BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Scoparia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Scoparia dulcis L. atau yang biasa dikenal dengan nama jaka tuwa
merupakan tumbuhan anggota suku Scrophulariaceae. Jenis ini dapat tumbuh di
daerah subtropis hingga tropis dan banyak tersebar di Amerika, Afrika, Eropa, dan
Asia, termasuk Indonesia. Jaka tuwa telah lama digunakan sebagai obat
tradisional untuk penyakit diabetes melitus di India dan penyakit hipertensi di
Taiwan. Di Afrika, jaka tuwa sering digunakan sebagai obat diare, deman, luka,
radang, sakit perut, dan bahkan penyakit kanker (Burkill, 2000).
Kecenderungan masyarakat menggunakan tumbuhan sebagai bahan obat
memicu banyak penelitian tentang kandungan senyawa aktif dalam tumbuhan
tersebut. Senyawa metabolit sekunder di dalam tumbuhan mengandung senyawa
aktif yang bermanfaat bagi pengobatan. Di dalam jaka tuwa ditemukan banyak
senyawa metabolit sekunder bagi pengobatan seperti flavonoid, terpenoid,
scoparic acid A, scoparic acid B, scopadulic acid A, scopadulic acid B,
noradrenalin, dan adrenalin (Hayashi dkk., 1990). Kandungan flavonoid pada jaka
tuwa menurut Cushine dkk. (2005) dapat digunakan untuk pengobatan kanker,
antiinflamasi, dan antialergi.
Di Indonesia, jaka tuwa tergolong tumbuhan liar, maka perlu upaya untuk
membudidayakan dengan tujuan optimalisasi produksi flavonoid. Oleh sebab itu
diperlukan terobosan bioteknologi untuk pemecahan masalah ini, salah satunya
adalah dengan cara kultur tunas. Teknik kultur tunas bertujuan untuk
1
2
memperbanyak tanaman dalam waktu singkat, mendapatkan individu yang
mempunyai sifat fisiologis dan morfologis sama dengan induk, memperoleh
tanaman yang bersifat unggul, dan untuk menghasilkan metabolit sekunder yang
kita inginkan. Optimasi produksi metabolit sekunder dapat dilakukan dengan cara
manipulasi media kultur, manipulasi kondisi kultur (persyaratan faktor-faktor
klimatik dan media kultur), pemuliaan galur, dan teknik elisitasi.
Elisitasi adalah perlakuan penambahan substansi biotik maupun abiotik ke
dalam sistem sel hidup pada konsentrasi rendah sehingga dapat meningkatkan
biosintesis metabolit sekunder sebagai respon tumbuhan dalam mempertahankan
diri. Penggunaan elisitor dapat menstimulasi pembentukan metabolit sekunder
pada kultur sel tumbuhan (Radman dkk., 2003). Salah satu elisitor yang sering
digunakan adalah asam metil jasmonat (MeJA). Senyawa ini akan memengaruhi
biosintesis metabolit sekunder sebagai respon pertahanan diri. Penambahan MeJA
dalam kultur tunas dapat meningkatkan berbagai hasil metabolit, seperti
flavonoid, terpenoid, alkaloid, dan fenilpropanoid serta berbagai metabolit
sekunder lainnya (Zhao dkk., 2005).
Pemberian elisitor yang bersifat cekaman sehingga nutrisi yang terdapat
dalam tanaman digunakan untuk menutup luka, akibatnya tidak ada nutrisi yang
digunakan untuk pertumbuhan sel. Oleh karena itu, penambahan elisitor yang
terlalu banyak, justru akan mengurangi pertumbuhan sel, tetapi apabila terlalu
sedikit justru dapat mengurangi produksi metabolit sekundernya. Kemampuan
elisitor dalam upaya meningkatkan produksi metabolit sekunder tidak dapat
diprediksi senyawa metabolit sekunder yang akan meningkat, maka dibutuhkan
3
senyawa elisitor spesifik untuk metabolit sekunder tertentu (Verpoorte & Heidjen,
1994).
Analisis terhadap kandungan senyawa pada tumbuhan salah satunya dapat
dideteksi dengan metode kromatografi lapis tipis (KLT). Secara kualitatif dapat
dilakukan pengamatan terhadap warna bercak dan nilai Rf pada pelat KLT.
Pengamatan dilakukan di bawah sinar tampak, sinar UV 254 nm, dan UV 366 nm.
Analisis kualitatif untuk melihat profil bercak antara hasil kultur tunas dengan
bercak tumbuhan asal. Untuk analisis kuantitatif dapat dilakukan dengan metode
KLT densitometri. Data yang didapatkan dari analisis kuantitatif dengan metode
KLT densitometri selanjutnya dapat dianalisis dengan uji statistika dengan
software SPSS.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
dapat dirumuskan dua permasalahan sebagai berikut :
1.
Bagaimana profil KLT tiap-tiap kultur tunas jaka tuwa hasil perlakuan
penambahan asam metil jasmonat 50 µM dengan waktu panen 24 jam, 48
jam, dan 72 jam?
2.
Apakah pemberian MeJA 50 µM dengan waktu panen 24, 48 dan 72 jam di
media kultur berpengaruh terhadap produksi flavonoid jaka tuwa ?
4
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan MeJA 50
µM dengan waktu panen 24, 48 dan 72 jam terhadap produksi flavonoid kultur
tunas jaka tuwa dan mengetahui profil kromatografi lapis tipisnya berdasarkan
metode KLT densitometri.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan awal mengenai penambahan
asam metil jasmonat pada waktu panen yang optimal untuk meningkatkan kadar
senyawa flavonoid pada kultur tunas tumbuhan jaka tuwa sehingga dapat
diperoleh bibit unggul dengan produksi flavonoid yang optimal.
E. Tinjauan Pustaka
1. Uraian Tumbuhan
a. Sistematika
Kategori takson-takson untuk jaka tuwa di dalam sistematika tumbuhan
adalah sebagai berikut :
Divisi
: Spermatophyta
Anak divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Solanales
Suku
: Scrophulariaceae
Marga
: Scoparia
Jenis
: Scoparia dulcis L.
5
Gambar 1. Jaka tuwa (Scoparia dulcis L.)
b. Nama daerah Jaka tuwa (Sunda), ginje menir, ginje jepun (Jawa) (Heyne, 1987)
c. Morfologi
Jaka tuwa merupakan tumbuhan berhabitus herba yang bercabang-cabang,
tinggi 0,2-0,8 meter. Daun berkarang 3, bertangkai pendek, memanjang, di atas
pangkal beringgit bergigi dengan panjang 1-3 cm dan lebar 3-12 mm. Bunga
bertangkai, tunggal, di ketiak sari dari semua daun yang di atas. Kelopak tidak
gugur, berbagi dalam, panjang 2 mm. Mahkota berbentuk roda, pada leher berbulu
panjang, ungu pucat dengan pusat yang lebih gelap, taju sama sekali sama, bulat
telur terbalik dengan panjang 2-3 mm dan lebar 0,5-1,7 mm. Benang sari 4, lepas,
kira-kira sama panjang. Tangkai putik 1,3 mm panjangnya, kepala putik
berbentuk bulat kecil. Buah kotak berbentuk bulat telur, pecah menurut sekat dan
celah dengan 4 katup, 2-3 mm panjangnya (Steenis, 1987).
d. Persebaran
Tumbuhan ini berasal dari Amerika tropis dan banya tumbuh di ladang dan
sawah yang kering pada daerah ketinggian mencapai 700 meter di atas permukaan
laut.
6
e. Kandungan kimia
Jaka tuwa mengandung berbagai senyawa aktif seperti flavonoid, kumarin,
fenol, saponin, tanin, asam amino, terpenoid, katekolamin. Ditemukan pula
kandungan scoparic acid A, scoparic acid B, scoparic acid C (Hayashi dkk.,
1996). Kandungan scopadulic acid A dan scopadulic acid B juga terkandung pada
jaka tuwa (Hayashi dkk., 1990). Analisis dengan metode HPLC pada fraksi air
jaka tuwa ditemukan kandungan noradrenalin dan adrenalin yang mempunyai
efek simpatomimetik (De Farias dkk., 1996).
f. Kegunaan tumbuhan
Secara tradisional jaka tuwa banyak digunakan untuk pengobatan sakit
perut (Satyanarayana, 1969), hipertensi (Chow dkk., 1974), diabetes (Perry,
1980), serta sebagai analgesik dan antipiretik (De Farias dkk., 1993). Glikosida
flavonoid terasetilasi pada jaka tuwa mempunyai Nerve Growth Factor (NGF)
yang berpotensi mempunyai aktivitas neurotopik yang berguna untuk pengobatan
kerusakan saraf (Li & Ohizumi, 2004). Jaka tuwa mempunyai potensi untuk
pengobatan diare, disentri, dan radang tenggorokan.
g. Identifikasi tumbuhan
Identifikasi tumbuhan merupakan suatu proses untuk mengungkapkan atau
menetapkan identitas suatu tumbuhan, yang dalam hal ini berarti menentukan
nama yang benar dan tempat yang tepat dalam sistem klasifikasi. Selain istilah
identifikasi sering juga digunakan istilah determinasi (Tjitrosoepomo, 1998). Hal
ini bertujuan mendapatkan spesies yang benar dan spesifik sehingga dalam
pemanfaatannya dapat digunakan dengan tepat.
7
Proses identifikasi tumbuhan selalu menghadapi dua kemungkinan, yaitu:
tumbuhan yang sudah dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan dan tumbuhan yang
belum dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan. Untuk tumbuhan yang sudah
dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan dapat dikategorikan ke dalam taksontakson tertentu. Bagi jenis belum memiliki nama ilmiah maka jenis tersebut harus
dipublikasikan dalam jurnal ilmiah taksonomi tumbuhan (Tjitrosoepomo, 1998).
Identifikasi tumbuhan yang belum dikenal oleh dunia ilmu pengetahuan
didasarkan atas spesimen (bahan) yang riil, dengan cara dikeringkan atau dalam
bejana yang berisi cairan pengawet. Pelaku identifikasi spesimen kemudian
membuat deskripsi mengenai bagian-bagian tumbuhan yang memuat ciri-ciri
diagnostiknya, yang atas dasar hasil studinya kemudian ditetapkan spesimen itu
merupakan anggota populasi jenis tertentu, dan berturut-turut ke atas dimasukkan
kategori tertentu pula (marga, suku, bangsa, dan kelas serta divisinya). Nama
takson baru itu selanjutnya harus dipublikasikan melalui cara-cara yang sudah
diatur. Pelaku identifikasi tumbuhan yang belum dikenal harus mempunyai bekal
yang lazimnya hanya dimiliki mereka yang berpendidikan ilmu hayati, khususnya
taksonomi (Tjitrosoepomo, 1998).
Cara identifikasi tumbuhan yang telah dikenal oleh dunia ilmu
pengetahuan, pada waktu ini tersedia berbagai sarana, antara lain:
1. Menanyakan identitas tumbuhan yang tidak kita kenal kepada orang
yang kita anggap ahli. Metode ini merupakan metode yang paling
mudah, murah, dan cepat memberikan hasil. Cara ini banyak dilakukan
oleh orang awam.
8
2. Mencocokkan dengan spesimen herbarium yang diidentifikasikan.
Metode ini dilakukan dengan pencocokkan spesimen yang ditanyakan
dengan koleksi spesimen-spesimen herbarium yang telah teridentifikasi.
Cara ini berupa pengiriman spesimen tumbuhan ke herbarium atau
lembaga penelitian biologi. Cara ini banyak dilakukan oleh orang awam
atau ilmuwan lain yang ingin melakukan konfirmasi.
3. Mencocokkan dengan candra dan gambar-gambar yang ada dalam
buku-buku flora atau monografi. Cara ini tidak dapat dilakukan oleh
setiap orang, selain penguasaan ilmu hayati, pelaku identifikasi harus
menguasai peristilahan yang lazim digunakan untuk mencandra
tumbuhan. Selain itu, cara ini juga membutuhkan peralatan tertentu
misalnya, perangkat alat pengurai, kaca pembesar, bahkan mikroskop.
4. Penggunaan kunci identifikasi dalam identifikasi tumbuhan. Dasar
identifikasi dengan kunci identifikasi pun mencocokkan ciri-ciri yang
terdapat pada tumbuhan yang akan diidentifikasi dengan ciri-ciri
tumbuhan yang telah dikenal dan dibuat kuncinya. Kunci identifikasi
merupakan serentetan pertanyaan yang jawabnya harus ditemukan pada
spesimen yang akan diidentifikasi. Bila semua pertanyaan berturut-turut
dalam kunci identifikasi itu ditemukan jawabnya, berarti tumbuhan
tersebut sama dengan salah satu tumbuhan yang telah dibuat kuncinya,
dan nama serta tempatnya dalam sistem klasifikasi.
5. Penggunaan lembar identifikasi jenis. Lembar identifikasi jenis adalah
sebuah gambar suatu jenis tumbuhan yang disertai nama, klasifikasi,
9
dan keterangan-keterangan lain. Identifikasi dengan lembar identifikasi
jenis pada dasarnya adalah mencocokkan spesimen tumbuhan yang
akan
diidentifikasikan
dengan
lembar
identifikasi
yang
telah
dipersiapkan sebelumnya (Tjitrosoepomo, 1998).
2. Metode Kultur Tunas
Kultur jaringan tanaman merupakan salah satu teknik budidaya tanaman
secara in vitro. Istilah budi daya secara in vitro secara lebih luas diartikan sebagai
teknik budidaya sel, jaringan, dan organ tanaman dalam suatu lingkungan
terkendali dalam keadaan aseptik serta bebas mikroorganisme (Santoso &
Nursandi, 2002). Beberapa kelebihan teknik budidaya secara in vitro, yaitu
mampu menghasilkan metabolit sekunder dalam jangka waktu lebih cepat
dibandingkan isolasi langsung dari tumbuhan asal dan keleluasaan manipulasi
media tumbuh agar tumbuhan tersebut mampu menghasilkan metabolit sekunder
sesuai dengan yang kita harapkan.
Salah satu metode dalam kultur jaringan tanaman adalah kultur tunas.
Metode ini dipilih dalam penelitian karena mampu menghasilkan metabolit
sekunder dalam jangka waktu lebih singkat dibanding kultur kalus dan kultur
suspensi sel. Kultur tunas dipilih pada penelitian ini karena peneliti ingin melihat
pengaruh pemberian MeJA terhadap produksi metabolit sekunder yang dihasilkan
terutama flavonoid.
Perbanyakan tanaman dengan sistem kultur jaringan akan dapat berhasil
baik apabila syarat-syarat yang diperlukan terpenuhi. Syarat-syarat tersebut
meliputi: pemilihan eksplan sebagai bahan dasar pembentukan tunas, penggunaan
10
media yang cocok, keadaan yang aseptik dan pengaturan udara yang baik. Prinsip
dasar dalam kultur jaringan adalah semua sel dapat ditumbuhkan, tetapi sebaiknya
dipilih bagian tanaman yang masih muda dan masih mudah tumbuh, yaitu pada
titik tumbuh tanaman misalnya: daun muda, ujung akar, ujung batang, keping biji,
dan sebagainya (Santoso & Nursandi, 2002).
Kegunaan utama kultur jaringan tanaman adalah untuk mendapatkan
tanaman baru dalam jumlah banyak dalam waktu relatif singkat, yang mempunyai
sifat fisiologis dan morfologis sama persis dengan induknya serta tanaman baru
yang dihasilkan bersifat unggul. Melalui usaha ini juga dapat menghasilkan
metabolit sekunder untuk upaya penemuan obat, yaitu dengan memisahkan
senyawa yang terdapat di dalam kalus atau tunas, misalnya alkaloid, flavonoid,
saponin, dan sebagainya (Santoso & Nursandi, 2002).
Upaya peningkatan produksi metabolit sekunder dapat dilakukan dengan
menyeleksi atau menapis sel unggul, mencari komposisi media yang optimal atau
dengan pemberian prazat untuk mempersingkat proses biosintesis. Peningkatan
produksi metabolit sekunder juga dapat diupayakan dengan penggunaan elisitor
untuk meningkatkan biosintesis metabolit sekunder (Soegihardjo, 1996).
Elisitasi merupakan proses penambahan elisitor pada sel tumbuhan dengan
tujuan menginduksi dan meningkatkan pembentukan metabolit sekunder. Elisitor
terdiri atas dua kelompok, yaitu elisitor biotik dan elisitor abiotik (Salisburry &
Ross, 1995). Elisitor biotik dapat dikelompokkan dalam elisitor endogen dan
elisitor eksogen. Elisitor endogen umumnya berasal dari bagian tumbuhan itu
sendiri, seperti bagian dari dinding sel (oligogalakturonat) yang rusak. Rusaknya
11
dinding sel ini disebabkan oleh suatu serangan patogen. Elisitor eksogen berasal
dari dinding jamur misalnya kitin atau glukan. Selain itu dapat berupa senyawa
yang disintesis oleh patogen misalnya protein (Salisburry & Ross, 1995).
Elisitor abiotik dapat berasal dari senyawa anorganik, radiasi secara fisik
seperti ultraviolet, logam berat dan deterjen (Robinson, 1995). Elisitor abiotik
yang sering digunakan pada kegiatan kultur jaringan tanaman antara lain: asam
salisilat, nitrat oksida, tembaga (II) sulfat, asam jasmonat, dan metil jasmonat
(Zhao, dkk., 2005; El-Mawla, 2012).
3. Asam Metil Jasmonat
Asam metil jasmonat (MeJA) merupakan salah satu contoh elisitor abiotik
yang diberikan secara eksogen dalam kultur jaringan tanaman. MeJA merupakan
fitohormon endogen yang memiliki peran dalam regulasi beberapa proses
fisiologis tanaman seperti, merangsang pertumbuhan akar dan transportasi karbon
tanaman (Babst dkk., 2005), induksi pematangan buah, sinyal regulasi ekspresi
gen pada proses penuaan daun dan bunga (Srivastava, 2002), dan sinyal
transduksi respon ketahanan tanaman terhadap cekaman biotik dan abiotik (Yang,
dkk., 1997). Adanya cekaman terhadap tumbuhan membuat produksi MeJA
meningkat dan menyebabkan terjadinya mekanisme pertahanan tumbuhan salah
satunya dengan pembentukan metabolit sekunder (Vasconsuelo & Boland, 2007).
MeJA memiliki kemiripan sifat dengan asam absisat karena sama-sama banyak
diproduksi saat adanya cekaman. MeJA akan menstimulasi produksi sitokinin
sebagai fitohormon yang memacu pertumbuhan. Asam absisat merupakan
fitohormon yang mekanisme kerjanya berlawanan dengan fitohormon lainnya
12
seperti, auksin, sitokinin, dan giberalin karena asam absisat merupakan zat
penghambat pertumbuhan tanaman (Santoso & Nursandi, 2002).
MeJA merupakan derivat dari asam jasmonat yang terbentuk akibat proses
metilasi asam jasmonat oleh enzim karboksil metil transferase pada jalur asam αlinolenat (Zhao dkk., 2005). Gambar 2 merupakan skema jalur biosintesis asam
jasmonat dan metil jasmonat secara alami pada tumbuhan saat berada dalam
cekaman dari lingkungan seperti pelukaan atau patogen. Mekanisme pertahanan
yang dilakukan oleh tanaman adalah membentuk fitoaleksin atau metabolit
sekunder. Dari ilustrasi skema tersebut dapat dilihat ketika ada elisitor atau
penyebab patogen masuk ke dalam membran plasma tumbuhan maka akan
ditangkap oleh reseptor yang spesifik. Reseptor yang teraktivasi kemudian
mengaktivasi kanal ion dan protein G yang selanjutnya mengaktivasi fosfolipase
melalui Ca2+signaling atau dengan kopling protein G. Fosfolipase kemudian
menghidrolisis fosfolipid dan selanjutnya terjadi pelepasan asam linolenat dari
membran fosfolipid. Asam linolenat kemudian dikonversi menjadi asam 12oksofitodieonat yang kemudian membentuk asam jasmonat dan selanjutnya
termetilasi menjadi metil jasmonat (Zhao dkk., 2005).
Menurut Zhao dkk (2005) melalui jalur asam jasmonat dapat meningkatkan
berbagai macam produksi metabolit sekunder seperti terpenoid, flavonoid,
alkaloid, dan fenilpropanoid serta metabolit sekunder yang lainnya.
13
Gambar 2. Jalur biosintesis asam jasmonat sebagai elisitor transduksi sinyal
dalam pembentukan metabolit sekunder (Zhao dkk., 2005)
Gambar 3. Struktur MeJA
Gambar 3 merupakan gambar struktur MeJA yang secara alami pada
tumbuhan digunakan sebagai mekanisme pertahanan terhadap cekaman dengan
memproduksi metabolit sekunder.
4. Senyawa Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu metabolit sekunder yang termasuk dalam
kelompok polifenol. Golongan flavonoid digambarkan sebagai deretan senyawa
C6-C3-C6, yang kerangka utamanya terdiri dari 15 atom karbon yaitu gugus C6
disambungkan oleh rantai alifatik tiga karbon seperti pada Gambar 4. Flavonoid
14
mempunyai karakteristik pita I cincin B sistem sinamoil pada panjang gelombang
240-280 nm dan cincin II cincin A sistem benzoil pada panjang gelombang 300380 nm (Robinson, 1995).
Gambar 4. Struktur dasar flavonoid
Secara umum sintesis flavonoid terdiri atas dua jalur, yaitu jalur poliketida
dan jalur fenil propanoid. Reaksi pada jalur poliketida diawali dengan adanya
reaksi asetil CoA dengan enzim asetil CoA karboksilase yang akan menghasilkan
malonil CoA. Reaksi ini akan berlanjut sehingga membentuk poliasetil. Poliasetil
yang terbentuk akan berkondensasi dan bereaksi dengan hasil dari jalur
fenilpropanoid membentuk senyawa flavonoid (Markham, 2006).
Jalur fenilpropanoid berasal dari asam shikimat yang ditransformasikan
menjadi asam amino fenilalanin. Selanjutnya, fenilalanin akan melepaskan NH3
membentuk sinamat dan kemudian membentuk 4-Coumaroyl-CoA. Kemudian 4Coumaryl-CoA bereaksi dengan hasil dari jalur poliketida untuk membentuk
flavonoid (Markham, 2006). Gambar 5 merupakan biosintesis flavonoid secara
umum.
15
Gambar 5. Biosintesis flavonoid (Markham, 2006)
Salah satu golongan flavonoid adalah kuersetin. Senyawa kuersetin
merupakan flavonol yang banyak terdapat di jaringan tumbuhan dan banyak
memiliki aktifitas farmakologi. Sintesis kuersetin berasal dari bentuk flavanon
eriodityol yang bereaksi dengan 2-oksoglutarat dan bantuan enzim flavanon 3-
16
hidroksilase membentuk dihidrokuersetin. Selanjutnya, dihidrokuersetin bereaksi
dengan 2-oksoglutarat dan enzim flavonol sintase membentuk kuersetin (Dewick,
2009). Adapun reaksi sintesis kuersetin pada Gambar 6 sebagai berikut:
Gambar 6. Biosintesis kuersetin (Dewick, 2009).
Flavonoid
di
dalam
tumbuhan
memiliki
peran
penting
dalam
pertumbuhan, perkembangan dan pertahanan tumbuhan. Penelitian terhadap
khasiat dari flavonoid telah banyak dilakukan diantaranya memiliki kemampuan
kemopreventif pada model in vitro dan in vivo, mengurangi penyakit
kardiovaskuler (Chow dkk., 1974). Penetapan kadar flavonoid dapat ditentukan
menggunakan metode densitometri (Saric dkk., 2008).
17
5. Metode Ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu cara untuk menarik satu atau lebih zat dari
bahan asal dengan menggunakan pelarut. Tujuan utama ekstraksi ini adalah untuk
mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat
pengobatan (Syamsuni, 2006).
Beberapa metode ekstraksi antara lain, maserasi, refluks, perkolasi,
infundansi, dan soxhletasi. Pada penelitian kali ini metode ekstraksi yang
digunakan adalah refluks. Metode refluks merupakan metode ekstraksi dengan
cara panas, yaitu membutuhkan pemanasan pada proses ekstraksinya. Secara
umum pengertian refluks sendiri adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur
titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik (Anonim, 2000).
Prinsip metode refluks adalah pelarut volatil yang digunakan akan menguap
namun akan didinginkan dengan kondensor sehingga pelarut yang tadinya dalam
bentuk uap akan mengembun pada kondensor dan turun lagi ke dalam wadah
reaksi sehingga pelarut akan tetap ada selama reaksi berlangsung. Metode refluks
dapat digunakan untuk memperkaya sari sehingga ekstrak yang diperoleh lebih
banyak (Anantharaman & Begum, 2011).
6. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatogafi lapis tipis (KLT) merupakan sistem pemisahan fisikokimia
dengan menggunakan fase diam yang berupa lapisan tipis dan pengelusian dengan
fase gerak yang sesuai di dalam suatu bejana tertutup rapat (Stahl, 1985).
Keuntungan menggunakan metode ini antara lain pelaksanaan analisis sederhana,
18
komponen yang terpisah dapat diidentifikasi lebih lanjut menggunakan pereaksi
warna, fluoresensi atau radiasi sinar UV, elusi dapat dilakukan secara menaik
(ascending), menurun (descending), atau dua dimensi, serta kadar dapat
ditentukan dengan baik karena bercak tidak bergerak.
Pada semua prosedur kromatografi, kondisi optimum untuk suatu
pemisahan merupakan hasil kecocokan antara fase diam dan fase gerak (Sudjadi,
1988). Fase diam dalam KLT merupakan suatu penjerap berdiameter partikel
antara 10-30 µm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin
sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal
efisiensi dan resolusinya (Gandjar & Rohman, 2007). Penggunaan fase gerak
dapat disesuaikan dengan jenis senyawa yang ingin diisolasi.
Deteksi paling sederhana adalah jika senyawa menunjukkan penyerapan di
daerah serapan ultraviolet (UV) gelombang pendek (254 nm) atau bisa pada
gelombang panjang (366 nm). Cara lain adalah dengan menggunakan pereaksi
semprot yang sesuai. Pereaksi semprot harus mencapai pelat KLT dalam bentuk
tetesan yang sangat halus (Stahl, 1985).
Evaluasi dilakukan dengan pengamatan secara visual dan membandingkan
jarak bercak dari awal pengembangan dari senyawa yang dipisahkan. Jarak
tersebut pada umumnya dikonversikan dalam nilai Rf (Retardation factor) yang
merupakan hasil bagi antara jarak yang ditempuh senyawa terlarut dengan jarak
yang ditempuh pelarut.
Rf =
Jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik asal
Jarak yang ditempuh pelarut dari titik asal
(Sudjadi, 1988).
19
F. LANDASAN TEORI
Senyawa metabolit sekunder pada tumbuhan diketahui mempunyai banyak
manfaat bagi manusia, salah satunya sebagai senyawa obat. Maka banyak
dilakukan usaha untuk memaksimalkan produksi metabolit sekunder salah satunya
dengan teknik budidaya kultur jaringan tanaman. Usaha untuk memaksimalkan
produksi metabolit sekunder salah satunya dapat dilakukan manipulasi media
dengan cara mengubah konsentrasi senyawa pada media seperti elemen makro
dan mikro atau penambahan senyawa tertentu seperti elisitor. MeJA merupakan
fitohormon endogen yang secara alami berperan sebagai sinyal transduksi respon
ketahanan tanaman terhadap cekaman biotik dan abiotik (Yang dkk., 1997).
MeJA termasuk dalam elisitor abiotik, yaitu senyawa yang mampu
merangsang produksi fitoaleksin dan metabolit lain pada tumbuhan. Sharman dkk.
(2013) melaporkan bahwa penambahan MeJA dengan kadar 50 µM pada kultur
tunas Bacopa monnieri memberikan peningkatan kadar metabolit sekunder yaitu
bacoside A paling tinggi pada perlakuan selama 48 jam.
Mekanisme MeJA dalam mempengaruhi produksi metabolit pada
tumbuhan berkaitan dengan fungsinya sebagai respon pertahanan terhadap
cekaman. Reseptor pada membran sel yang teraktivasi oleh cekaman dari
lingkungan luar akan mengaktifkan kanal ion Ca2+ dan protein G yang akibatnya
merangsang lipase. Fosfolipase kemudian menghidrolisis fosfolipid dan
selanjutnya terjadi pelepasan asam linolenat dari membran fosfolipid. Asam
linolenat kemudian dikonversi menjadi asam 12-oksofitodieonat yang kemudian
terjadi pembentukan asam jasmonat dan kemudian termetilasi menjadi metil
20
jasmonat. Senyawa tersebut kemudian terintegrasi dengan oksilipin siklik yang
selanjutnya akan meningkatkan biosintesis metabolit sekunder. Enzim biosintesis
yang dituju pada peningkatan senyawa flavonoid adalah CHS (Chalcone
synthase) (Zhao dkk., 2005).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Horbowicz dkk. (2015),
penambahan MeJA dapat meningkatkan produksi flavonoid pada biji Fagopyrum
esculentum Moench. Enam jenis flavonoid yang terdeteksi peningkatan kadarnya
adalah rutin, orientin, vitexin, kuersetin, iso-vitexin, dan iso-orientin. Melalui
metode kultur tunas ini akan membuktikan bagaimana pengaruh asam metil
jasmonat terhadap produksi flavonoid pada kultur tunas tumbuhan jaka tuwa.
G. HIPOTESIS
Asam metil jasmonat bertindak sebagai elisitor yang dapat merangsang
pembentukan produksi metabolit sekunder, salah satunya flavonoid. Penambahan
asam metil jasmonat (MeJA) pada media akan meningkatkan produksi flavonoid.
Download