22 BAB III KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN

advertisement
BAB III
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
3.1
Teori Efisiensi Pasar
Pasar modal yang efisien mengatakan bahwa harga sekuritas akan segera
mencerminkan informasi yang relevan. Dengan kata lain, keputusan investasi yang
dilakukan oleh para pemodal merupakan reaksi atas informasi yang mereka terima.
Semakin cepat informasi baru tercermin pada harga sekuritas maka semakin efisien
pasar modal tersebut. Harga-harga sekuritas akan cepat menyesuaikan bila ada
informasi baru yang muncul dansetelah terjadi penyesuaian para pemodal tidak akan
mampu untuk mendapatkan tingkat keuntungan diatas normal (abnormal return)
dengan melakukan transaksi perdagangan di bursa efek. Efisiensi pasar modal yang
dikaitkan dengan bagaimana pasar bereaksi terhadap informasi yang tersedia ini
dibuat dengan efisiensi pasar secara informasi (Jogianto, 2008).
Pasar yang efisien adalah pasar dimana harga semua sekuritas yang
diperdagangkan telah mencerminkan semua informasi yang tersedia (Tandelilin,
2010). Menurut Husnan (2009), pasar modal yang efisien merupakan pasar yang
harga-harga sekuritas-sekuritasnya telah mencerminkan semua informasi yang
relevan. Semakin cepat informasi baru tercermin pada harga sekuritas, maka semakin
efisien pasar tersebut. Dengan demikian akan sangat sulit bagi para pemodal untuk
mendapatkan tingkat keuntungan di atas normal secara konsisten dengan melakukan
22
transaksi perdagangan di Bursa Efek. Menurut Martalena dan Malinda (2011), ada
beberapa kondisi yang harus terpenuhi untuk tercapainya pasar yang efisien yaitu:
a.
Ada banyak investor yang rasional dan berusaha untuk memaksimalkan
keuntungan,
b.
Semua pelaku pasar dapat memperoleh informasi pada saat yang sama dengan
cara yang mudah dan murah, informasi yang terjadi bersifat acak,
c.
Investor bereaksi secara cepat terhadap informasi baru,
d.
sehingga harga sekuritas berubah sesuai dengan perubahan nilai sebenarnya
akibat informasi tersebut.
Masing-masing bentuk efisiensi pasar terkait erat dengan sejauh mana
penyerapan informasi.Semakin cepat pasar bereaksi terhadap informasi yang ada,
semakin cepat potensi pasar tersebut untuk mencapai kondisi efisien (Gumanti dan
Utami, 2002). Menurut Fama (1991) dalam Manurung (2012), ada tiga bentuk
efisiensi pasar tersebut adalah:
a.
Weak form efficiency (efisiensi pasar bentuk lemah)
Pasar dikatakan efisien dalam bentuk lemah jika harga-harga dari sekuritas
tercermin secara penuh (fully reflect) informasi masa lalu. Informasi masa lalu
merupakan informasi yang sudah terjadi.Bentuk efisiensi pasar secara lemah
ini berkaitan dengan teori langkah acak yang menyatakan bahwa data masa
lalu tidak behubungan dengan nilai sekarang.Ini berarti bahwa untuk pasar
efisien bentuk lemah, investor tidak dapat menggunakan informasi masa lalu
untuk mendapatkan keuntungan yang tidak normal.
23
b.
Semi strong form efficiency (efisiensi pasar semi kuat)
Pasar dikatakan efisien setengah kuat jika harga-harga sekuritas secara penuh
mencerminkan (fully reflect) semua informasi yang dipublikasikan (all
publicly available information) termasuk informasi yang berada di laporanlaporan keuangan perusahaan emiten. Informasi yang di publikasikan dapat
berupa sebagai berikut :
1) Informasi yang dipublikasikan yang hanya mempengaruhi harga
sekuritas dari perusahaan yang mempublikasikan informasi tersebut.
2) Informasi yang dipublikasikan yang mempengaruhi harga-harga
sekuritas sejumlah perusahaan.
3) Informasi yang dipublikasikan yang mempengaruhi hargaharga
sekuritas dari semua perusahaan yang terdaftar di pasar saham.
Jika pasar efisiensi dalam bentuk setengah kuat, maka tidak ada investor atau
grup dari investor yang dapat menggunakan informasi yang dipublikasikan
untuk mendapatkan keuntungan tidak normal dalam jangka waktu yang lama.
c.
Strong form efficiency (efisiensi pasar kuat)
Pasar dikatakan efisien dalam bentuk kuat jika harga-harga mencerminkan
informasi yang bersifat pribadi, dan juga informasi lainnya (yang
dipublikasikan dan masa lalu). Informasi pribadi (inside information) adalah
informasi yang belum dipublikasikan.Biasanya informasi tersebut hanya
beredar
dikalangan
orang
dalam
(insiders),
seperti
direksi-direksi
perusahaan.Implikasi dari kondisi tersebut adalah investor tidak bisa
24
memperoleh keuntungan abnormal dengan menggunakan informasi dalam,
dan juga semua informasi yang ada. Tentu saja bentuk efisiensi semacam ini
merupakan bentuk efisiensi yang sangat ekstrim, dan barangkali masih jauh
dari kenyatan
Dalam penelitian ini melakukan pengujian efisiensi bentuk setengah kuat,
dimana jika terdapat abnormal return maka pasar harus bereaksi secara cepat untuk
menyerap abnormal return dan menuju ke harga keseimbangan yang baru. Efisiensi
pasar bentuk setengah kuat hanya ditinjau dari informasi yang dipublikasikan yang
disebut dengan efesiensi pasar secara informasi (informationally efficient market)
(Jogiyanto, 2008)
3.2
Teori Informasi Asimetri
Menurut Hanafi (2008) konsep asimetri informasi dan signaling berkaitan
erat. Teori asimetri mengatakan bahwa pihak-pihak yang berkaitan dengan
perusahaan yang tidak mempunyai informasi yang sama mengenai prospek dan risiko
perusahaan, pihak tertentu mempunyai informasi yang lebik baik dibandingkan pihak
lainnya. Manajer biasanya mempunyai informasi yang lebih baik dibandingkan
dengan pihak luar (seperti investor). Menurut Manurung (2012) asimetri informasi
merupakan sebuah keadaan dimana manajer mempunyai akses informasi atas prospek
perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar perusahaan.
Bebczuk (2003) menyatakan bahwa informasi asimetris di pasar modal
menyangkut tiga jenis yaitu :
25
a.
Seleksi adverse (adverse selection) yaitu mempelajari bagaimana pemilihan
yang dilakukan dikarenakan kelemahan informasi yang dimiliki pengambil
keputusan ketikan memutuskannya
b.
Moral hazard merupakan tindakan yang dilakukan secara sengaja agar bisa
mendapatkan yang diinginkan. Pihak yang mendapatkan menyembunyikan
hal-hal tertentu secara sengaja.
c.
Monitor biaya (monitoring costs) yaitu berhubungan dengan tindakan yang
disembunyikan oleh pihak yang mendapatkan pinjaman (untuk kasus bank
atau perusahaan terbitkan surat hutang) dimana dilakukan mendapatkan
keuntungan dikarenakan informasi yang lebih baik.
3.3
Teori Signal
Hanafi (2008), mengembangkan model di mana struktur modal (penggunaan
utang) merupakan signal yang disampaikan oleh manajer ke pasar. Jika manajer
mempunyai keyakinan bahwa prospek perusahaan baik, dan karenanya ingin agar
saham meningkat, ia ingin mengkomunikasikan hal tersebut ke investor. Manurung
(2012), mengatakan bahwa makna yang diberikan oleh informasi disebut dikenal
secara umum dengan signal. Signal yang disampaikan melalui aksi korporasi tersebut
dapat disebut signal positif dan signal negatif.
Menurut Jogiyanto (2013), informasi yang dipublikasikan sebagai suatu
pengumuman akan memberikan sinyal bagi investor dalam pengambilan keputusan
investasi. Saat informasi diumumkan dan diterima pelaku pasar, pelaku pasar terlebih
26
dahulu menginterpretasikan dan menganalisis informasi tersebut sebagai signal baik
(good news) atau signal buruk (bad news). Pengumuman informasi akuntansi yang
baik (good news) memberikan signal bahwa perusahaan mempunyai prospek yang
baik di masa mendatang, sehingga investor tertarik dan pasar akan bereaksi yang
tercermin melalui perubahan dalam volume perdagangan saham.
3.4
Teori Keagenan
Praktik manajemen laba tidak dapat dipisahkan dari adanya teori keagenan
dan asimetri informasi. Eisendhart (1989) dalam Manurung (2012), mengungkapkan
bahwa teori keagenan adalah teori yang mendasari hubungan antara prinsipal dalam
hal ini adalah pemilik atau pemegang saham dan manajemen sebagai agen. Pemilik
perusahaan mendelegasikan beberapa kewenangan kepada manajer untuk mengambil
keputusan. Kewenangan ini akan membawa konsekuensi logis yang harus dijalankan
oleh manajer dan pemilik perusahaan. Manajer berkewajiban dan mempunyai hak
untuk meningkatkan nilai perusahaan dan kesejahteraan perusahaan serta mempunyai
hak untuk menerima pengharagaan atas apa yang telah dilakukannya. Sementara itu
pemilik perusahaan memiliki kewajiban untuk memberi penghargaan kepada
pengelola perusahaan (Sulistyanto, 2008). Menurut Anthony dan Govindarajan
(2005) konsep teori keagenan adalah hubungan atau kontrak antara prinsipal dan
agen. Prinsipal memperkerjakan agen untuk melakukan tugas untuk kepentingan
prinsipal, termasuk pendelegasian otorisasi pengambilan keputusan, dari prinsipal
kepada agen. Pada perusahaan yang modalnya terdiri atas saham, pemegang saham
27
bertindak sebagai prinsipal dan ceo (chief executive officer) sebagai agen mereka.
Pemegang saham mempekerjakan CEO untuk bertindak sesuai dengan kepentingan
prinsipal. Didalam teori keagenan diasumsikan bahwa tiap individu memiliki
motivasinya masing-masing sehingga hal ini memungkinkan timbulnya konflik
kepentingan antara agen dan prinsipal.
3.5
Teori IPO (Initial Public Offering)
Teori IPO menyatakan perusahaan menawarkan saham ke publik untuk
mendapatkan dana dalam rangka going concern perusahaan (Manurung, 2012).
Initital Public Offering (IPO) adalah sebuah aksi korporasi perusahaan dalam rangka
mendapatkan dana dari masyarakat untuk kepentingan perusahaan. Perusahaan yang
membutuhkan dana dapat melakukan penerbitan surat berharga seperti saham,
obligasi, dan sekuritas lainnya. Perusahaan menawarkan saham ke publikdengan
harga tertentu.Harga IPO awalnya ditentukan oleh perusahaan denganperhitungannya
sendiri karena informasi perusahaan hanya dimiliki perusahaan. Harga IPO kemudian
ditentukan oleh perusahaan bersamaan dengan perusahaan sekuritas yang menjamin
penerbitan saham tersebut. Akibatnya, harga yang terjadi menjadi harga kesepakatan
antara perusahaan sekuritas dan perusahaan yang menerbitkan saham (Manurung,
2012). Menurut Abid dan Muharam (2013), Penawaran Umum Perdana merupakan
suatu kegiatan perusahaan penawaran saham pertama kali kepada masyarakat umum
berdasarkan
tata
cara
yang
diatur
oleh
Undang-undang
dan
Peraturan
pelaksanaannya. Penawaran Perdana Saham atau Initial Public Offerings (IPO)
28
adalah penjualan saham kepada masyarakat untuk pertama kalinya oleh suatu
perusahaan yang akan go public (Bodie, Kane dan Marcus, 2008).
Pada umumnya, perusahaan mempunyai tujuan untuk memperbaiki struktur
modal, meningkatkan kapasitas produksi, memperluas pemasaran, memperluas
hubungan bisnis, dan meningkatkan kualitas manajemen (Samsul, 2006). Keuntungan
dari going public, yaitu kemudahan meningkatkan modal di masa mendatang,
meningkatkan likuiditas bagi pemegang saham, dan nilai pasar perusahaan diketahui.
Adapun kerugian dari going public, yaitu biayalaporan meningkat, pengungkapan
(disclosure) kepada publik sehingga tidak ada informasi rahasia perusahaan, dan
ketakutan terjadi pengambilalihan perusahaan (Jogiyanto, 2013).
3.6
Underpricing
Fenomena menarik yang terjadi di penawaran perdana ke publik adalah
fenomena harga rendah (underpricing). Menurut Jogiyanto (2013), underpricing
merupakan fenomena harga rendah yang terjadi karena penawaran perdana yang
secara rerata murah. Secara rerata murah membeli saham di penawaran perdana akan
mendapatkan return awal (initial return) yang banyak. Hal ini menarik investor untuk
membeli saham perusahaan yang memberikan harapan untuk memperoleh
keuntungan jika diperdagangkan di pasar sekunder.Para pemilik perusahaan
menginginkan
agar
dapat
meminimalisasi
underpricing
karena
terjadinya
underpricing akan menyebabkan transfer kemakmuran (wealth) dari pemilik kepada
para investor (Beatty, 1989 dalam Gerianta, 2008). Gerianta (2008) mendefinisikan
29
underpricing adalah suatu keadaan, dimana harga saham pada saat penawaran
perdana lebih rendah dibandingkan dengan ketika diperdagangkan di pasar sekunder.
Menurut Hanafi (2004), underpricing merupakan fenomena yang sering
dijumpai dalam IPO. Ada kecenderungan bahwa harga penawaran di pasar perdana
selalu lebih rendah dibandingkan dengan harga penutupan pada hari pertama
diperdagangkan di pasar sekunder.Sedangkan overpricing yang disebut juga
underpricing negatif, merupakan kondisi dimana harga penawaran perdana lebih
tinggi daripada harga penutupan hari pertama di pasar sekunder. Yolana dan Martani
(2005), mendefinisikan underpricing adalah adanya selisih positif antara harga saham
di pasar sekunder dengan harga sahamdi pasar perdana atau saat IPO. Selisih harga
inilah yang dikenal sebagai initial return (IR) atau positif return bagi investor.
Underpricing adalah fenomena yangumum dan sering terjadi di pasar modal
manapun saat emiten melakukan IPO.
Fenomena underpricing disebabkan adanya misprice di pasar perdana akibat
ketidakseimbangan informasi antara pihak emiten, underwriter, dan investor. Hal ini
dinamakan terjadi asimetri informasi dalam sudut pandang keuangan. Penerapan
fungsi penjaminan full commitment oleh underwriter di Indonesia, menyaratkan
bahwa underwriter harus membeli semua saham perdana yang akan dijual kembali
kepada investor. Hal tersebut membuat underwriter berusaha untuk mengurangi
risiko tersebut dengan cara menekan harga saham di pasar perdana yang
menyebabkan harga saham di pasar perdana menjadi terlalu murah. Harga saham
yang terlalu murah akan menimbulkan underpricing yang diukur dengan initial
30
return, yaitu selisih antara harga penutupan saham pada hari pertama di pasar
sekunder dengan harga perdana dibagi dengan harga perdana (Manurung, 2013).
3.7
Reputasi Underwriter (UND)
Underwriter mempunyai peranan penting dalam rangka menggo-publikkan
perusahaan. Perusahaan ini mempunyai kewajiban kepada regulator dan investor
unutk memperkenalkan agar proses IPO bisa berjalan dengan baik dan banyak
investor yang membelinya. Logue dkk (2002) dalam Manurung (2013), menyatakan
bahwa perusahaan penjamin emisi mempunyai peranan penting dalam proses IPO
terutama reputasinya. Underwriter yang dimaksud lembaga perantara emisi yang
menjamin penjualan efek yang diterbitkan emiten dan pemodal. Ia bertugas untuk
meneliti dan mengadakan penilaian menyeluruh atas kemampuan dan prospek
emiten. Khusus untuk emisi saham, penjamin juga turut serta dalam menentukan
harga saham yang diemisikan (Komaruddin Ahmad, 2004). Menurut Rusdin (2008)
terdapat empat jenis kontrak penjaminan emisi berdasarkan tipe kesanggupan
penjaminan yaitu:
a.
Kesanggupan Penuh (Full Firm Commitment)
Penjamin model ini mengambil risiko penuh. Penjamin emisi menyatakan
kesanggupan penuh (full commitment). Dalam hal saham/obligasi terjual
sebagian
maupun
seluruhnya,
penjamin
emisi
akan
membeli
seluruh
saham/obligasi yang tidak laku itu dengan harga yang sama dengan harga
penawaran kepada pemodal secara umum. Penjaminan full commitment seperti
31
itu berlaku urutan “menjual dan membeli” (sell and purchase), karena bila tidak
laku baru dibeli.
b.
Kesanggupan Terbaik (Best Efforts Commitment)
Kesanggupan model ini hanya menuntut penjaminan emisi agar berusaha sebaik
mungkin menjual saham/obligasi emiten supaya banyak/semuanya laku. Bila
pada akhir masa penjualan masih ada saham/obligasi yang tidak laku,
saham/obligasi itu akan dikembalikan kepada emiten. Tidak ada kewajiban bagi
penjamin emisi untuk membeli saham-saham yang tidak laku itu.
c.
Kesanggupan Siaga (Standby Commitment)
Menurut kesanggupan siaga ini, bila ada saham/obligasi yang tidak laku
sampaibatas waktu penjualan yang telah ditentukan, penjamin emisi akan
bersedia pula membeli saham/obligasi yang tidak laku itu. Hanya saja harga
pembelian oleh penjamin emisi itu tidak sama dengan harga penawaran umum.
d.
Kesanggupan Semua atau Tidak Sama Sekali (All of None Commitment)
Penjamin emisi akan berusaha menjual saham/obligasi emiten sampai laku
semua. Bila saham/obligasi yang ditawarkan itu tidak laku semua, maka
saham/obligasi yang telah dipesan oleh pemodal, transaksinya dibatalkan. Jadi
semua saham/obligasi tidak jadi dijual, dikembalikan kepada emiten dan emiten
tidak mendapat sedikit danapun. Komitmen ini timbul dengan latar belakang
bahwa perusahaan membutuhkan modal dalam skala tertentu. Bila jumlah itu
tidak tercapai berarti investasi perusahaan kurang bermanfaat. Oleh karena itu
lebih baik tidak jadi.
32
3.8
Reputasi Auditor (AUD)
Reputasi auditor sangat menentukan kredibilitas (kualitas, kapabilitas, atau
kekuatan untuk menimbulkan kepercayaan) laporan keuangan, karena pemakai jasa
auditor percaya bahwa auditor memiliki kekuatan monitoring (pemantauan) yang
secara umum tidak dapat diamati. Menurut Beatty (1989) dalam Hapsari dan Mahfud
(2012), reputasi auditor adalah seseorang auditor yang memiliki sumber daya yang
lebih besar dalam hal mengaudit dengan mempunyai kualitas audit yang baik juga
dari dulu hingga sekarang. Reputasi auditor merupakan prestasi dan kepercayaan
publik yang disandang auditor atas nama besar yang dimiliki auditor tersebut
(Sinarwati, 2010). Perusahaan akan mencari KAP yang kredibiltasnya tinggi untuk
meningkatkan kredibilitas laporan keuangan di mata pemakai laporan keuangan itu
(Damayanti dan Sudarma, 2008). Adanya faktor expertise itu akan menentukan
perubahan auditor oleh perusahaan sehingga perusahaan lebih memilih KAP besar.
“KAP big four dianggap memiliki kualitas yang lebih tinggi apabila dibandingkan
dengan KAP non big four” (Wijayanti, 2010).
Laporan keuangan merupakan salah satu sumber informasi yang digunakan
oleh investor dan underwriter untuk menilai perusahaan yang akan go publik.Salah
satu syarat dalam prose go publik adalah laporan keuangan yang telah diaudit oleh
akuntan publik. Laporan keuangan yang telah diaudit akan memberikan tingkat
kepercayaan yang lebih besar kepada pemakainya. Investor membutuhkan laporan
keuangan yang telah diaudit oleh auditor yang berkualifikasi (Wulandari, 2010).
33
Adapun peran auditor antara lain adalah menentukan apakah sebuah
perusahaan layak go public atau tidak, karena sesuai dengan salah satu ketentuan BEI
yang menyatakan bahwa laporan keuangan perusahaan yang akan go public harus
wajar tanpa pengecualian. Oleh karena itu, bisa atau tidaknya perusahaan listing di
pasar modal salah satunya ditentukan oleh auditor (Martalena dan Malinda, 2011).
3.9
Umur Perusahaan (AGE)
Menurut Daryanti dan Merry (2007), umur perusahaan adalah umur sejak
berdirinya hingga perusahaan telahmampu menjalankan operasinya. Perusahaan yang
telah lama beroperasi berarti perusahaan telah menghadapi berbagai kondisi yang
selalu berkembang dan berbeda (Windraesti, 2012). Menurut Margaretha dan Rizky
(2010), umur perusahaan akan dapat mempengaruhi penggunaan utang dalam suatu
perusahaan karena umur perusahaan dapat mempengaruhi kepercayaan kreditur
terhadap perusahaan. Hal ini menjelaskan bahwa semakin lama perusahaan
beroperasi maka perusahaan akan terus meningkatkan pertumbuhan perusahaan,
sehingga kepercayaan kreditur pada perusahaan bertambah.
Umur
perusahaan
menunjukkan
seberapa
lama
perusahaan
mampu
bertahan.Semakin lama umur perusahaan, maka semakin banyak informasi yang telah
diperoleh masyarakat tentang perusahaan tersebut. Dengan demikian, akan
mengurangi adanya asimetri informasi, dan memperkecil ketidakpastian pada masa
yang akan datang (Gerianta, 2008).
34
Umur perusahaan (firm age) adalah lamanya perusahaan beroperasi sejak
didirikan berdasarkan akte pendirian sampai dengan saat perusahaan tersebut
melakukan penawaran umum perdana (IPO). Umur perusahaan ini dihitung dengan
skala tahunan. Umur perusahaan merupakan kemampuan perusahaan dapat bertahan
hidup dan banyaknya informasi yang bisa diserap oleh publik (Wulandari, 2011).
Daljono (2000), bahwa umur perusahaan menunjukkan seberapa lama perusahaan
mampu bertahan. Semakin lama umur perusahaan, maka semakin banyak informasi
yang diperoleh masyarakat tentang perusahaan tersebut. Dengan demikian akan
mengurangi adanya asymetri informasi dan memperkecil ketidakpastian di masa yang
akan datang.
3.10
Ukuran Perusahaan (SIZE)
Ukuran perusahaan yang besar mengindikasikan bahwa perusahaan dalam
keadaan yang stabil (Dianingsih, 2003). Semakin besar ukuran perusahaan, informasi
yang tersedia untuk investor dalam pengambilan keputusan sehubungan dengan
investasi saham semakin banyak. Ukuran perusahaan (firm size) merupakan faktor
yang juga mempengaruhi investor dalam mengambil keputusan pada saham yang
IPO. Gerianta (2008), Ukuran perusahaan menunjukkan jumlah total aset yang
dimiliki perusahaan. Semakin besar aset perusahaan akan mengindikasikan semakin
besar ukuran perusahaan tersebut. Darlis dan Zirman (2011), mengatakan perusahaan
yang lebih besar mampunyai kepastian (certainty) yang lebih besar dari perusahaan
kecil. Dengan alasan bahwa perusahaan yang besar umumnya lebih dikenal
35
masyarakat, sehingga informasi mengenai prospek perusahaan besar lebih mudah di
peroleh investor dari pada perusahaan kecil. Biasanya perusahaan besar mempunyai
aktiva yang besar pula nilainya. Ukuran perusahaan berhubungan dengan banyak
tidaknya informasi yang diterima oleh investor untuk menjaga agar abnormal return
tidak begitu tinggi dan semakin banyak investor yang tertarik, sehingga hal ini
mempengaruhi kejadian underpricing. Dalam hal ini besaran perusahaan diukur
dengan besarnya total aktiva.
3.11
Profitabilitas Perusahaan
Profitabilitas perusahaan menunjukkan kemampuan perusahaan menghasilkan
laba di masa yang akan datang atau bagaimana perusahaan menggunakan assetnya
secara efisien dalam mengelola kegiatannya untuk menghasilkan keuntungan
(Tambunan, 2007). Profitabilitas perusahaan memberikan informasi kepada pihak
luar mengenai efektivitas operasional perusahaan, hal inilah yang menjadi
pertimbangan memasukan variabel ini sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi
underpricing. Kemampuan perusahaan menghasilkan laba di masa yang akan datang
ditunjukkan dengan profitabilitas perusahaan yang tinggi dan laba merupakan
informasi penting bagi investor sebagai perimbangan dalam menanamkan modalnya.
Tingkat profitabilitas merupakan informasi tingkat keuntungan yang dicapai
perusahaan. Informasi ini akan memberikan informasi kepada pihak luar mengenai
efektivitas operasional perusahaan. Profitabilitas perusahaan yang tinggi akan
mengurangi ketidakpastian IPO sehingga mengurangi tingkat underpricing (Gerianta,
36
2008). Triananingsih (2005), menyatakan bahwa tingkat profitabilitas merupakan
informasi tingkat keuntungan yang dicapai atau informasi mengenai efektivitas
operasional perusahaan. Profitabilitas perusahaan yang tinggi akan mengurangi
ketidakpastian IPO sehingga mengurangi tingkat underpricing. Semakin tinggi nilai
profitabilitas perusahaan menunjukkan semakin tinggi pula laba yang dihasilkannya.
Dengan demikian semakin besar rasio ROA maka semakin tinggi pula harga saham
dinilai oleh investor.
3.12
Financial Leverage
Financial leverage menunjukkan kemampuan perusahaan dalam membayar
hutangnya dengan equity yang dimilikinya (Tambunan, 2007). Salah satu aspek yang
dinilai dalam mengukur kinerja perusahaan adalah aspek leverage atau utang
perusahaan. Utang merupakan komponen penting perusahaan khususnya sebagai
salah satu sarana pendanaan.Sering terjadi penurunan kinerja perusahaan disebabkan
besarnya utang yang dimiliki perusahaan sehingga kesulitan dalam memenuhi
kewajiban tersebut. Rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity –DER) merupakan
rasio yang mengukur sejauhmana besarnya utang dapat ditutupi oleh modal sendiri
(Darmaji dan Fakhruddin, 2011). “Rasio leverage adalah rasio yang mengukur
seberapa jauh atau besar perusahaan telah didanai atau dibiayai oleh hutang”
(Raharjaputra, 2009). Kebijakan leverage merupakan keputusan penting dalam
perusahaan. Dimana kebijakan leverage merupakan salah satu kebijakan pendanaan
37
perusahaan. Konsep leverage sangat penting terutama untuk menunjukkan kepada
analisis keuangan dalam melihat trade off antara risiko dan keuntungan.
3.13
Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian mengenai penyebab terjadinya underpricing telah banyak
dilakukan baik di luar negeri maupun di Indonesia dengan pendekatan yang berbeda,
dengan hasil yang berbeda. Perbedaan ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan
kondisi setiap pasar modal serta lingkungannya, perbedaan persepsi peneliti, serta
data yang digunakan. Penelitian mengenai underpricing di Indonesia antara lain
dilakukan oleh Yolana dan Martani (2005), berdasarkan data tahun 1994–2001,
menemukan bahwa variabel rata-rata kurs dan ROE berpengaruh signifikan positif
pada initial return. Sedangkan ukuran perusahaan dan jenis industri berpengaruh
signifikan negatif pada initial return. Variabel reputasi underwriter ditemukan tidak
berpengaruh pada initial return. Sulistio (2005), melakukan penelitian dari kategori
manufaktur dan non manufaktur dengan sampel 22 perusahaan yang melakukan IPO
tahun1998-2003. Hasil penelitian adalah variable-variabel akuntansi yang terdiri dari
Size, EPS, PER, tingkat leverage, persentase pemegang saham lama, reputasi auditor,
reputasi underwriter, hanya tingkat leverage dan persentase saham lama yang secara
statistik berpengaruh signifikan terhadap initial return.
Gerianta (2008), melakukan penelitian dengan sampel seluruh perusahaan
yang melakukan IPO tahun 1990–2001. Hasil penelitiannya adalah reputasi
underwriter dan profitabilitas perusahaan (ROA) berpengaruh signifikan (negatif)
38
pada initial return. Handayani (2008), menyatakan bahwa ukuran perusahaan dan
prosentase saham yang ditawarkan berpengaruh positif terhadap initial return,
sedangkan Earning per Share dinyatakan mempunyai pengaruh signifikan negatif
terhadap initial return. Tyagita (2009), melakukan penelitian di Bursa Efek Indonesia
periode 2003-2007 dengan menggunakan metode purposive sampling, diperoleh
sampel sebanyak 40 perusahaan dari 60 perusahaan yang melakukan penawaran
perdana saham. Hasil analisis membuktikan bahwa hanya variabel financial leverage,
ROE (Return On Equity), ukuran perusahaan, dan reputasi underwriter yang
berpengaruh secara parsial terhadap underpricing. Sedangkan, variabel umur
perusahaan dan tipe perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap underpricing.
Aini (2009), melakukan penelitian terhadap 66 perusahaan go public yang
mengalami underpriced dari tahun 2000 sampai tahun 2007. Hasil analisis regresi
variable-variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap underpricing
adalah ROA, leverage, harga saham perdana, reputasi underwriter, persentase saham
yang ditawarkan kepada publik dan waktu IPO. Variabel ukuran perusahaan dan
umur perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap underpricing. Wulandari
(2010), melakukan penelitian terhadap perusahaan yang melakukan penawaran
perdana saham di Bursa Efek Indonesia pada periode 2005-2008. Dengan
menggunakan metode purposive sampling, diperoleh sampel sebanyak 39 perusahaan
dari 61 perusahaan yang melakukan penawaran perdana saham. Variabel bebas dalam
penelitian ini adalah reputasi underwriter, reputasi auditor, umur perusahaan, ROE
(Return On Equity), dan prosentase saham yang ditawarkan, dan hasilnya hanya
39
reputasi auditor yang berpengaruh signifikan negatif, sedangkan variabel lainya tidak
berpengaruh pada underpricing. Islam et al. (2010), dengan sampel 191 perusahaan
yang melakukan IPO di Chittagong Stock Exchange periode 1995-2005, menemukan
bahwa umur dan ukuran perusahaan berpengaruh signifikan positif pada initial retur,
sementara jumlah saham yang ditawarkan dan jenis industri berpengaruh signifikan
negatif pada initial return.
Dhuhri (2010), melakukan penelitian terhadap 48 perusahaan yang melakukan
penawaran saham perdana di Bursa Efek Indonesia periode 2005-2008. Hasil
pengujian yang dilakukan menunjukkan bahwa reputasi underwriter dan jenis industri
yang secara signifikan berpengaruh terhadap tingkat underpricing,
sedangkan
reputasi auditor, financial leverage, umur perusahaan, dan ROE secara signifikan
tidak berpengaruh terhadap tingkat underpricing. Saloka (2011), melakukan
penelitian terhadap perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana periode
Januari 2004 - Desember 2008 dengan sampel sebanyak 50 perusahaan. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa hanya variabel ROA yang berpengaruh terhadap
underpricing pada tingkat signifikansi 10%. Sedangkan untuk variabel prosentase
saham, umur perusahaan, waktu ipo, underwriter dan auditor tidak berpengaruh
terhadap underpricing. Penelitian yang dilakukan oleh Puspita (2011), bertujuan
untuk meneliti pengaruh dari beberapa variable yang mempengaruhi tingkat
underpricing yang terjadi di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode tahun 2005 – 2009
dengan sampel penelitian sebanyak 50 emiten. Hasil penelitian secara parsial
menunjukkan bahwa reputasi underwriter, financial leverage, dan return on assets
40
(ROA) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap underpricing, sedangkan reputasi
auditor, umur perusahaan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
underpricing.
Kartikasari ( 2011), melakukan penelitian terhadap 74 perusahaan yang
melakukan penawaran saham perdana di Bursa Efek Indonesia periode 2005-2009,
dan diperoleh 63 perusahaan yang terpilih menjadi sampel penelitian. Hasil analisis
membuktikan bahwa hanya variabel Reputasi Underwriter yang berpengaruh
signifikan pada underpricing. Sedangkan variable Financial Leverage, Return On
Assets, Earning Per Share, Nilai Penawaran Saham, Kondisi Pasar, Reputasi Auditor,
Ukuran Perusahaan, Umur Perusahaan, dan Tipe Perusahaan tidak berpengaruh
signifikan terhadap underpricing. Asmarajati (2011), melakukan penelitian terhadap
62 perusahaan yang melakukan penawaran saham perdana di Bursa Efek Indonesia
periode 2007-2010. Hasil pengujian yang dilakukan menunjukkan bahwa reputasi
underwriter, ROA, dan jenis industri berpengaruh signifikan terhadap tingkat
underpricing, sedangkan financial leverage dan umur perusahaan tidak terlalu
signifikan berpengaruh terhadap tingkat underpricing secara parsial, dan untuk ROE
secara signifikan tidak berpengaruh terhadap tingkat underpricing. Penelitian yang
dilakukan oleh Bansal dan Khanna (2012), dengan sampel 405 perusahaan yang
melakukan IPO di Indian Market periode 2000-2012 menggunakan analisis multiple
regressions, menemukan bahwa tidak ada pengaruh signifikan dari hubungan tahun
IPO, jenis lembaga perusahaan, usia perusahaan dengan tingkat underpricing, jumlah
saham yang ditawarkan, kapitalisasi pasar, metode mekanisme pasar, waktu
41
penawaran berpengaruh secara signifikan positif terhadap tingkat underpricing.
Ukuran perusahaan berpengaruh secara signifikan dan negatif terhadap tingkat
underpricing.
Hapsari dan Mahfud (2012), hasil penelitiannya menyatakan bahwa reputasi
underwriter, reputasi auditor, ROE, dan ukuran perusahaan berpengaruh negatif
terhadap initial return. Kristiantari (2012), melakukan penelitian terhadap faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat underpricing di Bursa Efek Indonesia (BEI), yang
melakukan IPO pada tahun 1997 sampai dengan tahun 2010. Pengambilan sampel
yang dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling menghasilkan 161
perusahaan sebagai sampel penelitian. Hasil analisis regresi berganda menunjukkan
bahwa variabel reputasi underwriter, ukuran perusahaan dan tujuan penggunaan dana
untuk investasi secara signifikan berpengaruh pada underpricing dengan arah
koefisien
negatif.
Sedangkan
variabel
reputasi
auditor,
umur
perusahaan,
profitabilitas perusahaan (ROA), financial leverage, dan jenis industri terbukti tidak
memiliki pengaruh signifikan pada underpricing. Setiyanasari (2012), melakukan
penelitian terhadap 46 perusahaan yang melakukan penawaran perdana saham di
Bursa Efek Indonesia pada periode 2007-2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
variable reputasi underwriter dan return on assets berpengaruh signifikan terhadap
underpricing sementara
financial leverage dan current ratio tidak berpengaruh
signifikan terhadap underpricing. Purwanto (2012), melakukan penelitian terhadap
111 perusahaan yang melakukan penawaran perdana saham di Bursa Efek Indonesia
pada periode 2002-2011. Hasil analisis regresi secara parsial menunjukan bahwa
42
hanya Ukuran Perusahaan dan Return on Equity (ROE) yang berpengaruh signifikan
terhadap underpricing sementara variable Reputasi Underwriter, Reputasi Auditor,
Financial Leverage dan
Return on Asset (ROA)
tidak berpengaruh signifikan
terhadap underpricing.
Widiyanti dan Kusuma (2013) mengemukakan bahwa variabel ukuran
perusahaan, ROA, dan proporsi kepemilikan pemegang saham lama berpengaruh
signifikan positif tersadap initial return, variabel EPS dan financial leverage
berpengaruh negatif terhadap initial return. Tapa dan Mazlan (2013), dengan
menggunakan regresi berganda untuk menjelaskan fenomena underpricing dengan
menggunakan variabel-variabel seperti AST (Asset Turnover), dan CF (Cash Flow)
berpengaruh signifikan terhadap tingkat underpricing, sedangkan untuk variabel
EBIT (Divided Total Asset), LEV (Leverage), dan SG (Sales Growth) tidak
berpengaruh signifikan terhadap tingkat underpricing. Harianto (2013), dengan
menggunakan data sekunder yang diperoleh dari situs BEI dan ICMD. Dengan
metode purposive sampling, diperoleh sampel sebanyak 38 perusahaan non finance
dari populasi sebanyak 41 perusahaan. Untuk memenuhi tujuan penelitian data diuji
metode regresi berganda dengan signifikansi 5%. Hasil penelitian secara parsial
menunjukkan bahwa hanya variabel Return On Equity (ROE) yang memiliki
pengaruh negatif signifikan terhadap underpricing. Untuk variabel Debt to Equity
Ratio (DER) dengan arah negatif, reputasi underwriter dengan arah negatif, ukuran
perusahaan (SIZE) dengan arah negatif, dan umur perusahaan dengan arah positif,
keempat variabel tersebut tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
43
underpricing. Triyono (2013), melakukan penelitian terhadap 45 perusahaan yang
melakukan penawaran saham perdana di Bursa Efek Indonesia periode 2009-2011.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa reputasi underwriter, umur perusahaan, ukuran
perusahaan
dan
prosentase penawaran
saham
tidak berpengaruh
terhadap
underpricing. Sedangkan Return On Assets (ROA) dan jenis industri berpengaruh
signifikan terhadap underpricing.
Nugroho (2014), melakukan penelitian terhadap 63 perusahaan yang
melakukan penawaran saham perdana di Bursa Efek Indonesia periode 2010-2012.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa variabel umur perusahaan dan reputasi
auditor mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap underpricing.
Sedangkan variabel return on assets, financial leverage, dan reputasi underwriter
tidak terbukti memiliki pengaruh signifikan terhadap underpricing. Zainuddin (2014),
melakukan penelitian terhadap 58 perusahaan yang melakukan penawaran perdana
saham di Bursa Efek Indonesia pada periode 2009-2013. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada informasi keuangan Return on Equity (ROE), Debt to
Equity Ratio (DER), dan Earning Per Share (EPS) terbukti berpengaruh signifikan
terhadap tingkat underpricing saham. Sedangkan untuk informasi non keuangan,
hanya umur perusahaan dan harga penawaran terbukti berpengaruh signifikan
terhadap tingkat underpricing sementara reputasi underwriter dan persentase
penawaran saham tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat underpricing.
Saputra (2015), melakukan penelitian terhadap perusahaan yang melakukan IPO
periode 2007-2013 dengan mempertimbangkan beberapa kriteria dalam pemilihan
44
sampel, sehingga diperoleh 86 perusahaan sampel. Hasil regresi berganda
menunjukan likuiditas perusahaan, profitabilitas perusahaan, rencana penggunaan
dana, reputasi underwriter, reputasi auditor, kurs signifikan terhadap underpricing
dengan arah koefisien negatif. Sedangkan leverage perusahaan dan herding signifikan
terhadap underpricing dengan arah koefisien positif. Namun aktifitas perusahaan
tidak terbukti memiliki pengaruh terhadap underpricing.
Fathoni (2015), melakukan penelitian terhadap102 perusahaan non keuangan
yang melakukan penawaran umum perdana di Bursa Efek Indonesia pada periode
2007-2014. Hasil dari pengujian yang dilakukan membuktikan bahwa variabel
independen
Earning per Share (EPS) berpengaruh positif terhadap tingkat
undepricing, sementara Return on Equity (ROE) dan ukuran perusahaan berpengaruh
negatif terhadap tingkat underpricing. Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa
variabel independen jenis industri, reputasi auditor dan reputasi underwriter
berpengaruh terhadap tingkat underpricing, sedangkan Debt to Equity Ratio (DER)
dan variabel kontrol umur perusahaan tidak berpengaruh terhadap tingkat
underpricing saham perusahaan non keuangan pada saat penawaran umum perdana.
Kusumaningrum (2016), melakukan penelitian terhadap 115 perusahaan yang
melakukan penawaran perdana saham di Bursa Efek Indonesia pada periode 20092013, dan diperoleh 86 perusahaanyang terpilih menjadi sampel penelitian. Hasil
pengujian menunjukkan bahwavariabel financial leverage dan harga saham perdana
berpengaruh signifikan terhadap underpricing, sedangkan variabel ROA, ukuran
45
perusahaan, reputasi underwriter, reputasi auditor tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap underpricing.
3.14
Kerangka Pemikiran
Salah satu fenomena menarik yang sering terjadi di hampir seluruh pasar
modal di dunia termasuk Indonesia adalah fenomena underpricing. Underpricing
menimbulkan dampak yang berbeda bagi perusahaan dan investor. Perusahaan akan
tidak diuntungkan apabila terjadi underpricing, karena dana yang diperoleh dari go
public tidak maksimum. Sedangkan investor akan diuntungkan, karena menerima
initial return. Faktor-faktor yang mempengaruhi underpricing penting diketahui baik
oleh pihak emiten, underwriter maupun investor. Dengan mengetahui faktor-faktor
ini maka dapat dipertimbangkan, bagi emiten untuk menghindari maupun
meminimalkan underpricing demi keberhasilan dalam melakukan IPO. Bagi
underwriter, sebagai informasi dalam mengambil langkah-langkah yang diperlukan
untuk mencapai harga yang wajar dan menghindarkan dari risiko saham tidak laku
terjual. Bagi investor, sebagai informasi dalam membuat suatu keputusan investasi
terutama pada saat membeli saham perdana dengan tujuan memperoleh return yang
diharapkan.
Sebelum menentukan variabel-variabel yang akan diteliti, terlebih dahulu
dilakukan kajian-kajian secara teoritis maupun empiris. Berdasarkan hasil kajian
tersebut maka diperoleh konsep mengenai underpricing sebagai variabel independen,
dan variabel-variabel yang mempengaruhinya yaitu variabel reputasi underwriter,
46
reputasi auditor, umur perusahaan, ukuran perusahaan, profitabilitas perusahaan
(ROA), dan financial leverage, yang merupakan variabel independen. Proses diatas
dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran
47
3.15 Hipotesis
3.15.1 Pengaruh Reputasi Underwriter pada Underpricing
Reputasi Underwriter atau penjamin emisi berfungsi menawarkan saham di
pasar sekunder kepada investor. Perusahaan yang go public biasanya belum
mengetahui pangsa pasar saham di pasar bursa. Ketidaktahuan inilah yang membuat
perusahaan menggunakan underwriter sebagai penjamin sahamnya di bursa efek.
Pengaruh underwriter menyebabkan tinggi rendahnya harga saham perusahaan
padapublik, dalam hal ini dikarenakan proses tawar-menawar yang terjadi pada pasar
sekunder dengan investor. Penelitian yang dilakukan oleh Gerianta (2008), Aini
(2009), Dhuhri (2010), Puspita (2011), Asmarajati (2011), Kartikasari (2011),
Hapsari dan Mahfud (2012), Setiyanasari (2012), Kristiantari (2012) dan Saputra
(2015) menyatakan bahwa underwriter mempunyai pengaruh signifikan negatif
terhadap underpricing. Hal ini terjadi bahwa apabila underwriter yang digunakan
oleh perusahaan memiliki reputasi baik, maka hal ini akan berpengaruh terhadap
informasi yang akan diberikan oleh underwriter kepada investor. Berdasarkan hal ini
diajukan hipotesis sebagai berikut.
H1: Reputasi underwriter berpengaruh negatif pada underpricing.
3.15.2 Pengaruh Reputasi Auditor pada Underpricing
Perusahaan memiliki kewajiban untuk melakukan pemeriksaan atas laporan
keuangan sebelum melakukan IPO, karena hal ini akan mempengaruhi tingkat
kepercayaan investor terhadap perusahaan. Penilaian atas kewajaran laporan
48
keuangan sangat penting bagi perusahaan yang akan melakukan IPO. Penelitian yang
dilakukan oleh Wulandari (2010), Hapsari dan Mahfud (2012), Nugroho (2014),
Fathoni (2015) dan Saputra (2015) membuktikan bahwa terdapat pengaruh antara
reputasi auditor dengan tingkat terjadinya underpricing. Dengan menggunakan
auditor yang profesional atau berkualitas, akan mengurangi kesempatan emiten untuk
berlaku curang dalam menyajikan informasi yang menyesatkan mengenai prospeknya
di masa yang akan datang (Sulistio, 2005).
Hal ini berarti penggunaan auditor yang memiliki reputasi tinggi akan
mengurangi ketidakpastian pada masa mendatang. Ketidakpastian yang rendah
berasosiasi dengan tingkat underpricing yang rendah. Namun penelitian yang
dilakukan Sulistio (2005), Gerianta (2008), Dhuhri (2010), Puspita (2011),
Kartikasari (2011), Saloka (2011), Purwanto (2012), Kristiantari (2012) dan
Kusumaningrum (2016) menunjukkan bahwa reputasi auditor tidak mempunyai
pengaruh terhadap underpricing. Berdasarkan hal ini diajukan hipotesis sebagai
berikut:
H2: Reputasi auditor berpengaruh negatif pada underpricing.
3.15.3 Pengaruh Umur Perusahaan pada Underpricing
Umur perusahaan menandakan telah lamanya perusahaan tersebut berdiri,
dengan semakin tua umur perusahaan maka akan banyak orang yang semakin
mengenal akan perusahaan tersebut, sehingga adanya informasi yang beredar di
masyarakat juga semakin banyak, jadi dengan banyaknya informasi yang beredar di
49
masyarakat maka diharapkan adanya Asymetric Information yang sering terjadi di
pasar perdana tidak terjadi. Dengan umur perusahaan yang semakin tua juga
mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut telah dikelola dengan baik, memiliki
kinerja yang baik, sehingga mampu mempertahankan perusahaan dari pertama kali
berdiri sampai hingga sekarang, sehingga dengan semakin tuanya umur perusahaan
maka fenomena underpricing pada saat penawaran umum diharapkan dihindari.
Diharapkan perusahaan lama yang lebih berpengalaman ini mampu mengurangi
asimetri informasi dan memperkecil ketidakpastian di masa akan datang (Manurung,
2012).
Berdasarkan penelitian Nugroho (2014) dan Zainuddin
(2014) telah
membuktikan bahwa umur perusahaan berpengaruh negatif pada underpricing. Umur
perusahaan yang sudah lama berdiri tersedia cukup akses informasi bagi investor
sehingga akan mengurangi tingkat ketidakpastian. Oleh karena itu semakin tua umur
perusahaan maka investor yang membeli saham perdana perusahaan tersebut akan
memperoleh abnormal return yang semakin kecil dan sebaliknya. Namun penelitian
yang dilakukan Gerianta (2008), Aini (2009), Tyagita (2009), Dhuhri (2010),
Wulandari (2010), Puspita (2011), Asmarajati (2011), Kartikasari (2011) , Saloka
(2011), Bansal dan Khanna (2012), Kristiantari (2012), Triyono (2013), Harianto
(2013) dan Fathoni (2015) menunjukkan bahwa umur perusahaan tidak mempunyai
pengaruh terhadap underpricing. Oleh karena itu diajukan hipotesis sebagai berikut.
H3: Umur perusahaan berpengaruh negatif pada underpricing.
50
3.15.4 Pengaruh Ukuran Perusahaan pada Underpricing
Ukuran perusahaan (firm size) merupakan faktor yang juga mempengaruhi
investor dalam mengambil keputusan pada saham yang IPO. Yolana dan Martani
(2005), mengatakan bahwa perusahaan yang lebih besar mempunyai kepastian
(certainty) yang lebih besar dari perusahaan kecil dengan alasan bahwa perusahaan
yang besar umumnya lebih dikenal masyarakat, sehingga informasi mengenai
prospek perusahaan besar lebih mudah diperoleh investor daripada perusahaan kecil.
Biasanya perusahaan besar memiliki aktiva yang besar pula nilainya. Ukuran
perusahaan yang besar mengindikasikan bahwa perusahaan dalam keadaan yang
stabil, semakin besar ukuran perusahaan, informasi yang tersedia untuk investor
dalam pengambilan keputusan sehubungan dengan investasi saham semakin banyak.
Dengan banyaknya informasi yang bisa didapat maka akan dengan mudah
menarik minat investor dibandingkan dengan perusahaan skala kecil. Semakin
banyak investor yang tertarik untuk membeli saham, maka harga dipasar sekunder
akan terdorong naik karena meningkatnya jumlah permintaan yang berakibat pada
tingginya tingkat underpricing (Tyagita, 2009).
Yolana dan Martani (2005), Tyagita (2009), Bansal dan Khanna (2012),
Hapsari dan Mahfud (2012), Purwanto (2012) dan
Fathoni (2015) telah
membuktikan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh signifikan negatif terhadap
underpricing. Namun penelitian yang dilakukan Gerianta (2008), Aini (2009),
Kartikasari (2011), Saloka (2011), Triyono (2013), Harianto (2013) dan
Kusumaningrum (2016) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan tidak mempunyai
51
pengaruh terhadap underpricing. Merujuk pemikiran ini maka diajukan hipotesis
sebagai berikut.
H4: Ukuran perusahaan berpengaruh negatif pada underpricing.
3.15.5 Pengaruh Profitabilitas Perusahaan (ROA) pada Underpricing
ROA merupakan informasi tingkat keuntungan yang dapat dicapai
perusahaan. Informasi ini akan memberikan informasi kepada pihak luar mengenai
efektivitas operasional perusahaan. Probabilitas perusahaan yang tinggi akan
mengurangi ketidakpastian IPO sehingga mengurangi tingkat underpricing. ROA
berpengaruh terhadap underpricing karena ROA merupakan salah satu ukuran
profitabilitas perusahaan, maka semakin tinggi ROA perusahaan akan semakin
rendah tingkat underpricing karena investor akan menilai kinerja perusahaan lebih
baik dan bersedia membeli saham perdananya dengan harga yang lebih tinggi. Calon
investor akan mempertimbangkan persentasi profitabilitas perusahaan sebelum
menentukan keputusan investasinya sehingga nilai ketidakpastiannya semakin rendah
yang juga akan menurunkan nilai underpricing perusahaan tersebut (Gerianta, 2008).
Penelitianyang dilakukan Gerianta (2008), Aini (2009), Puspita (2011),
Asmarajati (2011), Saloka (2011), Setiyanasari (2012), Triyono (2013) dan Saputra
(2015) menunjukkan bahwa profitabilitas (ROA) mempunyai pengaruh negatif
terhadap underpricing. Namun penelitian yang dilakukan Kartikasari (2011),
Purwanto (2012), Kristiantari (2012), Nugroho (2014) dan Kusumaningrum (2016)
52
menunjukkan bahwa ROA tidak mempunyai pengaruh terhadap underpricing.
Berdasarkan pemikiran tersebut diajukan hipotesis sebagai berikut.
H5: Profitabilitas perusahaan (ROA) berpengaruh negatif pada underpricing.
3.15.6 Pengaruh Financial Leverage pada Underpricing
Financial leveragemenunjukkan kemampuan perusahaan dalam membayar
hutangnya dengan modal yang dimilikinya. Apabila financial leverage ini tinggi
menunjukkan resiko suatu perusahaan dan akan mengurangi minat investor sehingga
akan meningkatkan ketidakpastian suatu perusahaan. Menurut Tambunan (2007),
Financial leverage menunjukkan kemampuan perusahaan dalam membayar
hutangnya dengan equity yang dimilikinya. Menurut Manurung (2012), secara
teoritis, financial leverage menunjukkan risiko suatu perusahaan dan kondisi
ketidakpastian. Besarnya financial leverage perusahaan akan menunjukkan semakin
besarnya risiko financial atau risikoke gagalan perusahaan untuk mengembalikan
pinjamannya sehingga dapat mempengaruhi penetapan harga saham yang wajar pada
saat IPO. Hal senada juga dikemukakan Jogianto, (2013), financial leverage yang
tinggi akan mengakibatkan penetapan harga saham yang cenderung underpriced
karena akan berpengaruh pada tingginya ketidakpastian return yangakan diterima
investor atas investasinya. Oleh karena itu semakin tinggi financial leverage
perusahaan maka akan semakin besar pula tingkat underpricing.
Penelitian yang dilakukan dilakukan Aini (2009), Tyagita (2009), Puspita
(2011), Zainuddin (2014), Saputra (2015) dan Kusumaningrum (2016) menunjukkan
53
bahwa financial leverage mempunyai pengaruh signifikan positif terhadap
underpricing. Namun penelitian Gerianta (2008), Dhuhri (2010), Asmarajati (2011),
Kartikasari (2011), Saloka (2011), Purwanto (2012), Setiyanasari (2012), Kristiantari
(2012), Tapa dan Mazlan (2013), Harianto (2013), Nugroho (2014) dan Fathoni
(2015) yang menunjukkan bahwa financial leverage tidak mempunyai pengaruh
terhadap underpricing. Berdasarkan pemikiran tersebut diajukan hipotesis sebagai
berikut.
H6: Financial leverage berpengaruh positif pada underpricing.
54
Download