7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis 2.1.1 Definisi Psoriasis

advertisement
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Psoriasis
2.1.1 Definisi
Psoriasis vulgaris adalah penyakit inflamasi kronis yang ditandai dengan plak eritema
berbatas tegas ditutupi skuama putih tebal berlapis dengan predileksi terutama pada
ekstremitas bagian ekstensor seperti siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong
dan genitalia, terdapat tanda auspitz, koebner dan fenomena bercak lilin yang positif.
(Gudjonsson dan Elder, 2012).
2.1.2 Epidemiologi
Psoriasis tersebar di seluruh dunia. Prevalensinya diberbagai populasi bervariasi dari
0,1% hingga 11,8%. Di Amerika Serikat prevalensi psoriasis berkisar 2,2% sampai
2,6% dengan perkiraan 150.000 kasus baru didiagnosis tiap tahunnya. Prevalensi
psoriasis di RSUP dr. Kariadi semarang pada tahun 2003 hingga 2007 terdapat 198
kasus yaitu sebesar 0,97%. Psoriasis dapat menyerang semua kelompok umur, baik
anak-anak hingga dewasa (Parisi dkk., 2013). Pada sebagian besar kasus yaitu kurang
lebih 75% psoriasis terjadi pada umur kurang dari 40 tahun dengan puncak awitan
psoriasi adalah pada usia 20 hingga 30 tahun (Basko dkk., 2012).
8
2.1.3 Patogenesis
Patogenesis psoriasis sampai saat ini masih sulit untuk dipahami sehingga menarik
untuk diteliti. Psoriasis memiliki penyebab yang multifaktorial, antara lain: adanya
faktor genetik, faktor lingkungan dan gangguan sistem imun (Darouti dan Hay, 2010;
Mohamad, 2013; Barrea dkk., 2015). Beberapa penelitian menemukan adanya peran
genetik seperti lokus psoriasis susceptibility 1 (PSORS 1) pada kromosom 6p21,
lokus PSORS 2 pada kromosom 17 dan Human Leucocyte Antigen (HLA) seperti
HLA-Cw6, HLA-B13, HLA-Bw57 dan HLA-DR7 pada psoriasis (Lestari, 2009).
Pada lokus PSORS 2 terdapat gen ZNF750 berfungsi dalam proses diferensiasi
keratinosit. Gen ini mengkode protein seng finger yang membutuhkan satu atau lebih
ion Zn untuk menstabilkan strukturnya, sehingga mutasi pada gen ZNF750 dapat
menyebabkan psoriasis (Birnbaum dkk. 2011; Cohen dkk., 2012). Faktor lingkungan
yang berperan pada psoriasis adalah trauma, obesitas, merokok, stres, konsumsi
alkohol, infeksi strepotococcal dan obat-obatan (Darouti dan Hay, 2010; Mohamad,
2013; Barrea dkk., 2015).
Pada psoriasis terjadi hiperproliferasi dan diferensiasi abnormal keratinosit
epidermis, inflamasi, perubahan vaskuler yang diperantarai oleh sistem imun (Lestari,
2009). Mekanisme sistem imun pada psoriasis melibatkan interaksi yang komplek
antar sel imun dan sitokin-sitokin proinflamasi. Sel limfosit T merupakan sel utama
yang berperan dalam patogenesis psoriasis. Sel imun lain yang juga berperan dalam
patogenesis psoriasis adalah sel dendritik, sel natural killer (NK), sel mast,
neutrophil, makrofag dan sel keratinosit. Pada lesi psoriasis sel T CD8+ terdapat di
9
epidermis sedangkan makrofag, sel dendritik dermal dan sel T CD4+ terdapat di
dermis (Gudjonsson dan Elder, 2012). Sel dendritik yang matur akan menghasilkan
berbagai macam sitokin yang memicu diferensiasi dan ekspansi sel Th1 (IL2), Th17
(IL-6, TGF-β1 dan IL23) dan Th22 (TNF-α dan IL-6). Sel-sel imun berkomunikasi
melalui sitokin-sitokin yang dihasilkan akibat stimulasi dari bakteri, bahan kimia,
sinar ultraviolet dan faktor iritatif yang lain (Chamian dan Krueger, 2004; Das dkk.,
2009; Gudjonsson dan Elder, 2012; Coimbra dkk., 2012).
Peran sitokin pada patogenesis psoriasis sudah banyak dibutikan. Psoriasis
mengekspresikan berbagai macam sitokin proinflamasi seperti interleukin (IL), tumor
necrosis factor (TNF), dan interferon-γ (IFN- γ). Tumor necrosis factor-α banyak
diekspresikan pada lesi psoriasis, dihasilkan oleh sel makrofag, sel T, sel mast, sel
NK dan keratinosit. Sitokin ini berfungsi untuk meningkatkan pelepasan sitokin oleh
limfosit dan kemokin oleh sel makrofag, meningkatkan ekspresi molekul adesi yang
menarik sel neutrophil dan makrofag ke lesi melalui aktivasi endotel vascular,
menginduksi proliferasi sel keratinosit dan neovaskularisasi sel endotel yang
menstimulasi proses inflamasi (Kruger dan Bowcock, 2005; Darouti dan Hay, 2010;
Coimbra dkk., 2012; Ni dan Chiu, 2014).
Interferon-γ sangat penting terutama pada fase awal psoriasis dihasilkan oleh
sel Th1, meningkatkan migrasi sel radang dan meregulasi berbagai macam sitokin
proinflmasi lain seperti IL-1, IL-6, IL-8, IL-12, IL-15, TNF, interferon-inducible
protein-10 dan iNOS (Zhou dkk., 2009). Sitokin ini juga memiliki fungsi
menghambat apoptosis dan meningkatkan proliferasi keratinosit (Coimbra dkk.,
10
2012; Ni dan Chiu, 2014).
Gambar 2.1 Sel-sel Imun dan Sitokin yang Berperan dalam Pembentukan Plak
Psoriasis (Monteleone dkk., 2011; Yassky dan Krueger, 2007).
Peran Sel T helper 17 (Th 17) pada patogenesis psoriasis sudah banyak
dipaparkan. Sel Th17 berdiferensiasi dari sel T CD4+ akibat stimulasi dari IL-1, IL-6
dan transforming growth factor – β (TGF- β) dan proliferasinya diatur oleh IL-23
yang dihasilkan oleh sel keratinosit, makrofag dan sel dendritik yang teraktivasi
(Alobaidi dkk,2012; Coimbra dkk., 2012). Sel Th 17 memproduksi IL-17 dan IL-22
yang merupakan sitokin proinflamasi poten untuk mempertahankan proses inflamasi
(Kruger dan Bowcock, 2005; Alobaidi dkk., 2012; Coimbra dkk., 2012). Interleukin17 akan mengaktivasi sel keratinosit untuk menghasilkan IL-8 sebagai kemoatraktan
dari sel neutrophil. Interleukin-8 juga menginduksi aktivitas mitogen sel epidermis
11
termasuk proliferasi epidermis. Interleukin-22 berfungsi untuk menginduksi
hiperplasia, diferensiasi serta proliferasi sel keratinosit (Coimbra dkk., 2012). Sel
keratinosit menghasilkan sitokin inflamasi seperti IL-1β, IL-6 dan TNF-α yang akan
meningkatkan aktivitas sel dendritik dan memperluas inflamasi lokal (Monteleone
dkk., 2011; Yassky dan Krueger, 2007). Patogenesisi psoriasis dapat dijelaskan pada
Gambar 2.1.
Reactive oxygen species memicu terjadinya stres oksidatif yang menginduksi
berbagai macam respon biologi menyebabkan modifikasi DNA, peroksidasi lipid dan
produksi berbagai macam sitokin proinflamasi yang berkonstribusi dalam patogenesis
psoriasis (Zhou dkk., 2009). Reactive oxygen species terbentuk melalui proses
enzimatik yang tergantung seng. Reactive oxygen species bertindak sebagai second
messengers mempengaruhi jalur tranduski sinyal seperti NF-κB dan STAT pada
psoriasis. Faktor transkripsi NF-κB berperan penting dalam proses selular seperti
proses inflamasi, imun, proliferasi sel dan apoptosis (Lowes dkk., 2007).
Nuclear factor-κB sangat banyak diekspresikan pada lesi psoriasis. Reactive
oxygen species seperti hydrogen peroksida (H2O2), O2, HOCl, ONOO- yang
memodulasi aktivasi dari NF-κB. Jalur sinyal ini secara klasik diinduksi oleh sitokinsitokin proinflamasi seperti TNF dan IL-1β yang menyebabkan terbentuknya jalur
sitokin pada patogenesis psoriasis. Jalur ini dihambat oleh Zn sehingga sitokin-sitokin
proinflamasi yang berperan dalam pathogenesis psoriasis tidak terbentuk (Lowes
dkk., 2007).
12
Gambar 2.2 Aktivasi jalur sinyal STATs dan NF-κB oleh sitokin pada Psoriasis
(Lowes dkk., 2007).
Signal transducer and activator of transcription (STAT) merupakan jalur
sinyal yang juga berperan dalam patogenesis psoriasis. Jalur STAT pada mamalia
terdiri dari tujuh anggota yaitu STATs1, 2, 3, 4, 5a, 5b, dan 6. STAT1 diatur oleh
IFN-γ dan IL-20 yang menginduksi terbentuknya mediator inflamasi dan secara
parsial berkonstribusi pada pembentukan fenotip psoriasis. Pada sel keratinosit,
STAT3 diaktifkan oleh IL-22 adalah sitokin yang berperan dalam meningkatkan
pembentukan lesi psoriasis.
ROS seperti H2O2 juga mengaktifkan Jalur STAT3
(Lowes dkk., 2007; Zhou dkk., 2009). Aktivasi jalur sinyal STATs dan NF-κB pada
patogenesis psoriasis ditunjukan pada Gambar 2.2.
2.1.4 Manifestasi Klinis
13
Perjalanan klinis psoriasis tidak dapat diprediksi, ditandai oleh remisi dan kambuh.
Lesi klasik psoriasis memiliki ciri yang khas berupa papul hingga plak eritema batas
tegas yang disertai dengan skuama (Gudjonsson dan Elder, 2012; Mohamad, 2013).
Kulit dibawah skuama mengalami eritema dan bleeding points muncul jika skuama
dihilangkan yang dikenala dengan Auspitz sign. Lesi psoriasis pada umumnya
memiliki distribusi yang simetris (Gudjonsson dan Elder, 2012). Fenomena Koebner
atau isomorphic response adalah trauma yang menginduksi lesi psoriasis pada kulit
tanpa lesi. Fenomena ini tidak spesifik untuk psoriasis tetapi dapat membantu dalam
diagnosis jika fenomena ini ada (Gudjonsson dan Elder, 2012). Keluahn gatal yang
timbul pada psoriasis bervariasi dari ringan sampai berat. Rasa gatal yang terjadi pada
psoriasis diduga disebabkan oleh peningkatan aktivitas sel mastosit, substansi P dan
histamine (Walujo dkk., 2007).
Psoriasis dapat diklasifikasikan menjadi beberapa sub tipe seperti psoriasis
vulgaris, psoriasis gutata, psoriasis inversa, psoriasis eritrodermi, psoriasis pustulosa
generalisata (Von Zumbusch), psoriasis pustulosa lokalisata, sebopsoriasis (Traub
dan Marshall, 2007; Gudjonsson dan Elder, 2012).
2.1.4.1 Psoriasis vulgaris
Psoriasis vulgaris adalah bentuk klinis psoriasis yang paling sering terjadi yaitu
sekitar 90% pasien. Lesi kulit berupa plak eritema dengan skuama tebal, memiliki
distribusi yang simetris pada bagian ekstensor ekstremitas seperti siku dan lutut,
scalp, lumbosakral bagian bawah, bokong dan keterlibatan genital (Gudjonsson dan
14
Elder, 2012).
2.1.4.2 Psoriasis gutata
Psoriasis gutata (eruptive) sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang
terjadi dua minggu setalah infeksi streptococcal β hemolytic atau virus (Traub dan
Marshall, 2007). Psoriasis gutata ditandai dengan erupsi kulit berupa papul kecil
berdiameter 0.5 sampai 1.5 cm pada badan bagian atas dan ekstremitas bagian
proksimal, biasanya dapat menghilang dengan sendirinya dalam kurun waktu tiga
sampai empat bulan (Traub dan Marshall, 2007; Gudjonsson dan Elder, 2012). Tipe
psoriasis ini memiliki hubungan yang kuat dengan HLA-Cw6 dan infeksi
streptococcal pada tenggorokan terjadi terlebih dahulu atau bersamaan dengan
munculnya psoriasis gutata (Gudjonsson dan Elder, 2012).
2.1.4.3 Psoriasis Inversa
Psoriasis inversa terjadi terutama pada lipatan kulit, seperti aksila, region genitokruris dan leher. Skuama umumnya minimal atau tidak ada, dan lesi menunjukan plak
eritema mengkilat dengan batas yang jelas (Gudjonsson dan Elder, 2012).
2.1.4.4 Psoriasis eritrodermi
Psoriasis eritrodermi merupakan bentuk generalisata dari penyakit mengenai semua
bagian tubuh, seperti wajah, tangan, kaki, kuku, badan dan ekstremitas. Lesi kulit
eritema merupakan gejala klinis yang paling menonjol, skuama yang terjadi berbeda
dengan psoriasis bentuk kronis. Kulit psoriasis sering mengalami hipohidrotik
15
disebabkan karena oklusi dari duktus kelenjar keringat (Gudjonsson dan Elder, 2012).
2.1.4.5 Psoriasis pustular generalisata (von Zumbusch)
Psoriasis pustular generalisata adalah varian psoriasis yang akut, terbentuk dari tipe
psoriasis yang lain. Serangan ditandai dengan demam dalam jangka waktu beberapa
hari, erupsi pustul steril yang generalisata secara mendadak. Pustul tersebar pada
badan dan ekstremitas, termasuk nail beds, telapak tangan dan kaki (Gudjonsson dan
Elder, 2012).
2.1.4.6 Psoriasis pustular lokalisata
Psoriasis pustular lokalisata memiliki beberapa varian klinis seperti pustulosis
palmaris et plantaris dan acrodermatitis continua (Hallopeau) (Gudjonsson dan
Elder, 2012).
2.1.4.7 Sebopsoriasi
Sebopsoriasi ditandai dengan plak eritema dengan skuama yang berminyak pada area
seborrheic seperti kepala, glabella, lipatan nasolabial, perioral, area presternal dan
intertriginosa. Sebopsoriasis sebagai modifikasi dari dermatitis seboroik dengan latar
belakang genetik psoriasis (Gudjonsson dan Elder, 2012).
2.1.5 Diagnosis
Diagnosis psoriasis umumnya ditegakkan berdasarkan gambaran klinis berupa
makula eritema yang ditutupi skuama kasar berlapis-lapis, transparan pada tempat
predileksi yang khas. Pada pemeriksaan fisik ditemukan fenomena bercak lilin,
16
Auspitz sign dan Koebner (isomorfik). Fenomena bercak lilin dan Auspitz sign
merupakan tanda khas pada psoriasis, sedangkan fenomena Koebner merupakan
tanda yang tidak khas didapatkan positif pada 47% kasus dan didapatkan juga pada
penyakit yang lain seperti liken planus dan veruka plana juvenilis (James dkk., 2006;
Gudjonsson dan Elder, 2012).
Pada beberapa kasus yang secara anamnesis dan pemeriksaan fisik diagnosis
psoriasis tidak dapat ditegakkan, maka biopsi dibutuhkan untuk membantu dalam
menegakkan diagnosis. Pada pemeriksaan histopatologi pada lesi psoriasis dijumpai
gambaran hyperkeratosis, parakeratosis, akantosis dan hilangnya stratun granulosum.
Aktibitas mitosis sel epidermis yang tinggi sehinga proses pematangannya yang cepat
menyebabkan terjadi penebalan pada stratum korneum. Pada stratum korneum
dijumpai kumpulan sel radang yang dikenal sebagi mikroabses Monroe (James dkk.,
2006).
2.1.6 Derajat Keparahan Penyakit
Penilaian untuk luas dan derajat keparahan psoriasis digunkan sistem skor dengan
PASI. Skor PASI pertama kali diperkenalkan pada tahun 1978 sebagai metode
kuantitatif untuk menilai luas dan derajat keparahan penyakit psoriasis (Mohamad,
2013).
Psoriasis area and severity index menggabungkan elemen pada presentasi
klinis yang tampak pada kulit berupa eritema, indurasi (ketebalan lesi) dan skuama
dari setiap lokasi di permukaan tubuh. Setiap elemen tersebut dinilai secara terpisah
17
menggunakan skor 0 hingga 4 untuk setiap bagian tubuh, seperti kepala, badan,
ekstremitas atas dan ekstremitas bawah. Skor nol apabila tidak didapatkan lesi, satu
jika presentasi klinis ringan, dua dengan presentasi klinis sedang, tiga jika presentasi
klinis berat dan empat sangat berat. Penilaian dari masing-masing ketiga elemen yaitu
eritema, indurasi dan skuama kemudian dijumlahkan. Hasil penjumlahan tersebut
kemudian dikalikan dengan faktor koreksi yang terdapat pada tiap area tubuh (0,1
untuk kepala; 0,2 ekstremitas atas; 0,3 tubuh dan 0,4 ekstremitas bawah. Nilai yang
didapatkan dikalikan dengan skor 0 sampai 6 yang menggambarkan luas area yang
terlibat sehingga didapatkan nilai total keseluruhan PASI (Cindy, 2014). Nilai
maksimal skor PASI adalah 72 dan terrendah adalah nol (Dadras dkk. 2012)
Derajat keparahan psoriasis dibagi menjadi ringan dan berat (Mohamad,
2013). Psoriasis dengan derajat ringan jika didapatkan total skor PASI 3 sampai 12,
derajat berat dengan skor PASI 13 sampai 18. Dadras dkk. (2012) membagi derajat
keparahan psoriasis menjadi derajat ringan, sedang dan berat. Psoriasis derajat ringan
jika skor PASI kurang dari 10, sedangkan derajat sedang hingga berat memiliki skor
PASI lebih dari 10 (Dadras dkk., 2012).
Budiastuti dan Sugianto (2009) serta penelitian oleh Sugianto dkk (2013),
pada penelitiannya membagi derajat keparahan psoriasis menjadi tiga berdasarkan
skor PASI yaitu: derajat ringan dengan PASI kurang dari 8, derajat sedang dengan
PASI 8 hingga 12 dan derajat berat dengan PASI lebih dari 12. Psoriasis area and
severity index merupakan sistem penilaian yang digunakan untuk tujuan penelitian
dan memantau respon terapi psoriasis (Mohamad, 2013).
18
Tabel 2.1 Psoriasis Area and Severity Index
Karakteristik
Plak
Skor
Kepala
Tidak ada = 0
Minimal = 1
Sedang = 2
Berat = 3
Sangat berat
=4
Total
Faktor koreksi
x 0.1
A. Total permukaan Area
Persentase
Tidak ada = 0
area tubuh
<10% = 1
yang terlibat
10-29% = 2
(nilai antara 0 30-49% = 3
sampai 6)
50-69% = 4
70-89% = 5
90-100% = 6
B. Total Permukaan area
dikalikan dengan area yang
terlibat
Nilai Total (Total A + Total B) Nilai PASI
Bagian tubuh dan Nilainya
Ekstremitas
Badan
Ekstremitas
atas
bawah
Eritema
Tebal lesi
Skuama
x 0.2
x 0.3
x 0.4
2.1.7 Terapi
Penanganan psoriasis masih sangat sulit, pengobatan yang tersedia saat ini belum
memberikan hasil yang memuaskan karena belum ditemukan pengobatan yang efektif
dan aman untuk mempertahankan remis lesi psoriasis (Walujo dkk., 2007). Tujuan
terapi adalah untuk meningkatkan dan menekan derajat keparahan penyakit hingga
ditingkatan yang tidak mempengaruhi kehidupan pribadi, sosial dan pekerjaan pasien.
Tiga dasar modalitas terapi untuk penatalaksanaan psoriasis adalah agen topikal,
sistemik dan fototerapi. Semua modalitas terapi ini dapat digunakan tunggal,
19
kombinasi satu dengan yang lain (Mikhail dan Scheinfeld, 2004). Terapi topikal lini
pertama untuk psoriasis adalah emolien, kortikosteroid dan analog vitamin D,
sedangkan untuk terapi lini kedua dapat dipilih asam salisilat dan retinoid topikal.
Pilihan terapi sistemik lini pertama untuk psoriasis terdiri dari methotrexate, acitretin
dan agen biologi, terapi lini kedua dapat dipilih cyclosporine A. Fototerapi untuk
pasien psoriasis, antara lain: narrow band dan broad band ultraviolet B (UVB) yang
merupakan terapi lini pertama dan PUVA dan excimer sebagai terapi lini kedua
(Gudjonsson dan Elder, 2012) .
Setiap pasien psoriasis memiliki manifestasi dan kondisi klinis yang berbedabeda sehingga pemilihan terapi untuk psoriasis bersifat individual tergantung dampak
terhadap kualitas hidup pasien, luas area tubuh yang terlibat, gaya hidup, masalah
kesehatan yang mendasari dan harapan dari pasien (Mikhail dan Scheinfeld, 2004).
Terapi untuk psoriasis plak kronis ringan hingga sedang dimulai dengan terapi
topikal seperti emolien dan agen keratolitik, kortikosteroid topikal, analog vitamin D,
tar, retinoid topikal dan antralin. Terapi topikal tunggal dapat diberikan jika area yang
terlibat kurang dari lima persen. Pada psoriasis yang berat modalitas terapi yang dapat
dipilih adalah sinar ultraviolet B, psoralen dan ultraviolet A, retinoid oral,
methotrexate (terutama pada artritis), cyclosporine dan agen biologi (Mikhail dan
Scheinfeld, 2004).
Pemberian antioksidan dalam penatalaksanaan psoriasis saat ini terbukti
bermanfaat (Zhou dkk., 2009). Pemberian suplemen antioksidan pada psoriasis
20
bertujuan untuk menghambat inflamasi dan stres oksidatif (Ala dkk., 2013).
2.2 Seng
2.2.1 Biologi Seng
Seng terdapat pada semua organ, jaringan dan cairan tubuh (Haghollahi dkk.,
2008). Kulit dan jaringan adneksa banyak mengandung Zn, diperkirakan kurang lebih
20% dari kadar total seluruh tubuh. Kadar Zn di epidermi (50-70 µg/g) lebih banyak
lima hingga enam kali lipat dibandingkan dermis yaitu sebesar 5-10 µg/g (Lansdown
dkk., 2007; Rostan, dkk., 2002).
Seng pada tubuh dalam bentuk Zn2+, memiliki afinitas tinggi terhadap
elektron yang memungkinkan untuk bereaksi dengan beberapa asam amino (Shankar,
2000). Seng berikatan dengan protein seperti albumin, mikroglobulin dan trasferin
(Honscheid, 2009).
Homeostasis Zn dalam tubuh tergantung pada absobsi Zn eksogenus, sekresi
gastrointestinal dan eksresi Zn endogenus (Hidayat, 1999; Zaky dkk., 2013). Seng
eksogenus terutama diabsobsi pada duodenum dan jejunum bagian proksimal,
kemudian berikatan dengan membran apikal enterosit yang selanjutnya dibawa ke
dalam sel, disekresikan ke darah atau kembali ke saluran cerna, disimpan dalam hati
dan pancreas sebagai Zn endogen (Lansdown dkk., 2007).
Faktor-faktor yang
mempengaruhi absobsi Zn, antara lain: jumlah Zn yang diperoleh dari makanan yang
dikonsumsi, diet yang meningkatkan dan menghambat absorbsi Zn. Makanan yang
kaya protein umumnya banyak mengandung Zn (Lansdown dkk., 2007). Absorbsi Zn
21
dihambat oleh zat besi, copper dan phytates. Beberapa obat seperti ciprofloksasin,
penisilin, tetrasiklin dan antagonis reseptor H2 juga menurunkan absobsi Zn.
Kontrasepsi oral dan tetrasiklin menurunkan kadar Zn dalam plasma (Hidayat, 1999
dan Haghollahi dkk., 2008). Diet yang meningkatkan absobsi Zn adalah air susu ibu
dan protein hewani (Hidayat, 1999).
Eksresi Zn terjadi melalui saluran pencernaan yaitu feses sebesar 1 hingga 3
mg per hari, urin sebesar 0.1 hingga 0.9 mg per hari dan 0.5 hingga 1.5 mg perhari
melalui keringat, kuku, kulit dan rambut (Hidayat, 1999 dan Haghollahi dkk., 2008).
Homeostasis Zn intraseluler diatur oleh protein buffer dan protein transport.
Protein buffer yang berperan dalam menjaga homeostasis Zn intraseluler adalah
metallothioneins (MT) yang bertindak sebagai penyimpan. Protein transport
diperankan oleh 14 ZnT (SLC 39A) dan 10 ZIP (SLC 30A), mengatur transport Zn di
intraseluler (Gambar 2.3) (Prasad, 2014; Cebrera, 2015). Pelepasan ion Zn dihasilkan
melalui proses reduksi thiol pada molekul MT. Protein transport ZIP terutama terlibat
dalam uptake Zn, sedangkan Znt memediasi pengeluaran atau efflux Zn intraselular
(Lansdown dkk., 2007; Cebrera, 2015 ).
22
Gambar 2.3 Homeostasis Seng Intraseluler (Cebrera, 2015).
Seng terdapat pada matrik intraselular dan ekstraselular epidermis dan dermis
dalam bentuk komplek protein yang berperan dalam menjaga stabilitas membran sel,
maturasi, migrasi dan mitosis. Kadar seng yang lebih tinggi pada epidermis
dibandingkan dermis menunjukkan aktivitas enzim DNA dan RNA polymerase
membutuhkan Zn untuk proses mitosis pada sel basal (Lansdown dkk., 2007).
Keseimbangan Zn dalam tubuh sangat penting untuk menjaga proses biologi
tetap berjalan dengan baik. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya
defisiensi Zn dalam tubuh antara lain sickle cell anemia, gangguan ginjal, diabetes
23
mellitus, alcoholism, kehamilan, anorexia, bulimia, usia tua, infeksi HIV, pasien luka
bakar dan pasien dengan penyakit gastrointestinal yang kronis.
Parameter yang digunakan untuk mengetahui status Zn adalah kadar Zn serum
atau plasma; konsentrasi Zn pada eritrosit, leukosit dan neutofil; Kadar Zn dalam
rambut, urin dan air liur; uji ketajaman pengecapan; keseimbangan metabolism Zn;
studi isotope; respon pertumbuhan dan perkembangan seksual terhadap suplemen Zn;
enzim yang tergantung Zn. Konsentrasi Zn dalam serum atau plasma paling sering
digunakan sebagai parameter untuk menetapkan status Zn seseorang karena mudah
dilakukan dan cukup akurat. Pemeriksaaan ini memiliki keterbatasan yaitu hanya
dapat digunakan bila serum tidak mengalami hemolisis atau terkontaminasi serta
tidak adanya infeksi (Hidayat, 1999). Konsentrasi Zn dalam plasma cepat mengalami
perubahan dipengaruhi oleh beberapa kondisi seperti stres, infeksi, hormonal dan
asupan makanan (Feitosa dkk., 2013).
2.2.2 Seng sebagai Antioksidan
Antioksidan berperan dalam menjaga kesehatan kulit. Manfaat antioksidan seperti
vitamin C dan E sudah banyak diketahui, namun manfaat Trace elements seperti Zn
masih belum banyak ketahui (Rostan dkk., 2002).
Banyak studi pada manusia
menunjukan Zn memiliki efek proteksi terhadap radikal bebas dan stres oksidatif
(Rostan dkk., 2002). Seng berfungsi menjaga kestabilan membran terhadap radikal
bebas yang menginduksi kerusakan jaringan selama proses inflamasi (Prasad, 2008).
Trace elements ini merupakan elemen yang penting pada lebih dari 300
24
metalloenzymes, yaitu sebagai kofaktor superoxide dismutase (SOD), mempengaruhi
pembentukan, kestabilan dan aktivitas enzim tersebut (Rostan dkk., 2002).
Superoxide dismutase merupakan enzim yang mengkatalisis superoksida menjadi
H2O2.
Seng
menghambat
enzim
NADPH
oksidase
sehingga
mengurangi
pembentukan ROS dan juga menginduksi pembentukan metallotionein yang kaya
cysteine melindungi dari •OH (Prasad, 2014). Seng juga menjaga penyimpanan
vitamin E, menjaga kestabilan struktur membran dan mencegah oksidasi LDL serta
VLDL.
Mekanisme kerja Zn sebagai antioksidan masih belum diketahui. Dua teori
yang diperkirakan sebagai mekanisme kerja Zn dalam perannya sebagai antioksidan,
yaitu: reaksi redok oleh Zn menggantikan reaksi redok trace elements lain seperti Fe
dan tembaga (Cu) di intra dan ekstraselular; Zn menginduksi sintesis metallothionein
(MT), membentuk seng-thiolate yang berfungsi untuk melindungi kulit dan
komponennya terhadap radikal bebas terutama dari ion .OH (Powell, 2000; Prasad,
2014).
Seng berikatan dengan membran sel dan beberapa protein, bersaing dan
menggantikan reaksi redok dari Fe dan Cu. Besi dan tembaga mampu untuk
mentransfer elektron bebas sehingga menghasilkan ROS seperti HO. Dan O2- . Seng
memiliki reaksi redok yang stabil dan tingkatan ionsisasi yang tunggal pada pH
fisiologi. Seng berkompetisi dengan Fe dan Cu untuk berikatan dengan ligan (DNA
atau membran sel) yang akan menurunkan produksi radikal bebas (Prasad, 2014).
Ion Fe akan berikatan dengan ligan pada DNA atau membran sel, ketika
25
terdapat H2O2 oleh enzim SOD akan membentuk OH- dan HO. yang dapat
menyebabkan kerusakan struktur dan mutasi DNA (Powell, 2000; Prasad, 2014).
Fe++ - ligan + H2O2
Fe+++ - ligan + OH- + HO.
Jika Seng menggantikan tempat Fe pada ligan, maka reaksi yang merusak
akibat terbentuknya OH- dan HO. dapat dicegah. Ion Fe yang bebas akan berikatan
dengan protein ferritin pada ruang intraseluler dan transferrin pada ruang
ekstraseluler (Powell, 2000).
Fe++ - ligan + Zn++
Zn++ - ligan + Fe++
Fe++ + ferritin, transferrin
Fe- ferritin,-transferrin
Mekanisme lain yang menunjukkan Zn sebagai antioksidan adalah Zn akan
berikatan dengan kelompok sulfhydryl (SH) pada molekul biologi yang akan
melindunginya dari proses oksidasi, Zn meningkatkan aktivasi molekul, protein dan
enzim antioksidan seperti glutathione, katalase, SOD dan menurunkan aktivitas
enzim yang menginduksi pembentukan oksidan, seperti iNOS, NADPH oxidase dan
menghambat proses peroksidase lipid (Mohamad, 2013; Prasad, 2014).
2.2.3 Seng sebagai Antiinflamasi
Defisiensi Zn selain menyebabkan kondisi stres oksidatif juga memicu inflamasi
dengan meningkatkan produksi sitokin proinflamasi (Prasad, 2009). Ditingkat selular
Zn berperan dalam proses tranduksi sinyal dengan menghambat aktivitas Nuclear
factor к-B sehingga menurunkan ekspresi gen dan pembentukan TNF-α, IL-1β dan
IL-8 (Prasad, 2008). Nuclear factor к-B diaktifkan oleh ROS yang memicu
26
pembentukan sitokin inflamasi, molekul anti-apoptotic, faktor pertumbuhan seperti
vascular endothelial growth factor (VEGF), epidermal growth factor receptor
(EGFR), molekul adesi seperti integrin, intercell adhesion molecule 1 (ICAM-1),
vascular cell adhesion molecule 1 (VCAM-1) serta enzim inducible nitric oxide
synthase (iNOS). Seng melalui protein A20 yang merupakan faktor transkripsi Zn
atau seng finger protein menghambat aktivasi Nuclear factor к-B dengan menurunkan
aktivasi enzim IkB kinase (IKK) sehingga menurunkan produksi sitokin proinflamasi
dan molekul adhesi (Prasad, 2014; Cebrera, 2015). Penghambatan Aktivasi NF- к-B
oleh Zn ditunjukan pada Gambar 2.4 (Cebrera, 2015).
Seng meningkatkan ekspresi protein PPAR-α yang juga menghambat aktivitas
Nuclear factor к-B dengan menurunkan produksi sirokin proinflamasi dan molekul
adhesi (Prasad, 2014). Defisisensi Zn memicu kondisi stres oksidatif sehingga
meningkatkan aktivitas makrofag untuk menghasilkan sitokin proinflamasi seperti
TNF-α, IL-1β, IL-6 dan IL-8. Kadar IL-10 juga meningkat pada kondisi dengan
defisiensi Zn. Beberapa penelitian menunjukan sitokin inflamasi seperti TNF-α, IL1β yang dihasilkan monosit dan makrofag dapat meningkatkan produksi ROS.
Meningkatnya kadar sitokin ini dikaitkan dengan penurunan kadar Zn (Prasad, 2008;
Cabrera, 2014).
Proses inflamasi meningkatkan produksi ROS, mengaktifkan jalur sinyal NF
к-B yang selanjutnya meningkatkan regulasi gen target yang mengkode sitokin
inflamasi, CRP, molekul adhsi, inducible nitric oxide synthase (iNOS), cyclooxygenase 2, fibrinogen dan faktor jaringan (Prasad, 2014).
27
Gambar 2.4 Seng melalui jalur A20 menghambat aktivasi Nuclear factor к-B
(Cebrera, 2015).
2.3 Hubungan Seng dan Psoriasis
Psoriasis merupakan penyakit inflamasi yang melibatkan faktor genetik, lingkungan
dan sistem imun (Darouti dan Hay, 2010; Mohamad, 2013; Barrea dkk., 2015). Gen
ZNF750 yang terletak pada kromosom 17, lokus PSORS 2 berfungsi dalam proses
diferensiasi keratinosit. Gen ini mengkode protein seng finger yang membutuhkan
satu atau lebih ion Zn untuk menstabilkan strukturnya. Beberapa studi menunjukan
gen ZNF750 banyak diekspresikan pada pasien dengan riwayat keluarga psoriasis
(Birnbaum dkk. 2011; Cohen dkk., 2012).
28
Stres oksidatif terjadi akibat ketidak seimbangan antara oksidan dan
antioksidan berupa peningkatan produksi ROS dan menurunnya aktivitas antioksidan
berperan pada patogenesis psoriasis (Nassiri dkk., 2009; Zhou dkk., 2009). Reactive
oxygen species terbentuk selama proses inflamasi yang dihasilkan oleh neutrophil, sel
keratinosit, dan fibroblast (Nassiri dkk., 2009; Kadam dkk., 2010; Al-Jebory, 2012;
Sheikh dkk., 2015). Kondisi Stres oksidatif pada psoriasis memicu terjadinya
hiperproliferasi epidermis, meningkatnya proses peroksidasi lipid sehingga terbentuk
malondialdehyde (MDA) (Nassiri dkk., 2009). Hal ini dibuktikan oleh Nassiri dan
kawan-kawan pada tahun 2009, pada penelitiannya terdapat peningkatan kadar MDA
serum pada penderita psoriasis dibandingkan kontrol. Pada lesi psoriasis didapatkan
peningkatan kadar asam arakidonat yang merupakan bahan alami untuk sintesis MDA
sebagai produk akhir dari proses peroksidasi lemak (Kadam dkk., 2010). Penelitian
oleh Kadam dkk (2010), menunjukan peningkatan kondisi stres oksidatif pada
fibroblast kulit pasien psoriasis tanpa lesi, hal ini membuktikan adanya kondisi stres
oksidatif bahkan sebelum lesi plak psoriasis terbentuk.
Tubuh memiliki sistem antioksidan untuk proteksi terhadap efek ROS. Sistem
antioksidan dibagi menjadi dua, yaitu: antioksidan enzimatik dan non enzimatik.
Antioksidan enzimatik terdiri dari superoxide dismutase (SOD) merupakan enzim
tergantung Zn yang berperan dalam melawan efek buruk ROS dilaporkan berperan
dalam patogenesis psoriasis (Nassiri dkk., 2009; Zhou dkk., 2009; Sheikh dkk.,
2015). Superoxide dismutase pada sel mamalia memiliki tiga bentuk, yaitu:
mitokondria Mn-SOD, sitoplasam Cu, Zn-SOD dan ekstraselular Cu, Zn-SOD.
29
Antioksidan enzimatik yang lainnya adalah catalase (CAT), glutathione peroxidase
(GPx) dan metallothioneins, sedangkan Antioksidan non enzimatik terdiri dari:
glutathione, vitamin dan trace elements (Nassiri dkk., 2009; Zhou dkk., 2009).
Peran trace elements pada patogenesis psoriasis masih belum banyak
diketahui. Trace elements didapatkan dalam jumlah kecil pada jaringan, terdapat
sepuluh jenis trace elements yang esensial, yaitu: Zn, tembaga, mangan, yodium, zat
besi, cobalt, molybdenum, timah, selenium dan chromium. Jumlah normal trace
elements dalam darah penting untuk menjaga kesehatan kulit, jumlah yang tidak
normal dapat memicu berbagai macam penyakit kulit termasuk psoriasis (Dadras
dkk., 2012; Mohamad, 2013).
Seng merupakan co-factor dari enzim polymerase DNA dan RNA yang
dibutuhkan dalam sintesis protein pada kulit. Seng berikatan dengan enzim SOD (ZnSOD) di ruang intramembran mitokondria berfungsi untuk mengurangi produksi ROS
yang dapat memicu proses inflamasi. Menurunnya kadar Zn menyebabkan
menurunnya aktivitas enzim SOD menginduksi kerusakan sel (Mohamad, 2013).
Seng pada psoriasis berfungsi menjaga keseimbangan peroksidan dan antioksidan
menyebabkan perubahan kadar Zn dalam serum pada penderita psoriasis (Ala dkk.,
2013).
Nuclear factor κβ merupakan jalur transkripsi yang terlibat dalam patogenesis
psoriasis. Nuclear factor – кB terdapat pada sel keratinosit, limfosit dan endotel,
diaktifkan oleh ROS dan sitokin seperti TNF, IL-1, TLR. Aktivasi NF-кB
menghasilkan sitokin dan faktor pertumbuhan seperti TNF-α dan IL-1β, IL-6, IL-8,
30
IL-20, ECGF, VEGF, PDGF yang terbukti berperan dalam pembentukan lesi
psoriasis (lowes dkk., 2007; Zhou dkk., 2009). Aktivasi tumor necrosis factor alpha
merupakan faktor penting dalam menginduksi dan menjaga lesi psoriasis. Seng
menghambat aktivasi NF-кB melalui Zinc finger protein A20. Zinc finger protein
A20 disebut juga tumor necrosis factor (TNF) α induced protein 3 (TNFAIP3)
merupakan protein yang memiliki sistem regulasi negative terhadap jalur sinyal NFкB dan menghambat aktivasi dari jalur transkripsi ini. Ekspresi TNFAIP3 terbukti
berkorelasi negatif dengan derajat keparahan psoriasis (Tang dkk., 2014).
Penelitian yang mencari korelasi antara kadar Zn dengan psoriasis
menggunakan darah sebagai parameternya. Konsentrasi kadar Zn dalam darah paling
sering digunakan sebagai parameter untuk menentapkan status Zn karena mudah
dilakukan. Konsentrasi Zn dalam serum umumnya 5-15% lebih tinggi dari plasma
karena adanya pelepasan Zn oleh trombosit dan eritrosit pada saat darah membeku.
Pada penelitian oleh Chen dan kawan-kawan membuktikan bahwa konsentrasi Zn
dalam plasma dan serum tidak menunjukan perbedaan secara bermakna (Hidayat,
1999).
Peran seng dalam patogenesis psoriasis masih belum jelas, beberapa
penelitian yang mencari hubungan seng dengan psoriasis memberikan hasil yang
bervariasi. Beberapa penelitian melaporkan kadar Zn pada darah pasien psoriasis
lebih rendah dibandingkan kontrol yang sehat. Penjelasan yang banyak dipaparkan
mengenai penyebab rendahnya kadar Zn dalam darah pada psoriasis akiba hilangnya
Zn secara sekunder melalui proses eksfoliasi (Ala, 2013; Payasvi, 2013). Penurunan
31
kadar Zn dalam darah juga dihubungkan dengan derajat keparahan psoriasis,
penurunan kadar seng terutama terjadi pada psoriasis berat akibat regenerasi kulit
yang cepat dan eksfoliasi kulit yang banyak mengandung Zn (Mohamad, 2013).
Menurunnya kadar albumin menyebabkan penurunan kadar Zn yang
berdampak terhadap penurunan aktivitas enzim SOD sehingga meningkatkan kondisi
stres oksidatif yang berperan dalam perkembangan psoriasis (Gambar 2.5). Kadar
protein dan albumin darah yang rendah pada psoriasis terjadi akibat meningkatnya
turnover penglupasan kulit yang disertai dengan jumlah skuama berlebih dan
rendahnya sintesis protein (Nigam, 2005; Mohamad, 2013). Hipoalbuminemia yang
terjadi pada psoriasis akibat mengingkatnya katabolisme endogen tanpa disertai
kehilangan albumin lewat urin, feses dan kulit yang signifikan. Beberapa penelitian
menunjukan terjadi peningkatan kebutuhan pengambilan albumin oleh hati dan
makrofag yang memperberat kondisi hipoalbuminemia (Sheikh dkk., 2015).
Perubahan kadar Zn dalam plasma maupun serum mempengaruhi kondisi patologi
pada psoriasis, hal ini dibuktikan pada beberapa studi yang menunjukan lesi
psoriasiform dikaitkan dengan defisiensi Zn sistemik pada percobaan hewan maupun
manusia (Ala dkk., 2013).
32
Gambar 2.5 Patogenesis Psoriasis Terkait dengan Seng (Sheikh dkk., 2014).
Plak psoriasis juga diduga terjadi akibat defisiensi Zn secara sistemik
(Mohamad, 2013). Fakta menunjukan defisiensi Zn yang didapat dan kongenital
memberikan berbagai macam manifestasi kulit seperti psoriasis-like eruption, bula,
rambut rontok dan onychopathy (Ala dkk., 2013). Manifestasi kulit psoriasis-like
eruption pada defisiensi Zn berupa bercak atau plak eritema berbatas tegas dengan
skuama yang simetris pada lutut, siku, tumit dan kepala bagian occipital merupakan
lokasi yang sering mengalami trauma atau gesekan. Plak mengalami hiperkeratosis
mirip dengan lesi psoriasis. Lesi vesikel maupun bula dapat terjadi pada ujung jari
dan telapak tangan. Perubahan pada kuku berupa warna kuku kecoklatan, paronikia
dan terdapat Beau’s Line (Rostan dkk., 2002).
Download