermudah timbulnya dermatitis, infeksi bakterial (terutama
furunkel), dan infeksi jamur (terutama kandidosis). Keadaan-keadaan ini
dinamakan diabetes kulit.
Universitas Sumatera Utara
Download