Peta Pautan Genetik Marka RAPD dan Analisis

advertisement
BAB-I1
TINJAUAN PUSTAKA
Kelapa Sawit
1. Asal
Tanaman kelapa sawit (E. guineensis Jacq.) berasal dari Afrika Barat,
ada beberapa bukti kuat yang mendukungnya. Di Abydos (3000 SM) ditemukan
lemak dalam kendi yang terkubur di makam diduga berasal dari kelapa sawit;
fosil polen mirip dengan polen kelapa sawit yang dipelihara dan berada di Afrika
Barat dari Miocene dan lapisan muda pada delta Niger, dan bukti lingustik yang
menyebutkan ditemukannya spesies pohon mirip kelapa sawit. E. oleifera atau
E. melanococca merupakan spesies kelapa sawit yang banyak tumbuh di
Amerika. Ada pendapat lain bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika yang
kemudian dibawa ke Afrika. Ada dua alasan kelapa sawit berasal dari Amerika,
yaitu (1) palma tersebut tumbuh di area pantai Brazil, dan (2) seluruh genera
berasal dari Amerika. Ketika Columbus menemukan Amerika, diyakini bahwa
kelapa sawit sudah tumbuh di Amerika. Akan tetapi, tidak ada catatan otentik
tentang ha1 itu (Hartley 1988).
Tanaman kelapa sawit diintroduksi ke Indonesia pada 1848. Sebanyak
empat bibit kelapa sawit ditanam di Kebun Raya Bogor. Dari keempat bibit
tersebut, dua bibit diintroduksi dari Bourbon atau Mauritius pada Februari 1848,
dua bibit yang lain diintroduksi dari Amsterdam pada Maret 1848 (Pamin 1998).
2. Botani
Kelapa sawit yang mempunyai bahasa latin Elaeis guineensis Jacq.,
berasal dari bahasa Yunani, yaitu elaion yang berarti minyak, guineensis
menunjukkan bahwa tanaman kelapa sawit berasal dari Pantai Guinea,
sedangkan Jacq., adalah singkatan narna belakang botanist yang mernberi narna
kelapa sawit, nama lengkapnya Nicolaus Josef von Jacquin. Tanaman ini
tergolong pada kelompok monokotil.
Kelapa sawit akarnya terdiri dari primer, sekunder, tersier dan kuarter;
merupakan akar serabut yang sebagian besar berada dekat permukaan tanah
dengan kedalaman 15-30 cm. Batangnya tegak, tidak bercabang, berdiameter
40-75 cm, tinggi batang dalam pembudidayaan sekitar 15-18 m. Daunnya
majemuk dengan pelepah daun tersusun melingkari batang berbentuk spiral.
Panjang pelepah daun mencapai 9 m, panjang helaian daun mencapai 1.2 m
yang jumlahnya 100-160 pasang. Untuk perkebunan kelapa sawit, jumlah
pelepah yang dipertahankan sekitar 30-50 pelepah (Hartley 1988).
Tpe pembungaan kelapa sawit adalah monoecious, berarti bunga jantan
dan betina terdapat pada satu tanaman, tetapi pada tandan yang berbeda. Rasio
bunga jantan terhadap betina dapat dipengaruhi keadaan iklim. Pada tanaman
yang mengalami masa kekeringan, bunga jantan mendominasi. Sementara itu
pada musim hujan bunga betina yang mendominasinya. Kadangkala dijumpai
bunga hermaprodit pada tanaman muda yang berumur sekitar 2-4 tahun.
Namun, bunga hermaprodit tersebut akan menyusut atau menghilang dengan
sendirinya sejalan dengan bertambahnya umur tanaman. Bunga tumbuh pada
setiap ketiak pelepah daun, satu tandan bunga berupa bunga jantan atau bunga
betina dengan masa siap polinasi yang berbeda, sehingga tejadi penyerbukan
silang. Buah, tersusun dalam satu tandan yang merupakan buah batu, terdiri
dari kulit buah, daging buah, cangkang, dan inti. Minyak, sebagian besar (2027%) terdapat pada bagian perikarp, yaitu pada kulit buah dan daging buah,
sementara itu pada bagian inti hanya mengandung minyak sekitar 4-6%(Hartley
1988).
Berdasarkan ketebalan cangkangnya, kelapa sawit dapat dibedakan atas
tipe Dura, Tenera, dan Pisifera dengan ciri-ciri sebagai berikut:
(a) Dura; ketebalan cangkang 2-8 mm, kandungan mesokarp tergolong rendah
sampai menengah (35-55x1, di bagian luar tidak terdapat lingkaran sabut.
(b) Tenera; ketebalan cangkang 0.5-4 mm, kandungan mesokarp tergolong
menengah sampai tinggi (60-96%),terdapat lingkaran sabut pada bagian
luarnya.
(c) Pisifera; ketebalan cangkang sangat tipis, bahkan tidak ada (Hartley 1988).
Ada perbedaan karakter morfologi yang cukup jelas antara E. oleifera
dan E. guineensis (Supriyanto et al. 2000). Perbedaan morfologi yang paling
nyata terletak pada keragaan batang dan daun tanaman. Pada E. oleifera,
pertumbuhan batang sangat lambat, dan umumnya laju pertumbuhannya hanya
setengah kali dari pertumbuhan batang E. guineensis. Bentuk daun E. oleifera
dicirikan dengan susunan anak daun yang berada dalam satu arah. Anak daun
pada E. oleifera cenderung lebih lebar dibandingkan dengan E. guineensis.
Sedangkan bentuk buahnya, E. oleifera umumnya lebih kecil dibandingkan
dengan E. guineensis, dan terdapat kecenderungan selalu membentuk buah
partenokarpi. Buah E. oleifera umumnya berwarna jingga terang ketika masak.
Pada E. oleifera belum pernah ditemukan buah jenis Pisifera. Gambar 2
memperlihatkan keragaan E. oleifera asal Brazil dan Suriname.
3. Syarat Tumbuh
Kelapa sawit tumbuh baik pada iklim tropis zone katulistiwa dengan tipe
iklim Af dan Am (menurut klasifikasi Koppen), dengan curah hujan minimal 9
bulan sebanyak 2000-3000 mm/tahun yang menyebar sepanjang tahun. Lahan
pertanaman mulai dari dataran rendah sampai pada ketinggian tidak lebih dari
600 mdpl dan sangat baik bila tanah tersebut bertopografi datar. Syarat tanah
untuk mendukung pertumbuhan tanaman adalah tanah yang subur bersolum
dalam, berdrainase baik, pH 5.5-7.0, yaitu tanah-tanah aluvial yang bertekstur
lempung liat berpasir (Hartley 1988).
Gambar 2. Ke~agaan
E. oleifera.(A) E. ow,,-.-.
-.-,, tahun tanam 1940. (B) E. old@
(eks Suriname), ta hun tanam 1952.
I
4. Pemuliaan
Program pemuliaan kelapa sawit dl Indonesia dimulai pada 1 9 1 0 ~ ,
menggunakn material tanaman secara terbatas dari ernpat bili kdapa &wit
indukvarietas Durayang ditanam pertama M
i di Kebun Rays Bogor pada 1848
(Barnin 1998).
Bermula pada 1970, Madhat R e s d Station (MRS, sekarang Balai
knelitian Marihat) mengintroduksj plasma nutfah baru, bekerjasarna dengan
rlnstitut de & b e
pour les h u l k et oi&ginewc (IRHO),krancis. Introduksi
tersebut meliputi Dura IMmu dari Lame; TenerWiera Ivory Coast; Tenerd
Pisifera Yangambi dari Djonggo de Eala, Isangui, dm Yawenda; Tmera/Pisifera
Nifor dari Calabar,Angola, d m Nigeria;TenerdhiferaYacobeue; TeneraPisiFera
Dami dari New Guinea; dan polen E. oleifera dari San Alberto (Colombia).
Populasi program pemuliaan dari 1848- 1951d m introduksi bam, klah menjadi
populasi dasar untuk program pemulhan di Indonesian Oi Palm Research In-
stitute (IOPRI; Pusat Penelitian Kelapa Sawit, PPKS) sampai sekarang (Pamin
1998).
Salah satu tujuan penting pemuliaan kelapa sawit di Indonesia adalah
membuat kultivar yang mempunyai hasil minyak tinggi. Berbagai observasi
menunjukkan bahwa vigor hibrida berasosiasi dengan hasil yang dapat dicapai
pada progeni F, dari persilangan antara dua grup heterosis yang independen,
Dura (D) dan Pisifera (P). Diantara metode seleksi yang ada untuk perbaikan
hasil minyak, metode reciprocal recurrent selection (RRS) yang dipilih sebagai
prosedur favorit, sebab metode ini memiliki kemampuan untuk meningkatkan
hasil minyak dari hibrida DxP dan mempertahankan keragaman genetik dari
masing-masing grup heterosis. PPKS telah menggunakan metode ini untuk
perbaikan hasil minyak sejak 1974 (Asmono et al. 1998).
Metode RRS adalah suatu skema yang sangat menarik, baik untuk program pemuliaan maupun produksi benih dan klon kelapa sawit. Pertama,
pemilihan tetua untuk memproduksi hibrida komersial didasarkan atas pengujian
progeni, sehingga hanya hibrida-hibrida yang telah diuji disalurkan kepada
konsumen. Kedua, skema seleksi memungkinkan untuk mengeksploitasi
sesegera mungkin persilangan-persilangan terbaik dan perbaikannya dapat
dilakukan melalui selfing tetua terpilih sehingga daya gabung khusus (specific
combining ability, SCA) dapat dieksploitasi secara optimal. Ketiga, hibrida
komersial dapat direproduksi menggunakan berbagai tipe persilangan, Dura
diseleksi Dura dan TeneraPisifera diseleksi Tenera. Setelah berakhirnya siklus
seleksi, dimungkinkan untuk memproduksi benih dengan cara reproduksi secara
pasti persilangan-persilangan terbaik dari hasil pengujian dan menyilangkan
dua tetua yang memiliki daya gabung umum (general combining ability, GCA)
yang baik, meskipun persilangan tersebut belum diuji. Dengan menggunakan
tanaman unggul dari hasil pengujian, progeni dapat diperbanyak secara kultur
jaringan dengan tingkat produktivitas yang relatif sama dengan ortet (bahan
tanaman pada bagian titik tumbuh untuk kultur jaringan). Pemilihan tanaman
unggul dilakukan dengan mengeksploitasi keragaman di dalam famili di antara
famili-famili yang diuji pada pengujian progeni. Klon-klon yang dihasilkan dari
ortet yang dipilih dari pengujian progeni perlu diuji terlebih dahulu pada pengujian
klonal sebelum dilepas secara komersial (Purba et al. 1997).
Program seleksi dengan tujuan utama untuk memperbaiki CPO, strategi
seleksi yang diterapkan berbasis pada famili dan individu, lazim disebut Family
and Individual Palm Selection (FIPS) (Asmono et al. 1999).
Strategi pemuliaan tanaman untuk mentransfer karakter penting dari
satu spesies ke spesies lainnya dapat dilakukan melalui program silang balik.
Asmono (1999) menjelaskan, silang balik merupakan prosedur umum yang
digunakan untuk mentransfer karakter-karakter spesifik dari satu spesies ke
spesies lainnya. Saat ini dikenal dua spesies utama kelapa sawit: E. guineensis
dan E. oleifera. Kelapa sawit komersial yang dikenal saat ini, E. guineensis,
memiliki berbagai keunggulan, utamanya kandungan CPO yang tinggi. Namun
demikian, beberapa komponen penting, seperti kandungan ALTJ, pada E. guineensis umumnya sangat rendah (40-60%). Di sisi lain, E. oleifera dikenal
sebagai spesies kelapa sawit yang memiliki kandungan CPO sangat rendah.
Namun demikian, persentase ALTJ-nya sangat tinggi (70-83%),dan mempunyai
pertumbuhan meninggi yang lambat. PPKS, dengan menggunakan metode
silang balik, saat ini berupaya untuk mentransfer karakter unggul E. oleifera,
utamanya ALTJ tinggi, ke E. guineensis. Harapan dari upaya tersebut adalah
dihasilkannya kelapa sawit unggul yang mempunyai kandungan CPO sekaligus
ALTJ yang tinggi.
5. Produksi dan Kualitas Minyak
Meningkatnya perhatian konsumen terhadap kesehatan (khususnya
minyak nabati), membuat para peneliti kelapa sawit memberikan perhatian yang
lebih untuk meningkatkan kualitas minyak kelapa sawit. Program silang balik
yang mengambil keunggulan dari plasma nutfah E. oleifera perlu dilanjutkan
agar terjadi integrasi ale1yang bermutu terbaik dari E. oleifera ke dalam populasi
E. guineensis (Pamin 1998).
Kelompok spesies E. guineensis, Dxi?mampu menghasilkan CPO sangat
tinggi, 7.0-7.9 ton/ha/tahun (Asmono et al. 1998). Tetapi, komponen kualitas
minyak yang dihasilkan E. guineensis tergolong rendah, kandungan ALTJ-nya
berkisar 40-60%. Sebaliknya, E. oleifera, walaupun produksinya tergolong
rendah, kurang dari 1 ton/ha/tahun, tetapi kandungan komponen kualitas
minyaknya tergolong sangat tinggi, kandungan ALTJ-nya berkisar 70-83%
(Syukur dan Lubis 1985). Tabel 1memperlihatkan kandungan asam lemak dan
beta-karoten E. oleifera, E. guineensis, dan hibridanya.
Tabel 1.
Kandungan asam lemak dan beta-karoten E. oleifera, E. guineensis, dan hibridanya
Karakteristik
1. Asam lemak jenuh (%)
a. Asam miristat
b. Asam palmitat
c. Asam stearat
2. Asam lemak tak jenuh (%)
a. Asam oleat
b. Asam linolenat
3. Iodine value (%)
4. Beta-karoten (ppm)
E. oleifera orijin
Suriname
0.1
24.9
2.4
66.0
5.0
70.0
4300-4600
E. oleifera X
E. guineensis
E. guineensis
0.8
36.8
3.2
1.5
41.8
4.7
45.3
13.0
62.6
1200-2400
37.4
13.1
54.9
500
Sumber: Choo dan Yap (1997), Syukur dan Lubis (1985).
Marka Molekuler
1. Potensi
Plasma nutfah merupakan sumber genetik yang perlu mendapat
perhatian, tidak hanya mengumpulkan dan memelihara, tetapi juga
mengkarakterisasikeragaman genetik, mengevaluasi sifat-sifat yang dikehendaki
dan memanfaatkannya untuk pemuliaan tanaman. Keragarnan genetik secara
konvensional dapat terjadi karena persilangan seksual maupun adanya mutasi.
Dengan kemajuan teknologi, keragaman genetik dapat terjadi melalui variasi
somaklonal, fusi protoplas maupun transfer gen. Informasi tentang keragaman
genetik plasma nutfah perlu diketahui karena sangat penting untuk membedakan
genotipe individu di dalam maupun antar spesies secara tepat yang sangat
diperlukan dalam pengembangan program pemuliaan tanaman (Bennett 1993).
Teknik pemuliaan secara molekuler (molecular breeding) merupakan
ilmu pengetahuan yang melibatkan pemakaian marka DNA untuk memfasilitasi
proses pemuliaan tersebut. Berdasarkan sejarahnya, para pemulia tanaman
mengandalkan sifat fenotip tanaman dalam rangka pemuliaan tanaman untuk
sifat unggul. Para pemulia dapat menggunakan teknik pemuliaan molekuler
sebagai alat untuk melengkapi teknik pemuliaan klasik (Forbes 2000).
Sekarang,teknologi marka moderen mengandalkan amplifikasi sejumlah
kecil DNA melalui polymerase chain reaction (PCR). Fragmen yang
teramplifikasi dipisahkan melalui gel elektroforesis dan divisualisasikan melalui
pewarnaan dengan dye spesifik untuk DNA. Dengan marka molekuler, proses
seleksi dapat dipercepat. Selain itu, lokus DNA yang bertanggung jawab terhadap
sifat kuantitatif tertentu dapat dipetakan (Jung 1999).
Potensi penggunaan marka sebagai alat untuk melakukan karakterisasi
genetik dalam program pemuliaan telah dikenal sejak puluhan tahun yang lalu.
Marka bisa dikategorikan sebagai marka morfologi, sitologi, dan yang terbaru
adalah marka molekuler (Moritz dan Hillis 1996; Sessions 1996).
Saat ini, kemajuan dalam bidang biologi berkembang sangat cepat dan
pesat. Biologi molekuler merupakan salah satu cabang ilmu yang mempelajari
organisme pada tingkat DNA. Teknik ini sangat membantu pemulia tanaman
dalam melakukan studi genetik dengan ketepatan yang lebih akurat. Untuk
mendapatkan informasi genetik dapat dilakukan dengan menggunakan marka
molekuler, seperti isozim, RFLP, RAPD, SSR, AFLP, dan yang lainnya
(Kongkiatngamet al. 1995; Powell et al. 1996; Karp dan Edwards 1997; Plieske
dan Struss 200 1).
Marka molekuler dapat memberi gambaran yang cukup tinggi tentang
perbedaan genetik individu, baik pada tingkat spesies maupun dengan kerabat
jauhnya. Menurut Tanksley (1983),penanda molekuler dapat mendeteksi variasi
genetik pada tingkat jaringan atau seluler, dan polimorfismenya tidak dipengaruhi
oleh lingkungan.
Marka molekuler yang pertama dan paling sederhana dikenal dengan
marka protein yang lazim disebut isozim. Polimorfisme protein dideteksi dengan
cara elektroforesis, dan perbedaan yang terdeteksi antar ale1 bergantung pada
pergantian asam-asam amino yang bermuatan. Untuk pencirian dan analisis
gen yang jumlahnya beragam, aplikasi marka isozim mempunyai keterbatasan
karena jumlah lokus yang bisa digunakan terbatas (Murphy et al. 1996).
Perkembangan dan penggunaan penanda RFLP relatif lebih belakangan
dibandingkan dengan isozim, meskipun demikian prinsip interpretasi analisis
genetik dari isozim dan RFLP sama. Setelah isozim, RFLP mendapat perhatian
yang lebih besar dari pakar genetika molekuler dan pemulia tanaman. Hal ini
karena RFLP dapat mengungkapkan perbedaan-perbedaan yang lebih banyak
antara individu-individu tanaman dibandingkan dengan isozim. Penanda RFLP
mendasarkan pada perbedaan dalam ukuran fragmen DNA nukleus
(kromosom), organel, atau total DNA yang dihasilkan dari pernotongan dengan
enzim restriksi. Individu-individu tanaman yang mempunyai perbedaan sekuen
DNA akan mempunyai perbedaan distribusi dari situs restriksi untuk suatu enzim
restriksi. Fragmen DNA hasil restriksi dipisahkan menurut ukuran berat molekul
pada gel elektroforesis, kemudian dipindahkan ke membran nilon dan
dihibridisasi dengan pelacak DWprobe. Polimorfisme akan terjadi bila pola
hibrida DNA yang terbentuk pada membran nilon yang dihibridisasi dengan
suatu probe berbeda antar individu yang diuji (McCouch dan Tanksley 1991).
2. RAPD
Marka RAPD yang dikembangkan oleh Williams et al. (1990) dihasilkan
melalui amplifikasi DNA secara in vitro dengan menggunakan teknik PCR. PCR
yang ditemukan Mullis (1980) berkembang sangat cepat sebagai teknik dalam
biologi molekuler. RAPD-PCR adalah metode sintesis DNA atau RNA secara in
vitro atau teknik memperbanyak molekul DNA atau RNA dengan menggunakan
sekuen acak primer oligonukleotida (10 basa primer) dan DNA polymerase
tahan panas yang dapat mempertahankan aktivitasnya sampai suhu 94°C.
Prosedur dalam teknik PCR terdiri dari proses: (1) denaturasi (denaturation)
DNA template menjadi DNA utas tunggal dengan suhu sekitar 94"C, (2)
penempelan (annealing)primer ke ujung utas DNA dengan suhu sekitar 55"C,
dan (3)pemanjangan (extension) DNA atau amplifikasi DNA yang dimulai dari
primer di ujung 5' ke ujung 3' dengan suhu sekitar 72°C. Ketiga langkah tersebut
merupakan prosedur satu siklus yang dapat diulang sebanyak 20-35 kali.
PCR membutuhkan DNA polymerase, dNTPs, DNA template, primer,
dan buffer reaksi. PCR dapat memperbanyak molekul DNA secara dramatik
yaitu sebagai deret geometri. DNA polymerase yang digunakan pertama kali
adalah fragmen Klenow. Kelemahan fragmen ini adalah tidak tahan suhu tinggi
sehingga setiap siklus harus diganti. Dengan ditemukannya Taq polymerase,
kekurangan ini dapat diatasi. Taqpolymerase, diperoleh dari 7hermus aquaticus,
suatu bakteri yang tahan suhu tinggi. DNA template, diperoleh dari hasil isolasi
DNA yang akan diamplifikasi. Rimer, merupakan beberapa nukleotida yang
berfungsi sebagai inisiasi proses sintesis DNA. Dalam PCR dibutuhkan 2 primer,
yaitu left primer (fonoawd) dan right primer (reverse), sedangkan apabila
menggunakan satu primer, teknik ini disebut RAPD-PCR (Hoy 1994).
Semenjak diperkenalkan oleh Williams et al. (1990),teknik RAPD menjadi
salah satu cara yang banyak digunakan untuk berbagai penelitian di bidang
biologi molekuler dan pemuliaan tanaman.
Kesederhanaan teknik RAPD dibandingkan dengan RFLE diantaranya:
(1) DNA tidak perlu dipotong dengan enzim restriksi, (2) sampel DNA yang
diperlukan relatif sedikit, (3)tidak memerlukan pemindahan DNA ke membran
nilon, (4)tidak memerlukan hibridisasi DNA, dan (5)tidak memerlukan prosedur
labelling. Teknik RAPD didasarkan pada amplifikasi DNA secara in vitro dengan
PCR, yaitu dengan mengatur variasi temperatur pada mesin PCR. Siklus termal
akibat adanya variasi temperatur tersebut adalah denaturasi, penempelan primer,
dan perpanjangan pita DNA. Selama pengulangan siklus tersebut dibantu oleh
enzim Taq DNA polymerase (Nair 1993).
Kemudahan teknik RAPD dibandingkan dengan RFLP adalah: (1)
pengetahuan latar belakang genom tanaman tidak diperlukan; (2) hasil RAPD
dapat diperoleh secara cepat jika dibandingkan dengan analisis RFLP yang
memerlukan banyak tahapan, dan (3)beberapa jenisprimer arbitrari dapat dibeli
dan digunakan untuk analisis genom semua jenis organisme (Williams et al.
1990).Sedangkan keterbatasannya adalah sangat sensitif terhadap kondisi reaksi
dan profil temperatur (Vos et al. 1995).Selain itu, marka RAPD bersifat dominan,
yaitu dalam populasi yang bersegregasi, individu yang homosigot dengan
individu yang heterosigot tidak dapat dibedakan dengan menggunakan penanda
RAPD, karena baik individu yang homo- atau yang heterosigot akan samasama memberikan hasil pita DNA untuk suatu penanda RAPD tertentu ( R o ~ i n g
et al. 1995).
Marka RAPD dihasilkan melalui proses amplifikasi DNA seperti halnya
dalam melakukan PCR. Perbedaannya terletak pada penggunaan primer
oligonukleotida yang sekuennya dibuat secara random. Diantara jutaan
nukleotida yang dimiliki oleh suatu organisme, secara teori akan banyak yang
sekuen DNA-nya 100%sama atau hampir sama dengan primer oligonukleotida
random serta ada beberapa arah yang memiliki orientasi berlawanan yang hanya
berjarak beberapa ribu pasang basa antara satu dengan yang lain. Akibatnya,
jika genom tersebut dipakai sebagai template untuk reaksi PCR, berbagai ukuran
potongan DNA dapat teramplifikasi. Berbagai ukuran potongan DNA hasil
amplifikasi ini akan dapat dengan mudah dipisahkan berdasarkan ukurannya
dengan menggunakan teknik elektroforesis dan hasilnya dapat dilihat sebagai
pita-pita DNA dengan berbagai ukuran. Sekuen DNA dimana primer
oligonukleotida berkomplementasi dapat berbeda-beda antara individu satu
dengan individu yang lain. Hal ini mengakibatkan kegagalan pembentukan
komplementasi antara DNA template dan primer oligonukleotidanya. Kegagalan
ini menyebabkan hilangnya potongan DNA ukuran tertentu dari hasil amplifikasi
PCR yang dilakukan. Pita RAPD merupakan lokus DNA yang bersifat dominan
dan polimorfismenya diskor berdasarkan ada atau tidaknya pita (Rafalski et al.
1994).
Marka RAPD sangat sesuai untuk pemetaan genetik, pemuliaan tanaman
dan hewan, dan sidik-jari DNA, dengan kegunaan khusus untuk kajian genetika
populasi. Penanda RAPD juga dapat memberikan efisiensi pengujian untuk
polimorfisme, yang dapat mempercepat identifikasi dan isolasi fragmen DNA
kromosom yang spesifik (Williams et al. 1990).
3. Aplikasi RAPD pada Tanaman Kelapa Sawit
Pada awalnya, marka molekuler telah digunakan secara luas dalam kajian
keragaman genetik kelapa sawit. Beberapa contoh kajian pada kelapa sawit
yang menggunakan RAPD, diantaranya Shah et al. (1994) menggunakan marka
RAPD untuk determinasi variasi genetik kelapa sawit di Afrika, Rajanaidu et al.
(2000) yang telah melakukan penapisan populasi kelapa sawit menggunakan
marka RAPD dan R W Moretzsohn et al. (2000)telah melakukan pembentukan
peta pautan genetik lokus ketebalan cangkang buah kelapa sawit dengan RAPD,
Toruan-Mathius et a!. (1997) dengan RAPD melakukan penapisan 75 primer
terhadap sampel individu Dura, Pisifera, dan Tenera mendapatkan 10 primer
(OPC-7,OPD-2,OPD-3,OPD-6,OPD-15,OPD-16,OPD-20,OPH-3,OPH-9,
dan OPH-12) yang diduga mampu membedakan Dura, Pisifera, dan Tenera.
Peta Pautan Genetik dan Quantitatiue Trait Loci (QTL)
Penetapan marka genetik terhadap posisi relatif pada kromosom
berdasarkan frekuensi pindah silang, disebut sebagai peta genetik (Karp 1996),
lazimnya disebut peta pautan genetik. Menurut Grattapaglia dan Sederoff (1994),
pada dasarnya konstruksi peta pautan genetik melibatkan aplikasi teknik biologi
molekuler pada konsep pewarisan sifat. Terdapat dua ha1 yang dibutuhkan dalam
pembentukan peta pautan genetik, yaitu reproduksi seksual dan generasi progeni
serta marka yang mengikuti hukum Mendel dalam jumlah yang banyak. Langkah
pertama pembentukan peta pautan genetik adalah seleksi individu yang
disilangkan untuk mendapatkan peluang besar mendeteksi polimorfisme
genetik. Biasanya, silsilah yang digunakan dalam konstruksi peta pautan genetik
melibatkan persilangan antara dua galur inbred yang diperoleh melalui generasi
silang dalam. Progeni F, memiliki genotipe monomorfik. Silang dalam atau
backcross dilakukan untuk membentuk generasi F, atau BC,, yang
menyebabkan genotipe marka molekulernya bersegregasi. Pada F, yang
dibentuk dengan menyilangdalamkan generasi F, , marka akan bersegregasi
1(AA):2(Aa):1(aa) untuk marka kodominan, dan 3(A-): 1(aa) untuk marka
dominan. Pada silang balik terhadap galur homozigot resesif, marka dominan
dan kodominan akan bersegregasi 1(AA):1(Aa).
Faktor genetik yang bertanggung jawab terhadap variasi fenotipik yang
diamati untuk sifat kuantitatif dapat disebut QTL. Walaupun mirip dengan gen,
QTL hanya menunjukkan suatu region pada genom, dan dapat diperbandingkan
terhadap satu atau lebih gen fungsional (Falconer dan Mackay 1996).
QTL merupakan segmen pada kromosom yang dijumpai pada genom
yang mengandung satu atau beberapa gen yang pada akhirnya mengarahkan
ekspresi beberapa sifat kuantitatif. Dewasa ini, para peneliti di bidang bioteknologi tanaman dapat menggunakan QTL untuk menemukan gen yang diinginkan
dan gen baru, yaitu berbagai sifat agronomi seperti hasil, status tanaman dan
komponennya, sifat kualitas, resistensi, dan stres lingkungan (Forbes 2000).
Untuk tujuan analisis QTL diperlukan informasi berupa: (1) peta pautan
genetik berkerapatan tinggi, dan (2) data kuantitatif yang diukur dari parameter
yang diinginkan. Menurut Liu (1998),peta pautan genetik adalah model abstrak
berupa urutan linier kelompok gen dan marka. Gen dapat didefinisikan sebagai
faktor mendelian atau faktor DNA. Marka dapat berupa marka sitologi, suatu
varian yang berdasarkan perubahan gen atau protein yang telah diketahui atau
fragmen DNA yang tidak diketahui fungsinya. Gen dan marka tersebut hams
memiliki pewarisan sifat sederhana yang dapat ditelusuri dari generasi ke
generasi. Gen dengan fungsi yang telah diketahui dapat dipertirnbangkan sebagai
marka jika memiliki variasi yang dapat dideteksi. Peta pautan genetik didasarkan
pada rekombinasi kromosom homolog selama meiosis, jadi peta ini merupakan
peta meiosis. Dalam meiosis, jika dua atau lebih marka berlokasi dekat dalarn
suatu kromosom, alel-ale1 marka tersebut biasanya diwariskan bersama. Oleh
karena itulah peta tersebut diberi istilah peta pautan genetik.
MAS-BC pada Tanaman Kelapa Sawit
Program pemuliaan untuk meningkatkan kualitas minyak kelapa sawit
tanpa mengorbankan produktivitas CPO, dapat dilakukan dengan metode silang
balk. Upaya metode ini dapat dilakukan melalui prosedur: (1) menyilangkan
tetua donor, E. oleifera, sebagai sumber gen yang menentukan kadar ALTJ
tinggi, terhadap tetua pemulih; E. guineensis, sebagai sumber gen yang
menentukan produksi CPO tinggi, (2) melakukan silang balik turunannya
terhadap tetua pemulih, dan (3) mengidentifikasi individu hasil silang balik
sehingga diperoleh individu BC, terpilih. Menurut Ribaut dan Hoisington (1998),
kegiatan silang balik dan identifikasi individu turunannya tersebut hams dilakukan
secara berulang hingga 10-15 kali.
Walaupun secara teoritis metode ini mungkin untuk dilakukan, tetapi
upaya ini terbentur oleh waktu pelaksanaan seleksi (pada tanaman kelapa sawit,
10-13 tahun per siklus), volume pekerjaan yang sangat besar karena haws
melakukan silang balik 10-15 kali, dan adanya sterilitas pada sebagian hasil
persilangan. Dengan demikian, diperlukan metode atau strategi lain untuk
mengatasi kendala tersebut. Ribaut dan Hoisington (1998), mengemukakan
bahwa dengan bantuan marka molekuler (metode MAS), hanya diperlukan satu
atau dua kali daur silang balik.
Menurut Openshaw et al. (1994), pada BC, dan generasi silang balik
selanjutnya, individu terpilih telah mernbawa transfer gen dari hasil silang baliknya
terhadap tetua pemulih. Proporsi harapan genom tetua donor berkurang menjadi
setengah setiap generasi silang balik. Rata-rata persentase harapan genom tetua
pemulih (%Wrecwrentparent) pada setiap generasi silang balik dihitung dengan
rumus:
%RP = 100[1-(0.5)"+']
dimana n adalah jumlah silang balik. Dengan demikian, metode MAS-BC, yang
merupakan kombinasi metode MAS dengan program silang balik untuk
mendapatkan introgresi gen baru dari tetua donor ke tetua pemulih, diharapkan
dapat membantu program pemuliaan kelapa sawit untuk mendapatkan tanaman
dengan kualitas minyak (karakter ALTJ) dan produksi CPO tinggi.
Download